ARTIKEL PENGELOLAAN RESIKO INFEKSI PADA NY. K DENGAN ABSES BARTHOLINI DI RUANG DAHLIA RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI Oleh: DWI NURHIDAYATI 0131703 AKADEMI KEPERAWATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2016 PENGELALOLAAN RESIKO INFEKSI PADA NY. K DENGAN ABSES BARTHOLINI DI RSUD PANDAN ARANG BOYOLALI Dwi Nurhidayati*, Eko Mardiyaningsih**, Dewi Siyamti*** Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Ungaran [email protected] ABSTRAK Abses bartholini merupakan infeksi pada kelenjar bartolini yang menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita, biasanya disertai dengan rasa nyeri, demam, pembengkakan yang memerah pada kelamin bahkan sampai tidak bisa berjalan. Infeksi bartholini terjadi disebabkan pada bartholini terjadi penyumbatan seringkali disebabkan oleh kuman gonococus tetapi bartholinitis juga dapat disebabkan oleh streptococcus atau basil koli. Masalah yang biasanya muncul pada klien dengan abses bartholini adalah resiko infeksi yang berulang. Resiko infeksi merupakan keadaan dimana sesorang individu yang beresiko terserang oleh organisme patogen yang dapat berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan yang bersifat actual maupun potensial. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui pengelolaan resiko infeksi pada klien abses bartholini Di RSUD Pandan Arang Boyolali. Metode yang digunakan adalah memberikan pengelolaan berupa tindakan keperawatan dalam menurunkan resiko infeksi. Pengelolaan infeksi dilakukan selama 2 hari dengan cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan dan melakukan perawatan pada daerah genetalia untuk mencegah infeksi. Pada Ny. K. teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara, pemeriksaan fisik, observasi dan pemeriksaan penunjang. Hasil pengelolaan resiko infeksi telah berhasil dengan klien mengatakan tidak merasakan rasa gatal di genetalianya, serta pembengkakan dan kemerahan pada genetalia berkurang. Saran bagi perawat di rumah sakit agar tetap menerapkan prinsip steril pada pasien dan lingkungan untuk menunjang pencegahan terjadinya infeksi. Kata kunci Kepustakaan : Abses bartholini, Resiko Infeksi : 25 (2005 – 2015) 1 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo LATAR BELAKANG Kesehatan reproduksi pada era globalisasi dan modernisasi ini telah terjadi perubahan dan kemajuan disegala aspek dalam menghadapi perkembangan lingkungan, kesehatan, dan kebersihan dimana masyarakat khususnya wanita dituntut untuk selalu menjaga kebersihan fisik dan tubuhya. Salah satu organ tubuh yang paling penting dan sensitif serta memerlukan perawatan adalah organ reproduksi. Perubahan prilaku seksual mengakibatkan dua masalah besar yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, dan penyakit radang panggul, kanker serviks, kanker payudara, gangguan menstruasi, mioma uteri dan lain sebagainya (Manuaba, 2010). Salah satu yang terjadi pada gangguan reproduksi wanita ialah abses pada daerah vulva dan vagina tidak banyak dijumpai, pertumbuhan neoplastik di daerah ini terutama berasal dari epitel skuamosa dan papiler serta jaringan mesenkim. Jarang sekali ditemukan tumor jinak yang berasal dari sel stroma pada daerah vagina. Abses pada vagina seringkali ditemui dalam bentuk leiomioma, rabdomioma, dan lain – lain. Yang lebih jarang lagi adalah abses yang berasal dari campuran sel epithelial vagina seperti abses bartholini, kista pilosebasea, hidradenoma papilaris, hidrokel kanalis nuck, dan tumor kistik lainnya pada vagina, yang tersusun dari struktur kelenjar dan duktusnya serta epitel skuamosa dengan diferensiasi lengkap di dalam stroma dengan tingkat diferensiasi moderat . Bagian dari alat genital pada wanita yang terkadang dapat terkena infeksi salah satu infeksi tersebut adalah infeksi pada kelenjar bartholini. Kelenjar bartholini merupakan kelenjar yang terletak pada kedua sisi bibir vagina pada alat kelamin perempuan yang menghasilkan lendir atau mukosa untuk lubrikasi. Infeksi bartholini terjadi disebabkan pada bartholini terjadi penyumbatan seringkali disebabkan oleh kuman gonococus tetapi bartholinitis juga dapat disebabkan oleh streptococcus atau basil koli pada bartholinitis terdapat ciri kelenjar ini membesar, merah, nyeri dan panas (Prawirohardjo, 2011). Abses bartholini sendiri merupakan infeksi pada kelenjar bartolini yang menimbulkan pembengkakan pada alat kelamin luar wanita, biasanya disertai dengan rasa nyeri, demam, pembengkakan yang memerah pada kelamin bahkan sampai tidak bisa berjalan. Abses ini berukuran relatif cukup besar yang paling sering di jumpai dengan bentuk radang menahun. Kelenjar bartholini terletak pada 1/3 posterior dari setiap labium mayus dan muara dari duktus sekretorius dari kelenjar ini, berada tepat di depan (eksternal) himen pada posisi jam 4 dan 8. Pengobatan pada kista ini dengan mengangkat seluruh kista marsivialisasi (Irianto, 2015; Marmi, 2014; Prawirohardjo, 2011). Pada kasus ini bisa dilakukan tindakan pembedahan untuk mengobati abses bartholini yaitu tindakan drainase dan insisi pembedahan ini biasanya di indikasikan jika abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi pus yang lunak, Word Catheter merupakan sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat digembungkan dengan saline pada ujung distalnya, marsupialisasi merupakan tindakan membuat jendela baru pada dinding abses untuk mempertahankan kontinuitas antara abses dengan rongga mulut, sinus maksilaris atau rongga nasal, dan eksisi tindakan ini sangat dianjurkan karena abses bartholini berpotensi untuk muncul kembali (Irianto, 2015 ; Alhadar, 2015). Namun pada pasien dengan abses bartholinitis sering terjadi komplikasi. Komplikasi yang paling umum dari abses Bartholin adalah kekambuhan, pada beberapa kasus juga dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan drainase abses, perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati dan timbul jaringan parut (Alhadar, 2012). Menurut study pendahuluan yang dilakukan penulis di RSUD Pandan Arang Boyolali pada tanggal 11 April 2016 dari catatan rekam medik didapatkan jumlah pasien dengan abses bartholini pada tahun 2013 berjumlah 5 kasus dan pada tahun 2014 terjadi 5 kasus. 2 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Menurut Burhani (2012) tidak menutup kemungkinan penderita abses bartholini akan mengalami resiko infeksi berulang. Salah satu masalah yang timbul yaitu masalah kebersihan genetalia yang kurang hal ini dapat menimbulkan terjadinya infeksi, karena keadaan yang kotor merupakan tempat berkembang biaknya kuman. Menjaga kebersihan genital agar tetap bersih dan segar adalah perlindungan terbaik terhadap infeksi. Dari penjabaran tersebut penulis tertarik membahas tentang “pengelolaan resiko infeksi pada Ny. K dengan abses bartholini di Ruang Dahlia RSUD Pandan Arang Boyolali“. melalui intravena. (proteksi terhadap infeksi) digunakan untuk membunuh atau melemahkan bakteri parasit atau jamur (IS0, 2015). HASIL PENGELOLAAN Hasil pengelolaan resiko infeksi berdasarkan evaluasi terakhir yang didapatkan pada selasa, 12 April 2016 pukul 14.00 WIB didapatkan data subyektif klien mengatakan rasa gatal pada genetalia hilang. Data obyektif yang didapatkan penulis Klien terlihat nyaman, genetalia bersih, keadaan abses mulai mongering, bengkak pada labia mayor kiri berkurang, kemerahan daerah abses berkurang. METODE PENGELOLAAN PENGKAJIAN Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mendapatkan informasi serta data yang selengkap-lengkapnya mengenai klien secara subyektif maupun obyektif. Fase proses keperawatan ini mencakup 2 langkah, pengumpulan data dari sumber primer (pasien) dan sumber sekunder (keluarga atau orang terdekat, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan. Pengkajian data dasar terdiri dari data subyektif dan obyektif. Data subyektif adalah persepsi pasien tentang masalah kesehatan mereka. Data obyektif adalah pengamatan atau pengukuran yang dibuat oleh pengumpul data (Perry & Potter, 2010). PEMBAHASAN Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mendapatkan informasi serta data yang selengkap-lengkapnya mengenai klien secara subyektif maupun obyektif. Fase proses keperawatan ini mencakup 2 langkah, pengumpulan data dari sumber primer (pasien) dan sumber sekunder (keluarga atau orang terdekat, tenaga kesehatan), dan analisis data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan (Perry & Potter, 2010). Dalam pengkajian pada hari Senin, 11 April 2016 pukul 08.55 WIB dengan metode allowanamnesa dan autoanamnesa, pasien mengatakan gatal, genetalia pasien kotor. Hal ini sering terjadi disebabkan oleh jamur, bakteri, dan virus yang muncul karena buruknya personal hygiene. pada daerah genetalia Labia mayor sebelah kiri memerah dan membengkak ini terjadi karena adanya penumpukan cairan pada salah satu duktus, sehingga cairan tersebut memenuhi kantong kelenjar isinya akan menjadi nanah dan keluar pada duktusnya yang dihasilkan oleh kelenjar dan terakumulasi sehingga terjadi sumbatan dan menyebabkan pembengkakan. Setelah diuraikan dari pengkajian diatas diagnosa yang dapat diambil menurut penulis yaitu resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan. Menurut Carpenito, (2013) diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah potensial atau TINDAKAN KEPERAWATAN Intervensi yang disusun pada hari Senin, tanggal 11 April 2016 pukul 08.55 WIB yaitu dengan diagnosa resiko infeksi pada Ny. K dengan abses bartholini di Ruang Dahlia RSUD Pandan Arang Boyolali. Intervensi pertama cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan, intervensi yang kedua kaji tanda-tanda vital, intervensi ketiga kaji adanya tanda-tanda infeksi. Intervensi keempat ajarkan klien dan keluarga tanda gejala infeksi. intervensi kelima ajarkan dan berikan perawatan pada daerah genetalia. Intervensi ke enam yaitu berikan terapi antibiotik cefotaxime 2 x 1 gr /12 jam 3 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo aktual/respon kehidupan. Resiko infeksi yaitu keadaan dimana seorang individu rentan mengalami invasi dan multiplikasi organisme patogenik yang dapat mengganggu kesehatan (Herdman, 2015). Wilkinson (2014), berpendapat diagnosa resiko infeksi ini diangkat berdasarkan etiologinya yaitu kurang pengetahuan untuk menghindari pemajanan pathogen, malnutrisi, prosedur invasif dan penyakit kronis dan adanya faktor yang berhubungan dengan kerusakan jaringan. Diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan ditegakkan dari data yang ditemukan genetalia kotor dan klien mengatakan gatal pada genetalia, labia mayor sebelah kiri membengkak dan memerah. Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa utama karena disesuaikan dengan teori Hirarki Maslow dimana pada kebutuhan keselamatan dan keamanan pada Ny. K ditemukan masalah resiko infeksi yang berhubungan dengan bakteri yang melibatkan keamanan fisik dan psikologis kebutuhan untuk melindungi diri dari berbagai bahaya yang mengancam, baik terhadap fisik maupun psikososial dan mengancam tubuh seseorang dan kehidupannya (Asmadi, 2008). Untuk mengatasi diagnosa keperawatan ini penulis merencanakan beberapa rencana tindakan keperawatan. Implementasi pertama cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan, hal ini merupakan salah satu tindakan terpenting untuk mengurangi penularan mikroorganisme dan mencegah infeksi. Penelitian Cochrane Library journal menilai kembali penelitian yang dilakukan Dinah JG (2010) dalam hasil penelitian yang berjudul Interventions To Improve Hand Hygiene Compliance In Patient Care menilai kembali tingkat keberhasilan jangka panjang dan pendek untuk menentukan kebersihan tangan dapat mengurangi tingkat penyebaran infeksi. Hasil penelitian yang dilakukan menemukan bahwa cara sederhana seperti mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum dan sesudah menyentuh pasien dapat mengurangi peningkatan penyebaran bakteri yang menyebabkan nosokomial, dapat mencegah timbulnya berbagai penyakit yang disebabkan oleh kuman, seperti radang tenggorokan, masalah saluran pernafasan, disentri, diare, iritasi kulit, biang keringat, cacingan, serta infeksi pada mata, dapat mencegah terjadinya penularan penyakit dari satu orang ke orang lainnya. Implementasi yang kedua mengkaji tanda-tanda vital, merupakan cara untuk memantau kondisi klien atau mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi respon klien terhadap intervensi. Mengkaji adanya peningkatan suhu tubuh merupakan akibat dari perubahan set point hipotalamus. Pirogen seperti bakteri dan virus menyebabkan peningkatan suhu. Saat bakteri dan virus infeksi masuk dalam tubuh pirogen bekerja sebagai antigen. Sel -sel darah putih tertentu mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen, yang memiliki banyak efek untuk melawan infeksi dan juga bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Selain itu selam peningkatan suhu, metabolisme tubuh meningkat 7 % dan konsumsi oksigen bertambah (Potter & Perry, 2005). Implementasi ketiga mengkaji adanya tanda-tanda infeksi. Implementasi keempat ajarkan klien dan keluarga tanda gejala infeksi diharapkan klien dan keluarga mengetahui dan mempercepat pemberitahuan jika muncul tanda-tanda infeksi. Hasil penelitian yang dilakukan Oktaviani (2012), tentang tingkat pengetahuan ibu nifas tentang infeksi di RSU Assalam Gemolong Sragen menunjukkan bahwa pengetahuan baik terdapat 9 responden (25 %), pengetahuan cukup sebanyak 20 responden (55,6 %) dan pengetahuan kurang terdapat pengetahuan baik terdapat 7 responden (19,4 %). Implementasi kelima mengajarkan dan memberikan perawatan pada daerah genetalia, untuk mencegah infeksi dengan melakukan perawatan hygiene yang benar dapat menghambat penyebaran bakteri disekitar genetalia yang menyebabkan infeksi. Penelitian yang dilakukan Ariyani (2012), dalam tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan genetalia RSU Assalam Gemolong Sragen dengan katagori 4 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo pengetahuan baik tentang perawatan genetalia sebanyak 7 responden (19,4 %), pengetahuan cukup tentang perawatan genetalia sebanyak 23 responden (63,9 %) dan pengetahuan kurang tentang perawatan genetalia sebanyak 6 reponden (16,7 %). Implementasi ke enam yaitu berikan terapi antibiotik cefotaxime 2 x 1 gr /12 jam melalui intravena. GETAHUAN%2520IBU%2520NIFAS%25 20TENTANG%2520PERSONAL%2520H YGIENE%2520PADA%2520LUKA%2520 PERINEUM%2520DENGAN%2520%252 0PENYEMBUHAN%2520LUKA%2520FA SE%2520PROLIFERASI%2520DI%2520 WILAYAH%2520%2520KERJA%2520PU SKESMAS%2520JENGGOT%2520KOTA %2520PEKALONGAN%2520TAHUN%2 5202013&usg=AFQjCNFR7QCEFxNDO 4SG3CsdQBIiSEGCQ&sig2=DkWIYt5lBogdDqlOMzD4cw& bvm=bv.123325700,d.c2I diakses pada tanggal 30 Mei 2016 pukul 14.54 WIB) Bulecheck, G.M, Butcher H.K, Dochterman J.M, Wagner C.M. (2015). Nursing Interventions Classification (NIC). Elsevier Mosby: USA. Burhani. (2012). Cara Cerdas Merawat Organ Intim. Yogyakarta : Araska Carpenito, L.J. (2013). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 13. Jakarta: EGC Dinah J.G, Donna M, Nicholas. D & Jane H. C. (2010). Interventions To Improve Hand Hygiene Compliance In Patient Care Online Publication Date: September 2010. (http://onlinelibrary.wiley.com/o/coc hrane/cldare/articles/DARE12003000987/frame.html diakses pada tanggal 22 Mei 2016 pukul 14.05 WIB). Herdman, T. (2015). Nanda Internasional Inc. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2015-2017/editor, T. Heather Heardman, Shigemi Kamitsuru; alih bahasa, Budi Anna Keliat...(et al.).; editor penyelaras, Monica Ester.Edisi 10. Jakarta : EGC. Irianto, K. (2014) Biologi Reproduksi. Bandung: Alfabeta. Irianto, K. (2015). Kesehatan Reproduksi Teori Dan Praktikum. Bandung: Alfabeta. IS0. (2015). ISO Indonesia Informasi Spesialite Obat Volume 48. PT Isfi. Penerbit Jakarta Marmi. (2015). Asuhan Kebidanan Patologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. KESIMPULAN Setelah melakukan tindakan keperawatan selama 2 hari didapatkan data subyektif pasien mengatakan tidak merasakan rasa gatal di genetalianya respon obyektif didapatkan tekanan darah 100/60 mmHg, Rr 18 kali per menit, Nadi 82 kali per menit, genetalia pasien bersih, bengkak pada labia mayor sebelah kiri berkurang, kemerahan pada labia mayor kiri berkurang dan klien sudah mulai beraktivitas secara mandiri. sehubungan dengan hal itu penulis menyarankan pada pasien agar tetap menjaga dan memelihara kebersihan daerah genetalia dengan cara yang benar. Untuk Rumah Sakit diharapkan terus meningkatkan mutu dan kualitas dari tenaga kesehatan melalui kerjasama tim di ruangan agar dapat meningkatkan professional keperawatan, khususnya dalam pelayanan pemberian asuhan keperawatan pada klien abses bartholini dengan melakukan pengelolaan infeksi sehingga masalah infeksi tidak memperburuk keadaan klien. DAFTAR PUSTAKA Alhadar, V. (2012) Abses Bartolini. (Https://Www.Academia.Edu/ 7060881/ABSES_BARTOLINI_Refarat, Diakses Pada Tanggal 15 April 2016 Pukul 20.34 WIB). Ariyani, N. (2012). Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Perawatan Genetalia Di RSU Assalam Gemolong Sragen (https://www.google.com/url?sa=t&rc t=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&c ad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiIo6mjo 4HNAhVKK48KHdn5AMIQFgg5MAQ& url=http%3A%2F%2Fdownload.portalg aruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3 D172076%26val%3D1322%26title%3D HUBUNGAN%2520ANTARA%2520PEN 5 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo Moorhead S, Marion J, Meridean L.M, Elizabeth S. (2013) . Nursing Outcomes Classification (NOC) : Measurement of Health Outcomes/editors, Sue Moorhead...(et.al). Edisi 5. USA : Elsevier Mosby. Oktaviani, A.V. (2012). Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas Tentang Infeksi Di RSU Assalam Gemolong Sragen. (http://digilib.stikeskusumahusada.ac. id/download.php?id=224 diakses pada tanggal 31 Mei 2016 pukul 19.03 WIB) Potter, A.P & Perry, A.G. (2005). Fundamental keperawatan. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC Potter & Perry. (2010). Fundamental Keperawatan (Edisi 7), Buku 1. Terjemahan: Adrina Ferderika Nggie. Singapore: Selemba Medika. Prawirohardjo, S. (2011). Ilmu Kandungan Edisi 3. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Wilkinson, J.M. & Nancy, R.A. (2014). Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Diagnosa Keperawatan NANDA, Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC Edisi 9. Jakarta : EGC. 6 Akademi Keperawatan Ngudi Waluyo