AI, Fintech dan Ekonomi Rakyat Oleh Izak Jenie Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan CEO PT. JAS Kapital Selama lebih dari 30 tahun, ilmu AI (Artificial Intelligence/Kecerdasan Buatan) ‘mengambang’ di dunia ilmu komputer sebelum melesat dalam 10 tahun terakhir. Saat ini, ilmu AI menjadi hal utama yang diprediksi akan mengubah wajah hampir seluruh industri di masa depan. Secara sederhana, ilmu AI melakukan simulasi cara kerja otak di dalam algoritma komputer. Simulasi ini terbukti sudah cukup mirip, bahkan menawarkan kelebihan dibandingkan potensi manusia, dimana tanpa dibatasi oleh faktor biologis, AI dapat ‘berpikir’ terus-menerus selama 24 jam, selama bertahun-tahun tanpa henti dan tanpa kenal lelah. Layanan asisten pribadi Apple, Siri, misalnya, menggunakan AI untuk membantu mencari informasi atau mengirimkan pesan bagi penggunanya. Contoh lain, Toyota mengeluarkan investasi miliaran dolar untuk membuat mobil bebas kecelakaan dan menggunakan AI untuk memungkinkan siapapun bisa mengendarai mobil. Kenyataannya, ilmu AI ini dikembangkan di banyak sektor, bahkan dalam waktu cepat diprediksi akan menyentuh hampir semua industri. Di bidang teknologi finansial (tekfin/fintech) kemampuan AI memungkinkan terbukanya ‘kotak pandora’ yang selama ini menjadi misteri bagi semua pemain jasa finansial di bidang pinjammeminjam. AI dapat membantu proses verifikasi dan menjaga risiko transaksi secara lebih cepat dan efisien. Lebih jauh dari sekedar melihat kemampuan peminjam dalam mengembalikan pinjaman, AI dapat membantu menganalisa karakter atau perilaku peminjam untuk memastikan Ia menjalankan kewajibannya. Besarnya jumlah data individu yang dapat dituai dari kegiatan media sosial dan sejarah transaksi finansial, memungkinkan AI untuk mengolah big data tersebut, melakukan analisa dan menarik kesimpulan mengenai karakter seseorang. Semakin banyak data yang tersedia, semakin akurat analisa tersebut. Di tahun 2012, peneliti dari Stanford, Michael Kosinski, membuktikan bahwa dengan rata-rata 68 Facebook ‘likes’, Ia bisa memprediksi warna kulit (akurasi 95%), orientasi seks (88%) dan afiliasi politik (85%) seseorang. Dari data tersebut bisa ditentukan juga kecerdasan, afiliasi agama, konsumsi alkohol, rokok, obat-obatan dan dideduksi apakah orangtua pemilik akun tersebut bercerai atau tidak (ini pula yang menyebabkan Facebook mengganti setting ‘like’ yang awalnya public menjadi private, dan menuntut si peneliti tersebut)1. Jika data sosial media tersebut dikombinasikan dengan data finansial dan sejarah transaksi, maka lebih banyak variabel yang dapat dilihat untuk memberikan gambaran yang lebih akurat dan lebih bermanfaat dalam mempertajam analisa. Seseorang yang selama bertahun-tahun selalu membayar listrik tepat waktu, tentu memberi gambaran mengenai tingkat kedisiplinannya. Kegiatan transfer secara rutin kepada sebuah panti asuhan, misalnya, juga dapat menjadi sinyal tentang karakter 1 https://publicpolicy.stanford.edu/news/data-turned-world-upside-down Disiapkan oleh pelakunya. Contoh lain, orang yang melakukan transaksi di pagi hari tentu memiliki karakter berbeda dibandingkan mereka yang melakukan transaksi jam 10 malam di ATM dekat rumahnya. Namun implementasi AI kepada kumpulan data di atas harus dilihat dari sudut yang berbeda dengan menggunakan analisa big data. Jika biasanya analisa dilakukan dengan menentukan set of rules atau batasan-batasan untuk memperoleh hasil yang sesuai dengan ketentuan tersebut, ilmu AI menerapkan mekanisme trial and error. Analoginya adalah seperti saat kita terkejut karena tangan kita menyentuh benda panas, maka otak akan memerintahkan untuk tidak melakukan hal yang sama lagi. Demikian pula dengan penerapan AI di area tekfin, dari jutaan data transaksi yang ada di Bank, disatukan dengan informasi pemilik rekening, data media sosial dan data pengembalian pinjaman nasabah, maka sebetulnya Bank bisa membuat ‘otak besar’ yang dapat menganalisa mengenai boleh tidaknya seseorang diberikan pinjaman. Dengan memasukkan sebuah data, otak ini akan memberikan ‘opini’ layaknya seorang pakar. Semakin banyak otak ini ‘belajar’ dari jutaan data baru, maka ia akan menjadi semakin ‘cerdas’ dan ‘pintar’ dalam membuat keputusan atau rekomendasi keuangan. Layaknya pemain catur yang sering berlatih, setiap kekalahan, atau kesalahan, akan menjadi umpan balik untuk dapat mengungungguli permainan berikutnya. Potensi besar ilmu AI sayangnya belum didukung kesiapan pasar di Indonesia. Masih dibutuhkan upaya bersama untuk menciptakan ekosistem yang lebih siap. Pemerintah, misalnya, perlu memastikan regulasi yang dapat mengikuti perkembangan teknologi, namun tanpa membebani. Di sisi lain, individu juga perlu lebih cermat dalam mengelola data pribadi, termasuk yang terhimpun dalam media sosial. Pelaku usaha pun harus bertanggung jawab dalam mengelola data agar dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas. Bisa dibayangkan bila Bank, Jasa Keuangan dan P2P lending tekfin dapat dengan cepat memberikan pinjaman, maka roda perputaran ekonomi di segmen bawah akan bergerak jauh lebih cepat. Bila pemberi pinjaman dengan percaya diri dapat memberikan pinjaman di bawah 100 juta kepada banyak rakyat kecil, maka implikasi dari sebaran ekonomi akan menjadi sangat signifikan. Hal ini akan menjadi jawaban atas kesenjangan pembiayaan yang terjadi di Indonesia, yang saat ini banyak diambil alih oleh pemberi pinjaman tidak resmi seperti tengkulak. Sehingga ibarat sebuah kebun bunga, air yang disiram ke kebun tersebut tidak hanya terfokus pada beberapa lokasi bunga tertentu saja melainkan juga mengalir dan menyebar ke semua hamparan, termasuk rumput-rumput kecil yang baru tumbuh sehingga rumput tersebut bisa melepas dahaga dan tumbuh dengan jauh lebih cepat. Semoga. Disiapkan oleh