Ganes Alyosha (1006692713) Muhammad Nurul Fajri (1006664400

advertisement
Ganes Alyosha
Muhammad Nurul Fajri
Ulva Miftakhul Jannah
(1006692713)
(1006664400)
(1006692953)
Reconceptulizing Social Disadvantages: Three paradigms of Social Exclusion
Introduction
Sejak pertengahan tahun 1970-an, negara-negara maju yang menganut sistem
demokrasi kapitalis sejak lama telah menjalani proses restrukturisasi ekonomi. Akibatnya,
masalah sosial baru muncul, untuk menantang asumsi yang mendasari kesejahteraan negara
barat. Sementara itu kebijakan sosial yang ada secara universal mengasuransikan terhadap
risiko-risiko yang diprediksi sebagai siklus hidup, pola karir, dan struktur keluarga, serta
standarisasi kehidupan yang tidak dapat diasumsikan. Sebuah perspektif sejarah
menunjukkan bahwa gejolak ekonomi dan sosial yang terjadi sebelumnya membawa
pergeseran dalam "imajinasi moral", dan menyebabkan pengenalan konsep-konsep baru.
Gagasan "kemiskinan" muncul dalam transformasi besar terkait dengan industrialisasi di
akhir abad ke delapan belas di Inggris. Pada saat itu, pertama kali "orang miskin"
terpinggirkan dari masyarakat. Pada akhir abad kesembilan belas, terjadilah dislokasi
ekonomi, mereka yang tergolong sebagai “orang miskin” dan pada tahun 1880-an gagasan
"pengangguran" pertama kali muncul sebagai isu politik di Inggris.
I.
Defining exclusion: A stragtegy
Dalam tulisan ini definisi “eksklusi sosial” (1) tidak hanya memiliki arti tunggal
saja, melainkan memiliki beberapa istilah yang sarat memiliki arti konotasi
ekonomi, sosial, politik dan budaya dari berbagai dimensi [CEC, 1993, p. 10].
Setiap upaya khususnya ketika menyangkut populasi, baik (2)pihak yang
terekslusi atau dalam proses menjadikan orang yang tereksklusi. (3)Faktor
penyebab terjadinya eksklusi pada level individu, keluarga, atau sosialekonomi adalah adanya suatu kegiatan berfluktuasi, berinteraksi dan
akhirnya bertambah banyak yang tereksklusi.
(4)Istilah eksklusi sosial begitu evocative, ambigu, multidimensi dan
luas yang selanjutnya dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Namun
kemudian kesulitan mendefinisikan eksklusi dan fakta itu ditafsirkan dalam konteks yang
berbeda pada waktu yang berbeda dapat dilihat sebagai peluang teoritis. Dari perspektif ini,
makna beberapa istilah yang tidak bermasalah, melainkan melekat pada sebuah konsep yang
"pada dasarnya diperebutkan", dalam arti bahwa penggunaan yang tepat adalah "pasti
melibatkan sengketa tak berujung" [Gallie, 1956].
Beberapa arti dari istilah gagasan empiris mengenai "eksklusi". Konsep ini sering
dicampurkan dengan kemiskinan baru dan ketidaksetaraan, diskriminasi dan kelas bawah,
dan itu dikaitkan dengan berbagai istilah yang berlebih-lebihan, tidak relevan, keterpinggiran,
keterasingan, alteritas atau adanya suara lain, tertutup, kekurangan, perampasan, dan
kemiskinan. Pertimbangan juga hanya pada hal-hal dari literatur yang mengatakan orang
dapat tereksklusi dari: mata pencaharian, keamanan, pekerjaan tetap, pendapatan,
kemiskinan, kredit, atau lahan, perumahan, tingkat konsumsi minimal yang berlaku,
pendidikan, keterampilan, dan modal budaya; kesejahteraan Negara, kewarganegaraan dan
kesetaraan hukum, partisipasi demokratis, barang publik, bangsa atau ras yang dominan,
keluarga dan sosialisasi, kemanusiaan, pemenuhan, menghormati, pemahaman.
Tapi, yang lebih penting bahwa referen empiris beberapa istilah, makna penggunaan
dari "eksklusi sosial" yang tertanam, bertentangan dengan paradigma ilmu sosial dan ideologi
politik. Sama seperti transformasi besar abad sebelumnya yang memunculkan ide-ide dari
adanya kemiskinan dan pengangguran, dan tatanan sosial untuk mengatasinya, demikian juga
gagasan upaya eksklusi untuk mengatasi masalah inklusi sosial dalam transformasi yang
cepat. Dalam teori kasus "Insertion," "integrasi," "kewarganegaraan," atau "solidaritas"
memberikan titik referensi untuk pemahaman arti yang berbeda dan penggunaan dari istilah
"eksklusi sosial", sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi perbedaan pendekatan
paradigmatik pada istilah eksklusi tersebut.
Berdasarkan analisis literatur tentang eksklusi di Eropa Barat dan Amerika Serikat,
menguraikan ada tiga tipologi dari beberapa arti eksklusi pada perspektif teoritis yang
berbeda, dengan ideologi politik, dan wacana nasional yang terdapat tipe solidaritas,
spesialisasi, dan paradigma monopoli. Paradigma ini bukan hanya menjelaskan apa yang ada
di masyarakat tetapi juga yang tidak ada di masyarakat. Paradigma ini "menentukan tidak
hanya jenis entitas yang terdapat di alam semesta tetapi juga mengandung arti secara tersirat "
[Kuhn, 1970, p. 7].
Pada dasarnya, ontologi yang membuat pemahaman realitas dan elemen "apakah" dan
apa yang "seharusnya". Selain itu, ketika paradigma yang berbeda yang diadopsi, praktisi
berbicara dari "sudut pandang yang dapat dibandingkan" dan menggunakan bahasa yang
sama tapi berarti hal yang berbeda. Tiap paradigma ini menjelaskan eksklusi dari sebab yang
berbeda pula dan juga didasarkan dari perbedaan filosofi politik: republikan, liberalisme, dan
sosial demokrasi. Masing-masing memberikan penjelasan tentang berbagai bentuk kerugian
sosial ekonomi, sosial, politik, budaya dan dengan demikian meliputi teori kewarganegaraan
dan kesenjangan ras-etnis serta kemiskinan dan pengangguran jangka panjang.
*) yang dicetak dibold merupakan strategi utama memahami eksklusi sosial
The history of “exclusion” discourses in France
Identifikasi paradigma eksklusi dapat dimulai dengan wacana sejarah eksklusi di
Perancis. Istilah eksklusi telah menjadi kata kunci dalam wacana Perancis mengenai
kemiskinan dan ketidaksetaraan, dan memberikan dorongan untuk memunculkan kebijakan
sosial baru. Sekarang ini eksklusi dianggap menjadi "tantangan utama yang dihadapi
masyarakat Perancis" (Esprit, 1991, hal 6.)
Wacana mengenai eksklusi mulai muncul di Prancis pada tahun 1960-an. Politisi,
aktivis, pejabat, wartawan dan akademisi melihat orang miskin sebagai "orang yang
tereksklusi". Rene Lenoir, yang pada tahun 1974 mengatakan bahwa "orang yang tereksklusi"
diperkirakan terdiri sepersepuluh dari penduduk Perancis: mental dan cacat fisik, orang –
orang yang mempuyai kecenderungan bunuh diri, cacat usia, anak-anak dilecehkan,
penyalahgunaan zat, berbahaya, berbagai masalah rumah tangga, marjinal, orang asosial, dan
social "misfit“ lainnya (seseorang atau sesuatu yang tidak sesuai secara sosial). Semua yang
disebutkan diatas adalah kategori sosial yang tidak dilindungi berdasarkan prinsip asuransi
sosial pada saat itu. Selama tahun 1970-an, Aliran kekiri-kirian Prancis juga mulai
membedakan antara eksklusi obyektif dan subyektif. Yang terakhir, [Sartre seorang tokoh
II.
dari perancis] menggambar atas eksistensialisme dan ideologi partisipatif aksi sosial katolik,
merujuk keterasingan dan hilangnya otonomi pribadi di bawah kemajuan kapitalisme. Dalam
menekankan eksklusi subjektif, hal itu dilihat dari pertunjukkan konflik antar kelas politik
dalam melawan media massa dan pergerakan sosial. Eksklusi berarti diperlakukan sebagai
obyek, yaitu suatu kondisi yang bisa diterapkan pada hampir semua individu atau kelompok.
Wacana eksklusi meluas pada 1980-an. Krisis sosial dan politik berturut-turut meletus
di Perancis, "eksklusi" datang dan merujuk pada semakin banyaknya kelemahan sosial
diberbagai bidang. Pada awal 1980-an, penggunaan "insertion" dalam wacana politik
bergeser dari fokus pada keterpurukan pemuda yang meninggalkan pendidikan pergi tanpa
keterampilan yang memadai untuk memperoleh pekerjaan. Pada pertengahan tahun 1980,
oposisi komunis menyalahkan pemerintah sosialis atas meningkatnya pengangguran sehingga
muncul apa yang disebut "kemiskinan baru atau new poverty". Dalam simbol politik,
kekuatan untuk masalah sosial memiliki implikasi yang luas bagi kebijakan politik yang
sesuai untuk mengatasinya. Dengan demikian, dalam menanggapi penekanan oposisi pada
kemiskinan baru dan ketimpangan, pemerintah sosialis berbicara Istilah eksklusi merujuk
tidak hanya untuk peningkatan pengangguran jangka panjang dan berulang, tetapi juga untuk
ketidakstabilan pertumbuhan hubungan sosial "eksklusi" seperti ketidakstabilan dalam
keluarga, rumah tangga, isolasi sosial, dan penurunan solidaritas kelas berdasarkan serikat,
pasar tenaga kerja, dan lingkungan kelas pekerja dan jaringan sosial.
Singkatnya, eksklusi menjadi cara baru untuk menggambarkan kesulitan membangun
solidaritas antara individu dan kelompok dan masyarakat luas. Negara maju harus mengikat
diri dengan nilai-nilai etika dan budaya yang membuat kewarganegaraan hidup tidak hanya
dalam bentuk hak, tetapi juga hubungan tertentu dengan lainnya. Sebuah negara,
kesejahteraan harus lebih personal partisipatif pada prinsip-prinsip baru sosial, insertion
berbagi kohesi, dan integrasi [Nasse, 1992].
Dalam sudut pandang ini, insertion dan integrasi dipandang sebagai respon yang tepat
terhadap eksklusi. Hal ini tercermin dalam nama berbagai program sosial baru yang
diperkenalkan di Perancis pada tahun 1980-an. Misalnya, mereka yang menganjurkan
penyisipan pendapatan minimum (RMI) mengadopsi retorika Partai Republik "solidaritas",
"kohesi", "ikatan sosial” dan "kontrak sosial baru".
Krisis “politik baru” terus memperluas makna eksklusi dan insertion. Munculnya
Front Nasional memicu perdebatan hukum imigrasi. Front Nasional Afrika Utara dan imigran
muslim mengklaim dan memprovokasi pembentukan gerakan anti-rasis dan etnis baru seperti
SOS-rasisme dan Perancis Plus yang memobilisasi demonstrasi massa anti-rasis. Mulai
terdengar tentang pengeksklusian rasisme dimana gerakan anti-rasis bisa mengkritik segala
macam "eksklusi" - nasional, etnis, status sosial budaya, agama, bahasa, jenis kelamin, dan
penampilan fisik. Akhirnya, eksklusi mencakup isu banlieues (perumahan pinggiran kota).
Banlieue adalah sebutan untuk Daerah Pinggiran kota di Prancis, khususnya di Paris, Yang
identik dengan imigran, kriminalitas, dan kesan kumuh.
Retorika integrasi imigran, masalah pemuda, dan eksklusi ekonomi spasial tetap yang
saling terkait setelah serangkaian insiden kekerasan di perumahan pinggiran kota (banlieues).
Penduduk banlieues digambarkan sebagai penduduk yang tereksklusikan. pada tahun 1991
Ministere de la Ville (departemen perkotaan) membentuk program Developpement social des
quartiers (DSQ) melalui desentralisasi Negara yang sedang berlangsung pada reformasi
pelayanan sosial dan perumahan, serta kebijakan kenakalan remaja, sehingga Negara
berusaha untuk memerangi "eksklusi perkotaan".
Sebagian besar pemikiran retorika eksklusi ditanamkan di Perancis. Tapi ada aliran
bahasa yang memiliki perspektif demokrasi sosial. Aliran pemikiran ini melihat masalah
utama dari banlieues sebagai eksklusi ekonomi, diperburuk dengan eksklusi spasial, generasi,
dan politik. Secara umum, untuk interpretasi ini, masalah sebenarnya bukanlah ras dan etnis,
namun eksploitasi sosial di era ketika pergerakan dan organisasi berbasis kelas telah
melemah.
III.
Three paradigms: An Introduction
Penanaman konsep eksklusi sosial dalam retorika politik Perancis dan berbagai macam
penggunaan istilah itu dalam konteks nasional tertentu, memunculkan pertanyaan apakah
mungkin menyusun kembali eksklusi sosial sebagai fenomena umum atau sebagai konsep
ilmiah yang melampaui konteks politik dan negara. Istilah itu tidak hanya merujuk pada
kemiskinan, ketimpangan, pengangguran atau kewarganegaraan, tetapi juga status sosial,
identitas, dan isolasi. Pertanyaannya sebagai berikut: apakah eksklusi sosial dapat menjadi
sebuah objek penelitian ilmiah sosial ketika istilah tersebut sarat nilai pada manusia (target
yang bergerak dinamis)?
Tulisan ini akan mengklarifikasi perbedaan makna dan nilai yang melekat pada istilahistilah yang ada. Selanjutnya terdapat identifikasi pendekatan-pendekatan paradigma utama
terhadap eksklusi yang terbagi atas: (1) Solidarity, (2) Specialization, dan (3) Monopoly.
Pendekatan ini menyerap dari keberadaan literatur eksklusi di Eropa Barat dan Amerika
Utara.
A. Solidarity
Dalam pemikiran republik Perancis, eksklusi adalah terputusnya ikatan sosial (lien
social) diantara individual dan masyarakat yang mengacu pada solidaritas sosial. Pada
solidaritas organik yang ada di masarakat modern, kesadaran kolektif dibayang-bayangi
oleh kesadaran individu. Bentuk solidaritas ini muncul sebagai hasil dari peningkatan
ketergantungan antar individu dalam kerangka pembagian kerja. Berakar dari pemikiran
Rousseau dan sosiologi Durkhemian, “Social” order dipahami sebagai hal eksternal,
moral, dan normatif daripada sebagai sesuatu yang berdasarkan pada kepentingan
individu, kelompok atau kelas. Sebuah konsensus nasional, kesadaran kolektif atau
kehendak bersama (umum) akan mengikat individu kepada masyarakat yang lebih besar
melalui “inter-related mediating institutions” (institusi-institusi mediasi saling
berhubungan satu sama lain) secara vertical dengan state.
Wacana solidaritas sosial menolak christian charity, liberal individualism, socialist
class conflict, dan political citizenship yang cukup mendasari pada integrasi sosial. Hal itu
menawarkan “jalan ketiga” dalam merekonsiliasikan hak-hak individu dengan tanggung
jawab negara. Solidaritas sifatnya kurang organis daripada humanis dalam rekonsiliasinya
terhadap interdependensi sosial dan perasaan memiliki terhadap kolektivitas. Dalam
republikan, warga negara kurang dilihat sebagai pemegang hak-hak tapi lebih kepada
partisipan dalam sivilitas komunal, sebuah kehidupan persaudaraan dalam publik. Seperti
kesatuan moral dan kesetaraan yang memerlukan penggabungan institusi yang mungkin
bersaing dengan negara untuk mendapatkan loyalitas warga negaranya.
Daripada menerima pluralisme budaya dan politik, lebih baik memisahkan
kepentingan-kepentingan dan keanggotaan mereka yang didamaikan dan disintesiskan
kedalam suatu kesatuan secara kesuluruhan. Dengan demikian, pendekatan solidaritas
memaparkan—dengan menekankan—pada cara dimana batasan kultural atau moral
diantara kelompok sehingga secara sosial mengkonstruksikan kategori dualistik dalam
menertibkan dunia. Seperti halnya penyimpangan dan anomie, eksklusi mengancam dan
memperkuat kohesi sosial. Kebalikan eksklusi adalah integrasi dan proses mencapai itu
adalah “insertion”. Menurut Durkhemian, hal ini mengindikasikan asimilasi budaya
dominan. Tapi yang penggunaan konsep terbaru adalah post-modernist dimana mereka
menggabungkan pendapat multikultural dan gagasan pluralis mengenai rekonfigurasi
dasar solidaritas sebagai budaya dominan yang menyesuaikan budaya minoritas.
Paradigma ini memfokuskan perhatian pada eksklusi yang melekat pada solidaritas
bangsa, ras, etnisitas, lokalitas dan budaya lain atau ikatan primordial yang tidak
membatasi batasan-batasan kelompok yang ada. Aplikasi diluar analisis dari warga negara
Republik, konflik etnis, dan penyimpangan didiskusikan dalam budaya kemiskinan dan
pengangguran jangka panjang serta mengarah pada “flexible specialization” dalam politik
ekonomi.
B. Specialization
Dasar pemikirannya berangkat dari konsep utilitarian, J Locke, dan Madison. Dalam
Anglo-American liberalism, eksklusi dipertimbangkan sebagai akibat dari spesialisasi
berupa: diferensiasi sosial, pembagian kerja secara ekonomi, dan pemisahan ruang
lingkup/lapisan. Spesialisasi berasumsi bahwa individu itu berbeda, masing-masing
individu mencapai spesialisasinya dalam pasar dan diantara kelompok sosial. Dengan
demikian, individualist digunakan sebagai metodenya, meskipun penyebab dari situasi itu
tidak sesederhana individual preference tetapi juga struktur yang diciptakan oleh individu
itu sendiri dengan cara bekerja sama dan berkompetisi satu sama lain. Hal itu dipahami
sebagai social order, dalam bidang ekonomi dan politik, didalamnya terdapat jaringan
pertukaran secara sukarela diantara individu-individu yang otonom/mandiri dengan
kepentingan dan motivasi mereka masing-masing.
Hasil dari pertukaran ini memberikan konsekuansi berupa munculnya struktur sosial
yang terspesialisasi terdiri dari pemisahan dan kompetisi tapi tidak semestinya
lapisan tersebut menjadi tidak setara dimana terjadi saling ketergantungan melalui
pertukaran. Kelompok sosial adalah mereka yang secara sukarela dibentuk oleh
anggotanya dan aliansi yang selalu berganti diantara mereka yang merefleksikan
perbedaan kepentingan dan keinginan.
Model kewarganegaraan Liberal menekankan pada contractual exchange terhadap hakhak dan kewajiban dan pemisahan lapisan kehidupan sosial. Dengan demikian eksklusi itu
dihasilkan dari pemisahan lapisan sosial yang tidak memadai, penerapan aturan yang tidak
sesuai diberikan untuk lapisan yang ada, atau hambatan dalam melakukan pergerakan dan
pertukaran yang bebas melampaui ruang lingkup tertentu.
Karena hadirnya pemisahan ruang lingkup/lapisan sosial, eksklusi dapat memiliki
berbagai sebab dan dimensi. Individu yang sama mungkin tidak tereksklusi disetiap
lapisan. Hal ini karena lapisan dan kategori-kategori sosial diatur secara hirarki dalam hal
sumber daya atau nilai-nilai. Spesialisasi melindungi kebebasan dan dapat menjadi efisien,
sepanjang individu yang tereksklusi mempunyai hak-hak untuk bergerak melampaui
batasan yang ada. Kebebasan individu dalam memilih berdasarkan pada nilai-nilai pribadi
yang beragam dan motivasi psikologis yang berbeda untuk mengikatkan relasi sosial yang
seharusnya memberikan peningkatan dengan cara melintasi afiliasi dan loyalitas kelompok
yang mengintegrasikan masyarakat. Dengan begitu, eksklusi adalah bentuk dari
diskriminasi jika batas-batas kelompok membatasi kebebasan individual untuk
berpartisipasi dalam pertukaran sosial.. Meskipun terdapat perlindungan negara liberal
terhadap hak-hak individual sebagaimana kompetisi kelompok dan pasar menghambat
dari bentuk eksklusi ini.
Dalam ilmu sosial, liberal individualism sering merefleksikan metodologi
individualisme yang mengancam anggota kelompok sebagai atribut individu. Jadi disini
peran negara hanya sebatas melindungi hak-hak individu dan kelompok seperti
melindungi dari diskriminasi dan menolong individu merealisasikan potensi mereka dan
berkonsentrasi pada sumberdaya terbatas pada orang-orang yang benar-benar memerlukan.
C. Monopoly
Monopoli adalah paradigma yang berpengaruh diantara aliran kiri Eropa yang melihat
eksklusi sebagai akibat dari adanya monopoli suatu kelompok. Berangkat dari pemikiran
Weber dan Marx, hal itu melihat social order itu sebagai keteraturan yang bersifat koersif
yang diberlakukan melalui seperangkat relasi kekuasaan yang hirarkis. Dalam demokratis
sosial atau teori konflik, eksklusi mencakup interplay of class, status dan kekuasaan
politik dan melayani kepentingan-kepentingan individu atau kelompok inklusi.
Paradigma ini memperlakukan batasan-batasan kelompok—status—sebagai sumber
dominasi yang potensial dan bebas bagi kelas sosial. Marxism Ortodoks memberikan
keistimewaan pada solidaritas kelas dan menyangkal adanya potensi untuk integrasi kelas
dalam masyarakat. Marxism mendambakan adanya universalisme. Sebaliknya, paradigma
ini berasumsi bahwa ketidaksetaraan kekuasaan yang mendasari kelompok monopoli dapat
diminimalisir dengan menginklusifkan warga negara dengan basis social democratic
seperti yang didefinisikan T.H. Marshall.
Teori Weber tentang status kelompok menjelaskan bahwa tindakan sosial itu dimotivasi
oleh (1)kepentingan-kepentingan material dan ideal, (2) oleh stuktur dan kultur, dan
(3)batasan dan kebebasan. Kelompok status adalah manifestasi dari relasi kekuasaan
yang menuntut adanya kehormatan sosial dan penghargaan, dan memiliki
kesadaran, pola konsumsi dan gaya hidup mereka sendiri. Baik materi, legal maupun
bentuk lain monopoli itu mempertahankan status keeksklusifan kelompok. Kelas sosial
memberikan status kelompok tertentu sehingga mempengaruhi mereka tereksklusi dari
kompetisi dalam mendapatkan sumber daya yang bernilai. Pemikiran Weber yang paling
berpengaruh adalah jika social closure (ketertutupan sosial) dari kelompok status
menciptakan monopoli dan ketimpangan, tapi tidak berarti bahwa bahwa kelas sosial
selalu kelompok status.
Bagi siapa yang tidak mempunyai pertukaran dalam pasar, sebenarnya memiliki
kekuasaan lebih besar daripada pertukaran tersebut. Weber menggunakan istilah “closure”
untuk mengartikan proses subordinasi dimana satu kelompok memonopoli keuntungan
dengan menutup kesempatan pihak luar yang didefinisikan sebagai inferior atau ineligible
(yang tidak mampu). Hal itu diwujudkan dalam bentuk dan karakteristik seperti ras,
bahasa, asal dari, agama, atau kelangkaan sekolah. Dengan cara membatasi akses terhadap
kesempatan dan sumber daya, ketertutupan memungkinkan kolektifitas untuk
memaksimalkan pendapatan. Kelompok insiders berbagi budaya dan identitas yang
selanjutnya membentuk norma yang melegitimasi eksklusi.
Weber juga mengakui social closure mengakibatkan pihak tereksklusi untuk bertindak
dan melawan eksklusi. Ketika kelompok tereksklusi telah sukses merebut privileges
kelompok inklusi mereka akan menggambar kembali batas-batas kepada
kelompoktereksklusi lainnya yang kurang berkuasa dari mereka. Dalam prosesnya Parkin
menyebutnya sebagai Dual Closure. Paradigma monopoli tidak mengasumsikan bahwa
masyarakat—meskipun terbuka—dapat memasukkan setiap orang dan segala sesuatu.
Social “closure” terjadi ketika institusi dan perbedaan kultural tidak hanya
menciptakan batas-batas yang mencegah pihak luar jauh dari keinginan mereka, tetapi
juga digunakan untuk melanggengkankan ketimpangan. Kelompok yang berada dalam
entitas sosial yang dibatasi menikmati monopoli atas sumber daya yang langka. Monopoli
menciptakan bond of common interest antara insiders jika tidak setara. Kelompok yang
tereksklusi menjadi pihak luar dan didominasi pada saat yang sama.
Batas-batas eksklusi yang khusus dapat digambarkan oleh negara, lokalitas, firma, atau
kelompok sosial. Proses social closure juga dibuktikan dengan segmentasi pasar kerja.
Apapun sifat batas eksklusi baik tumpang tindih maupun suatu kebetulan, perbedaan dan
ketimpangan kelompok itu adalah pokok masalah dari paradigma ini. Seperti yang Gabelot
katakan “setiap demokrasi sosial adalah penghalang sekaligus sebuah tingkatan.”
Penghalang yang sangat membatasi perbedaan kelas, meskipun berlebihan dan khayalan,
juga menciptakan kesetaraan didalam batas-batas kelas.
IV.
Three paradigms: Some Clarifications
Klarifikasi mengenai ketiga paradigma eksklusi sosial terdapat dalam tujuh hal, yaitu
Pertama, ketiga paradigma itu adalah bentuk ideal type. Dalam kenyataannya
perbedaan masyarakat, dan budaya mendefinisikan hal-hal yang dimilikinya dengan
berbagai cara. Selain itu dalam waktu yang berbeda, perdebatan negara tentang eksklusi
itu menekankan hanya pada beberapa aspek dan tidak memperhatikan aspek lainnya.
Contoh Belgia dan jerman yang menekankan eksklusi pada migrasi dan pengungsi;
Denmark, Belanda, Perancis yang menekankan pada pengangguran jangka panjang dan
eksklusi pasar kerja; dan Portugal yang menekankan pada masalah pendapatan yang
rendah. Meskipun mengakui pendekatan budaya terhadap konsep eksklusi membuat
perkembangan legitimasi terhadap indikator lintas negara lebih sulit daripada mengukur
kemiskinan atau pengangguran, ketiga paradigma memperjelas alasan dibalik kontestasi
dan seleksi makna terhada istilah tersebut.
Kedua, Hal itu sesuai untuk analisis ilmiah dibidang sosial, setiap paradigma
memahami eksklusi sebagai hubungan sosial diantara included dan excluded. Hubungan
ini tentu saja dipahami sebagai tindakan sosial, sebagai aktivitas tereksklusi dan menarik
perhatian kepada tanggung jawab aktor. Keberadaan eksklusi dilihat sebagai proses, maka
analisisnya harus menspesifikkan hal tersebut dari awal hingga akhir. Keberadaan yang
membedakan hasil eksklusi itu sendiri tergantung pada isu yang ada, seperti apakah
perbedaan sosial mempunyai beberapa social benefits. Bahkan beberapa individu yang
termarginalkan atau menyimpang mungkin tidak pernah ingin untuk masuk menjadi
bagian kelompok sosial tertentu (included).
Tiga, Eksklusi dapat dilihat sebagai Makro sosiologi atau Mikro sosiologi. Weinberg
dan Ruano-Borbalan (1993) membedakan makro dan mikro karena kontras eksklusi dari
“atas” dan “bawah”. Perspektif “Top-down” melihat eksklusi sebagai krisis pekerjaan atau
krisis ketidakefektifan sosial dan kebijakan imigrasi, atau sebagai krisis integrasi institusi
sosial dalam suatu negara. Sebaliknya, lokal dan anggota komunitarian dalam perspektif
“grass-roots” menjelaskan eksklusi sebagai sebuah krisis solidaritas komunitas dan
regulasi sosial. Kedua bentuk miro dan makro ini cenderung berkontribusi pada proses
eksklusi yang terjadi.
Keempat, Perbedaan diantara ketiga paradigma seharusnya tidak dibingugkan dengan
klasifikasi institusional, seperti tipologi negara maju. Institusi adalah sejarah pertumbuhan
yang menanggung jejak masa lalu berupa konflik antara ideologi da paradigma.
Kelima, ketiga paradigma harus dibedakan dari pendekatan organik ke integrasi sosial.
Hal ini karena model organik bersifat empiris, normatif, dan metodologis: ketiganya
mendeskripsikan realita sosial, menyediakan konsepsi tentang apa itu masyarakat yang
baik, dan menawarkan strategi analisis yang selektif. Model organis dapat dilihat sebagai
paradigma yang lebih mendalam atau keuarga dari paradigma-paradigma untuk
menganalisis eksklusi sosial. Meskipun paradigma solidaritas, spesialisasi dan monopoli
yang termasuk dalam konsep integrasi social. Integrasi sosial termasuk dalam spektrum
utama pemikiran sosiologis yang menghubungkan ruang lingkup yang lebih besar dan
kebebasan relatif kepada civil society daripada negara dan pasar daripada paradigma yang
lain.
Keenam, Paradigma solidarity, specializations, dan monopoly memiliki lebih dari satu
dimensi atau aspek, yaitu eksklusi secara ekonomi, sosiologis dan interaksi, budaya dan
politik, yang dengan demikian membuat persilangan antar ilmu-ilmu sosial. Pendekatan
interdisipliner ini berbeda dari klasifikasi sebelumnya teori eksklusi yang fokus pada
kondisi di satu negara, biasanya Perancis, atau pada satu disiplin, terutama sosiologi.
Ketujuh, Bahkan ketika studi empiris mendefinisikan eksklusi sosial dalam istilah
"global", penelitian cenderung lebih "sektoral". Dengan berfokus pada populasi tertentu
yang diidentifikasi sebagai yang "berisiko" terhadap eksklusi, penelitian seringkali
menggambarkannya lebih dari satu paradigma. Literatur penelitian tentang eksklusi
meliputi studi tentang kategori sosial sebagai berikut:
a) Pengangguran jangka panjang atau musiman
b) Mereka yang bekerja di pekerjaan yang berbahaya dan tidak terampil, pekerjaan yang
tanpa kemampuan khusus terutama pekerja yang lebih tua, atau mereka tidak
dilindungi oleh peraturan ketenagakerjaan.
c) Yang bergaji rendah dan miskin
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
n)
o)
p)
q)
r)
s)
t)
u)
Yang tidak memiliki lahan/tanah
Tidak terampil, buta huruf, dan putus sekolah
Cacat mental dan cacat fisik
Pelaku kekerasan
Penjahat, narapidana, dan orang-orang dengan catatan kriminal
Orang tua tunggal
Anak-anak korban kekerasan dan mereka yang dibesarkan di keluarga yang
bermasalah
Pemuda, khususnya yang tidak memiliki pengalaman kerja dan gelar akademik
Pekerja anak-anak
Wanita
Orang asing, pengungsi, dan imigran
Ras, agama, etnis minoritas, dan bahasa
Secara politik kehilangan haknya
Penerima bantuan sosial
Orang-orang yang membutuhkan bantuan sosial namun tidak memenuhi syarat
penerima bantuan social/ tidak dapat mengaksesnya
Warga perumahan dengan lingkungan yang buruk
orang-orang dengan tingkat konsumsi di bawah subsistensi
orang-orang yang konsumsi, hiburan, atau kegiatan lainnya distigmatisasi sebagai
penyimpangan (konsumsi alkohol)
v) Perpindahan yang menurun, dan
w) Orang-orang yang terisolasi secara sosial tanpa teman atau keluarga.
Ketidakmampuan sosial absolut dan relatif dapat saling dihubungkan satu sama lain.
Beberapa peneliti menemukan korelasi yang sangat lemah di antara bentuk-bentuk
eksklusi, namun yang lainnya memahami eksklusi sebagai akumulasi dari
ketidakmampuan sebagai tahap akhir dalam proses diskualifikasi sosial (Paugam, 1993).
Bagaimanapun juga, representasi yang tidak proporsional di antara kelompok yang
tereksklusi dengan karakteristik sosialnya tidak menunjukkan bahwa karakteristiknya
menentukan apakah individu-individu yang ada itu tereksklusi. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, dibutuhkan ketiadaan kelompok yang tereksklusi secara mendasar atau
keluarga yang terjebak dalam “lingkaran setan”.
V.
Conclusion: Exclusion, politics and social policy
Dalam paradigma solidarity yang dominan di Perancis, eksklusi adalah pecahnya
ikatan sosial antara individu dan masyarakat yang budaya dan moral, bukan tertarik pada
orientasi. Batas-batas budaya menimbulkan kategori dualistik sosial dibangun untuk
menertibkan dunia, mendefinisikan minoritas miskin, pengangguran dan etnis sebagai orang
luar yang menyimpang. Namun, kewarganegaraan republik, oleh perkawinan solidaritas
nasional untuk hak-hak politik dan kewajiban, memberlakukan kewajiban pada negara untuk
membantu penyisipan dari eksklusi.
Dalam paradigma spesialisasi, eksklusi mencerminkan diskriminasi. Diferensiasi
sosial, pembagian kerja di bidang ekonomi, dan pemisahan tidak harus menghasilkan
hierarkis yang mengatur kategori sosial jika individu bebas untuk bergerak melintasi batasbatas dan jika bidang kehidupan sosial yang diatur oleh prinsip-prinsip yang berbeda
disimpan secara hukum terpisah. Akhirnya, paradigma ketiga melihat eksklusi sebagai
konsekuensi dari pembentukan monopoli kelompok. Kelompok yang kuat, sering dengan
identitas budaya yang khas dan lembaga, membatasi akses dari luar ke sumber daya melalui
proses "penutupan sosial."
Sumber: Silver, Hilary. 1995. “Reconseptualizing social disadvantage: three paradigm of social
exclusion” (in Rogers et.al. Social Exclusion: rethoric reality responses. Geneva: International
Laobour studies).
Download