ANTARA GANGGUAN MENTAL DAN KULTURAL: Telaah Intrinsik atas Fenomena Kesurupan1 Oleh: Pungki Ariawan S. Prawacana Menulis tentang fenomena kesurupan, atau kerasukan, merupakan tugas bagi para ilmuwan psikologi—khususnya di Indonesia, yang boleh dikatakan hampir tak mungkin bisa selesai. Laksana mata mereka ketika menatap sekeping uang logam. Di satu sisi, ia (mesti) berpijak pada garis diagnosis mental; di sisi lain, ia hidup dalam ruang lingkup kultural. Artinya, masing-masing hanya akan mendeskripsikan sesuai dengan pendekatan yang dipakainya; baik melalui pendekatan Ethic maupun Emic.2 Maka dari itu, pemahaman atas kedua pendekatan tersebut menjadi dasar dalam memahami adanya perbedaan budaya sekaligus melakukan analisis terkait penelitian psikologi lintas budaya. Apa yang dilakukan oleh Ekman mengenai ekspresi emosi dasar pada wajah adalah contoh penelitian Ethic. Sebaliknya, contoh penelitian Emic adalah ritual suku Indian Amerika untuk mengambil kulit kepala dari musuhnya yang telah mati (Dayaksini dan Yuniardi, 2008). Demikian pula dengan fenomena kesurupan di Indonesia yang layak ditelisik melalui kedua pendekatan tersebut. Yang selalu membuat diskursus ini menggairahkan adalah proses ilmuwan psikologi di dalam menafsirkan apakah fenomena kesurupan merupakan gangguan mental atau kultural. Untuk mendekati maknanya, kita harus mendudukan keduanya terlebih dahulu. Dalam artikel yang relatif pendek ini, penulis hendak berupaya untuk menggariskan beberapa pokok dalam fenomena kesurupan. Ada tiga bagian besar yang menyusun keseluruhan artikel, yakni “Psikologi Transpersonal”, “Psikiatri” dan “Kultural”. Ketiganya adalah perspektif dalam kajian psikopatologi dan terapi lintas budaya. 1 Artikel ini tak membahas fenomena kesurupan dalam skala besar, yakni kesurupan massal. Menurut Matsumoto (2008), Ethic adalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua budaya; sedangkan Emic adalah aspek kehidupan yang muncul hanya pada satu budaya tertentu. Dengan kata lain, Ethic menjelaskan universalitas sebuah konsep kehidupan, sedangkan Emic menjelaskan keunikan dari sebuah konsep pada satu budaya. 2 1 Perspektif Psikologi Transpersonal Kata transpersonal berasal dari kata trans, “melampaui”, dan persona, “topeng”. Secara etimologis, transpersonal berarti melampaui gambaran manusia yang kelihatan. Dengan kata lain, transpersonal berarti melampaui bermacam-macam topeng yang digunakan manusia. Konsep inti dari psikologi transpersonal adalah nondualitas, suatu pengetahuan bahwa tiap-tiap bagian (misalnya: tiap-tiap manusia) adalah bagian dari keseluruhan alam semesta. Penyatuan dengan alam semesta ini akan menimbulkan apa yang disebut “penyatuan kosmis”, di mana segala-galanya dipandang sebagai satu kesatuan (Davis, 2013). Dalam konteks kontemporer, psikologi transpersonal merupakan kajian antardisiplin dalam diskursus keilmuan. Antony Sutich, Carl G. Jung, dan Abraham Maslow adalah sederet nama peretas jalan bagi psikologi untuk memasuki wilayahwilayah spiritualitas. Namun di antara sekian banyak perspektif tokoh, secara khusus artikel ini dimaksudkan untuk membahas “ketidaksadaran kolektif” dari Jung. Secara sederhana, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Sebagaimana lazimnya tubuh yang memiliki sejarah, pertemuan antara sperma dan ovum; jiwapun memiliki sejarah. Manusia tak terlahir sebagai tabula rasa. Dalam jiwa, terdapat ingatan-ingatan dan warisan leluhur yang dibawa sejak lahir, yang kesemuanya tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif—arketipe (La Kahija, 2012). Indonesia terbilang sebagai bangsa yang memiliki ragam budaya, antara lain ‘budaya kesurupan’. Di daerah-daerah tertentu, kesurupan justru disengaja terjadi agar menjadi ajang tontonan yang menarik, misalnya: kuda lumping, debus dan tari kecak. Budaya inilah yang kemudian menjadi arketipe yang tersimpan dalam ketidaksadaran kolektif masyarakat di Indonesia. Tak pelak lagi, ini merupakan kepercayaan tentang animisme-dinamisme. Agaknya ketidaksadaran kolektif kita memang telah dipenuhsesaki oleh berbagai mitos seperti memedi, pocong, wewe gombel, pohon dan batu bertuah, jin penunggu rumah, jin penunggu sungai, penunggu laut selatan, dan lain-lain. Semenjak kecilpun kita kerap ditakuti dengan bermacam-macam hantu dan segala variannya, yang bisa merembesi ketidaksadaran personal sehingga kedua kenyataan dalam diri manusia tersebut klop dan membentuk suatu sistem kepercayaan (belief system) yang pada setiap momentum tertentu bisa muncul bila ada pemicunya (precipitating event). 2 Perspektif Psikiatri Dalam artikel jurnal ilmiahnya, Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan Psikiatri, Ni Ketut Sri Diniari dan Nyoman Hanati mengetengahkan bahwa kesurupan merupakan jenis gangguan mental (disosiatif) selama itu berada di luar kehendak individu dan di luar konteks ritual budaya-religi.3 Dalam arti ini, sungguh menggelitik bahwa fenomena kesurupan dikategorikan sebagai gangguan disosiatif yang nonkultur, yang mengacu kepada DSM-IV dan PPDGJ-III. Kedua acuan tentang kriteria diagnostik ini juga digunakan untuk mengambil kesimpulan dalam artikel jurnal Harsono, “Gambaran Trans Disosiatif pada Mahasiswi4”. Di sana Harsono (2012) menunjukkan sejumlah data bahwa kesurupan kerapkali justru mengemuka pada mahasiswi dengan kepribadian histrionik-dependen.5 Lebih lanjut, ia menemukan adanya pola stres, frustasi, gejala kecemasan, insomnia dan kelelahan fisik sebagai faktor penyebab internalnya. Adapun dari faktor eksternal, yakni permasalahan keluarga, pertemanan, dan kisah percintaan. Di sisi lain, DSM-IV mendefinisikan sindrom terkait kultur (culture-bound syndrom) sebagai pola yang berulang, bersifat lokal, perilaku menyimpang, dan pengalaman yang mengganggu; baik yang masuk dalam kategori-kategori DSM maupun tidak. Ciri dari sindrom ini adalah tidak berkorespondensi satu-satu dengan gangguan mental yang dikenali oleh sistem “utama”. Tak pelak lagi, fenomena kesurupan masuk dalam kategori ini. Dalam seting budaya Barat, keadaan atau seperangkat perilaku berupa kesurupan dianggap mengindikasikan gejala psikosis, delusi, atau halusinasi (Shiraev dan Levy, 2012). Dengan demikian, perspektif psikiatri dalam konteks kedua jurnal di atas terbilang sebangun dengan pendekatan Ethic. Sebab, hasil penelitian yang dilakukan memiliki kecenderungan untuk digeneralisasikan dan dijadikan dasar dalam penelitian selanjutnya di manapun seting budayanya. 3 Lihat Ni Ketut Sri Diniari dan Nyoman Hanati, Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan Psikiatri, vol. 43, no. 1, h. 37, di bagian abstrak (jurnal ilmiah kedokteran). 4 Artikel jurnal psikologi terbitan Universitas Negeri Semarang ini tak secara konkret menyebutkan indentitas subjek dan tempat penelitiannya. 5 Secara umum, kepribadian histrionik ditandai dengan perilaku mencari perhatian yang tinggi, pribadi ekstrovert yang meluap-luap dan emosional. Dan kepribadian dependen ditandai dengan sikap pesimistis, ragu-ragu, pasif, dan takut untuk mengekspresikan perasaannya ke orang lain. 3 Perspektif Budaya Kecenderungan animistik-dinamistik yang digambarkan di muka makin kentara bila kita menelisik lebih dalam ke berbagai budaya di Indonesia. Misalnya, bebainan dalam budaya Bali; di mana masyarakat setempat menganggap bahwa kesurupan berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara sekala dan niskala—dewa dan manusia. Penganut kepercayaan Hindu di Bali mempercayai dewa dan leluhur sebagai pengejawantahan dari sinar suci. Ketika ritual tertentu, para dewa dipendak (diundang) untuk datang dan nyejer (menempati tahta) selama berlangsungnya ritual tersebut. Dalam masa nyejer inilah umat memperoleh kesempatan untuk menghaturkan sembah seraya berkomunikasi dengan para junjungannya, antara lain dengan cara kesurupan (Putrawan, 2007). Contoh kesurupan yang lain adalah pertunjukan tari Kuda Lumping. Dalam penelitian studi kasusnya, Kuda Lumping dan Fenomena Kesurupan Massal, Lucy Angela Clare Springate memaparkan dua data kesimpulan yang diperolehnya usai wawancara dengan beberapa kelompok pemain Kuda Lumping. Pertama, tari Kuda Lumping, meski kerap dibumbui dengan fenomena kesurupan, merupakan salah satu jenis kesenian dalam budaya Jawa. Kedua, tari ini justru dianggap oleh masyarakat setempat sebagai upaya untuk melestarikan tradisi yang notabene telah ada sejak berabad-abad silam. Karenanya, perspektif budaya dalam konteks kedua penelitian di atas terbilang sebangun dengan pendekatan Emic. Sebab perilaku atau nilai-nilai tersebut hanya ditemukan dan benar pada satu budaya yang mana tak bisa digeneralisasi, yakni pada budaya Jawa dan Bali. 4 Intervensi & Kesimpulan Agaknya metode intervensi mesti dimodifikasi guna meningkatkan kecocokan dengan cara pandang klien yang berbeda kulturnya. Pendekatan psikoanalisis, misalnya, berasumsi bahwa konflik yang tak disadari (khususnya seksual) dapat menimbulkan perilaku abnormal. Barangkali cara pandang ini mencerminkan pengalaman dari wanita Austria yang diberi treatment oleh Freud dan mendasarkan kesesuaian dengan beberapa asumsi teoretisnya. Tentu saja, pendekatan teraupetik yang semacam ini terbukti tak sesuai dengan kultur yang mengatribusikan abnormalitas kepada tradisi atau hal-hal yang gaib. Sebagai contoh, upacara rohani yang dilakukan oleh seorang dukun pribumi (imam atau penyembuh) mungkin terbukti menjadi treatment yang efektif bagi culture-bound syndrom dibanding teori kognitif-behavioral yang secara khas digunakan Amerika Serikat (Dayaksini dan Yuniardi, 2008). Pada umumnya belum ada kesepakatan pendapat tentang kesurupan: apakah hanya terkait budaya tertentu, atau merupakan bagian dari gangguan mental. Di sini penulis mengambil posisi yang asumtif bahwa bila kesurupan terjadi karena konflik dan stres, maka keadaan ini dinamai “reaksi disosiatif”; sedangkan bila disosiatif terjadi karena pengaruh kepercayaan dan kebudayaan, maka dinamai “kesurupan”. Dengan demikian, pendekatan terapi maupun intervensi semestinya memperhatikan latar belakang budaya agar dapat memberikan intervensi yang sesuai dengan gangguan yang dialami oleh klien. 5 Daftar Pustaka Davis, J. (2013). Transpersonal Psychology. Diakses pada tanggal 7 April 2015 dari sumber http://www.johnvdavis.com. Dayaksini, T., Yuniardi, S. (2008). Psikologi Lintas Budaya. Edisi Revisi. Malang: UMM Press. Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harsono. (2012). Gambaran Trans Disosiatif pada Mahasiswi. Journal of Social and Industrial Psychology, 1(2), 59-64. La Kahija, Y.F. (2006). Psikologi Transpersonal. Makalah dipresentasikan dalam Kuliah Umum pada Fakultas Psikologi, Universitas Diponegoro, pada tanggal 24 November 2006. Putrawan, N. (2007). Kesurupan: Membahas Tradisi Kerauhan di Bali. Denpasar: Majalah Hindu Raditya. Shiraev, E.B., Levy, D. (2012). Psikologi Lintas Cultural (Pemikiran Kritis dan Terapan Modern) edisi keempat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Springate, L.A.C. (2009). Kuda Lumping dan Fenomena Kesurupan Massal: Dua Studi Kasus tentang Kesurupan dalam Kebudyaan Jawa. Laporan penelitian. Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMM. Sri Diniari, N.K. (2012). Kesurupan, Tinjauan dari Sudut Budaya dan Psikiatri, 43(1), 37-39. 6