Modul Komunikasi Antar Budaya [TM13]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Komunikasi
Antar Budaya
Mengembangkan Kompetensi
Komunikasi Antarbudaya
Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
FIKOM
Periklanan dan
Komunikasi
Pemasaran
13
Kode MK
Disusun Oleh
B51432EL
Wulansari Budiastuti,S.T.,M.Si.
Abstract
Kompetensi
Ketika kompetensi dalam komunikasi antarbudaya
dimiliki oleh seseorang, maka segala kesalahpahaman
akan komunikasi antarbudaya dapat dihindarkan.
Memahami makna dan unsurnya adalah bagian dari
kompetensi komunikasi antarbudaya.
Memahami pengertian kompetensi, mengetahui
unsur-unsur kompetensi, dan memahami makna,
tahu, sadar diri dalam berkomunikasi.
Mengembangkan Kompetensi
Komunikasi Antarbudaya
Ki Hadjar Dewantara senantiasa menuturkan bahwa pendidikan serba otak (verstandelijke opvoeding) saja tidak cukup, tetapi masih harus ada pendidikan
jiwa dan budi
pekerti (geestelijke opvoeding). Pintar saja belum cukup, kita perlu arif, rendah-hati, dan
manusiawi. Di negeri ini mungkin sudah banyak orang pintar, paling tidak sebagaimana
ditunjukkan oleh para elite politik. Tetapi banyak yang sepakat, mereka dan bahkan kita
semua sebagai bangsa, makin kehilangan kearifan, kerendahan hati, dan sentuhan
kemanusiaan sebagaimana dianjurkan Ki Hadjar.
Ketika pemerintah menggulirkan otonomi daerah, ancaman konflik etnis justru
merebak di mana-mana. Kerusuhan di Sambas, Maluku, Irian Jaya, Aceh, dan yang terakhir
di Sampit serta Palangkaraya, seolah menyadarkan betapa kita sebagai bangsa yang
sering dicitrakan ramah dan bersahabat ternyata bisa menciptakan tragedi kemanusiaan
yang mengerikan sebagaimana terjadi di Rwanda, Bosnia, atau Somalia. Kerukunan
antaretnis
yang
dibanggakan
sebagai
manifestasi
idiom
Bhinneka
Tunggal
Ika,
sebagaimana tercantum dalam lambang negara Garuda Pancasila, tiba-tiba sirna dan
kehilangan makna.
Mengabaikan Humaniora
Mengapa kita sebagai bangsa semakin kehilangan rasa kemanusiaan dan kearifan dalam
berbangsa? Salah satunya adalah karena kita cukup lama mengabaikan atau paling tidak meminggirkan pendidikan humaniora. Marginalisasi humaniora ini mulai terasa ketika pemerintahan Orde Baru
menggandrungi paradigma konsensus dan pemikiran developmentalisme. Apa saja yang dianggap
anti pembangunan dan tidak mengarah pada ketundukan total dan kepatuhan tunggal, akan
memperoleh tekanan hebat. Situasi ini menciptakan fenomena penyeragaman yang sangat alergis
dengan keanekaragaman sehingga pemikiran dan aktivitas yang bersifat eksploratif dan
mengedepankan pentingnya pluralitas disingkirkan.
Humaniora merupakan nilai yang bersifat universal karena ia mampu menembus batas-batas
agama dan perspektif ideologis lainnya sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial.
Mahatma Gandhi mampu menyatukan India untuk melawan kolonialisme Inggris dengan prinsip
perjuangan yang sangat humanistik. My nationalism is humanism, begitu semboyannya yang amat
sangat terkenal dan berhasil ditanamkan pada bangsanya. Meski kemudian dunia menyaksikan ia
menjadi korban kekerasan, bapak humanisme itu tetap lekat dengan perjuangan antikekerasan, dan
hingga sekarang spirit ini tetap mewarnai banyak aktivis prodemokrasi.
2014
2
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kearifan Lokal
Kimberly A Maynard, dalam bukunya yang berjudulHealing Communities in Conflict(1999),
mengingatkan bahwa sejak pasca-Perang Dingin, karakter konflik di pelbagai belahan dunia
mengalami pergeseran dari konflik ideologis ke konflik identitas, yang antara lain juga berlatar
belakang etnis dan agama. Gejala ini juga sudah mulai tampak di negara kita, konflik dan kekerasan
terus terjadi secara bergelombang.
Proses dehumanisasi yang terjadi di pelbagai lokasi di Indonesia sebagai akibat benturan
antar nilai, penyembuhannya bisa dilakukan dengan humanisme yang digali dari kearifan lokal itu
sendiri. Banyak yang sepakat bahwa sesungguhnya tradisi-tradisi lokal dan kebudayaan lokal sarat
dengan nilai- nilai humanistik, yang jika tidak terkontaminasi dengan nilai- nilai luar masih efektif
sebagai solusi konflik. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya prinsip harmoni, hingga saat ini diduga
menjadi salah satu kekuatan yang bisa meredam konflik yang eksplosif. Inilah sebabnya, mengapa di
wilayah subkultur Mataraman kadar konflik sosial relatif rendah, meskipun secara politik dan ekonomi
potensial untuk konflik.
Humaniora yang bersumber dari kearifan lokal semacam itu, kiranya juga dimiliki oleh setiap
kebudayaan di daerah. Oleh karena itu, pelbagai upaya untuk mengidentifikasi nilai- nilai lokal yang
humanistik perlu dilakukan, untuk kemudian di internalisasikan melalui pendidikan keluarga
maupun pendidikan sekolah. Reaktualisasi kearifan lokal semacam itu lambat laun juga
akan menjadi dasar dalam etika pergaulan sosial. Dan oleh karena kearifan lokal itu sarat
mengandung humanisme maka akan dapat terjadi cross cutting dalam pergaulan kebudayaan antardaerah di lingkup nasional sebab humanisme bersifat universal.
Begitulah, dalam situasi kegalauan dan kegamangan untuk kembali menjadi sebuah
bangsa yang bersatu seperti sekarang ini, lalu ke mana kita harus berpaling? Barangkali,
walaupun kita telah dihantui perasaan dendam sebagai akibat peristiwa dehumanistik, tetapi
kita sebagai bangsa tetap merasa perlu berpaling pada humaniora. Karena itu, yang perlu
diupayakan dalam pelbagai aktivitas pendidikan masyarakat adalah tetap memperhatikan
dan mempertahankan humaniora dalam membentuk kearifan berbangsa. Harapan yang
ingin diraih adalah agar kita sebagai bangsa dapat memahami dan mencapai kemanusiaan ,
sebaik-baiknya sehingga mengerti siapakah manusia, dan bagaimana memperlakukan
manusia lain sebagaimana manusia (Dikutip dari S. Bayu Wahyono, KOMPAS, Selasa, 15
Mei 2001).
Bila pendidikan humaniora kurang diberikan kepada bangsa maka perlahan-lahan
suatu bangsa dan masyarakat menjadi 'kebal rasa'. Dampaknya antara lain bila terjadi
konflik antarsuku, bangsa, dan agama maka kita tak dapat menyelesaikannya secara
tuntas, apalagi jika kita tidak menjadikan kearifan lokal sebagai pendukung resolusi konflik.
2014
3
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kita perlu meningkatkan lagi (tidak hanya) kemauan, (tetapi lebih dari itu)
kemampuan, kompetensi, kapasitas untuk berkomunikasi antarbudaya, dan berkomunikasi
di bawah bimbingan nilai-nilai dan perilaku kita yang diarahkan oleh kearifan lokal. Jadi, tak
beralasan kalau seseorang tidak mau bergaul antarbudaya, sudah pasti dia akan
melecehkan aspek budaya dalam berkomunikasi.
Kita sudah banyak bicara tentang kebudayaan dan komunikasi. Kunci utama untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi antarbudaya adalah memahami kebudayaan,
terutama kebudayaan orang lain, sehingga bermanfaat sebagai perbandingan dengan
kebudayaan kita.
I. Kompetensi
Competenceadalahstate of being capable,atau dapat diartikan sebagai suatu
keadaan yang menunjukkan kapabilitas atau kemampuan seseorang (Webster's, 1997)
sehingga ia dapat berfungsi dalam cara-cara yang mendesak dan penting. John Wieman
dan James Bradaac (1989), yang dikutip Gudykunst (1991, hlm. 101), mengemukakan
bahwa setiap hari kita menampilkan kompetensi dalam bentuk pernyataan yang sederhana
misalnya 'cukup memadai'(adequate, sufficient,dansuitable).
kompetensi antarbudaya adalah kompetensi yang dimiliki oleh seseorang (baik
secara pribadi, berkelompok, organisasi, atau dalam etnik dan ras) untuk meningkatkan
kapasitas, ketrampilan, pengetahuan yang berkaitan dengan kebutuhan utama dari orangorang lain yang berbeda kebudayaannya. Kompetensi antarbudaya merupakan suatu
perilaku yang kongruen, sikap, struktur, juga kebijakan yang datang bersamaan atau
menghasilkan kerja sama dalam situasi antarbudaya.
Setiap kompetensi antarbudaya dari seorang individu tergantung pada institusi
sosial, organisasi, kelompok kerja, dan tempat individu berada (secara fisik maupun sosial).
Semua faktor itu membentuk sebuah sistem yang mempengaruhi kompetensi antarbudaya
individu yang efektif. Jadi, secara makro dapat dikatakan bahwa kompetensi antarbudaya
merupakan tanggung jawab atas total sistem sebuah kebudayaan.
Singkat kata, kompetensi antarbudaya berkaitan dengan suatu keadaan dan
kesiapan individu sehingga kapasitasnya dapat berfungsi efektif dalam situasi perbedaan
budaya.
2014
4
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ada beberapa faktor yang mendorong kita mempelajari kompetensi antarbudaya,
yaitu:
1. Adanya perbedaan nilai antarbudaya,
2. Tata aturan budaya cenderung mengatur dirinya sendiri,
3. Kesadaran untuk mengelola dinamika perbedaan,
4. Pengetahuan kebudayaan yang sudah institusionalisasi, dan
5. Mengadaptasikan kekuatan semangat layanan dalam keragaman budaya demi melayani
orang lain.
Kompetensi antarbudaya itu tergantung pada konteks, demikian kata Gudykunst
(1991, hlm. 102). Konteks tersebut itu adalah (1) konteks verbal, misalnya berkaitan dengan
pembentukan kata-kata, kalimat, dalam sebuah pernyataan dan topik; (2) konteks relasi,
yang menggambarkan penyusunan, tipe, dan gaya pesan dalam berkomunikasi dengan
orang lain; (3) konteks lingkungan fisik maupun sosial suatu masyarakat yang
menggambarkan bentuk penerimaan dan penolakan tanda, simbol, ataupun pesan dalam
komunikasi.
II. Unsur – unsur Kompetensi
Pada suatu waktu, seseorang mengundang Anda untuk memberikan ceramah,
orang itu bilang bahwa Anda memiliki kompetensi. Pernyataan itu adalah kesan.
Kompetensi adalah sebuah kesan (Spitzberg & Cupach, 1984, hlm. 115). Ia mengatakan
bahwa pandangan menyeluruh tentang kompetensi komunikasi tidak boleh tidak harus
disamakan dengan kesan dari seseorang yang menjadi lawan bicara kita.
Ada beberapa implikasi dari pernyataan Spitzberg itu, demikian kata Mc. Fail (1982).
Pertama, kompetensi tidak selalu harus aktual sesuai dengan tampilan seseorang,
kompetensi adalah sebuah 'evaluasi' atas tampilan yang dilihat oleh orang lain. Kedua, fakta
bahwa 'seseorang' telah mengevaluasi sesuatu yang mungkin saja evaluasi itu melenceng,
bias, atau menarik sebuahkesimpulan yang salah; atau membuat perbedaan penilaian dengan
menggunakan kriteria yang sama, namun menghasilkan kompetensi yang berbeda. Ketiga, evaluasi
itu harus dibentuk dengan merujuk pada sejumlah kriteria, baik implisit maupun eksplisit. Evaluasi itu
sendiri menjadi tidak dapat dipahami atau tidak valid karena tidak didukung oleh pengetahuan tentang
kriteria atau bagaimana kriteria itu disusun. Sehingga tampilan yang sama, bisa jadi dikatakan
berkompeteri oleh suatu standar tertentu, namun tidak kompeten menurut kriteria yang lain.
Brian Spitzbergdan William Cupach (1984) menampilkan tiga komponen kompetensi
komunikasi yaitu (1) motivasi, (2) pengetahuan, dan (3) ketrampilan.
2014
5
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. Motivasi
Motivasi adalah daya tarik dari komunikator yang mendorong seseorang untuk berkomunikasi
dengan oranglain. JonathanTurner (1987) menegaskan bahwa hanya basic needs tertentu yang
mendorong motivasi seseorang untuk berinteraksi dengan" orang lain.
Turner menegaskan beberapa kebutuhan dasar yang mendorong motivasi, di antaranya:
1. Kebutuhan manusia akan perasaan aman (saya terdorong berkomunikasi karena saya tahu
seseorang membutuhkan perlindungan);
2. Kebutuhan akan rasa percaya terhadap orang lain (saya terdorong untuk menugaskan Anda
karena percaya Anda mampu menjadi pemimpin);
3. Kebutuhan akan keterlibatan kita dalam kelompok (saya terdorong untuk menjadi anggota suatu
kelompok tertentu karena saya percaya kelompok itu dapat melibatkan saya);
4. Kebutuhan kita untuk menjauhi kecemasan (saya terdorong untuk berkonsultasi dengan
Anda karena saya tahu saya cemas menghadapi ancaman teror);
5. Kebutuhan kita untuk membagi pengalaman tentang dunia (karena saya terdorong untuk
mengetahui informasi itu dari Anda yang mempunyai internet);
6. Kebutuhan kita terhadap faktor pemuas seperti material dan simbolis (saya terdorong
untuk berkomunikasi dengan Anda karena saya tahu Anda dapat membantu meminjami
uang);
7. Kebutuhan kita akan bertahannya konsep diri (saya terdorong bergaul dengan Anda
karena Anda tahu betul saya mempertahankan diri saya).
setiap orang memiliki kombinasi kebutuhan dan hal itu menentukan kekuatan motivasi
orang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
2. Pengetahuan
Pengetahuan menentukan tingkat kesadaran atau pemahaman seseorang tentang
kebutuhan apa yang harus dilakukan dalam rangka komunikasi secara tepat dan efektif.
Komponen pengetahuan turut menentukan kompetensi komunikasi karena hal ini berkaitan
erat dengan tingkat kesadaran terhadap apa yang dibutuhkan untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
Bayangkan jika Anda berkomunikasi dengan orang yang tidak dikenal maka yang
Anda butuhkan pertama dan utama adalah pengetahuan, siapakah orang itu? Dari
kelompok mana dia berasal. Jadi, yang Anda butuhkan adalah mengurangi tingkat
kecemasan, mencari informasi untuk mengisi pengetahuan Anda tentang orang asing itu.
2014
6
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam pencarian informasi tentang orang lain itulah, seorang ahli komunikasi Charles
Berger (1979) mengajarkan kepada kita tiga tipe umum strategi yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan informasi untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu, yakni strategi pasif,
strategi aktif, dan strategi interaktif.
Strategi Pasif
Anda memakai strategi pasif untuk mengetahui orang lain dengan menjadikan diri
Anda berperan sebagai seorang pengamat Anda ingin berkenalan dengan seorang pria
Jepang bernama Yoko maka yang perlu diamati adalah bagaimana cara dia berkomunikasi
dengan orang lain, cara dia mienyapa dan bercakap-cakap. Apakah cara Yoko itu akan
tetap sama kalau dia berkomunikasi dengan Anda. Bagaimana cara Yoko berbicara
seandainya dia bertemu dengan orang Indonesia lain yang sebangsa dengan Anda? Itulah
strategi pasif.
Strategi Aktif
Strategi aktif dilakukan untuk mencari tahu pribadi Yoko melalui orang yang
mengenal dekat Yoko. Kalau Anda bertanya tentang Yoko maka informasi tentang dia dapat
diperoleh dari teman-teman dia di masa kecil, teman-teman kuliah,dan teman- teman bisnis.
Strategi ini dapat digunakan, namun perlu berhati- hati karena jika ada seseorang yang
berteman baik dengan Yoko maka orang itu akan bercerita hal-hal yang baik-baik saja tentang Yoko, sebaliknya jika orang itu kurang bersahabat dengan Yoko maka dia akan
bercerita tentang hal-hal yang buruk tentang Yoko. Langkah untuk mereduksinya adalah
membaca literatur tentang bagaimana orang Jepang bergaul dengan sesama. Inilah strategi
aktif.
Strategi Interaktif
Strategi terakhir adalah strategi interaktif, artinya Anda berhubungan langsung
dengan Yoko. Strategi ini sangat menguntungkan karena Anda dapat menekan bias
informasi yang salah mengenai pribadi Yoko. Siapkan beberapa pertanyaan secukupnya
tentang apa yang Anda ingin ketahui dari Yoko. Inilah strategi interaktif.
3. Ketrampilan
Kemampuan dapat membimbing kita untuk menghadirkan sebuah perilaku tertentu
yang cukup dan mampu mendukung proses komunikasi secara tepat dan efektif. Tujuan
utama dari ketrampilan semata-mata untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dan
kecemasan. Menurut Gudykunst, mengurangi atau mengendalikan kecemasan juga
merupakan sebuah ketrampilan yang ditentukan oleh kesadaran dan bersikap toleran
2014
7
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
terhadap keadaan yang ambigu atau tak tentu. Untuk mengurangi ketidakpastian maka
Anda sedapat mungkin memiliki tiga ketrampilan, yaitu empati, berperilaku seluwes
mungkin, dan kemampuan untuk mengurangi situasi ketidakpastian itu sendiri. Dua
ketrampilan pertama menjadi syarat cukup untuk membentuk ketrampilan ketiga, yakni
mengurangi tingkat ketidakpastian.
III.Tahu Diri dan Sadar Diri Dalam Berkomunikasi
Ada pertanyaan pokok tatkala kita bicara tentang cara- cara mengembangkan
kompetensi komunikasi antarbudaya. Pertanyaan itu adalah apa yang menyebabkan
terjadinya
kesalahpahaman
dalam
komunikasi
antarbudaya?
Dalam
komunikasi,
kesalahpahaman ini terjadi karena ada gangguan. Konsep gangguan merupakan salah satu
bagian penting yang sangat menentukan keberhasilan komunikasi.
Ingatlah bahwa ketika komunikasi sedang berlangsung, Anda selalu meletakkan
orang lain dalam kelompok budaya mereka, apakah itu suku bangsa, etnik, atau ras
tertentu. Anda biasa bilang, dia orang Jepang yang kelebihan sopan santun, dia orang
berkulit hitam (Negro) yang selalu bertindak kasar, mereka orang Meksiko yang terlalu
parlente, kamu orang Kanada yang sangat mengutamakan formalitas. Inilah salah satu cara
Anda memberikan stereotip kepada orang lain, dan stereotip itu sangat mempengaruhi
komunikasi Anda dengan mereka. Bagaimanapun juga, stereotip terhadap anggota
kelompok budaya Anda tentu akan lebih baik daripada stereotip Anda terhadap orang-orang
dari latar belakang kebudayaan yang lain. Atau dalam berkomunikasi, Anda dan saya sering
menempatkan orang lain dalam stereotip yang selalu lebih jelek daripada kelompok kita.
Guna mengembangkan kemampuan berkomunikasi antarbudaya, kita perlu mengubah
kesadaran stereotip itu di saat berkomunikasi. Howel (1982) mengemukakan bahwa kesadaran dan kemampuan seseorang di saat berkomunikasi dapat membentuk 4 (empat) pola
atau proses pikir. Kita berhadapan dengan empat keadaan sebagai berikut:
1. Conscious Incompetence(sadar-tidak mampu) terjadi manakala kita sadar bahwa kita
salah dan tidak mampu menginterpretasi perilaku orang lain;
2. Conscious Competence(sadar-mampu) terjadi manakala kita sadar bahwa kita mampu
menginterpretasi perilaku orang lain;
3. Inconscious Incompetence(tidak sadar-tidak mampu) terjadi manakala kita tidak sadar
bahwa kita tidak mampu menginterpretasi perilaku orang lain;
4. Unconscious Competence(tidak sadar - mampu) terjadi manakala kita tidak sadar
bahwa kita mampu menginterpretasi perilaku orang lain.
2014
8
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Konflik antara orang-orang yang berbeda etnik dan kelompok budaya yang masih
sering terjadi seperti sekarang ini (Bosnia-Serbia, Israel-Arab, dan Protestan-Katolik) kerap
kali ditimbulkan oleh karena 'keterlibatan' kita dalam empat pola di atas. Meskipun sumbersumber konflik itu berbeda-beda dan sangat tergantung pada situasi tertentu, namun semua
konflik antarpribadi, antarkelompok selalu bersumber dari hal yang sama, yaitu 'polarisasi
komunikasi'. Yang dimaksudkan dengan 'polarisasi komunikasi' adalah kemampuan peserta
komunikasi untuk saling menaruh kepercayaan, namun dalam keadaan ini ada pula peluang di mana para peserta komunikasi saling menampilkan pandangan yang salah atau
keliru terhadap ketulusan komunikasi. 'Polarisasi komunikasi' terjadi ketika seseorang atau
suatu kelompok mencari kepentingan sendiri dan hanya memiliki sedikit kepedulian
terhadap minat orang lain.
Gudykunst yakin bahwa manusia mempunyai tanggung jawab untuk mencoba
menghargai perbedaan-perbedaan budaya atau etnik dalam sebuah konstruksi tampilan,
dan tidak membentuk polarisasi komunikasi. Untuk menunaikan tanggung jawab itu maka
berkomunikasi efektif harus dicoba dengan cara membentuk pesan sedemikian rupa
sehingga orang lain bisa mengerti apa yang kita maksudkan, apa yang kita butuhkan, atau
menanyakan pesan orang lain pada kita dengan cara sebagaimana yang mereka
maksudkan. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui cara memperbaharui komunikasi
dengan orang lain. Dengan demikian, kita harus mengerti kecenderungan yang normal
tatkala kita berkomunikasi dengan mereka.
Sumber:
Liliweri MS, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. LKIS, Yogyakarta,
2003
2014
9
Komunikasi Antar Budaya
Wulansari Budiastuti, S.T., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download