PENDAHULUAN Penggunaan alkaloid yang berasal dari kulit batang pohon kina telah dimanfaatkan selama lebih dari tiga abad untuk tujuan terapeutik maupun ilmu pengetahuan. Kulit batang pohon kina mengandung alkaloid penting golongan kinolin, yaitu kinin, kinidin, sinkonin, dan sinkonidin. Kinin merupakan alkaloid utama yang telah dijadikan obat pilihan untuk mengobati penyakit malaria hingga antimalaria sintetik berhasil diproduksi pada akhir tahun 1940-an (Trease, 1971). Reaksi demetilasi kinin merupakan tahap awal dari rangkaian tahap pengubahan kinin menjadi sinkonidin, dan merupakan tahap yang paling sensitif dan kritis dari ke lima tahap yang direncanakan, karena produk reaksi sangat labil dan mudah teroksidasi. Ke lima tahap tersebut yakni demetilasi kinin, tosilasi gugus fenol dan alkohol, reduksi produk tosilasi, hidrolisis tosilat, dan eliminasi iodida (Kartasasmita, 2007). Penelitian ini bertujuan untuk mengupayakan reaksi demetilasi kinin menggunakan asam hidroiodida dan mengidentifikasi produk fenol yang diharapkan terbentuk yang disertai terjadinya reaksi adisi pada ikatan rangkap alifatis. Pemantauan produk reaksi yang terbentuk dilakukan dengan teknik kromatografi lapis tipis (KLT) dan keberhasilan reaksi diperkirakan dari perubahan nilai Rf bercak produk reaksi dibandingkan terhadap nilai bercak pembanding dengan memperhitungkan polaritas keduanya. Karakterisasi struktur produk reaksi dilakukan dengan teknik spektrofotometri inframerah, spektrofotometri ultraviolet-sinar tampak, dan spektrofluorometri. 1 BAB 1 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai taksonomi dan morfologi kinin, sejarah penemuan, struktur, tatanama, dan sifat fisikokimia kinin, sifat fisikokimia asam hidroiodida, sifat fisikokimia eter, sifat fisikokimia dimetil eter, hubungan dimetil eter dan kinin, berbagai metode reaksi demetilasi pada eter, reaksi adisi hidrogen halida pada alkena, serta strategi reaksi demetilasi kinin menggunakan asam hidroiodida. 1.1 Kinin 1.1.1 Taksonomi dan Morfologi Kinin termasuk ke dalam kerajaan Plantae, divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, bangsa Gentianales, suku Rubiaceae, dan marga Cinchona. Terdapat sekitar 25 jenis yang umumnya berasal dari lembah pegunungan Andes sekitar Peru dan Ekuador. Kina tergolong pohon yang selalu berdaun hijau, tingginya lebih kurang 5-15 meter (MMI, 1980). Tidak semua jenis kina dapat dimanfaatkan untuk memproduksi kinin, banyak yang sebenarnya tidak mengandung kinin sama sekali (Higuchi, 1961). Jenis yang paling penting dan bermanfaat adalah Cinchona officinalis L., C. Calisaya Wedd., C. Ledgeriana Moens., dan C. pubescens (Trease, 1971). 1.1.2 Sejarah Penemuan Kina dipercaya berasal dari lereng pegunungan Andes di Amerika Selatan. Nama cinchona berasal dari Putri Chinchon, istri seorang raja muda Peru, yang pada tahun 1638 terkena penyakit malaria. Putri tersebut menjadi sembuh setelah diobati menggunakan ramuan herbal dari kulit kayu “quinquina”. Pada tahun 1639, di Spanyol obat tersebut kemudian diketahui sebagai ‘Pulvo de la Condesa’, metode penggunaannya dicatat dalam Schedula Romana. Penyebarannya dilakukan oleh para pendeta Jesuit, sehingga obat tersebut dikenal pula sebagai bubuk jesuit atau bubuk peruvian. Pada tahun 1677 penggunaan kulit kayu kina tersebut dicatat dalam London Pharmacopoeia dengan nama cortex peruanus (Trease, 1971). 2 3 Pada awal tahun 1600, kinin yang digunakan adalah dalam bentuk yang tidak terekstraksi. Mulai tahun 1820, kulit kayu kina dikeringkan, digiling menjadi serbuk halus, dicampur ke dalam cairan (umumnya wine) sebelum diminum. Pada sekitar tahun 1850 terjadi penggunaan kinin skala besar untuk profilaksis. Pada sekitar tahun 1860, para petualang Inggris dan Belanda terpaksa melakukan penyelundupan benih kina dari bangsa Peru dan membuka perkebunan di Jawa. Hingga perang dunia II berlangsung, perkebunanperkebunan ini mampu mensuplai hampir 95% dari kebutuhan dunia akan kinin. Saat perang terjadi kebutuhan akan kinin terus meningkat, sehingga penelitian mengenai produksi kinin sintetik terus dilakukan. Pada tahun 1944, R.B. Woodward dan W.E. Doering (kimiawan Amerika) berhasil mensintesis kinin sintetik (Cordell, 1981). 1.1.3 Struktur, Tatanama, dan Sifat Fisikokimia Struktur dan penomoran kinin seperti yang dikemukakan oleh Rabe dan secara biogenetik adalah sebagai berikut (Cordell, 1981): 10 CH 11 H2C H H 7 8 S HO N 4 1 R 9 H3CO 5' 3 2 H 5 6 4' 3' 6' 7' 2' N 1' 8' Gambar 1.1. Struktur kinin menurut Rabe. 18 19 CH H2C H H R 2 9 H3CO H 15 3 HO 20 14 N S 16 17 7 6 10 5 11 12 N 4 Gambar 1.2. Struktur kinin secara biogenetik. Struktur kinin terdiri dari dua bagian, yakni inti kinolin dan kinuklidin. Kinin memiliki konfigurasi 8S, 9R. Kinin adalah levorotatory stereoisomer dari kinidin (Clarke’s, 2004). Terdapat empat pusat asimetrik, yaitu pada posisi C-2, C-3, C-15, dan C-20 (berdasarkan 4 penomoran secara biogenetik) atau pada posisi C-9, C-8, C-4, dan C-3 (berdasarkan penomoran menurut Rabe) (Cordell, 1981). Kinin basa memiliki nama kimia yaitu (2-ethenyl-4-azabicyclol[2.2.2]oct-5-yl)-(6methoxyquinolin-4-yl)-methanol; 6-Methoxy-alpha-(5-vinyl-2quinuclidinyl)-4-quinoline methanol; (8α,9R)-6’-Methoxycinchonan-9-ol; 6’-Methoxycinchonan-9-ol. Kinin memiliki rumus molekul C20H24N2O2 dengan berat molekul 324,417 g/mol, tersusun atas C 74,04%, H 7,46%, N 8,63%, dan O 9,86% (Merck, 2001). Kinin berbentuk serbuk bergranul atau mikrokristalin, berwarna putih atau praktis putih, tidak berbau, rasanya sangat pahit, menggelap jika terpapar cahaya, dan sedikit mengembang di udara kering (The Pharmaceutical Codex, 1994). Satu gram kinin dapat larut dalam 1900 mL air, 760 mL air mendidih, 0,8 mL alkohol, 250 mL eter, 1,2 mL kloroform, 80 mL benzena (18 mL benzena pada 50oC), dan 20 mL gliserol. Kinin memiliki jarak lebur 173-175oC dan rotasi optik pada suhu kamar (25oC) adalah -165o (C=2 dalam larutan etanol 97%), -169o (C=2 dalam larutan etanol 97%) pada temperatur 15oC. Kinin stabil pada suhu kamar, tetapi bersifat fotosensitif (Merck, 2001). 1.2 Sifat Fisika dan Kimia Asam Hidroiodida Asam hidroiodida memiliki nama kimia yaitu hydroiodic acid atau hydriodic acid. Asam hidroiodida memiliki rumus molekul HI dengan berat molekul 127,904 g/mol. Asam hidroiodida merupakan asam yang kuat dan bersifat korosif (Merck, 2001). : H I: : Gambar 1.3. Struktur molekul asam hidroiodida. Asam hidroiodida berbentuk cairan tidak berwarna sesaat setelah pembuatan, tetapi berubah menjadi kekuning-kuningan atau coklat saat terpapar cahaya dan udara. Asam hidroiodida dapat bercampur dengan air atau alkohol, dan dapat melarutkan iodin. Asam hidroiodida membentuk campuran azeotrop dengan titik didih 127oC, kerapatan 1,70 g/L pada campuran 57% HI dan 43% air. Tetapan disosiasinya pada suhu 25oC adalah ~1010. Pada larutan 0,1 molar memiliki pH 1,0 (Merck, 2001). 1.3 Reaksi Demetilasi pada Eter 1.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Eter Jenis rumus molekul umum eter dapat berasal dari penggantian dua atom hidrogen pada sebuah molekul air oleh gugus alkil, namun eter lebih dianggap sebagai turunan dari alkohol (Fieser, 1950). Eter memiliki rumus molekul umum ROR’. Struktur molekul : : : : O O O H : : umum air, alkohol, dan eter menurut Fessenden adalah sebagai berikut (Fessenden, 1981) : H H O R R' Gambar 1.4. Struktur molekul umum air, alkohol, dan eter dari kiri. Besar sudut ikatan atom oksigen pada eter sedikit lebih besar daripada air. Besar sudut ikatan atom oksigen pada dimetil eter (eter yang paling sederhana) adalah 110o, sedangkan besar sudut ikatan atom oksigen pada air adalah 108o (Solomons, 1980). Eter memiliki titik didih yang jauh lebih rendah dari alkohol pada berat molekul yang sama. Eter tidak dapat membentuk ikatan hidrogen antara molekul-molekulnya, karena tidak mempunyai hidrogen yang terikat pada oksigen. Tetapi eter dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air, alkohol, atau fenol (Fessenden, 1981). Pada penjelasan selanjutnya hanya akan dibahas mengenai dimetil eter. 1.3.2 Sifat Fisika dan Kimia Dimetil Eter Dimetil eter memiliki nama kimia methoxymethane, dengan rumus molekul CH3OCH3 dan berat molekul 46,07 g/mol. Struktur molekul dimetil eter menurut Solomons adalah sebagai berikut (Solomons, 1980) : Gambar 1.5. Struktur molekul dimetil eter. Dimetil eter berbentuk gas tidak berwarna, dan berbau khas eter. Dimetil eter memiliki titik lebur -140oC, dan titik didih -24,9oC. Kerapatan pada 20oC adalah 0,661 g/L. Gas dimetil eter bersifat larut dalam air, metanol, etanol, dan toluena (Solomons, 1980). 5 1.3.3 Hubungan Dimetil Eter dan Kinin Berdasarkan struktur kimia kinin pada Gambar 1.1. terlihat bahwa struktur gugus metoksi yang akan mengalami demetilasi mirip dengan struktur gugus metoksi pada dimetil eter. Gugus metoksi merupakan gugus fungsi yang terdiri atas gugus metil yang berikatan : : dengan oksigen. Gambar 1.6. Struktur gugus metoksi. Dalam tatanama kimia organik, gugus metoksi umum digunakan untuk mengilustrasikan gugus eter. Melalui penganalogian struktur tersebut, maka metode pemutusan gugus metil pada kinin dapat berdasarkan metode demetilasi pada dimetil eter. 1.3.4 Metode Reaksi Demetilasi Pada Eter a. Reaksi demetilasi menggunakan asam kuat Saat eter alifatik (seperti dimetil eter) dipanaskan dengan larutan asam kuat, eter mengalami reaksi substitusi. Pemanasan dengan larutan HBr atau HI menyebabkan eter mengalami reaksi substitusi dan menghasilkan campuran alkohol dan alkil halida (pada kondisi larutan HBr atau HI yang berlebih, alkohol dapat mengalami reaksi lebih lanjut dengan larutan HBr atau HI yang akan menghasilkan alkil bromida atau alkil iodida tambahan). Alkil fenil eter, misalnya anisol, menghasilkan alkil iodida dan fenol (bukan iodobenzena). Hal ini dikarenakan ikatan dari karbon sp2 lebih kuat daripada ikatan karbon sp3 (Fessenden, 1979). Asam hidroklorida dapat mendemetilasi dimetil eter, tetapi melalui reaksi yang sangat lambat. Hanya asam hidrobromida dan asam hidroiodida yang dapat memberikan laju reaksi yang lebih cepat terhadap proses demetilasi tersebut. Asam hidroiodida memberikan laju reaksi yang paling cepat. Asam hidrobromida dapat bertindak sama pada suhu yang lebih tinggi, yaitu 200oC (Wagner, 1963). Metode standar reaksi demetilasi pada senyawa metoksi hanya dapat terjadi pada kondisi yang ekstrim, yaitu dengan cara direfluks menggunakan asam hidroiodida 25%, atau 6 7 dengan pendidihan-konstan menggunakan asam hidrobromida dalam larutan asam asetat (Fieser, 1950). b. Reaksi demetilasi menggunakan boron tribromida Asam kuat terlalu merusak bagi senyawa organik sensitif seperti eter, sehingga boron tribromida terkadang digunakan untuk memutus ikatan dalam eter alifatik menjadi alkohol dan alkil halida (Norman, 1993). Alumunium halida dan boron halida dapat digunakan untuk mendealkilasi alkil aril eter menjadi fenol. Alumunium klorida dan eter pertama kali bereaksi membentuk kompleks kemudian sebuah molekul alkil halida dieliminasikan selama pemanasan berlangsung (Wagner, 1963). c. Reaksi demetilasi menggunakan garam natrium dalam larutan basa Diaril eter dan alkil aril eter dapat didemetilasi menggunakan natrium amida, natrium hidroksida, dan natrium dalam larutan amoniak atau piridin. Anisol, fenetol, fenil benzil eter, dan difenil eter diubah menjadi fenol dengan cara direfluks menggunakan natrium atau kalium dalam larutan piridin (Wagner, 1963). 1.4 Reaksi Adisi Hidrogen Halida pada Alkena Alkena merupakan seri homolog suatu senyawa yang keseluruhannya memiliki rumus CnH2n dan memiliki dua atom hidrogen lebih sedikit dibanding alkana. Karena tidak semua elektron valensi dari atom karbon dimanfaatkan oleh atom hidrogen, maka alkena disebut juga sebagai hidrokarbon tidak jenuh yang umumnya dijelaskan melalui keberadaan ikatan rangkap C=C. Simbol C=C mengindikasikan dua buah atom karbon yang disatukan oleh dua buah ikatan. Berbagai reaksi adisi dan oksidasi berlangsung pada ikatan rangkap C=C karena merupakan tempat yang reaktif dalam molekul (Walter, 1996). Reaksi adisi hidrogen halida pada alkena akan menghasilkan alkil halida. Hidrogen iodida bereaksi paling mudah, hidrogen bromida bereaksi sedang, sedangkan hidrogen klorida paling kurang bereaksi dengan alkena. Asam hidroiodida bereaksi dengan etilena membentuk iodoetana (etil iodida) sesuai dengan reaksi (Walter, 1996) : 8 H2C = CH2 + HI H3C CH2I Gambar 1.7. Mekanisme reaksi adisi asam hidroiodida pada alkena. 1.5 Startegi Reaksi Demetilasi Kinin Menggunakan Asam Hidroiodida Mekanisme reaksi secara umum serangan nukleofilik asam hidroiodida terhadap gugus metoksi pada eter dapat dilihat pada Gambar 1.8. (Walter, 1996). H CH3 R HI O CH3 O R R ICH3 + HO I Gambar 1.8. Mekanisme reaksi secara umum serangan nukleofilik asam hidroiodida terhadap gugus metoksi pada eter. Pada saat eter dipanaskan dengan asam hidroiodida, ikatan karbon-oksigen menjadi rusak dan akan dihasilkan alkil iodida. Pada mulanya terjadi pembentukan garam oksonium kemudian serangan nukleofilik oleh iodida. Alkaloid termasuk kinin, secara kimia cukup reaktif dan mudah diserang oleh zat pengoksidasi maupun oleh asam. Dengan demikian, mekanisme reaksi demetilasi kinin yang diharapkan adalah sebagai berikut (Gambar 1.9.) : I H 2C H HO H H H H 3C CH H HO N H H N HO H3CO HI-HAc, 127 oC, 12 h N + CH3I N Gambar 1.9. Mekanisme reaksi demetilasi kinin menggunakan asam hidroiodida yang direncanakan.