MODUL PERKULIAHAN Komunikasi Antar Budaya Penelitian Komunikasi Antarbudaya Fakultas Program Studi Tatap Muka FIKOM Periklanan dan Komunikasi Pemasaran 14 Kode MK Disusun Oleh B51432EL Wulansari Budiastuti,S.T.,M.Si. Abstract Kompetensi penelitian komunikasi antarbudaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda itu berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi berinteraksi dengan komponenkomponen budaya. Memahami ruang lingkup penelitian komunikasi antarbudaya dan dapat menulis outline singkat dalam penelitian komunikasi antarbudaya. Penelitian Komunikasi Antarbudaya R U AN G L I N G K U P P E N E L I T I AN K O M U N I K AS I AN T A R B U D AY A Didefinisikan Porter dan Samovar (lihat tulisan mereka dalam buku ini), komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi ini bisa terjadi antara orang Jepang dengan orang Indonesia, atau antara orang Batak dengan orang Jawa, atau antara or- ang-orang Jawa sendiri (Misalnya, dengan menggunakan teori klise dari Geertz, antara subkulturabangan dengan subkultursantri). Pada dasarnya, setiap kali terjadi perbedaan budaya antara komunikator dan komunikate, setiap itu terjadi komunikasi antarbudaya. Karena itu, penelitian komunikasi antarbudaya memfokuskan perhatian pada bagaimana budaya-budaya yang berbeda itu berinteraksi dengan proses komunikasi; bagaimana komponen-komponen komunikasi berinteraksi dengan komponen-komponen budaya. (komponen mempengaruhi budaya) Bagaimanakah caranya nilai yang memberi dianut makna Margaret (komponen komunikasi) pada pesan yang disampaikan Paijo? Komponen -Komponen Budaya Disiplin yang menelaah komponen-komponen budaya adalah antropologi budaya. Penelitian komunikasi antarbudaya harus banyak merujuk pada mereka dalam mengidentifkasi dan mendeskripsi komponen budaya. Setiap budaya mempunyai caranya yang khas dalam memandang dunia— dalam memahami, menafsirkan, dan menilai dunia. Orang Jerman mungkin menyebutnyaWeitsicht atau Weltanschauung. Para psikolog mungkin menyebutnyasubjective experienceworld atau frame ofreference. Pandangan dunia ini dikondisikan oleh lingkungan dan pengalaman historis yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu budaya. Walaupun simplistik, Asante (1980) menyebut tiga tipe pandangan dunia:Afrosentrik, Eurosentrik, dan Asiosentrik. Pandangan afrosentrik melihat semua realitas berpadu dan bergerak secara agung. Tidak ada pemisahan antara yang material dan spiritual, yang profan dan yang sakral, bentuk 2014 2 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dan substansi. Pandangan asio- sentris melihat materi sebagai ilusi. Yang real adalah yang datang dari alam spiritual. Dalam konsep filosofis Asia, spirit harus menguasai materi. Sebaliknya pandangan eurosentrik melihat materi sajalah yang real. Yang spiritual itu ilusi. Everything that is not ivithinsense-experiencebecome nonsense. Jadi orang Afrika personalistik, Asia spiritualistik, dan Eropa materialistik. Seperti saya katakan, uraian ini sangat simplistik. Menarik bahwa pandangan afrosentrik kedengaran paling baik. Kata Asante, pandangan afrosentrik telah jauh mendahului pemikiran sistem kontemporer. Kebetulan Asante adalah ilmuwan Afrika. Orang memang dapat menuding teorinya ini bersifat "afrosentrik"! Tetapi, apa pun kelemahannya, Asante memberikan contoh menganalisis pandangan dunia. Ketika komunikasi interkultural terjadi, pandangan dunia akan mempengaruhi proses penyandian dan pengalihan sandi. Pandangan dunia juga dapat dipakai untuk mendiagnosis "noise" yang terjadi dan menunjukkan "terapi"-nya. Komponen budaya kedua adalah kepercayaan (beliefs). Kepercayaan adalah bagian penting dariWeltanschauung.Kepercayaan dapat bersifat sentral—Tuhan itu ada, agama itu perlu, atau Pancasila itu memiliki kesaktian; atau bersifat periferal— orang Indonesia itu halus dan pemaaf, orang Barat itu cerdas dan tabah. Salah satu unsur kepercayaan yang sangat penting dalam komunikasi interkultural adalah citra (image) kita dengan komunikasi dari budaya yang lain. Prasangka dan stereotip adalah contoh- contohnya. Penelitian Margarete Schweizer dalam buku ini berkenaan dengan pembentukan citra. Citra mempengaruhi perilaku kita dalam hubungannya dengan orang yang citranya kita miliki. Citra menentukan desain pesan komunikasi kita (Boulding, 1956, sebaliknya menceritakan pengaruh pesan terhadap pembentukan citra). Contoh-contoh pengaruh citra pada komunikasi dapat dilihat pada Brooks dan Emmert (1976). Komponen ketiga budaya adalah nilai. Sistem nilai masyarakat budaya tertentu mempengaruhi cara berpikir anggota-anggotanya. Banyak cara untuk mengidentifikasi nilai. Spranger mengemukakan kategori nilai yang terkenal: nilai ilmiah, nilai religius, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai politis, dan nilai sosial (dengan istilah-istilah yang saya modifikasikan sedikit). Kluckhon dan Strodbeck (1961) menunjukkan enam orientasi relasional, dan orientasi ruang. Pembicaraan tentang bagaimana waktu dinilai berbeda oleh berbagai budaya (lihat tulisan dalam buku ini,DimensiWaktudalamKomunikasiAntarbudaya danPerangkapBudayabagi Orang 2014 3 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Belanda di Indonesia) menggambarkan interaksi nilai dengan komunikasi antarbudaya. Komponen keempat budaya adalah sejarah. "Sejarah adalah catatan peristiwa, fenomena, dan kepribadian yang mengatur pandangan suatu bangsa tentang anda. Sejarah bukanlah apa yang dikatakan orang tentang anda. Sejarah adalah apa yang anda ketahui dan anda percayai", tulis Asante (1980: 406). Lewat sejarah yang mereka ketahui, mereka saling bertukar pesan dalam komunikasi interkultural. Tentang mitologi, komponen kelima, kita kutipkan penjelasan Asante (1980: 406). Mitologi suatu kelompok budaya memberikan pada kelompokpemahaman hubungan-hubungan, yakni, hubungan orang dengan orang, orang dengan kelompok luar, dan orang dengan kekuatan alami. Pendeknya, tempat kelompok dalam skema alam semesta dicatat dan diteguhkan. Orang Zulu percaya bahwa mereka adalah orang-orang dari langit; ini menempatkan mereka dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Orang Yahudi merasa mereka adalah bangsa pilihan; orang Cina berkata mereka berada di pusat dunia; orang Yoruba dijadikan bangsa besar oleh Tuhan Oduduwa; dan orang Asante berkata bahwa tahta emas turun dari langit untuk menegakkan bangsa Asante. Komunikasi interkultural tidak akan efektif tanpa memperhatikan kepercayaan-kepercayaan seperti ini. Ketika mitologi- mitologi yang berkonflik bertemu, salah paham akan terjadi bila para komunikan tidak berpegang pada aturan yang sama. Misalnya, ketika orang Eropa, terutama orang-orang Boer, memasuki Afrika Selatan pada Abad XIX, mereka bertemu dengan orang-orang Afrika—terutama sekali Xhosa, Kurai-kurai, dan Zulu. Dengan mitologi hak milik pribadi, orang Boer berhadapan dengan orang Afrika yang meyakini hak bersama atas tanah. Perilaku orang Eropa yang memagari tanah mereka menimbulkan amarah orang Afrika. Komponen budaya terakhir yang kita bicarakan di sini adalah otoritas status. Setiap budaya mempunyai caranya sendiri dalam mendiskusikar otoritas status. Bersamaan dengan otoritas status ada permainan peranan yang diatur secara normatif. Konflik terjadi bila dua orang bertemu, dengan otoritas status yang berbeda, melakukan komunikasi interkultural yang melibatkan permainan peran yang berlainan. Anda tentu masih ingai ihwal memandang mata pada orang Barat 2014 4 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id dengan orang Indonesia. Di Indonesia dalam surat lamaran, pencari kerja menunjukkan sikap rendah ha t: dan tidak mau (tidak layak) menonjol-nonjolkan diri. Di Amerika, anda harus mengungkapkan prestasi-prestasi anda dalam lamaran anda. Terakhir di Amerika, sifatambisius sangat dihargai dan dicari. Komponen-Komponen Komunikasi Dell Hymes (1973), ahli antropologi budaya memandang komunikas sebagai unsur penting dalam memahami suatu budaya. Ia menyebutkar empat komponen komunikasi: pesan komunikasi, peserta komunikasi sandi yang digunakan, serta media atau saluran. Sebagai petunjuk untul penelitian, kita dapat menggunakan komponen-komponen komunikas yang lazim: komunikator, pesan, media, komunikate, dan analisis kontek pada penelitian komunikasi interkutural. Marilah kita lihat hanya pada komunikator dan pesan. Komunikato antarbudaya yang efektif memerlukan kualifikasi tambahan selain faktor faktor yang lazim disebut sebagai kredibilitas sumber. DalamMenjadManusiaAntarbudaya Deddy Mulyana memperinci karakteristil komunikator antarbudaya. Masih ada variabel-variabel lain yang diduga,dogmatisme, otoritarianisme, etnosentrisme, inferioritas, dan sebagainya.), kosmopolitanisme (frekuensi meninggalkan kampung halamannya), internasionalisme, empati, simpati, dan tentu saja keterampilan komunikasi yang meliputi berbicara, menulis, membaca, mendengarkan, dan berpikir. Mengenai pesan dalam penelitian komunikasi interkultural, V. Lynn Tyler (1978 : 363) mengembangkan analisis pesan yang disebutnya Languetics. Languetics mempelajari lambang-lambang verbal, nonverbal, paraverbal, dan indikator-indikator komunikasi yang berlandaskan bahasa. Tyler menyebutnya satuan analisis CHUM—culturally hidden units of mean- ings (satuan makna yang disembunyikan secara kultural). Makna tersembunyi ini dapat menghambat atau memperlancar komunikasi. Ada dua makna yang menghambat: miscues (unsurunsur komunikati yang bersifat ofensif atau provokatif) dan missed cues (makna yang tidak jelas, ambigu, atau tidak dipahami). Ada dua makna yang mempermudah: cues (satuan makna yang dapat dipelajari dan digunakan) dan clues (petunjuk yang tidak begitu tampak, yang mempercepat pengertian). Kita tidak mungkin merinci analisis languestika ini di sini. 2014 5 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id BAGAIMANA PENELITIAN KOMUNIKASI INTERKULTURAL HARUS DILAKUKAN? Salah satu asumsi yang dipegang dalam komunikasi interkultural adalah asal perbedaan. Selama ini, penelitian komunikasi interkultural melanggar asas perbedaan ini. Tulsi B. Saral (1979) menyebutkan lima kelemahan penelitian komunikasi interkultural selama ini: 1. Dalam budaya Barat, tekanan terlalu banyak pada penggunaan indera visual dan auditif; padahal bangsa-bangsa berbeda dalam mengindera stimuli. Orang Afrika Barat, misalnya, kurang begitu mengandalkan indera visual; dan lebih percaya pada indera auditif. 2. Hampir semua studi komunikasi interkultural terbatas pada apa yang dapat dipersepsi atau diekspresikan. Ini terjadi karena cara berpikir Barat yang materilistik (ingat klasifikasi Weltanschauung dari Asante) menafikan pengalaman-pengalaman mistis. 3. Penelitian juga bertumpu pada apa yang dianggap sebagaiobjective truth. Pandangan dunia tentang realitas tunggal menguasai asumsi- asumsi penelitian. 4. Para teorisi Barat cenderung memisahkan jiwa dari tubuh, individu dan lingkungan, kesadaran individu dari kesadaran kosmis. 5. Kebanyakan studi komunikasi didasarkan pada model linear yang mekanistis. Model ini sangat tidak cocok untuk melukiskan komunikasi interkultural yang holistik. Pemilihan Paradigma: Positivistik atau Naturalistik Positivisme ditegakkan padalogiko-empirisme. Sesuatu dipandang ada bila dapat diukur; bila dapat dihitung dengan bilangan. Kita hanya dapat meneliti sikap, bila sikap didefinisikan sebagai variabel. Untuk itu, peneliti mengembangkan skalaskala pengukuran. menggunakan Untuk komunikasi skalaworld-minded antarbudaya, attitudesdari misalnya, Sampson dan kita dapat Smith atau internationalism dari Free dan Cantrill. Bagaimana mengubah konsep menjadi variabel dijelaskan dalam—apa yang lazim disebut—operasionalisasi. Konsep sendiri tidak dapat diukur. Konsep hanya ada pada pikiran kita. Bila beberapa konsep kita hubungkan sehingga membentuk proposisi, kita melahirkan 2014 6 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id hipotesis. Hipotesis dibuat sebelum penelitian. Hipotesis adalah teoria priori.Di sinilah asumsi perbedaan dalam komunikasi antarbudaya tidak lagi dapat dipertahankan. Ketika peneliti antarbudaya ingin membandingkan deskripsi orang Amerika tentang diri mereka dan deskripsi bangsa lain tentang Amerika, ia mempersiapkan lebih dahulu sejumlah kata sifat ("good", "wealthy", "free", "intelligent", "aggressive", dan sebagainya). Lambet dan Klineberg menemukan bahwa dua kata sifat ("good" dan "wealthy") ada pada kedua deskripsi tersebut. Pertanyaan kita yang "nakal" adalah apakah "good" dan "wealthy" itu dipahami sama oleh kedua kelompok responden (Orang Amerika dan bukan orang Amerika). Lagi pula, apakah deskripsi di luar kata sifat yang disebut tidak pernah muncul, padahal ada dalam pikiran responden? Kita dapat menyimpulkan bahwa dalam positivisme, kita mengkons- truksi realitasseperti yang kitakehendaki, bukan seperti dikehendaki responden kita. Kita beranggapan bahwa realitas itu objektif dan tunggal— peneliti dan responden melihat hal yang sama (lebih tepat kita katakan, kita "memaksa" mereka untuk melihat hal yang sama seperti yang kita lihat). Lihatlah bagaimana kita menyebut pertanyaan kita sebagai "structured questions". Artinya, kita mengajukan pertanyaan sesuai dengan struktur realitas dalam benak kita. Karena apa yang dapat kita amati itu sangat luas, kita harus memecahmecahnya. Setiap pecahan kita amati. Karena realitas itu tunggal maka penilaian kita pada pecahan realitas itu kita generalisasikan pada keseluruhannya. Hukumhukum yang mengatur materi dan energi pada skala kecil, kita anggap berlaku juga pada skala besar. Ketika Edgar Dale menyebutkan bahwa hasil belajar lewat mata lebih banyak dari hasil belajar lewat telinga, kita mempercayainya. Penelitian antarbudaya menunjukkan bahwa bangsa Afrika Barat lebih auditif ketimbang visual. Dengan demikian, hasil penelitian Dale di Amerika tidak dapat digeneralisasikan ke Afrika, juga Indonesia. Boleh jadi kita lebih banyak belajar lewat. . . kulit! Wober menyebut berbagai jenis "senso-types"—cara menyerap informasi—yang sangat diipengaruhi oleh latar belakang budaya. Secara singkat, paradigma positivisme—yang mengasumsikan realitas tunggal, objektif, dan identik—sangat bertentangan dengan asumsi perbedaan dalam komunikasi antarbudaya. Adakah paradigma lain sebagai alternatif? Sebagai reaksi terhadap positivisme, muncul paradigma naturalistik. Paradigma ini beranggapan bahwa realitas adalah hasil konstruksi kita; karena setiap orang 2014 7 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id mengkonstruksi realitas kita mengenal banyak realitas. Pengamat dan yang diamati berhubungan secara interaktif, saling mempengaruhi. Tujuan penelitian tidak lagi memperoleh pengetahuan nomothetik (hukum-hukum yang dapat digeneralisasikan), tetapi mencari dan mengembangkan pengetahuanidiografik (penjelasan tentang kasus- kasus). Terakhir, penelitian naturalistik selalu terikat dengan nilai-nilai (value-bound). Paradigma naturalistik lebih relevan lagi dengan penelitian komunikasi, yang melihat komunikasi sebagai proses. David Smith (1972) menyesali penelitian komunikasi dalam komponen-komponen; lalu meneliti setiap komponen. Komunikasi "dipotret" dalam keadaan statik. Ia menulis: Mengapa kita membicarakan proses dalam pengertian abad XX, tetapi tidak banyak yang kita lakukan untuk menelitinya? Karena kita tidak mau menerima implikasi metodologis dari gagasan tersebut. Pandangan penelitian kita bertentangan dengan pandangan kita tentang komunikasi. Luput dari perhatian kita kenyataan bahwa kita secara serentak menerima pernyataan definisi yang bertentangan. Jadi, pada satu sisi kita berbicara tentang proses, pada sisi yang lain kita melakukan hal yang berbeda dari apa yang kita katakan. Kita tidak akan melanjutkan argumentasi Smith di sini. Cukuplah dikatakan bahwa paradigma naturalistik, yang sangat relevan dengan penelitian proses komunikasi, tentu juga tepat untuk digunakan dalam penelitian proses komunikasi antarbudaya. Secara spesifik, kita harus mengetahui bagaimana terjadi dalam berbagai budaya. Menurut Saral (1979: 400), "Agar dapat memahami sifat dan proses komunikasi interkultural, pertama-tama kita harus memahami sifat dan proses komunikasi sebagimana terjadi dalam berbagai budaya." Secara spesifik, kita harusmengetahui bagaimana budaya-budaya yang berlainan sistem kepercayaan pokok dan orientasi fundamental yang berbeda menciptakan konteks yang berbeda untuk pertukaran dan saling berbagi persepsi, pengetahuan, dan emosi". Ching-Ying Cheng (dikutip dari Saral, 1974: 400) membagi konteks ini menjadi dua bagian: yang kelihatan dan yang tidak kelihatan. Yang kelihatan termasuk media, kondisi fisik komunikasi, jumlah orang, usia orang yang terlibat, dan seterusnya; sedangkan yang tidak kelihatan termasuk keadaan psikologis, kepercayaan agama, nilai-nilai budaya, dan pemikiran falsafi berdasarkan rasio, 2014 8 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id persepsi, dan rasa. Semua kondisi ini kemudian disebutnya sebagai falsafah budaya (cultural philosophy). Penelitian konteks adalah penelitian yang holistik. Positivisme yang melihat pecahan-pecahan realitas tentu saja sukar melihat konteks. Penelitian naturalistik— yang menempatkan proses itu—menjadi satu-satunya alternatif. Perlukah penelitian kuantitatif kita singkirkan sama sekali? Tentu saja tidak. Positivisme—yang bertitik berat pada kuantifikasi dan verfi- kasi—masih sangat berguna untuk penelitian yang menguji teori(theory- testing).Untuk melahirkan teori (theory-generating), penelitian naturalistik diperlukan. Proses penelitian yang terinci untuk kedua jenis penelitian ini tidak mungkin diuraikan di sini. Penelitian-penelitian positivistik dapat dipelajari dari berbagai buku metode penelitian sosial yang ada. Untuk penelitian kuantitatif tentang komunikasi, Rakhmat (1986) dapat dijadikan rujukan. Untuk penelitian naturalistik, buku Moleong (1989) lebih dari cukup sebagai pengantar. Sumber: Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin (Eds.)KOMUNIKASI ANTARBUDAYA : Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya,PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001 2014 9 Komunikasi Antar Budaya Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si. Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id