BAB IV

advertisement
BAB VII
PENENTUAN HARGA POKOK PRODUK BERSAMA DAN
PRODUK SAMPINGAN
TIU: Mahasiswa dapat menerapkan penentuan harga pokok produk bersama dan
produk sampingan
TIK : Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat
1. Menjelaskan akuntansi produk bersama dan produk sampingan.
2. Menjelaskan alokasi biaya bersama
3. Menjelaskan perlakuan produk sampingan
4. enjelaskan sisa bahan, produk rusak, dan produk cacat.( scrapt, spoiled
goods and defective work).
Akuntansi Produk Bersama dan Produk Sampingan ( Joint Product and By
Product Accounting )
Produk bersama bisa diartikan produk yang diprodusir bersama dengan
menggunakan satu jenis bahan (satu kelompok biaya) tetapi hasil jadinya (produk
jadi) beberapa jenis. Produk sampingan sebetulnya mempunyai pengertian sama
dengan produk bersama. Yaitu barang jadi yang dihasilkan dari satu kelompok
biaya ( bahan baku ) perbedaan antara produk bersama dengan produk sampingan
terletak pada nilai produk jadinya.
Produk bersama mempunyai nilai yang relative sebanding antara produk
satu dengan produk lainnya sedangkan produk sampingan nilai yang relative lebih
rendah dibandingkan produk utama. Atau lebih kurang kedua pengertian produk
tersebut ditunjukkan sebagai berikut :
Kriteria
Produk Bersama
Produk Sampingan
Nilai jual
Relatif tinggi
Lebih rendah
Pembuatan produknya
Tujuan utama
Sampingan ( tidak bertujuan
memproduksi produk ini )
VII. 1
Harga pokok produksi
Alokasi sebanding
Seringkali
tidak
dibebani
biaya produksi
Contoh dari pengertian kedua produk tersebut :
1. Perusahaan Minyak Bumi
Minyak mentah adalah bahan untuk membuat premium, minyak solar,
minyak super dan minyak tanah.
a) Minyak tanah mentah adalah biaya bersama ( joint cost )
b) Minyak solar, premium, super dan minyak tanah adalah produk bersama (
joint product ), karena nilai dari keempatnya relative sama dan
pembuatannya merupakan tujuan utama perusahaan
2. Perusahaan Sabun
a) Bahan sabun diolah akan menghasilkan sabun mandi, sabun cuci serta
sisanya ( ampas ) bisa dibuat zat pembersih alat dapur
b) Sabun mandi dan sabun cuci merupakan produk bersama
c) Zat pembersih alat dapur adalah produk sampingan karena nilainya relative
rendah dan bukan tujuan pertama perusahaan untuk memproduksi produk
ini.
Apabila biaya bersama sudah bisa dibebankan ( dialokasikan ) ke
masing – maisng produk bersama, kemudian timbul biaya tambahan sesudah itu,
maka biaya tambahan tersebut bisa langsung dihubungkan dengan per jenis
produk. Biaya semacam ini disebut biaya terpisah ( separable cost )
Apabila digambarkan dalam skema, dapat dilihat gambar contoh
perusahaan sabun tersebut :
Hasil Utama
Bahan, upah dan
lain – lain
 Biaya Overhead
Sabun mandi X
 Biaya Overhead
Sabun mandi Y
( satu unit biaya)
VII. 2
Sampingan
 Biaya Overhead
Sabun cuci
Zat pembersih alat
dapur
Biaya bersama
Biaya terpisah
Produk bersama
Produk sampingan
( Joint cost )
(separable cost)
(joint product )
( by product )
Splitoff
Dari gambar 4 – 1 diketahui bahwa biaya bersama terjadi selama biaya
tersebut belum dibebankan ke masing – masing produk, pada saat biaya bersama
dipisahkan ke masing – masing produk ( disebut masa pemisahan / split off ).
Apabila sesudah itu terjadi tambahan biaya untuk memproses lebih lanjut, biaya
ini disebut biaya terpisah ( separable cost ) dan dibebankan langsung ke masing –
masing produk.
Alokasi Biaya Bersama
Untuk membebankan biaya bersama ke masing – masing produk bisa
digunakan metode – metode :
a. Harga jual relative
b. Unit produk rata – rata
c. Rata – rata tertimbang
Contoh dari penggunaan metode pembebanan biaya bersama, kita
misalkan PT “Nomi” mengeluarkan biaya bersama sebesar Rp. 9.000.000,00.
Produk bersama berupa produk sabun “X” dan produk sabun “Y” dan sabun cuci (
disingkat SX, SY dan SC ) masing – masing unit yang dibuat SX 30.000 unit SY =
40.000 SC = 20.000, harga jual per unit masing – masing SX = Rp. 200,00 – SY =
Rp. 150,00 – SC = Rp. 150,00.
VII. 3
1. Metode Harga Jual Relatif
Metode ini banyak digunakan untuk mengalokasikan biaya bersama kepada
produk bersama. Metode ini merupakan perwujudan biaya-biaya yang
dikeluarkan dalam mengolah produk tersebut.
Contoh 1 :
Dengan tidak mempertimbangkan adanya produk sampingan ( dianggap tidak
ada ) dan tidak ada biaya terpisah ( separable cost ). Alokasi biaya bersama
dengan metode relative harga jual :
Jenis Produk
Harga Jual
Unit Produk
Jumlah Penjualan
Persentase
Relatif
Alokasi Biaya
Bersama
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(1x2)
Sabun X
Rp. 200,00
30.000
Rp. 6.000.000
40%
Rp. 3.600.000
Sabun Y
Rp. 150,00
40.000
Rp. 6.000.000
40%
Rp. 3.600.000
Sabun cuci
Rp. 150,00
20.000
Rp. 3.000.000
20%
Rp. 1.800.000
Rp. 15.000.000
100%
Rp. 9.000.000
(4)
(5)
Rp. 6.000.000
SX =
x 100% = 40%
40%xRp.9.000.000=Rp 3.600.000
Rp. 15.000.000
Rp. 6.000.000
SY =
x 100% = 40% 40%xRp.9.000.000=Rp. 3.600.000
Rp. 15.000.000
Rp. 63000.000
SC =
x 100% =
Rp. 15.000.000
20% 20%xRp.9.000.000=Rp. 1.800.000
100%
VII. 4
Contoh 2 :
Apabila timbul biaya terpisah misalnya produk “SX” = Rp. 2.000.000,00, produk
“SY” Rp. 2.000.000,00 tetapi produk SC tidak memerlukan, maka alokasi biaya
bersama dengan metode relative harga pasar ( dengan asumsi harga jual perunit
sesudah biaya terpisah SX – Rp. 300,00 – SY = Rp. 250,00
Jenis
Harga jual
Unit
Harga Jual
Persentse
Alokasi biaya
Produk
per unit
Produksi
Relatif
Relatif
bersama
(1)
(2)
(3)
(4) – (5)
(6) total
x biaya
(6)
(6)
bersamaan (8)
SX
Rp. 300
3.000
Rp. 9.000.000
Rp. 2.000.000
Rp. 7.000.000
38,89%
Rp. 3.500.000
SY
Rp. 250
40.000
Rp. 10.000.000
Rp. 2.000.000
Rp. 8.000.000
44,44%
Rp. 4.000.000
SC
Rp. 150
20.000
Rp. 3.000.000
-
Rp. 3.000.000
16,67%
Rp. 1.500.000
Rp. 18.000.000
100%
Rp. 9.000.000
Hasil Penjualan
Biaya Terpisah
(2) x (3)
(5)
(4)
Dengan adanya biaya terpisah, maka relative harga jurnal dihitung sesudah
dikurangi biaya terpisah.
2. Metode Unit Produksi Rata – rata
Dalam metode unit produksi rata – rata, maka biaya bersama
dibebankan ke produk berdasar jumlah unit yang diproduksi. Makin besar unit
diproduksi makin besar dibebani biaya produksi. Metode ini kurang tepat
untuk digunakan bagi produk yang hasil jualnya mempunyai perbedaan yang
besar antara produk satu dengan lainnya.
Contoh 3 :
Dengan data yang ada pada perusahaan sabun PT “Nomi”, maka alokasi biaya
bersama metode unit produksi rata – rata sebagai berikut :
Jenis
Produk
Unit Produksi
(1)
(2)
SX
30.000
Persentase relative
produksi rata – rata
(2) : Total (2)
(3)
33,33%
VII. 5
Alokasi biaya
bersama
(4)
(3) x Biaya bersama
Rp. 3.000.000,00
SY
40.000
44,44%
Rp. 4.000.000,00
SC
20.000
22,23%
Rp. 2.000.000,00
90.000
100%
Rp. 9.000.000,00
3. Metode Rata – rata Tertimbang
Metode rata – rata tertimbang adalah metode yang digunakan untuk
menyempurnakan metode unit produksi. Dalam metode rata – rata tertimbang,
unit diproduksi harus dicari bobotnya ( timbangannya ) sehingga pembagian
biaya bersama akan lebih tepat. Misalnya, untuk membuat produk SX, SY dan
SC tersebut diperlukan bahan SX = 0,6 liter, SY 0,3 liter dan SC = 1 liter.
Maka alokasi biaya bersama dengan metode rata – rata tertimbang, akan
tampak sebagai berikut :
Jenis Produksi
(1)
Unit Produksi
(2)
Unit
Perimbang
(3)
Relatif produksi
(4)
(2) x (3)
Persentase
(5)
Alokasi Biaya bahan
(6)
(5) x biaya
SX
30.000
0,6
18.000
36%
Rp. 3.240.000,00
SY
40.000
0,3
12.000
24%
Rp. 2.160.000,00
SC
20.000
1,0
20.000
40%
Rp. 3.600.000,00
50.000
100%
Rp. 9.000.000,00
90.000
Perlakuan Produk Sampingan
Ada beberapa cara untuk memperlakukan produk sampingan, yaitu :
a. Diakui sebagai tambahan penjualan
b. Dikurangi pada harga pokok penjualan
c. Dikurangkan pada harga pokok produksi
d. Diakui sebagai pendapatan lain – lain.
Contoh :
Perusahaan minyak kelapa yang membuat produk minyak dengan kapasitas
100.000 liter per tahun. Disamping minyak, dihasilkan juga ampas minyak ( jawa
– blondo ) sebanyak 5.000 kg. Harga minyak per liter Rp. 1.000,00 dan ampas
VII. 6
minyak Rp. 100,00 kg. Biaya produksi untuk minyak Rp. 60.000.000,00 biaya
operasi Rp. 10.000.000,00 pendapatan bunga bank Rp. 2.500.000,00 tahun 1982
minyak yang terjual 80.000 liter.
1. Produk sampingan diakui sebagai tambahan penjualan
LAPORAN RUGI LABA 1982
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00
Rp. 80.000.000,00
Penjualan ampas minyak 5.000 x Rp. 100,00
500.000,00
Jumlah Penjualan
Rp. 80.500.000,00
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan 1 Januari
Rp.
Biaya produksi
Rp. 60.000.000,00
Produk siap jual
-
Rp. 60.000.000,00
Persediaan 31 Desember 1982 Rp. 12.000.000,00
Rp. 48.000.000,00
Laba Kotor
Rp. 32.500.000,00
Biaya operasi
(
10.000.000,00 )
(
2.500.000,00 )
Pendapatan di Luar Operasi
Bunga Bank
Laba bersih
Rp. 25.000.000,00
Rp. 60.000.000,00
*) Biaya produksi per unit =
= Rp. 600,00
100.000
Persediaan 31 Desember 1982 = 20.000( 100.000 – 80.000 ) x Rp. 600,00
= Rp. 12.000.000,00
2. Dikurangkan pada harga pokok penjualan
VII. 7
LAPORAN RUGI LABA 1982
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00
Rp. 80.000.000,00
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan 1 Januari
Rp.
Biaya produksi
Rp. 60.000.000,00
Persediaan 31 Desember 1982 (
Harga pokok penjualan
Penjualan produk sampingan
-
12.000.000,00 )
Rp. 48.000.000,00
(
500.000,00 )
Harga pokok penjualan bersih
Rp. 47.500.000,00
Laba Kotor Operasi
Rp. 32.500.000,00
Biaya operasi
(
Pendapatan bunga
10.000.000,00 )
2.500.000,00
Laba bersih Operasi Rp. 25.000.000,00
VII. 8
3. Dikurangkan pada harga pokok produksi
LAPORAN RUGI LABA 1982
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00
Rp. 80.000.000,00
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan 1 Januari
Rp.
-
Biaya produksi
Rp. 60.000.000,00
Hasil produk sampingan
(
500.000,00 )
Biaya produksi bersih
Rp. 59.500.000,00
Persediaan 31 Desember
(
11.900.000,00 )
Harga pokok penjualan
Rp. 47.600.000,00
Laba Kotor
Rp. 32.400.000,00
Biaya operasi
(
Pendapatan bunga
10.000.000,00 )
2.500.000,00
Laba bersih
Rp. 24.900.000,00
Rp. 59.500.000,00
*) Biaya produksi per unit =
= Rp. 595,00
100.000
Persediaan 31 Desember 1982
= 20.000 x Rp. 595,00
= Rp. 11.900.000,00
VII. 9
4. Diakui sebagai pendapatan lain – lain
LAPORAN RUGI LABA 1982
Penjualan minyak 80.000 x Rp. 1.000,00
Rp. 80.000.000,00
Harga Pokok Penjualan :
Persediaan 1 Januari
Rp.
Biaya produksi
Rp. 60.000.000,00
Persediaan 31 Desember 1982 (
-
12.000.000,00 )
Rp. 48.000.000,00
Laba kotor
Rp. 32.000.000,00
Biaya operasi
(
10.000.000,00 )
Pendapatan Lain – lain :
Pendapatan bunga
Penjualan produk sampingan
Rp. 2.500.000,00
500.000,00
Rp. 3.000.000,00
Laba bersih
Rp. 25.000.000,00
Sisa Bahan, Produk Rusak dan Produk Cacat ( Scrapt, Spoiled Goods and
Defictive Work )
TIK: Setelah mempelajari bab ini diharapkan mahasiswa dapat
Sisa Bahan ( Scrapt )
Pada perusahaan tertentu dimana pengolahan produknya menggunakan
bahan yang tidak berukuran khusus sering timbul adanya sisa bahan dari bahan
baku karena tidak bisa dihindari. Misalnya, perusahaan mainan anak dengan
bahan kayu, dimana kayu akan dipotong – potong sepanjang 50 cm dan bahan
VII. 10
kayu berukuran bervariasi seperti 120 cm, 80 cm dan sebagainya, maka akan
timbul sisa bahan dan potongan – potongan kayu.
Kadang kala sisa bahan bisa dijual dan menghasilkan tambahan
pendapatan cukup berarti.
Atas hasil pendapatan sisa bahan, pengakuannya bisa dilakukan dengan
dua cara :
a. Disajikan langsung dalam laporan rugi laba sebagai laba lain – lain ( other
income )
b. Di kreditkan ke rekening yang berhubungan dengan produksi :
1) Harga
pokok
proses,
dikreditkan
ke
biaya
overhead
pabrik
sesungguhnya ( overhead control )
2) Harga pokok pesanan, dikreditkan pada barang dalam ( work in process
) pesanan yang berhubungan
1. Diakui sebagai laba lain – lain
Ada dua kemungkinan pencatatan untuk nengakui hasil pendapatan
sisa bahan.
a) Apabila hasil sisa bahan tidak materiil, maka catatan dilakukan apabila sisa
bahan sudah laku :
Kas / piutang …………………
xxx
Laba dari penjualan sisa bahan ………………….. xxx
b) Apabila hasil sisa bahan cukup material, maka catatan dilakukan :
 Diakui sebagai persediaan sisa bahan ketika diketahui ada sisa bahan di
kredit laba penjualan sisa bahan sejumlah perkiraan
 Disesuaikan apabila timbul perbedaan antara perkiraan dengan realisasi
VII. 11
Contoh 1 :
Perusahaan mempunyai sisa bahan, diperkirakan bernilai Rp. 50.000,00 dan laku
dijual kemudian dengan harga Rp. 550.000,00.
a. Pada saat mengetahui adanya sisa bahan
Persediaan sisa bahan ……………………. Rp. 500.000,00
Laba atau penjualan sisa laba ………………………………..Rp. 500.000
b. Pada saat direalisasikan
Kas ………………………………………..Rp. 550.000,00
Persediaan sisa bahan ………………………………………Rp. 500.000,00
Laba atas penjualan sisa bahan ……………………………..Rp. 50.000,00
2. Dikreditkan ke rekening produksi
Sesuai dengan metode proses produksinya, maka pencatatan akan
dilakukan seperti pada contoh 1 tersebut, hanya sebelah kredit dicatat pada
rekening barang dalam proses ( untuk harga pokok pesanan ) atau biaya
overhead sesungguhnya ( untuk harga pokok proses ). Jadi contoh tersebut
dicatat :
a. Pada saat mengetahui adanya sisa bahan :
Persediaan sisa bahan ………………………….Rp. 500.000,00
Barang dalam proses / biaya overhead
Sesungguhnya ………………………………………Rp. 500.000,00
b. Pada saat direalisasikan :
Kas……………………………………………Rp. 550.000,00
Persediaan sisa bahan ………………………………Rp. 500.000,00
Barang dalam proses/biaya overhead
Sesungguhnya ……………………………………. Rp.
50.000,00
Sebagai alternative cara kedua, perusahan bisa menunggu sampai
persediaan sisa bahan terjadi ( tanpa mengakui persediaan sisa bahan ) dan
VII. 12
dikreditkan ke rekening tertentu setelah sisa bahan terjual.
Produk Rusak ( Spoiled Goods )
Spoiled goods adalah produk yang rusak selama proses produksi. Ada dua
kemungkinan produk rusak dalam produksi : yaitu pertama : karena memang
proses produksinya selalu menimbulkan beberapa produk akan rusak atau disebut
normal terjadi dan kedua : karena sifat suatu pesanan yang menyebabkan produk
rusak, misalnya karena pesanan tersebut sulit dikerjakan atau disebut tidak normal.
Pada kemungkinan pertama, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi
( dimana produk itu lalu rusak ) akan dibebankan pada seluruh produksi yang ada
melalui overhead yang dibebankan. Pada kemungkinan kedua biaya produk rusak
dibebankan pada pesanan tersebut.
Contoh :
a. Akuntansi untuk produk rusak normal terjadi
Untuk memberi gambaran yang jelas tentang produk rusak normal
terjadi diberikan contoh sebagai berikut :
PT “Yusa” membuat 100.000 unit produk dengan biaya produksi sebagai
berikut :
Bahan baku
Rp. 100.000,00
Upah langsung
Rp. 150.000,00
Overhead dibebankan
Rp. 150.000,00
Dari jumlah produksi tersebut 5.000 unit rusak dan bisa dijual dengan harga
total
Rp. 10.000,00.
VII. 13
1. Catatan pada saat produk dijual :
Barang dalam proses – Bahan baku
Rp. 100.000,00
Barang dalam proses – upah langsung
Rp. 150.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead
Rp. 150.000,00
Persediaan bahan baku
Rp. 100.000,00
Hutang upah
Rp. 150.000,00
Overhead dibebankan
Rp. 150.000,00
2. Pada waktu diketahui produk rusak :
Produk rusak ………………………
Rp. 10.000,00
Overhead sesunggunya …………...
Rp. 10.000,00
Barang dalam proses – bahan baku…………
Rp. 5.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ……
Rp. 7.500,00
Barang dalam proses – overhead pabrik ……
Rp. 7.500,00
Keterangan :
1. Harga pokok produksi per unit sebelum produk rusak ( unit di produksi
100.000 )
Total
Per unit
Bahan baku
Rp. 100.000,00
Rp. 1,00
Upah langsung
Rp. 150.000,00
Rp. 1,50
Overhead pabrik
Rp. 150.000,00
Rp. 1,50
Total
Rp. 400.000,00
Rp. 4,00
2. Harga pokok produk yang rusak :
Bahan baku
: 5.000 x Rp. 1,00
= Rp. 5.000,00
Upah langsung : 5.000 x Rp. 1,50
= Rp. 7.500,00
Overhead pabrik : 5.000 x Rp. 1,50
= Rp. 7.500,00
Total
= Rp. 20.000,00
VII. 14
3. Harga pokok produk setelah produk rusak :
Total
Per unit
Biaya produksi total
100.000
Rp. 400.000,00
Produksi rusak
( 5.000 )
( 20.000,00 )
95.000
Rp. 380.000,00
Total produk tidak rusak
Rp. 380.000,00
Biaya produksi per unit =
= Rp. 4,00
95.000
Jadi dalam hal ini produk rusak normal yang terjadi tidak
mempengaruhi nilai per unit
b. Akuntansi untuk produk rusak tidak normal
Contoh berikut akan memperjelas perlakuan akuntansi untuk produk
rusak karena pesanan khusus.
PT “Clovis” menerima pesanan 11.000 pesanan barang “X” dengan jumlah
biaya produksi sebagai berikut :
Bahan baku …………….
Rp. 132.000,00
Upah langsung …………..
Rp. 110.000,00
Overhead dibebankan ……..
Rp. 154.000,00
Total …………………..
Rp. 396.000,00
Setelah selesai produk diketahui rusak 1.000 unit dan produk rusak ini bisa
dijual
Rp. 9.000,00
VII. 15
1. Catatan ketika produk dibuat :
Barang dalam proses – Bahan baku
Rp. 132.000,00
Barang dalam proses – upah langsung
Rp. 110.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead
Rp. 154.000,00
Persediaan bahan
Rp. 132.000,00
Hutang upah
Rp. 110.000,00
Overhead pabrik
Rp. 154.000,00
Catatan
Rp. 396.000,00
Biaya produksi per unit =
= Rp. 36,00
11.000
2. Catatan ketika timbul produk rusak :
Persediaan Produk rusak / kas ………… Rp. 9.000,00
Barang dalam proses – bahan baku…………
Rp. 3.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ………
Rp. 2.500,00
Barang dalam proses – overhead pabrik ……….. Rp. 3.500,00
Catatan :
Hasil penjualan produk rusak dibebankan secara proporsional
Rp. 132.000,00
Bahan baku =
xRp.9.000,00=Rp. 3.000,00
Rp. 396.000,00
Rp. 110.000,00
Upah langsung=
x Rp 9.000,00 =Rp. 2.500,00
Rp. 396.000,00
Rp. 154.000,00
Overhead pabrik=
x Rp9.000,00 = Rp. 3.500,00
Rp. 396.000,00
VII. 16
3. Biaya produksi setelah adanya produk rusak :
Rp. 396.000,00 – Rp. 9.000,00
= Rp. 38,70
11.000 – 1.000
Produk Cacat ( Defictive Goods )
Produk cacat adalah produk yang rusak selama pengerjaan tetapi bisa
diperbaiki kembali dengan tambahan biaya tertentu agar menjadi normal ( baik )
kembali.
Perbedaan dengan produk rusak, adalah bahwa produk rusak tidak bisa
diperbaiki kembali, sedang produk cacat bisa diperbaiki kembali.
Akuntansi produk cacat adalah akuntansi biaya tambahan untuk
memperbaiki kembali. Ada dua perlakuan akuntansi :
a. Apabila produk cacat normal terjadi, maka biaya tambahan dibebankan ke
rekening overhead sesungguhnya
b. Apabila produk cacat tidak normal terjadi, maka dibebankan pada periode /
pesanan tertentu yang mengakibatkan produk cacat.
Contoh :
Pada suatu periode di dapat 100 produk cacat dari 5.000 pengerjaan
produk, biaya yang diperlukan : bahan Rp. 10.000,00 upah langsung Rp. 5.000,00
dan overhead pabrik dibebankan Rp. 5.000,00. Biaya produksi yang telah
dikeluarkan sebelum perbaikan produk rusak untuk bahan Rp. 1.000.000,00, upah
langsung Rp. 750.000,00 dan overhead pabrik Rp. 750.000,00.
a. Apabila produk cacat normal terjadi
1. Mencatat biaya produksi :
Barang dalam proses – Bahan baku
Rp. 1.000.000,00
Barang dalam proses – upah langsung
Rp.
VII. 17
750.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead
Rp.
750.000,00
Persediaan bahan
Rp. 1.000.000,00
Hutang gaji dan upah
Rp.
750.000,00
Overhead pabrik dibebankan
Rp.
750.000,00
Catatan
Rp. 2.500.000,00
Biaya produksi per unit =
= Rp. 500,00
5.000
2. Mencatat perbaikan produk cacat :
Biaya overhead pabrik sesungguhnya ………… Rp. 20.000,00
……………
Rp. 10.000,00
Hutang gaji dan upah ……………
Rp. 5.000,00
Overhead pabrik dibebankan ………..
Rp. 5.000,00
Persediaan bahan
3. Mencatat produk jadi :
………Rp. 2.500.000,00
Persediaan barang jadi
Barang dalam proses – bahan baku…….. Rp. 10.000.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ……Rp. 7.500.000,00
Barang dalam proses – overhead pabrik .. Rp. 7.500.000,00
b. Apabila produk cacat tidak normal terjadi :
1. Mencatat biaya produksi :
Barang dalam proses – Bahan baku
Rp. 1.000.000,00
Barang dalam proses – upah langsung
Rp.
750.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead
Rp.
750.000,00
Persediaan bahan
Rp. 1.000.000,00
Hutang gaji dan upah
Rp.
750.000,00
Overhead pabrik dibebankan
Rp.
750.000,00
VII. 18
Catatan
Rp. 2.500.000,00
Biaya produksi per unit =
= Rp. 500,00
5.000
2. Mencatat perbaikan produk cacat :
Barang dalam proses – Bahan baku
Rp. 10.000,00
Barang dalam proses – upah langsung
Rp.
5.000,00
Barang dalam proses – biaya overhead
Rp.
5.000,00
Persediaan bahan
Rp. 10.000,00
Hutang gaji dan upah
Rp.
5.000,00
Overhead pabrik dibebankan
Rp.
5.000,00
3. Mencacat produk jadi :
Persediaan barang jadi
…………
Rp. 2.520.000,00
Barang dalam proses – bahan baku…………….. Rp. 1.010.000,00
Barang dalam proses – upah langsung ………… Rp.
755.000,00
Barang dalam proses – overhead pabrik ……….. Rp.
755.000,00
Catatan
Rp. 2.520.000,00
Biaya produksi per unit =
= Rp. 504,00
5.000
RINGKASAN :
Untuk kepentingan penentuan penghasilan dan perhitungan harga pokok
persediaan biaya bersama perlu dialokasikan kepada produk bersama. Tiga
metode alokasi biaya bersama kepada produk bersama adalah metode nilai
jual relatif, metode rata-rata biaya persatuan, metode rata-rata tertimbang.
Karena produk sampingan merupakan produk yang mempunyai nilai jual
VII. 19
yang relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk utamanya,
maka produk sampingan diakui sebagai 1. tambahan penjualan,
2.dikurangkan pada harga pokok penjualan, 3. dikurangkan pada harga
pokok produksi, 4.sebagai pandapatan lain-lain.
SOAL 1
PT “Ayem” mempunyai data produksi untuk tiga produksinya sebagai
berikut : Harga jual produk A : Rp. 200,00, B : Rp. 225,00 dan C : Rp. 150,00
jumlah yang diproduksi A : 1.500, B : 2.000, C : 1.000. Persediaan akhir A : 200
unit, B : 400 unit, C : 300 unit. Bahan digunakan : A, 2 kg B : 3 kg, C : 1 kg.
Biaya produksi bersama Rp. 450.000,00.
Diminta :
Joint cost masing – masing produk dengan metode :
a. Rata – rata tertimbang
b. Relative harga jual
c. Unit produksi
d. Hitung nilai persediaan akhir masing – masing jenis, jika digunakan metode
relative harga jual.
SOAL 2
Sebuah perusahaan membuat dua jenis produk yaitu P dan Q. pada awal
proses biaya untuk masing – masing produk tidak bisa dipisahkan, biaya tersebut
sebesar Rp. 5.000.000,00. Setelah masuk departemen ( proses ) berikutnya biaya
yang terjadi dibebankan langsung pada masing – masing produk. Biaya sesudah
masa terpisah ( split off ) tersebut sebesar P = Rp. 800.000,00 , Q = Rp.
1.200.000,00 selama bulan Mei 1983, diketahui hasil penjualan masing – masing P
= Rp. 4.800.000,00 dan Q = Rp. 7.200.000,00.
Diminta :
1. hitung joint cost untuk masing – masing produk dengan metode relatif
harga jual
2. hitung laba kotor perjenis produk.
VII. 20
Daftar pustaka:
Drs Mulyadi M.Sc., 2009. Akuntansi biaya. Penerbit YKPN , Yogyakarta
Drs. Mas”ud Machfoedz, MBA, Akt. Akuntansi biayas. BPFE. Yogyakatra.
Ibnu Sugianto, bambang Suripto, 1993. akuntansi biaya, YKPN. Yogyakarta..
VII. 21
Download