“Fintech dan Keberadaannya : Mengusik atau Kolaboratif?” oleh Niki Luhur Ketua Umum Asosiasi FinTech Indonesia Indonesia semakin memperkuat reputasinya sebagai salah satu pusat kekuatan ekonomi dunia. Data World Bank (2015) memprediksi hingga 2020 PDB Indonesia akan terus mengalami pertumbuhan sebesar dua kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, dengan populasi yang mencapai lebih dari 250 juta orang dan ditambah bonus demografi yang relatif besar, Indonesia memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian global. Sayangnya potensi besar ini belum didukung oleh inklusi keuangan yang cukup baik. Hasil survei Bank Dunia (2014) menunjukkan bahwa dari sekitar 250 juta populasi di Indonesia, baru sekitar 36 persen penduduk dewasa Indonesia yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal. Selain itu, data Global Findex database (2014) yang dikutip oleh McKinsey and Company menunjukkan baru sekitar 50 persen melakukan pengiriman uang melalui bank, 27 persen menyimpan uang di bank, 7 persen menggunakan rekening untuk menerima gaji sepanjang tahun lalu, 44 persen meminjam uang dari keluarga, teman ataupun peminjam tidak resmi lainnya dan hanya 9 persen menggunakan kartu debit untuk melakukan pembayaran. Di sisi lain, UKM yang disebutkan pemerintah sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia ternyata juga masih banyak yang belum tersentuh layanan keuangan atau belum bankable – angkanya bahkan diprediksi mencapai 49 juta. Padahal dengan mempekerjakan lebih dari 107,6 juta penduduk Indonesia dan berkontribusi sedikitnya 60,6 persen terhadap PDB Indonesia, UKM memiliki potensi yang luar biasa besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan berkeadilan, dimana lebih banyak orang bisa berpartisipasi dalam kegiatan perekonomian. Ada banyak alasan mengapa puluhan juta masyarakat Indonesia belum dapat mengakses layanan keuangan. Mulai dari faktor penyebaran jaringan lembaga jasa keuangan formal yang tidak merata, struktur geografis, populasi yang tersebar, hingga literasi keuangan yang masih rendah. Berdasarkan data literasi keuangan masyarakat, Indonesia masih berada pada kisaran 21,8 persen. Padahal persentase literasi keuangan masyarakat di Singapura sudah mencapai 96 persen, Malaysia 81 persen dan Thailand 78 persen. Transformasi Digital Sektor Keuangan Terlepas dari kesenjangan literasi dan akses terhadap layana keuangan, Indonesia menempati peringkat pertama pertumbuhan tercepat koneksi di dunia. Dari 250 juta penduduk, Social Baker (2016) melaporkan ada sekitar 88 juta adalah pengguna aktif internet dan 74 juta merupakan pengguna sosial media aktif. Selain itu terdapat sekitar 325 juta mobile connection dan 64 juta pengguna aktif telepon genggam. Pertumbuhan teknologi dan perkembangan digital yang pesat terlihat juga dari menjamurnya perusahaan start-up di Indonesia dalam bidang teknologi. Hasil riset Asosiasi FinTech Indonesia memetakan sedikitnya ada 120 perusahaan yang saat ini bergerak di sektor financial technology (fintech). Layanan dan usaha fintech merujuk pada pelaku industri jasa keuangan berbasis teknologi informasi. Disiapkan oleh Peningkatan jumlah start-up fintech sejalan dengan jumlah pemilik telepon genggam yang jauh lebih banyak dari jumlah pemilik rekening bank. Hal ini semakin meyakinkan bahwa masa depan inklusi keuangan di Indonesia ada pada transaksi keuangan digital yang menggunakan perangkat mobile. Di tengah upaya lembaga keuangan tradisional mempercepat penetrasi mereka ke pasar yang belum tersentuh layanan keuangan, fintech hadir memberikan layanan baru dengan nilai tambah. Memiliki karakter yang mobile, lincah dan dibangun semata-mata untuk pelanggan, fintech memberikan kontribusi dalam turut memasarkan produkproduk keuangan dan mendorong pertumbuhan perekonomian nasional melalui transaksi konsumen secara digital. Pertumbuhan pesat perusahaan start-up fintech pun mendorong institusi keuangan tradisional untuk mengevaluasi kembali model bisnis inti mereka dan mulai memanfaatkan inovasi digital. Fintech dalam Mata Rantai Sistem Keuangan Fintech lahir dan berkembang sesuai tuntutan zaman dan pasar ekonomi, dimana proses pembayaran, transfer, jual beli, hingga pembiayaan diharapkan menjadi semakin praktis, aman dan modern. Kegiatan transaksi pun kini dapat dilakukan secara elektronik melalui smartphone, tablet atau perangkat genggam lainnya. Dengan demikian, kehadiran fintech adalah melengkapi rantai transaksi keuangan dan turut memperkuat ekosistem keuangan, dan bukan menggantikan peran institusi keuangan tradisional. Fintech mendukung peran bank atau lembaga keuangan dalam memberikan jasa keuangan kepada nasabah, membantu nasabah dalam membuat keputusan keuangan, mengurangi biaya operasional dan risiko kerugian (misalnya akibat kredit macet) dan mengembangkan pasar karena fintech sendiri menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan pemasaran suatu produk di tengah industri keuangan, utamanya karena pemasaran produk secara online makin disukai oleh publik. Fintech saat ini telah memiliki banyak fungsi yang tidak hanya sebagai layanan transaksi keuangan online. Hasil riset Asosiasi FinTech Indonesia melaporkan bahwa saat ini perusahaan fintech di Indonesia masih didominasi oleh perusahaan pembayaran (44%), agregator (15%), pembiayaan (15%), perencana keuangan untuk personal maupun perusahaan (10%), crowdfunding (8%) dan lainnya (8%). Pengembangan fintech yang sangat cepat pun menyentuh berbagai sektor keuangan mulai dari ritel, wealth management, UKM, korporasi dan investasi perbankan serta asuransi. Hal ini menjadi kesempatan emas dalam menjangkau masyarakat yang selama ini belum terjangkau oleh berbagai layanan keuangan. Kolaborasi untuk Ciptakan Layanan Keuangan yang Mengakar Rumput Perlu terdapat tiga pilar utama untuk membantu Indonesia mencapai inklusi keuangan melalui pengembangan industri fintech. Hal pertama adalah membangun infrastruktur, kedua menciptakan regulasi yang lebih jelas dan terarah, dan terakhir adalah membentuk ekosistem yang lebih kuat. Semuanya tidak akan dapat tercapai tanpa kolaborasi positif. Disiapkan oleh Untuk mengawal perkembangan industri keuangan, Asosiasi FinTech Indonesia secara rutin bertemu, berdialog, dan mendapatkan informasi langsung terkait perkembangan kebijakan, prioritas pemerintah, serta isu-isu sektoral dengan para regulator. Baru-baru ini, misalnya, OJK mengundang para pelaku usaha dan Asosiasi FinTech Indonesia untuk memberikan masukkan terhadap rancangan peraturan OJK terkait Fintech Lending. Hal ini mencerminkan dukungan regulator melalui pembenahan kepastian hukum sehingga membantu pelaku usaha, dan dengan demikian turut membangun dan memperkuat ekosistem usaha Fintech di Indonesia. Kedepannya, terdapat lima agenda para pelaku sektor fintech yang perlu mendapat perhatian dan dukungan pemerintah, yaitu; peraturan mengenai pemanfaatan tanda tangan elektronik, penyelenggaraan KYC digital, keamanan data, pemrosesan transaksi pembayaran dan dompet atau uang elektronik, serta kapasitas hukum pinjaman berbasis online. Dukungan lain dari pemerintah adalah hadirnya BI Fintech Office yang diluncuran pada 14 November 2016 lalu, yang dimaksudkan menjadi wadah kajian, mitigasi risiko, melakukan evaluasi atas model bisnis dan produk atau layanan fintech, serta inisiator riset terkait kegiatan layanan keuangan berbasis teknologi. Sementara itu, dukungan lembaga keuangan tradisional terlihat dari semakin banyaknya kerjasama strategis yang dilakukan bersama para perusahaan start-up fintech. Kolaborasi dan sinergi antara seluruh pemangku kepentingan (pemerintah, regulator dan pelaku usaha) adalah kunci bagi kuatnya ekosistem keuangan dan menjadi formula paling tepat untuk mempercepat terwujudnya inklusi keuangan bagi seluruh masyarakat Indonesia – hingga ke tingkat akar rumput. Kita semua ingin melihat semua lapisan penduduk dapat memanfaatkan lebih banyak produk dan jasa keuangan, meningkatkan kesejahteraan mereka, mengentaskan kemiskinan dan akhirnya turut mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Disiapkan oleh