5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Nilem 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Nilem
2.1.1 Klasifikasi Ikan Nilem
Di Indonesia ikan nilem dikenal dengan nama nilem, lehat, magut, regis,
milem, muntu, palung, palau, pawas, puyau, asang, penopa, dan karper
(Saanin, 1984). Daerah penyebarannya meliputi: Malaysia, Thailand, Vietnam,
kamboja,
Indonesia
(pulau
Jawa,
Sumatra,
Kalimantan
dan
Sulawesi)
(Djajadiredja et al. 1997).
Gambar 1. Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C. V.)
(Sumber: Google.com)
Klasifikasi ikan nilem (Osteochilus hasselti C. V.) menurut Saanin (1984)
adalah sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Cyprinoidae
Familia
: Cyprinidae
Sub familia : Cyprininae
Genus
: Ostechilus
Spesies
: Osteochilus hasselti C. V.
5
6
2.1.2 Morfologi Ikan Nilem
Ikan nilem mempunyai bentuk tubuh pipih, mulut dapat disembulkan.
Posisi mulut terletak diujung hidung (terminal). Posisi sirip perut terletak
di belakang sirip dada (abdominal). Ikan nilem tergolong bersisik lingkaran
(sikloid). Rahang atas sama panjang atau lebih panjang dari diameter mata,
sedangkan sungut moncong lebih pendek daripada panjang kepala. Permulaan
sirip punggung berhadapan dengan sisik garis rusuk ke-8 sampai ke-10. Bentuk
sirip dubur agak tegak, permulaan sirip dubur berhadapan dengan sisik garis rusuk
ke-22 atau ke-23 di belakang jari-jari sirip punggung terakhir. Sirip perut dan
sirip dada hampir sama panjang. Permulaan sirip perut dipisahkan oleh 4 – 4 1/2
sisik dari sisik garis rusuk ke-10 sampai ke-12. Sirip perut tidak mencapai dubur.
Sirip ekor bercagak. Tinggi batang ekor hampir sama dengan panjang batang ekor
dan dikelilingi oleh 16 sisik (Weber dan de Beaufort 1916 dalam Nuryanto 2001).
Menurut Hardjamulia (1979) ikan nilem berdasarkan warna sisiknya dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu ikan nilem yang berwarna coklat kehitaman (ikan
nilem yang berwarna coklat hijau pada punggungnya dan terang di bagian perut)
dan ikan nilem merah (ikan nilem yang berwarna merah atau kemerah-merahan
pada bagian punggungnya dan pada bagian perut agak terang).
2.2 Biologi Ikan Mas
2.2.1 Klasifikasi Ikan Mas
Ikan mas mula-mula dibawa dari China dan Rusia, kemudian didatangkan
juga dari Eropa pada tahun 1927 dan 1930, Taiwan pada tahun 1970, serta Jepang
pada tahun 1980 (Sumantadinata 1995).
Gambar 2. Ikan Mas (Cyprinus carpio L.)
(Sumber: Google.com)
7
Klasifikasi ikan nilem (Cyprinus carpio L.) menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Phylum
: Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Kelas
: Pisces
Sub kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Cyprinoidae
Familia
: Cyprinidae
Sub familia : Cyprininae
Genus
: Cyprinus
Spesies
: Cyprinus carpio L.
2.2.2 Morfologi Ikan Mas
Secara umum, karakteristik ikan mas memiliki bentuk tubuh yang agak
memanjang dan sedikit memipih ke samping (compressed). Sebagian besar tubuh
ikan mas ditutupi oleh sisik. Pada bagian dalam mulut terdapat gigi kerongkongan
(pharynreal teeth) sebanyak tiga baris berbentuk geraham (Pribadi 2002).
Sirip punggung ikan mas memanjang dan bagian permukaannya terletak
berseberangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip punggungnya (dorsal)
berjari-jari keras, sedangkan di bagian akhir bergerigi. Sirip ekornya menyerupai
cagak memanjang simetris. Sisik ikan mas relatif besar dengan tipe sisik lingkaran
(cycloid) yang terletak beraturan (Pribadi 2002).
2.3 Kebiasaan Makan Ikan Nilem dan Ikan Mas
Ikan nilem dan ikan mas dikelompokkan sebagai omnivore (pemakan
segala). Pakannya terdiri dari detritus, jasad-jasad penempel, perifiton dan epifiton
sehingga jenis ikan Cyprinidae lebih sering hidup di dasar perairan (Khairuman
dan Amri 2008 dalam Pratiwi et al. 2011). Selain itu ikan Cyprinidae termasuk
pemakan plankton dan tumbuhan air (Huet 1970 dalam Wicaksono 2005).
8
Pada stadia larva dan benih, ikan Cyprinidae memakan fitoplankton dan
zooplankton atau jenis alga ber-sel satu seperti diatom dan ganggang yang
termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae (Syandri, 2004;
Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010). Seperti yang dikemukakan oleh
Hardjamulia (1979) bahwa benih ikan Cyprinidae seperti ikan nilem dan ikan mas
memakan fitoplankton dan zooplankton yang tergolong kedalam kelas
Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Desmidiaceae dan Cyanophyceae.
2.4 Reproduksi Ikan Nilem dan Ikan Mas
Reproduksi pada ikan dikontrol oleh kelenjar pituitari yaitu kelenjar
hipotalamus, hipofisis dan gonad. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pengaruh
dari lingkungan yaitu temperatur, cahaya, cuaca yang diterima oleh reseptor dan
kemudian diteruskan ke sistem syaraf kemudian hipotalamus melepaskan hormon
gonad yang merangsang kelenjar hipofisa serta mengontrol perkembangan dan
kematangan gonad dalam pemijahan (Sumantadinata 1981). Reproduksi
merupakan kemampuan indivudu untuk menghasilkan keturunan sebagai upaya
untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Ikan memiliki ukuran dan jumlah
telur yang berbeda, tergantung tingkah laku dan habitatnya. Sebagian ikan
memiliki telur berukuran kecil dengan jumlah yang banyak dan ada juga ikan
yang
memiliki telur berukuran besar dengan jumlah yang sedikit. Kegiatan
reproduksi pada setiap jenis hewan air berbeda-beda, tergantung kondisi
lingkungnya (Fujaya 2004).
Pemijahan adalah proses perkawinan antara ikan jantan dan ikan betina
yang mengeluarkan sel telur dari betina, sel sperma dari jantan dan terjadi di luar
tubuh ikan (eksternal). Gusrina (2008) menyatakan bahwa dalam budidaya ikan,
teknik pemijahan ikan dapat dilakukan dengan tiga macam cara, yaitu:
1. Pemijahan ikan secara alami, yaitu pemijahan ikan tanpa campur tangan
manusia, terjadi secara alamiah (tanpa pemberian rangsangan hormon),
2. Pemijahan secara semi buatan, yaitu pemijahan ikan yang terjadi dengan
memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad,
tetapi proses ovulasinya terjadi secara alamiah di kolam,
9
3. Pemijahan ikan secara buatan, yaitu pemijahan ikan yang terjadi dengan
memberikan rangsangan hormon untuk mempercepat kematangan gonad
serta
proses
ovulasinya
dilakukan
secara
buatan
dengan
teknik
stripping atau pengurutan.
Reproduksi pada ikan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan melalui
pengaturan fungsi kelenjar endokrin sebagai penghasil hormon reproduksi untuk
perkembangan gonad, gametogenesis dan siklus reproduksi (Fujaya 2004), faktor
lingkungan yang dimaksud salah satunya adalah suhu. Ikan nilem dapat tumbuh
optimum pada suhu 20- 28oC (Asnawi 1983). Ikan nilem betina mulai dapat
dipijahkan jika telah berumur delapan bulan dengan panjang tubuh delapan belas
sentimeter dan berat sekitar 100 gram, walaupun demikian lebih baik jika telah
berumur satu setengah tahun sampai dua tahun dengan panjang 25 cm dan berat
150 gram. Ikan nilem jantan lebih baik dipijahkan jika sudah mencapai umur satu
tahun dengan panjang tubuh 20 cm dan berat sekitar 100 gram. Kesiapan ini
ditandai dengan keluarnya cairan putih (sperma) jika bagian bawah perutnya
diurut kearah anus (Sumantadinata 1981). Sedangkan ikan mas yang baik untuk
dipijahkan adalah yang telah berumur delapan bulan dengan ditandai keluarnya
cairan berwarna putih (sperma), apabila bagian perut diurut ke arah anus
(Sumantadinata 1983 dalam Syamsiah 2001).
2.5 Spermatozoa
Spermatozoa dihasilkan dalam tubula seminiferus Spermatozoa ikan
tergolong dalam tipe flagellata, karena mempunyai ekor flagellata yang panjang.
Spermatozoa yang sudah matang terdiri dari kepala, leher, dan ekor flagellata. Inti
spermatozoa terdapat pada bagian kepala. Ada juga yang mempunyai middle piece
sebagai penghubung atau penyambung antara leher dan ekor. Ekor flagellata
berguna sebagai organ renang. Pada saat dikeluarkan dari alat kelamin jantan,
spermatozoa berada dalam seminal plasma. Campuran antara seminal plasma
dengan spermatozoa disebut semen. Dalam setiap tetes semen terdapat jutaan
spermatozoa. Pada testes bagian dorsal terdapat saluran pengeluaran spermatozoa
10
yang disebut vas deferens. Secara radial, lumina bermuara ke vas deferens
tersebut (Salisbury dan Van Demark 1961 dalam Japet 2011) .
Sel spermatozoa secara umum terdiri atas dua bagian besar, yaitu kepala
dan ekor, tetapi ada pula yang terdiri atas tiga bagian bila bagian antara kepala dan
ekor cukup besar yang dinamakan bagian tengah (Japet 2011). Tiap bagian
berbeda-beda
ukurannya tergantung pada jenis ikannya. Menurut Risnawati
(1995) dalam Yusrizal (2004) ukuran lebar kepala sperma ikan nilem adalah
1,499 ± 0,151µm, dan panjang ekor 28,829 ± 1,643µm; sedangkan ukuran lebar
kepala sperma mas adalah 1,832 ± 0,179µm, dan panjang ekor 33,733 ± 2,093µm.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan hidup spermatozoa adalah
sifat-sifat fisik dan kimia bahan pengencer, suhu, cahaya, pH, tekanan osmotik,
elektrolit, nonelektrolit. Spermatozoa akan tahan hidup lama pada pH 7.0 dan
tetap motil dalam waktu lama pada media isotonik darah dan spermatozoa lebih
mudah dipengaruhi oleh keadaan hipertonik daripada hipotonik (Toelihere 1981
dalam Japet 2011).
Spermatozoa abnormal merupakan spermatozoa berbentuk lain dari biasa,
terdapat baik pada individu fertil maupun infertil. Hanya saja pada individu fertil
kadarnya lebih sedikit. Bentuk abnormal terjadi karena berbagai gangguan dalam
spermatogenesis. Gangguan itu mungkin karena faktor hormonal, nutrisi, obat,
akibat radiasi, atau oleh penyakit (Yatim 1992). Bentuk sperma dibawah ini
adalah bentuk sperma yang abnormal menurut Jauhari (2005) adalah sebagai
berikut:
1. Makro, yaitu ukuran kepalanya lebih besar dari ukuran kepala normal.
2. Mikro, yaitu ukuran kepala lebih kecil dari ukuran kepala normal.
3. Taper, yaitu spermanya kurus, lebar kepalanya setengah dari kepala
normal, tidak jelas batas akrosom
4. Piri, yaitu tidak jelas adanya kepala nyata, tampak midpiece dan ekor saja.
5. Amorf, yaitu bentuk kepala ganjil, permukaan tidak rata, tidak jelas batas
akrosom.
6. Round, yaitu bentuk kepala seperti lingkaran, tidak menunjukkan
akrosom.
11
7. Cytoplasmic droplet, yaitu sitoplasma menempel pada kepala, warna lebih
cerah.
8. Ekor abnormal, yaitu ekornya pendek, spiral, permukaan tidak halus, dan
tersedia dalam bentuk ganda.
2.6 Ginogenesis
Peningkatan kualitas benih ikan diperlukan dalam budidaya perikanan.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan seleksi individu dan hibridisasi.
Keberhasilan program hibridisasi dapat dicapai jika induk yang dipilih memenuhi
persayaratan yaitu dari galur murni (homozigot). Hal tersebut salah satunya dapat
diperoleh dengan ginogenesis, karena dengan ginogenesis fenotip yang terbaik
dari induk diharapkan dapat diturunkan pada anaknya (Dewi dan Soeminto 2005).
Ginogenesis buatan dapat dilakukan dengan memanipulasi beberapa tahap
proses pembuahan, yaitu dengan menghilangkan sifat jantan dengan cara
menghancurkan DNA sperma, dan mempertahankan telur agar tetap bersifat
diploid (diplodisasi). Satu generasi ginogenesis sama dengan tiga generasi silang
dalam dan untuk memurnikan suatu ras atau galur pada ikan dapat dicapai hanya
dengan 2 - 3 generasi ginogenesis saja (Sumantadinata 1981 ). Ginogenesis dapat
digunakan untuk perbaikan mutu genetik karena dalam perkembangan telur
hanya dikontrol oleh sifat betina. Jika induk betina homozigot yang unggul
digunakan, maka ada kemungkinan sifat itu akan diturunkan pada anakannya
(Dewi dan Soeminto 2005).
2.7 Hibridisasi
Hibridisasi merupakan perkawinan antar jenis (dalam satu famili), atau
antar strain yang bertujuan untuk mendapatkan benih hibrida yang lebih cepat
pertumbuhannya daripada kedua induknya (hibrid vigor). Heterosis tidak selalu
terjadi bila dilakukan hibridisasi dan efeknya hanya dapat diketahui melalui
serangkaian percobaan (Sucipto at al. 2003). Heterositas adalah persentase
kenampakan karakteristik seperti ukuran, pertumbuhan, kesuburan, sebagai tanda
12
terjadinya penurunan sifat induk terhadap organisme hasil persilangan (Robisalmi
at al. 2009).
Sumantadinata (1992 ) dalam Syamsiah (2001) menyatakan bahwa
hibridisasi secara luas diartikan sebagai pembuahan heterospesifik yang dapat
terjadi secara alami atau buatan. Ling (1980) dalam Syamsiah (2001) menyatakan
bahwa keturunan hibrida tidak selamanya mempunyai sifat lebih baik dari
induknya. Chnassus (1983) dalam Syamsiah (2001) menegaskan jika keduanya
memiliki induk berbentuk tubuh dan ciri berbeda, maka persilangan keduanya
seringkali bersifat intermediet atau hampir menyerupai satu induknya bahkan
tidak mungkin menyerupai kedua induknya.
Menurut Yan dan Ozgunen (1993) faktor yang mempengaruhi
keberhasilan persilangan salah satunya dipengaruhi oleh keterkaitan taksonomi
induk ikan yang dipergunakan. Keterkaitan taksonomi induk yang digunakan akan
menentukan keberhasilan dalam pelaksanaan persilangan seperti tidak terjadinya
pembuahan telur oleh sperma, kematian embrio, dan ada pula embrio yang
bertahan hidup sampai menetas menjadi larva.
2.8 Embriogenesis
Embriogenesis terdiri dari tahap clevage, morulasi, blastulasi, gastrulasi
dan organogenesis yang selanjutnya penetasan (Woynarovich dan Horvar 1980
dalam Nugraha 2004). Menurut Balbon (1975) dalam Nugraha (2004),
embriogenesis dibagi ke dalam tiga stadium yaitu pembelahan, embrionik dan
eleutheroembrionik (stadium ikan menetas sampai ikan dapat mencari makanan
sendiri dari luar). Nikosky (1963) dalam Nugraha (2004), mengatakan bahwa
embrionik adalah periode perkembangan mulai dari pembuahan sampai ikan
mendapat makanan sendiri dari luar.
2.8.1 Stadium Cleavage
Menurut Sukra et al. (1989) dalam Nugraha (2004), cleavage adalah
proses proliferasi zigot menjadi molural melalui pembelahan mitosis secara
berangkai yang terjadi segera setelah pembuahan, di dalam tuba fallopii.
13
Mula-mula zigot memebelah menjadi dua buah sel yang disebut membelah
blastomer turunan pertama. Kemudian masing-masing blastomer tersebut
membelah lagi menjadi empat blastomer turunan kedua dan begitu seterusnya,
sehingga terbentuk 8, 16, dan 32 blastomer turunan ketiga, keempat,dan kelima.
Besarnya blastomer turunan pertama, turunan kedua, dan blastomer turunanan
berikutnya mengecil, karena blastomer yang baru terbentuk secara membelah diri
lagi, sehingga tidak ada waktu untuk tumbuh.
2.8.2 Stadium Morula
Morula adalah salah satu stadium dari perkembangan embrio pada saat
pemebelahan mencapai 32 sel, ciri-ciri dari stadium morula adalah bentuknya
seperti murbai (Balinsky 1970 dalam Nugraha 2004). Pada stadium ini ukuran sel
mulai berbagai. Ciri-ciri awal morula yaitu terbentuknya 32-128 sel. Pada stadium
morula sel membelah secara melintang dan mulai membentuk formasi lapisan
kedua yang terlihat samar pada kutub anima. Stadium morula berakhir apabila
pembelahan sel sudah menghasilkan sejumlah blastomer yang berukuran sama
akan tetapi ukurannya lebih kecil. Sel tersebut memadat untuk maenjadi blastodik
kecil yang membentuk 2 lapisan sel.
2.8.3 Stadium Blastula
Blastulasi adalah proses perkembangan morula menjadi blastula. Pada
stadium blastula, blastomer membelah beberapa kali sehingga blastomer makin
mengecil, tetapi besar blastula tidak berbeda dengan besar morula. Menjelang
proses pembelahan berakhir sebagian blastomer yang ada di bawah permukaan
rongga kosong. Rongga kosong yang terbentuk itu disebut blastosul. Morula
memiliki rongga, sedangkan blastula memiliki blastosul (Sukra 1989 dalam
Nugraha 2004).
2.8.4 Stadium Gastrula
Menurut Belsen (1953) dalam Nugraha (2004), gastrula adalah proses
pembelahan bakal organ yang telah terbentuk pada satadium blastula.
14
Bagian-bagian yang terbentuk nantinya akan menjadi organ atau suatu
bagian organ. Stadium
gastrula
adalah
sebagai
kelanjutan
dari
sadium
blastula, lapisan perkembangan dari satu lapis menjadi dua lapis sel
( gambar 3.), awal dari dari stadium gastrula ini begitu satdium blastula
selesai. Proses pembelahan sel dengan pergerakannya berjalan lebih cepat
daripada stadium blastula. Garis besarnya proses pergerakan sel dalam stadium
gastrula ada dua macam yaitu epiboli dan emboli. Epiboli adalah suatu
pergerakan sel-sel yang lelak dianggap akan menjadi epidermis, dimana
pergerakannya itu ke depan, kebelakang dan juga ke sampingnya dari sumbu
bakal embrio (Effendie, 1985). Menurut Lagler (1956) dalam Nugraha (2004),
perisai embrio akan timbul kemudian pada satu cincin kecambah itu. Tetapi,
perisai embrio tersebut timbul dibagian ujung blastoderma dan tumbuh
ke arah pusat blastoderma (Nelsen 1953 dalam Nugraha 2004).
Gambar 3. Penampang gastrula ikan teleost (Nelsen, dalam Effendie, 1985)
2.8.5 Organogenesis
Organogenesis adalah pembentukan oragan (alat tubuh). Sejalan dengan
proses pembentukan embrio ayau embriogenesis terjadi proses pembentukan alat
tubuh embrio yang disebut organogenesis (Sukra 1989 dalam Nugraha 2004).
Pembentukan semua organ tubuh hampir sempurna ketika telur akan menetas.
15
Selama pembentuka organ tersebut, yaitu semenjak dibuahi, korion menjadi
semakin keras. Dari luar selama proses pembentukan organ-organ sedang
berjalan. Pada saat akan menetas kekerasan korion akan menurun kembali. Organ
yang tebentuk terdiri dari jaringan neural antara lain otak, mata, bagian dalam alat
pencernaan makanan dengan kelenjarnya dan juga sebgaian dari kelenjar endokrin
(Effendie 1985).
2.8.6 Proses Penetasan Telur
Proses penetasan embrio ikan terjadi bila embrio telah lebih panjang dari
diameter cangkangnya (Lagler 1962 dalam Nugraha 2004). Menurut Blaxter
(1969) dalam Nugraha (2004) proses penetasan embrio terjadi apabila adanya
pelunakan korion, karena enzim yang dikeluarkan oleh embrio. Pada saaat akan
terjadi penetasan seperti yang telah dikemukakan, kekerasan korion semakain
menurun. Hal ini disebabkan oleh substansi enzim dan unsur kimia lainnya yang
dikeluarkan oleh kelenjar ektodermal di daerah pharynx. Enzim ini dinamakan
chorionase yang terdiri dari pseudokeratin yang kerjanya bersifat mereduksi
korion menjadi lembek. Dalam proses ini pH dan suhu memegang peranan.
Menurut Effendie (1985) pada waktu akan terjadi penetasan, embrio sering
mengubah posisinya karena kekurangan ruang di dalam cangkangnya. Dengan
pergerakan-pergerakan tersebut bagian cangkang telur yang lembek akan pacah.
2.9 Karakter Morfometrik dan Meristik Ikan Mas dan Ikan Nilem
Jauh dekatnya kekerabatan antara dua spesies ikan dilihat dari kesamaan
karakter morfometrik dan meristik ikan hasil persilangan. Ciri-ciri morfometrik
adalah ukuran relatif bagian-bagian tubuh ikan, sedangkan ciri-ciri meristiknya
adalah jumlah bagian tubuh ikan misalnya jari-jari sirip dan sisik yang nantinya
digunakan untuk mengidentifikasi serta mengklasifikasi jenis ikan (Wito 1987
dalam Syamsiah 2001).
Ikan nilem mempunyai bentuk tubuh pipih, mulut dapat disembulkan,
posisi mulut terletak diujung (terminal), sedangkan posisi sirip perut terletak di
belakang sisrip dada (abdominal). Ikan nilem tergolong ikan bersisisk lingkaran
16
(sikloid), rahang atas sama panjang atau lebih panjang dari diameter mata.
Permulaan sirip punggung berhadapan dengan sisik garis rusuk ke-8 sampai sisik
garis ke-10. Bentuk sirip dubur agak tegak. Sirip perut mencapai dubur (Weber
dan de Beaufort 1916 dalam Syamsiah 2001).
Weber dan de Beaufort (1916) dalam Syamsiah (2001) menyatakan pula
bahwa ikan mas mempunyai permulaan sirip punggung tepat di muka, di atas
atau di belakang permulaan sirip perut, pelipatan hidung mendatar dan pada
dasarnya membungkus tulang rahang atas serta menutupi dasar bibir atas.
2.10 Kualitas Air
Ikan nilem akan melakukan pemijahan pada kondisi oksigen berkisar
antara 5 – 6 ppm, karbondioksida bebas yang optimum untuk kelangsungan hidup
ikan yaitu ≤ 1 ppm dan DO bekisar antara 5 – 6 ppm (Willoughby 1999).
Menurut Susanto (2001) suhu yang optimum untuk kelangsungan hidup ikan
nilem berkisar antara 18 – 28oC, dan untuk pH berkisar antara 6,7 – 8,6.
Sedangkan menurut PBIAT Muntilan (2007) kandungan ammonia terlarut pada
air yang dapat ditolelir harus lebih kecil dari 0,5 ppm.
Ikan mas di daerah tropis dapat dipelihara di ketinggian sekitar seribu
meter dari permukaan laut, tetapi lebih baik pada ketinggian 150 samapai 600
meter (Hora dan Pillay 1964 dalam Syamsiah 2001). Suhu optimum untuk
pertumbuhan ikan mas berkisar antara 20oC samapai 28oC (Asnawi 1983).
Parameter lain mengenai kualitas air untuk ikan air tawar yang meliputi
suhu, pH, DO, alkalinitas dan amoniak. Hasil pengukuran kualitas air
dilakukan Wijayanti (2002)
yang
selama pemeliharaan diperoleh nilai rataan suhu
berkisar 27-28oC; rataan pH berkisar 6,28-7,79; rataan DO berkisar 4,90-6,13
mg/L; rataan alkalinitas berkisar 18,63-48,00 mg/L; dan rataan amoniak berkisar
0,059-0,406 ppm.
Pengukuran kualitas air meliputi suhu, pH kandungan oksigen terlarut
(DO), alkalinitas, dan kandungan amoniak (NH3) dapat mengacu pada tabel
dibawah ini:
17
Tabel 1. Standar kualitas air pemeiharaan ikan tawar.
Parameter
Metode
Standar
Sumber
Pengukuran
Suhu
pH
Termometer
18 – 28oC
pH meter
6,0-7,0
Cahyono 2001
Cholik et al. 2005
dalam Mulyasari 2010
Oksigen terlarut
Alkalinitas
Amoniak
DO meter
5 – 6 ppm
Wiloughby 1999
Titrasi
18,63-48,00 mg/L
Wijayanti 2002
NH3 Kit
<0,5 ppm
PBIAT Muntilan 2007
Download