“Potensi Fintech untuk Perluas Penetrasi Pasar Modal” [Seri 1] oleh Manuel Pakpahan Anggota Asosiasi FinTech Indonesia dan Co-Founder OlahDana Berinvestasi, atau menabung di pasar modal, masih merupakan hal yang belum dikenal baik oleh masyarakat di Indonesia. Selain karena alasan terminologi yang sulit dimengerti, masyarakat menganggap berinvestasi dengan cara ini tidak mudah, membutuhkan dana besar dan berisiko tinggi. Partisipasi publik yang masih rendah ini terbukti dari indeks literasi pasar modal yang hanya 5-6%, jauh tertinggal dari perbankan (21,8%), asuransi (17,1%), pegadaian (14,9%) dan pembiayaan konsumen (9,8%). Indeks inklusi pasar modal bahkan lebih kecil lagi yaitu hanya sebesar 1,1%. Indonesia Darurat ‘Basis Investor Domestik’ dan ‘Penetrasi Investasi’ di Pasar Modal Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) melaporkan bahwa jumlah investor di Indonesia saat ini mencapai 886.574 pihak (per 20 Desember 2016), atau meningkat dari 434.107 pada 2015 dan 364.465 pada 2014. Hal ini seiring dengan kampanye masif yang dilakukan pemerintah dan pihak regulator (KSEI, Kliring Penjaminan Efek Indonesia/KPEI, Bursa Efek Indonesia/BEI dan Otorita Jasa Keuangan/OJK), serta Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan yang meluncurkan program tax amnesty. Meski demikian, jumlah investor tersebut hanya setara dengan 0,35% dari total populasi, jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia (12,8%) dan Singapura (30%). Padahal, Bursa Efek Indonesia mencanangkan target jumlah investor saham baru sejumlah 1 juta per tahun dan Asosiasi Pengelola Reksa Dana Indonesia (APRDI) mencanangkan target jumlah investor reksa dana sebesar 5 juta investor. Jika mengecualikan program tax amnesty tadi, maka pencapaiannya masih jauh dari harapan. Dari sisi aktivitas investor, data KSEI menunjukkan belum sampai 20% dari investor tersebut yang aktif bertransaksi minimum sebulan sekali. Meski perlahan, tingkat aktivitas ini bergerak naik dari sekitar 57 ribu nasabah (13% dari total SID atau single investor identification) yang bertransaksi sebulan sekali pada 2015, menjadi sekitar 147 ribu nasabah (17% dari total SID) pada 2016. Artinya, masih ada pekerjaan rumah untuk; pertama, meningkatkan basis investor domestik setidaknya menembus 1-2 juta per tahun; dan kedua, meningkatkan peran aktif nasabah yang telah eksis untuk bertransaksi minimal sebulan sekali hingga mencapai angka di atas 30%. Potensi Pasar Modal Indonesia Pasar modal di Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar untuk melahirkan lebih banyak investor lokal, dan mewujudkan inklusi investasi serta kebiasaan menabung di reksa dana dan saham. Disiapkan oleh Saat ini, pasar surat utang dikendalikan oleh 60% investor lokal; sementara di pasar reksa dana, yang didominasi investor lokal dan produk berbasis saham mencapai 45% dari total dana kelolaan industri (produk berbasis pasar uang hanya 10%, sementara berbasis obligasi 35%); dan pasar saham hanya dikuasai oleh 35% investor lokal. Padahal nilai transaksinya cukup tinggi, seperti tercatat tahun ini, di pasar saham saja kapitalisasi pasar dapat mencapai Rp. 5.800 triliun. Hingga hari ini, terdapat sekitar 75 Manajer Investasi pengelola dana masyarakat yang menawarkan ribuan produk tabungan reksa dana berbasis saham, obligasi, maupun deposito; 100 perusahaan sekuritas yang menjadi perantara bagi publik yang ingin menabung dalam bentuk saham pada Usaha Kecil & Menengah (UKM) maupun Usaha Besar yang tercatat di bursa efek, dimana transformasi bisnis berupa layanan elektronik sudah hadir dalam bentuk lebih dari 50 online stock trading platform seperti misalnya HOTS, MOTS dan IPOT yang melayani sebagian dari 886 ribu nasabah di Indonesia; serta sejumlah start-up fintech pasar modal yang sudah hadir. Sementara untuk menabung dalam bentuk obligasi, saat ini Indonesia masih digawangi oleh para Bank dan perusahaan sekuritas yang menjual obligasi ritel dan sukuk ritel (ORI/SUKRI), dimana layanan elektronik menabung obligasi bagi ritel masih dalam tahap pengembangan, khususnya untuk dapat merambah ke Surat Berharga Negara (SBN) juga. Mendesaknya Perubahan Paradigma dan Pendekatan Pelaku pasar dan pemangku kepentingan lainnya menyadari perlunya perubahan pada pola pikir masyarakat. Sementara masih banyak produk keuangan berbasis investasi yang saat ini beredar, tidak memberi edukasi yang sehat bagi masyarakat. Misalnya, imbal hasil historis yang fantastis dan dipromosikan akan berkelanjutan, atau investasi yang diklaim memberi garansi hasil tetap. Lebih jauh, harus diakui, komunikasi pemasaran para pelaku pasar modal Indonesia masih belum out-of-the-box. Demi menyentuh lapisan nasabah yang lebih luas, pelaku pasar modal perlu menempuh pendekatan yang lebih praktis dan pas dengan pola pikir dan cara hidup masyarakat Indonesia. Pendekatan ini perlu menyentuh secara tepat kebutuhan berbagai sub-segmen masyarakat, misalnya kelompok UMKM, karyawan & profesional, pemuda, bahkan ibu rumah tangga – dengan memberi contoh-contoh yang aplikatif dan atraktif secara visual. Dukungan pelaku-pelaku baru dalam ekosistem pasar modal seperti perusahaan teknologi keuangan juga menjadi harapan besar bagi perluasan penetrasi pasar modal. Lahirlah inovasiinovasi baru; misalnya kini tersedia ‘supermarket digital’ reksa dana pertama di Indonesia yang dipelopori oleh Bareksa, yang memungkinkan calon nasabah mempelajari begitu banyak pilihan reksa dana; atau model sociotrading seperti OlahDana yang tidak hanya menawarkan simulasi saham virtual, tetapi juga sebagai platform aktual dengan mentor riil yang kompeten di bidangnya untuk memancing gairah publik berinvestasi di pasar modal. Disiapkan oleh Disiapkan oleh