BRAIN ABSCESS WITH CONGENITAL HEART DESEASE Oleh Ferry Wijanarko, dr, Sp BS DR Agus Turchan, dr, Sp BS BEDAH SARAF SOLO Secretariat : Neurosurgery Subdivision Dr Moewardi Hospital Surakarta phone 0271 9208606/ fax 0271 637654 email [email protected] www.bedahsarafsolo.com BRAIN ABSCESS CONJUCTION WITH CONGENITAL HEART DESEASE Ferry Wijanarko, Agus Turchan ABSTRACT Intracranial lesions frequently occur in association with congenital malformation of the heart. Intracranial abscess and cerebral thrombosis are the two most serious complications of the brain due to congenital heart disease. A fatal cerebrovascular accident or cerebral abscess was once looked upon almost as welcome release from the miserable existence of a cardiac cripple." However, recent progress in neurosurgery and cardiac surgery has made it possible to extend the normal life of these patients. The introduction of computerized tomography (CT) has facilitated early detection and accurate characterization of these lesions. The clinical signs and symptoms of cerebral abscess are presented with special emphasis on the need for early surgical intervention. The occurrence of persistent headache or lethargy in a patient with congenital heart disease should be thoroughly investigated. The most common sites for brain abscess were the parietal, frontal, and temporal lobes. The remaining of the abscesses were divided between the occipital lobe, the basal ganglia, and the cerebellar hemisphere. The most common form of congenital heart disease was Fallot's tetralogy, followed by complete transposition of the great vessels. Other cyanotic heart lesions were tricuspid atresia, ventricular septal defect, atrial septal defect, Ebstein's disease, double outlet in the right ventricle, a single ventricle, and persistent truncus arteriosus The etiology of hematogenous brain abscess in cyanotic heart disease presents several problems. A palliative shunt procedure increases life expectancy of patients with congenital heart disease because it produces recirculation of venous blood through the systemic arterial vessels. The possibility of development of a cerebral abscess will still be present. In this paper, we present and discuss several problems concerning surgical management of brain abscesses in congenital cyanotic heart disease. Key words : brain abscess, congenital heart disease I. PENDAHULUAN Kerentanan terhadap suatu kejadian infeksi pada susunan saraf pusat diperankan oleh berbagai faktor metabolik dan seluler seperti fungsi fagositosis, aktivitas antibakterial dari senyawa-senyawa seperti lisozim, fagistin, dan enzimenzim lisosom lainnya, perubahan kualitas dan kuantitas protein serum, gangguan metabolism pada tingkat seluler, ada tidaknya produk jejas pada jaringan yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, efek tekanan jaringan dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental kejadian infeksi tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya seperti jenis kelamin, usia, jenis bakteri penyebab, rute infeksi, adanya antibodi yang spesifik atau penyakit lainnya, keadaan gizi, radiasi ionisasi, suhu lingkungan yang tinggi, dan pemberian obat-obatan. Dalam peristiwa klinis sehari-hari ada faktor-faktor tambahan yang dapat menurunkan resistensi terhadap infeksi seperti alkoholisme, diabetes melitus, uremia, dan sirosis, defisiensi atau tidak adanya imunitas seluler, dan malnutrisi (1). Abses otak adalah proses supurasi yang menyebabkan tekanan di sekitarnya. Untuk menegakkan diagnosis abses otak, diperlukan adanya gambaran klinis yang sesuai serta diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu: EEG (Electroencephalogram), LCS, darah dan CT (Computerised Tomography) scan. Sedangkan untuk penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan: foto, toraks, EKG (Electrokardiogram) dan ekokardiografi. Walaupun fasilitas diagnosis dan pengobatan abses otak telah mengalami banyak kemajuan, mortalitas tetap tinggi. Sebagian besar penyakit jantung bawaan yang menyebabkan komplikasi di dalam otak termasuk di dalam golongan penyakit jantung bawaan sianotik, yang terbanyak adalah tetralogi Fallot dan transposisi arteri besar. Pada pemeriksaan otopsi anak, yang meninggal dengan penyakit jantung bawaan ternyata 10-25% memperlihatkan kelainan serebro vaskular. Abses otak dapat berasal dari beberapa sumber infeksi, yaitu fokus infeksi dekat, misalnya otitis media, mastoiditis, sinusitis paranasal dan fokus infeksi jauh, misalnya dari paru-paru dan jantung, luka penetrasi, operasi dan akibat komplikasi meningitis bakterialis. Keberhasilan mengetahui penyebab abses sangat dipengaruhi cara pembiakan(3). 1 Tujuan dari penulisan ilmiah ini adalah untuk mengumpulkan kasus-kasus abses serebri yang disebabkan oleh penyakit jantung kongenital di RS Dr. Soetomo Surabaya. Harapan kami tulisan ilmiah ini mampu menjadi dasar untuk membuat penelitian/tulisan ilmiah yang lebih besar lagi sehingga ilmu kedokteran tentang kasus ini bisa lebih luas lagi dan penanganan terhadap pasien yang mengidap penyakit ini bisa tertangani dengan lebih baik lagi. II. LAPORAN KASUS Berikut ini kami tampilkan kasus abses serebri pada penyakit jantung kongenital, perempuan 5 tahun dengan keluhan utama nyeri kepala. Kurang lebih satu tahun yang lalu pasien sering mengeluhkan nyeri kepala terus-menerus. Nyeri kepala tersebut dirasakan berkurang bila meminum obat anti pengurang nyeri (analgetik). Nyeri kepala dirasakan memberat sejak tiga minggu terakhir sebelum masuk ke rumah sakit. Pasien tidak mengeluh kejang, dan muntah. Pasien mengeluh demam yang dirasakan naik turun selama satu bulan, juga kelemahan separuh badan selama dua minggu terakhir. Pasien menderita penyakit jantung bawaan sejak lahir. Hal tersebut diketahui oleh keluarga sewaktu berobat ke dokter untuk imunisasi. Pasien disarankan untuk diperiksa di rumah sakit akan tetapi keluarga menolak karena masalah biaya. Pasien dirujuk oleh RS Wijaya Surabaya. Gambar 1. Klinis pasien 2 Dalam pemeriksaan fisik didapatkan tanda – tanda vital stabil, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi 92 kali permenit, pernafasan 20 kali permenit, dan suhu 37 derajat celcius. Dalam pemeriksaan kepala & leher tidak didapatkan tanda – tanda asfiksia, iskemia, sianosis, maupun dyspneu. Tidak didapatkan juga pembesaran kelenjar getah bening di daerah leher. Pada pemeriksaan dada (thorax) didapatkan suara nafas vesikuler di kedua lapangan paru, tidak didapatkan suara ronkhi maupun wheezing. Suara I dan II jantung dalam batas normal, tidak didapatkan murmur maupun suara gallop. Pada pemeriksaan perut (abdomen) didapatkan suara bising usus dalam batas normal. Tidak didapatkan darm contour dan darm steifung. Perut dalam kondisi soeple, dan tidak dalam kondisi distensi. Pada pemeriksaan urogenital didapatkan dalam batas normal. Punggung juga dalam kondisi normal. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan keadaan hangat, kering, dan merah. Pada jari – jari tangan didapatkan gambaran clubbing finger. Gambar 2. Clubbing Finger Dalam pemeriksaan neurologis kami dapatkan Glascow Coma Scale 4x6 (kesan aphasia), pubil bulat isokor tiga kanan dan kiri, refleks cahaya positif di kedua mata, serta didapatkan hemiparesis di sebelah kanan. Parese nervus kranialis tidak kami dapatkan. Pemeriksaan motorik menunjukkan hasil dalam batas normal. Demikian juga dengan pemeriksaan sensorik. Tanda – tanda rangsang meningeal 3 (kaku kuduk, Brudzinsky 1-4, tanda kernig) tidak kami dapatkan. Pemeriksaaan tulang belakang dan sistem saraf otonom menunjukkan hasil dalam batas normal. Refleks fisiologis dan patologis serta tanda serebelar menunjukkan hasil dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang yang kami lakukan adalah pemeriksaan CT scan kepala dan pemeriksaan laboratorium. Pada pemeriksan CT scan kepala potongan axial menunjukkan adanya multipel abses di hemisfer sebelah kiri dengan garis tengah yang bergeser ke kontralateral sebelah kanan sejauh 2,1 sentimeter. Pasien pernah menjalani pemeriksaan echocardiography pada tanggal 26 April 2009 dengan hasil Tetralogy of Fallot. Pemeriksaan mata menunjukkan tidak ada tanda papiledema. Pemeriksaan ronsen dada menunjukkan adanya gambaran bronchopneumonia dan Tetralogy of Fallot. Gambar 3. CT scan sebelum operasi 4 Gambar 4. CT scan paska operasi Pemeriksaan laboratorium menunjukkan hasil lekositosis (angka lekosit 20.500) dan hipoalbumin (2,5). Pemeriksaan lain menunjukkan hasil dalam batas normal. Diagnosis kerja pasien ini adalah multipel abses serebri di hemisfer sebelah kiri dan Double outlet right ventricle (DORV). Tindakan operasi untuk pasien ini open evakuasi abses serebri yang dikerjakan pada tanggal 28 Januari 2010. Gambar 5. Klinis paska operasi 5 III. DISKUSI Jaringan otak merupakan suatu organ yang mempunyai pertahanan proteksi yang unik. Kerentanan jaringan otak terhadap keberadaan bakteri lebih bermakna bila dibandingkan dengan kulit kepalanya sendiri. Kejadian infeksi pada kulit membutuhkan sedikitnya 105 organisme, sedangkan infeksi pada otak dapat terjadi hanya dengan 100 organisme. Bila salah satu atau lebih sistem pertahanan ini tidak adekuat, resiko infeksi susunan saraf pusat akan meningkat. Namun sebaliknya dalam keadaan fungsi pertahanan yang normal, tetap memungkinkan terjadinya infeksi(2). DORV adalah salah satu bentuk penyakit jantung kongenital dimana kedua arteri besar bermuara pada ventrikel kanan. DORV muncul pada berbagai bentuk, dengan variabilitas pada posisi dan ukuran dari arteri besar, seperti pada lokasi ventricular septal defect (VSD). Hal tersebut dapat muncul dengan atau tanpa transposisi dari arteri – arteri besar. Manisfestasi klinik yang terjadi sangat bervariasi, tergantung pada bagaimana defek anatomi mempengaruhi fisiologi dari jantung, contohnya dengan mengubah aliran normal darah dari right ventricle dan left ventricle ke aorta dan arteri pulmonaris(10,19,24). Abses otak tetap merupakan topik permasalahan yang aktual dalam wawasan bedah saraf dari masa ke masa sehubungan dengan labilnya angka morbiditas dan mortalitas di era antibiotika yang modern ini. Negara yang sedang berkembang mempunyai insidensi yang lebih besar dibandingkan dengan negara maju. Frekuensi insidensi abses otak adalah 3-4,3 per satu juta penduduk. Penelitian di Amerika (Minnesota 1950-1981) menetapkan insidensi abses otak adalah 1,1 per 100.000 penduduk per tahun dengan case fatality ratio 37%. Di Amerika insidensi kasus abses otak tampak cenderung makin meningkat, yang sering dikaitkan dengan bertambahnya pasien-pasien yang mengalami gangguan imunologi akibat infeksiinfeksi oportunistik seperti AIDS. Abses otak dikategorikan tipe yang multipel bila dijumpai dua atau lebih abses, yang satu sama lain dipisahkan secara jelas oleh parenkim otak. Insidensi abses multipel berkisar antara 1-15% total kasus abses dalam penelitian-penelitian terdahulu. sejak diterapkan CT scan sebagai sarana investigasi diagnostik jumlah kasus yang ditemukan bertambah banyak(16). 6 HISTOPATOLOGIS Proses dimulai dengan serebritis lokal dengan perlunakan, peradangan dan hiperemi. Perubahan nekrotik dimulai di tengah diikuti pencairan dan pembentukan nanah. Fibroblast dan gliosis yang melingkari serebritis membentuk kapsul. Semula tidak rata, lama - kelamaan lebih tegas. Biasanya jaringan di sekitarnya memperlihatkan tanda edema dan jaringan tersebut dimasuki sel oleh lekosit polimorfonuklear dan sel plasma, tidak perlu terdapat sel limfosit. Jaringan nekrosis tersebut membentuk kapsul. waktu yang diperlukan membentuk jaringan nekrosis ini adalah antara 4-6 minggu(18). MEKANISME PATOGENESIS Pada umumnya abses otak terjadi akibat masuknya organisme ke dalam susunan saraf pusat akibat trauma kepala, prosedur operasi, melalui proses penyebaran langsung, atau metastasis dari fokus-fokus infeksi. Sekitar 80% penderita mempunyai predisposisi sebagai faktor kontribusi yang ikut berperan dalam kejadian infeksi intrakranial. Sekitar 40-60% abses otak disebabkan oleh penyebaran proses infeksi sinus-sinus paranasal yang letaknya berdekatan, telinga tengah atau mastoid. Proses tersebut melalui dua jalur, yaitu pertama melalui cara ekstensi langsung dimana telinga tengah atau sinus nasal merupakan suatu basis sebagai osteomielitis yang kemudian diikuti dengan inflamasi dan penetrasi bahan-bahan infeksi menembus duramater dan leptomeningens serta membuat suatu traktus supuratif ke dalam otak, dan atau dengan cara menyebar melalui sepanjang dinding vena yang diperberat oleh tromboflebitis vena-vena pia serta sinus duramater(9). Trauma yang meninggalkan benda asing, atau riwayat kraniotomi sebelumnya merupakan faktor-faktor predisposisi yang bermakna dalam kejadian timbulnya abses otak (10-20%). Di samping itu ada juga kejadian abses sebagai akibat komplikasi penggunaan alat medis seperti Halo Orthosis yang biasanya dipasang untuk fraktur servikal dan juga paska tindakan lain seperti dilatasi striktur esofagus, tindakan pemasangan shunt untuk hidrosefalus, terutama yang dilakukan berulang-ulang. 7 Kurang lebih sepertiga dari seluruh abses otak merupakan infeksi metastatik melalui penyebaran bakteri melalui hematogen, terutama sistem vertebrobasiler dari fokusfokus infeksi yang letaknya jauh dari kepala, dan biasanya abses ini merupakan jenis yang multipel dengan lokasi yang khas, yaitu di antara perbatasan antara substansia putih dan kelabu, lokasi dimana aliran darah kapiler adalah yang paling lambat. Fokus sistemik sering menjadi sumber infeksi antara lain fokus septik di paru-paru atau pleura (bronkhiektasis, empiema, abses paru, fistula bronkhopleura), abnormalitas jantung berupa infeksi atau defek kongenital (seperti Tertralogi Fallot) yang memungkinkan emboli yang terinfeksi masuk ke dalam lintas pendek sirkulasi paru dan mencapai otak, pustula-pustula kulit, abses gigi dan tonsil, bakterialis, divertikulitis, dan osteomielitis tulang-tulang nonkranial. Sejumlah 10-37% dari kasus abses otak tidak diketahui sumber infeksinya. Dalam hal ini tidak dapat dipastikan apakah infeksi sebelumnya sangat minimal sehingga tidak menunjukkan bukti-bukti klinis atau telah sembuh jauh sebelum abses di otak menjadi manifes(17). BAKTERI PENYEBAB Abses otak dapat disebabkan oleh beraneka ragam bakteri. Organisme penyebab yang sering dijumpai adalah golongan streptokokus aerobik (S. viridans, S. beta hemolythik), stafilokokus (S. aureus, S. epidermidis), hemofilus (H. influenza, H. parainfluenza) dan golongan enterobakteria (E. coli, spesies klebsiela, spesies enterobakteria, sitrobakteria, proteus) dan pneumokokus. Sering kali kita menjumpai hasil biakan yang steril. Organisme anaerob juga menunjukkan perannya dalam kejadian infeksi manusia dan yang sering menjadi penyebab abses otak adalah antara lain : spesies bakteroides (B. fragylis, B. melaninogenicus), strep. anaerobik (peptostreptokokus), peptokokus, fusobakteria, veillomella, eikenella, propioni bakteria, klostridia, dan spesies aktinomises (A. israelii) (5). 8 STADIUM ABSES Dinamika perkembangan suatu abses otak dipelajari oleh Britt dan Enzmann untuk pertama kali. Berdasar penelitian eksperimental klasik dan studi klinisnya mereka mengidentifikasi empat stadium proses patologi abses otak yaitu (14): 1. Stadium serebritis dini / Early cerebritis (1-3 hari) • Respon inflamasi perivaskuler mengelilingi pusat nekrotik pada hari ke tiga • Terdapat edema pada substansia alba • Munculnya pusat nekrotik dan respon inflamasi lokal di sekeliling pembuluh darah (mencapai puncak pada hari ke-3 dengan adanya edema) • Pada saat ini lesi tidak dapat dibedakan dari jaringan otak sehat. 2. Stadium serebritis lanjut / Late cerebritis (4-9 hari) • Pusat nekrotik mencapai bentuk maksimum • Muncul fibroblas (membentuk kapsul dan menambah neovaskularisasi perifer dari pusat nekrotik) • Terdapat respon reaktif astrosit di sekitar edema substansia alba • Pus membentuk pembesaran dari pusat nekrotik yang dikelilingi oleh zona sel inflamasi dan makrofag. • Fibroblas membentuk jaringan retikulin yang perupakan prekursor dari kapsul kolagen 3. Stadium formasi kapsul dini / Early capsule formation (10-13 hari) • Penurunan bentuk pusat nekrotik • Terdapat fibroblas dengan deposisi retikulin pada bagian korteks • Di luar kapsul terdapat serebritis dan neovaskularisasi dengan peningkatan astrosit reaktif. • Kapsul semakin menebal di sekitar pusat nekrotik. • Formasi kapsul tersebut membatasi penyebaran infeksi dan perusakan parenkim otak. 9 • Formasi kapsul berkembang lebih lambat pada daerah medial / ventrikel karena vaskularisasi yang lebih sedikit pada substansia alba yang lebih dalam. 4. Stadium formasi kapsul lanjut / Late capsule formation (> 14 hari) • Kapsul menebal dengan reaktif kolagen pada minggu ketiga • Ditandai dengan 5 zona histologi : 1. Adanya pusat nekrotik 2. Zona perifer dari sel inflamasi dan fibroblas 3. Kapsul kolagen 4. Lapisan neovaskularisasi di luar kapsul dengan cerebritis sisa (residual cerebritis) 5. Zona edema dan gliosis reaktif di luar kapsul. Penemuan-penemuan ini mengalami rekonfirmasi oleh berbagai studi eksperimental serta observasi klinis peneliti-peneliti lainnya. Faktor-faktor yang berperan dalam kecepatan dan kematangan pembentukan kapsul abses otak mencakup organisme penyebab, asal infeksi (ekstensi langsung atau metastasis), mekanisme pertahanan penderita, pemberian kortikosteroid, dan terapi antibiotika(15). PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan laboratorium rutin dan likuor biasanya tidak memberikan hasil yang nonspesifik, malah dilaporkan bahwa sepertiga pasien mengalami herniasi transtentorial akibat tindakan punksi lumbal. Pada fase awal tekanan intrakranial akan meninggi, hitung sel berkisar antara 20-300 per milimeter kubik (10—80% neutrofil) dan protein meninggi sedikit (jarang lebih dari 100 mg/dL) (23). Pada pemeriksaan darah tepi kadang-kadang terdapat leukositosis. Cairan serebrospinal biasanya bersifat jernih dan steril, kecuali bila abses pecah yang akan menyebabkan terjadinya meningitis. Tekanan cairan serebrospinal sering kali meningkat, dengan kadar protein yang sedikit meninggi. Jumlah sel normal atau 10 sedikit meninggi. Pada stadium awal jumlah sel polimorfonuklear lebih banyak, namun bila sudah terbentuk kapsul, maka jumlah limfosit akan lebih banyak(25). Pengukuran kadar C-reaktif Protein (CRP) diterapkan untuk membedakan abses otak piogenik dengan tumor otak atau lesi massa lainnya berkaitan dengan peningkatan kadarnya di dalam plasma sewaktu ada proses infeksi akut dan kronis. Pengukuran kadar CRP ini bermakna dan sangat membantu pada kasus-kasus dalam stadium dini (26). Foto kepala tidak banyak menolong kecuali bila terdapat kenaikan tekanan intrakranial yang berlangsung lama. Pemeriksaan foto rontgen kepala merupakan metode investigasi yang noninvasif. Pemeriksaan penunjang ini ditujukan untuk mengungkapkan penyebab infeksi intrakranial, khususnya mengenai penyakitpenyakit inflamasi daerah sinus-sinus paranasal, piramid, osteomielitis tulang tengkorak, cedera kepala terbuka, serta deteksi benda asing atau fragmen tulang di dalam kepala, serta peninggian tekanan intrakranial atau gas dalam kavitas abses. Namun kepentingannya hanya sedikit untuk upaya mendeteksi absesnya sendiri(21). Pemeriksaan EEG pada abses otak mirip dengan kasus-kasus tumor otak yang tumbuh cepat. EEG (Electroencephalogram) dapat menunjukkan lokasi abses, dengan memperlihatkan gelombang delta voltase tinggi pada tempat lesi supuratif. Pemeriksaan EEG diperlukan untuk melihat adanya pembentukan dan penambahan gelombang delta setempat (22). CT (Computerised Tomography) scan merupakan prosedur yang sangat bermanfaat untuk memastikan diagnosis abses otak. CT Scan mampu melihat daerah dengan densitas yang kurang. Apabila sudah terbentuk kapsul daerah tersebut akan dilingkari oleh daerah dengan densitas yang lebih tinggi. Pemeriksaan angiografi serebral hanya dilakukan sebagai tambahan dari pemeriksaan CT scan otak. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan lokasi suatu massa avaskuler (yang terdiri dari abses dan edema sekelilingnya), dan dalam fase arteriil kadang-kadang ditampilkan area neovaskularisasi yang mengelilingi zone nekrosis sentral. Deteksi abses yang lebih akurat dibanding pemeriksaan tersebut di atas adalah dengan pemeriksaan sidik otak (brain scintigraphy). Hasil pemeriksaan dikatakan positif bila 11 terdapat gambaran berupa kue donat (doughnut sign). Pemeriksaan CT SCAN otak amat bermakna dalam meningkatkan kemampuan investigasi diagnosa dan melokalisir abses-abses otak piogenik. Pemeriksaan tersebut menampilkan stadium evolusi perkembangan abses. Gambaran scanogram tanpa zat kontras abses ditampilkan sebagai bagian yang isodens atau bahkan mempunyai densitas yang lebih padat daripada jaringan otak normal, sedangkan pada scanogram dengan menggunakan zat kontras, abses tampak sebagai suatu lesi dengan dinding yang rata, tipis dan reguler. Edema tampak sebagai penurunan densitas gambar di tengah lesi (materi-materi piogenik) dan substansia putih di sekitarnya. Penampilan tambahan lain yang memberikan kesan lebih meyakinkan akan diagnosa abses otak adalah adanya gas dalam lesi (fistula dura) dan juga enhancement ventrikuler atau meningeal terutama bila dihubungkan dengan gejala-gejala meningitis (14). Pemeriksaan MRI cenderung unggul dalam menegakkan diagnosa lebih dini dan akurat serta lebih definitif untuk menentukan penyebaran dan tampilan kompleks proses inflamasi, khususnya dengan penggunaan zat kontras. Di samping itu pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang bermanfaat untuk investigasi diagnostik lesi-lesi intraserebral lainnya. MRI dapat membedakan antara bekuan darah dan free flowing blood seperti malformasi arterio-venosus, tumor, atau lesi-lesi nonvaskuler. Pemeriksaan CT scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) hanya sebatas sebagai alat bantu. Diagnosis abses otak terutama didasarkan atas gambaran klinis. Pada abses otak yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan sianotik harus ada gambaran tentang penyakit jantung tersebut (12). Gambaran CT scan dan MRI pada abses otak menunjukkan daerah dengan densitas rendah yang dikelilingi oleh kapsul. Pada tumor otak gambaran CT Scan menunjukkan masa dengan densitas yang tinggi tanpa kapsul. MRI berguna untuk menentukan kepastian lokasi abses pada otak. Untuk mengetahui adanya penyakit jantung bawaan, dilakukan pemeriksaan foto toraks, EKG (Electrocardiography), dan ekokardiografi (14). 12 Tabel : Histopatologi & Pencitraan dengan CT Scan dan MRI PREDISPOSISI ABSES (13) 1. Penyebaran lokal (sebagai contoh infeksi sinus frontalis menyebabkan abses lobus frontalis, infeksi sinus sphenoid menyebabkan ekstensi sinus kavernosus, infeksi telinga tengah menyebabkan abses serebelum dan lobus temporalis. 2. Penyebaran hematogen (sebagai contoh infeksi paru, shunt arteri vena, penyakit jantung kongenital dan endokarditis, infeksi gigi, infeksi gastrointestinal 3. Trauma kepala 4. Prosedur operasi bedah saraf 5. Imunosupresi 13 MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinik abses otak bervariasi tergantung pada virulensi organisme, status imun penderita, lokasi abses, jumlah lesi, adanya meningitis, atau ruptur ventrikel. Yang sering dirasakan penderita adalah demam, nyeri kepala, dan defisit neurologis fokal. Nyeri kepala biasanya general, kemungkinan karena peningkatan tekanan intrakranial, demikan juga dengan mual dan muntah. Kejang biasanya general dan lebih sering pada lesi lobus frontalis. Papiledema tidak berkorelasi dengan ukuran dari abses tapi lebih kepada munculnya nyeri kepala dan muntah. Defisit neurologis fokal tergantung pada lokasi, ukuran lesi dan edema sekitarnya. Hemianopsia biasanya merupakan manifestasi lesi pada supratentorial (11). Trias yang terdiri dari tanda infeksi, tanda peninggian tekanan intrakranial dan gejala neurologis fokal. Stadium serebritis terdapat sakit kepala, demam, letargi, dan kejang. Tapi sering pula tidak terlihat manifestasi klinis sehingga proses penyakitnya terlihat akibat adanya lesi desak ruang. Gejala dapat menjadi progresif, terlihat dengan adanya kelainan saraf lokal dan tekanan intrakranial yang meningkat. Sakit kepala, muntah, dan kesadaran mulai menurun dan disertai dengan hemiparesis, hemianopia atau kelainan neurologi lainnya. Gejala klinis sering terlihat tetapi adakalanya tidak terdapat gejala selama beberapa waktu. Keluhan hanya berupa demam yang hilang timbul dan serangan sakit kepala. Dalam perkembangannya, abses otak dapat melalui tiga fase walaupun secara klinis sulit dibedakan. Tiga fase tersebut, yaitu: fase pertama adalah fase ensefalitis atau serebritis, dengan gejala demam, mengantuk, sakit kepala, kaku dan kejang. Fase kedua adalah fase pembentukan kapsul, di mana terjadi pada saat fase pertama mulai menurun atau bertambah, yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu, namun abses tetap bertambah secara perlahan-lahan. Fase yang ketiga adalah fase dekompresi serebral, dengan tekanan intrakranial yang meninggi, kelainan fokal dan herniasi unkus dengan penekanan batang otak, edema papil, hemiparesis, hemianopia, yang lama-kelamaan masuk dalam keadaan stupor dan gangguan vital (7). 14 Manifestasi abses serebelum adalah nistagmus, ataksia, muntah, dan dismetria. Abses lobus frontalis menunjukkan gejala nyeri kepala, mengantuk, kurang perhatian, dan penurunan fungsi mental. Hemiparesis dengan motorik unilateral dan gangguan motorik bicara merupakan kelainan yang paling sering muncul. Abses lobus temporalis seringkali muncul dengan nyeri kepala ipsilateral. Bila abses muncul pada hemisfer dominan afasia/disfasia akan tampak. Hemianopsia homonim superior muncul pada abses lobus temporalis (merupakan satu-satunya tanda). Abses intrasella menyerupai tumor pituitari, menunjukkan nyeri kepala, defek lapangan pandang, dan gangguan endokrin. Abses batang otak menunjukkan kelemahan wajah, demam, nyeri kepala, hemiparesis, disfagia, dan muntah (4). Gejala dan tanda yang paling sering adalah nyeri kepala, kejang, dan defisit neurologis fokal. Gejala-gejala gangguan neurologis tergantung dari daerah korteks dan subkortikal otak yang terlibat seperti hemiparesis, disfasia, dan defisit visuil, serta perubahan mental. Nausea dan muntah yang mungkin dikarenakan oleh adanya tekanan tinggi intrakranial. Pasien mengalami keluhan demam. Hal ini dikaitkan dengan fase invasi abses, mempunyai temperatur yang tidak terlalu tinggi (<38°C), serta khas tidak dibarengi dengan kaku kuduk (kecuali bila ada meningitis) (6). Goodman mengemukakan empat sindrom kumpulan gejala yang walaupun hal tersebut tidak spesifik untuk abses otak, tetapi setidaknya merupakan petunjuk yang cukup bermanfaat untuk mengarahkan diagnosa, yaitu (21): • Tipe I – Ekspansi Massa Fokal Akut. Penderita-penderita kelompok ini memiliki gejala dan tanda proses desak ruang dari suatu lesi masa intrakranial yang progresif, dalam beberapa hari bahkan sampai beberapa jam. Corak gejalanya sesuai dengan lokasi lesi abses seperti abses di lobus temporal akan menimbulkan kuadranopsia homonimus superior, abses serebelum akan menimbulkan tanda-tanda defisit hemisfer serebelum dan sebagainya. Gejala-gejala tersebut dapat disertai dengan demam yang tidak begitu tinggi dan juga kesadaran yang berkabut, sehingga kadangkadang defisit neurologis (defisit visuil) yang masih ringan menjadi terlewatkan. • Tipe II- Hipertensi Intrakranial. Keadaan ini menampilkan gejala-gejala dan tanda gangguan neurologis yang berkaitan dengan peninggian tekanan intrakranial seperti : 15 nyeri kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan daya ingat, dan perubahan personalitas, serta papiledema. • Tipe III- Destruksi Difus. Keadaan yang termasuk kategori ini menampilkan gejalagejala yang mengandung komponen destruksi yang progresif seperti gangguan neurologis yang tidak sesuai dengan estimasi klinis dari keadaan tekanan intrakranialnya. Perburukan akan terus berlanjut secara progresif tanpa diikuti terjadinya herniasi otak. • Tipe IV- Defisit Neurologis Fokal. Keadaan dimana gejala yang ada berkembang sedemikian lambatnya sehingga seringkali diinterpretasi sebagai suatu neoplasma yang tumbuh lambat. PENATALAKSANAAN Pengobatan abses otak adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik dilakukan operasi baik (4) . Pemantauan ketat harus dilakukan terhadap keadaan umum dan tanda vital penderita. Semua penderita dengan abses otak diberikan antibiotik berspektrum luas, seperti juga pada meningitis bakterialis. Kita sering menemui kesulitan pada pemberian antibiotik karena antibiotik tersebut harus dapat menembus sawar otak, mampu menembus kapsul bila abses telah berkapsul, dan mempunyai spektrum yang luas karena adanya berbagai macam mikroorganisme penyebab abses. Penyuntikan antibiotik langsung ke dalam abses otak tidak dianjurkan, karena hal ini dapat menyebabkan fokus epileptogenesis (20). Black (1973) melaporkan bahwa nafsilin tidak dapat masuk ke dalam abses, sedang kloramfenikol, penisilin, dan metisilin dapat masuk ke dalam abses. Sefalosporin dan aminoglikosida tidak dapat menembus kapsul, sedangkan linkomisin dan asam fusidat dapat menembus kapsul. Harus diingat bahwa kuman dapat tetap ada dalam abses walaupun tercapai konsentrasi antibiotik adekuat dalam abses dan kuman tersebut sensitif terhadap antibiotik yang diberikan. Ukuran 16 abses penting dalam pengobatan dengan antibiotik. Abses dengan diameter antara 0,8-2,5 cm dilaporkan bisa sembuh dengan pemberian antibiotik. Abses yang lebih besar memerlukan tindakan pembedahan. Tindakan tanpa operasi biasanya dilakukan pada penderita dengan abses multipel atau bila lesinya kecil dan sulit dicapai dengan operasi. Bila terdapat abses multipel, aspirasi abses yang besar tetap dilakukan untuk menentukan jenis mikroorganisme dan uji resistensi. Kuman anaerob memerlukan metronidasol sebagai pengobatannya (20). Rosenblum (1980) mengajukan kriteria penderita yang merupakan kandidat untuk pengobatan dengan antibiotika saja, yaitu bila diperkirakan operasi akan memperburuk keadaan, terdapat abses multipel terutama yang jaraknya berjauhan satu sama lain, abses disertai dengan meningitis, abses yang lokasinya sulit dicapai dengan operasi atau operasi diperkirakan akan merusak fungsi vital, serta abses yang disertai dengan hidrosefalus yang mungkin akan terinfeksi bila dioperasi. Konsultasi kepada ahli bedah saraf dilakukan untuk mengetahui kemungkinan dilakukannya pengeluaran abses dari jaringan otak dengan pembedahan. Pemberian cairan harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat anak mungkin juga menderita kelainan jantung, serta terdapatnya kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi. Pada penderita yang diduga atau terbukti mengalami peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan kortikosteroid atau cairan hiperosmoler, misalnya manitol. Pengobatan penunjang serta perawatan yang baik perlu dilakukan dengan seksama termasuk pengobatan simtomatik terhadap edema dan kejang(22). PROGNOSIS Mortalitas lebih tinggi pada penderita yang menunjukkan perjalanan penyakit yang cepat. Penderita mempunyai gejala lebih dari 2 minggu dan memperlihatkan abses berkapsul mempunyai prognosis yang lebih baik. Keadaan umum penderita juga menentukan prognosis. Penderita dalam keadaan koma preoperatif mempunyai prognosis yang buruk. Penderita dengan gangguan kekebalan mempunyai prognosis buruk. Keterlambatan operasi dapat pula menyebabkan kematian. 17 Kematian disebabkan oleh karena ruptur abses ke dalam ventrikel atau ruang subaraknoid, herniasi atau sepsis. Kejang dapat terjadi selama atau setelah pembentukan abses. Paska operasi terdapat serangan kejang pada 30-50% penderita. Bila kejang telah terjadi sebelum dilakukan operasi umumnya selalu terjadi kejang paska operasi. Kejang dapat terjadi setelah 4 tahun pengobatan. Penderita mengalami kejang paska operasi, 50% berupa kejang umum dan 30% menunjukkan epilepsi parsial kompleks atau epilepsi fokal (5,8). 18 DAFTAR PUSTAKA 1. Yang SY. Brain abscess: a review of 400 cases. J Neurosurg 1981; 55:794-9 2. Brook I. Bacteriology of intracranial abcess in children. J Neurosurg 1981; 54:484-8 3. Bell W, Chun WM, Jabbour JT, et al. Brain abscess, bacterial infectious of the nervous system. In: Sweiman, Wright, editor. The Practica of Pediatric Neurology. 1st ed., 1988.p.678-86 4. Black P, Graybill J, Charace P. Penetration of brain abscess by systemically administered antibiotics. J Neurosurg 1973; 38:705-9 5. Louvois J, Gortval P, Hurley R. Bacteriology of abscess of the central nervous system: a multicentre prospective study. Br Med J 1977; 2:981-4 6. Rosenblum ML, Hoff JT, Norman D, et al. Non operative treatment of brain abscess in selected high risk patients. J Neurosurg 1980; 52:217-25 7. Ingham HR, Selkom JB, Roxby CM. Bacteriological study of ontogenic cerebral abscess: chemotherapeutic role of metronidazole. J Br Med J 1977; 2:991-3 8. Goodman, Michael L. , Nelson, Paul B., Brain Abscess Complicating the Use of a Halo Orthosis, Neurosurgery. 1987 Jan;20(1):27-30 9. Hardiono DP. Abses otak. Naskah Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak ke XVIII. Kedaruratan Saraf Anak, Jakarta; 1989 10. Hendarto SK. Komplikasi serebral pada penyakit jantung. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XX. Penatalaksanaan Kedaruratan Kardiovaskular Pada Anak, Jakarta; 1989 11. Huttenlocher PR. The nervous system. In: WE Nelson, RE Berhman, VC Vaugan (eds.). Nelson Text Book of Pediatrics. 12th ed. Philadelphia: Saunders; 1983.p.1546–600 12. Yang SY. Brain abscess: a review of 400 cases. J Neurosurg 1981; 55:794-9 13. Brook I. Bacteriology of intracranial abcess in children. J Neurosurg 1981; 54:484-8 14. Britt RH, Enzumann DR, Yeager AS. Neuropathological and computerized 19 tomographic findings in experimental brain abscess. J Neurosurg 1985; 55:590–603 15. Gordon IB. The cardiovascular system. In: WE Nelson, RE Berhrman, VC Vaugan (eds.). Nelson Text Book of Pediatrics. 12th ed. WB Saunders Company: Philadelphia; 1983.p.1100-203 16. Patrick CC, Kaplan SL. Current concept in the pathogenesis and management of brain abscess in children. Pediatr Clin N Am 1988; 35:625-36 17. Bell W, Chun WM, Jabbour JT, et al. Brain abscess, bacterial infectious of the nervous system. In: Sweiman, Wright, editor. The Practica of Pediatric Neurology. 1st ed., 1988.p.678-86 18. Robert HAH. Brain abscess. In: Behrman, Kligman, Jenson (eds). Nelson Textbook of Pediatrics. 17th eds. China:Saunders; 2004.p.2047-8 19. Bambang M. Pemeriksaan ekokardiografi pada penyakit jantung bawaan. Naskah Lengkap Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak Ke XI. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan Yang Dapat Dikoreksi, Jakarta; 1985 20. Black P, Graybill J, Charace P. Penetration of brain abscess by systemically administered antibiotics. J Neurosurg 1973; 38:705-9 21. Louvois J, Gortval P, Hurley R. Bacteriology of abscess of the central nervous system: a multicentre prospective study. Br Med J 1977; 2:981–4 22. Rosenblum ML, Hoff JT, Norman D, et al. Non operative treatment of brain abscess in selected high risk patients. J Neurosurg 1980; 52:217-25 23. Ingham HR, Selkom JB, Roxby CM. Bacteriological study of ontogenic cerebral abscess: chemotherapeutic role of metronidazole. J Br Med J 1977; 2:991-3 24. Samik Wahab A. Penyakit jantung pada anak. Bandung:Bina Cipta; 1982 25. William WH Jr, Myron JL, Judith MS, et al. Current pediatric diagnosis and treatment. International edition 17th ed. New York:Lange McGraw-Hill; 2005 26. Karandanis D, Hulman JA. Factors associated with mortality in brain abscess. Archs Int Med 1975; 135:1145-50 20