5314

advertisement
ARTIKEL
PENGELOLAAN RESIKO INFEKSI PADA NY. K DENGAN ABSES BARTHOLINI
DI RUANG DAHLIA RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI
Oleh:
DWI NURHIDAYATI
0131703
AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016
PENGELALOLAAN RESIKO INFEKSI PADA NY. K DENGAN ABSES BARTHOLINI
DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI
Dwi Nurhidayati*, Eko Mardiyaningsih**, Dewi Siyamti***
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran
[email protected]
ABSTRAK
Abses bartholini merupakan infeksi pada kelenjar bartolini yang menimbulkan
pembengkakan pada alat kelamin luar wanita, biasanya disertai dengan rasa nyeri, demam,
pembengkakan yang memerah pada kelamin bahkan sampai tidak bisa berjalan. Infeksi bartholini
terjadi disebabkan pada bartholini terjadi penyumbatan seringkali disebabkan oleh kuman
gonococus tetapi bartholinitis juga dapat disebabkan oleh streptococcus atau basil koli. Masalah
yang biasanya muncul pada klien dengan abses bartholini adalah resiko infeksi yang berulang.
Resiko infeksi merupakan keadaan dimana sesorang individu yang beresiko terserang oleh
organisme patogen yang dapat berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan yang bersifat actual
maupun potensial. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengelolaan resiko infeksi pada klien
abses bartholini Di RSUD Pandan Arang Boyolali.
Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa tindakan keperawatan
dalam menurunkan resiko infeksi. Pengelolaan infeksi dilakukan selama 2 hari dengan cuci tangan
setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan dan melakukan perawatan pada daerah
genetalia untuk mencegah infeksi. Pada Ny. K. teknik pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan teknik wawancara, pemeriksaan fisik, observasi dan pemeriksaan penunjang.
Hasil pengelolaan resiko infeksi telah berhasil dengan klien mengatakan tidak merasakan
rasa gatal di genetalianya, serta pembengkakan dan kemerahan pada genetalia berkurang. Saran
bagi perawat di rumah sakit agar tetap menerapkan prinsip steril pada pasien dan lingkungan
untuk menunjang pencegahan terjadinya infeksi.
Kata kunci
Kepustakaan
: Abses bartholini, Resiko Infeksi
: 25 (2005 – 2015)
1
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
LATAR BELAKANG
Kesehatan reproduksi pada era
globalisasi dan modernisasi ini telah terjadi
perubahan dan kemajuan disegala aspek
dalam
menghadapi
perkembangan
lingkungan, kesehatan, dan kebersihan
dimana masyarakat khususnya wanita
dituntut untuk selalu menjaga kebersihan
fisik dan tubuhya. Salah satu organ tubuh
yang paling penting dan sensitif serta
memerlukan perawatan adalah organ
reproduksi. Perubahan prilaku seksual
mengakibatkan dua masalah besar yang
tidak diinginkan, penyakit menular seksual,
dan penyakit radang panggul, kanker serviks,
kanker payudara, gangguan menstruasi,
mioma uteri dan lain sebagainya (Manuaba,
2010).
Salah satu yang terjadi pada gangguan
reproduksi wanita ialah abses pada daerah
vulva dan vagina tidak banyak dijumpai,
pertumbuhan neoplastik di daerah ini
terutama berasal dari epitel skuamosa dan
papiler serta jaringan mesenkim. Jarang
sekali ditemukan tumor jinak yang berasal
dari sel stroma pada daerah vagina. Abses
pada vagina seringkali ditemui dalam bentuk
leiomioma, rabdomioma, dan lain – lain.
Yang lebih jarang lagi adalah abses yang
berasal dari campuran sel epithelial vagina
seperti abses bartholini, kista pilosebasea,
hidradenoma papilaris, hidrokel kanalis
nuck, dan tumor kistik lainnya pada vagina,
yang tersusun dari struktur kelenjar dan
duktusnya serta epitel skuamosa dengan
diferensiasi lengkap di dalam stroma dengan
tingkat diferensiasi moderat . Bagian dari
alat genital pada wanita yang terkadang
dapat terkena infeksi salah satu infeksi
tersebut adalah infeksi pada kelenjar
bartholini. Kelenjar bartholini merupakan
kelenjar yang terletak pada kedua sisi bibir
vagina pada alat kelamin perempuan yang
menghasilkan lendir atau mukosa untuk
lubrikasi.
Infeksi
bartholini
terjadi
disebabkan
pada
bartholini
terjadi
penyumbatan seringkali disebabkan oleh
kuman gonococus tetapi bartholinitis juga
dapat disebabkan oleh streptococcus atau
basil koli pada bartholinitis terdapat ciri
kelenjar ini membesar, merah, nyeri dan
panas (Prawirohardjo, 2011).
Abses bartholini sendiri merupakan
infeksi pada kelenjar bartolini yang
menimbulkan pembengkakan pada alat
kelamin luar wanita, biasanya disertai
dengan rasa nyeri, demam, pembengkakan
yang memerah pada kelamin bahkan sampai
tidak bisa berjalan. Abses ini berukuran
relatif cukup besar yang paling sering di
jumpai dengan bentuk radang menahun.
Kelenjar bartholini terletak pada 1/3
posterior dari setiap labium mayus dan
muara dari duktus sekretorius dari kelenjar
ini, berada tepat di depan (eksternal) himen
pada posisi jam 4 dan 8. Pengobatan pada
kista ini dengan mengangkat seluruh kista
marsivialisasi (Irianto, 2015; Marmi, 2014;
Prawirohardjo, 2011).
Pada kasus ini bisa dilakukan tindakan
pembedahan untuk mengobati abses
bartholini yaitu tindakan drainase dan insisi
pembedahan ini biasanya di indikasikan jika
abses telah berkembang dari peradangan
serosa yang keras menjadi pus yang lunak,
Word Catheter merupakan sebuah kateter
kecil
dengan
balon
yang
dapat
digembungkan dengan saline pada ujung
distalnya,
marsupialisasi
merupakan
tindakan membuat jendela baru pada
dinding abses untuk mempertahankan
kontinuitas antara abses dengan rongga
mulut, sinus maksilaris atau rongga nasal,
dan eksisi tindakan ini sangat dianjurkan
karena abses bartholini berpotensi untuk
muncul kembali (Irianto, 2015 ; Alhadar,
2015).
Namun pada pasien dengan abses
bartholinitis sering terjadi komplikasi.
Komplikasi yang paling umum dari abses
Bartholin adalah kekambuhan, pada
beberapa kasus juga dilaporkan necrotizing
fasciitis setelah dilakukan drainase abses,
perdarahan, terutama pada pasien dengan
koagulopati dan timbul jaringan parut
(Alhadar, 2012).
Menurut study pendahuluan yang
dilakukan penulis di RSUD Pandan Arang
Boyolali pada tanggal 11 April 2016 dari
catatan rekam medik didapatkan jumlah
pasien dengan abses bartholini pada tahun
2013 berjumlah 5 kasus dan pada tahun
2014 terjadi 5 kasus.
2
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Menurut Burhani (2012) tidak
menutup kemungkinan penderita abses
bartholini akan mengalami resiko infeksi
berulang. Salah satu masalah yang timbul
yaitu masalah kebersihan genetalia yang
kurang
hal ini dapat menimbulkan
terjadinya infeksi, karena keadaan yang
kotor merupakan tempat berkembang
biaknya kuman. Menjaga kebersihan genital
agar tetap bersih dan segar adalah
perlindungan terbaik terhadap infeksi. Dari
penjabaran tersebut penulis tertarik
membahas tentang “pengelolaan resiko
infeksi pada Ny. K dengan abses bartholini di
Ruang Dahlia RSUD Pandan Arang Boyolali“.
melalui intravena. (proteksi terhadap infeksi)
digunakan
untuk
membunuh
atau
melemahkan bakteri parasit atau jamur (IS0,
2015).
HASIL PENGELOLAAN
Hasil pengelolaan resiko infeksi
berdasarkan
evaluasi
terakhir
yang
didapatkan pada selasa, 12 April 2016 pukul
14.00 WIB didapatkan data subyektif klien
mengatakan rasa gatal pada genetalia hilang.
Data obyektif yang didapatkan penulis Klien
terlihat nyaman, genetalia bersih, keadaan
abses mulai mongering, bengkak pada labia
mayor kiri berkurang, kemerahan daerah
abses berkurang.
METODE PENGELOLAAN
PENGKAJIAN
Pengkajian
merupakan
suatu
pendekatan
yang
sistematis
untuk
mendapatkan informasi serta data yang
selengkap-lengkapnya mengenai klien secara
subyektif maupun obyektif. Fase proses
keperawatan ini mencakup 2 langkah,
pengumpulan data dari sumber primer
(pasien) dan sumber sekunder (keluarga
atau orang terdekat, tenaga kesehatan), dan
analisis data sebagai dasar untuk diagnosa
keperawatan. Pengkajian data dasar terdiri
dari data subyektif dan obyektif. Data
subyektif adalah persepsi pasien tentang
masalah kesehatan mereka. Data obyektif
adalah pengamatan atau pengukuran yang
dibuat oleh pengumpul data (Perry & Potter,
2010).
PEMBAHASAN
Pengkajian
merupakan
suatu
pendekatan
yang
sistematis
untuk
mendapatkan informasi serta data yang
selengkap-lengkapnya mengenai klien secara
subyektif maupun obyektif. Fase proses
keperawatan ini mencakup 2 langkah,
pengumpulan data dari sumber primer
(pasien) dan sumber sekunder (keluarga
atau orang terdekat, tenaga kesehatan), dan
analisis data sebagai dasar untuk diagnosa
keperawatan (Perry & Potter, 2010). Dalam
pengkajian pada hari Senin, 11 April 2016
pukul 08.55 WIB dengan metode
allowanamnesa dan autoanamnesa, pasien
mengatakan gatal, genetalia pasien kotor.
Hal ini sering terjadi disebabkan oleh jamur,
bakteri, dan virus yang muncul karena
buruknya personal hygiene. pada daerah
genetalia Labia mayor sebelah kiri memerah
dan membengkak ini terjadi karena adanya
penumpukan cairan pada salah satu duktus,
sehingga cairan tersebut memenuhi kantong
kelenjar isinya akan menjadi nanah dan
keluar pada duktusnya yang dihasilkan oleh
kelenjar dan terakumulasi sehingga terjadi
sumbatan
dan
menyebabkan
pembengkakan. Setelah diuraikan dari
pengkajian diatas diagnosa yang dapat
diambil menurut penulis yaitu resiko infeksi
berhubungan dengan kerusakan jaringan.
Menurut Carpenito, (2013) diagnosa
keperawatan adalah penilaian klinis tentang
respon individu, keluarga atau komunitas
terhadap
masalah
potensial
atau
TINDAKAN KEPERAWATAN
Intervensi yang disusun pada hari
Senin, tanggal 11 April 2016 pukul 08.55 WIB
yaitu dengan diagnosa resiko infeksi pada
Ny. K dengan abses bartholini di Ruang
Dahlia RSUD Pandan Arang Boyolali.
Intervensi pertama cuci tangan setiap
sebelum
dan
sesudah
tindakan
keperawatan, intervensi yang kedua kaji
tanda-tanda vital, intervensi ketiga kaji
adanya tanda-tanda infeksi. Intervensi
keempat ajarkan klien dan keluarga tanda
gejala infeksi. intervensi kelima ajarkan dan
berikan perawatan pada daerah genetalia.
Intervensi ke enam yaitu berikan terapi
antibiotik cefotaxime 2 x 1 gr /12 jam
3
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
aktual/respon kehidupan. Resiko infeksi
yaitu keadaan dimana seorang individu
rentan mengalami invasi dan multiplikasi
organisme
patogenik
yang
dapat
mengganggu kesehatan (Herdman, 2015).
Wilkinson
(2014),
berpendapat
diagnosa resiko infeksi ini diangkat
berdasarkan etiologinya yaitu kurang
pengetahuan untuk menghindari pemajanan
pathogen, malnutrisi, prosedur invasif dan
penyakit kronis dan adanya faktor yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan.
Diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan
kerusakan jaringan ditegakkan dari data
yang ditemukan genetalia kotor dan klien
mengatakan gatal pada genetalia, labia
mayor sebelah kiri membengkak dan
memerah.
Diagnosa ini diangkat sebagai
diagnosa utama karena disesuaikan dengan
teori Hirarki Maslow dimana pada
kebutuhan keselamatan dan keamanan pada
Ny. K ditemukan masalah resiko infeksi yang
berhubungan
dengan
bakteri
yang
melibatkan keamanan fisik dan psikologis
kebutuhan untuk melindungi diri dari
berbagai bahaya yang mengancam, baik
terhadap fisik maupun psikososial dan
mengancam
tubuh
seseorang
dan
kehidupannya (Asmadi, 2008). Untuk
mengatasi diagnosa keperawatan ini penulis
merencanakan beberapa rencana tindakan
keperawatan. Implementasi pertama cuci
tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan, hal ini merupakan salah satu
tindakan terpenting untuk mengurangi
penularan mikroorganisme dan mencegah
infeksi. Penelitian Cochrane Library journal
menilai kembali penelitian yang dilakukan
Dinah JG (2010) dalam hasil penelitian yang
berjudul Interventions To Improve Hand
Hygiene Compliance In Patient Care menilai
kembali tingkat keberhasilan jangka panjang
dan pendek untuk menentukan kebersihan
tangan
dapat
mengurangi
tingkat
penyebaran infeksi. Hasil penelitian yang
dilakukan
menemukan
bahwa
cara
sederhana seperti mencuci tangan dengan
air dan sabun sebelum dan sesudah
menyentuh pasien dapat mengurangi
peningkatan penyebaran bakteri yang
menyebabkan nosokomial, dapat mencegah
timbulnya
berbagai
penyakit
yang
disebabkan oleh kuman, seperti radang
tenggorokan, masalah saluran pernafasan,
disentri, diare, iritasi kulit, biang keringat,
cacingan, serta infeksi pada mata, dapat
mencegah terjadinya penularan penyakit
dari satu orang ke orang lainnya.
Implementasi yang kedua mengkaji
tanda-tanda vital, merupakan cara untuk
memantau
kondisi
klien
atau
mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi
respon klien terhadap intervensi. Mengkaji
adanya peningkatan
suhu
tubuh
merupakan akibat dari perubahan set point
hipotalamus. Pirogen seperti bakteri dan
virus menyebabkan peningkatan suhu. Saat
bakteri dan virus infeksi masuk dalam tubuh
pirogen bekerja sebagai antigen. Sel -sel
darah putih tertentu mengeluarkan suatu
zat kimia yang dikenal sebagai pirogen
endogen, yang memiliki banyak efek untuk
melawan infeksi dan juga bekerja pada
pusat termoregulasi hipotalamus untuk
meningkatkan patokan thermostat. Selain
itu selam peningkatan suhu, metabolisme
tubuh meningkat 7 % dan konsumsi oksigen
bertambah (Potter & Perry, 2005).
Implementasi ketiga mengkaji adanya
tanda-tanda infeksi. Implementasi keempat
ajarkan klien dan keluarga tanda gejala
infeksi diharapkan klien dan keluarga
mengetahui
dan
mempercepat
pemberitahuan jika muncul tanda-tanda
infeksi. Hasil penelitian yang dilakukan
Oktaviani
(2012),
tentang
tingkat
pengetahuan ibu nifas tentang infeksi di RSU
Assalam Gemolong Sragen menunjukkan
bahwa pengetahuan baik terdapat 9
responden (25 %), pengetahuan cukup
sebanyak 20 responden (55,6 %) dan
pengetahuan kurang terdapat pengetahuan
baik terdapat 7 responden (19,4 %).
Implementasi kelima mengajarkan dan
memberikan perawatan pada daerah
genetalia, untuk mencegah infeksi dengan
melakukan perawatan hygiene yang benar
dapat menghambat penyebaran bakteri
disekitar genetalia yang menyebabkan
infeksi. Penelitian yang dilakukan Ariyani
(2012), dalam tingkat pengetahuan ibu
tentang perawatan genetalia RSU Assalam
Gemolong
Sragen
dengan
katagori
4
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
pengetahuan baik tentang perawatan
genetalia sebanyak 7 responden (19,4 %),
pengetahuan cukup tentang perawatan
genetalia sebanyak 23 responden (63,9 %)
dan pengetahuan kurang tentang perawatan
genetalia sebanyak 6 reponden (16,7 %).
Implementasi ke enam yaitu berikan terapi
antibiotik cefotaxime 2 x 1 gr /12 jam
melalui intravena.
GETAHUAN%2520IBU%2520NIFAS%25
20TENTANG%2520PERSONAL%2520H
YGIENE%2520PADA%2520LUKA%2520
PERINEUM%2520DENGAN%2520%252
0PENYEMBUHAN%2520LUKA%2520FA
SE%2520PROLIFERASI%2520DI%2520
WILAYAH%2520%2520KERJA%2520PU
SKESMAS%2520JENGGOT%2520KOTA
%2520PEKALONGAN%2520TAHUN%2
5202013&usg=AFQjCNFR7QCEFxNDO
4SG3CsdQBIiSEGCQ&sig2=DkWIYt5lBogdDqlOMzD4cw&
bvm=bv.123325700,d.c2I diakses pada
tanggal 30 Mei 2016 pukul 14.54 WIB)
Bulecheck, G.M, Butcher H.K, Dochterman
J.M, Wagner C.M. (2015). Nursing
Interventions Classification (NIC).
Elsevier Mosby: USA.
Burhani. (2012). Cara Cerdas Merawat
Organ Intim. Yogyakarta : Araska
Carpenito, L.J. (2013). Buku Saku Diagnosa
Keperawatan Edisi 13. Jakarta: EGC
Dinah J.G, Donna M, Nicholas. D & Jane H. C.
(2010). Interventions To Improve Hand
Hygiene Compliance In Patient Care
Online Publication Date: September
2010.
(http://onlinelibrary.wiley.com/o/coc
hrane/cldare/articles/DARE12003000987/frame.html
diakses
pada tanggal 22 Mei 2016 pukul 14.05
WIB).
Herdman, T. (2015). Nanda Internasional Inc.
Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi
2015-2017/editor,
T.
Heather
Heardman,
Shigemi
Kamitsuru; alih bahasa, Budi Anna
Keliat...(et al.).; editor penyelaras,
Monica Ester.Edisi 10. Jakarta : EGC.
Irianto, K. (2014) Biologi Reproduksi.
Bandung: Alfabeta.
Irianto, K. (2015). Kesehatan Reproduksi
Teori Dan Praktikum. Bandung:
Alfabeta.
IS0. (2015). ISO Indonesia Informasi
Spesialite Obat Volume 48. PT Isfi.
Penerbit Jakarta
Marmi. (2015). Asuhan Kebidanan Patologi.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
KESIMPULAN
Setelah
melakukan
tindakan
keperawatan selama 2 hari didapatkan data
subyektif
pasien
mengatakan
tidak
merasakan rasa gatal di genetalianya respon
obyektif didapatkan tekanan darah 100/60
mmHg, Rr 18 kali per menit, Nadi 82 kali per
menit, genetalia pasien bersih, bengkak
pada labia mayor sebelah kiri berkurang,
kemerahan pada labia mayor kiri berkurang
dan klien sudah mulai beraktivitas secara
mandiri. sehubungan dengan hal itu penulis
menyarankan pada pasien agar tetap
menjaga dan memelihara kebersihan daerah
genetalia dengan cara yang benar. Untuk
Rumah Sakit diharapkan terus meningkatkan
mutu dan kualitas dari tenaga kesehatan
melalui kerjasama tim di ruangan agar dapat
meningkatkan professional keperawatan,
khususnya dalam pelayanan pemberian
asuhan keperawatan pada klien abses
bartholini dengan melakukan pengelolaan
infeksi sehingga masalah infeksi tidak
memperburuk keadaan klien.
DAFTAR PUSTAKA
Alhadar, V. (2012) Abses Bartolini.
(Https://Www.Academia.Edu/
7060881/ABSES_BARTOLINI_Refarat,
Diakses Pada Tanggal 15 April 2016
Pukul 20.34 WIB).
Ariyani, N. (2012). Tingkat Pengetahuan Ibu
Nifas Tentang Perawatan Genetalia Di
RSU Assalam Gemolong Sragen
(https://www.google.com/url?sa=t&rc
t=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&c
ad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiIo6mjo
4HNAhVKK48KHdn5AMIQFgg5MAQ&
url=http%3A%2F%2Fdownload.portalg
aruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3
D172076%26val%3D1322%26title%3D
HUBUNGAN%2520ANTARA%2520PEN
5
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Moorhead S, Marion J, Meridean L.M,
Elizabeth S. (2013) . Nursing Outcomes
Classification (NOC) : Measurement of
Health
Outcomes/editors,
Sue
Moorhead...(et.al). Edisi 5. USA :
Elsevier Mosby.
Oktaviani, A.V. (2012). Tingkat Pengetahuan
Ibu Nifas Tentang Infeksi Di RSU
Assalam
Gemolong
Sragen.
(http://digilib.stikeskusumahusada.ac.
id/download.php?id=224 diakses pada
tanggal 31 Mei 2016 pukul 19.03 WIB)
Potter, A.P & Perry, A.G. (2005).
Fundamental keperawatan. Edisi 4.
Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC
Potter
& Perry. (2010). Fundamental
Keperawatan (Edisi 7), Buku 1.
Terjemahan: Adrina Ferderika Nggie.
Singapore: Selemba Medika.
Prawirohardjo, S. (2011). Ilmu Kandungan
Edisi 3. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Wilkinson, J.M. & Nancy, R.A. (2014). Buku
Saku Diagnosa Keperawatan dengan
Diagnosa
Keperawatan
NANDA,
Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC
Edisi 9. Jakarta : EGC.
6
Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo
Download