(Epiphytic and Ice-Ice) of Kappaficus alvaresii and Its Effect on

advertisement
STUDI PENYAKIT RUMPUT LAUT (EPIFIT DAN ICE ICE) PADA RUMPUT
LAUT, Kappaficus alvarezii DAN PENGARUHNYA PADA PERTUMBUHAN DAN
KUALITAS KARANGINAN
Alexander Rantetondok1) dan Gunarto Latama1)
1)
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin, Makassar
e-mai: [email protected]
ABSTRAK
Rumput laut merupakan salah satu komoditi eksport Indonesia yang banyak dibudidayakan
masyarakat pesisir di Sulawesi Selatan. Kegiatan budidaya rumput laut telah banyak membantu
masyarakat dalam meningkatkan pendapatan mereka, bahkan Indonesia telah menjadi pengekspor
rumput laut yang menghasilkan Kappa karanginan terbesar didunia saat ini. Kappa karanginan
dibutuhkan untukbahan baku industri farmasi, kosmetik, industri pangan dan industri lainnya.
Dalam budidaya rumput laut seringkali terjadi kegagalan panen yang disebabkan oleh
penyakit. Penyakit yang telah diidentifikasi pada budidaya rumput laut yaitu penyakit epifit dan
ice ice. Untuk itu studi mengenai keberadaan penyakit ini yang terdiri dari penyebab penyakit dan
pengaruhnya terhadap pertumbuhan rumput laut dan kualitas karenginan dilakukan untuk
mengatasi penyakit ini dimasa yang akan datang.
Penelitian ini dilakukan di Perairan Teluk Malosoro, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi
Selatan; untuk pengamatan pertumbuhan dilakukan secara “in situ” dan dilihat pengaruh penyakit
terhadap kemampuan rumput laut bertahan pada bentangan dan pertumbuhan mutlak, sedangkan
pengamatan kadar karanginan dilakukan di Labotatorim dengan menggunakan rancangan acak
lengkap (RAL). Data pertumbuhan dan kandungan karanginan dianalisis dengan sidik ragam
(ANOVA).
Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa keberadaan penyakit rumput laut memberikan
pengaruh pada kemampuan rumput laut bertahan pada tali bentangan dan pertumbuhan mutlak
rumput laut selama pemeliharaan.
Kata Kunci : epifit, ice ice, rumput laut, Kappaficus alvarezii, karanginan.
1
Study on Seaweed Diseases (Epiphytic and Ice-Ice) of Kappaficus alvaresii and Its
Effect on Growth and Carrangeenan Quality
Alexander Rantetondok1) and Gunarto Latama,1)
1)Faculty
of Marine Science and Fisheries, Hasanuddin University,
Makassar, Imdonesia
e-mai: [email protected]
ABSTRACT
Seaweed is one of the commodities export of Indonesia which most cultured by fish farmes
in coastal area of South Sulawesi. Recenly the activity of seaweed culture have been made
most contribution to the income of the fish farmers in Indonesia. Nowday Indonesia is the
biggest exorter for the sea weed which produce carranginan in the world.
Kappa
caraanginan is a row material for mostl farmacian industry, food industry and others.
. The failure of cultivation in seaweed usually caused by diseases. The ice-ice and
epiphytic have been identificated as a cause of diseases on seaweed Kappaficus alvaresii.
Therefore the study on sea weed diseases and its effect on the growth of this species and
carranginan quality is needed to control this such diseases in the future.
This research was conducted at Malosoro Bay waters, Jeneponto Region of South
Sulawesi. The observations on the growth of seaweed and the effect of the diseases on the
growth and the ability of resistant on the long line culture,were conducted “insitu” While
the observation on the quality of carranginan was conducted in the laboratory using the
Completally Randomizes Design. Growth data and content of carranginan was analyzed
using One way ANOVA.
The results showed that there was significant effect (P<0.05) of the existence of these
diseases on the ability for resistant on the long line culture and its growth and the
carranginan content of this species.
Key Words : carrangeenan, ice ice, epiphytic, Kappaficus alvarezii, seaweed,
2
PENDAHULUAN
1. Potensi Budidaya Rumput Laut di Indonesia
Indonesia adalah penghasil rumput laut terkemuka di dunia dan yang saat ini
ekspor rumput laut Indonesia sudah mencapai jumlah ekspor yang mencapai 169.113 ton
(berat kering) dengan nilai $ 134.348.000 (Statistik Departemen Perdagangan, 2012).
Sulawesi merupakan penghasil rumput laut terbesar di Indonesia, dimana lebih dari 60%
produksi rumput laut Indonesia berasal dari daerah ini.
Potensi budidaya rumput laut untuk Sulawesi Selatan saja cukup besar dengan
panjang pantai mencapai 1.937 km dan areal yang potensil seluas dapat digunakan untuk
kegiatan budidaya rumput laut dengan luas 749.79 km2 dan yang sudah dikelola mencapai
460 km2, untuk budidaya laut Rumput laut jenis Kappaphycus sp. Untuk rumput laut yang
dibudidayakan di tambak, terdapat 250.000 Ha potensi, dan yang telah berproduksi seluas
90.000 Ha. Dengan produksi masing-masing pada 1. luas areal budidaya rumput laut,
seluas Sul-Sel 250.000 Ha, tambak, dan 90.000 Ha yang tergarap, terbesar di Indonesia.
Produksi rumput laut Sul-Sel, 2011: 1.517.690 ton (basah): Kappaphycus sp, 1.087.678 ton
(basah), Gracillaria sp. sebesar 430.012 ton (basah).Di Sulawesi Selatan terdapat sekitar
lebih dari 50.000 keluarga nelayan yang terlibat dalam pembudidaya rumput laut.
Budidaya rumput laut telah dirasakan masyarakat pembudidaya rumput laut dalam
meningkatkan taraf hidup mereka.
2. Pentingnya Penelitian Rumput Laut
Meskipun budidaya rumput laut sangat menjanjikan namun kegiatan budidaya
tersebut terdapat banyak kendala. Hasil penelitian dan pengalaman petani menunjukkan
bahwa terjadi penurunan kualitas benih rumput laut
yang berakibat pada semakin
menurunnya produksi yang disebabkan oleh penggunaan stek bibit (tallus) secara berulang,
disamping itu budidaya rumput laut sering diserang penyakitseperti penyakit parasit epifit,
ice-ice dan lain-lain, yang menyebabkan gagal panen dan kerugian yang besar diderita
pembudidaya rumput laut, teknik budidaya yang tidak mengalam perkembangan, pengaruh
budidaya rumpu laut terhadap lingkungannya serta proses penanganan pasca panen yang
masih menjadi kendala dalam hal proses untuk menjaga kualitas agar tetap tinggi dan
3
sangat sedikitnya studi mengenai pemanfaatan rumput laut menjadi bahan untuk menjadi
bahan-bahan yang dapat digunakan seperti bahan makanan, kosmetik dan obat-obatan serta
bahan siap dimanfaatkan lainnya sehingga meningkatkan nilai tambah yang tinggi dan
dapat membuka lapangan kerja pada industri hilir sehingga ekspor yang dilakukan bukan
dalam bentuk pada umumnya bahan mentah rumput laut atau hanya dalam bentuk chips
atau semicarengenan seperti sekarang ini, tetapi bahan jadi yang siap dikonsumsi.
Demikian hal dalam tataniaga rumput laut yang perlu dikaji agar bisa memberikan harga
yang layak bagi semua kegiatan di bidang rumput laut pada semua lini mulai dari
pembudidaya rumput laut, pedagang pengumpul, koperasi dan industri.
Budidaya rumput laut yang dilakukan di laut dan di tambak secara umum secara
umum dapat dikategorikan pada masalah rumput laut masalah rumput laut yaitu:
Kebutuhan bibit meningkat seiring dengan perkembangan budidaya rumput laut, akan
tetapi penyediaan bibit belum sesuai dengan kebutuhan dalam jumlah, mutu, waktu dan
harga.
Kualitas bibit yang diambil dari hasil panen pembudidaya rumput laut
memperlihatkan kualitasnya cendrung menurun yang disebabkan oleh penggunaan stek
bibit (tallus) secara berulang, disamping itu budidaya rumput laut sering diserang penyakit;
ice-ice, parasit dan perumbahan lingkungan dan lain-lain, yang menyebabkan gagal panen
dan kerugian yang besar diderita pembudidaya rumput laut. Dalam pengolahan rumput
laut, proses rumput laut hanya sampai pada bahan mentah atau setengah jadi yaitu diekspor
dalam bentuk ATC (Alkaline Treated Cottonii), Semi Refine Carrageenan (SRC) atau
Refine Carrageenan (RC), sehingga nilai tambah yang optimal masih mungkin dilakukan
dimasa-masa yang akan datang dengan menciptakan produk rumput laut yang siap
dikonsumsi.
Hal lain yang juga menjadi masalah dalam budidaya rumput laut adalah
produktivitas yang masih berfluktuasi dan masih banyaknya potensi lahan yang belum
dimanfaatkan dengan tata ruang budidaya sesuai. Mutu produk relatif rendah antara lain
disebabkan oleh: umur panen yang tidak cukup ditandai oleh variasi kadar keraginan,
sanitasi, kadar air dan kekentalan yang rendah. Dalam budidaya rumput laut, penyakit juga
merupakan salah satu kendala yang mucul pada bulan-bulan tertentu.
Dalam kegiatan budidaya yang semakin berkembang maka pengaruh terhadap
lingkungan perairan perlu dikaji sehingga keberadaan kegiatan budidaya tidak merusak
4
lingkungan, seperti lingkungan karang atau lamun yang berkompetisi dalam hal penetrasi
cahaya matahari dan nutrien di perairan tersebut.
Penanganan pasca panen juga masih terkendala dalam hubungannya dengan
pengeringan utamanya di waktu musim hujan dan teknik pengeringan masih sederhana dan
tidak memperhatikan kualitas rumput laut dari hasil proses tersebut seperti pengeringan
diatas pasir, dipinggir jalan dan lain-lain teknik-teknik lainnya yang kurang mendukung
didapatkannya produk rumput laut yang berkualitas. Pengolahan rumput laut juga hanya
sampai pada pengolahan rumput laut dari bahan mentah atau setengah jadi yaitu rumput
laut kering, yang diproses menjadi chips dan semi refine carangenan, kemudian di ekspor.
Rendahnya perhatian dalam membuat suatu perencanaan agar bisa meningkatkan
nilai tambah yang maksimal seperti perencananaan kegiatan yang membuat kajian sampai
pada tahap implementasi suatu kegiatan dari hulu ke hilir atau dari produksi budidaya
sampai ke kegiatan produksi bahan yang siap pakai. Produksi rumput laut saat ini hanya
bertumpu pada 2 (dua) genus yaitu Kappaphycus spp yang dipelihara di laut dan
Gracillaria spp yang dipelihara di tambak yang kedua genus tersebut pertama kali
dikembangkan di Philipina. Indonesia yang kaya akan plasma nutfah sangat menjanjikan,
ditemukannya jenis-jenis rumput laut yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomis
penting yang juga perlu dikaji dan dikembangkan dimasa-masa yang akan datang.
Pada aspek sosial, kegiatan budidaya sering menimbulkan ketegangan sosial yang
mempunyai potensi konflik sehubungan pemakaian jalur transportasi nelayan dan areal
penangkapan untuk kegiatan budidaya rumput laut.
Beberapa tempat, area budidaya
rumput laut juga dijadikan mahar untuk perkawinan. Untuk masalah ekonomi, utamanya
pada rantai tataniaga rumput laut laut, perlu mendapat perhatian agar harga pada tingkat
petani rumput laut yang sangat fluktuatif dapat diatasi serta pemberian insentif bagi rumput
laut yang berkualitas baik perlu difikirkan untuk menjaga kualitas rumput laut dimasa yang
akan datang.
3. Objek kajian penelitian
Beberapa hal untuk berhubungan denga aspek sosial ekonomi yang mempengaruhi
kegiatan ekonomi rumput laut: 1. Lemahnya kelembagaan pada on farm, akses pada
sumber inovasi, informasi pasar, jaminan pasar, permodalan dan kemitraan yang masih
5
lemah. 2. Keterbatasan permodalan untuk pengembangan usaha. 3. Sumberdaya manusia
yang mengelolah usaha tersebut masih sangat minim baik dari segi pengetahuan maupun
keterampilannya. 4. Minimnya jaringan dan kemitraan antara petani, pengolah,
pengusaha/swasta dan pemerintah. 5. Minimnya sarana dan prasarana penunjang untuk
kelancaran produksi dan pemasaran produk olahan yang dihasilkan.
Banyaknya masalah tersebut menyebabkan dibutuhkannya suatu wahana dalam
bentuk pusat unggulan sehingga penyelesaian masalah yang berhubungan dengan budidaya
rumput lautmulai dari penyediaan bibit unggul rumput laut, perbaikan teknik pembesaran,
penanganan hama dan penyakit, manajemen dan lingkungan sampai pada penanganan
pasca panennya yang dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi dalam bentuk produk
olahan atau prototipe produk untuk industri serta masalah sosial dan ekonomi yang
ditimbulkannya dapat diatasi dan dilakukan secara menyeluruh dan konprehensif yang
mempertimbang berbagai segi dalam mengatasi masalah tersebut.
Hasil kajian/penelitian akan dilakukan diseminasi pada masyarakat atau “stake
holder”, sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat dan meningkatkan daya saing bangsa.
METODE PENELITIAN
1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di desa Libukang, Kab. Jeneponto, Sulawesi Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - November 2014.Pengambilan sampel rumput
laut di perairan Libukang, Kabupaten Jeneponto.Pengamatan penyakit ice-icedan epifit
dilakukan di Lapangan dan Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan Jurusan Perikanan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar.
2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pengamatan isolasi dan identifikasi dapat
dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Alat –alat yang digunakan selama penelitian beserta fungsinya.
Alat
Fungsi
Autoklaf
Sterilisasi berbagai alat dan bahan
Tabung Reaksi
pembuatan media agar tegak dan miring
Jarum ose
Memindahkan mikroba dari sediaan ke
dalam media
Gelas ukur
Mengukur volume suatu cairan.
Hot plate
Menghomogenkan suatu larutan dengan
pengadukan
Magnetik
Menghomogenkan suatu larutan dengan
pengadukan
Cawan petri
Membiakan (kultivasi) mikroorganisme
Bunsen
Menciptakan keadaan steril
Inkubator
memeram mikroba dalam suhu
terkontrol agar mikroba dapat tumbuh
dengan baik di media.
Salinometer
Mengukur kadar garam.
spektrofotometer
Pengukuran kadar phosfat dan NItrat
didalam air
3. Prosedur Penelitian
3.1 Bahan uji
Tanaman uji yang digunakan yaitu rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii, yang
diambil dari lokasi penelitian yaitu di perairan Libukang Kabupaten Jeneponto.
3.2. Persiapan Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian distrerilkan dengan menggunakan 2
strerilisasi yaitu sterilisasi basah dan strerilisasi kering. Sterilisasi basah dilakukan untuk
alat dan media yang tidak tahan pada panas, dengan menggunakan autoklaf tekanan 1 atm,
suhu 121°C selama 15 menit. Strerilisasi kering dilakukan untuk mensterilikan alat yang
tahan panas, dengan menggunakan oven pada suhu 180°C selama 2 jam.
7
3.3 Identifikasi Sampel
Sampel untuk isolasi dan identifikasi bakteri berasal dari thallus rumput laut
Kappaphycus alvarezii yang terserang penyakit ice-ice . Sebanyak 5-10 % sampel tallus
yang terserang penyakit ice-ice diambil dari beberapa rumpun secara acak. Selanjutnya,
tallus dimasukkan ke dalam kantong plastik steril. Seluruh sampel dimasukkan ke dalam
cool box yang telah ditambahkan batu es untuk selanjutnya dianalisis di Laboratorium.
3.4 Isolasi akteri dari Rumput Laut Kappaphycus alvarezii.
Sampel rumput laut Kappaphycus alvarezii yang terserang penyakit ice-ice dicuci
dengan menggunakan akuades untuk menghilangkan kotoran yang menempel, sampel
kemudian dipotong sampai kecil, sampel dengan 1 g dimasukkan dalam tabung reaksi yang
berisi 9 mL larutan fisiologis NaCl 0,9%, kemudian dihomogenkan dengan menggunakan
vortex (larutan stok). Untuk membuat pengenceran 10ˉ¹, diambil 1 mL dari larutan stok
kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi yang berisi 9 mL larutan fisiologis NaCl 0,9%.
Untuk pengenceran 10ˉ² dibuat dengan mengambil 1 mL dari larutan 10ˉ¹ kemudian
dihomogenkan dengan menggunakan vortex selama 5 menit. Begitu seterusnya sampai
pada pengenceran 10-5 . Dari masing-masing pengenceran dipipet 1 mL dan dimasukkan
dalam cawan petri, kemudian dituang 20 mL media TSA pada cawan petri yang berisi
masing-masing tingkat pengenceran bakteri. Setelah itu diaduk dengan gerakan memutar
sehingga merata.Media yang berisi inokulasi bakteri dibiarkan memadat dan diinkubasi
dalam autoklaf pada suhu 37°C selama 24 jam.
Koloni yang diperlukan dari kultur tersebut dipindahkan dengan mengambil 1 ose
koloni bakteri kemudian digores dalam media TSA baru dalam cawan petri, setelah itu
diinkubasi selama 24 jam.
8
3.5. Parameter penelitian
3.5.1 Pengukuran Peubah
Adapun peubah yang diamati adalah pertumbuhan yang datanya diambil setiap 10
(sepuluh) hari sekali selama empat kali, sedangkan kandungan rendamen karaginan
datanya diambil setelah penelitian berakhir melalui analisa laboratorium.
3.5.2. Laju Pertumbuhan Harian
Peubah yang diamati adalah laju pertumbuhan harian (LPH), berat rumput laut yang
diperoleh melalui penimbangan setiap minggu selama 7 mninggu (49) hari. Laju
pertumbuhan harian rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus (Poncomulyo, dkk.
2006) sebagai berikut :
Ln Wt - Ln W0
LPH
=
x 100 %
t
Keterangan :
LPH
= Laju pertumbuhan spesifik harian rumput laut (% /hari)
Wt = Berat rumput laut pada waktu t (g)
W0
= Berat awal rumput laut (g)
t = Lama hari pemeliharaan (hari)
3.5.3. Kandungan Karaginan
Persentase kandungan karaginan rumput laut K. alvarezii dapat dihitung dengan
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Boot (1975, dalam Gimaruddin, 2006)
sebagai berikut :
Berat karaginan
Karaginan
=
x 100%
Berat rumput laut kering
9
3.5.4. Parameter Kualitas Air
Sebagai data penunjang maka dilakukan pengukuran parameter fisika-kimia perairan
pada masing-masing lokasi penelitian yang meliputi : Suhu, kecerahan, kecepartan arus,
pH, salinitas, semua parameter tersebut diamati langsung dilapangan. Sedangkan Nitrat,
Fosfat dan Amonium diukur dengan menggunakan Spectofotometer di laboratorium.
5. Analisis Data
Data pertumbuhan berat spesifik harian selama penelitian, dan kandungan karanginan
selanjutnya dilakukan analisis varian (ANOVA)). Karena perlakuann berpengaruh nyata
(P < 0,05) terhadap laju pertumbuhan berat spesifik harian dan kandungan karaginan,
sehingga dilanjutkan dengan uji Tukey
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Prevalensi
Keberadaan penyakit rumput laut disebabkan oleh epifit dapat menyebabkan
rumput laut mudah terserang bakteri yang ada dilingkungan perairan (Vairappam, 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa kadangkala keberadaan epifit diikuti oleh keberadaan ice-ice.
Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa prevalensi epifit dapat mencapai 70-75
% (Borlongan et al., 2011) dan ice ice menurunkan produksi rumput laut dari 25 – 40 %
(Trono, 2003 di dalam Mendoza et al., 2003).
Penyakit epifit merupakan merupakan salah penyakit parasite rumput laut yang
dapat menyebabkan kegagalan panen. Penyakit ini disebabkan oleh parasit Neosiphonia
apiculata, (Vairappan et al., 2008). Juga disebabkan oleh perubahan drastis dari salinitas
dan suhu (Vairappan, 2006).
Infeksi epifit dpat terjadi pada seluruh permukaan thalus
rumput laut (Gambar 5). Dari data yang didapatkan memperlihatkan bahwa epifit juga
mempengaruhi kemampuan thalus bertahan di tali bentangan selam pemeliharaan.
10
Gambar 5. Infeksi epifit pada permukaan thalus rumput laut
Untuk penyakit ice ice, infeksi dimulai pada pangkal thalus serta bagian ujung thalus
(Gambar 6).
Gambar 6. Thalus rumput laut yang terinfeksi ice ice
11
Penyakit ice ice ditandai dengan bagian yang terserang berwarna putih yang sangat rapuh,
apabila penyakit ini meyerang pada bagian pangkal tempat mengikat rumput laut, dapat
menyebabkan terlepasnya rumput laut dari tali bentangan.
Dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan rumput laut bertahan pada tali bentangan
menyebabkan kurang dari 20% yang bisa bertahan pada tali bentangan selama
% yang bertahan dibentangan
pemeliharaan (Gambar 7).
100
80
60
40
20
0
H10
H20
H30
Lama Pemeliharaan
Kontrol
Ice Ice
H40
Epifit
Gambar 7. Kemampuan bertahan pada tali bentangan selama
pemeliharaan
Disamping menyebabkan mortalitas yang tinggi, juga dapat menurunkan kualitas
karangenan berupa penurunan viskositas, “gel strength” (Mendoza et al., 2003)
2. Pertumbuhan
Dalam
masa
pemeliharaan
selama
penelitian
terlihat
bahwa
rendahnya
pertumbuhan terjadi pada semua perlakukan, hal ini terjadi karena pada masa tersebut
adalah waktu dimana keberadaan nutrient utamanya fosfat dan nitrat di perairan yang
sangat rendah bahkan ada waktu dimana keberadaan fosfat tersebut dalam jumlah yang
sangat rendah sehingga tidak terbaca oleh alat pengukur nutrien (Tabel 1).
12
Tabel 1. Data Kualitas Air selama penelitian
No.
Waktu
1
2
3
4
5
H0
H10
H20
H30
H40
PO4 (ppm)
tt
0.31
0.36
tt
tt
Parameter
NO3 (ppm)
0.005
0.170
0.087
0.082
0.070
Pengaruh keberadaan infeksi epifit dan ice ice dapat menekan pertumbuhan rumput
laut.
Dari hasil pengamatan memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan yang lebih
rendah pada rumput laut yang terinfeksi epfit dan ice ice (Gambar 8).
Laju Pertumbuhan Mutlak (%)
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
Kontrol
Ice-ice
Epifit
Perlakukan
Gambar 8. Pertumbuhan mutlak selama penelitan (40 hari)
3. Kualitas Karangenan
Dari pengamatan memperlihatkan bahwa keberadaan infeksi parasit epifid dan
penyakit ice ice tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap kualitas karangenan
(Gambar 9). Hal ini disebabkan oleh proporsi bagian thalus yang terinfeksi karangenan
hanya sekitar 1% dari keseluruhan thalus rumput laut ((Mendoza et al., 2003).
13
Kandungan Karangenan (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
Kontrol
Ice ice
Epifit
Perlakuan
Gambar 9. Kandungan karangenan selama penelitan (40 hari)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
-
Penyakit epifit dan ice ice merupakan penyakit rumput laut yang umum ditemukan
di Kab. Jeneponto dan sekitarnya.
-
Keberadaan penyakit rumput laut utamanya ice ice dapat menurunkan produksi
budidaya rumput laut karena kegagalan panen yang disebabkan oleh rumput laut
yang terinfeksi, tidak kuat bertahan pada tali bentangan.
-
Keberadaan penyakit rumput laut juga mempengaruhi pertumbuhan rumput laut
dimana rumput laut yang terinfeksi memperlihatkan pertumbuhan yang rendah.
Saran
-
Perlu diupayakan teknik penanggulangan penyakit rumput laut dimasa yang akan
datang.
-
Tidak menggunakan thalus yang mengadung penyakit dalam kegiatan budidaya
rumput laut utamanya infeksi yang disebabkan oleh ice ice.
14
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E., dan E. Liviawati. 1993, Budidaya Rumput Laut dan cara Pengolahannya.
Bhratara. Jakarta.
Anggadiredja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto dan S. Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal 6-39
Anggadiredja, J., 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya. Jakarta. 134 hal.
Anonymous. 2005. Prospect and Perspective of the Seaweed Industry for Building
Capacities of Lokal Communities to Cope with Globalization (presentasi).
Seaweed Industry Association of the Philipines.
Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta.
Aslan, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Aslan, L.M., 1998, Budidaya Rumput Laut, Kanisius, Yogyakarta.
Atmadja, W. S dan Sulistijo, 1977. Usaha pemanfaatan bibit Stek Alga Laut Eucheuma
Spinosum (L) J. Agradh di Pulau-pulau Seribu untuk dibudidayakan. Dalam :
Teluk
Jakarta,
Sumberdaya,
Sifat-sifat
Oseanologis
serta
permasalahannya.Editor : M. Hutomo, K. Romimohtarto dan Burhanuddin. LONLIPI, Jakarta : hal 433-449.
Atmadja, W. S., A. Kadi, Sulistijo dan R. Satari. 1996. Pengenalan Jenis Algae Merah
(Rhodophyta). Pengenalan Jenis-Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang
Oseanologi LIPI. Jakarta. Desember 1996. Hal 191
Atmadja, W.S. dan Sulistijo. 1977. Beberapa Catatan tentang biota penempel dalam
percobaan budidaya Eucheuma Spinosum di beberapa goba dalam daerah
terumbu karang pulau Pari. Makalah Seminar Biologi V di Malang,Juli 1977 : 11
hal.
Baraca, Ruben T.1989. Perfomance of euchema (seaweed) in Indonesia : Part I Agronomic
Characters. FMC_Marine Coloids Division. Philippines.
Baweja, P., Sahoo, D., Jimenez, P.G., Robaina, R.R. 2009. Seaweed tissue culture as
applied to biotechnology; problems, achievements and prospects. Phycological
Research, 57: 45-58.
Baweja, P., Sahoo, D., Jimenez, P.G., Robaina, R.R. 2009. Seaweed tissue culture as
applied to biotechnology; problems, achievements and prospects. Phycological
Research, 57: 45-58.
Bixler, H.J and Porse, H. 2011. A decade of change in the seaweed hydrocolloids industry.
J. Appl Phycol. 23: 321-335.
15
Bixler, H.J and Porse, H. 2011. A decade of change in the seaweed hydrocolloids industry.
J. Appl Phycol. 23: 321-335.
Bold HC, and MJ Wynne. 1985. Introduction to Alggae Structure and Reproduction. 2nd
ed. Englewood Cliffs NJ: Prentice-Hal, 706 pp.
Borlongan, I. A. G., K. R. Tibubos, D. A. T. Yunque, A. Q. Hurtado and A. T. Critchley.
2011. "Impact of AMPEP on the growth and occurrence of epiphytic Neosiphonia
infestation on two varietiesof commercially cultivated Kappaphycus alvarezii
grown at different depths in the Philippines." J Appl Phycol 23: 615–621.
Darmayasa. I.G.P, 1988. Studi Perbandinga Laju Pertumbuhan Alga Merah Euchema
spinopsium (L) J. Agardhi pada Kedalaman yang Berbeda di Perairan Pantai
Beger, Nusa Dua Bali. Karya Ilmiah Fakultas PerikananInstitut Pertanian bogor.
59 hal.
Dawes CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons University of South Florida. New
York. 268 p.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput
LautEucheuma spp. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan. 2008. Masterplan Pengembangan Budidaya Payau
diIndonesia. Direktoral Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta
Direktorat Jenderal Perikanan. 2004. Hama dan Penyakit Rumput Laut.
Ditjenkan Budidaya. 2005. Profil Rumput Laut. Balai Budidaya Laut Lampung.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Hal 3-8
Doty, M. S. 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawaii. Sea Grant Report.
Unihi Seagrant.United States of amerika.
Doty, M.S. 1985. Eucheuma alvarezii sp.nov (Gigartinales, Rhodophyta) from Malaysia.
In: Abbot I.A. and J.N. Norris (editors). Taxonomy of Economic Seaweeds.
California Sea Grant College Program. p 37 - 45.
Doty, M.S. 1986. Biotechnological and Economic Approaches to Industrial Development
Based on Marine Algae in Indonesia. Workshop on Marine Algae Biotechnology.
Summary Report.: National Academic Press. Washington DC. p 31-34.
Fazal, S., 2008, GIS Basics, New Age International (P) Limited Publishers, New Delhi.
Glicksman M. 1983. Food Hydrocolloid. Vol II. Florida: Inc Boca Raton. CRC Press.
Harris, V dan Stauffer R. 2004. Cladophora Research and Management in The Great
Lakes. Proceedings of a Workshop Held at the Great Lakes WaterInstitute,
University of Wisconsin-Milwaukee. United States of America
16
Ibrahim,Irwan,2002.StudiPembuatan KamabokoIkanBelut(Monopterusalbus)dengan
Berbagai SuhuPerebusan dan Konsentrasi Tepung Terigu. Skripsi. Institut
PertanianBogor.
Iksan, K. H. 2005. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut (Eucheuma cattonii), dan
kandungan Karaginan pada berbagai Bobot Bibit dan Asal Thallus di perairan
desa Guraping Oba Maluku Utara. Tesis (tidak dipublukasikan). Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor
Imah, ZunnaZA, 2002. StudiPembuatanKamabokoIkan NilaMerah (Oreochromi ssp)
dengan Berbagai Pencuciandan Jenis Bahan Pengikat.Skripsi. Institut
PertanianBogor.
Indriani, H. dan E. Sumiarsih. 1991. Budidaya, Pengelolaan dan Pemasaran Rumput Laut.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Indriani, H., dan E. Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut
(cetakan 7), Penebar Swadaya, Jakarta.
Istini. S., A. Zatnika., Suhaimi. 2003. Manfaat
JurnalPenelitian,BPPT.NoXIV.Jakarta.
dan
Pengolahan RumputLaut.
JurnalTeknologiPangandanAgroindustri,2010.Jurnal
Teknologi
Agroindustri, Volume1Nomor 3.Institut Pertanian Bogor.
Pangan
dan
Kadi A dan WS Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi, Produksi,
Budidaya dan Pasca Panen. PPPO LIPI Jakarta.
Kolang, M., X, Lalu, dan H, Korah. 1996. Panduan Budidaya dan Pengolahan Rumput
Laut. Dinas Perikanan Sulawesi Utara. Manado.
Kusuma AA, 2011. AplikasiAsap CairRedestilasi Pada Karakterisasi KamabokoIkan
Tongkol (Euthynus
Affinis) Ditinjau Dari Tingkat Keawetan Dan
Kesukaan Konsumen.UniversitasSebelasMaret.
Lewis SM, JN Norris and RB Searles 1987. The Regulation of Morphological Plasticity on
Tropical Reef Algae by Herbivor, Ecology 68 pp.
Lundsor, E. 2002. Eucheuma Farming in Zanbibar. Broadeast System, an Alternative
Method for Seaweed Farming. Thesis. Candidate Scientiarum in matine Biology.
University of Bergen.
Luning, K and Pang, S. 2003. Mass cultivation of seaweed : current aspects and
approaches. Journal of Applied Phycology, 15 : 115-119.
Luning, K and Pang, S. 2003. Mass cultivation of seaweed : current aspects and
approaches. Journal of Applied Phycology, 15 : 115-119.
17
Lyzenga, D.R., 1981, Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water Attenuation
Parameter in Shallow Water using Aircraft and Landsat Data, International Journal
of Remote Sensing, 2, 71 – 82.
Malik,I.2010.Permen
iwanmalik.wordpress.com/2010/04/22/permenjelly/.Diaksespada
tanggal20Oktober2011.
Jelly.
Marwita,R.2008.PenerimaanKonsumendanMutuPermen JellyyangDiolahdariRumput
Laut. Skripsi. Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, Universitas
Riau. Pekanbaru.
Mather, P.M. and Koch, M., 2011, Computer Processing of Remotely-Sensed Images : An
Introduction, Fourth edition, John Wiley & Sons Ltd, West Sussex, UK.
Mendoza, W. G., N. E. Montaño, E. T. Ganzon-Fortes and R. D. Villanueva. 2003.
"Chemical and gelling profile of ice-ice infected carrageenan from Kappaphycus
striatum (Schmitz) Doty “sacol” strain (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta)."
Journal of Applied Phycology 14: 409–418.
Mubarak, H., dan I.S. Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut Eucheuma
spinosum di Perairan Lorok Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bul.
Panel. Perikanan Vol. 1 No. 2. Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan. hal : 157-166.
Muchtadi, D. 2000. Sayur-sayuransumberserat danantioksidan: mencegahpenyakit
degeneratif. JurusanTeknologiPangandanGizi,FakultasTeknologiPertanian,Institut
PertanianBogor,Bogor.
Ngang dan Kusen, 1998. Faktor Lingkungan Budidaya Rumput Laut di Desa Serey
Kecamatan Likupang Minahasa. Laporan Penelitian fakultas perikanan
Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Indonesia. Disampaikan
pada Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Pengembangan Budidaya Rumput
Laut, 12 September 2006 di Makassar. 35 pp.
Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di Indonesia. Disampaikan
pada Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Pengembangan Budidaya Rumput
Laut, 12 September 2006 di Makassar. 35 pp.
Poncomulyo, T, dkk. 2006. Budi Daya Dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta Selatan: PT
Agro Media Pustaka.
Reddy, C.R.K., Jha, B., Fujita, Y and Ohno, M. 2008. Seaweed micropropagation
technique and their potentials : an overview. J. appl Phycol 20 : 609-617.
Reddy, C.R.K., Jha, B., Fujita, Y and Ohno, M. 2008. Seaweed micropropagation
technique and their potentials : an overview. J. appl Phycol 20 : 609-617.
18
Rojas, J.O and Robledo, D. 2002. Studies on the tropical agarophyte Gracilaria cornea J.
Agardh (Rhodophyta, Gracilariales) from Yucatan, Mexico. II. Biomass
Assessment and Reproductive Phenology. Botanica Marina (45) : 459-464.
Rojas, J.O and Robledo, D. 2002. Studies on the tropical agarophyte Gracilaria cornea J.
Agardh (Rhodophyta, Gracilariales) from Yucatan, Mexico. II. Biomass
Assessment and Reproductive Phenology. Botanica Marina (45) : 459-464.
Rorrer, G.L and Cheney, D.P. 2004. Bioprocess engineering of cell and tissue cultures for
marine seaweed. Aquacultural Engineering 32 : 11-41.
Rorrer, G.L and Cheney, D.P. 2004. Bioprocess engineering of cell and tissue cultures for
marine seaweed. Aquacultural Engineering 32 : 11-41.
Sadhori. S.N, 1989. Budidaya Rumput Laut. Jakarta: Balai Pustaka.
Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Universitas
Gadjah Mada. 754 hal.
SNI
(Standar Nasional Indonesia) 3574.2-2008.
BadanStandarisasiNasional,Jakarta.
Mutu
Kembang GulaLunak.
Subaryono. 2006. Penggunaan campurankaragenan dan konjak dalam pembuatan
permenjelly.JurnalPascapanen
danBioteknologi
KelautandanPerikananVol.1No.1,Juni2006.
Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan kandungan karaginan Budidaya Rumput Laut
Eucheuma cattonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlauan Jarak
Tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis (tidak di publikasikan). Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Trono, G. C. 1974. A Review of The Production Technologies of Tropical Species of
Economic Seaweeds. Technical Research Reports. Marine Science Institute,
University of the Philippines. Philippines.
Vairappan, C. S. 2006. "Seasonal occurrences of epiphytic algae on the commercially
cultivated red alga Kappaphycus alvarezii (Solieriaceae, Gigartinales,
Rhodophyta)." Journal of Applied Phycology 18: 611–617.
Vairappan, C. S., C. S. Chung, A. Q. Hurtado, F. E. Soya, G. B. Lhonneur and A.
Critchley. 2008. "Distribution and symptoms of epiphyte infection in major
carrageenophyte-producing farms." J Appl Phycol 20: 477–483.
Weng, Q., 2010, Remote Sensing and GIS Integration, Theories, Methods and
Applications, Mc Graw Hill, New York.
19
Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: PT Gramedia
Winarno, F.G. 1996. Teknologi PengolahanRumput Laut.
Utama.Jakarta.
Gramedia
Pustaka
Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar harapan. Jakarta.
Yokoya, N.S and Valentin, Y.Y. 2011. Micropropagation as a tool for sustainable
utilization and conservation of populations of Rhodophyta. Brazilian Journal of
Pharmacognosy 21(2) : 334-339.
Yokoya, N.S and Valentin, Y.Y. 2011. Micropropagation as a tool for sustainable
utilization and conservation of populations of Rhodophyta. Brazilian Journal of
Pharmacognosy 21(2) : 334-339.
Yulianto, K. dan M. Hatta 1998. Pengaruh beberapa faktor pengontrol terhadap
keberhasilan budidaya Kappaphycus striatum (Schmitz) Doty (Rhodophyta) di
Perairan Tual, Maluku Tenggara. Perairan Maluku dan Sekitarnya, Vol. 10:1321.
20
Download