Pertambangan dan Energi

advertisement
BAB 11
PERTAMBANGAN DAN ENERGI
-
BAB 11
PERTAMBANGAN DAN ENERGI
PENDAHULUAN
Peranan sektor pertambangan dan energi dalam pembangunan adalah sangat penting. Sektor pertambangan dan energi merupakan penghasil utama devisa, menyediakan sumber daya energi terbesar dan
merupakan penyerap tenaga-kerja. Sebagai penghasil devisa sumbangan sektor ini selama Repelita II, telah meningkat. Kalau pada permulaan Repelita II 55% dari penghasilan devisa berasal dari sektor
pertambangan dan energi, maka pada akhir Repelita II sumbangannya
telah meningkat menjadi lebih dari 70%. Yang lebih menggembirakan
ialah bahwa jenis hasil tambang yang diproduksi dan diekspor kini
telah lebih beraneka ragam, berkat berhasilnya usaha-usaha diversifikasi selama Repelita II.
Di samping itu sebagian besar sumber daya energi yang dipakai
dalam perekonomian Indonesia berasal dari pertambangan, yakni
minyak bumi dan batubara. Berkat tersedianya hasil-hasil pertambangan tersebut tidak diperlukan impor sumber daya energi, bahkan
sebagian besar daripada yang dihasilkan dapat diekspor. Tambahan
pula pembangunan sektor pertambangan dan energi selama Repelita
II telah berjalan dengan cepat sehingga banyak tenaga kerja memperoleh kesempatan untuk bekerja di sektor ini. Selain itu karena
teknologi yang dipakai dalam sektor ini cukup tinggi maka mutu
tenaga kerja juga meningkat.
Salah satu penggunaan sumber daya energi adalah untuk pembangkitan tenaga listrik yang sangat diperlukan bagi pembangunan sektorsektor lain. Selma Repelita II penyediaan tenaga listrik menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Mengingat pembangkitan tenaga
listrik dilakukan dengan sumber daya energi, pengembangan kelis 83
trikan selama Repelita III akan dikaitkan dengan kebijaksanaan energi
nasional.
Potensi untuk mengembangkan sektor pertambangan dan energi
cukup besar, tetapi tantangan dan permasalahan yang dihadapi sektor
ini cukup berarti. Karena sebagian besar dari hasil-hasil pertambangan
semata-mata dihasilkan untuk pasaran luar negeri, maka perkembangan
sektor ini sangat dipengaruhi oleh gejolak harga di pasaran tersebut.
Untuk mengurangi pengaruh negatif gejolak harga tersebut maka
usaha diversifikasi akan dilanjutkan selama Repelita III.
Masalah lain adalah adanya ketimpangan dalam penggunaan sumber
daya energi. Meskipun berbagai jenis sumber energi itu terdapat dalam jumlah cukup besar di Indonesia, namun sampai saat ini pola
pemanfaatan sumber-sumber energi itu masih sangat pincang. Untuk
tahun 1977 tercatat 89,8% dari konsumsi energi berasal dari minyak
bumi, 8,6% dari gas bumi dan LPG, 0,7% dari batubara dan 0,9%
dari tenaga air. Menyadari betapa pentingnya peranan minyak bumi
sebagai sumber penerimaan negara pada umumnya dan sebagai penghasil devisa khususnya, sedang sumber alam ini tidak dapat diperbaharui, maka selama Repelita III akan diusahakan agar ekonomi energi
tidak terlalu berat bersandar pada minyak bumi dan agar sebanyak
mungkin dapat memanfaatkan sumber-sumber energi yang lain.
Tenaga listrik sangat diperlukan bagi tercapainya sasaran pembangunan. Meskipun pertumbuhan tenaga listrik selama Repelita II
cukup tinggi, tetapi permintaan masyarakat akan tenaga listrik
meningkat lebih cepat. Tambahan pula belum tercapainya keseimbangan antara pusat-pusat listrik dengan jaringan transmisi dan
distribusi mengakibatkan pemanfaatan sepenuhnya fasilitas dan pembangkitan tenaga listrik belum tercapai.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan dengan berpedoman pada
Garis-garis Besar Haluan Negara sasaran pokok sektor pertambangan
dan energi selama Repelita III adalah : mengusahakan peningkatan
pengembangan dan pengelolaan sumber-sumber mineral dan energi,
khususnya .dengan mengingat peranan sektor pertambangan sebagai
penghasil devisa utama yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan
ekonomi
Indonesia,
mengusahakan
pelaksanaan
kebijaksanaan
84
energi yang dapat menunjang pembangunan nasional semaksimal
mungkin, dan meningkatkan tenaga listrik dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan kota serta
mendorong dan merangsang kegiatan ekonomi. Dengan demikian,
sasaran pokok pembangunan bidang pertambangan dan energi adalah
mengusahakan terwujudnya unsur ke dua dari pada Trilogi Pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, yang merupakan prioritas pembangunan dalam Repelita III.
A. PERTAMBANGAN
I. PENDAHULUAN
Dalam sepuluh tahun terakhir sektor pertambangan telah menunjukkan pertumbuhan yang cukup menggembirakan. Berkat hasil-hasil
kegiatan eksplorasi yang meluas selama masa Repelita I baik untuk
minyak dan gas bumi maupun untuk mineral lain, beberapa proyek
pertambangan . barn telah berhasil dibangun selama periode Repelita
II. Meskipun kemudian, sebagai akibat daripada resesi ekonomi
dunia, laju pembangunan tersebut mengalami kemerosotan selama
tahun-tahun 1975 — 1976, namun pembangunan sektor pertambangan secara keseluruhan telah mencapai dua sasaran pokok Repelita II
bidang pertambangan, yaitu melaksanakan diversifikasi usaha di sam ping meningkatkan usaha pengolahan hasil tambang di dalam negeri.
Berdasarkan hasil yang telah dicapai selama Repelita I dan II, maka
dalam Repelita III pembangunan pertambangan ditujukan untuk meningkatkan . atau setidak-tidaknya menjamin kelangsungan produksi
bahan tambang yang pada saat ini telah mempunyai pasaran internasional. Di samping itu usaha-usaha diversifikasi dan pengolahan bahan
tambang akan ditingkatkan.
II.
KEADAAN DEWASA INI
Minyak dan gas bumi
Selama periode 1974/75 sampai dengan 1977/78 produksi minyak
bumi Indonesia meningkat dengan rata-rata 8,4 % setahun. Keadaan
pasaran yang bank telah mendorong kenaikan produksi tersebut, tetapi
selama tahun 1978 keadaan pasaran memburuk berhubung timbulnya
85
TABEL 11 — 1
PRODUKSI MINYAK BUMI,
1974/75 — 1978/79
(jutaan barrel)
Tahun
Produk
si
1974/75
485,0
1975/76
498,0
1976/77
568,3
1977/78
616,0
1978/79*)
587,0
•) Perkiraan
TABEL 11
2
PRODUKSI DAN PEMANFAATAN GAS BUMI,
1 9 7 4 / 7 5 - - 1978/79
(milyar kaki kubik)
Tahun
Produksi
Pemanfaatan **)
1974/75
206,2
1975/76
239,2
1976/77
344,4
1977/78
633,3
1978/79
813,6
*) Perkiraan
**) Tidak termasuk gas yang digunakan di lapangan untuk keperluan
produksi minyak.
86
kelebihan produksi minyak di dunia. Produksi minyak bumi dalam
tahun 1978/79 diperkirakan akan menurun dibanding dengan tingkat
produksi. tahun sebelumnya.
Kapasitas produksi kilang-kilang minyak di dalam negeri, meskipun
telah bertambah dengan selesainya pembangunan kilang Cilacap pada
tahun 1976, belum juga dapat mencukupi kebutuhan akan bahan
bakar minyak yang terus meningkat setiap tahunnya itu, khususnya
kebutuhan akan minyak tanah dan solar. Pada akhir Repelita II sekitar 24% dari keperluan bahan bakar minyak dalam negeri masih
harus diolah di luar negeri.
Produksi gas bumi telah berhasil pula ditingkatkan selama Repelita II.
Pemanfaatan gas bumi untuk keperluan dalam negeri selain dalam bentuk gas minyak cair juga sebagai bahan mentah untuk pembuatan pupuk urea. Meningkatnya pemanfaatan gas bumi di dalam
negeri terutama sekali adalah karena selesainya pembangunan pabrik
pupuk Pusri III dan Pusri IV di Palembang, pupuk Kujang dan
Krakatau Steel di jawa Barat.
b. Batubara
Pertambangan batubara di Indonesia mengalami kemunduran dalam
periode 1960 sampai dengan 1973, sebagai akibat dari semakin menyusutnya pasaran di dalam negeri. Tetapi dengan timbulnya krisis
minyak bumi pada akhir tahun 1973, prospek pengembangan usaha
batubara yang semula begitu suram, kemudian berobah dengan cepat.
Sejak saat itu mulai dipertimbangkan kemungkinan pengembangan
batubara secara besar-besaran untuk menggantikan kedudukan minyak
bumi dalam beberapa pemakaian tertentu. Dengan terus membubungnya harga minyak bumi, jelas prospek pengembangan dan
pemanfaatan kembali batubara secara besar-besaran misalnya untuk
pembangkitan tenaga listrik dan industri, menjadi semakin baik.
Dalam tahun 1974 telah diambil langkah-langkah untuk terus mempertahankan dan secara berangsur-angsur meningkatkan kembali kemampuan produksi tambang-tambang Ombilin dan Bukit Asam.
Pada akhir 1976 telah ditegaskan pengutamaan batubara bagi pem bangkit tenaga listrik dan keperluan industri baru.
87
Dengan latar belakang perkembangan seperti diutarakan di atas,
maka kegiatan usaha pertambangan batubara di Bukit Asam maupun
Ombilin berangsur-angsur dapat ditingkatkan kembali. Produksi
batubara pada tahun terakhir Repelita II telah meningkat dengan
lebih dari 45% jika dibandingkan dengan tahun pertama.
Pada waktu ini telah diketahui secara .pasti bahwa cadangan batubara di tambang Bukit Asam berjumlah sekitar 100 juta ton, yang
dapat diusahakan secara tambang terbuka di daerah Air Laya. Di luar
wilayah Air Laya, cadangan batubara berkwalitas rendahan di daerah
Sumatera Selatan diketahui meliputi sekitar 10 milyar ton, suatu potensi yang sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan energi dimasa
mendatang.
Jumlah cadangan batubara di wilayah pertambangan Ombilin belum diketahui dengan pasti. Dewasa ini kegiatan eksplorasi masih
terus dilanjutkan. Sebagian besar daripada cadangan batubara di
daerah Ombilin ini cukup dalam letaknya, sehingga hanya akan dapat
diusahakan secara pertambangan bawah tanah.
Cadangan-cadangan batubara yang cukup potensial selain diketahui adanya di daerah Sumatera Selatan dan Sumatera Barat, terdapat juga di daerah Kalimantan Timur dan Selatan. Daerah-daerah
tersebut terakhir ini masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
c. T i m a h
Timah merupakan komoditi mineral logam utama, dan penghasil
devisa terbesar kedua setelah minyak bumi. Perkembangan produksinya sebenarnya cukup mantap apabila tidak terjadi kelesuan pasaran.
Dalam usaha mencegah kemerosotan harga yang berlarut-larut maka
Dewan Timah Internasional dalam tahun 1975 dan 1976 telah melaksanakan pembatasan ekspor timah terhadap negara-negara produsen
yang menjadi anggautanya.
Dalam tahun 1977 pasaran timah mulai membaik. Hal telah
memberikan dorongan untuk perbaikan sarana produksi dan perluasan usaha eksplorasi, sehingga dapat diharapkan bahwa dalam tahun
1978 produksi timah Indonesia akan dapat meningkat. Dengan sele-
88
sainya perluasan pabrik peleburan timah di Mentok, Bangka, pada
pertengahan tahun 1975 yang mampu menghasilkan 33.000 tan logam
timah setahun, maka sejak tahun 1976 seluruh produksi konsentrat
timah Indonesia dapat dilebur di dalam negeri. Kalau pada tahun
pertama Repelita II produksi konsentrat timah dan logam timah adalah 24.800 dan 15.000 ton, maka pada akhir Repelita II produksi
telah meningkat menjadi 28.000 dan 27.000 ton.
d. N i k e l
Dengan selesainya pabrik pengolahan nikel di Pomalaa pada tahun
1975 dan di Soroako pada permulaan tahun 1977 maka Indonesia
dalam periode Repelita II, selain menghasilkan bijih nikel juga sudah
mulai menghasilkan dan mengekspor ferronikel dari Pomalaa dan
nickelmatte dari Soroako.
Produksi bijih selama 5 tahun menunjukkan peningkatan yang cukup besar sedangkan ferronikel dapat dihasilkan sesuai dengan ka pasitas pabrik. Dengan merosotnya harga pasaran nikel dunia kelanjutan pembangunan dan operasi pabrik nickelmatte di Soroako tertunda dan ekspornya baru dapat dilaksanakan untuk pertama kalinya
pada awal tahun 1978.
Dalam pada itu kegiatan eksplorasi secara besar-besaran yang dilakukan di pulau Gebe, Maluku Utara serta pulau Waigeo dan
pulau Gag, Irian Jaya telah menghasilkan penemuan cadangan bijih
nikel laterit dalam jumlah besar. Penelitian kelayakan proyek pertambangan dan pengolahan, bijih nikel di pulau Gag menyatakan
bahwa prospek proyek tersebut secara tehnis dan ekonomis adalah
cukup baik, tetapi oleh karena besarnya modal yang diperlukan dan
merosotnya harga logam nikel di pasaran dunia dalam 2 tahun ter akhir ini menyebabkan pelaksanaan pembangunannya untuk
sementara waktu terpaksa di tangguhkan.
e. Tembaga
Satu-satunya tambang yang menghasilkan tembaga dalam bentuk
konsentrat terdapat di Gunung Bijih, Irian Jaya. Tambang ini memiliki kapasitas produksi konsentrat sekitar 225.000 ton atau lebih ku -
89
rang 65.000 ton logam tembaga setahun. Karena melesunya pasaran
tembaga sejak tahun 1975, maka produksi dalam beberapa tahun
ini belum pernah mencapai kapasitas yang dimiliki.
f. Bauksit
Meskipun bauksit terdapat dalam jumlah sangat besar di daerah
Kepulauan Riau dan Kalimantan Barat, tetapi saat ini penambangan
bauksit di Indonesia hanya terbatas pada cadangan-cadangan bijih
berkadar tinggi di pulau Bintan dan sekitarnya, untuk keperluan
ekspor. Produksi dan ekspor bauksit selama beberapa tahun terakhir
ini dapat dikatakan cukup mantap.
Untuk kelanjutan usaha maka sudah diadakan penelitian kemungkinan pemanfaatan bijih bauksit berkadar rendah untuk pembuatan
alumina di dalam negeri, yang dijadikan sebagai bahan baku untuk
keperluan proyek peleburan Aluminium di Asahan, Sumatera Utara.
g. Bahan Galian Lain
Selama masa Repelita II produksi bahan-bahan galian yang meliputi emas dan Perak, pasir besi mangan, batu granit dan aspal alam
tidak menunjukkan perkembangan yang istimewa.
Pengusahaan bahan-bahan galian non-metalik seperti kaolin, pasir
kwarsa, batupualam, belerang dan lain sebagainya berlangsung di berbagai daerah di Indonesia secara kecil-kecilan. Permintaan pasaran
di dalam negeri yang masih terbatas dan kadang-kadang tidak menentu, menyebabkan pengusahaan bahan-bahan galian ini sulit untuk
berkembang. Berbeda halnya dengan pengusahaan beberapa macam
bahan yang digunakan untuk industri bangunan seperti misalnya batugamping untuk pembuatan semen dan lain-lain, lempung untuk
pembuatan bata dan genteng, tras gunung api untuk bataco dan lain
sebagainya. Pengusahaan bahan-bahan ini sudah sangat meluas
diberbagai daerah, banyak diantaranya yang berkembang sebagai kegiatan industri rakyat ataupun industri pedesaan.
III.
KEBIJAKSANAAN DAN LANGKAH-LANGKAH
Sebagai penghasil utama devisa dan sumber daya energi, sektor pertambangan memegang peranan yang penting dalam usaha-usaha tercapainya pasaran pembangunan. Dengan meningkatnya kegiatan pem-
90
bangunan di segala sektor, kebutuhan akan devisa dan sumber daya
energi bagi pelaksanaan pembangunan diperkirakan akan semakin
besar.
Berdasarkan hal tersebut sasaran utama pembangunan sektor pertambangan adalah mengusahakan peningkatan pengembangan dan
pengelolaan sumber-sumber mineral dan energi. Untuk mencapai sasaran ini maka akan ditempuh beberapa langkah kebijaksanaan.
Pertama-tama akan diusahakan kelangsungan dan peningkatan produksi bahan tambang yang saat ini telah mempunyai pasaran internasional. Selain itu akan dilanjutkan dan ditingkatkan usaha diversifikasi dan usaha pengolahan komoditi tambang yang dihasilkan.
Dalam usaha jangka panjang, hasil tambang Indonesia akan diarahkan untuk dijadikan dasar dari industri dalam negeri, maka langkahlangkah yang disebut di atas harus juga merupakan langkah persiapan
untuk memenuhi sasaran jangka panjang tersebut.
Usaha pengembangan sumber daya energi, khususnya minyak dan
gas bumi yang merupakan komoditi strategis bagi kelangsungan pembangunan nasional dan kehidupan bangsa, akan mendapat prioritas utama.
Pengembangan dan pemanfaatan sumber daya energi lain yaitu batubara dan, panas bumi akan ditingkatkan dalam rangka usaha diversifikasi pembangkitan energi. Usaha-usaha pengembangan ini akan diserasikan dengan kebijaksanaan umum di bidang energi dan bahan bakar.
Untuk menunjang tercapainya sasaran utama sektor pertambang an akan dilanjutkan dan ditingkatkan langkah-langkah yang telah
dilaksanakan dalam Repelita II berupa inventarisasi, pemetaan,
eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam yang berupa sumber mineral
dan energi, baik oleh Pemerintah maupun pihak ketiga yang telah
memperoleh izin dari Pemerintah. Di samping itu akan dilanjutkan
pengembangan teknologi penambangan, termasuk penelitian deposit
bahan-bahan galian dan pengolahan berbagai macam bahan galian.
Dalam mengusahakan pengembangan dan pengelolaan sumbersumber mineral dan energi akan diperhatikan pemeliharaan kelesta- rian lingkungan hidup dan kemungkinan pengembangan potensi da-
91
erah secara terpadu. Untuk itu perlu segera dikeluarkan pedoman
pelaksanaan tentang pemeliharaan kelestarian lingkungan hidup. Pengembangan daerah yang diakibatkan oleh adanya proyek-proyek
pertambangan akan ditanggapi dengan lebih sungguh-sungguh, mengingat peluang pemerataan yang dapat ditimbulkan dan akibat negatip
yang perlu dicegah apabila ada kelalaian dalam penggarapannya.
Tambahan pula pembinaan lembaga-lembaga pertambangan dan ketenagaan yang bersangkutan dengan penelitian, penyelidikan, pendidikan
dan latihan akan ditingkatkan sejalan dengan kemajuan ilmu dan
teknologi serta tuntutan pembangunan nasional.
Pada dasarnya sifat usaha pertambangan mengandung risiko besar,
tidak cepat menghasilkan, memerlukan teknologi maju dan padat
modal. Karena itu selama belum cukup tersedia kemampuan dan
modal dari dalam negeri untuk melaksanakannya, pengembangan
usaha pertambangan akan memanfaatkan kemungkinan partisipasi
modal dari luar negeri. Tetapi di samping itu, akan terus diusahakan
pembinaan usaha pertambangan nasional. Kelemahan utama yang
menyangkut bidang permodalan diharapkan akan dapat diatasi seca ra berangsur-angsur apabila pengusaha swasta nasional bersedia untuk melaksanakan pertambangan melalui usaha-usaha patungan dengan kalangan swasta asing. Dalam hubungan ini bimbingan kepada
pengusaha nasional selama Repelita III akan ditingkatkan, khusus
di bidang teknis dan pengelolaan, agar pihak swasta nasional dapat
secepatnya berperanan aktip dalam usaha-usaha pembangunan sektor pertambangan.
Dalam hubungan ini melalui proyek-proyek pertambangan yang
mudah dikembangkan, khususnya penambangan bahan galian nonmetalik yang telah memiliki pasaran yang cukup mantap di dalam
negeri dan bahan galian yang dalam jangka pendek mendapatkan
pasaran yang baik, seperti fosfat alam, akan dikembangkan program
bimbingan yang teratur dan terarah bagi pengembangan kemampuan
usaha pertambangan swasta nasional pada umumnya. Demikian pula
kegiatan pertambangan rakyat terus dibina. Kegiatan-kegiatan pertambangan, baik yang dilakukan oleh swasta nasional maupun pertam-
92
bangan-pertambangan rakyat, sebaiknya dapat bergabung dalam koperasi apabila melakukan usaha yang sejenis dan beroperasi di daerah
yang bersamaan. Hal ini akan sangat mempermudah usaha bimbingan
dan pembinaan yang dapat diberikan oleh Pemerintah, selain akan
memperkuat pertumbuhan kegiatan-kegiatan itu sendiri.
Usaha kegiatan pra-produksi akan dikembangkan dengan menyajikan proyek-proyek yang berkelayakan ( "feasible") kepada yang berminat. Dengan demikian maka peranan Pemerintah akan lebih aktif
dan gairah swasta akan meningkat, karena unsur resiko dalam penyelidikan umum dan eksplorasi dari proyek tersebut sepenuhnya ditanggung oleh Pemerintah.
Dalam rangka menggairahkan dunia usaha di sektor pertambangan
ini akan ditinjau kembali perizinan-perizinan, baik mengenai materi
maupun prosedur memperoleh perizinan. Materi perizinan yang sudah
tidak sesuai lagi dengan tujuan kebijaksanaan akan dicabut sedangkan
prosedur perizinan disederhanakan untuk mempercepat pelayan an dan memberikan kepastian bagi dunia usaha.
Akan ditinjau pula pungutan-pungutan yang terkait dengan perizinan tersebut. Pungutan-pungutan yang memberatkan dunia usaha akan
dihapuskan. Dengan demikian hasil peninjauan perizinan-perizinan
tersebut harus dapat memperlancar dan meningkatkan efisiensi pengembangan dunia usaha di sektor pertambangan.
Sementara itu makin ditingkatkan pembinaan perusahaan-perusahaan milik negara di sektor ini agar perusahaan ini dikelola secara
mantap sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi perusahaan yang sehat,
efisien dan hemat sehingga dapat membantu meningkatkan keuangan
negara serta meningkatkan mutu pelayanannya kepada masyarakat.
Selanjutnya perusahaan negara sebagai unsur aparatur negara, harus
pula secara aktif ikut mengamankan program kebijaksanaan Pemerintah di bidang pengembangan dunia usaha golongan ekonomi lemah,
stabilitas ekonomi serta di bidang-bidang kebijaksanaan ekonomi
lainnya.
93
IV. P R O D U K S I
Minyak dan Gas Bumi
Program produksi selama Repelita III, mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan produksi minyak bumi, produksi dan pemanfaatan gas bumi, pengolahan minyak mentah dan pengilangan gas bumi,
pemasaran dan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri
serta ekspor minyak mentah dan produk minyak.
Untuk mendapatkan cadangan-cadangan baru, maka kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi akan lebih ditingkatkan. Kemungkinan
penemuan lapangan-lapangan baru melalui peningkatan kegiatan eksplorasi adalah cukup baik.
Pada dua tahun pertama Repelita III, produksi minyak bumi Indonesia diperkirakan masih lebih rendah dari produksi tahun terakhir
Repelita II. Hal ini antara lain disebabkan karena pada umumnya
sebagian besar lapangan-lapangan minyak Pertamina, perusahaan
"Perjanjian Karya" serta sebagian lapangan-lapangan dari perusahaan
"Perjanjian Bagi Hasil", secara alamiah sudah akan menurun kemampuan berproduksinya.
Di samping itu, krisis ekonomi dunia serta sikap menunggu dari
perusahaan-perusahaan minyak asing menghadapi re-negosiasi kontrak dengan Pemerintah/Pertamina, dan masalah pajak ganda, untuk
perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat, telah mempengaruhi
kegiatan eksplorasi pada tahun-tahun 1975 - 1977.
Mulai tahun ketiga Repelita III, produksi minyak mentah diharapkan akan mulai meningkat lagi dan demikian seterusnya sampai akhir
Repelita III. Hal ini akan dimungkinkan dengan adanya peningkatan
kegiatan usaha "secondary recovery" di lapangan-lapangan minyak .
baik di daratan maupun yang dilepas pantai, berdasarkan perangsang
yang diberikan oleh Pemerintah pada minyak yang diperoleh dari
usaha sekunder. Di samping itu, sudah dapat diperhitungkan akan
adanya tambahan minyak dari hasil kegiatan perawatan dan kerja
ulang pada sumur-sumur lama. Bagi lapangan-lapangan baru kegiatan
operasi diperkirakan akan dapat terus berkembang, karena perangsang
94
yang diberikan pada produksi minyak yang diperoleh dari lapangan
baru.
Khususnya menghadapi kemungkinan kekurangan minyak di dunia
pada akhir tahun 1980-an, kegiatan operasi perminyakan pada umumnya diperkirakan akan meningkat. Menjelang waktu itu, diharapkan
harga minyak akan menjadi cukup menarik bagi para kontraktor
minyak asing untuk merangsang pengembangan usahanya di Indonesia
antara lain untuk mengerjakan lapangan-lapangan dan cadangancadangan yang sulit dijangkau.
Lapangan-lapangan yang telah selesai di- eksplorasi dalam Repelita
II tetapi belum dapat dikembangkan karena cadangan minyaknya
tidak cukup besar serta lokasinya juga kurang menguntungkan, dalam
masa Repelita III mungkin akan dapat memperoleh penilaian kembali
yang lebih baik bila harga minyak meningkat.
TABEL 11 — 3
PERKIRAAN PRODUKSI MINYAK BUMI,
1979/80 -- 1983/84
(jutaan barrel)
Tahun
Jumlah
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
582
572
604
640
668
Produksi dan Pemanfaatan Gas Bumi
Perkiraan produksi gas bumi selama Repelita III dapat dilihat pada
Tabel 11 — 4. Produksi gas bumi, baik "associated gas" maupun
"non-associated gas", pada umumnya akan dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang khusus dibangun untuk menggunakan gas tersebut.
Dengan selesainya proyek LNG Bontang dan Arun yang masingmasing mengolah gas alam "non associated", maka terbuka kemungkinan pemanfaatan "associated gas " dari lapangan-lapangan minyak
yang berdekatan dengan kedua kilang LNG tersebut. Selain itu gas
bumi juga dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk berbagai jenis
95
industri seperti industri semen, sebagai bahan baku industri pupuk,
dan digunakan dalam proses reduksi di pabrik baja Krakatau Steel.
Di samping itu gas bumi digunakan oleh Perusahaan Gas Negara
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Walaupun pada saat ini penyediaan gas di Sumatra Selatan untuk
pabrik-pabrik pupuk urea PT PUSRI telah cukup, tetapi masih diperlukan pemboran sumur-sumur baru untuk menambah pengadaan gas
jika diperlukan. Kegiatan ini dilaksanakan lengkap dengan pemasangan pipa, penyaluran gasnya. Juga direncanakan adanya penambahan
penyediaan gas untuk keperluan industri-industri di daerah Jawa Barat
dan jawa Timur.
TABEL 11 — 4
PERKIRAAN PRODUKSI GAS,
1979/80 — 1983/84
(milyar kaki kubik)
Tahun
Jumlah
1979/80
1980/81
1.019
1.013
1981/82
1.049
1982/83
1983/84
1.578
1.593
TABEL 11 -- 5
PERKIRAAN PENYEDIAAN GAS UNTUK BAHAN BAKU
DAN BAHAN BAKAR INDUSTRI DAN RUMAH TANGGA,
1979/80 -- 1983/84
(milyar kaki kubik)
Tahun
Jumlah
1979/80
595
1980/81
627
1981/82
96
693
1982/83
1.175
1983/84
1.178
Pengolahan Minyak Mentah
Sejalan dengan laju pembangunan dan pertambahan penduduk,
kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dalam negeri akan meningkat terus. Keadaan ini akan sulit diimbangi oleh kapasitas peng olahan kilang-kilang di dalam negeri yang ada dewasa ini, karena selain kondisinya yang sudah tua, juga pola hasil pengolahannya-pun
tidak sesuai lagi dengan pola konsumsi BBM dalam negeri. Untuk
mengatasi hal tersebut di atas, maka diusahakan impor BBM serta
penambahan pengolahan minyak mentah dengan jalan perjanjianmengolah di luar negeri.
Dalam tiga tahun pertama masa Repelita III minyak mentah yang
diolah di kilang-kilang dalam negeri akan mencapai sekitar 370 ribu
barrel sehari, yaitu hampir sama dengan keadaan pada akhir Repelita
II. Mulai tahun keempat dan seterusnya, diharapkan pengolahan
minyak mentah di dalam negeri dapat ditingkatkan, dengan adanya
rencana pembangunan kilang baru dan perluasan kilang yang ada.
Perluasan kilang Dumai dengan unit hydrocracking, berkapasitas
85 ribu barrel per hari, direncanakan akan mengolah "low sulphur
waxy residue" (LSWR) menjadi produk BBM. Pembangunan kilang
baru di pulau Batam yang mempunyai unit hydrocracking, dengan kapasitas 200 ribu barrel per hari direncanakan akan mengolah minyak
mentah Minas dan Kuwait, sedangkan perluasan kilang Balikpapan
dengan kapasitas 100 ribu barrel per hari, direncanakan akan mengolah minyak mentah Kalimantan.
TABEL 11 — 6
PERKIRAAN PENGOLAHAN MINYAK MENTAH,
1979/80 — 1983/84
(ribuari barrel)
98
Tahun
Kilang Dalam Negeri
Perjajanjian
mengelolah
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
133.000
135.000
137.000
149.700
221.300
32.900
32.900
32.900
(termasuk minyak
mentah impor)
TABEL 11 - 7
PERKIRAAN HASIL PENGOLAHAN DALAM NEGERI x) ,
1979/80 - 1983/84 (ribuan barrel)
Tahun.
Produk BBM
Minyak
untuk
Mesin
Turbu
Minyak
untuk
Mesin
Jet
Bensin/
Naphta
Minyak
Tanah
Produk bukan BBM
Solar
untuk
alat pengangkutan
Solar
untuk
Industri
14.140
14.140
51.240
51.240
14.140
51.240
2.400
2.400
Minyak
Bakar
LSWR
xx)
Lain-lain
1979/80
130
-
26.980
35.420
21.400
1980/81
120
120
--
26.980
26.980
35.420
35.420
21.400
21.400
7.860
7.860
7.860
120
110
--
27.930
43.920
23.590
8.440
16.070
17.740
4.320
54.220
53.020
51.160
8.440
23.150
17.740
10.660
1981/82
1982/83
1983/84
x) termasuk hasil " perjanjian mengolah " dari 1979/80 - 1981/82
xx) Resin yang mengandting lilin dengan kadar belerang yang rendah.
2.400
Dalam tahun pertama dan kedua Repelita III, minyak mentah yang
diolah berjumlah 460 ribu barrel per hari, termasuk minyak mentah
yang diolah di luar negeri sebesar 90 ribu barrel per hari. Pada
tahun kelima Repelita III jumlah kapasitas pengolahan minyak mentah di dalam negeri akan meningkat menjadi 610 ribu barrel per
hari, termasuk pengolahan di kilang baru di Pulau Batam dan perluasan kilang Balikpapan.
Hasil pengolahan berbagai macam bahan bakar minyak se perti tersebut pada Tabel 11 -- 7, dan impor beberapa macam
produk minyak seperti tertera pada Tabel 11 -- 8 adalah untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Produksi sampingan hasil pe ngolahan, antara lain berupa naphta dan LSWR, direncanakan untuk
diekspor. Sebagian dari naphta dapat dimanfaatkan se bagai bahan
baku untuk industri petrokimia dalam negeri, yaitu proyek aromatic
centre.
Pengilangan Gas Bumi
Dalam Repelita III pemanfaatan gas bumi melalui proses pengilangan menjadi gas alam cair (LNG) akan terus ditingkatkan. Kenaikan produksi LNG pada tahun 1982/83 dan 1983/84 .akan dimungkinkan dengan selesainya pembangunan tambahan 2 train untuk
kilang gas Badak dan penambahan 3 train untuk kilang gas Arun .
Sementara itu produksi kilang-kilang gas minyak cair (LPG) diperkirakan akan berkurang, seperti tertera pada Tabel 11
9.
Hal ini disebabkan karena produksi "associated gas" dari lapangan
di lepas pantai Jawa Barat menurun bersamaan dengan menurunnya
tingkat produksi minyaknya.
Pemasaran dan Distribusi Bahan Bakar Minyak di Dalam Negeri
Bahan bakar minyak sampai akhir Repelita III masih akan
merupakan sumber energi komersial utama untuk Indonesia, walaupun penggunaan sumber-sumber energi lainnya akan mulai aktip dikembangkan. Kebutuhan BBM selama Repelita III diperkirakan
akan terus naik sebesar rata-rata 10% setahun (lihat Tabel 11 -- 10).
Kebutuhan LPG dalam negeri selama Repelita .111 diperkirakan
akan naik sebesar 16% setahun (lihat Tabel 11 11).
100
TABEL 11- 8
PERKIRAAN IMPOR PRODUK MINYAK,
1979/80 — 1983/84
(ribuan ton)
Jenis BBM
Tahun
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
Minyak
untuk
Mesin
Jet
Bensin
3.800
–
4.110
–
4.500
4.740
5.320
590
2.400
–
Minyak
Tanah
HSD
8.100
10.700
13.540
7.960
2.020
18.300
22.750
27.320
30.070
8.150
x)
Solar
untuk
Industri
Minyak
Bakar
950
1.640
2.490
2.450
3.160
5.020
8.570.
12.300
14.570
12.480
x) Solar untuk mesin yang cepat berputar
TABEL 11--- 9
PERKIRAAN HASIL PENGOLAHAN GAS BUMI,
1979/80 --1983/84
Tahun
LNG
(jutaan ton)
LPG
(ribuan ton)
1979/80
6.0
524.0
1980/81
524.0
99
1981/82
7.5
463.0
1982/83
10.2
402.0
1983/84
13.9
402.0
101
TA.BEL
1 1 — 10
PERKIRAAN KEBUTUHAN BAHAN BAKAR MINYAK x),
1979/80 — 1983/84
(ribuan barrel)
BAHAN BAKAR MINYAK
Tahun
Minyak
untuk
Mesin
Turbu
Minyak
untuk
Mesin
Jet
1979/80
1980/81
130
120
3.800
4.110
1981/82
120
1982/83
1983/84
Bensin
Solar
untuk
1ndustri
Minyak
Bakar
39.700
44.150
8.810
9.500
19.160
22.710
48.960
48.720
10.350
26.440
51.880
55.040
53.660
59.310
10.890
11.600
30.640
35.630
Minyak
Tanah
HSD
22.710
25.000
43.520
46.120
4.500
27.570
120
4.740
110
5.320
30.330
33.410
x) Termasuk untuk keperluan "bahan bakar pesawat-pesawat terbang".
bunker internasional dan pemakaian kilang.
xx) Solar untuk mesin yang cepat berputar
xx)
Untuk meningkatkan pelayanan dan distribusi BBM perlu diadakan pengembangan dan perbaikan serta pemeliharaan fasilitas ja ringan distribusi dan tangki penimbun BBM yang tersebar di seluruh
wilayah Nusantara, baik yang berupa depot lautan maupun depot
pedalaman. Selain perlu penambahan tangki-tangki baru untuk depot
lautan, juga diperlukan penggantian karena sejumlah tangki sudah
tua. Depot-depot lautan baru yang perlu dibangun untuk peningkatan daya timbun di daerah-daerah pelabuhan besar ialah : 1. di
Jakarta, dengan kapasitas tambahan ± 150.000 Kl yang akan dibangun pada tahun 1983; 2. di Semarang, dengan tambahan kapasitas sebesar ± 60.000 Kl dan akan dilaksanakan pada tahun 1981;
dan 3. di Surabaya, untuk membantu depot Tg. Perak dan Bandaran
dengan kapasitas sebesar 100.000 Kl yang-akan dilakukan pada tahun
1981.
TABEL 11—11
PERKIRAAN KEBUTUHAN LPG,
1979/80 1983/84
(ribuan ton)
Tahun
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
Kebutuhan LPG
58
68
78
78
90
90 1983/84
105
Selain dari proyek-proyek besar tersebut di atas, perlu dibangun
depot-depot lautan baru untuk menampung peningkatan daya timbun
di pelabuhan-pelabuhan Padang, Sabang, Sibolga, Lhok Seumawe,
Kertapati, Jambi, Pontianak, Cilacap, Banjarmasin, Samarinda, Tarakan, Kupang, Ambon dan Sorong. Kemudian untuk perluasan jaringan distribusi perlu dibangun depot-depot baru di Meulaboh, Tg. Balai .,
Bengkulu, Singkawang, Ketapang, Palangkaraya, Pacitan, Camplong
dan Banjarbaru. Selain dari pembangunan-pembangunan tersebut di
atas di Ampenan akan dibangun depot baru untuk menggantikan
depot yang sudah tua.
103
Untuk melayani kepentingan daerah pedalaman, selama Repelita
III akan diadakan pula pengembangan kapasitas tangki penimbunan
di depot-depot pedalaman yaitu di Pematang Siantar, Kisaran, Baturaja, Sukabumi, Tasikmalaya, Lahat, Solo, Tegal, Maos, Rewulu,
Malang, Kediri, Madiun dan Jember dengan jumlah kapasitas sebesar
60.500 Kl.
Peningkatan distribusi dan pembekalan BBM di dalam negeri selanjutnya masih akan memerlukan tambahan berbagai sarana pengangkutan seperti gerbong-gerbong tangki minyak, mobil / truk-truk
tangki, pipa penyaluran minyak, kapal-kapal tangki, dan lain sebagainya, serta tambahan/perluasan fasilitas infrastruktur berupa pelabuhan-pelabuhan minyak, stasiun-stasiun pompa bensin, fasilitas dok,
fasilitas bunker, perlengkapan telekomunikasi dan lain-lainnya.
Ekspor Minyak Mentah dan Produk Minyak
Secara keseluruhan, ekspor minyak mentah dari tahun ke tahun
selama Repelita III diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan
yang menyolok. Hal ini disebabkan karena bagian dari produksi yang
akan diolah untuk penyediaan bahan bakar minyak di dalam negeri
akan meningkat dengan cepat.
Untuk pengamanan ekspor minyak bumi akan ditempuh berbagai
langkah-langkah. Selama ini pasaran utama minyak Indonesia adalah
Jepang dan pantai Barat Amerika Serikat. Diversifikasi pasaran akan
diusahakan ke berbagai negara lain, di samping kemungkinan peningkatan penjualan ke negara-negara Asia Tenggara.
Pembangunan Proyek-proyek Petrokimia
Untuk meningkatkan pemanfaatan basil minyak dan gas bumi semaksimal mungkin, maka dalam masa Repelita III diusahakan pembangunan 4 buah proyek industri petrokimia sebagai usaha patungan,
yakni proyek Olefin Centre, proyek Aromatic Centre, proyek Methanol dan proyek Carbon Black.
Proyek-proyek, tersebut penting artinya, bukan saja bagi pengadaan bahan baku untuk kebutuhan industri di dalam negeri, tetapi juga
sebagai bahan ekspor.
104
Adapun rencana 4 buah proyek tersebut adalah sebagai berikut
1) Proyek Olefin Centre. Olefin Centre adalah proyek untuk menghasilkan bahan baku untuk industri plastik. Bahan baku proyek
Olefin Centre berupa gas ethene yang di-ekstraksi dari gas alam
lapangan Arun di Aceh atau kondensat. Hasil produksi Olefin
Centre selain untuk menutupi kebutuhan dalam negeri juga sebagian akan dapat diekspor. Proyek Olefin Centre direncanakan
akan dibangun di Arun, Aceh, dengan kapasitas Ethane Extraction : 450.000 ton/tahun ethane dan Ethane Cracking 350.000
ton/tahun ethylene; dan akan menghasilkan produk-produk
LDPE : 120.000 ton/tahun, HDPE : 60.000 ton/tahun, VCM :
140.000 ton/tahun, MEG : 60.000 ton/tahun (untuk Polyester),
dan PS : 15.000 ton/tahun.
2) Proyek Aromatic Centre. Proyek Aromatic Centre akan menghasilkan bahan-bahan baku untuk perindustrian tekstil dalam
negeri yakni untuk serat-serat sintetis polyester (PET) dan nylon
(N6). Polyester dibuatdari IMT dan MEG, sedangkan N6 dari
caprolactam. Bahan baku Aromatic Centre adalah naphta atau
kondensat.
Aromatic Centre direncanakan akan dibangun di Plaju dengan
kapasitas : benzene : 453.000 ton/tahun dan paraxylene :
100.000 ton/tahun, dan akan menghasilkan produk-produk cyclohexane : 62.000 ton/ tahun, dan IMT : 100.000 ton/tahun.
Benzene digunakan untuk; membuat PS (Olefin Centre), jugasebagai bahan baku cyclohexane yang selanjutnya diolah menjadi
caprolactam, sedangkan sisanya dapat diekspor.
Dengan adanya produk-produk PS dan MEG dari Olefin
Centre maka Aromatic Centre berkaitan dengan Olefin Centre.
Caprolactam direncanakan akan dibangun di Gresik.
3) Proyek Methanol. Proyek Methanol direncanakan dibangun
di pulau Bunyu, yaitu untuk menghasilkan chemical methanol bagi
kebutuhan dalam negeri dan sebagian untuk diekspor. Sebagai
bahan bakunya adalah gas alam setempat yang sampai sekarang
belum dimanfaatkan.
105
Chemical Methanol dapat digunakan antara lain sebagai bahan
baku untuk pembuatan IMT (bahan baku tekstil), perekat plywood, pelarut, industri pharmasi dan lain-lain. Sampai sekarang
seluruh kebutuhan chemical methanol masih diimpor. Rencana
kapasitas produksi Proyek Methanol ini adalah : 1.000 ton . chemical methanol sehari.
4) Proyek Carbon Black. Carbon black dipergunakan untuk industri ban, zat warna dan tinta cetak, sedangkan bahan baku untuk
proyek Carbon Black tersebut adalah waxyresidu. Proyek Carbon
Black direncanakan akan dibangun di Dumai atau Sei Pakning
dengan kapasitas produksi carbon black : 15.000 ton/tahun.
Batubara
Sejalan dengan kebijaksanaan di bidang energi untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber-sumber energi bukan minyak,
maka sejak akhir masa Repelita II telah dilakukan usaha-usaha untuk
mulai mengembangkan kembali penambangan batubara di daerah
Bukit Asam, Sumatera Selatan, dan Ombilin, Sumatera Barat.
Kegiatan eksplorasi telah membuktikan tersedianya cadangan batubara dalam jumlah cukup besar di Bukit Asam untuk dasar bagi
pengembangan tambang dengan kapasitas produksi 2 Sampai 3 juta
ton setahun. Eksplorasi batubara di-daerah Ombilin belum terselesaikan seluruhnya, dan masih akan dilanjutkan dalam Repelita III. Di
samping itu, telah terbukti adanya cadangan batubara berkadar rendah dalam jumlah sangat besar lebih dari 10 milyar ton, di daerah
Sumatera Selatan dari hasil eksplorasi . yang dilaksanakan dalam Repelita II oleh pihak kontraktor asing.
Rencana pemanfaatan kembali, batubara secara besar -besaran
akan dikaitkan dengan rencana pembangunan, pusat-pusat listrik
tenaga uap baru yang akan menggunakan batubara sebagai bahan
bakar. Diperkirakan bahwa PLTU besar pertama dengan bahan bakar
batubara baru akan selesai dibangun di Suralaya, Jawa Barat, men jelang awal Repelita IV. Sementara itu, pemanfaatan batubara dalam
jumlah terbatas di dalam negeri adalah untuk pabrik semen, pabrik
karbit, pabrik kokas dan sebagainya, sedangkan konsumen batubara
106
yang telah ada selama ini akan diusahakan untuk tetap menggunakan
batubara dan kalau mungkin meningkatkan pemakaiannya.
Di samping untuk pasaran di dalam negeri yang saat ini masih terbatas itu, dalam Repelita Ill akan diusahakan untuk mendapatkan
pasaran batubara di luar negeri terutama dari beberapa negara Asia
(Bangladesh, Jepang, Singapura, Taiwan dan sebagainya). Dalam
hubungan ini batubara Ombilin yang memiliki kwalitas cukup baik
akan mendapatkan pasaran di luar negeri dengan mudah apabila
biaya produksi dan transportasinya dapat ditekan pada tingkat yang
wajar.
Dengan gambaran pemasaran seperti tersebut di atas, diharapkan
secara bertahap produksi dari tambang Ombilin dan Bukit Asam
dapat ditingkatkan selama Repelita III.
TABEL 11 — 12
P E R K I R A A N PRODUKSI BATUBARA,
1979/80 — 1983/84
(dalam ribuan ton)
Tahun
Unit Produksi
Bukit Asam
Unit Produksi
Ombilin
Jumlah
1979/80.
250
220
470
1980/81
270
275
545
1981/82
300
350
650
1982/83
425
600
1.025
1983/84
505
750
1.255
Untuk memungkinkan pelaksanaan peningkatan produksi batubara
seperti rencana tersebut di atas diperlukan selain rehabilitasi sarana
dan peralatan tambang, juga penambahan sarana dan peralatan baru.
Pengembangan secara bertahap tidak saja diperlukan untuk sekedar
memenuhi permintaan pasaran, akan tetapi yang lebih penting adalah
sebagai langkah-langkah persiapan menghadapi pengembangan usaha
per-batubaraan secara besar-besaran yang diharapkan sudah akan
berlangsung dalam Repelita IV.
107
GRAFIK 11 - 3
PERKIRAAN PRODUKSI BATUBARA,
1979/80 - 1983/84
(ribuan ton)
250
1979/80
Bukit A
1980/81
1981/82
s a m
a:dl ~u i xn .!
108
.
Timah
Dalam masa Repelita III produksi timah diperkirakan akan terus
meningkat berkat hasil kegiatan eksplorasi serta pembangunan dan
rehabilitasi peralatan pertambangan timah yang telah dilaksanakan
selama Repelita II. Selain perusahaan milik Negara P.T. Tambang
Timah yang merupakan penghasil terbesar terdapat tiga perusahaan
swasta asing yang juga melaksanakan penambangan timah di Indonesia.
Dengan semakin menurunnya cadangan-cadangan di daratan, untuk
tahun-tahun mendatang kegiatan penambangan timah akan semakin
bergeser ke daerah lepas pantai, dan dengan demikian penambangan
akan semakin sulit dan mahal. Untuk menjamin dan memungkinkan
kelanjutan serta pengembangan usaha, kegiatan eksplorasi akan terus
dikembangkan untuk menemukan cadangan-cadangan baru. Di samping itu, peralatan yang telah tua ataupun rusak akan diganti; ataupun
direhabilitir, dan bilamana diperlukan akan diadakan penambahan peralatan baru. Khusus untuk tujuan menambang cadangan-cadangan di
laut pada ke dalaman antara 30 sampai 40 meter masih diperlukan
pembangunan kapal keruk baru yang mampu mengeruk bijih dari ke
dalaman tersebut. Di daratan akan dilaksanakan pembukaan beberapa
tambang terbuka baru, dan dengan semakin langkanya cadangancadangan timah sekunder, akan dimulai pula pengembangan cadangancadangan timah primer, baik secara tambang terbuka maupun
tambang bawah tanah.
TABEL 11—13
PERKIRAAN PRODUKSI TIMAH DALAM KONSENTRAT,
1979/80 — 1983/84
(dalam ton)
Tahun
Jumlah
1979/80
1980/81
32.775
1981/82
34.385
1982/83
1983/84
35.533
36.611
33.744
109
Untuk menambah hasil usaha, akan diusahakan untuk mempertinggi "recovery" daripada bermacam-macam mineral ikutan yang
terdapat bersama-sama dengan timah dalam cadangan, seperti antara
lain monasit, xenotim, ilmenit, wolframit, tantalum, columbium
dan sebagainya.
Agar seluruh produksi bijih timah dapat dilebur di dalam negeri,
maka akan diusahakan perluasan pabrik peleburan timah PELTIM di
Muntok, Bangka.
TABEL . 11—14
RENCANA PRODUKSI LOGAM TIMAH,
1979/80 -- 1983/84
(dalam ton)
T ah u n
Jumlah
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
30.291
34.351
34.684
34.649
35.379
Sebagian terbesar produksi timah Indonesia akan diekspor, dan
hanya sebagian kecil saja yang akan dipasarkan di dalam negeri.
TABEL 11—15
PERKIRAAN EKSPOR TIMAH INDONESIA,
1979/80 ---1983/84
(dalam .ton)
110
T a h u n
Jumlah
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
29.791
32.801
34.109
34.074
35.379
TABEL 11--16
PERKIRAAN PEMASARAN TIMAH DI DALAM NEGERI,
1979/80 -- 1983/84
(dalam ton)
Tahun
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
Jumlah
500
550
575
575
625
Nikel
Kegiatan eksplorasi bijih nikel selama Repelita I dan Repelita II
telah membuktikan terdapatnya cadangan-cadangan bijih nikel yang
cukup besar potensinya di daerah-daerah Sulawesi Selatan dan
Tenggara, Maluku Utara, khususnya di pulau Gebe, dan di pulau
Gag serta pulau Waigeo dan sekitarnya.
PT. Aneka Tambang akan meneruskan eksplorasi dan penelitian
kelayakan bijih nikel di pulau Gebe untuk melihat kemungkinan
penambangannya untuk diekspor ke Jepang.
Sementara diperkirakan bahwa produksi akan tetap sebesar 1.200.000
ton per tahun, sedangkan dalam ekspor diharapkan adanya kenaikan
sehubungan dengan membaiknya pasaran yaitu dari 800.000 ton menjadi 900.000 ton pada akhir tahun Repelita III.
Dengan harapan bahwa pasaran nikel akan menjadi baik kembali
menjelang akhir masa Repelita III, maka sejak tahun 1978 telah diadakan penelitian mengenai kemungkinan perluasan dan peningkatan
kapasitas produksi pabrik feronikel Pomalaa, yang dilakukan oleh
PT. Aneka Tambang.
Pembangunan pabrik "nickelmatte " di Soroako yang telah mengalami keterlambatan sebagai akibat lesunya pasaran nikel diharapkan
akan dapat selesai dan mencapai kapasitas produksi penuh dalam
tahun ke tiga Repelita III.
111
TABEL 11 -- 17
PRODUKSI DAN EKSPOR NICKELMATTE,
1979/80 -- 1983/84
(dalam ton)
T a h u n
Produksi
Ekspor
1979/80
1980/81
1981/82
1982/83
1983/84
22.700
38.600
47.600
47.600
47.600
22.700
38.600
47.600
47.600
47.600
Bauksit
Produksi dan ekspor bauksit Indonesia dari usaha penambangan
di pulau Bintan dalam Repelita III diperkirakan tidak akan berbeda
dari tingkat kegiatan selama Repelita II, yaitu sebesar 1.100 sampai
1.200 ribu ton.
Dalam pada itu cadangan bauksit kwalitas ekspor di pulau Bintan
tidak besar lagi jumlahnya. Untuk mengatasi hal tersebut, pada saat
ini direncanakan untuk mengolah bauksit kwalitas rendah menjadi
alumina yang akan merupakan bahan baku untuk proyek peleburan
aluminium di Asahan. Jika harga dan kwalitas produk proyek alumina dapat bersaing dan cukup memadai, maka produksi penambangan bauksit dalam Repelita III akan meningkat dari 1.100 ribu ton
menjadi 2.700 ribu ton. Diperkirakan bahwa proyek peleburan alu minium akan berproduksi sebanyak 225 ribu ton dan pada tahun
terakhir Repelita III.
Tembaga
Berhubung dengan merosotnya harga tembaga selama beberapa
tahun terakhir ini, berakibat usaha penambangan tembaga yang dilaksanakan di daerah Gunung Bijih, Irian Jaya, kini menghadapi keadaan yang kurang mantap. Cadangan bijih untuk penambangan secara
terbuka sudah menipis, sehingga untuk tambang selanjutnya merupakan usaha penambangan bawah tanah terhadap cadangan di daerah
Gunung Biji Timur.
Apabila pasaran tembaga dapat. membaik kembali selama masa
Repelita III, maka rencana penambangan cadangan di Gunung Bijih
Timor tersebut akan dapat dilaksanakan dengan target produksi sebe-
112
sar 225.000 ton/tahun konsentrat tembaga dengan kadar Cu lebih
kurang 31% selama periode 1979/80 — 1983/84.
Bahan Galian Lain
Bahan-bahan galian yang selama ini hanya dihasilkan dalam jumlah
kecil adalah perak, emas, pasirbesi dan mangan, di samping berbagai
macam bahan galian non-metalik atau bahan galian industri yang digunakan oleh industri di dalam negeri.
Dalam masa Repelita III, produksi perak dan emas secara kontinyu
diharapkan dari Pertambangan Emas Cikotok di Jawa Barat yang
sampai saat ini merupakan tambang emas yang teratur. Timbal dan
Seng yang terdapat bersamaan dengan bijih emas dan perak di daerah
Cikotok, dan yang selama ini belum diolah, akan diusahakan pengolahannya dalam masa Repelita III. Dengan demikian, maka dalam
periode 1979/80 — 1983/84, Pertambangan Emas Cikotok akan menghasilkan dengan perkiraan produksi rata-rata untuk emas dan perak
masing-masing 160 kg dan 3.500 kg per tahun, sedangkan untuk produksi timbal dan sang rata-rata 600 ton dan 740 ton/tahun.
Ekspor pasir besi ke Jepang telah dihentikan pada akhir masa
Repelita II karena jumlahnya terlalu kecil dan tidak seimbang lagi
dengan biaya produksi. Karenanya, penambangan pasir besi dalam
masa Repelita III hanya akan ditujukan untuk memenuhi keperluan
pabrik-pabrik semen di dalam negeri. Sementara itu usaha-usaha sedang dilakukan dalam penelitian untuk memanfaatkan pasir besi
Yogyakarta untuk kebutuhan pabrik baja Krakatau Steel.
Mangan, sungguhpun merupakan komoditi ekspor, produksinya
selama ini tidak pernah mantap karena sifat cadangannya yang pada
umumnya hanya berukuran kecil, tersebar dan tidak teratur. Dalam
Repelita III akan diusahakan untuk menambang cadangan-cadangan
mangan di Jawa Barat, dengan perkiraan produksi rata-rata 30.000
ton/tahun.
Batu granit, dewasa ini merupakan salah satu bahan tambang non
metalik yang telah diusahakan secara modern dan teratur di pulau
Karimun, Propinsi Riau. Produksinya sebagian adalah untuk ekspor
ke Singapura dan Malaysia, dan sebagian lagi untuk penjualan di
dalam negeri.
113
Di samping berbagai jenis bahan tambang tersebut di atas, kegiatan
usaha pertambangan masih menghasilkan bahan-bahan galian lain
yang cukup penting artinya bagi kegiatan ekonomi daerah. Kurangnya
data statistik serta sifat pengusahaan yang tersebar dan kurang teratur tidak memungkinkan penyusunan perkiraan produksi secara
nasional, lebih-lebih lagi karena banyak di antaranya hanya diusahakan
secara musiman ataupun hanya diusahakan bila sedang ada permintaan untuk sesuatu kegiatan pembangunan di daerah yang bersangkutan. Batugamping dan berbagai macam lempung serta pasir, selama
Repelita III akan dihasilkan dalam jumlah besar untuk keperluan
semen, batubata, genteng dan berbagai keperluan pembangunan. Produksi barang-galian non-metalik lainnya akan meliputi antara lain tras
gunung api, batupualam,
pasir kwarsa, kaolin, belerang, aspal
alam, fosfat alam dan lain sebagainya.
Gas Kota
Usaha pengadaan dan penyaluran gas untuk keperluan industri
kecil dan gas kota, dewasa ini diselenggarakan oleh Perusahaan Gas
Negara (PGN) dengan delapan unitnya yang berkedudukan di Medan,
Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, Semarang, Surabaya dan Ujung
Pandang. Untuk seluruh usahanya PGN memiliki jaringan pipa sepanjang ± 924 km, dan gas yang disalurkan sebagian merupakan gas
buatan (dari bahan minyak dan atau batubara) dan sebagian lagi
gasbumi.
Rencana pengembangan usaha gas untuk industri kecil dan gas
kota dalam Repelita III akan lebih dititik beratkan pada usaha penyaluran gasbumi. Dalam hubungan ini akan dilaksanakan :
a. Perluasan jaringan pengadaan dan penyaluran gas di Jakarta dan
Bogor, dengan menyalurkan gas bumi pipa utama Cilamaya
b. Cilegon melalui transmisi Cimangis - Jakarta dan interkoneksi
Jakarta – Bogor;
c. penyelesaian jaringan gasifikasi kota Medan dan sekitarnya dari
lapangan gasbumi Sungai Wampu, termasuk penyaluran gas untuk
PLTU di Belawan;
114
c. penelitian terhadap kemungkinan penyaluran gasbumi dari lapangd. an Cepu dan Poleng (di daerah lepas pantai sebelah utara Madura)
untuk jaringan gasifikasi Surabaya dan sekitarnya;
e. penelitian terhadap kemungkinan gasifikasi kota Palembang
dengan menggunakan kelebihan kapasitas penyaluran gasbumi
untuk pabrik pupuk PUSRI.
Penelitian mengenai kemungkinan penggunaan batubara Ombilin
untuk usaha pembuatan kokas dan pengadaan gas untuk keperluan
pabrik semen Indarung dan kota Padang akan dilanjutkan, antara
lain karena kebutuhan kokas di dalam negeri selama ini masih harus
dipenuhi dengan impor kokas langsung dari luar negeri.
TABEL 11— 18
PERKIRAAN PENJUALAN GAS,
1979/80 - 1983/84
(juta kaki kubik)
Tahun
Jumlah
1979/80
1980/81
2.220
6.595
8.180
14.855
19.045
1981/82
1982/83
1983/84
Kcgiatan Penunjang
Untuk dapat melaksanakan rencana pembangunan sektor pertambangan seperti antara lain tersusun dalam program-program produksi
tersebut di atas, diperlukan iklim usaha yang serasi serta sarana administrasi Pemerintah yang memadai. Dalam hubungan ini, kemampuan
aparatur Pemerintah akan ditingkatkan agar di satu pihak dapat mendorong dan menunjang usaha pembangunan yang direncanakan, dan
di lain pihak dapat lebih baik membimbing dan mengawasi jalannya
pembangunan itu sendiri.
Usaha untuk meningkatkan kemampuan aparatur Pemerintah tercakup dalam kegiatan penunjang yang meliputi segi personil, material
dan berbagai sarana administratip, penelitian dan pengembangan.
115
Kegiatan di bidang personil, mencakup usaha peningkatan ketrampilan dan keahlian, melalui pendidikan dan latihan, baik di dalam
maupun di luar negeri. Usaha ini tidak terbatas pada bidang-bidang
keahlian khusus atau pun pada tingkat dan jenjang kepangkatan tertentu, akan tetapi pelaksanaannya diusahakan untuk semua bidang
dan semua tingkatan yang dirasa perlu untuk kelancaran pelaksanaan
pembangunan.
Kegiatan penunjang di bidang material mencakup antara lain penggantian dan penambahan sarana dan peralatan kerja, yaitu perluasan
dan penambahan gedung-gedung dan peralatan laboratorium, perluasan dan penambahan gedung-gedung dan peralatan kantor, alat angkutan baik untuk pekerjaan lapangan maupun untuk angkutan pegawai kantor, dan pengadaan berbagai-macam perlengkapan dan peralatan untuk melaksanakan kegiatan administrasi Pemerintahan, pekerjaan lapangan maupun penelitian-penelitian di laboratorium.
Program penunjang di bidang penelitian dan pengembangan mencakup kegiatan-kegiatan di bidang geologi, geokimia, geofisika, geoteknik, vulkanologi, hidrogeologi, eksplorasi minyak bumi dan mineral lainnya, berbagai macam penelitian laboratorium dan lapangan,
untuk tujuan ilmiah maupun sebagai penyelidikan terapan. Tujuan
pokok daripada berbagai macam kegiatan ini adalah untuk menunjang usaha pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber daya
alam yang berupa tanah, mineral, air dan panas bumi, dengan memperhatikan kelestarian tata-lingkungan.
Program penunjang di bidang administrasi mencakup berbagai usaha untuk melengkapi peraturan-peraturan perundangan antara lain
yang mengenai perizinan dan pengawasan; usaha penyempurnaan
ataupun perbaikan tata usaha kantor, kearsipan, dokumentasi dan perpustakaan; perbaikan cara-cara pengawasan, pengendalian dan pengelolaan usaha-usaha pertambangan.
Program penunjang untuk pembangunan sektor pertambangan, pada
pokoknya bertujuan meningkatkan kemampuan aparatur pemerintahan agar pembangunan sektor pertambangan dapat berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam GBHN dan Sapta Krida Kabinet.
Pembangunan III.
116
B. E N E R G I
I.
PENDAHULUAN
Energi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi
tercapainya sasaran pembangunan. Selama Repelita I dan II penyediaan energi belum merupakan masalah karena kebutuhan akan energi dari berbagai sektor dapat dipenuhi dengan balk. Hal ini disebabkan karena bumi Indonesia mengandung berbagai macam potensi
sumber daya energi, seperti minyak dan gas bumi, batubara, tenaga air
dan panas bumi. Selain itu sebagai negara tropik dengan alam yang
subur, dapat dimanfaatkan panas matahari dan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan kayu bakar bagi penyediaan energi
di daerah pedesaan.
Namun demikian, menghadapi pertumbuhan jumlah penduduk yang
pesat serta peningkatan industrialisasi di tahun-tahun yang akan datang, sudah seharusnya sedini mungkin mulai dilaksanakan pengelolaan berbagai sumber energi tersebut secara rasional dan efektif. Perkembangan konsumsi energi selama 15 tahun terakhir dengan jelas
membuktikan perlunya pengaturan tata-energi secara terpadu, yang
tidak saja mengatur pengembangan serta pemanfaatan berbagai sumber
Jaya energi itu secara efisien, tetapi juga dengan memperhatikan kelestarian tata-lingkungan.
Dari data perangkaan yang dapat dikumpulkan mulai tahun 1963,
tercatat bahwa selama periode 1963 -- 1-969 kenaikan total konsumsi
energi komersial di Indonesia adalah rata-rata 5,2% setahun, sedang
untuk periode 1970 — 1977 kenaikan rata-rata adalah 13,7% setahun. Dalam pengertian energi komersial ini tidak termasuk energi
yang berasal dari kayu bakar dan limbah pertanian, yang meskipun
sangat besar pemakaiannya di daerah pedesaan, datanya belum ter sedia. Beberapa hasil survai memperkirakan bahwa total konsumsi
energi non-komersial ini mungkin lebih besar dari pada konsumsi
energi komersial pada dewasa ini.
Jenis sumber energi komersial yang selama : ini digunakan di Indonesia adalah minyak bumi, gas bumi, gas minyak cair (liquefied petro-
117.
leum gas atau LPG), batubara dan tenaga air. Meskipun sesungguhnya
berbagai jenis sumber energi komersial itu terdapat dalam jumlah
cukup besar, namun sampai saat ini pola pemanfaatan sumber-sumber
energi itu masih sangat pincang. Untuk tahun 1977 tercatat 89,8%
dari konsumsi energi berasal dari minyak bumi, 8,6% dari gas bumi
dan LPG, 0,7% dari batubara dan 0,9% dari tenaga air.
Menyadari betapa pentingnya peranan minyak bumi sebagai sumber
penerimaan negara sebagai penghasil devisa, sedang sumber alam ini
tidak dapat diperbaharui, maka perlu segera diusahakan agar perekonomian energi, tidak terlalu berat bersandar pada minyak bumi dan
agar sebanyak mungkin dapat memanfaatkan sumber-sumber energi
yang lain.
Berdasarkan hal-hal tersebut pengembangan suatu kebijaksanaan
energi yang terpadu, akan mendapatkan prioritas utama selama Repelita III. Kebijaksanaan tersebut akan menyangkut berbagai aspek kehidupan rakyat, dan terutama sekali akan mempunyai kaitan erat dengan pertambahan jumlah penduduk dan laju pertumbuhan ekonomi.
Sekalipun Indonesia dianugerahi potensi sumber energi yang beraneka ragam dalam jumlah besar, masalah yang dihadapi dalam usaha
pengembangan suatu jenis energi ialah masa awal (leadtime) panjang
yang diperlukan, yaitu waktu sejak dari pengambilan keputusan sampai sumber energi itu dapat dipergunakan secara efektip. Di samping
itu, industri energi pada umumnya bersifat padat modal dan padat
teknologi. Tambahan pula segala akibat sampingan yang menyertai
usaha pengembangan suatu sumber daya energi secara besar-besaran
harus diperhitungkan dari semula. Dengan lain perkataan untuk dapat memanfaatkan sesuatu jenis energi dalam dasawarsa yang akan
datang, sudah harus dari sekarang segala sesuatunya dipersiapkan.
Dengan sasaran laju pertumbuhan ekonomi setinggi 6,5% selama
Repelita III, maka kebutuhan untuk konsumsi energi dalam negeri
pada tahun 1985 diperkirakan akan mencapai 53 juta ton ekivalen batubara (TCE), sedangkan konsumsi energi dalam negeri pada
tahun 1977 hanya berjumlah 24 juta TCE. Dengan lain perkataan konsumsi energi pada akhir Repelita III akan meningkat dengan sekitar
100% jika dibandingkan dengan konsumsi energi pada tahun 1977.
118
Seperti telah diutarakan dalam bab pendahuluan, perekonomian
energi dewasa ini tergantung sekali dari minyak bumi. Pada tahun
1963 peranan minyak bumi dalam perekonomian energi ialah 84,0%,
tetapi peranan tersebut terus meningkat menjadi 87,9% pada tahun
1970 dan 89,8% pada tahun 1977. Jelas dari angka tersebut bahwa
sumber daya energi lainnya, yakni gas alam, batubara dan te naga
air mengambil peranan yang sangat kecil dalam perekonomian energi,
Jika kecenderungan tersebut dibiarkan berlangsung terus, maka kebutuhan minyak bumi untuk penyediaan energi di dalam negeri akan
terus meningkat. Karena itu tidak ada pilihan kecuali dengan secepat mungkin mengusahakan pengembangan dan pemanfaatan berbagai
potensi sumber daya energi lain. Di samping minyak dan gas bumi,
bumi Indonesia mengandung cadangan batubara dan lignit dalam
jumlah yang sangat besar. Selanjutnya di kepulauan Indonesia terdapat sungai-sungai besar dan danau-danau yang dapat dimanfaatkan
untuk pengembangan tenaga air. Begitu juga dari proses magmatik terdapat tanda-tanda tersedianya potensi panas bumi. Selain itu ada
indikasi-indikasi terdapatnya mineral-mineral radio-aktip yang mungkin kelak dapat dijadikan bahan bakar untuk reaktor nuklir. Di samping itu iklim tropika memungkinkan pemanfaatan segala aspek tenaga panas matahari, baik untuk pemanasan, pembangkit listrik (photovoltaic), mekanis (angin), biologis (bio-gas), maupun kimia (photoelectric atau thermalchemical). Akhirnya, di wilayah Indonesia yang
begitu luas masih banyak terdapat tanah kritis yang dapat dimanfaatkan secara bersistem bagi perkebunan energi. Perkebunanperkebunan energi ini, selain sebagai sumber energi, sekaligus dapat
pula berfungsi sebagai alat untuk pemulihan dan pemuliaan tanah,
tata-air dan mencegah erosi.
Sekedar ikhtisar di bawah ini akan digambarkan kemungkinan pemanfaatan potensi berbagai sumber daya energi yang terdapat di
Indonesia.
Minyak dan Gas Bumi
Sejalan dengan perkembangan kegiatan eksplorasi yang mulai ditingkatkan pada tahun 1967, cadangan minyak bumi Indonesia terus me-
119
ningkat. Pada tahun 1971 dimulai produksi minyak bumi darn la -
pangan lepas pantai, dan sejak itu produksi minyak mentah Indonesia
telah meningkat, dari 0,75 juta barrel/hari pada tahun 1969 men jadi 1,7 juta barrel/hari pada tahun 1977. Sekalipun demikian, ke giatan eksplorasi tersebut baru meliputi sekitar 20% daerah yang
prospektip, dan daerah yang belum diselidiki secara teliti, baik di
daratan maupun di lepas pantai, masih sangat luas.
Mengingat bahwa minyak bumi mempunyai peranan sangat penting
dalam perekonomian Indonesia, yakni sebagai sumber penerimaan Negara berupa devisa dan sebagai sumber energi di dalam negeri, maka
intensifikasi dan ekstensifikasi pencarian sumber-sumber baru dan peningkatan produksi dari sumur-sumur yang telah ada akan terus dilakukan.
Dalam pada itu Indonesia masih juga memiliki cadangan gas bumi.
Selama ini jebakan gas bumi ditemukan sebagai hasil sampingan eksplorasi minyak. Karena .bumi Indonesia diperkirakan masih banyak
mengandung gas bumi, maka pencarian sumber-sumber baru perlu digalakkan, terutama di daerah dekat pusat konsumsi seperti Jawa Barat.
Dalam hubungan ini harga gas bumi akan ditetapkan sedemi kian
rupa, hingga terjangkau oleh masyarakat dan cukup merangsang
bagi pencarian dan pengembangan ladang-ladang gas baru. Peningkatan produksi dan penggunaan gas akan dapat mengurangi beban yang
dipikul oleh minyak bumi. Dengan pengaturan harga yang wajar gas
burn dapat pula berperan sebagai bahan baku industri petrokimia .
Batubara
Dewasa ini telah dapat dibuktikan bahwa bumi Indonesia mengandung cadangan batubara yang amat besar. Diperkirakan lebih dari
10 milyar ton terdapat di Sumatera Selatan dalam endapan yang relatif
dangkal. Di samping itu, di Kalimantan dan di Sumatera bagian Tengah juga terdapat endapan-endapan batubara dalam jumlah besar.
Cadangan batubara Indonesia secara keseluruhan mempunyai nilai
kalori yang jauh lebih besar dari cadangan minyak bumi yang diketahui
sampai saat Oleh karena itu akan lebih menguntungkan jika
batubara Indonesia dapat dikembangkan dan digunakan secara besarbesaran, terutama untuk pembangkitan tenaga listrik.
120
Di samping itu batubara dapat pula dijadikan bahan dasar industri
kimia dan briket sebagai bahan bakar. Untuk jangka panjang cadangan
batubara Indonesia yang besar itu dapat diproyeksikan untuk dijadikan gas dan cairan.
Oleh karena itu selama Repelita II telah mulai diambil langkah
agar batubara dijadikan bahan bakar pengganti, terutama untuk pembangkitan tenaga listrik jika batubara diharapkan menggantikan pe ranan minyak di dalam negeri, maka ini berarti bahwa produksi batubara harus segera ditingkatkan. Masalah yang dihadapi ialah masalah
transport dan masalah harga.
Pengembangan batubara di Sumatera Selatan sejauh mungkin akan
dikaitkan dengan pengembangan wilayah. Dengan semakin terbukanya
Sumatera Selatan diharapkan perpindahan penduduk secara spontan
dari Jawa ke Sumatera akan semakin meningkat.
Tenaga Air
Kapasitas terpasang pusat listrik tenaga air (PLTA) pada tahun
1977 baru mencapai 450 MW, sedang potensi teoritis tenaga air
di seluruh Indonesia diperkirakan berjumlah 31.000 MW. Potensi
tenaga air didekat pusat-pusat konsumsi seperti di pulau Jawa yang
belum dimanfaatkan diperkirakan berjumlah 2.000 MW, sedang seluruh potensi yang diperkirakan dapat dimanfaatkan sebelum tahun
2.000 diperkirakan sebesar 4.000 MW. Potensi tersebut diatas besar
sekali artinya jika dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan tenaga
listrik dan dengan demikian dapat menggantikan bahan bakar minyak.
Di samping itu, pemanfaatan tenaga air memungkinkan pelaksanaan
proyek serbaguna (pengendalian banjir, pengendalian erosi, persediaan air, dan perlindungan tata lingkungan dan rekreasi) yang sangat
bermanfaat bagi masyarakat. Namun demikian salah satu kesukaran
untuk mengembangkan tenaga air ialah biaya yang sangat tinggi.
Panas Bumi
Sumber daya energi panas bumi dalam bentuk konvensional (air
panas dan uap) di Indonesia diperkirakan berjumlah 1.500 MW,
890 MW diantaranya terdapat di pulau Jawa. Karena biaya produksi
tenaga listrik dari energi panas bumi diperkirakan cukup bersaing
121
dibandingkan dengan pembangkitan listrik dengan minyak dan batubara, maka potensi panas bumi Indonesia dimana mungkin akan dikembangkan.
Masalah yang di'hadapi di bidang pengembangan panas bumi ialah
masalah kelembagaan. Di samping itu masalah harga uap, yang sangat
penting untuk kegairahan mencari sumber-sumber baru. Inventarisasi sumber panas bumi akan dilakukan dan dikaitkan dengan pengembangan wilayah, terutama bagi daerah-daerah terpencil.
Mineral Radioaktip
Kegiatan survai dan eksplorasi telah menemukan beberapa indikasi
mineralisasi uranium di beberapa tempat di Indonesia antara lain di
Kalimantan. Bila potensi cadangannya cukup besar, maka Indonesia di
kemudian hari mungkin akan dapat menggunakan uranium dari produksi sendiri untuk pusat listrik tenaga nuklir (PLTN).
Tetapi karena pembangunan tenaga nuklir sangat mahal dan memerlukan teknologi sangat maju, maka dalam mengambil langkah-langkah kearah pembangunan tersebut akan dipertimbangkan dari berbagai
macam segi, terutama dengan mengingat faktor kelayakan tekno-ekonomis, faktor keselamatan dan faktor-faktor tata lingkungan. Kecenderungan harga minyak yang terus meningkat memungkinkan tenaga
nuklir bersaing dengan jenis tenaga lainnya.
Panas Matahari
Untuk jangka panjang matahari merupakan sumber energi, yang tak
habis-habisnya dan lagi pula tidak mengakibatkan polusi. Indonesia
yang terletak di daerah tropika dapat memanfaatkan tenaga matahari,
baik untuk pemanasan tenaga listrik, tenaga mekanis, biologis, maupun kimia.
Yang. segera dapat dilakukan ialah penggunaan di bidang termis,
yaitu untuk pengeringan maupun pendinginan (pengawetan), pemanfaatan bio-gas dari limbah, dan pemanfaatan tenaga angin terutama
di Indonesia bagian Timur dan di daerah-daerah pedesaan.
Di samping itu pemanfaatan tenaga matahari secara pasif perlu
dikembangkan, yakni mengatur lingkungan hidup (pemukiman) sede122
mikian rupa agar sinar matahari dan angin dapat dimanfaatkan se cara maksimal untuk penerangan dan pemanfaatan ventilasi alamiah.
Sekalipun bidang ini Baru berkembang, beberapa bidang teknologi panas
matahari dapat diterapkan secara langsung melalui adaptasi. Dalam hal
ini akan dipilih bidang yang dapat menggunakan komponen buatan
dalam negeri.
Kayu Bakar
Seperti juga di negara-negara sedang berkembang lainnya, pemakaian
jenis energi non-komersiil di Indonesia diperkirakan sangat besar. Kayu
bakar, misalnya masih memegang peranan penting sebagai bahan
energi, khususnya untuk rumah tangga dan industri di pedesaan.
Pada tahun 1974 diperkirakan konsumsi kayu bakar untuk seluruh
Indonesia mencapai kurang lebih 40 juta ton. Yang menjadi masalah
Besar ialah penyediaannya. Di satu pihak terjadi kekurangan di daerah padat penduduk, seperti di Jawa dan Bali, di lain pihak terdapat
kelebihan di daerah-daerah lain. Kekurangan kayu bakar di Jawa dan
Bali sangat terasa. Kekurangan ini merupakan salah satu sebab dari
gundulnya tepi sungai, tebing jurang dan lereng gunung, yang selanjutnya mengakibatkan erosi dan banjir. Penggundulan sampai saat ini
masih terjadi, walaupun penghijauan dan reboisasi telah dilipat gandakan sejak tahun 1976/77.
Di luar Jawa, bersamaan dengan produksi kayu untuk ekspor dan
kebutuhan dalam negeri dihasilkan pula limbah tebangan berupa
bonggol, pucuk batang, dahan dan ranting, yang pada saat ini diper kirakan mencapai kurang lebih 26 juta m 3 tiap tahunnya. Limbah
tebangan ini belum dapat dimanfaatkan guna . menutupi kekurangan
kayu bakar di daerah padat penduduk, karena biaya angkutan yang
tinggi dan harga kayu bakar rendah.
Indonesia sebagai negara tropik mempunyai potensi besar untuk
memproduksi kayu bakar. Penanaman tanah-tanah kritis dengan jenis
kayu bakar yang sesuai, tidak akan mengurangi fungsi lindung dari
tanaman itu; pemangkasan dapat dilakukan menjelang akhir musim
123
hujan, dan pada permulaan musim hujan berikutnya hutan kayu bakar tersebut sudah akan rimbun kembali menutupi tanah yang bersangkutan dengan sempurna.
Sebagai bahan energi kayu bakar mempunyai kemungkinan diolah
menjadi bahan bakar yang lebih bermutu berupa bahan bakar padat,
cair dan gas, yang dapat digunakan selain untuk rumah tangga juga
untuk industri dan pengangkutan. Hal ini masih akan diteliti lebih
lanjut.
II. KEBIJAKSANAAN DAN LANGKAH-LANGKAH
Berdasarkan keadaan dewasa ini dan hasil analisa tentang sumbersumber alternatip yang ada maka sesuai dengan GBHN pengembangan
dan pemanfaatan energi akan didasarkan kepada kebijaksanaan energi
yang menyeluruh serta terpadu dengan memperhitungkan peningkatan
kebutuhan, baik untuk ekspor maupun untuk pemakaian
dalam negeri serta kemampuan penyediaan energi secara strategis
dalam jangka panjang.
1.
2.
3.
4.
5.
Tujuan menyeluruh dari kebijaksanaan energi tersebut adalah :
Menjamin pengadaan energi secara terus-menerus, dalam jumlah
dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan dan dengan harga yang
wajar, demi peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia secara
me-rata dan tercapainya laju pertumbuhan ekonomi yang . cukup
tinggi.
Menjamin agar pengadaan energi tersebut, di samping memenuhi
kebutuhan nasional, juga menyediakan. komoditi ekspor untuk
menunjang neraca pembayaran.
Menjamin agar pengembangan sumber daya energi disertai oleh
pengelolaan tata lingkungan secara efisien dan bijaksana untuk
mencapai mutu kehidupan yang lebih balk bagi rakyat Indonesia.
Mengusahakan agar keseluruhan pengadaan energi dan pengelolaan sumber daya energi meningkatkan ketahanan nasional dalam
arti kemampuan dan ketangguhan bangsa Indonesia menghadapi
masa depan.
Menjamin agar sektor energi dapat memenuhi fungsinya Sebagai
penunjang utama dalam pembangunan nasional jangka panjang.
124
Sasaran pokok kebijaksanaan energi adalah mengurangi ketergantungan dari minyak bumi dan secara berangsur-angsur beralih dari
perekonomian mono-energi ke perekonomian poli-energi.
Untuk mencapai sasaran-sasaran kebijaksanaan energi nasional
akan ditempuh langkah-langkah di berbagai bidang yang meliputi
eksplorasi sumber energi konvensional, penelitian dan pengembangan
sumber energi non-konvensional, pengembangan kemampuan dan
tenaga kerja, sumber dana, pentaripan, perpajakan dan bea cukai,
dan kelembagaan.
Eksplorasi energi yang meliputi minyak dan gas bumi, batubara,
tenaga air, panas bumi dan mineral radioaktip akan digalakkan, terutama di daerah dekat pusat konsumsi. Untuk daerah-daerah yang
terpencil di mana kegiatan eksplorasi sulit dilaksanakan akan dipertimbangkan insentip yang cukup menarik bagi para investor.
Kegiatan penelitian dan pengembangan sumber energi non-konvensional akan mendapat dorongan dan dukungan dengan tujuan agar
dapat ditemukan cara-cara pemanfaatannya, sehingga pada waktunya
dapat mengganti peranan energi . konvensional. Sehubungan dengan
usaha pengembangan energi perlu dipikirkan pengembangan kemampuan teknologi dalam tiap jenis energi yang hendak dikembangkan.
Ini berarti bahwa dalam waktu singkat harus dibina tenaga ilmiah
dan tenaga peneliti ilmiah di bidang energi yang mencakup minyak,
batubara, gas bumi, tenaga air, panas bumi, nuklir, panas matahari
dan kayu bakar.
Dalam pada itu akan disempurnakan serta diperkuat lembagalembaga peneliti yang ada hubungannya dengan pengembangan energi. Dengan demikian dapat diharapkan peningkatan kemampuan
nasional dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan
itu akan digariskan program program penelitian yang diperlukan.
Sifat padat modal dari sektor energi mengakibatkan dana yang diperlukan bagi pengembangan energi menjadi sangat besar. Mengingat
kemampuan pembiayaan dan teknologi yang masih terbatas, modal dan
keahlian asing di mana perlu dimanfaatkan.
Tarip dan harga merupakan sarana penting guna mencapai sasaran
yang telah ditetapkan dalam kebijaksanaan energi nasional, baik me-
125
ngenai laju pertumbuhan perekonomian, pengusahaan sektor energi
dan diversifikasi energi, maupun mengenai pergeseran pola konsumsi. Karena itu kebijaksanaan harga dan tarip ditujukan untuk mencapai keseimbangan antara berbagai kepentingan, yaitu penyediaan
energi dengan harga yang wajar, peningkatan efisiensi penggunaan
energi dan pengusahaan yang sehat.
Kebijaksanaan pajak dan bea cukai yang menyangkut sektor energi
ditujukan selain untuk meningkatkan konservasi juga untuk meningkatkan kelancaran pengelolaan satuan-satuan produksi di bidang
energi.
III. P R O G R A M
Untuk dapat mencapai sasaran tujuan menyeluruh seperti yang
diutarakan .di muka, harus dapat dimanfaatkan semua sumber daya
energi secara optimal. Sasaran tersebut mengandung 7 unsur pokok,
yakni : (1) peningkatan dan perluasan usaha pencarian dan produksi
segala jenis sumber daya energi, yaitu minyak dan gas bumi, batubara, tenaga air, tenaga panas bumi dan. mineral radioaktif; (2) pengurangan penggunaan minyak bumi di dalam negeri dan pengutamaan minyak bumi sebagai bahan ekspor, melalui program diversifikasi yang luas dengan lebih mengembangkan pemanfaatan sumbersumber daya energi lainnya; (3) konservasi yang mengarah kepada
pemakaian energi secara lebih efisien; (4) pengembangan kelembagaan,
agar dengan demikian dapat dilaksanakan perumusan kebijaksanaan
energi secara nasional dan dapat dijamin pula implementasinya serta
peninjauannya sewaktu-waktu bila diperlukan; (5) pengembangan informasi dan data, untuk melengkapi informasi dan data sumbersum-ber energi . konvensional maupun non-konvensional serta kebutuhan
energi bagi seluruh masyarakat; (6) penyuluhan, agar masyarakat luas
mengetahui dan memahami kebijaksanaan energi yang dilaksanakan
oleh pemerintah ; (7) monitoring serta evaluasi daripada pelaksanaan
segala peraturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam rangka kebijaksanaan energi nasional, untuk pengambilan langkah-langkah penyempurnaan bila diperlukan.
126
Karenanya, kebijaksanaan energi terdiri dari tiga program pokok.
Pertama, program jangka pendek dengan sasaran intensifikasi dan
ekstensifikasi eksplorasi dan produksi sumber daya energi utama
masa kini, yakni minyak dan gas bumi, serta peningkatan produksi
kayu bakar. Kedua, program jangka menengah dengan sasaran diver.sifikasi yang luas untuk memanfaatkan segala sumber daya energi
yang ada secara optimal. Hal-hal yang perlu diusahakan dalam rangka
usaha diversifikasi ini ialah :
a. Mengusahakan penggunaan energi secara efisien;
b. Mengembangkan selekas mungkin produksi batubara dan memanfaatkannya bagi kepentingan dalam negeri terutama dalam
pembangkitan tenaga listrik, untuk keperluan industri dan rumah
tangga, baik di kota maupun di pedesaan;
c. Memanfaatkan tenaga air dan panas bumi di tempat-tempat dimana sumber-sumber tersebut ada bagi pembangkitan energi;
d. Meningkatkan produksi kayu bakar dengan mengikut sertakan
rakyat meningkatkan penghijauan dan reboisasi, serta penanaman
tanah-tanah kritis. Di samping itu memanfaatkan limbah (waste)
tebangan hasil produksi kayu sebagai bahan bakar;
e. Mendorong pemanfaatan tenaga panas matahari dengan kemampuan teknologi yang ada, dengan menggunakan komponen-komponen dalam negeri sebanyak mungkin;
f. Memanfaatkan tenaga nuklir sepanjang memenuhi kelayakan (feasibility) tekno-ekonomis;
g. Melakukan investasi yang memadai untuk meningkatkan kemampuan nasional di bidang penelitian dan pengembangan teknologi
yang menyangkut energi, dan memperkuat serta menyempurnakan
lembaga-lembaga . penelitian yang telah ada;
h. Mengusahakan tersedianya dana dan sarana baik bagi eksplorasi
dan .eksploitasi sumber-sumber energi baru, maupun pemanfaatan
sumber-sumber yang telah ada.
Ketiga, program jangka panjang merupakan usaha konservasi secara
luas di segala bidang yang dilakukan secara terus-menerus dan dimu-
127
lai sejak sekarang, disertai oleh usaha pemanfaatan sumber daya energi yang dapat diperbaharui dengan memperhatikan tata lingkungan.
Usaha konservasi mengarah kepada pemakaian energi yang lebih efisien, lebih mengandalkan pada sumber daya energi yang dapat diperbaharui dan menganut cara hidup yang lebih bijaksana. Konservasi
yang luas, misalnya, adalah berupa pengutamaan penggunaan kendaraan umum dan alas angkutan yang hemat energi, pemanfaatan tenaga
panas matahari secara pasif atau melalui konservasi langsung, dan
menggunakan peralatan kehidupan sehari-hari yang direncanakan dengan prinsip hemat energi dan efisien.
Untuk jangka panjang konservasi akan menjadi sangat penting, dan
akan memerlukan gaya hidup baru, karena akhirnya masalah energi
bukan hanya berpangkal tolak pada masalah pengadaan energi saja,
yakni masalah produksi, tetapi yang juga akan lebih menonjol pada
masa mendatang ialah benturannya kepada tata lingkungan dan tata
hidup masyarakat secara luas. Pengadaan energi di masa datang harus
memperhitungkan faktor-faktor ini, karena kalau tidak maka akhirnya
akan mengakibatkan meningkatnya biaya ekonomi, yang berarti penanaman modal yang lebih tinggi.
Program jangka pendek dan jangka menengah seperti tersebut di
atas dapat diperinci lebih lanjut menjadi rencana pengembangan berbagai sumber daya energi komersial yang ada, dan akan memberikan
perkiraan pengembangan secara kwantitatif sampai dengan 1983/
1984 sebagai berikut
Dalam tahun-tahun mendatang pemakaian gas bumi akan meningkat, karena beberapa industri baru akan menggunakan gas bumi sebagai sumber energi. Industri-industri yang akan menggunakan gas
bumi antara lain adalah beberapa pabrik pupuk, proyek LNG, beberapa pabrik semen dan beberapa PLTU di Banda Aceh, Belawan dan
Balikpapan. Sehubungan dengan itu total konsumsi energi yang bersumber pada gas alam pada tahun 1984 diperkirakan akan mencapai
606 MMCFD atau ekivalen dengan 8,3 juta ton batubara. Di samping
itu pada waktu yang akan datang konsumsi LPG diperkirakan akan
terus meningkat dan pada tahun 1984 akan mencapai 105 ribu ton
atau 190 ribu TCE.
128
Demikian pula halnya dengan batubara konsumsinya akan bertambah, khususnya karena pembangunan PLTU di Suralaya dan beberapa
industri kecil. Diperkirakan konsumsi batubara akan meningkat menjadi 1,2 juta ton pada tahun 1984.
Dalam priode 1977 — 1984 Perusahaan Umum Listrik Negara
merencanakan akan membangun PLTA tersebar di beberapa daerah
Indonesia, dengan jumlah kapasitas seluruhnya sebesar 307 MW.
Pada tahun 1980/1981 diperkirakan PLTA Jatiluhur akan diperluas
menjadi 150 MW, dan PLTA Larona sebesar 165 MW akan selesai
pada tahun 1980, sedang PLTA Asahan sebesar 603 MW diperkirakan akan selesai tahun 1984. Berdasarkan rencana-rencana pembangunan tersebut maka pada tahun 1984 diperkirakan kapasitas terpasang PLTA akan mencapai sekitar 1550 MW atau 1 juta TCE.
Pada tahun 1981 diperkirakan akan selesai dibangun pusat listrik
tenaga panas bumi (PLTP) yang pertama di Kamojang dengan kapasitas sebesar 30 MW dan kemudian pada tahun 1984 di daerah pegunungan Dieng dengan kapasitas yang sama, sehingga pada tahun 1984
diperkirakan kapasitas terpasang PLTP di Indonesia sudah akan mencapai 60 MW.
Pengembangan sumber-sumber daya energi non-minyak tersebut di
atas mungkin akan dapat menekan tingkat kenaikan konsumsi minyak
pada masa-masa mendatang. Tingkat kenaikan konsumsi minyak bumi
yang dalam periode 1970 — 1977 rata-rata adalah sebesar 13,7%
setahun, dalam periode 1977 — 1984 akan berkurang menjadi ratarata 9,5% setahun. Perkiraan tingkat kenaikan konsumsi ini masih
dapat ditekan lebih rendah lagi melalui penyesuaian harga bahan bakar
minyak.
Bila digunakan asumsi bahwa konsumsi energi selama jangka waktu
1977 — 1984 diperkirakan akan meningkat dengan rata-rata 11,5%
setahun (dibandingkan dengan 13,7% setahun untuk jangka waktu
1970 — 1977) maka total kebutuhan energi dalam tahun 1984 sudah
mencapai 52,780 juta TCE. Hal ini berarti bahwa peranan minyak
bumi sebagai sumber energi akan menurun dari 89,8% pada tahun
1977 akan menjadi 79,3% pada tahun 1984.
129
TABEL 11 -- 19
PERKIRAAN KEBUTUHAN ENERGI, 1978 --.1984
(dalam juta TCE)
1978
Jenis barang
TCE
1979
%
TCE
1981
1980
%
TCE
%
TCE
1982
1983
1984
%
TCE
%
TCE
%
TCE
%
1. Gas Bumi
3,137 (11,30)
4,375 (13,80)
4,885 (13,90) 5,435
(14,09)
6,647
(15,52)
8,050
(16,97)
8,339 (15,80)
2. L P G
0,078
( 0,28)
0,091 ( 0,29)
0,107 ( 0,30)
0,123
( 0,32)
0,141 ( 0733)
0,165.
( 0,35)
0,189 ( 0,36)
3. Batubara
0,190
( 0,68)
0,225 ( 0,71)
0,327 ( 0,94)
0,397
( 1,03)
0,522 ( 1,22)
0,644
( 1,36)
1,254 ( 2,38)
4. Tenaga Air
0,311 ( 1,12)
0,398 ( 1,26)
0,510 ( 1,45)
0,516
( 1,34)
0,521 ( 1,21)
0,548
( 1,15)
1,084 ( 2,05)
0,007
( 0,02)
0,007 ( 0,02)
0,007
( 0,01)
0,015 ( 0,03)
5. Panas Bumi
6. Minyak Bumi
Jumlah
--
( 0,00)
---
( 0,00)
--
( 0,00)
32,096 (83,20)
34,999 (81,70) 38,035 (80,16) 41,899 (79,38)
27,775 (100%) 31,708 (100%) 35,144 (100%) 38,574 (100%)
42,837 (100%) 4.7,449 (100%) 52,780 (100%)
24,059 (86,62)
TCE : Ton Coal Equivalent.
26,619 (83,95) 29,315 (83,41)
Kebutuhan energi sebesar itu akan dapat dipenuhi tanpa kesulitan,
apabila dari sekarang dilakukan perencanaan yang terarah, antara lain
dengan sasaran untuk lebih banyak mengembangkan sumbersumber non-minyak.
Dalam Tabel 11-19 diutarakan perkiraan pertumbuhan kebutuhan
energi di Indonesia untuk jangka waktu 1978 — 1984, disertai
perincian sumber asalnya, dengan menggunakan asumsi seperti tersebut di atas.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa persoalan energi menyangkut
masalah yang sangat luas dari pada kehidupan masyarakat, diantaranya
yang sangat menonjol ialah yang menyangkut ekonomi dan permodalan khususnya, teknologi, tenaga kerja dan kelembagaan, tatalingkungan, social serta masalah waktu persiapan pelaksanaan yang
panjang.
Untuk menjamin agar kebijaksanaan energi dapat terlaksana secara
baik dan terpadu, maka diselenggarakan penelaahan mengenai tata
cara pengelolaan daripada berbagai kegiatan eksplorasi, produksi, distribusi dan konsumsi, dikaitkan dengan segi-segi kelembagaan yang
konsisten dalam satu kaitan yang menyeluruh dengan usaha peningkatan ketahanan nasional.
B. TENAGA LISTRIK
I. PENDAHULUAN
Tenaga listrik sebagai sarana produksi maupun sebagai sarana kehidupan sehari-hari memegang peranan yang penting dalam usaha
mencapai sasaran pembangunan. Sebagai sarana produksi, tersedianya
tenaga listrik dalam jumlah dan mutu yang memadai pada waktu yang
tepat, akan dapat mendorong laju pembangunan sektor-sektor lain.
Di samping itu tersedianya tenaga listrik yang tersebar dan dipergunakan secara luas untuk keperluan sehari-hari akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat maupun mempertinggi ketahanan nasional. GBHN menentukan agar pembangunan kelistrikan ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan kota
serta mendorong dan merangsang kegiatan ekonomi.
131
Dengan demikian pembangunan kelistrikan akan mempengaruhi
tiga unsur dari Trilogi Pembangunan yaitu pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya, peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup
tinggi dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Selama Repelita
III kebijaksanaan dan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk
mencapai tujuan tersebut di atas akan dilandaskan pada Trilogi Pembangunan. Di samping itu mengingat pembangkitan tenaga listrik dilakukan dengan menggunakan sumber daya energi, kebijaksanaan
pembangunan kelistrikan akan dikaitkan dengan menggunakan kebijaksanaan energi nasional. Tambahan pula dalam melaksanakan pembangunan kelistrikan akan selalu diadakan penilaian yang seksama
terhadap pengaruhnya bagi lingkungan hidup, agar pengamanan terhadap pelaksanaan pembangunan dan lingkungan hidupnya dapat dilakukan sebaik-baiknya.
Pembangunan kelistrikan adalah pembangunan padat modal dan
memerlukan waktu yang cukup panjang untuk perencanaan dan pelaksanaannya. Selama Repelita I dan II sebagian besar dari dana pembangunannya berasal dari investasi Pemerintah. Selama Repelita III
akan dijajagi partisipasi swasta yang lebih luas untuk memenuhi peningkatan permintaan tenaga listrik.
II. KEADAAN DEWASA INI
Jumlah daya terpasang pada akhir Repelita II secara nasional di
Indonesia berjumlah lebih kurang 3.971 MW. Dari jumlah tersebut
2.283 MW diusahakan oleh PLN sedangkan selebihnya sebesar kirakira 1.688 MW merupakan milik industri-industri yang untuk sebagian besar mengusahakan pembangkit-pembangkit listrik tersebut
untuk keperluan sendiri. Di samping itu juga dilakukan persiapanpersiapan untuk . memperluas elektrifikasi pedesaan, baik oleh PLN
maupun melalui Koperasi Listrik.
Perkembangan pembangunan kelistrikan PLN selama ini menunjukkan bahwa selama Repelita II dapat diselesaikan pusat pembang kit tenaga listrik dengan kapasitas 1.337 MW; penyelesaian jaringan
transmisi sepanjang 2.758 kms; penyelesaian gardu induk dengan
kapasitas 3.137 MVA; penambahan jaringan distribusi tegangan
132
menengah sepanjang 7.625 kms dan jaringan distribusi tegangan
rendah sepanjang 7.177 kms beserta gardu distribusi sebanyak 14.518
unit. Selama Repelita II telah diadakan persiapan-persiapan untuk
mengembangkan listrik pedesaan baik oleh PLN maupun oleh koperasi.
Sebagai hasil kegiatan pembangunan dan rehabilitasi pusat pem bangkit tenaga listrik, jaringan transmisi dan distribusi maka diperoleh penambahan daya terpasang yang memungkinkan peningkatan
produksi dan penjualan tenaga listrik serta daya tersambung selama
Repelita II.
Dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi selama Repelita
II, maka permintaan masyarakat akan tenaga listrik menjadi makin
pesat. Hal ini terjadi khususnya di kota-kota besar yang merupakan
pusat beban. Permintaan yang pesat ini mengakibatkan perlunya dibangun beberapa pusat listrik tenaga gas (PLTG) di kota-kota besar
tersebut karena pembangunan PLTG dapat dilaksanakan dalam
waktu relatip singkat. Sebagai akibat daripada kebijaksanaan ini
maka sistem pembangkitan tenaga listrik PLN, apabila dibandingkan
dengan awal Repelita II, akan sangat tergantung pada unit PLTG.
Pembangkitan tenaga listrik dengan unit PLTG memerlukan pemakaian bahan bakar setiap kwj relatip lebih banyak.
Dengan selesainya proyek-proyek kelistrikan, maka selain berhasil
mengadakan elektrifikasi di beberapa daerah baru, juga telah ber hasil mengurangi pemadaman berat yang terjadi di beberapa daerah
khususnya di beberapa ibukota propinsi. Di samping itu secara bertahap telah dapat dilaksanakan pemeliharaan pusat-pusat pembangkit tenaga listrik secara lebih teratur.
Dalam segi pengusahaan meskipun PLN telah dapat mencapai titik
keseimbangan finansial pada tahun terakhir Repelita II, namun laju
tingkat pertumbuhan penjualan tenaga listrik selama Repelita II belum dapat mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Demikian pula
perluasan dan rehabilitasi sistem belum dapat menurunkan besarnya
kerugian/susut listrik dari tahun ke tahun selama lima tahun terakhir
ini. Di samping itu usaha interkoneksi jaringan transmisi belum seluruhnya dapat dilaksanakan.
133
TABEL 11 — 20
PENGUSAHAAN TENAGA LISTRIK PLN,
1974/75 -- 1978/79
URAIAN
PRODUKSI TENAGA LISTRIK
(MWJ)
PENJUALAN TENAGA LISTRIK
(MWJ)
DAYA TERSAMBUNG
(KVA)
DAYA TERPASANG
(MW)
*)
Angka perkiraan.
1974/75
1975/76
1976/77
1977/78
1978/79 *)
3.345.241
3.770.294
4.127.391
4.704.833
5.746.753
2.444.107
2.803.613
3.081.817
3.528.625
4.425.000
1.261.815
1.426.376
1.694.800
2.017.000
2.482.600
1.117
1.284
1.376
1.870
2.283
Pada permulaan Repelita II dari sejumlah 233 ibukota kabupaten
yang ada, diperkirakan hanya 192 ibukota kabupaten yang sudah
mendapatkan listrik dari PLN, sedangkan sebanyak 30 ibukota kabupaten mendapatkan listrik dari Pemerintah Daerah setempat atau
swasta dan 11 lainnya masih belum mendapatkan listrik sama sekali.
Menjelang Repelita III dari sejumlah 285 ibukota kabupaten/kotamadya/kota administratip diperkirakan hanya 5 ibukota kabupaten
yang belum ada listrik sama sekali dan 2 ibukota lainnya mendapatkan listrik dari swasta.
Pada dewasa ini masih terdapat daerah-daerah yang memiliki fasilitas pembangkitan yang terbatas atau fasilitas penyaluran yang terbatas dan ada pula daerah-daerah yang terbatas dalam kedua fasilitas tersebut. Untuk memanfaatkan sepenuhnya fasilitas dan pem bangkitan tenaga listrik yang tersedia maka diusahakan adanya keseimbangan sistem antara pusat-pusat listrik dengan jaringan transmisi maupun jaringan distribusi.
III. KEBIJAKSANAAN DAN LANGKAH-LANGKAH
Berdasarkan Garis-garis Besar Haluan Negara dan keadaan dewasa
ini maka sasaran utama pembangunan kelistrikan selama Repelita III
ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan dan
kota serta mendorong dan merangsang kegiatan ekonomi.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka beberapa kebijaksanaan
dan langkah-langkah akan ditempuh selama Repelita III.
1. Peningkatan Sarana Penyediaan Tenaga Listrik.
Penyediaan tenaga listrik dengan mutu yang baik dan dalam jumlah
yang cukup, diharapkan dapat dicapai dengan biaya yang seminimal
mungkin melalui perencanaan, pembangunan dan pengusahaan yang
optimal. Usaha optimal yang dilakukan dalam perencanaan, didasarkan pada serangkaian kebijaksanaan yang pada dasarnya berlaku
dalam jangka panjang. Rencana peningkatan sarana penyediaan tenaga listrik didasarkan pada kebijaksanaan yang menyatukan seluruh
sektor tenaga listrik dalam satu kesatuan perencanaan yang menyeluruh. Di samping itu peningkatan sarana produksi tenaga listrik
dalam Repelita III maupun dalam jangka waktu yang lebih panjang,
135
perlu disesuaikan dengan kebijaksanaan energi nasional dan selanjutnya berpegang pada pedoman : (a) memperluas pemanfaatan potensi tenaga air; (b) memperluas penggunaan batubara dan gas alam;
(c) memperluas pemanfaatan tenaga panas bumi; (d) memanfaatkan
tenaga nuklir dan (e) memanfaatkan tenaga non konvensional. Kebijaksanaan tersebut adalah pencerminan dari usaha yang dilakukan
secara sadar untuk mengamankan fungsi minyak bumi sebagai sumber
devisa. Untuk jangka waktu yang lebih panjang, kebijaksanaan ini
adalah sejalan dengan kebijaksanaan energi nasional.
Kebijaksanaan lain yang ditempuh dalam rangka usaha peningkatan
sarana penyediaan , tenaga listrik adalah peningkatan pemanfaatan
sarana produksi tenaga listrik. Pada waktu ini di seluruh Indonesia
terdapat banyak sistem jaringan tenaga listrik yang situ sama lain
terpisah, sehingga jumlah daya cadangan yang terpasang adalah relatip besar dan tidak efisien. Untuk mempertinggi efisiensi sarana
produksi tersebut di atas maka akan dilaksanakan interkoneksi antar
sistem tersebut. Manfaat yang dapat diperoleh dari usaha interkoneksi tersebut adalah, antara lain : (a) mempertinggi faktor pemanfaatan fasilitas pembangkitan, yang untuk jangka panjang juga
merupakan penghematan investasi; (b) memungkinkan tercapainya
skala ekonomi daripada sistem; (c) mempercepat penyebar-luasan
pemanfaatan tenaga listrik.
Dalam kaitannya dengan kebijaksanaan pengembangan wilayah
maka digariskan bahwa program peningkatan sarana penyediaan tenaga listrik tidak dapat dipisahkan dari usaha Pemerintah dalam pengembangan wilayah, dimana kelayakan suatu program kelistrikan
tidak berdiri sendiri akan tetapi terpadu dalam suatu kegiatan multisektoral.
Akhirnya kebijaksanaan mengenai struktur dan tingkat tarip listrik
dimasa yang akan datang, diarahkan pada kepentingan perkembangan industri, dalam arti mengusahakan peningkatan iklim industri yang
serasi dan seimbang, dan juga memperhatikan kebutuhan para konsumen kecil/lemah. Penentuan tingkat tarip pada dasarnya disesuaikan dengan memperhatikan perkembangan tingkat harga yang terjadi, dan perkembangan maupun peningkatan efisiensi. K enaikan
136
beban kebutuhan tahunan tenaga listrik secara nasional selama Repelita III secara keseluruhan diperkirakan akan meningkat sekitar
14%-18% per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, peningkatan sektor tenaga listrik di bawah pengelolaan PLN diprogramkan
dengan kenaikan daya terpasang rata-rata sebesar 17% tiap tahun.
2.
Peningkatan Penyediaan Tenaga Listrik.
Dalam rangka meningkatkan pemberian sambungan listrik kepada
masyarakat akan disusun kebijaksanaan dan langkah di bidang kelistrikan yang akan memungkinkan partisipasi swasta di dalam pembangkitan tenaga listrik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat beserta fasilitas penyalurannya.
3.
Peningkatan Penyediaan Tenaga Listrik untuk Masyarakat
Pedesaan.
Sesuai dengan kebijaksanaan umum yang telah digariskan maka
usaha perlistrikan desa akan semakin ditingkatkan dalam Repelita
III. Berdasarkan penelitian terakhir, jumlah desa di Indonesia yang
belum mendapat aliran listrik diperkirakan sebanyak 49.000 desa.
Sasaran perlistrikan desa dalam Repelita III terutama akan dimulai
dengan usaha memasukkan seluruh desa swasembada dalam rencana,
pelaksanaannya. Di samping itu sebagian desa swakarya dan swadaya
akan tercakup pula dalam sasaran ini, sesuai dengan perluasan jaringan distribusi yang akan mencapai desa-desa yang bersangkutan.
4.
Peningkatan Pengusahaan Tenaga Listrik.
Dengan telah tercapainya titik keseimbangan operasi beberapa tahun yang lalu, maka pola kebijaksanaan terhadap pengusahaan tenaga
listrik oleh PLN akan disempurnakan. Usaha peningkatan pengusahaan tenaga listrik akan dilaksanakan untuk meningkatkan daya guna
pengusahaan serta mengurangi ketergantungan PLN akan dana dan investasi Pemerintah. Dalam hubungan ini maka dengan memperhatikan norma-norma yang sehat yang lazimnya berlaku di bidang Industri dan niaga dalam usaha memenuhi kebutuhan tenaga listrik dengan
mutu yang baik, keandalan yang tinggi serta aman, pelayanan yang
baik dan tarip yang wajar, PLN diwajibkan ikut membiayai pem 137
bangunan kelistrikan minimal sebesar 21% dalam dua tahun pertama
dan minimal 25% dalam tiga tahun terakhir Repelita III dari seluruh biaya pembangunan kelistrikan. Usaha tersebut di atas akan disertai dengan :
a. meningkatkan usaha penurunan kerugian sebesar 0,5% setiap
tahun pada sistem jaringan hingga tercapai suatu tarap yang
minim;
b. membangun pusat-pusat pengatur beban dalam rangka meningkatkan dan menyempurnakan pembangkitan dan penyaluran secara
rasional dan ekonomis dengan memperhatikan mutu keandalan;
c. meningkatkan penyuluhan dan pengawasan pemakaian tenaga listrik oleh para konsumen agar tercapai penghematan dan keamanan yang sebaik-baiknya.
Usaha peningkatan kemampuan penyediaan listrik, akan ditunjang
penyempurnaan pelaksanaan rencana pembangunan dan pengusahaan
tenaga listrik. Dalam hubungan ini akan ditingkatkan ketatalaksanaan
dalam mengelola pembangunan dan pengusahaan tenaga listrik, sehingga tercapai daya guna dan hasil guna yang semaksimal mungkin.
5.
Penelitian dan Pengembangan Penyediaan Tenaga Listrik
Dalam menunjang usaha peningkatan penyediaan tenaga listrik, diselenggarakan penelitian dan pengembangan yang meliputi antara
lain : pengembangan informasi bidang energi dan tenaga listrik, penelitian mengenai sistem tenaga listrik, sumber daya energi, peralatan
pembangkit, bahan bakar dan pelumas, petir dan pengaruh instalasi
tenaga listrik terhadap lingkungan.
6.
Pembakuan, Pembinaan Industri dan jasa-jasa teknik
Untuk menunjang pembangunan dan pengusahaan sarana penyediaan tenaga listrik, akan dilaksanakan berbagai kegiatan jasa teknik
seperti : pembakuan, pengujian, peneraan dan sebagainya. Selain itu
juga dilakukan usaha pembinaan untuk meningkatkan industri peralatan listrik dalam negeri.
138
7. Energi
Mengingat situasi energi dewasa ini serta pemikiran perkembangannya dalam beberapa dasa warsa mendatang maka program
pengembangan sektor tenaga listrik dalam rangka kebijaksanaan
energi nasional tersebut di atas perlu disusun sebagai berikut :
a. Dalam jangka pendek, berupa konservasi energi, yakni penghematan
pemakaian energi serta penggunaan energi secara rasional, bijaksana
dan efisien.
b. Dalam jangka menengah, berupa pengalihan energi dari minyak ke
batubara, tenaga air, tenaga panas bumi, tenaga surya, tenaga angin,
tenaga bio-gas, tenaga bio-mas, nuklir dan lain-lain.
c. Dalam jangka panjang, berupa penelitian dan pengembangan sumber-sumber energi non-konvensional dengan memanfaatkan teknologi yang merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di negara-negara maju.
d. Untuk menjaga agar pola pengembangan sumber-sumber energi
dapat terlaksana dengan baik, akan dilakukan perencanaan tenaga
kerja ilmiah secara menyeluruh di bidang penelitian dan pengembangan serta akan ditentukan prioritas program untuk dapat meletakkan dasar bagi pola pengembangan energi di mass mendatang.
IV. P R O G R A M
Dalam rangka mengimbangi laju pertumbuhan permintaan akan
tenaga listrik, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat pemakai
tenaga listrik, serta mempertimbangkan beberapa faktor pengusahaan
antara lain beban puncak, besarnya daya cadangan dan keandalan sistem,
perencanaan waktu secara menyeluruh, maka disusunlah pro-gram fisik
pembangunan kelistrikan dalam Repelita III untuk PLN dengan pokokpokok di bawah ini :
A. Sarana pusat pembangkit tenaga listrik dengan kapasitas sebesar
kurang lebih 2.729 MW dengan perincian :
 Pusat listrik tenaga air (PLTA) sebesar
— Pusat listrik tenaga uap (PLTU) sebesar
296 MW
1.780 MW
139
--- Pusat listrik tenaga diesel (PLTD) sebesar
-- Pusat listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar
-- Pusat listrik tenaga mikrohidro (PLTM) sebesar
-- Pusat pembangkit tenaga listrik yang dipergunakan untuk perlistrikan desa sebesar
478 MW
30 MW
15 MW
130 MW
B. Sarana jaring transmisi dan gardu induk dengan perincian :
1. Jaringan transmisi sepanjang 10.402 km. yang terbagi atas :
-- Jaringan transmisi tegangan sangat tinggi
(TST / EHV) sepanjang
784 kms
— Jaringan transmisi tegangan 150 kV sepanjang
6.586 kms
Jaringan transmisi tegangan 70 kV sepanjang
3.032 kms
10.402 kms
2. Gardu induk sebanyak 132 unit dengan jumlah kapasitas sebesar
6.829 MVA yang terdiri atas :
Tegangan
(KV)
TST / 150
150/70
— 275/150/20
Jumlah
(unit)
Kapasitas
(MVA)
6
16,
1
1.800
995
30
58
2.946
150/30
150/20
70/30/30
70/30
70/20/6
70/20
70/11,5.
51
1.058
132
6.829
70/6,3
140
Jumlah
C. Sarana jaring distribusi beserta gardu distribusinya dengan perincian :
— Jaringan distribusi tegangan menengah (JTM) sepanjang 14.703
kms.
-- Jaringan distribusi tegangan rendah (JTR) sepanjang 45.665 kms.
— Gardu distribusi dengan jumlah kapasitas 4.488 MVA.
— Sambungan konsumen baru sebanyak 1.000.000 langganan.
 Perubahan tegangan rendah ke tegangan yang lebih tinggi
(PTR) sebanyak 330.000 konsumen.
Meskipun potensi tenaga air di Indonesia diperkirakan sebesar
31.000 MW, namun pada saat ini pembangunan pusat
listrik
tenaga air masih ditekankan pada potensi tenaga air yang tidak ter
lalu jauh dengan pusat beban. Hal ini mengingat besarnya investasi
untuk pembangunan pusat listrik tenaga air dan kurang pesatnya
pertumbuhan permintaan tenaga listrik di daerah terpencil. Pemenuhan
kebutuhan akan tenaga listrik untuk daerah-daerah terpencil dapat
disediakan dengan unit pusat listrik tenaga diesel.
Adapun pembangunan maupun perluasan pusat-pusat listrik tenaga air
yang menurut rencana diharapkan selesai dalam Repelita III sejumlah 296
MW, yang antara lain terdiri atas :
PLTA Sadang I/II -- Sulawesi Selatan
(62
MW);
--- PLTA Tonsea Lama -- Sulawesi Utara
--- PLTA Riam Kanan III — Kalimantan Selatan
— PLTA Sentani I / II -- Irian Jaya
— PLTA Tes -- Bengkulu
PLTA Maninjau (I — IV) — Sumatera Barat
(5
(10
(13
(4
(68
MW);
MW);
MW);
MW);
MW);
— PLTA Garung -- Jawa Tengah
PLTA Sempor
Jawa Tengah
(28
(2
MW);
MW);
PLTA Wonogiri -- Jawa Tengah
(13
MW);
--= PLTA Wlingi II -- Jawa Timur
-- PLTA Sengguruh — Jawa Timur
PLTA Lodoyo -- Jawa Timur
(27
(29
(4,5
MW);
MW);
MW);
(25
MW);
-- PLTA Juanda/ Jatiluhur VI
Jawa Barat
141
Di samping itu mengingat bahwa pembangunan PLTA memerlukan
kegiatan pra-investasi berupa pembuatan penelitian kelayakan,
perencanaan teknis dan penelitian lapangan, maka selama Repelita III
kegiatan tersebut akan dilaksanakan untuk PLTA berikut ini :
-- PLTA Tanggari – Sulawesi Utara, yang menurut feasibility stu
dy dapat dibangun pusat pembangkit listrik dengan daya terpasang
sebesar 2 X 8,5 MW, pada saat
ini akan segera dimulai
perencanaan teknisnya.
--- PLTA Mrica -- jawa Tengah,
yang menurut feasibility study dapat dibangun pembangkit tenaga listrik dengan daya terpasang
-- 2 X 85 MW, pada saat ini sedang dilaksanakan perencanaan
teknisnya.
--- PLTA Saguling — Jawa Barat, yang menurut feasibility study dapat dibangun pembangkit tenaga listrik dengan daya terpasang
4 X 175 MW, pada saat ini sedang dilaksanakan perencanaan
teknisnya.
-- PLTA Ayung — Bali akan dibuat feasibility studinya.
--- PLTA Sengguruh dan Kesamben yang masing-masing terdapat di
hulu dan hilir PLTA Karangkates -- jawa Timur akan segera dibuat
perencanaan teknisnya dan segera akan dilaksanakan pembangunannya.
Di samping itu akan diadakan survai di sungai Asahan, Singkarak,
Musi, Way Besay (Lampung), Sungai Londok (Kalimantan Barat),
Riam Kiwa (Kalimantan Selatan), Poigar (Sulawesi Utara), Banyuripan, Karang Sembung, Maung, Cimanuk/Cipasang, Cirata, Matenggeng (Citandui).
Sesuai dengan rencana jangka panjang yang telah disusun, pembangunan pusat pembangkit listrik tenaga uap yang diharapkan dapat
selesai dalam Repelita III dengan kapasitas 1.780. MW antara lain adalah
:
--- PLTU Muara Karang III/IV/V =- DKI Jakarta Raya (600 MW),
PLTU Semarang III -- Jawa Tengah
(200 MW),
-- PLTU Gresik I/II/III
Jawa Timur
(400 MW),
142
— PLTU Belawan I / I I -- Sumatera Utara (130 MW),
— PLTU Balikpapan I — Kalimantan Timur (25 MW),
— PLTU Bukit Asam I / IV
Sumatera Selatan (200 MW),
Di samping terdapat beberapa PLTU yang pembangunannya mulai
dalam Repelita III dan diharapkan selesai dalam Repelita IV antara lain
adalah :
--
PLTU Suralaya 1/11 --- Jawa Barat
(750 MW).
Dalam usaha untuk memanfaatkan tenaga panas bumi, maka dalam Repelita III ini diharapkan dapat selesai dibangun pusat listrik
tenaga panas
bumi di Kamojang — Jawa Barat yang berkapasitas
30 MW. Pengembangan selanjutnya akan dilakukan di Dieng — Ja
wa Tengah; Sungai Penuh -- Sumatera Tengah; Lahendong Su-lawesi Utara dan di pulau Bali yang diharapkan dapat segera dilaksanakan pembangunannya untuk dapat diselesaikan dalam Repelita
IV.
Untuk meningkatkan penyediaan tenaga listrik untuk daerah-daerah
yang terpisah dari sistem utama, maka akan dibangun pusat listrik tenaga
diesel yang tersebar. Daerah yang terutama berada di luar pulau Jawa
akan dibangun dengan PLTD dengan jumlah daya terpasang 478 MW.
Selanjutnya jika keadaan lokasi memungkinkan maka akan dibangun
pusat listrik tenaga mikro hidro diberbagai tempat dengan jumlah daya
terpasang sekitar 15 MW. Kedua jenis pusat listrik tenaga diesel maupun
mikro hidro tersebut akan dapat menunjang perkembangan perlistrikan
desa.
Pada sistem-sistem di pulau Jawa yang terpisah diharapkan dapat
dimulai pelaksanaan interkoneksi dengan tegangan tinggi dalam
awal Repelita III, selanjutnya interkoneksi antara Jawa Barat dengan
Jawa Tengah dengan tegangan sangat tinggi (TST) diharapkan dapat
diselesaikan dalam akhir Repelita III. Interkoneksi ini selain dimaksudkan
untuk meningkatkan keandalan dalam sistem juga dapat memanfaatkan
pembangkit tenaga listrik yang selama, ini dipergunakan sebagai
cadangan se-efisien mungkin.
143
Program perlistrikan desa akan ditingkatkan. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa 80% penduduk Indonesia merupakan masyarakat yang tinggal di kira-kira 57.000 desa, yang terbagi atas 55,6%
desa swakarya, 38,0% desa swadaya dan 6,4% desa swasembada.
Program perlistrikan desa telah mulai dirintis di pedesaan daerah
Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan (Luwu) dan Nusa Teng
gara Barat (Lombok), selanjutnya akan diteruskan dengan pedesaan
di daerah-daerah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi
Utara, Bali, Maluku, Jawa Timur, Jawa Barat dan sebagainya.
Mengingat batasan-batasan pengusahaan dan kondisi setempat maka
usaha-usaha peningkatan perlistrikan desa selama Repelita III diharapkan dapat mencapai 3.700 desa swasembada. Perlistrikan desa
swadaya maupun swakarya akan tetap diusahakan dengan jalan menyadap jaringan yang akan melalui desa yang bersangkutan ataupun
sesuai dengan perkembangan maupun perluasan jaringan distribusi yang
akan mencapai desa yang bersangkutan. Dalam program perlistrikan
desa diikut sertakan peranan koperasi dan untuk itu direncanakan akan
didirikan 10 koperasi listrik. Selama Repelita III sasaran fisik program
perlistrikan desa diharapkan mencapai sebanyak 1.085.000 langganan
yang meliputi 4.700 desa; daya tersambung sebesar 312 MW; daya
terpasang sebesar 178 MW; gardu distribusi sebesar 272 MW; jaringan
tegangan menengah sepanjang 11.100 kms; jaringan tegangan rendah
sepanjang 11.100 kms. Da-lam sasaran tersebut di atas termasuk
pengusahaan kelistrikan melalui koperasi listrik yang diharapkan dapat
melayani 1000 desa mencakup 460.000 langganan dengan daya terpasang
sebesar 48. MW.
Dalam rangka pelaksanaan program ini peranan koperasi dalam
kegiatan penyaluran tenaga listrik pedesaan akan semakin ditingkatkan.
Pembangunan kelistrikan juga dilaksanakan oleh swasta. Pada
umumnya sektor swasta melaksanakan pembangunan kelistrikan untuk
keperluan industri dan masyarakat di sekitarnya. Namun demikian pihak
swasta atau masyarakat pada umumnya dapat pula menyelenggarakan
perlistrikan desa.
144
Dalam waktu yang dekat ini kebutuhan akan tenaga listrik terutama
pada sektor industri belum. dapat sepenuhnya dipenuhi oleh Perusahaan
Umum Listrik Negara. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kepada
sektor swasta akan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam
pembangunan kelistrikan.
Proyek-proyek besar yang sedang membangun pusat pembangkit tenaga listrik untuk keperluannya sendiri adalah proyek industri besi baja
Krakatau Steel di Cilegon yang membangun pusat listrik tenaga uap yang
berkapasitas 5 X 80 MW, proyek pusat peleburan aluminium di Kuala
Tanjung yang membangun pusat listrik tenaga, air di Asahan dengan
seluruh kapasitas sebesar 603 .MW, dan pusat peleburan nikel di Soroako
yang membangun pusat listrik tenaga air di sungai Larona dengan
kapasitas 165 MW.
Mengenai proyek Asahan maka kepada Perusahaan Umum Listrik
Negara akan diberikan sejumlah 50' MW yang dapat disalurkan melalui
jaringan transmisi ke kota Medan. Di samping itu kelebihan listrik
sebesar 5 MW dari proyek pusat peleburan nikel di Soroako diberikan
kepada Perusahaan Umum Listrik Negara untuk .disalurkan kepada
masyarakat di sekitarnya. Selain dari pada itu, diperkirakan pula akan
dibangun beberapa pusat pembangkit tenaga listrik besar bagi proyekproyek hydrocracker di Dumai dan Kalimantan Timur, proyek pusat
Olefin di Aceh, dan kawasan industri di pulau Batam.
Adapun perincian kegiatan sektor tenaga listrik yang terbagi atas
wilayah kerja PLN selama Repelita II dimuat di dalam BAB Peru
bangunan Daerah.
Dengan sasaran pembangunan maupun perluasan pusat pembangkit
tenaga listrik, jaringan transmisi beserta gardu induknya jaringan dis
tribusi beserta gardu distribusinya maka penyediaan tenaga listrik serta
pelayanan di bidang kelistrikan kepada masyarakat akan dapat di
tingkatkan.
Secara teknis, jaring transmisi dan distribusi baru dapat mengurangi
susut tenaga listrik. Dengan bertambahnya jaring transmisi maupun
distribusi baru, maka diharapkan penurunan susut/kerugian jaringan
dapat dicapai dengan pengurangan rata-rata 0,5 % per tahun.
145
TABEL 11 — 21
TENAGA LISTRIK DALAM REPELITA III
(dibandingkan dengan REPELITA I dan II)
JENIS KEGIATAN
SATUAN
REPELITA I
REPELITA II
REPS.
LITA III
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
PUSAT-PUSAT TENAGA
LISTRIK
— PLN
— BUKAN PLN
JUMLAH
MW
284
1.337
__
2.729 3)
1.1681)
284
1.337
3.897
496
2.758
10.402
—
496
--
__
JARINGAN TRANSMISI
-- PLN
-- BUKAN PLN
JUMLAH
kms 2)
GARDU INDUK
JARINGAN DISTRIBUSI
TEGANGAN MENENGAH
JARINGAN DISTRIBUSI
TEGANGAN RENDAH
GARDU DISTRIBUSI
SAMBUNGAN RUMAH
PERUBAHAN TEGANGAN
RENDAH
LISTRIK PEDESAAN
(PLN dan KOPERASI)
-- Desa
MVA
kms
kms
-- Daya Terpasang
-- Sambungan Rumah
MW
2.758
10.702
415
1.619
3.137
7.625
6.829
14.703
1.420 '
7.177
45.665
MVA
konsumen
—
konsumen
146
1.000.000
153.588
330.000
4.488
4.700
--
Terdiri dari :
(1) Krakatau Steel 6 x 80 MW.
(2) Proyek Asahan 603 MW.
(3) Proyek Nikel Soroako 165 MW.
2) kms : kilometer sirkit.
3) termasuk daya terpasang untuk kelistrikan desa PLN.
1)
---
desa
konsumen
300
—
178
1.085.000
TABEL 11 . -- 22
SASARAN TAMBAHAN KONSUMEN, TAMBAHAN DAYA
TERSAMBUNG, PENJUALAN TENAGA LISTRIK
REPELITA III
1979/80
1980/81 1981/82 1982/83 1983/84
Tambahan konsumen
230.000
275..000
320.000
Tambahan Daya Ter sambung (MVA)
602
753
6.502
930
7.933
Penjualan (juta KWJ)
5.330
375.000
425.000
1.147
9.678
1.369
11.711
Selanjutnya berdasarkan sasaran penyediaan tenaga listrik dan sasaran penurunan kerugian maka usaha-usaha untuk mendapatkan langganan baru maupun penambahan terhadap daya tersambung akan semakin ditingkatkan untuk mencapai sasaran penjualan .tenaga listrik
yang telah ditetapkan.
Pelaksanaan program peningkatan fisik dan pengusahaan tenaga
listrik dalam Repelita III seperti yang telah diuraikan di atas perlu
disertai dengan program peningkatan fasilitas penunjang, program peningkatan pendidikan dan latihan tenaga kerja, program peningkatan
penelitian dan pengembangan, program peningkatan pelaksanaan
pembangunan, dan program survai sumber daya energi untuk pembangkitan tenaga listrik.
Peningkatan fasilitas penunjang ini adalah berupa sarana fisik
lainnya maupun non-fisik yang tidak tergolong dalam sarana penyediaan tenaga listrik secara langsung namun penting sifatnya dalam
mendukung pelaksanaan program peningkatan tenaga listrik secara
menyeluruh.
Kegiatan peningkatan pendidikan dan latihan tenaga kerja yang diperlukan antara lain meliputi kegiatan perluasan fasilitas, perlengkapan dan peralatan pada pusat pendidikan clan latihan yang ada dan
pembangunan baru pusat pendidikan dan latihan di Ujung Pandang dan
Semarang, serta penyediaan dan peningkatan mutu para pengajar
maupun sistem pendidikan dan latihan itu sendiri.
147
Untuk dapat meningkatkan pelayanan penelitian dan pengembangan dalam mendukung pembangunan kelistrikan, akan dilaksanakan
usaha-usaha pengembangan dan peningkatan pemanfaatan informasi
teknis dan ilmiah untuk perencanaan dan pengusahaan sarana penyediaan tenaga listrik; menambah sarana penelitian dan pengembangan;
menambah jumlah serta meningkatkan keahlian dan ketrampilan tenaga kerja; dan membantu mengembangkan dan membina laboratorytum wilayah.
Pengalaman dalam Repelita I dan Repelita II memberikan petunjuk
untuk meningkatkan organisasi, tata-cara pembiayaan dan pembangunan. Sejalan dengan itu diusahakan keserasian antara mekanisme pembangunan dengan kelaziman perusahaan yang akhirnya menuju kepada
sistem anggaran yang menyeluruh baik yang bersumber pada anggaran
perusahaan maupun Negara dengan suatu pengendalian yang terarah.
Sesuai dengan kebijaksanaan energi nasional untuk meningkatkan
pemanfaatan sumber daya energi non-minyak perlu ditingkatkan
pula pelaksanaan survai sumber daya energi tersebut mulai, dari kegiatan penjajagan, pengenalan, sampai dengan study keterlaksanaan.
Selanjutnya jika struktur ekonomi telah menjurus pada adanya indus
tri yang sangat tergantung akan tenaga listrik sebagai faktor-faktor biaya
produksinya maka perlu dilakukan langkah-langkah pengaturan
pelaksanaannya sehingga sebagian besar tenaga listrik yang tersedia
dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri.
Dengan demikian maka pada akhir Repelita III, di Indonesia diperkirakan akan dapat dicapai tingkat daya terpasang pusat tenaga listrik
sebesar 50 Watt per kapita dengan tingkat produksi 130 KWJ per
kapita dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk 2,0 —
2,3% per tahun.
PENYEMPURNAAN EFISIENSI APARATUR PEMERINTAH DAN
PENGAWASAN
Dalam rangka peningkatan efisiensi aparatur Pemerintah dan
Pengawasan, maka akan dilaksanakan Program Penyempurnaan Efisiensi Aparatur Pemerintah bertujuan untuk (a) Meningkatkan efek-
148
tivitas dan efisiensi aparatur di sektor Pertambangan dan Energi ter
masuk bidang kelistrikan dalam melaksanakan tugas pokok Pemerintahan di sektor tersebut, baik tugas-tugas rutin maupun tugas pembangunan dan (b) Meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan agar pelaksanaan program kegiatan rutin maupun pembangunan di sektor
Pertambangan dan Energi termasuk bidang kelistrikan dapat berhasil
dengan efisien dan efektif serta sesuai dengan rencana dan kebijaksanaan
yang telah ditetapkan.
Dalam rangka penyempurnaan efisiensi aparatur akan dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: (a) Meningkatkan kemampuan fungsi
perencanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan sektor Pertambangan dan Energi, (b) meningkatkan kemampuan dan pembinaan
aparatur kepegawaian berdasarkan sistem karir dan prestasi kerja,
meningkatkan disiplin kerja dan sebagainya,, (c) Meningkatkan dan
melanjutkan usaha penertiban operasional pelaksanaan tugas dalam
rangka memberantas penyimpangan/penyelewengan pelaksanaan tugas
yang dapat mengakibatkan pemborosan-pemborosan, (d) Menyempurnakan administrasi yang mencakup administrasi keuangan, administrasi perlengkapan, administrasi perkantoran, ketata-usahaan serta
pengumpulan data dan penyusunan laporan pelaksanaan anggaran
realisasi keuangan, (e) Menyempurnakan organisasi dan tata-laksana
sistem pelayanan secara terus menerus yang meliputi kelembagaan,
mekanisme prosedur dan tatakerja termasuk pembakuan dan sistem
pelaporan, dan sebagainya, (f) Menyempurnakan sistem informasi
tentang kebijaksanaan di sektor Pertambangan dan Energi termasuk
bidang kelistrikan.
Agar pelaksanaan kebijaksanaan serta kegiatan berjalan menurut
rencana dan mencapai sasaran yang telah ditetapkan, maka fungsi
pengawasan ditingkatkan yang mencakup pengendalian, penilaian pelaksanaan pembangunan dan pengambilan tindakan penertiban yang
sifatnya represif dan preventif. Peningkatan fungsi pengawasan ini
dimaksudkan agar pelaksanaan semua kebijaksanaan dan program sektor Pertambangan dan Energi termasuk bidang kelistrikan dapat diikuti, dan dapat diambil tindakan perbaikan yang diperlukan bila terjadi
hambatan, penyimpangan dan penyelewengan lainnya.
149
Fungsi pengawasan tidak semata-mata diselenggarakan oleh Inspektorat jenderal dan lain-lain aparatur pengawasan, tetapi juga merupakan
kegiatan dan tanggung jawab yang melekat pada fungsi Pimpinan
setiap satuan organisasi Departemen/Instansi. Usaha pengawasan yang
bertujuan meningkatkan ketertiban demi terwujudnya aparatur Pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab 'akan ditingkatkan berdasarkan program yang berencana, terarah dan terpadu.
Pengawasan tidak hanya terbatas pada program-program fisik, tetapi harus pula dikembangkan mencakup pengawasan terhadap mutu
pelayanan dan mutu jasa yang diberikan aparatur negara kepada masyarakat. Untuk itu ditempuh langkah-langkah antara lain sebagai berikut : (a) Menyusun dan atau penyempurnaan pedoman pengawasan
dan pemeriksaan untuk lebih memantapkan pelaksanaan pengawasan
dan pemeriksaan. (b) Mengumpulkan dan mengolah data yang dapat
dipercayai kebenarannya sebagai bahan pengawasan dan pemeriksaan.
(c) Meningkatkan mutu aparat pengawasan fungsional baik mengenai
ketrampilan dan pengetahuan teknis maupun ketrampilan dan pengetahuan administratif. (d) Meningkatkan pelaksanaan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap program rutin maupun proyek pembangunan,
(e) Meningkatkan kegiatan analisa dan evaluasi hasil pemeriksaan
untuk menentukan apakah sesuatu kegiatan itu mencapai atau sekurang-kurangnya mengarah kepada sasaran yang telah ditentukan.
(f) Meningkatkan kegiatan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan program oleh unsur aparatur dalam lingkungan instansi/lembaga
Pertambangan dan Energi termasuk bidang kelistrikan, (g) Meningkat kan pengawasan operasional dari unsur pimpinan dari setiap satuan
organisasi, terhadap pelaksanaan tugas oleh pejabat bawahannya.
150
TABEL 11 -- 23
PEMBIAYAAN RENCANA PEMBANGUNAN LIMA TAHUN KETIGA,
1979/80 -- 1983/84
(dalam jutaan rupiah)
PERTAMBANGAN DAN ENERGI
No. Kode
03
SEKTOR/SUB SEKTOR/
PROGRAM
SEKTOR PERTAMBANGAN
DAN ENERGI
1979/80 1979/80-1983/84
(Anggaran
(Anggaran
Pembangunan) Pembangunan)
392.845,3
2.943.893,0
03.1.01
Sub Sektor Pertambangan
Program Pengembangan Pertam
bangan
36.381,6
31.299,9
415.323,0
364.899,0
03.1.02
Program Pengembangan Geologi
5.081,7
50.424,0
03.2
Sub Sektor Energi
356.463,7
2.528.570,0
03.2.01
Program Pengembangan Tenaga
Listrik
353.588,7
2.507.320,0
03.2.02
Program Pengembangan Tenaga
Gas dan Energi lainnya
2.875,0
21.250,0
03.1
151.
Download