paradigma realisme, liberalisme, dan konstruktivisme dalam

advertisement
 UNIVERSITAS INDONESIA
PARADIGMA REALISME, LIBERALISME, DAN
KONSTRUKTIVISME DALAM MEMANDANG DAMPAK
KRISIS FINANSIAL GLOBAL AS TERHADAP SISTEM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
TUGAS KARYA AKHIR
IRENE SEVERINA
0706291306
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
JULI 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PARADIGMA REALISME, LIBERALISME, DAN
KONSTRUKTIVISME DALAM MEMANDANG DAMPAK
KRISIS FINANSIAL GLOBAL AS TERHADAP SISTEM
PERDAGANGAN INTERNASIONAL
TUGAS KARYA AKHIR
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di
Universitas Indonesia
IRENE SEVERINA
0706291306
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DEPOK
JULI 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan YME atas rahmat dan karuniaNya hingga tugas karya akhir ini dapat selesai tepat waktu. Tugas karya akhir ini
merupakan syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Politik dan
Ilmu Sosial Universitas Indonesia.
Krisis Finansial Global AS yang mulai terjadi pada akhir tahun 2007 silam
merupakan sebuah fenomena global yang sangat menarik untuk diteliti dalam kajian
hubungan internasional. Krisis Finansial Global AS yang bermula dari krisis
subprime mortgage dan juga kejatuhan Lehman Brothers telah menjadi titik awal
bagi komunitas internasional untuk menyadari kelemahan di dalam sistem
perdagangan internasional yang didasarkan pada prinsip perdagangan bebas (liberal).
Ilmu Hubungan Internasional memiliki tiga paradigma utama: realisme,
liberalisme, dan konstruktivisme. Tulisan ini akan melihat dan membandingkan
bagaimana ketiga paradigma ini memandang dampak krisis finansial global AS
terhadap sistem perdagangan internasional. Kelemahan serta karakter khas dari
masing-masing paradigma ini akan berusaha ditampilkan dalam tulisan ini.
Penulis di satu sisi menyadari bahwa masih terdapat banyak kelemahan dan
kekurangan dalam tugas karya akhir ini baik secara teknis maupun substansi. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik maupun saran yang membangun dan dapat
memperkaya penelitian ini. Pada akhirnya, penulis berharap tugas karya akhir ini
dapat bermanfaat bagi pihak yang bersangkutan.
Depok, 10 Juli 2012
Irene Severina
IV Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada Tuhan YME yang
telah senantiasa menyertai penulis dalam menyelesaikan tugas karya akhir. Penulis
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tugas karya akhir ini, sangatlah sulit bagi
penulis untuk menyelesaikan tugas karya akhir ini. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Syamsul Hadi, Ph.D, selaku pembimbing TKA
2. Dosen pengajar mata kuliah colluqium, Mbak Anin dan Mas Andi yang telah
memberikan banyak masukan bagi penulis terkait cara penulisan tugas karya
akhir maupun pemahaman terhadap isu krisis finansial global AS yang
diangkat oleh penulis
3. Mbak Riris, selaku salah satu dosen program konsentrasi Masyarakat
Transnasional, yang telah berbaik hati untuk menyarankan penulis agar
memilih jalur tugas karya akhir di saat penulis mengalami deadlock dengan
proses penulisan skripsi
4. Dosen pengajar program hubungan internasional lainnya yang telah
memberikan banyak bekal bagi penulis di dalam memahami berbagai teori
dasar hubungan internasional
5. Kedua orang tua penulis, paman (sisuk), dan juga adik penulis yang terus
bersabar di dalam memberikan dukungan moral dan menaruh kepercayaan
terhadap penulis di dalam proses penyusunan tugas karya akhir ini. Terima
kasih atas semua telepon dan kiriman paket makanan dari Medan yang
diberikan kepada penulis selama proses penulisan tugas karya akhir ini
6. Teman seperjuangan kelas colluqium penulis, Caroline, Pettisa, Citra, dan
Zahro yang menjadi sumber semangat dan informasi selama proses
penyusunan tugas karya akhir ini berlangsung
V Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
7. Teman-teman dari EDS (English Debating Society) UI yang tidak hanya telah
memberikan dukungan moral dan semangat kepada penulis secara verbal,
sms, BBM tetapi juga telah menjadi teman yang berarti di dalam berbagai
kompetisi dan latihan debat serta aktivitas hang out lainnya selama penulis
menjalani kehidupan sebagai mahasiswi di UI. Ucapan terima kasih ini
terutama ingin disampaikan oleh penulis kepada Ahdiat, Colley, Gesa, dan
Odi yang telah meluangkan waktu untuk datang pada saat sidang penulis. Dan
juga kepada anak-anak JOVED’12 (Denys, Fiska, Reta, Tom, Fiky, Asih) dan
ALSA UNPAD’12 (Patty, Anas, Elvia, Andre, Boy, Terry, Sindhu, Reza,
Nisna, Lisia) yang mampu menjadi sumber motivasi bagi penulis.
8. Aji, teman seangkatan penulis, yang telah menjadi teman penyemangat
penulis di masa-masa genting proses penulisan tugas karya akhir ini
9. Resi, teman seangkatan penulis, yang sering menjadi tempat tumpuan curhat
penulis melalui berbagai sesi hang out yang dilakukan bersama
10. Dina, teman seangkatan penulis dan Mbak Ayu yang telah membantu penulis
di berbagai urusan administrasi terkait proses kelulusan penulis
11. Teman-teman seangkatan HI UI 2007 lainnya
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas karya
akhir dan menyelesaikan studi di program Hubungan Internasional
Universitas Indonesia yang tidak dapat disebutkan satu per satu
Depok, 10 Juli 2012
Irene Severina
VI Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
ABSTRAK
Nama
:
Irene Severina
Program Studi :
S1- Reguler Ilmu Hubungan Internasional
Judul
Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme dalam
:
Memandang Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap
Sistem Perdagangan Internasional
Tugas karya akhir ini membahas mengenai dampak krisis finansial global AS
terhadap sistem perdagangan internasional dengan menggunakan tiga paradigma
utama ilmu hubungan internasional yang mencakup realisme, liberalisme, dan
konstruktivisme. Paradigma realisme dalam tulisan ini berupaya untuk menganalisis
kemunduran AS sebagai kekuatan hegemoni dalam sistem perdagangan internasional.
Selanjutnya paradigma liberalisme dalam tulisan ini menganalisis mengenai
timbulnya bentuk kerja sama ekonomi baru di antara negara pasca krisis finansial
global AS. Sedangkan paradigma konstruktivisme dalam tulisan ini menggunakan
pendekatan analisis jaringan untuk menganalisis bagaimana krisis kepercayaan
masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas mampu memunculkan
sebuah gerakan masyarakat global yang dikenal dengan Occupy Movement.
Kata kunci:
Krisis finansial global AS, sistem perdagangan internasional, hegemoni, kerja sama
ekonomi, Occupy Movement
VIII Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
ABSTRACT
Name
:
Irene Severina
Study Program:
Undergraduate Study of International Relations
Judul
Realism, Liberalism, and Constructivism Paradigms in
:
Analyzing US Global Financial Crisis Impact towards
International Trade System
This final paper discusses about the impact of US global financial crisis towards
international trade system by utilizing three main paradigms in International
Relations study: realism, liberalism, and constructivism. The realism paradigm tries
to analyze the US declining hegemonic power in international trade system. Next, the
liberalism paradigm analyzes about the occurrence of new economic cooperation
among countries after the crisis. Meanwhile the constructivism paradigm uses the
networking approach analysis to analyze about how the international society distrust
towards free trade system has enabled the rise of global society movement known as
the Occupy Movement.
Key words:
US global financial crisis, international trade system, hegemony, economic
cooperation, Occupy Movement
IX Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
DAFTAR BAGAN
XII
DAFTAR GRAFIK
XII
DAFTAR TABEL
XII
BAB 1 – PENDAHULUAN………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………1
1.2 Pertanyaan Permasalahan…………………………………………………3
1.3 Kerangka Pemikiran…………………………………………………........4
1.3.1 Teori Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability)….................4
1.3.2 Teori Liberal Institusionalis (Liberal Institutionalism)……….9
1.3.3 Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis)…………15
1.4 Metodologi……………............................................................................19
BAB 2 – Krisis Finansial Global AS…………………………………………........20
2.1 Krisis Subprime Mortgage………………………………….....................20
2.2 Kejatuhan Lehman Brothers……………………………………………..24
2.3 Struktur Finansial yang Rapuh…………………………………………..28
BAB 3 – PEMBAHASAN…………………………………………………………..31
3.1 Paradigma Realisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial Global
AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori Hegemonic
Stability………………………………………………………………………31
3.1.1 Sejarah Awal Mula AS Sebagai Hegemon dalam Sistem
Perdagangan Internasional…………………………………………...31
3.1.2 Analisis Krisis Finansial Global AS terhadap Perannya sebagai
Hegemon dalam Sistem Perdagangan Bebas………………………...35
3.1.2.1 Hegemoni AS dalam Sistem Perdagangan
X Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
3.2
3.3
Internasional…………………………………………………35
3.1.2.2 Krisis Finansial Global AS dan Kemunduran Hegemon
AS dalam Sistem Perdagangan Internasional………………..42
Paradigma Liberalisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial
Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori
LiberalInstitutionalism………………………………………….........46
3.2.1 Sejarah dan Tujuan Pendirian WTO (World Trade
Organization)…………………………………………………………47
3.2.2 Analisis Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Kerja
Sama Perdagangan Bebas WTO……………………………..49
Paradigma Konstruktivisme dalam Memandang Dampak Krisis
Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional
Melalui
Pendekatan
Social
Network
Analysis……………………………………………………………….53
3.3.1 Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Kepercayaan Masyarakat
Internasional terhadap Sistem Perdagangan Bebas (Liberal)...53
3.3.2 Analisis Proses Terbentuknya Jaringan yang Mendasari Occupy
Movement……………………………………………………..57
3.3.3 Occupy movement…………………………………………….61
BAB 4 – KESIMPULAN…………………………………………………………...65
4.1 Dampak Krisis Finansial Global AS sebagai Pemicu Occupy
Movement………………………………………………………………….....65
4.2 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan
Internasional Menurut Paradigma Liberalisme……………………………...65
4.3 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan
Internasional Menurut Paradigma Liberalisme……………………………...65
4.4 Tabel Perbandingan Ketiga Paradigma………………………………….66
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….69
XI Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Perbandingan Model Pembiayaan Bank terhadap Kredit Hipotek
Rumah……………………………………………………………………………….21
DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1 Nilai Saham Pasar Modal AS Tahun 2007 (Kuarter Kedua)……….22
Grafik 3.1 Sirkulasi Uang Kertas Dolar AS di luar AS………………………….40
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Laporan Negara Pengguna dolar AS dalam Transaksi Nilai
Tukarnya……………………………………………………………………………41
XII Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
1 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis Finansial Global (Global Financial Crisis atau GFC) bermula dari
apa yang pada awalnya merupakan dampak ledakan dari pasar properti Amerika
Serikat dan juga peningkatan dalam penyitaan properti telah berkembang menjadi
krisis finansial dan ekonomi global. Beberapa dari bank, institusi investasi, dan
perusahaan asuransi terbesar telah menyatakan diri mereka bangkrut atau harus
diselamatkan secara finansial. Pada bulan Oktober 2008, aliran kredit macet,
kepercayaan para peminjam menurun, dan satu per satu, ekonomi dari negaranegara di seluruh dunia harus mengalami resesi. Krisis ini menunjukkan
kelemahan fundamental dari sistem finansial di seluruh dunia, dan walaupun
pemerintah di berbagai negara telah berkoordinasi melalui berbagai kebijakan
moneter, intervensi bank sentral dan pemerintah senilai triliun dolar, serta paket
stimulus dalam jumlah yang besar, krisis ini masih terlihat jauh dari selesai. 1
Krisis finansial global AS ini dimulai pada Juli 2007 ketika terjadinya
credit crunch (kredit macet) yang terjadi ketika para investor di AS kehilangan
kepercayaan terhadap nilai dari saham sub-prime mortgages yang berujung pada
krisis likuiditas. Hal ini berdampak pada bagaimana Bank Sentral AS harus
menyuntikkan dana dalam jumlah yang besar ke dalam pasar finansial. Pada bulan
September 2008, krisis ini telah memperburuk pasar saham di seluruh dunia dan
menjadikannya menjadi sangat rapuh. Kepercayaan para pelanggan menurun
secara drastis seraya mereka menjadi semakin takut mengenai apa yang akan
terjadi di masa depan. 2
1
Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Report,
Congressional Research Service, (Oktober 2009), halaman 10.
2
___, “Global Financial Crisis – What Caused It and How the World Responded”, diakses dari
http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ diakses pada 18 April 2012 pukul 19.26.
1 Universitas Indonesia Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
2 Krisis finansial yang dimulai dari negara-negara maju ini menyebar secara
cepat menuju negara dengan pasar emerging dan negara-negara berkembang. Para
investor menarik modal dari berbagai negara, bahkan dari sektor yang
diperkirakan memiliki tingkat resiko rendah, dan menyebabkan nilai saham-saham
dan mata uang domestik anjlok. Hal ini semakin diperburuk dengan anjloknya
jumlah ekspor dan harga barang-barang komoditas yang menyebabkan ekonomi di
seluruh dunia memasuki masa resesi atau masa tingkat pertumbuhan ekonomi
rendah. Krisis global ini sekarang sepertinya bermain pada dua level. Level
pertama terjadi di antara negara-negara maju di mana sebagian besar dari kerugian
yang diakibatkan oleh subprime mortgage debt, tingkat peningkatan investasi
yang berlebihan, dan credit swaps terjadi. Sedangkan level yang kedua terjadi di
antara negara-negara emerging dan berkembang yang mana sebenarnya
merupakan pihak yang tidak bersalah dalam krisis ini namaun juga terkena
dampak dari krisis ini dikarenakan kurang kuatnya sistem ekonomi yang mereka
miliki sehingga dapat dengan mudah terpengaruh oleh apa yang sedang terjadi di
pasar global. Sebagian besar negara maju (kecuali Islandia), telah mampu untuk
membiayai paket penyelamatan mereka sendiri dengan meminjam dana melalui
pasar modal domestik dan internasional, tetapi banyak dari negara-negara
emerging dan berkembang yang tidak memiliki sumber modal yang cukup
sehingga mereka telah beralih kepada IMF, World Bank, atau negara lainnya yang
memiliki surplus modal seperti Jepang dan EU untuk mencari pinjaman. 3
Penurunan dalam kegiatan ekonomi yang terjadi secara bersamaan di
seluruh dunia menandakan bahwa negara emerging dan berkembang masih belum
mampu untuk memisahkan dirinya dari negara-negara maju dan bahwa
pemerintahnya tidak dapat mengandalkan hanya pada kegiatan ekspor untuk
menarik mereka keluar dari keadaan resesi. 4
Sebagai akibat dari tingkat penyebaran dampak krisis finansial global AS
yang cepat ini, pada akhir tahun 2008-2009, dibentuk sebuah kelompok baru, G20
yang terdiri dari negara maju dan berkembang sebagai upaya untuk mencegah
dampak krisis ini menjadi tidak dapat dibendung. Pada KTT G20 London (April
3
4
Loc. Cit., Nanto.
Ibid., Nanto. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
3 2009), para pemimpin negara yang tergabung dalam kelompok baru ini sepakat
untuk mengumpulkan dana sebesar 5 triliun dolar AS sebagai bagian dari ekspansi
fiskal dan 1,1 triliun dolar AS untuk membantu IMF (International Monetary
Fund) serta institusi global lainnya agar dapat meningkatkan jumlah lapangan
pekerjaan dan melakukan reformasi terhadap bank-bank. 5
Krisis finansial global telah menegaskan satu poin penting yaitu bahwa
Amerika Serikat masih merupakan pusat dari finansial dunia. Krisis finansial
regional (seperti misalnya krisis finansial Asia, krisis perbankan Jepang, atau
krisis utang Amerika Latin) masih dapat terjadi tanpa memengaruhi sistem
finansial global lainnya secara serius. Akan tetapi, ketika sistem finansial AS
terjatuh, dampaknya juga dirasakan oleh bagian dunia lainnya secara signifikan.
Ini disebabkan oleh peran AS sebagai penjamin utama dalam sistem finansial
internasional, penyedia mata uang dollar yang mana sering digunakan sebagai
simpanan cadangan mata uang dan media penukar internasional, serta merupakan
penyumbang dari banyak modal finansial yang menyebar ke seluruh dunia dalam
rangka mendapatkan hasil yang lebih tinggi.6
1.2 Pertanyaan Permasalahan
Berdasarkan penjabaran latar belakang masalah dalam karya akhir ini,
tulisan ini akan berupaya untuk menjawab pertanyaan Bagaimanakah ketiga
paradigma dalam ilmu hubungan internasional: realisme, liberalisme, dan
konstruktivisme memandang dampak krisis finansial global AS terhadap
sistem perdagangan internasional?
5
Larry Elliott, “Global Financial Crisis: Five Key Stages 2007-2011”, (7 Agustus 2011), diakses
dari http://www.guardian.co.uk/business/2011/aug/07/global-financial-crisis-key-stages pada 17
April 2012 pukul 20.46
6
Loc. Cit., Nanto, halaman 10. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
4 1.3 Kerangka Pemikiran
1.3.1
Teori Stabilitas Hegemoni (Hegemonic Stability)
Teori stabilitas hegemoni merupakan sebuah konsep konvensional yang
sering digunakan untuk menganalisis baik hubungan ekonomi internasional pada
periode tahun 1970an dan 1980an maupun sejarah interaksi yang serupa selama
kurun waktu 150 tahun terakhir. Teori ini menyatakan bahwa sebuah kekuatan
hegemoni akan menciptakan sebuah tatanan ekonomi internasional yang stabil dan
bahwa kemunduran kekuatan hegemoni tersebut akan memicu kepada
ketidakstabilan global. Dalam konteks perdagangan internasional, teori ini
berpendapat bahwa sebuah hegemon akan memungkinkan terciptanya pasar
terbuka dan bahwa kemundurannya akan berujung pada berakhirnya sistem pasar
terbuka yang telah ada. Hingga saat ini, sistem perdagangan internasional telah
mengenal dua hegemon yaitu Inggris pada abad ke-19 dan AS pasca periode PD
II. Oleh karena itu, kenaikan dan kemunduran hegemoni Inggris akan mampu
untuk menjelaskan kemunculan dan kejatuhan “era perdagangan bebas”. Hal ini
sama dengan bagaimana perubahan dalam kekuatan relatif AS tidak hanya akan
mampu untuk menjelaskan pertumbuhan perdagangan global pada masa pasca
perang tetapi juga
mampu untuk memprediksi masa berakhirnya dari rejim
perdagangan yang berlaku saat ini. 7
Charles P. Kinderberger merupakan tokoh pertama yang memperkenalkan
teori ini melalui bukunya yang berjudul The World in Depression, 1929-1939. Dia
memperlihatkan bahwa sebuah hegemon mampu untuk menyediakan kebaikan
bersama berupa stabilitas global, dan bahwa ketiadaan sebuah kepemimpinan
hegemoni akan memperburuk Depresi Besar. Dia juga menambahkan bahwa
keberadaan sebuah hegemon ini juga harus dibarengi dengan kesediaan yang
bersifat pamrih dan berpikiran jauh ke depan untuk menangani kepentingan
seluruh dunia. Terkait dengan ini, dia menjelaskan bahwa problem pada era
1930an tidak hanya berakar dari kemunduran Inggris sebagai hegemon yang
menyebabkannya tidak mampu untuk memberikan pengarahan tetapi juga dari
7
Arthur A. Stein, “ The Hegemon’s Dilemma: Great Britain and the United States, and the
International Economic Order” dalam International Organization, Vol. 38, No. 2, (Spring, 1984),
halaman 355-356.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
5 ketidaksediaan
AS
untuk
menerima
tanggung
jawab
baru
mempertahankan sistem pasar terbuka pada masa kemunduran akonomi.
dengan
8
Sesuai dengan penggambarannya atas kestabilan ekonomi internasional
sebagai kebaikan bersama, Kindleberger menyadari bahwa kombinasi berbagai
negara akan mampu untuk menyediakan kepemimpinan yang dibutuhkan. Dia
berpendapat bahwa, meskipun demikian, insentif untuk berbuat curang dan
menjadi free rider akan cukup besar sehingga rejim internasional mana pun yang
bergantung pada ketetapan bersama pada dasarnya akan bersifat tidak stabil.
Kestabilan hanya dapat terjamin ketika sebuah hegemon menanggung baik biaya
untuk menyediakan kebaikan bersama dan menarik dukungan dari negara
lainnya. 9
Di dalam buku tersebut dan juga tulisan-tulisan lainnya, Kindleberger
mengidentifikasi dan membahas secara terperinci tugas yang harus dijalankan
oleh sebuah hegemon dari sistem ekonomi internasional. Tugas dari negara
hegemon ini menurutnya mencakup pembentukan dan pemeliharaan sebuah rejim
perdagangan liberal (bebas), pendirian sistem moneter internasional, dan juga
menjadi ‘pemberi pinjaman saat terakhir’ untuk mencegah krisis finansial. 10
Analisis Kindleberger ini dilanjutkan dengan hipotesis bahwa kemunduran
kemampuan ekonomi dari sebuah negara hegemon akan memicu pada
melemahnya rejim yang mengatur perekonomian liberal dunia. Kemampuan dan
keinginan yang menurun dari negara hegemon untuk menjalankan peraturan dari
sebuah sistem ekonomi liberal internasional berujung pada meningkatnya
proteksionisme perdagangan dan pelanggaran terhadap rejim yang mengatur
mengenai perdagangan, moneter, dan berbagai bentuk perdagangan internasional
lainnya. 11
8
Ibid., Stein halaman 356. Ibid., Stein halaman 356.
10
Robert Gilpin, "The Rise of American Hegemony," dalam Two Hegemonies: Britain 1846-1914
and the United States 1941-2001 diedit oleh Patrick Karl O'Brien dan Armand Clesse (Aldershot:
Ashgate Publishing, Ltd., 2002), halaman 1-2. 11
Ibid., Gilpin diedit oleh O’Brien dan Clesse, halaman 2. 9
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
6 Ide mendasar Kindleberger mengenai pentingnya sebuah pemimpin politik
bagi isu ekonomi internasional dapat dikategorikan ke dalam dua versi utama.
Versi pertama merupakan ide original Kindleberger yang lebih berpendekatan
liberalis sedangkan versi kedua merupakan ide Kindleberger yang telah
disesuaikan oleh kelompok akademisi politik Amerika sehingga berpendekatan
lebih realis. Perbedaan pertama dari kedua versi ini mengacu pada pendapat
Kindleberger yang menyatakan bahwa negara hegemon menciptakan sistem
ekonomi liberal internasional dikarenakan alasan ekonomi yang bersifat
kosmopolitan (demi kebaikan bersama) sedangkan versi yang kedua berpendapat
bahwa alasan yang lebih tepat adalah karena negara hegemon ingin
memperjuangkan kepentingan mereka sendiri. Perbedaan yang kedua adalah
bagaimana Kindleberger berpendapat bahwa alasan negara pemimpin untuk
mendirikan sistem ekonomi liberal internasional hanyalah karena alasan ekonomi
akan tetapi versi yang kedua berpendapat bahwa alasan negara pemimpin tersebut
tidaklah hanya karena alasan ekonomi tetapi juga karena alasan politik. Meskipun
terdapat beberapa perbedaan, kedua versi tersebut setuju bahwa syarat bagi sebuah
produk kolektif seperti perdagangan bebas dan kestabilan sistem moneter adalah
sebuah kekuatan dominan yang memiliki kepentingan dalam sebuah sistem
ekonomi liberal internasional dan juga kesediaan untuk menggunakan sumber
daya ekonomi dan politik untuk mencapai dan mempertahankan tujuan ini. 12
Pendapat Kindleberger ini selanjutnya semakin dikembangkan oleh
berbagai ahli di bidang politik. Salah satu hal yang dikembangkan oleh para ahli
tersebut adalah bahwa hegemon menciptakan sebuah tatanan ekonomi
internasional yang liberal bukan dikarenakan oleh sifat altruisme mereka
melainkan dikarenakan oleh kepentingan mereka sendiri di dalam sistem pasar
terbuka. Robert Gilpin dan Stephen Krasner merupakan dua tokoh yang
berkontribusi paling besar terhadap evolusi dari teori ini. Keduanya menekankan
pada faktor kepentingan dan juga kemampuan dari hegemon untuk menciptakan
sebuah tatanan perdagangan liberal. Gilpin berpendapat bahwa terdapat dua
12
Ibid., Gilpin diedit oleh O’Brien dan Clesse, halaman 2.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
7 dimensi terhadap kekuatan sebuah hegemon: efisiensi ekonomi serta kekuatan
politik dan militer. Sebuah hegemon akan memperoleh keuntungan terbesar dalam
perdagangan bebas mengingat bagaimana hegemon tersebut merupakan aktor
yang memiliki tingkat efisisensi ekonomi tertinggi. Dikarenakan oleh kekuatan
politiknya, sebuah hegemon memiliki sumber daya untuk memaksa atau
membujuk pihak lain agar mengadopsi kebijakan liberal di dalam sistem
perdagangan luar negeri mereka. Krasner juga menarik kesimpulan yang sama
dengan analisis yang berbeda. Dia menganalisis serangkaian kepentingan negara
yang dipengaruhi oleh tatanan perdagangan internasional dan kemudian
berkesimpulan bahwa hanya sebuah negara hegemon besar yang akan
menganggap perdagangan bebas sebagai hal yang diinginkan dan dapat dicapai.
Jadi, menurut Gilpin dan Krasner, hegemon merupakan syarat bagi kemunculan
dari sebuah rejim perdagangan liberal. Dan oleh karena itu, mereka juga
berpendapat bahwa kemunduran dari hegemon tersebut juga akan memicu pada
kejatuhan dari tatanan perdagangan liberal.13
Dari deskripsi sebelumnya, kita dapat melihat bahwa teori stabilitas
hegemoni dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian yang pertama
menyatakan bahwa sebuah kekuatan hegemoni akan menyediakan kebaikan
bersama bagi sistem internasional, seperti perdamaian, pertahanan, dan
kemakmuran, yang mana juga dipetik manfaatnya oleh pihak hegemon serta di
dalam prosesnya akan menciptakan tatanan yang stabil di dalam sistem. Anggota
lainnya di dalam sistem memilih untuk berpartisipasi karena mereka akan
mendapatkan manfaat sebagai free rider dari kebaikan bersama yang disediakan
oleh hegemon. Menurut Krasner, salah satu kebaikan bersama yang disediakan
oleh hegemon adalah sebuah sistem perdagangan terbuka yang didasarkan pada
pasar bebas, mengingat keterbukaan akan mendorong akumulasi pendapatan
nasional dan tingkat pertumbuhan ekonomi serta kekuatan politiknya. Sedangkan,
bagian yang kedua dari teori ini menyatakan bahwa hegemon bersama dengan
tatanan internasional liberal yang dipertahankannya, pada akhirnya harus
mengalami kemunduran seraya kemampuannya untuk mempertahankan kestabilan
13
Op. Cit., Stein halaman 356-357.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
8 mulai terkikis dikarenakan oleh peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk
menghindari ketidakstabilan. 14
Di samping kedua bagian tersebut, hal penting lainnya yang perlu juga
diketahui dari teori ini adalah definisi dari hegemon itu sendiri. Terdapat beberapa
definisi yang dicetuskan oleh para ahli mengenai definisi dari hegemon. Gilpin
misalnya menganggap kekuasaan hegemoni sebagai gabungan antara kekuatan
untuk memaksa negara lain dengan partisipasi sukarela di dalam sebuah sistem
hegemoni. 15 Dia berupaya untuk membedakan konsep hegemon dengan
kekaisaran dalam hal bagaimana kekuatan kekaisaran mempertahankan kekuasaan
mereka secara paksa tanpa disertai dengan partisipasi sukarela dari koloninya. Di
pihak lain, ahli lainnya seperti Snidal, Calleo dan Keohanne, seperti halnya
Kindleberger, memandang hegemon sebagai pihak yang baik dan bersifat tidak
memaksa. Sebuah hegemon, menurut mereka, mengatur dan menyusun sistem di
mana norma yang berlaku berupa berbagai bentuk kerja sama berbeda yang
dimungkinkan. 16 Selanjutnya, Strange dan Nye memperkenalkan deskripsi
kekuasaan dengan nuansa yang sedikit berbeda dalam hal bagaimana mereka
menganggap sumber daya ekonomi dan militer akan diperkuat oleh kekuatan
struktural. Menurut Strange, kekuatan struktural ini merupakan kemampuan untuk
memilih dan membentuk struktur ekonomi politik global yang terdapat di dalam
negara lain, institusi politik mereka, perusahaan ekonomi mereka, dan bahkan
para profesional yang akan mengoperasikan perusahaan ekonomi mereka. 17
Sebagai tambahan, Nye juga mendekripsikan jenis kekuasaan tidak langsung ini
sebagai kemampuan untuk meyakinkan negara lainnya untuk membuat negara lain
‘menginginkan apa yang kita inginkan’ daripada memaksa mereka untuk
‘melakukan apa yang kita inginkan’. 18 Pendapat mengenai pentingnya kekuatan
14
Patrick K. O’Brien dan Geoffrey Allen Pigman, “Free Trade, British Hegemony and the
International Economic Order in the Nineteenth Century” dalam Review of International Studies,
Vol. 18, No. 2, (April, 1992), halaman 89-90.
15
R. Gilpin, War and Change in the International System, (Cambridge, 1981). 16
D. Snidal, “The Limits of Hegemonic Stability”, dalam International Organization, Vol. 39,
(1985); D. Calleo, Beyond American Hegemony, (New York, 1987); R. O. Keohane, After
Hegemony, (Princeton, 1984).
17
S. Strange, “The Persistent Myth of Lost Hegemony”, dalam International Organization, Vol.
41, (1987). 18
R. Nye, Bound To Lead, (New York, 1990). Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
9 struktural bagi sebuah negara hegemon bermula dari tulisan oleh Gramsci dan
Wallerstein. Gramsci mengembangkan sebuah ide hegemoni yang berupaya untuk
menjelaskan bagaimana para golongan atas di dalam sistem sosial dan ekonomi
menggunakan kebudayaan mereka untuk mempertahankan kepopuleran dari
sistem mereka. Wallerstein kemudian juga mengaplikasikan ide hegemoni
Gramsci ke dalam sistem internasional. Wallerstein mendeskripsikan sistem yang
telah ada sejak abad ke-16 sebagai sebuah ‘dunia-ekonomi’ kapitalis yang terdiri
dari berbagai negara di mana para elit di negara inti mengatur hubungan ekonomi
dan politik di antara negara dengan cara yang memungkinkan mereka untuk
mempertahankan posisi mereka terhadap area semi-periferi dan periferi yang
terdapat di dalam sistem, dengan memperkenalkan identitas kebudayaan nasional
mereka misalnya. Dengan cara ini, mereka juga mempertahankan dominasi
mereka atas golongan di bawah mereka di dalam wilayah negara mereka sendiri.19
Meskipun terdapat berbagai definisi yang berbeda mengenai apa yang dianggap
sebagai hegemon, semua pendapat tersebut berhasil menegaskan bahwa konsep
hegemoni mengacu kepada sebuah negara hegemon yang mampu untuk
menggunakan
kekuatannya
atas
negara
lain
di
dalam
sebuah
sistem
internasional. 20
1.3.2
Teori Liberal Institusionalis (Liberal Institutionalism)
Teori Liberal Institutionalism merupakan sebuah teori yang berupaya
untuk memberikan analisis mengenai bagaimana aktor negara yang pada dasarnya
bersifat egois dan selalu mementingkan kepentingan mereka masing-masing dapat
disatukan ke dalam sebuah hubungan kerja sama yang saling menguntungkan.
Menurut teori ini, hubungan kerja sama tersebut dapat dimungkinkan dengan
keberadaan
sebuah
institusi
internasional
yang
mengikat
para
negara
partisipannya dengan serangkaian norma dalam rangka untuk mencapai sebuah
tujuan bersama. Beberapa asumsi dasar teori ini dapat dilihat melalui tabel
berikut:
19
20
Immanuel Wallerstein, The Modern World-System (1), (New York/London, 1974).
Loc. Cit., O’Brien dan Pigman. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
10 LIBERAL INSTITUSIONALIS
Karakter aktor negara
Terpecah-pecah ;
bukan
merupakan
sebuah entitas yang bersatu
Faktor
pembentuk
sistem Terdapat faktor lain selain anarki seperti
misalnya teknologi, ilmu pengetahuan,
internasional
dan juga keinginan setiap negara untuk
memajukan tingkat kesejahteraannya
Peran aktor negara dalam sistem Tidak dominan; aktor non negara juga
memiliki peran yang dominan
internasional
Pandangan
terhadap
internasional
institusi Aktor
independen
yang
dapat
memfasilitasi kerja sama internasional
Pandangan terhadap kerja sama Optimis
internasional
Sumber: Jurnal Ilmiah oleh Joseph M. Grieco, “Anarchy and the Limitsof Cooperation: A
Realist Critque of the Newest Liberal Institutionalism”, dalam International Organization ,
Vol 42, No. 3, (Summer, 1988), halaman 494.
Institusi dapat didefinisikan sebagai serangkaian peraturan yang
menetapkan cara-cara mengenai bagaimana negara-negara harus bekerja sama dan
berkompetisi satu sama lainnya. 21 Institusi ini akan menentukan bentuk tingkah
laku negara yang dapat diterima dan juga larangan mengenai tingkah laku negara
yang dianggap melanggar batas. Peraturan-peraturan ini akan dinegosiasikan oleh
berbagai negara dan mencakup kesediaan bersama untuk menerima norma lebih
tinggi, yang mana merupakan standar perilaku yang didefinisikan dalam bentuk
hak dan kewajiban. 22 Peraturan ini secara khusus akan diresmikan melalui
perjanjian internasional, dan umumnya diwujudkan dalam organisasi dengan
21
Douglass C. North and Robert P. Thomas, "An Economic Theory of the Growth of the Western
World," dalam The Economic History Review, 2nd series, Vol. 23, No. 1 (April 1970), halaman 5.
22
Stephen D. Krasner, ed., “International Regimes”, dalam International Organization (special
issue), Vol. 36, No. 2 (Spring 1982), halaman 186.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
11 personil dan anggaran belanja mereka sendiri. Walaupun peraturan-peraturan ini
biasanya tergabung ke dalam sebuah organisasi resmi internasional, bukan
organisasi tersebut yang akan mewajibkan negara-negara untuk mematuhi
peraturan yang ada. Hal ini dikarenakan institusi tersebut bukanlan sebuah bentuk
pemerintahan global. Negara-negara yang tergabung di dalam institusi tersebutlah
yang harus memilih sendiri untuk mematuhi peraturan yang telah disepakati. 23
Menurut teori liberal institusionalis, tantangan utama bagi terciptanya
kerja sama di antara negara yang memiliki kepentingan bersama adalah ancaman
untuk berbuat curang. Adapun konsep analisis utama yang digunakan di dalam
teori ini adalah konsep prisoner’s dilemma yang berupaya untuk menggambarkan
inti dari problem yang harus diselesaikan oleh negara-negara agar dapat mencapai
kerja sama. Konsep prisoner’s dilemma yang digunakan dalam teori ini pada
dasarnya percaya bahwa setiap dua negara dapat memilih untuk berbuat curang
atau bekerja sama satu dengan yang lainnya. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa
pada dasarnya setiap negara tersebut ingin memaksimalkan keuntungan mereka
masing-masing tanpa memedulikan seberapa besar keuntungan yang akan
diperoleh oleh pihak negara lainnya. Setiap negara tersebut hanya akan perduli
terhadap pihak yang lainnya ketika strategi yang digunakan oleh pihak lain
tersebut
berdampak
terhadap
prospek
untuk
memaksimalkan
perolehan
keuntungan mereka. Dalam skenario ini, strategi yang paling efektif bagi setiap
pihak negara yang terlibat adalah untuk berbuat curang dan berharap bahwa pihak
yang lainnya tetap menggunakan strategi kerja sama. Dengan kata lain, hasil yang
paling ideal bagi sebuah negara adalah ketika mereka mampu menipu pihak yang
lainnya untuk percaya bahwa mereka akan bekerja sama dan kemudian berbuat
curang. Akan tetapi, kedua belah pihak paham mengenai alur skenario ini, dan
oleh karena itu kedua belah pihak akan berupaya untuk berbuat curang satu
dengan yang lainnya. Sebagai konsekuensinya, kedua belah pihak akan berakhir
pada hasil yang jauh lebih buruk dibandingkan jika mereka memilih untuk bekerja
sama mengingat kecurangan yang dilakukan oleh kedua belah pihak juga akan
memicu hasil yang paling buruk. Inilah sebabnya walaupun ide untuk bekerja
23
John J. Mearsheimer, “The False Promise of International Institutions”, dalam International
Security, Vol. 19, No. 3, (Winter, 1994-1995), halaman 8-9.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
12 sama sebenarnya tidak semenarik ide untuk mencurangi pihak lainnya, hal
tersebut masih akan jauh lebih baik dibandingkan jika kedua belah pihak memilih
untuk berbuat curang. 24
Kunci untuk menyelesaikan dilema ini adalah ketika setiap pihak mampu
untuk meyakinkan pihak lainnya bahwa mereka memiliki sebuah kepentingan
bersama di dalam menjadikan apa yang kelihatannya berupa pengorbanan jangka
pendek (keuntungan yang akan diperoleh dari upaya berbuat curang) demi
memperoleh manfaat jangka panjang di masa depan (manfaat besar yang
diperoleh dari kerja sama jangka panjang). Ini berarti bahwa setiap pihak yang
terlibat harus mampu meyakinkan pihak lainnya agar bersedia untuk menerima
hasil terbaik kedua, yakni kerja sama. Tantangan utama untuk mencapai hasil
kerja sama ini adalah perasaan khawatir untuk dicurangi. Ini, singkatnya,
merupakan permasalahan yang harus diselesaikan oleh institusi. 25
Untuk menangani permasalahan ‘kegagalan pasar politik’, sebuah institusi
harus menghalangi para pelaku tindakan kecurangan dan melindungi para korban.
Ada pun pesan yang harus mampu disampaikan oleh sebuah institusi terhadap
pihak yang akan berbuat curang mencakup tiga hal utama yaitu bahwa: pihak
tersebut akan ditangkap, dihukum dengan segera, dan dapat membahayakan upaya
kerja sama lainnya di masa depan. Para calon korban, di pihak lain, membutuhkan
sistem peringatan awal dari tindakan kecurangan agar dapat menghindari kerugian
yang serius dan membutuhkan metode untuk menghukum pihak yang berbuat
curang. 26
Teori liberal institusionalis tidak bertujuan untuk menangani para pelaku
kecurangan dan korban dengan mengubah norma-norma fundamental dari tingkah
laku negara. Teori ini juga tidak bermaksud untuk mengubah sifat mendasar dari
sebuah sistem internasional yang anarki. Teori ini menerima asumsi bahwa
negara-negara menjalankan agenda mereka di dalam sebuah kondisi yang anarkis
dan bertingkah laku sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Teori
24
Ibid., Mearsheimer, halaman 17. Ibid., Mearsheimer, halaman 17. 26
Ibid., Mearsheimer, halaman 17. 25
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
13 liberal institusionalis justru berkonsentrasi pada upaya untuk menunjukkan
bagaimana peraturan dapat berfungsi untuk mencegah isu tindakan kecurangan,
bahkan ketika negara-negara selalu berkeinginan untuk memaksimalkan
kesejahteraan mereka. Mereka berpendapat bahwa institusi dapat mengubah
perhitungan sebuah negara mengenai cara untuk mendapatkan keuntungan
maksimal. Secara rinci, peraturan-peraturan dapat membuat negara-negara untuk
membuat pengorbanan jangka pendek yang dibutuhkan untuk menyelesaikan isu
prisoner’s dilemma dan oleh karena itu membuat mereka menyadari keuntungan
jangka panjang yang akan diperoleh. Intinya, teori ini percaya bahwa sebuah
institusi akan berujung pada kerja sama. 27
Hal ini berbeda dengan pihak realis yang menggunakan logika relativegain untuk menjelaskan bahwa negara tidak akan bekerja sama satu dengan yang
lainnya ketika mereka memiliki kecurigaan bahwa calon pihak yang akan bekerja
sama dengannya akan memperoleh keuntungan yang lebih besar dari hubungan
kerja sama tersebut daripada yang seharusnya. Akan tetapi, ketika keberadaan
sebuah institusi mampu untuk mengatasi rasa khawatir atas kemungkinan
terjadinya kecurangan dan kemudian memungkinkan terjadinya kerja sama,
sebuah institusi juga akan mampu untuk mengurangi rasa khawatir atas
kemungkinan perolehan keuntungan yang tidak adil dari sebuah hubungan kerja
sama. 28
Secara ideal, peraturan yang ditetapkan dalam sebuah institusi dapat
membuat
empat
perubahan
utama.
Pertama,
peraturan
tersebut
dapat
meningkatkan jumlah transaksi di antara negara-negara tertentu seraya waktu
berjalan. Pengulangan pertemuan yang terinstitusionalisasi ini akan mencegah
terjadinya kecurangan melalui tiga cara. Pertama, ini akan meningkatkan nilai
resiko sebuah kecurangan melalui penciptaan akan prospek keuntungan di masa
depan yang akan diperoleh melalui kerja sama. Sebuah negara yang tertangkap
berbuat curang akan membahayakan prospeknya untuk mendapatkan manfaat dari
27
Ibid., Mearheimer, halaman 17-18.
Robert O. Keohane dan Lisa L. Martin, “The Promise of Institutionalist Theory”, dalam
International Security, Vol. 20, No. 1, (Summer 1995), halaman 45.
28
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
14 kerja sama di masa mendatang mengingat pihak korban kemungkinan besar akan
membalas. Sebagai tambahan, pertemuan yang berulang ini juga akan
memberikan kesempatan kepada para korban untuk memberikan bayaran yang
setimpal bagi para pelaku yang berbuat curang: pertemuan berulang tersebut akan
memungkinkan dilakukannya sebuah pembalasan ataupun penyusunan strategi
untuk menghukum para pelaku kecurangan dan tidak membiarkan mereka bebas
dengan tindakan pelanggaran mereka. Dan yang terakhir, pertemuan berulang ini
juga akan memberikan penghargaan bagi negara-negara yang mengembangkan
reputasi baik di dalam mengikuti peraturan yang berlaku dan menghukum negara
yang memiliki reputasi sebagai pelaku kecurangan. 29
Kedua, peraturan juga dapat menciptakan ikatan bersama di antara negara
dalam berbagai bidang isu yang berbeda. Tujuan bersama yang dikaitkan dengan
sebuah isu akan menciptakan interdependensi yang lebih besar di antara negara
yang mana kemudian akan membuat mereka menjadi lebih enggan untuk berbuat
curang dalam bidang isu tersebut dikarenakan rasa khawatir bahwa pihak korban
dan kemungkinan juga negara lainnya akan membalas di dalam bidang isu
lainnya. Dengan kata lain, ikatan yang tercipta melalui tujuan bersama dalam
bidang isu ini juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya kecurangan melalui
metode yang sama seperti pertemuan berulang yang dijabarkan sebelumnya.
Tujuan bersama ini meningkatkan resiko dari tindakan kecurangan dan
menyediakan sebuah metode bagi para korbannya untuk membalas tindakan si
pelaku kecurangan. 30
Ketiga, serangkaian peraturan yang terstruktur juga dapat meningkatkan
jumlah informasi yang tersedia bagi para partisipan dalam perjanjian kerja sama
agar dimungkinkannya sebuah pengawasan yang ketat. Informasi yang dapat
didistribusikan ini antara lain misalnya informasi mengenai biaya pengeluaran
militer atau pun kapasitas para negara partisipan dari segi lainnya. Kemampuan
untuk berbagi informasi ini justru akan semakin berharga bagi sebuah negara yang
menurut para realis cenderung berfokus pada ide relative gain. 31 Peningkatan
29
Op. Cit., Mearheimer, halaman 18 Ibid., Mearheimer, halaman 18 31
Op. Cit., Keohane dan Martin, halaman 46. 30
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
15 level informasi ini akan memperkecil kemungkinan kecurangan melalui dua cara:
(1) hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa para pelaku kecurangan akan
ditangkap, dan yang lebih penting (2) hal ini juga akan memberikan peringatan
awal atas tanda-tanda kecurangan sehingga memungkinkan para calon korban
untuk mengambil langkah pencegahan sebelum mereka mendapatkan hasil yang
negatif. 32
Keempat, peraturan dapat mengurangi biaya transaksi dari perjanjian yang
dilakukan secara individual. Ketika sebuah institusi melakukan tugas seperti yang
dideskripsikan di atas, negara-negara dapat mendedikasikan upaya yang lebih
sedikit untuk menegosiasikan dan memonitor perjanjian kerja sama, dan
menghindar dari kemungkinan terjadinya pelanggaran. Dengan meningkatkan
efisiensi dari kerja sama internasional, institusi yang ada akan menjadi lebih
menguntungkan dan oeh karena itu menjadi lebih menarik bagi para negara yang
mengutamakan kepentingan mereka masing-masing. 33
1.3.3 Analisis Jaringan Sosial (Social Network Analysis)
Jaringan sosial merupakan struktur sosial yang dibentuk dari individuindividu atau organisasi-organisasi yang disebut dengan ”nodes” dan terikat atau
terhubungkan dengan satu tipe interdependensi atau lebih, misalnya saja
persahabatan, kekeluargaan, kepentingan yang sama (common interest),
pertukaran finansial, ketidaksukaan, hubungan seksual, pengetahuan, atau
prestise.
Untuk mengkaji secara lebih mendalam mengenai jaringan sosial—
termasuk juga yang berbentuk organisasi seperti NGO dan sebagainya—maka
dipakailah apa yang disebut dengan Analisis Jaringan Sosial (Social Network
Analysis). Konsep ini memandang hubungan sosial dalam konteks “teori jaringan”
atau network theory yang terdiri dari nodes dan ties (ikatan-ikatan). Nodes
dijelaskan sebagai individu-individu aktor di dalam jaringan-jaringan, dan ties
32
33
Ibid., Mearheimer, halaman 18 Ibid., Mearheimer, halaman 18 Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
16 merupakan hubungan di antara aktor-aktor tersebut. Apabila kita mencoba
menggambarkannya dalam sebuah grafik, maka kita akan menemukan struktur
grafik yang seringkali sangat kompleks. Ini karena bisa saja banyak sekali bentukbentuk ties di antara nodes tersebut. Penelitian dalam beberapa ranah akademis
telah membuktikan bahwa jaringan sosial bisa beroperasi pada level-level yang
berbeda, dari ruang lingkup keluarga hingga level suatu bangsa dan memainkan
peran yang kritis dalam menentukan cara-cara suatu masalah dapat diselesaikan,
organisasi dijalankan, dan sejauh mana suatu individu bisa sukses dalam meraih
tujuan-tujuan mereka.
Dalam bentuk yang paling sederhana, suatu jaringan sosial merupakan
peta dari ties yang spesifik, misalnya saja persahabatan, antara nodes yang
dipelajari. Nodes yang mana suatu individu dapat terkoneksi merupakan kontak
sosial dari individu tersebut. Jaringan juga dapat dipakai untuk mengukur social
capital atau nilai yang suatu individu dapatkan dari jaringan sosial tersebut.
Konsep-konsep ini sering digambarkan dalam suatu diagram jaringan sosial, di
mana nodes merupakan poin-poin dan ties merupakan garis-garis. 34
Seperti yang telah dijelaskan di atas, Analisis Jaringan Sosial juga dapat
dipakai untuk memeriksa bagaimana organisasi-organisasi—termasuk pula
NGO—berinteraksi satu sama lain dan membentuk karakteristik banyaknya
koneksi informal yang menghubungkan para eksekutif bersama-sama, dan juga
asosiasi-asosiasi serta koneksi-koneksi antara pekerja individual dalam organisasi
yang berbeda. Jaringan menyediakan cara-cara bagi perusahaan maupun
organisasi untuk mengumpulkan informasi, menghalangi kompetisi, dan berkolusi
dalam menentukan suatu harga atau kebijakan. 35
Analisis Jaringan Sosial bukanlah sebuah teori, melainkan sekumpulan
pendekatan, teknik, dan alat-alat untuk mendeskripsikan dan menganalisis
hubungan di antara individu-individu, organisasi, dan unit-unit sosial lainnya. Apa
yang menyatukan pendekatan yang berbeda tersebut ialah fokus dasar pada
struktur. Dengan kata lain, Analisis Jaringan Sosial mengukur realitas sosial tidak
34
Linton Freeman, The Development of Social Network Analysis, (Vancouver: Empirical Press,
2006).
35
Stanley Wasserman dan Katherine Faust, Social Network Analysis: Methods and Applications,
(Cambridge: Cambridge University Press, 1994).
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
17 melalui referensi terhadap atribut individu, melainkan pada hubungan sosial, polapola yang terbentuk, dan implikasinya terhadap pilihan dan perilaku. Bagi
Analisis Jaringan Sosial, penting untuk mengetahui bagaimana orang atau
organisasi dapat terkoneksi dan berhubungan satu sama lain dan pola struktural
apa yang muncul dari interconnectedness semacam itu. Interconnectedness inilah
yang menjadi fokus pada Analisis Jaringan Sosial, dan bukan pada atribut. 36
Pada dasarnya, Analisis Jaringan Sosial merupakan cara yang dipakai
untuk menemukan cara terbaik untuk mengurangi kompeksitas interaksi sosial
menjadi pola-pola yang lebih sederhana dan menemukan platform observasi yang
benar. Analisis Jaringan Sosial telah mengembangkan lima prinsip dasar atau
lensa konseptual-metodologis yang dapat terangkum di bawah dua heading utama:
1) single-mode networks, dan 2) hyper-networks. 37
Single-mode networks bisa jadi merupakan inti dari kebanyakan Analisis
Jaringan Sosial dan menekankan pada hubungan di antara nodes melalui dua
prinsip yang keduanya mengomplementasikan satu dengan yang lainnya, yaitu: 38
a) Cohesion yang menekankan interconnectedness dari hubungan sosial dan
tendensinya untuk membentuk kemungkinan meningkatkan intensitas
hubungan yang tercipta;
b) Equivalence yang menekankan sejauh mana anggota-anggota dari sebah
jaringan memiliki hubungan yang mirip dengan yang lainnya
Di sisi lain, hyper-networks atau two-mode networks merupakan kasus lain
yang lebih kompleks. Meskipun begitu, hyper-networks dapat membantu kita
untuk mendeduksikan ties melalui partisipasi koinsidental di dalam kelompok atau
acara. Ini muncul karena adanya partisipasi aktor-aktor yang overlapping dalam
entitas tertentu, misalnya saja board of directors atau pada acara-acara konferensi
atau demonstrasi. Apabila kita membayangkan hyper-network sebagai matriks,
maka kita dapat membayangkan daftar pertemuan sebagai kolom dan aktor-aktor
yang hadir sebagai baris. Kita bisa mengobservasi aktor tertentu mana yang
36
Helmut K. Anheier dan Hagai Katz, “Network Approaches to Global Civil”, dalam Mary
Kaldor, Helmut Anheier, dan Marlis Glasius (eds), Global Civil Society, (Oxford: Oxford
University Press, 2003), hlm.207
37
Anheier dan Katz, Ibid., hlm.208-210.
38
Loc. Cit., Hemut K. Anheir. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
18 menghadiri pertemuan tertentu atau pertemuan tertentu mana yang dihadiri oleh
aktor tertentu. Ini akan menciptakan apa yang disebut dengan ”dual networks”.
Contoh seperti ini bisa terlihat misalnya saja pada keanggotaan organisasional
dalam organisasi payung (umbrella organisations).
Hal lainnya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan ialah data
jaringan (network data). Ini bisa didapat melalui survei atau wawancara. Aktoraktor yang berpartisipasi dalam jarangan ditanya mengenai koneksinya dengan
aktor lainnya dan juga mengenai konten dan efek dari koneksi tersebut. Analisis
Jaringan Sosial menempatkan bebas spesial terhadap pengumpulan data karena
biasanya mensyaratkan data dalam jaringan yang lengkap dikumpulkan meskipun
batasan-batasan dari satu jaringan sulit untuk diketahui. 39
Masuk ke dalam pembahasan singkat mengenai NGO dan networking
yang dilakukannya yang akan dijelaskan secara lebih lanjut pada bagian analisis.
Pada era 1990-an, pada dasarnya partisipasi NGO telah meluas ke dalam
konferensi resmi dan paralel forum sejauh NGO tersebut terbagi ke dalam
prosedur yang harus diikutinya: lobbying atau networking. Mereka yang berfokus
pada lobbying biasanya benar-benar ikut dalam konferensi resmi atau berkoarkoar di sepanjang hallway di mana mereka cenderung dieksklusikan. Oleh karena
itu biasanya NGO lebih tertarik di ranah networking di mana mereka bisa
memanfaatkan fertile ground bagi pertukaran NGO yang disediakan forum. Selain
usaha untuh memengaruhi mereka yang memegang posisi resmi, strategi yang
berbeda dan seringkali komplementer ini berlangsung pada forum NGO paralel
yang
bisa
dirangkum
sebagai
diskusi
kebijakan
NGO-to-NGO
yang
disuplementasi dengan informal networking. Namun begitu secara umum lobbying
dan networking reportoir interdependen satu sama lain, meskipun bukan berarti
selalu harmonis. 40
39
Anheier dan Katz, Ibid., hlm.210.
Ann M. Clark, Elisabeth J. Friedman, dan Kathryn Hochstetler, “The Sovereign Limits of
Global Civil Society: A Comparison of NGO Participation in UN World Conferences on
Environment, Human Rights, and Women, dalam World Politics, 51.1, (John Hopkins University
Press, 1998), hlm 5-9.
40
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
19 1.4 Metodologi
Tulisan ini secara keseluruhan menggunakan metode positivis dengan
pendekatan triangulasi. Hal ini dikarenakan tulisan ini menggunakan data-data
kualitatif dan kuantitatif namun dalam melakukan pengambilan kesimpulan
digunakan metode kualitatif yang kemudian diikuti dengan komparasi kesimpulan
antara paradigma yang digunakan dalam tulisan ini.
Metode kuantitatif tidk digunakan dalam tulisan ini karena setiap teori
tidak dikeluarkan menjadi variabel pengukur yang ketat. Pembahasan paradigma
dalam tulisan ini dilakukan secara general, tidak mendetail, sehingga tidak
menggunakan operasionalisasi variabel yang mendalam.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
20 BAB 2
Krisis Finansial Global AS
Krisis Finansial Global AS merupakan krisis finansial terbesar yang terjadi
setelah Great Depression pada periode 1929 hingga 1930an. Krisis ini bermula
dari kasus kredit hipotek rumah macet di AS (subprime mortgage) yang diubah
menjadi produk finansial yang diperjualbelikan di berbagai pasar investasi dunia.
Krisis ini tidak hanya memberikan dampak yang signifikan terhadap
perekonomian AS tetapi juga terhadap perkekonomian global. Oleh karena itu
pada tulisan ini, penulis akan berupaya untuk menganalisis fenomena ini dari tiga
paradigma utama dalam hubungan internasional sehingga dapat dilihat pengaruh
yang ditimbulkan oleh krisis ini terhadap berbagai aktor utama yang umumnya
terlibat dalam dinamika hubungan internasional. Dan pada bab ini, penulis akan
mendeskripsikan terlebih dahulu, beberapa penyebab utama yang menyebabkan
terjadinya krisis finansial global ini.
2.1 Krisis Subprime Mortgage
Krisis Subprime Mortgage (krisis kredit hipotek rumah subprime)
merupakan krisis yang terjadi dikarenakan sistem pembayaran kredit cicilan
rumah di AS yang tidak lagi menggunakan metode tradisional yang seharusnya.
Secara tradisional, bank-bank membiayai peminjaman kredit hipotek rumah
mereka melalui setoran dana yang mereka terima dari nasabah mereka. Namun
sayangnya sistem tradisional ini telah membatasi bank-bank dalam hal jumlah
pinjaman kredit hipotek rumah yang dapat mereka berikan. Pada beberapa tahun
terakhir, banyak bank yang telah mengubah sistem pembiayaan pemberian kredit
hipotek rumah ini ke sebuah model baru (model subprime) di mana mereka
menjual kredit hipotek rumah mereka ke dalam pasar saham. Hal ini
mempermudah mereka untuk memberikan tambahan pinjaman kredit hipotek
rumah. Sayangnya model baru ini membuat mereka untuk tidak lagi memiliki
insentif di dalam mengecek secara teliti kredit hipotek rumah yang akan mereka
berikan (seperti misalnya dari segi kemampuan membayar cicilan si pengaju
20 Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
21 kredit). Perbedaan antara model tradisional dengan subprime yang digunakan
bank untuk membiayai kredit hipotek rumah dapat dilihaat dari bagan berikut. 41
Bagan 2.1 Perbandingan Model Pembiayaan Bank terhadap Kredit Hipotek
Rumah
Sumber: BBC, http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm
Penawaran subprime mortgage ini sangat dimungkinkan karena lima tahun
terakhir menjelang krisis subprime mortgage, pihak swasta telah meluaskan
perannya di dalam pasar saham mortgage secara dramatis, sektor yang
sebelumnya didominasi oleh agensi pemerintah seperti Freddie Mac. Pihak swasta
ini berspesialisasi di dalam jenis mortgage yang baru, seperti peminjaman dengan
mekanisme subprime, yang ditawarkan kepada para peminjam dengan catatan
kredit dan pendapatan yang jelek, yang sebelumnya ditolak oleh agensi peminjam
pemerintah seperti Freddie Mac. Selain itu, pihak swasta ini juga meningkatkan
limit pinjaman kredit hipotek rumah sebanyak lebih kurang 417.000 dolar AS
(peningkatan limit pinjaman ini disebut sebagai jumbo mortgage. Bisnis ini
terbukti menguntungkan bagi bank yang mendapatkan biaya komisi dari setiap
kredit hipotek rumah yagn berhasil mereka jual. Bahkan pihak bank mendesak
41
___, “The Downturn in Facts and Figures”, dalam BBC (21 November 2007), diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm pada 22 Juni 2012 pukul 02.51.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
22 para broker mortgage ini untuk menjual lebih banyak jenis kredit hipotek rumah
suprime ini. Sebagai akibatnya, pasar saham mortgage ini pada akhirnya bernilai
sebesar 6 triliun dolar AS dan merupakan bagian terbesar dari seluruh pasar
saham AS yang bernilai sebesar 27 triliun dolar AS, jumlah yang bahkan lebih
besar dari nilai saham Departemen Keuangan AS. 42
Grafik 2.1 Nilai Saham Pasar Modal AS Tahun 2007 (Kuarter Kedua)
Sumber: Federal Reserve; Bank of England; SIFMA, http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm
Pada tahun 2005, satu di antara lima kredit hipotek rumah yang terdapat di
AS merupakan jenis subprime, dan jenis kredit hipotek rumah ini sangat popular
terutama di kalangan para imigran yang berupaya untuk membeli rumah untuk
pertama kalinya di daerah pasar perumahan yang sedang ‘hangat’ seperti wilayah
selatan California, Arizona, Nevada, dan daerah pinggiran Washington DC serta
New York City. Akan tetapi, jenis kredit hipotek rumah ini memiliki tingkat
penyitaan rumah yang lebih tinggi dibandingkan jenis yang tradisional
dikarenakan suku bunga yang dikenakan merupakan adjustable rate mortgages
(ARMs); yang mana memang lebih rendah daripada tingkat suku dari pemerintah
tetapi hanya berlaku untuk periode 2 tahun dan selanjutnya tingkat suku bunganya
akan menjadi lebih tinggi dan sangat bergantung pada tingkat suku bunga dari
pemerintah. Akibatnya, gelombang penyitaan rumah melanda AS mengingat
42
Ibid., “The Downturn in Facts and Figures”. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
23 kebanyakan dari tingkat suku bunga yang dikenakan bagi para pencicil kredit
hipotek rumah meningkat dalam kurun waktu dua tahun berikutnya. 43
Gelombang penyitaan rumah ini berdampak dramatis terhadap harga
rumah, dan bahkan membalikkan ledakan pasar rumah yang terjadi pada beberapa
tahun terakhir sebelum terjadinya krisis subprime mortgage menjadi terjadinya
penurunan harga rumah nasional di AS sejak periode 1930an. Pengajuan
penyitaan rumah telah meningkat sebesar 75% pada 2007 di antara menurunnya
nilai rumah dan kredit yang lebih ketat. Bank dan institusi peminjam lainnya
melaporkan pengajuan penyitaan rumah senilai 2,2 juta US dollar selama 2007,
yang mana merupakan representasi dari 1% atas semua rumah tangga di AS,
meningkat sebesar 0,58% pada tahun 2006. Kegiatan penyitaan ini diperkirakan
akan semakin meningkat lagi ke depannya. 44 Di samping itu, terdapat lebih
kurang empat juta rumah yang tidak terjual dalam keadaan harga anjlok seraya
para pembangun rumah juga dipaksa untuk menurunkan harga rumah dalam
rangka menyingkirkan properti yang belum terjual di pasaran.45
Dampak krisis subprime mortgage terhadap perekonomian AS dapat
dilihat dari tiga sektor utama. Pertama, dari sektor industri perumahan yang
diperkirakan akan berkurang setengah jumlahnya, dan berakibat pada hilangnya
lebih kurang satu hingga dua juta lapangan pekerjaan. Industri perumahan
menyumbang 15% terhadap keseluruhan perekonomian AS, akan tetapi
melambatnya sektor ini juga berdampak terhadap industri lainnya seperti misalnya
industri perlengkapan rumah tangga yang mencakup perabotan maupun alat-alat
elektronik rumah tangga. Kedua, timbulnya fenomena credit crunch (keengganan
bank untuk memberikan kredit terhadap nasabahnya). Pasca terjadinya krisis
subprime mortgage, bank-bank memotong jumlah kredit yang mereka tawarkan
terhadap nasabahnya. Mereka menolak aplikasi kartu kredit dan meminta jumlah
setoran yang lebih besar bagi pembelian rumah, serta memeriksa secara lebih
detail aplikasi peminjaman untuk kepentingan pribadi. Credit crunch ini semakin
43
Ibid., “The Downturn in Facts and Figures”. Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional
Research Service, (Oktober 2009), halaman 2.
45
Op. Cit., “The Downturn in Facts and Figures”. 44
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
24 memperburuk sektor properti di AS mengingat semakin sulit bagi individu untuk
memperoleh baik kredit hipotek rumah tradisional maupun kredit hipotek rumah
subprime. Hal ini diakibatkan oleh kerugian besar yang dialami oleh banyak bank.
Pihak bank telah menyatakan kerugian sebesar 60 milyar dolar AS yang
bersumber dari saham subprime mortgage mereka. Ketiga, kejatuhan pasar saham.
Krisis subprime mortgage juga berdampak terhadap para pemegang saham
subprime yang kebanyakan menggunakan dana pension mereka untuk membeli
saham tersebut. Nilai saham subprime mortgage telah menurun secara drastis
hanya dalam jangka beberapa bulan pada awal tahun 2007 dan diperkirakan nilai
sahamnya hanya bernilai antara 20%-40% dari nilai saham awal pada saat mereka
dibeli. 46
2.2 Kejatuhan Lehman Brothers
Lehman Brothers merupakan bank investasi tertua dan terbesar keempat di
Wall Street. Bank investasi ini memiliki lebih kurang 28.000 staf yang tersebar di
60 kantor cabangnya yang berada di 28 negara. Aset yang dimiliki oleh Lehman
Brothers bernilai 600 milyar dolar AS yang terdiri atas aset dan hubungan
perdagangannya dengan institusi finansial utama lainnya. 47
Di antara periode tahun 1994 dan 2007, nilai kapitalisasi pasar Lehman
Brothers bertumbuh dari 2 milyar dolar AS menjadi 45 milyar dolar AS. Nilai
sahamnya meningkat dari 5 dolar AS menjadi 86 dolar AS, yang mana
memberikan laba tahunan rata-rata sebesar 24,6% bagi para pemegang sahamnya.
Dan pada tahun 2006, Lehman Brothers merupakan institusi yang menjadi
penanggung asuransi utama yang didukung oleh subprime mortgage. 48
46
Ibid., “The Downturn in Facts and Figures”. Stephen Foley, “Crash of a Titan: The Insisde Story of the Fall of Lehman Brothers”, dalam The
Independent
(7
September
2009),
diakses
dari
http://www.independent.co.uk/news/business/analysis-and-features/crash-of-a-titan-the-insidestory-of-the-fall-of-lehman-brothers-1782714.html pada 21 Juni 2012 pukul 23.47.
47
48
Jamie Oliver and Tony Goodwin, “The King of Subprime”, dikases dari
http://www.director.co.uk/ONLINE/2010/11_10_vince_cable_responsible_capitalism.html pada
22 Juni 2012 pukul 00.18
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
25 Lehman Brothers didirikan oleh seorang imigran Jerman bernama Henry
Lehman bersama sengan saudaranya Emanuel dan Mayer pada tahun 1850.
Awalnya, Lehman Brothers didirikan hanya sebagai sebuah supermarket kecil
yang selama beberapa dekade berikutya berkembang menjadi sebuah institusi
finansial internasional yang diperhitungkan seiring dengan berkembangnya
perekonomian AS di tingkat internasional. Lehman Brothers telah berhasil
melewati beberapa krisis utama yang terjadi di dunia seperti kebangkrutan
investasi jalan raya kereta api pada periode 1800an, Great Depression pada
periode 1930an, kedua perang dunia, krisis kekurangan modal oleh American
Express pada 1994, dan juga kejatuhan kredit Rusia pada 1998. Meskipun
Lehman Brothers memiliki kemampuan untuk selamat melewati krisis tersebut,
bank investasi ternama ini pada akhirnya mengalami kejatuhan juga setelah
strateginya untuk menjadikan pasar subprime mortgage sebagai investasi
utamanya terbukti sebagai tindakan yang terlalu beresiko. 49
Pada 15 September 2008, Lehman Brothers menyatakan dirinya pailit.
Dengan aset senilai 639 milyar dolar AS dan hutang sebesar 619 milyar dolar AS,
pernyataan pailit oleh Lehman Brothers tersebut merupakan yang terbesar dalam
sejarah, mengingat aset yang dimilikinya jauh melebihi perusahaan-perusahaan
raksasa sebelumnya yang juga menyatakan dirinya pailit seperti WorldCom dan
Enron. Kejatuhan Lehman Brothers juga menjadikannya sebagai korban terbesar
dari krisis suprime mortgage AS yang mana merupakan krisis finansial yang
melanda pasar finansial global pada tahun 2008. Kejatuhan ini juga menjadi
peristiwa yang meningkatkan dampak krisis finansial tahun 2008 dan
berkontribusi terhadap erosi dari kapitalisasi pasar yang bernilai 10 triliun dolar
AS dari pasar modal global pada Oktober 2008, yang menjadi bulan dengan
catatan penurunan tertinggi pada sejarah pasar modal global. 50
Faktor utama yang menyebabkan kejatuhan ini bermula ketika AS
mengalami ledakan pasar rumah (biasanya dikenal sebagai bubble) pada periode
49
___, “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”, diakses dari
http://www.investopedia.com/articles/economics/09/lehman-brotherscollapse.asp#axzz1yRhJLU7E pada 22 Juni 2012 pukul 00.32.
50
Ibid,. “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
26 2003-2004, Lehman Brothers langsung membeli beberapa perusahaan pemberi
kredit hipotek rumah (subprime mortgage) seperti BNC Mortgage dan Aurora
Loan Services yang berspesialisasi dalam pemberian pinjaman jenis Alt-A (jenis
pinjaman kredit yang diberikan tanpa dokumentasi yang lengkap) meskipun telah
terdengar peringatan atas tingkat resiko yagn tinggi terhadap keputusan tersebut. 51
Keputusan Lehman Brothers untuk membeli kedua perusahaan tersebut
(akuisisi) memungkinkan perusahaan ini untuk mengemas ulang pinjaman kredit
hipotek rumah (mortgage loans) ke dalam bentuk saham. ‘Saham’ ini terlihat
menjanjikan mengingat pasar rumah AS pada saat itu sedang mengalami lonjakan
yang sangat pesat. Saham ini selanjutnya diperjualbelikan ke pasar saham global
melalui Wall Street ataupun melalui hubungan kerja sama perdagangan Lehman
Brothers dengan sesama institusi investasi lainnya. 52
Akuisisi Lehman Brothers atas kedua perusahaan ini pada awalnya
terlihat menjanjikan; catatan pendapatan bisnis real estate (jual beli rumah) dalam
bentuk pasar modal meningkat tajam sebesar 56% dari 2004 hingga 2006, sebuah
tingkat pertumbuhan yang cepat dibandingkan dengan sektor bisnis lain dalam
investasi
perbankan
atau
manajemen
aset.
Perusahaan
ini
berhasil
mengasuransikan nilai mortgage sebesar 146 milyar dolar AS pada tahun 2006,
yang mana merupakan peningkatan sebesar 10% dari tahun 2005. Lehman
Brothers mencatat keuntungan setiap tahunnya dari periode 2005-2007. Pada
tahun 2007, perusahaan ini melaporkan pendapatan bersih senilai 4,2 milyar dolar
AS dari total pendapatan sebesar 19,3 milyar dolar AS. 53
Akan tetapi sayangnya, semua investasi yang menguntungkan tersebut
dibangun di atas landasar pasir yang terbukti tidak kokoh. Pada kuarter pertama
2007, keretakan pada pasar rumah AS mulai terlihat dampaknya seraya kegagalan
pada subprime mortgage telah meningkat jumlahnya hingga mencapai tujuh
angka. Seraya krisis kredit ini memuncak pada Agustus 2007 dan juga dibarengi
dengan kegagalan dari dana bendungan dari Bear Stearns, nilai saham Lehman
51
Ibid., “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. Op. Cit., Oliver dan Goodwin.. 53
Op. Cit., “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. 52
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
27 Brothers mengalami penurunan secara tajam. Pada bulan tersebut, Lehman
Brothers mengeliminasi 2.500 pekerjaan yang berhubungan dengan mortgage dan
menutup unit BNC. Sebagai tambahan, perusahaan ini juga menutup perusahaan
pemberi pinjaman Alt-A Aurora di tiga negara bagian. Meskipun demikian,
Lehman Brothers masih tetap menjadi pemain utama di balik ‘saham’ mortgage
dan meskipun nilainya sempat mengalami perbaikan pada periode akhir 2007,
fakta ini membuat perusahaan ini mengalami kerugian yang signifikan. Kegagalan
ini semakin dipastikan ketika Bear Stearns, institusi investasi terbesar kedua yang
memegang ‘saham’ mortgage jatuh pada 15 Maret 2008 dan membuat nilai
sahamnya jatuh sebesar 48%. 54
Kebangkrutan Lehman Brothers semakin dipastikan ketika pemerintah AS
menolak untuk memberikan suntikan dana (bail out) terhadap institusi investasi
raksasa ini. Keputusan pemerintah yang pada saat itu dibuat oleh Hank Paulson
(Menteri Keuangan), Ben Bernanke (Direktur Bank Nasional), dan juga Tim
Geithner (Direktur Bank Nasional New York) didasarkan pada fakta bahwa
pemerintah ingin memberikan peringatan terhadap institusi investasi dominan di
negara tersebut agar kelak tidak melakukan tindakan investasi yang terlalu
beresiko. Mereka berpendapat bahwa jika pihak pemerintah secara terus menerus
memberikan suntikan dana setiap kali perusahaan investasi raksasa ini mengalami
kegagalan maka tendensi perusahaan ini untuk melakukan tindakan investasi yang
lebih beresiko akan jauh lebih tinggi. 55
Kejatuhan Lehman Brothers menandai fase baru dalam krisis finansial
global AS. Pemerintah di seluruh dunia berjuang untuk menyelamatkan institusi
finansial utama mereka seraya kegagalan dari pasar saham perumahan (subprime
mortgage) terus memburuk. Banyak institusi finansial yang terus mengalami
masalah likuiditas serius. Hal ini telah memicu pemerintah di berbagai dunia
untuk memberikan paket stimulus yang bertujuan untuk memberikan modal awal
untuk melewati ekonomi yang sedang melambat. Presiden Obama mengusulkan
pengeluaran nasional sebesar 1 triliun dolar AS sebagai upaya untuk memulihkan
54
55
Ibid., “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”. Op. Cit., Foley. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
28 kondisi perekonomian tersebut dari krisis finansial yang sedang melanda. Selain
AS, pemerintah Australia juga melakukan hal yang serupa dengan memberikan
dana tunai langsung kepada para pembayar pajaknya dari semua tingkat usia dan
juga berfokus pada proyek infrastruktur yang berjangka panjang. Pemerintah
Australia menghabiskan 10,4 milyar dolar AS di dalam upaya pemberian paket
stimulus ini. Selain berbagai paket stimulus yang ditawarkan oleh pemerintah,
kejatuhan Lehman Brothers juga telah membuat banyak orang untuk mulai
berinvesatsi dalam emas, saham-saham dan juga mata uang dolar AS atau Euro
yang dilihat sebagai alternatif yang jauh lebih aman dibandingkan dengan pasar
saham secara umum ataupun pasar saham perumahan. 56
2.3 Struktur Finansial yang Rapuh
Dari kedua deskripsi penyebab terjadinya krisis finansial global AS di atas,
kita dapat menyimpulkan satu penyebab tambahan dari krisis tersebut. Alasan
utama mengapa krisis subprime mortgage dapat terjadi dan juga mengapa
dampaknya dapat menyebar secara cepat dalam tingkat global adalah karena tidak
adanya sistem regulasi yang memadai untuk mengatur transaksi finansial baik di
AS maupun di tingkat internasional. Dengan kata lain, struktur finansial AS
sebagai salah satu aktor dominan dalam sistem perdagangan internasional sangat
lemah karena tidak adanya sistem pengawasan yang jelas dari pemerintah
terhadap transaksi finansial yang dilakukan oleh pihak swasta finansial yang
dominan di negaranya. Hal ini terlihat dari bagaimana beberapa bank investasi
terbesar di negara tersebut seperti Lehman Brothers maupun Bear Stearns dapat
dengan gampangnya mengemas ulang kredit hipotek rumah subprime yang
beresiko tinggi menjadi produk saham yang diperjualbelikan di Wall Street
maupun di pasar saham global lainnya tanpa adanya pihak yang terlbeih dahulu
memastikan keamanan dari produk saham yang baru pertama kali diperjualbelikan
tersebut.
56
___, “Global Financial Crisis - What caused it and how the world responded”, diakses dari
http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ pada 22 Juni 2012 pukul 02.09.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
29 Fakta ini semakin diperkuat ketika para pemimpin dunia memulai
serangkaian pertemuan internasional untuk menangani perubahan kebijakan,
regulasi, pengawasan, dan pelaksanaan sistem finansial global. Beberapa pihak
menggambarkan pertemuan ini sebagai Bretton Wood II. Rangkaian pertemuan
ini dimulai dengan KTT G-20 pada 15 November 2008 di Washington DC,
dilanjutkan dengan KTT G-20 London pada 2 April 2009, dan KTT yang ketiga
dilaksanakan di Pittsburgh pada 24-25 September dengan Presiden Obama sebagai
tuan rumah. 57
Isu yang berupaya ditangani oleh AS dan negara lainnya berpusat pada
‘perbaikan sistem’ dan pencegahan krisis yang sama untuk terjadi lagi. Sebagian
besar dari kebijakan ini mencakup masalah teknis regulasi dan pengawasan
terhadap pasar finansial, serta penetapan standar bagi kecukupan modal dan
skema untuk mendanai dan melakukan intervensi finansial di masa mendatang
jika dibutuhkan. Pada KTT G-20 November 2008, para pemimpin tersebut
menyepakati Rencana Kebijakan yang memetakan rancangan kerja yang
komprehensif. 58
Sebagian besar dari detail teknis rencana kerja ini telah disesuaikan
dengan standar dari beberapa organisasi internasional. Pada KTT London, para
pemimpin G-20 menangani isu koordinasi dan pengawasan dari sistem finansial
internasional dengan mendirikan Badan Stabilitas Nasional yang baru (Financial
Stability Board atau FSB). FSB ini akan berkolaborasi dengan IMF untuk
memberikan peringatan awal dari resiko finansial dan makroekonomi dan juga
tindakan yang dibutuhkan untuk mengatasi resiko tersebut. KTT ini membiarkan
setiap negara individual untuk membentuk kembali dan sistem peraturan mereka
dalam rangka mengidentifikasi resiko sistemik dari makro prudensial tetapi
sepakat untuk meregulasi dana pembendung dan Badan Rating Kredit mereka. 59
Sedangkan bagi AS, pertanyaan utama yang timbul adalah apakah sistem
Bretton Wood harus diubah dari yang mana AS memainkan peran sebagai dinding
penopang arsitektur finansial internasional menjadi sistem di mana AS tetap
57
Loc. Cit., Nanto, halaman 15.
Ibid., Nanto, halaman 15. 59
Ibid., Nanto, halaman 15. 58
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
30 menjadi dinding penopang tetapi pasar finansialnya lebih dieropakan (pasar
finansialnya dibatasi oleh peraturan pasar finansial internasional). Apakah
arsitektur finansial internasional hanya cukup diperkuat atau harus dibarengi
dengan kontrol lebih. Dan jika memasukkan unsur kontrol lebih, kontrol tersebut
harus dilakukan oleh siapa. Dan berapa lamakah jangka waktu yang harus
diberikan bagi arsitektur perekonomian yang baru ini agar dapat diwujudkan. 60
60
Ibid., Nanto, halaman 16. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
31 BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Paradigma Realisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial
Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori
Hegemonic Stability
Tujuan utama dari sub-bab ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pandangan seorang realis di dalam melihat dampak dari krisis finansial global AS
terhadap sistem perdagangan internasional terkait dengan peran AS sebagai
hegemon. Oleh karena itu di dalam sub-bab ini, penulis terlebih dahulu akan
menguraikan sejarah singkat mengenai bagaimana AS dapat menjadi hegemon
dalam sistem perdagangan internasional. Selanjutnya, di dalam bagian analisis
teori, penulis akan menguraikan fakta yang membuktikan peran AS sebagai
hegemon dalam sistem perdagangan internasional yang dilanjutkan dengan
deskripsi mengenai bagaimana krisis finansial global AS mampu menimbulkan
kemunduran peran hegemon AS dalam sistem yang sama.
3.1.1
Sejarah Awal Mula AS Sebagai Hegemon dalam Sistem Perdagangan
Internasional
Sejarah AS sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional
bermula dari kejatuhan Inggris sebagai hegemon pada akhir abad ke-19. Pada
awalnya AS menolak untuk memikul tanggung jawab sebagai hegemon baru
dalam sistem ekonomi internasional hingga akhir Perang Dunia II. Penerimaan AS
atas perannya yang baru bisa dikatakan dimulai pada tahun 1933 ketika Menteri
Luar Negeri pada saat itu, Cordell Hull menyatakan komitmen negara adikuasa
tersebut terhadap perdagangan bebas internasional. Meskipun demikian, kesediaan
badan eksekutif AS untuk memikul tanggung jawab baru ini tetap membutuhkan
persetujuan dari badan kongresnya. Pada tahun 1934, Kongres AS meresmikan
UU Perjanjian Perdagangan Timbal Balik (Reciprocal Trade Agreements Act)
yang memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menegosiasikan perjanjian
31 Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
32 yang menyangkut penurunan bea impor/ekspor sebanyak 50%. Dengan
diberlakukannya UU ini, AS dapat memulai peran barunya sebagai hegemon
menggantikan Inggris yang memegang peran tersebut pada abad ke-19. 61
Walaupun AS pada awalnya kelihatan enggan untuk menjadi hegemon
baru menggantikan Inggris, AS muncul pada masa Perang Dunia I dengan sebuah
visi yang jelas atas sebuah tatanan internasional baru yang diinginkannya. Visi
yang disebut Rooseveltian ini (nama ini diambil dari nama Presiden Franklin
Delano Roosevelt) terdiri atas beberapa elemen. Elemen yang pertama terdiri dari
pembentukan PBB dan terutama Dewan Keamanan (termasuk lima anggota
tetapnya)
yang
akan
bertanggung
jawab
untuk
menjamin
perdamaian
internasional. Sebagai tambahan terhadap visi tersebut, Konferensi Bretton Woods
(1944) juga mengusulkan dibentuknya sekumpulan institusi ekonomi baru yang
mencakup International Monetary Fund (IMF), International Bank for
Reconstruction and Development (World Bank), dan International Trade
Organization yang akan bertanggung jawab untuk memajukan dan mengurus
administrasi dari sebuah sistem ekonomi terbuka internasional yang multilateral.
Dari ketiga institusi tersebut, International Trade Organization pada akhirnya
ditolak oleh Kongres AS karena hal tersebut dianggap akan terlalu mencampuri
kebijakan ekonomi domestik. Sebagai gantinya, AS dan mitra kerja sama
ekonominya mendirikan General Agreement on Tariff and Trade (GATT – saat
ini dikenal sebagai WTO) sebagai sebuah forum negosiasi dan bukan sebagai
sebuah institusi internasional yang lengkap. Tatanan internasional pasca perang
didasarkan pada Piagam Atlantik dan prinsip Four Freedoms (sekarang ini
dikenal sebagai HAM) yang dibentuk oleh AS dan sekutu perangnya. Melalui
tatanan baru ini, para negara pemenang Perang Dunia I tersebut berharap mereka
akan
dapat
membangun
sebuah
dunia
yang
damai,
makmur,
dan
61
Arthur A. Stein, “The Hegemon’s Dilemma; Great Britain, the United States, and the
International Economic Order”, dalam International Organization, Vol. 38, No. 2, (Spring, 1984),
halaman 376-377.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
33 berperikemanusiaan, yang mana merupakan unsur-unsur yang hilang pada masa
pasca Perang Dunia I. 62
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kerangka institusi ekonomi
internasional pasca perang diprakarsai pada Konferensi Bretton Woods pada tahun
1944. Kerangka yang pada akhirnya dikenal sebagai Bretton Woods System
(BWS) ini pada dasarnya merupakan prestasi oleh AS dan Inggris dan
merefleksikan pemikiran tokoh ekonomi seperti Harry Dexter White dan John
Maynard Keynes. Walaupun terdapat beberapa perselisihan pendapat di antara
para negosiator AS dan Inggris, konferensi ini berhasil merangkum dua tujuan
utama. Tujuan pertama dari konferensi ini adalah untuk memformulasikan
prinsip-prinsip yang akan dimasukkan ke dalam institusi yang membentuk BWS
yaitu IMF, World Bank, dan GATT. Prinsip-prinsip tersebut mencakup: (1)
komitmen terhadap perdagangan bebas melalui negosiasi multilateral dan prinsip
non diskriminasi, (2) perjanjian bahwa transaksi keuangan yang sekarang akan
bebas dari kontrol terkecuali kontrol atas modal, dan (3) perjanjian bahwa nilai
tukar harus ditetapkan dan bahwa penyesuaian terhadap nilai tukar tersebut harus
diketahui oleh semua pihak. Tujuan kedua dari konferensi ini adalah untuk
memungkinkan pihak pemerintah yang tergabung dalam BWS untuk menerapkan
kebijakan stabilisasi Keynesian dan kesejahteraan sosial. Dan oleh karena itu
setiap negara akan diberikan kebebasan (dalam batas yang telah ditetapkan) untuk
menerapkan kebijakan pertumbuhan ekonomi dan tenaga kerja semaksimal
mungkin.
Prinsip-prinsip
fundamental
dan
institusi
internasional
yang
menerapkannya telah menciptakan kerangka ekonomi internasional yang
kemudian berkembang pada masa pasca perang. 63
Pada tahun-tahun berikutnya, BWS telah dimodifikasi secara signifikan
untuk merespon realita ekonomi dan politik yang dimulai langsung setelah Perang
62
Robert Gilpin, “The Rise of American Hegemony”, dalam Two Hegemonies:Britain 1846-1914
and the United States 1941-2001 diedit oleh Patrick Karl O’Brien dan Armand Clesse (Aldershot:
Ashgate Publishing, Ltd., 2002), halaman 165-182 yang diakses dari
http://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/gilpin.htm pada 1 Mei 2012 pukul 21.14, halaman 3.
63
Ibid., Gilpin, halaman 7. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
34 Dunia II berakhir. Ekonomi Jepang dan Eropa yang lesu, problem ‘kekurangan
dolar’, dan terutama keadaan darurat pada periode Perang Dingin yang membawa
perubahan signifikan terhadap sistem yang pada awalnya dibentuk. Dalam rangka
untuk membentuk sistem aliansi melawan Uni Soviet, AS berbalik dari posisi
awalnya pada beberapa isu ekonomi internasional dan mengambil peran
pemimpin (hegemon) yang tegas di dalam upayanya untuk membentuk sistem
ekonomi pasca perang. Kemunculan tatanan ekonomi internasional pasca perang
tidak dapat dipahami tanpa mengakui adanya kebutuhan akan kerja sama untuk
mencari sekutu melawan Uni Soviet. 64
Untuk menjalankan perannya sebagai sebuah hegemon, AS yang pada
masa tersebut merupakan negara kreditor terpenting di dunia, menggunakan
cadangan devisanya, terutama melalui Marshall Plan, untuk memfasilitasi upaya
pembangunan kembali ekonomi Eropa Barat sebagai penyangga untuk melawan
ekspansi Uni Soviet. Sebagai persyaratan untuk menerima bantuan AS ini,
pemerintah Eropa Barat diwajibkan untuk menghilangkan rintangan perdagangan
di dalam Eropa dan untuk bekerja sama serta mengkoordinasikan rencana
ekonomi mereka melalui Organization for European Economic Cooperation
(OECC). Eropa Barat juga dianjurkan untuk menjalankan reformasi ekonomi
domestik termasuk upaya untuk mengadopsi teknik manajemen dan manufaktur
AS yang lebih produktif. Dalam rangka mengembangkan proses integrasi Eropa
ini, AS bahkan memberikan toleransi terhadap diskriminasi Eropa terhadap ekspor
produk pertanian dan industrinya. Selain bantuan ke Eropa, AS juga memberikan
bantuan ekonomi kepada Jepang untuk membangun ekonominya dan kemudian
mengintegrasikan sistem ekonomi negara tersebut ke dalam sistem Barat. Oleh
karena faktor inilah, selama masa Perang Dingin, tatanan ekonomi dan keamanan
internasional pasca perang menjadi lebih bergantung satu dengan yang lainnya. 65
Inti dari BWS yang telah dimodifikasi ini terdiri dari dua rejim
internasional yang mengemban peran penting pada masa awal kesuksesan sistem
ekonomi internasional. Rejim pertama, International Monetary Fund (IMF)
64
Ibid., Gilpin, halaman 8. Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century,
(Princeton: Princeton University Press, 2000), halaman xii, 373.
65
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
35 memiliki kewajiban resmi untuk mengatur sistem moneter internasional agar tetap
didasarkan pada sistem nilai tukar tetap yang dapat disesuaikan. Meskipun pada
kenyataannya AS menggunakan sumber daya ekonomi dan pengaruh politiknya
untuk memastikan kesuksesan awal dari sistem moneter tersebut. Rejim yang
kedua adalah General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang memiliki
kewajiban utama untuk mengatur sistem perdagangan internasional. Kewajiban ini
tersebar di antara sejumlah negara dan seraya jumlah negara yang terlibat di
dalamnya semakin bertambah, rejim perdagangan ini menjadi semakin susah
untuk mencapai kesepakatan. 66
3.1.2
Analisis Krisis Finansial Global AS terhadap Perannya sebagai
Hegemon dalam Sistem Perdagangan Bebas
3.1.2.1 Hegemoni AS dalam Sistem Perdagangan Internasional
Menurut teori stabilitas hegemoni, konsep hegemoni mengacu kepada
sebuah negara hegemon yang mampu untuk menggunakan kekuatannya atas
negara lain di dalam sebuah sistem internasional. Gilpin berpendapat bahwa
terdapat dua dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur kekuatan sebuah
hegemon yaitu: kekuatan politik dan militer serta efisiensi ekonomi. Selain itu,
teori ini juga percaya bahwa sebuah hegemon akan mampu menciptakan sebuah
sistem perdagangan liberal.
Sesuai dengan kriteria tersebut, bagian ini akan berupaya untuk mengkaji
mengapa AS dapat dikategorikan sebagai sebuah hegemon dalam sistem
perdagangan internasional. Bagian ini akan berupaya untuk mengkaji hal tersebut
dengan melihat posisi AS dalam insitusi perdagangan internasional seperti IMF
dan Bank Dunia (dimensi kekuatan politik dan militer) serta peran dolar AS
sebagai mata uang internasional yang dominan (dimensi efisiensi ekonomi).
(a) IMF dan Bank Dunia
66
Loc. Cit., Gilpin, halaman 8. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
36 Secara umum, AS dapat dikatakan menempati posisi yang spesial di dalam
IMF dan Bank Dunia. Ketika kedua institusi tersebut dibentuk, struktur mereka,
lokasi, dan mandat yang ditetapkan bagi keduanya sebagian besar ditentukan oleh
AS. 67 AS memiliki lebih dari sepertiga kekuatan voting di setiap institusi.68 Selain
itu, tidak ada penarikan dana dari IMF yang dapat dicairkan sebelum mendapat
persetujuan yang jelas dari AS. 69 Beberapa fakta ini menunjukkan bahwa AS pada
dasarnya telah diatur agar dapat memainkan peran yang dominan di kedua
institusi tersebut.
Akan tetapi, untuk menganalisis secara lebih detail pengaruh dominasi AS
di kedua institusi tersebut, kita dapat melihatnya dari empat karakter utama.
Pertama, bagaimana sistem pendanaan kedua institusi tersebut. Kedua, seberapa
besar pengaruh AS di dalam proses pengambilan keputusan atas pemberian
pinjaman dari kedua institusi tersebut. Ketiga, pengaruh AS terhadap pengaturan
staf dan manajemen kedua institusi tersebut. Dan yang terakhir adalah bagaimana
sistem representasi dan juga pembentukan mandat dari kedua institusi tersebut.
Pertama, faktor pendanaan IMF dan Bank Dunia. Tidak seperti PBB,
kedua institusi internasional ini tidak menggantungkan pendanaan mereka dari
biaya keanggotaan tahunan. Oleh karena itu, suntikan dana dari AS terhadap
kedua institusi tersebut merupakan sebuah hal yang substansial bagi
keberlangsungan mereka dan itulah sebabnya AS secara tidak langsung memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap kedua institusi tersebut. Di IMF, AS
memberikan kontribusi dana sebesar 17,67% yang mana menjadikannya sebagai
sumber utama pembiayaan institusi ini dan juga kemampuan voting sebesar
17,33% yang memungkinkannya untuk mendapatkan hak veto terhadap
kebijakan-kebijakan utama yang dihasilkan oleh IMF. Sebagai tambahan, setiap 5
tahun sekali, IMF akan mengadakan tinjauan kembali terhadap kuota kontribusi
dana yang telah diberikan. Hal ini memungkinkan pihak Kongres AS untuk
terlibat secara jauh di dalam IMF mengingat keputusan mengenai apakah AS akan
67
Richard Garner, Sterling-Dollar Diplomacy, (New York: Columbia University Press, 1980).
Joseph Gold, Voting and Decisions in the International Monetary Fund, (Washington DC: IMF,
1972), halaman 238.
69
Brian Tew, International Monetary Cooperation, 1945 – 70, (London: Hutchinson, 1970).
68
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
37 meningkatkan kontribusi dananya harus mendapat persetujuan dari Kongres
terlebih dahulu. Ini terbukti dari pembentukan Komisi Meltzer yang bertugas
untuk memberikan rekomendasi mengenai kebijakan yang akan diambil AS
terhadap IMF. 70 Halnya tidak jauh berbeda di World Bank di mana AS juga
merupakan kontributor dana utama di kedua badan Bank Dunia yaitu IBRD dan
IDA. Di dalam IBRD, AS menyumbang sebesar 16.98% saham modal yang
kemudian digunakan oleh IBRD untuk menggalang dana di dalam pasar finansial.
Kontribusi ini memberikan 16,52% voting yang mana juga memberikan AS hak
untuk memveto keputusan-keputusan utama yang telah disepakati oleh anggota
institusi ini secara mayoritas. Sebagai tambahan, AS juga menyumbangkan dana
sebesar 20,86% terhadap IDA, badan yang berfungsi untuk memberikan dana
pinjaman terhadap negara-negara berkembang yang miskin. Pengaruh kekuatan
politik yang diperoleh AS menjadi signifikan melalui sumbangan ini mengingat
pada akhir 1970, AS pernah mengancam untuk tidak lagi memberikan sumbangan
terhadap IDA jika dana yang disalurkan diberikan ke Vietnam. 71
Kedua, pengaruh AS di dalam proses pengambilan keputusan atas
pemberian pinjaman dari kedua institusi tersebut. Secara teori, AS harus netral
secara politik ketika memberikan masukan bagi IMF dan Bank Dunia terkait
pihak yang akan diberikan pinjaman. Dalam kasus IMF, faktor utama yang
seharusnya menjadi bahan pertimbangan adalah jumlah hutang yang dimiliki oleh
sebuah negara dan juga tingkat kepentingan strategis dan ekonomi negara tersebut
bagi AS dan negara-negara pemegang saham utama lainnya. Namun pada
kenyataannya, berdasarkan data historis pinjaman oleh IMF, negara-negara yang
seringkali diberikan pinjaman oleh IMF adalah negara-negara yang memiliki
kedekatan politik atau menjadi target politik AS. Hal ini dianalisis oleh Strom
Thacker yang menggunakan dua hipotesis untuk menguji fakta ini yakni hipotesis
‘kedekatan politik’ (political proximity) dan ‘pergerakan politik’ (political
70
Ngaire Woods, “The United States and International Financial Institutions: Power and Influence
within the World Bank and the IMF”, diakses dari
www.globaleconomicgovernance.org/wp.../US%20and%20IFIs.pdf pada 19 Juni 2012 pukul
06.06, halaman 6-8.
71
Ibid., Woods, halaman 8-9. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
38 movement) yang dibasiskan pada pola voting yang dilakukan oleh IMF. 72 Hal
yang sama juga terjadi di dalam Bank Dunia, di mana pada masa Perang Dingin,
institusi ini menjadi salah satu alat politik yang penting bagi AS di dalam
mencegah penyebaran pengaruh Uni Soviet. Misalnya, pada tahun 1944, AS
menggunakan Bank Dunia sebagi penyalur dana Marshall Plan yang
diperuntukkan bagi negara Eropa Barat. Kemudian pada tahun 1948, ketika
Yugolaviabaru pecah dari Uni Soviet, AS dengan segera memberikan pinjaman
dana bagi negara tersebut melalui Bank Dunia. 73
Ketiga, pengaruh AS terhadap pengaturan staf dan manajemen kedua
institusi tersebut. Berbeda halnya dengan institusi multilateral lainnya seperti
PBB, IMF dan Bank Dunia tidak menetapkan kuota kewarganegaraan yang akan
memastikan representasi adil baik secara formal di dalam dewan pemerintahannya
maupun secara informal di dalam urusan staf yang direkrut. Selain itu, persyaratan
untuk bekerja dengan menggunakan beberapa bahasa berbeda juga tidak ada. Hal
ini pada akhirnya mengarah pada fakta bahwa sebagian besar staf baik di tingkat
senior maupun junior yang dipekerjakan di kedua institusi tersebut umumnya
berasal dari negara-negara berbahasa Inggris dengan mayoritas berasal dari AS
dan Inggris. Tindakan diskriminasi ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa
penunjukan anggota staf senior di kedua institusi tersebut harus selalu merupakan
kandidat yang paling disukai oleh AS. Hal ini terbukti dalam kasus penunjukan
Presiden Bank Dunia dan juga Direktur IMF yang hingga saat ini tetap berasal
dari AS walaupun kandidatnya ditunjuk oleh negara Eropa Barat. Tindakan
dominasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa setiap proses pengambilan
keputusan yang dilakukan di dalam kedua institusi tersebut menggunakan sistem
ekonomi dari AS sehingga dominasi AS di sistem finansial internasional akan
selalu tetap dapat dipertahankan. 74
Keempat, bagaimana sistem representasi dan juga pembentukan mandat
dari kedua institusi tersebut. Dari segi representasi dan pembentukan mandat, AS
72
Strom Thacker, “The High Politics of IMF Lending”, dalam World Politics, Vol. 52, No.1,
(1999), halaman 58 dan 64.
73
Loc. Cit., Woods, halaman 12. 74
Ibid., Woods, halaman 16-17. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
39 bukan hanya memiliki pengaruh yang substansial dikarenakan oleh persentase
voting dan hak veto yang dimilikinya. Pengaruh AS di dalam kedua institusi
tersebut juga semakin diperkuat oleh fakta bagaimana perwakilan pejabat tinggi
yang mewakili AS di IMF jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan
perwakilan dari negara lainnya. Misalnya di IMF, ketika negara lain hanya
memiliki satu atau dua pejabat tinggi sebagai perwakilan, AS memiliki lebih
kurang 36 orang yang secara rutin akan terlibat dalam proses pemberian saran
maupun pemikiran strategi IMF secara keseluruhan. Sebagai tambahan, juga
terdapat Wakil Asisten Departemen Keuangan yang fokus utamanya adalah untuk
mengatur kinerja IMF agar disesuaikan dengan kebijakan dari Departemen
Keuangan AS. Dari penjelasan ini, kita dapat melihat bagaimana AS akan selalu
mendominasi proses pembentukan mandat di IMF dan Bank Dunia. 75
(b) Dolar AS sebagai Mata Uang Internasional
Salah satu faktor utama yang mendorong peran AS sebagai hegemon
dalam sistem perdagangan internasional adalah karena peran dolar AS sebagai
mata uang internasional yang dominan. Pada beberapa dekade terakhir sejak
kejatuhan Inggris sebagai hegemon, dolar AS menjadi mata uang yang paling
banyak digunakan baik dalam perdagangan, investasi, maupun cadangan devisa
oleh negara lain. Menurut data IMF, pada kurun waktu 2002-2003, dolar AS
digunakan sebesar 66% dari total cadangan devisa dunia. Dolar juga digunakan
sebesar 45% dari total international debt securities. 76
Selain sebagai cadangan devisa, dolar AS, juga merupakan mata uang
yang paling banyak digunakan secara tunai di seluruh dunia. Sebagian besar
sirkulasi uang kertas dolar AS diperkirakan berasal dari luar AS. Lebih dari 70%
sirkulasi uang kertas nominal 100 dolar AS dan hampir 60% sirkulasi uang kertas
75
Ibid., Woods, halaman 18. Barry Eichengreen,” The Dollar Dilemma: The World’s Top Currency Faces Competition”,
dalam Foreign Affairs, Vol. 88, No.5, (September/Oktober, 2009), hal 55-56.
76
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
40 nominal 20 dan 50 dolar AS berasal dari luar AS, sementara dua per tiga dari
seluruh sirkulasi uang kertas dolar AS berasal dari luar AS sejak 1990. 77
Grafik 3.1 Sirkulasi Uang Kertas Dolar AS di luar AS
Sumber: Federal Reserve Bank of New York estimates, based on U.S. Treasury Department
(2005), http://voxeu.org/index.php?q=node/4819
Dolar AS juga tetap menjadi pilihan mata uang yang utama di dalam
berbagai transaksi valuta asing di seluruh dunia. Jika pada masa Bretton Woods
dolar AS merupakan mata uang dominan, pada periode sekarang telah terdapat
banyak pilihan mata uang lainnya yang dapat dijadikan sebagai alternatif.
Meskipun demikian, banyak negara yang masih tetap melakukan transaksi valuta
asing menggunakan dolar AS. Hingga tahun 2007, terdapat tujuh negara yang
menggunakan dolar AS di dalam dewan pengurus mata uang mereka, dan 89
77
Lina Goldberg, “What is the status of the international roles of the dollar?”, diakses dari
http://voxeu.org/index.php?q=node/4819 pada 19 Juni 2012 pukul 10.37.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
41 negara yang menetapkan nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar AS.
Pembagian negara-negara yang menghubungkan dolar AS terhadap mata uang
mereka telah stabil sejak 1995 dan grup yang direpresentasikan dalam tabel
berikut merepresentasikan sepertiga dari GDP dunia (tidak termasuk AS). 78
Tabel 3.1 Laporan Negara Pengguna dolar AS dalam Transaksi Nilai
Tukarnya
Sumber: Reinhart dan Rogoff (2004); Ilzetzki, Reinhart, dan Rogoff (2008); dan Lina Goldberg,
http://voxeu.org/index.php?q=node/4819
Dominasi dolar AS dalam sistem perdagangan internasional dimulai sejak
Konferensi Bretton Woods I (1944) yang mana salah satu agendanya pada saat itu
adalah untuk membentuk sistem moneter internasional yang baru yang
sebelumnya menggunakan sistem tukar emas. Mengingat AS pada saat itu
merupakan negara yang menguasai lebih dari setengah kapasitas manufaktur
dunia dan memiliki emas dalam jumlah terbanyak, para pemimpin negara yang
berpartisipasi dalam konferensi tersebut sepakat untuk menjadikan dolar AS
sebagai patokan dalam sistem nilai tukar dunia. Adapun sistem nilai tukar yang
disepakati pada saat itu adalah fixed exchange rate terhadap dolar AS. Sayangnya,
78
Ibid., Goldberg. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
42 sistem fixed exchange rate ini harus berakhir pada tahun 1971 ketika inflasi yang
terjadi mengakibatkan devaluasi yang tinggi terhadap nilai dolar. Sebagai respon
atas kejadian tersebut, diadakan Smithsonian Agreement yang menggagaskan ide
agar dolar menggantikan fungsi emas, namun berujung pada kegagalan. Akhirnya
pada tahun 1976, melalui Jamaican Agreement, dibentuk Bretton Wood II yang
pada intinya mengubah sistem fixed exchange rate menjadi floating exchange rate
yang terkendali. Ini berarti bahwa meskipun setiap negara dapat tetap membiarkan
nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar untuk berubah, namun ketika
perubahan tersebut terlalu drastis, bank sentral negara yang bersangkutan masih
tetap dapat melakukan intervensi. 79
3.1.2.2 Krisis Finansial Global AS dan Kemunduran Hegemon AS dalam
Sistem Perdagangan Internasional
Seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya, krisis finansial global AS
telah
memberikan
dampak
negatif
yang
signifikan
terhadap
keadaan
perekonomian domestik di negara tersebut. Penurunan keadaan perekonomian
domestik AS ini juga memberikan pengaruh terhadap kemunduran peran AS
sebagai hegemon dalam sistem perdagangan internasional. Terkait dengan kondisi
ini, berdasarkan analisis teori stabilitas hegemoni, hegemon bersama dengan
tatanan internasional liberal yang dipertahankannya, pada akhirnya harus
mengalami kemunduran seraya kemampuannya untuk mempertahankan kestabilan
mulai terkikis dikarenakan oleh peningkatan biaya yang dibutuhkan untuk
menghindari ketidakstabilan. 80 Susan Strange juga berpendapat bahwa dalam
kasus hegemoni AS, akan selalu terdapat elemen domestik yang selalu
dipertimbangkan untuk menghasilkan kebijakan luar negerinya. Dia berpendapat
bahwa hegemoni AS akan menurun ketika terdapat faktor domestik yang cukup
79
US Department of State, “The Bretton Woods System”, diakses dari
http://economics.about.com/od/foreigntrade/a/bretton_woods.htm pada 19 Juni 2012 pukul 10.30.
80
Patrick K. O’Brien dan Geoffrey Allen Pigman, “Free Trade, British Hegemony and the
International Economic Order in the Nineteenth Century” dalam Review of International Studies,
Vol. 18, No. 2, (April, 1992), halaman 89-90.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
43 dominan timbul sehingga harus dipertimbangkan ketika AS akan menghasilkan
kebijakan di tingkat sistemik (internasional). 81 Dalam kasus krisis finansial global
AS, faktor domestik yang harus dipertimbangkan oleh AS adalah ketahanan
ssitem finansial domestiknya yang menyebabkan negara tersebut beralih pada
serangkaian kebijakan yang bersifat sangat proteksionis; sesuatu yang sangat
bertentangan
dengan
ideologi
perdagangan
bebas
yang
selama
ini
didengungkannya. Sebagai akibatnya, hegemoni AS dalam sistem perdagangan
bebas mulai tersaingi oleh kemunculan hegemon baru yang terbukti lebih mampu
bertahan di dalam sistem perdagangan bebas saat ini yaitu Cina.
Untuk menganalisis kemunduran hegemoni AS, bagian tulisan ini akan
berupaya untuk menganalisis peran AS di dalam sistem perdagangan internasional
yang akhir-akhir ini mendapatkan persaingan kuat dari Cina. Adapun aspek yang
akan dikaji untuk melihat persaingan ini adalah peningkatan peran Cina dalam
sistem perdagangan internasional dan peran Cina di dalam IMF (International
Monetary Fund).
(a) Peningkatan Peran Cina dalam Sistem Perdagangan Internasional
Pada beberapa dekade terakhir, Cina mampu melakukan perubahan
ekonomi secara signifikan sehingga negara tersebut kini telah menempti posisi
kedua dalam segi pertumbuhan ekonomi. Bahkan baru-baru ini, IMF
memprediksikan bahwa ekonomi Cina akan menjadi yang terbesar di dunia pada
tahun 2016. Hal ini dapat dilihat dari sektor manufaktur di mana Cina telah
terbukti mampu mengalahkan AS di dalam berbagai sektor, termasuk di antaranya
menjadi produsen nomor satu baja, menjadi eksportir dari empat per lima produk
tekstil di seluruh dunia, dan eksportir dari dua per tiga mesin fotokopi, DVD
player, serta microwave. Meskipun memang masih terdapat sejumlah bagian
81
Susan Strange, “The Persistent Myth of Lost Hegemony”, dalam International Organization,
Vol. 41, (1987), halaman 551-574.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
44 penting dari sektor industri ini yang dimiliki oleh perusahaan asing termasuk
perusahaan AS seperti General Motors. 82
Di pihak lain, Cina juga merupakan pemegang cadangan devisa dolar AS
terbesar, seperti misalnya obligasi Departemen Keuangan AS. Hal ini juga yang
sering menjadi salah satu alasan mengapa Cina mengurangi konflik dalam skala
penuh dengan AS saat ini, mengingat Cina memiliki bagian yang sangat besar
dalam perekonomian AS, baik sebagai pemegang saham obligasi dan sebagai
eksportir utama barang-barang ke AS. Meskipun demikian, AS telah menghalangi
beberapa investasi skala besar dari Cina dan juga upaya pembelian negara tersebut
atas beberapa perusahaan minyak, teknologi, dan perusahaan lainnya. 83
Sebagai tambahan, Cina pada saat ini juga merupakan konsumen terbesar
dunia atas produk-produk logam mendasar dan merupakan salah satu importir
terbesar hidrokarbon. Sejumlah investasi penting dan perdagangan oleh Cina di
Arab Saudi, Iran, dan Venezuela ditambah dengan keterlibatannya dengan negaranegara Asia Tengah, mengindikasikan kebutuhan Cina yang semakin meningkat
atas minyak dan gas serta ketertarikannya terhadap kepentingan geostrategi AS di
negara dan kawasan yang disebutkan sebelumnya. Dengan tingkat konsumsi
energi Cina yang mencapai 20% dari total konsumsi energi dunia, Cina
diperkirakan akan menggantikan posisi AS sebagai konsumen hidrokarbon
terbesar pada abad berikutnya. 84
(b) Peran Cina dalam IMF
Partisipasi Cina dalam institusi perdagangan internasional seperti IMF
pada beberapa tahun terakhir jelas membuktikan bahwa negara tersebut
memandang partisipasi aktifnya dalam institusi internasional sebagai kesempatan
untuk meningkatkan power ekonominya. Hal ini berkaitan erat dengan upayanya
untuk mencapai kepentingan nasionalnya dan juga untuk meningkatkan image
82
Fran Shor, “Declining US Hegemony + Rising Chinese Power: A Formula for Conflict?”,
diakses dari http://www.stateofnature.org/decliningUsHegemony.html pada 22 Juni 2012 pada
pukul 06.15.
83
Ibid., Shor. 84
Ibid., Shor. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
45 dirinya sebagai rising power yang benign (tidak mengancam) terkait dengan
timbulnya kekhawatiran dari masyarakat internasional akan kebangkitannya yang
dianggap sebagai ancaman bagi sistem internasional yang sedang berlangsung. 85
Cina juga menyadari bahwa perannya di dunia internasional tidak hanya
ditentukan oleh seberapa besar kekuatan ekonomi atau bahkan militer yang
dimilikinya tetapi juga oleh seberapa besar pengaruhnya dalam menentukan
norma dan peraturan internasional. Terkait dengan hal tersebut, Cina memulai
perannya secara aktif di dalam IMF untuk mengubah sistem moneter internasional
yang sedang berlaku saat ini. Salah satu kepentingan utama Cina untuk melakukan
hal tersebut terkait dengan bagaimana selama ini negara tersebut tidak menaati
aturan sistem nilai tukar floating dan justru menggunakan sistem nilai tukar fixed
yang pada akhirnya menimbulkan hubungan perdagangan yang tidak adil dengan
AS. 86
Terkait dengan hal kepentingan tersebut, Cina mulai menekankan
pentingnya penggunaan SDR (special drawing rights) yang mana merupakan
sebuah bentuk ‘mata uang’ berupa basket of currencies yang setiap lima tahun
sekali akan diubah komposisinya. Cina menginginkan supaya yuan juga
dimasukkan ke dalam kelompok mata uang SDR ini karena negara yang mata
uangnya masuk ke dalam kategori ini dapat dipastikan memiliki ‘kontrol’ yang
lebih terhadap sistem moneter internasional mengingat mata uang negara yang
bersangkutan akan dijadikan sebagai acuan bagi mata uang negara lain. Namun,
Cina juga sadar bahwa mata uang yang diperbolehkan untuk menjadi mata uang
SDR, sesuai dengan persyaratan dari IMF yang baru dibuat pada November 2005,
bukanlah mata uang yang hanya digunakan secara lokal seperti halnya Yuan. Oleh
karena itulah, internasionalisasi mata uang yuan mulai menjadi salah satu agenda
utama Cina pada beberapa tahun terakhir.
87
Dan sejauh ini, agenda Cina tersebut
terlihat didukung oleh IMF yang belum lama ini mengubah status yuan dari yang
sebelumnya berstatus substantially undervalued menjadi moderately undervalued.
85
Men Honghua, “Learn to Play by the Rules: China’s Role in International Institutions”, diakses
dari http://www.irchina.org/en/pdf/mhh3.pdf, halaman 10-11.
86
Eryan Tri Ramadhani, Internasionalisasi Yuan: Transisi China Menuju Kekuatan Hegemon,
Skripsi, Universitas Indonesia, Depok, 2010, Print, halaman 101. 87
Ibid,. Eryan Tri Ramadhani, halaman 102. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
46 Wakil Direktur Manajemen Utama IMF, David Lipton, menyatakan bahwa
perubahan ini didasarkan pada fakta bahwa akun surplus Cina saat ini telah
menurun dari yang sebelumnya 10% dari total GDP pada 2007 menjadi kurang
dari 3% pada 2011. 88 Selain itu, Cina juga berupaya sangat keras untuk
meningkatkan kuota hak suaranya dalam IMF. Hingga saat ini, Cina telah mampu
mendapatkan
dukungan
suara
dari
negara-negara
berkembang
yang
mendukungnya agar mendapatkan hak suara yang lebih besar dalam IMF. Kedua
aspek di atas menunjukkan bagaimana meskipun AS masih memiliki pengaruh
yang dominan di dalam sistem perdangangan internasional, perannya tidak lagi
sekuat dulu di mana AS dapat dikatakan sebagai hegemon tunggal yang tidak
memiliki saingan dominan.
3.2 Paradigma Liberalisme dalam Memandang Dampak Krisis Finansial
Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui Teori
Liberal Institutionalism
Tujuan utama dari sub-bab ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pandangan seorang liberalis di dalam melihat dampak dari krisis finansial global
AS terhadap sistem perdagangan internasional terkait dengan peran institusi
perdagangan internasional (yang mana pada tulisan ini akan mengangkat studi
kasus WTO (World Trade Organization)) di dalam menjalin kerja sama dari
negara-negara untuk mengadopsi sistem perdagangan bebas. Oleh karena itu di
dalam sub-bab ini, penulis terlebih dahulu akan menguraikan sejarah singkat
pendirian WTO dan bentuk kerja sama apa yang diupayakan oleh institusi
tersebut. Selanjutnya, pada bagian analisis teori, penulis akan berupaya untuk
menjelaskan
mengenai
bagaimana
krisis
finansial
global
AS
mampu
menimbulkan keinginan untuk bekerja sama yang baru di antara negara-negara
dalam rangka untuk membentuk struktur finansial yang lebih kokoh.
88
Erik Wasson, “IMF Softens Stance on China’s Currency”, diakses dari
http://thehill.com/blogs/on-the-money/1005-trade/231759-imf-softens-stance-on-chinas-currency
pada 22 Juni 2012 pukul 07.13.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
47 3.2.1
Sejarah dan Tujuan Pendirian WTO (World Trade Organization)
WTO
(World
Trade
Organization)
merupakan
sebuah
institusi
internasional yang bertujuan untuk mengawasi dan mengenalkan sistem
perdagangan bebas. Pembentukan institusi ini berawal dari Konferensi Bretton
Wood yang diadakan pasca Perang Dunia II. Pada saat itu, AS yang baru saja
mulai menjalankan peran barunya sebagai hegemon dalam sistem perdagangan
internasional, membentuk tiga buah institusi ekonomi internasional yang dijadikan
sebagai pilar struktur perdagangan bebas yang baru. Salah satu institusi yang
dibentuk pada saat itu adalah GATT (General Agreement on Tariffs and Trade)
yang tujuan utamanya untuk menghilangkan tarif yang umumnya dikenakan oleh
setiap negara yang terlibat dalam perdagangan internasional. Kemudian pada 1
Januari 1995, GATT diubah namanya menjadi WTO. Dan hingga saat ini WTO
beranggotakan 155 negara ditambah dengan 29 negara observer. 89
Terdapat lima prinsip perdagangan utama yang diadopsi oleh WTO.
Kelima prinsip tersebut mencakup:
(1) Non diskriminasi. Prinsip ini terdiri dari dua komponen utama yaitu
peraturan most favored nations (MFN) kebijakan national treatment.
Peraturan MFN mewajibkan seorang anggota WTO untuk memberlakukan
syarat perdagangan spesial yang diberlakukan oleh sebuah negara terhadap
semua anggota WTO. Sedangkan kebijakan national treatment berarti bahwa
semua barang yang diimpor oleh sebuah negara harus diberikan perlakuan
yang sama dengan produk domestik. Ini berarti bahwa sebuah negara tidak
boleh memberlakukan tarif tambahan tertentu terhadap produk impor.
Meskipun demikian, area perdagangan di mana kedua komponen ini
diberlakukan masih berbeda tergantung kawasan sebuah negara.
(2) Resiprositas.
Prinsip ini
merefleksikan keinginan untuk membatasi
kemungkinan free rider dari negara partisipan yang mungkin timbul
dikarenakan oleh peraturan MFN dan keinginan untuk memiliki akses yang
lebih baik terhadap pasar asing.
89
Ian F. Ferguson, "The World Trade Organization: Background and Issues", dalam
Congressional Research Service, (9 Mei 2007), halaman 4.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
48 (3) Komitmen yang mengikat dan dapat diwajibkan. Komitmen tarif yang
dibuat oleh anggota WTO dalam sebuah negosiasi multilateral akan dihitung
dalam sebuah daftar konsesi. Daftar ini selanjutnya akan menciptakan ‘ikatan
maksimum’; di mana setiap negara dapat mengubah ikatannya, tetapi hanya
setelah negara tersebut bernegosiasi dengan mitra dagangnya yang mana dapat
mencakup kewajiban untuk mengkompensasikan kerugian yang ditimbulkan
dari perubahan tersebut. Jika tidak terdapat kesepakatan di antara pihak yang
terlibat, negara yang terlibat dapat melaporkan hal tersebut melalui prosedur
penyelesaian konflik WTO.
(4) Transparansi. Anggota WTO diwajibkan untuk mempublikasikan peraturan
dagang mereka, mempertahankan institusi yang berugas untuk memonitor
keputusan administratif yang berkaitan dengan perdagangan sebagai persiapan
untuk merespons permintaan informasi dari anggota lainnya, dan juga untuk
memberitahukan kepada pihak WTO setiap perubahan yang dibuat dalam
kebijakan perdagangan. Semua informasi tersebut harus diberikan melalui
laporan spesial secara berkala.
(5) Katup pengamanan. Dalam kondisi spesifik, sebuah negara diizinkan untuk
membatasi perdagangan. Keadaan spesifik ini dapat mencakup upaya untuk
melindungi lingkungan, kesehatan masyarakat, hewan, dan tanaman. 90
Untuk memastikan setiap negara anggotanya benar-benar menerapkan
semua prinsip tersebut, WTO secara berkala mengadakan proses negosiasi yang
dibagi per babak di mana setiap babak mendiskusikan aspek perdagangan yang
berbeda-beda. Pada masa GATT, terdapat tujuh babak negosiasi yang diadakan
untuk mendiskusikan permasalahan perdagangan yang pada intinya bertujuan
untuk mematangkan sistem yang benar-benar dapat menghilangkan tarif sebagai
salah satu tantangan utama dalam perdagangan internasional. Sedangkan pada
masa WTO, terdapat dua babak negosiasi yang telah berjalan yaitu babak
90
WTO, “Understanding The WTO: Basics; Principles of the Trading System”, diakses dari
http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/fact2_e.htm pada 22 Juni 2012 pukul 08.55.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
49 Uruguay (yang menjadi babak di mana WTO didirikan) dan babak Doha yang
masih berlangsung hingga saat ini. 91
Sesuai dengan teori liberal institusionalis yang menyatakan bahwa
keberadaan sebuah institusi akan memastikan berlangsungnya proses kerja sama
mengingat sebuah institusi dapat menetapkan norma ataupun peraturan bagi
anggotanya, WTO terbukti mampu untuk menggalang negara-negara agar
bersedia untuk bersatu di bawah kerangka perdagangan bebas meskipun hal
tersebut menuntut dilakukannya pengorbanan dari setiap negara anggota yang
terlibat. Hubungan kerja sama tersebut dapat terjadi dalam kasus ini karena pada
akhirnya setiap negara yang pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan
terbesar dalam hubungan perdagangan menyadari bahwa partisipasi mereka dalam
WTO akan dapat memastikan bahwa persaingan yagn terjadi dalam hubungan
perdagangan menjadi dapat lebih diprediksikan. Kemampuan prediksi ini
berangkat dari fakta bahwa setiap negara mengetahui aturan tingkah laku
perdagangan yagn seharusnya dilakukan dan juga bahwa setiap negara harus
menyediakan informasi yang transparan mengenai kebijakan perdagangan
mereka.
3.2.2
Analisis Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Kerja Sama
Perdagangan Bebas WTO
Krisis finansial global AS tidak dapat dipungkiri telah menjadi ancaman
besar terhadap prinsip perdagangan bebas yang didengungkan oleh WTO.
Beberapa negara bahkan menerapkan kebijakan yang cenderung melindungi atau
membantu industri domestik. WTO telah mendapati sejumlah bentuk pembatasan
perdagangan baru dan kebijakan menyimpang yang telah diperkenalkan termasuk
peningkatan dalam inisiasi investigasi perdagangan dan peningkatan dalam
jumlah tarif baru dan tindakan non tarif baru. WTO juga mengkompilasikan
sebuah daftar baru dari kebijakan perdagangan dan yang berkaitan dengan
perdagangan yang telah diambil sejak September 2008. Kebijakan ini termasuk
91
Ibid., “Understanding the WTO: Basics; Principles of the Trading System”. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
50 peningkatan tarif baja di India, peningkatan tarif terhadap 940 produk impor oleh
Ekuador, pembatasan terhadap titik masuk bagi sejumlah produk impor di
Indonesia, peningkatan tarif terhadap impor minyak bumi oleh Korea Selatan,
pengenalan kembali subsidi ekspor bagi beberapa produk susu tertentu oleh
Komisi Eropa, dan peningkatan kewajiban pajak pada mobil dan truk impor di
Rusia. Cina juga telah mengumumkan serangkaian kebijakan yang mencakup
penyediaan dana sebesar 586 milyar dolar AS untuk mendorong konsumsi
domestik. AS bahkan pada Februari 2009 juga meluncurkan paket stimulus yang
mendengungkan tema
Buy America. Meskipun program tersebut hanya
diaplikasikan terhadap baja, besi, dan barang manufaktur lainnya, tindakan
tersebut telah mendapat kecaman dari masyarakat internasional yang menyatakan
bahwa kebijakan tersebut secara tidak langsung menganjurkan kebijakan
proteksionisme yang sangat bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas yang
diprakarsai oleh AS melalui WTO. 92
Kekhawatiran atas meningkatnya sebuah tipe ‘proteksionisme finansial’
juga telah muncul di antara negara-negara berkembang. Pemerintah dapat
mengarahkan bank yang telah menerima suntikan modal untuk meminjamkan
lebih banyak di tingkat domestik daripada di tingkat internasional. Peminjaman
dana oleh Departemen Keuangan AS untuk membiayai budget AS yang semakin
bertumbuh juga telah menarik dana dari berbagai daerah di dunia. Kekhawatiran
ini juga berlaku bagi negara-negara seperti Vietnam, Cina dan negara eksportir
lain dalam kasus apakah aliran dana investasi perusahaan privat akan berkurang
seraya para produsen menghadapi permasalahan meningkatnya suplai produk di
pasaran dan kapasitas produksi yang berlebih. 93
Kebijakan ‘proteksionisme finansial’ ini terutama sangat jelas dilakukan
oleh AS. Bagi AS, kekacauan finansial yang ditimbulkan oleh krisis finansial
global telah menyentuh kebijakan nasional yang fundamental untuk melindungi
keamanan ekonomi dari warganya. Krisis ini juga telah memengaruhi negara
tersebut di dalam mencapai tujuan kebijakan domestik dan luar negerinya seperti
92
Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional
Research Service, (Oktober 2009), halaman 19-20.
93
Ibid., Nanto, halaman 20. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
51 misalnya mempertahankan kestabilan politik dan hubungan yang kooperatif
dengan
negara
lainnya
serta
mendukung
infrastruktur
finansial
yang
memungkinkan bagi sebuah perekonomian internasional yang lancar. Dampak
dari krisis finansial tidak hanya dirasakan oleh Wall Street dan Main Street (ikon
pasar saham dan institusi finansial internasional) tetapi juga terwujud dalam aliran
ekspor impor, tingkat pertumbuhan dan pengangguran, pendapatan dan
pengeluaran pemerintah, serta resiko politik di beberapa negara. 94
Kebijakan awal AS diarahkan pada upaya untuk menahan dampak
penyebaran dari krisis global ini dan menangani resesi yang diakibatkannya. Dua
tindakan badan legislatif yang paling krusial adalah Program TARP (Troubled
Asset Relief Program) yang diarahkan pada upaya penyediaan bantuan bagi
institusi finansial dan American Recovery and Reinvestment Act tahun 2009 yang
ditujukan pada upaya penyediaan stimulus bagi ekonomi. 95
Proposal kebijakan untuk mengganti beberapa peraturan spesifik serta
struktur regulasi dan pengawasnya pada tingkat domestik dan internasional telah
diajukan melalui proses legislatif, dari administrasi (kabinet pemerintahan), dan
dari rekomendasi oleh organisasi internasional seperti IMF, Bank for International
Settlements, dan Badan Stabilitas Finansial (Forum). Pada 17 Juni 2009,
administrasi Obama mengumumkan rencananya untuk atas reformasi peraturan
untuk sistem finansial AS. Dalam Kongres, sejumlah rancangan UU telah
diperkenalkan untuk menangani isu-isu seperti pembentukan sebuah komisi untuk
menginvestigasi
penyebab
dari
krisis
finansial,
penyediaan
mekanisme
transparansi yang lebih bertanggung jawab terhadap aktivitas pinjam meminjam
dari Federal Reserve and Treasury (badan nasional yang bertanggung jawab untuk
mengatur cadangan mata uang negara dan mengawasi pencetakan mata uang
negara), penanganan permasalahan di dalam pasar properti dan perumahan,
menyediakan dana bagi IMF, penanganan problem dengan pelanggan kartu kredit,
penyediaan bimbingan yang telah dikembangkan bagi pasar finansial dan
94
Dick K. Nanto, “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications”, Congressional
Research Service, (Oktober 2009), halaman 2.
95
Ibid., Nanto, halaman 4. Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
52 komoditas, penanganan utang nasional AS, dana pendirian sebuah sistem
monitoring resiko. 96
Meskipun demikian, pada saat yang sama, krisis finansial global AS pada
akhirnya juga membuat berbagai negara di dunia menjadi semakin bersatu melalui
forum kerja sama perdagangan lainnya yang berfokus pada upaya untuk
menciptakan struktur sistem finansial internasional yang lebih baik. Bentuk kerja
sama ini dapat dilihat dari pertemuan G-20 yang tidak hanya melibatkan negaranegara maju tetapi juga negara-negara yang dianggap berpotensi sebagai emerging
market seperti Indonesia, India, dan Brazil. Rangkaian pertemuan ini dimulai
dengan KTT G-20 pada 15 November 2008 di Washington DC, dilanjutkan
dengan KTT G-20 London pada 2 April 2009, dan KTT yang ketiga dilaksanakan
di Pittsburgh pada 24-25 September 2009 dengan Presiden Obama sebagai tuan
rumah. 97
Pada KTT Pittsburgh ini misalnya, semua pemimpin negara-negara G-20
sepakat untuk menciptakan sebuah kerangka bagi pertumbuhan ekonomi yang
kokoh, bertahan lama, dan seimbang melalui enam kebijakan yang pada intinya
menekankan pada regulasi pemerintah yang lebih jelas terhadap instrument
finansial seperti bank dan institusi investasi lainnya. Sedangkan pada KTT
London, para pemimpin negara G-20 sepakat untuk mendirikan sebuah Badan
Stabilitas Finansial (Financial Stability Board) yang akan bekerja sama dengan
IMF untuk memastikan kerja sama internasional dalam hal regulasi perbankan,
dana bendungan (hedge funds), dan agensi rating kredit. Hal lain yang juga
disepakati adalah penambahan dana bagi IMF dan bank pengembangan
multilateral lainnya sebagai stimulus yang diarahkan terhadap pengembangan
pasar ekonomi. 98
Dari sebuah deskripsi tersebut, terlihat jelas bahwa meskipun terdapat
perubahan arah kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis dari negara-negara
pasca terjadinya krisis finansial global, ide bahwa kerja sama dapat tetap terjadi
melalui sebuah institusi tetap dapat terjadi. Melalui institusi G-20, beberapa
96
Ibid., Nanto, halaman 4 – 5. Ibid., Nanto, halaman 15. 98
Ibid., Nanto, halaman 81-84. 97
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
53 negara yang dianggap sebagai pemain kunci dalam sistem perdagangan
internasional, tetap dapat diajak untuk bekerja sama. Hal ini terjadi karena negaranegara tersebut bahwa cara terbaik untuk mencegah krisis yang sama untuk tidak
terjadi lagi adalah ketika terdapat serangkaian peraturan yang mengawasi sistem
finansial setiap negara, sebuah hal yang belum ada pada sistem perdagangan
internasional pada saat ini.
3.3 Paradigma
Konstruktivisme
dalam
Memandang
Dampak
Krisis
Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan Internasional Melalui
Pendekatan Social Network Analysis
Tujuan utama dari sub-bab ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pandangan seorang konstruktivis di dalam melihat dampak dari krisis finansial
global AS terhadap sistem perdagangan internasional terkait dengan timbulnya
Occupy Movement yang mana merupakan gerakan protes massal yang dilakukan
oleh masyarakat internasional secara global sebagai akibat dari runtuhnya rasa
percaya mereka terhadap sistem perdagangan bebas. Oleh karena itu di dalam subbab ini, penulis terlebih dahulu akan mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi
penyebab utama dari krisis kepercayaan masyarakat internasional terhadap sistem
perdagangan bebas. Selanjutnya, penulis akan memberikan analisis mengenai
bagaimana krisis finansial global AS dapat menjadi sebuah fenomena yang
memunculkan faktor-faktor pembentuk jaringan sosial yang merupakan cikal
bakal dari sebuah gerakan massal yang dikenal sebagai Occupy Movement.
3.3.1 Faktor-Faktor
Penyebab
Runtuhnya
Kepercayaan
Masyarakat
Internasional terhadap Sistem Perdagangan Bebas (Liberal)
Krisis finansial global AS tidak hanya menimbulkan perubahan drastis
dalam hal hirarki kepemimpinan di dalam sistem perdagangan internasional serta
fokus kebijakan perdagangan yang menjadi lebih proteksionis tetapi juga telah
menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat internasional terhadap sistem
perdagangan bebas. Krisis kepercayaan ini terutama sangat dirasakan oleh
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
54 masyarakat di negara-negara maju yang selama ini memang menjadi pilar utama
dari kapitalisme yang merupakan hasil dari sistem perdagangan bebas. Secara
umum, terdapat tiga faktor utama yang mengakibatkan dampak ini yaitu: (1)
meningkatnya tingkat pengangguran, (2) kebijakan austerity, dan (3) kesenjangan
sosial antara kelompok masyarakat elit ekonomi dengan kelompok masyarakat
pada umumnya.
(a) Meningkatnya Tingkat Pengangguran
Menurut data yang dikeluarkan oleh IMF dan ILO (International Labor
Organization),
krisis
finansial
global
AS
telah
meningkatkan
jumlah
pengangguran secara drastis di seluruh dunia hingga lebih dari 210 juta orang
(pada September 2010), yang mana merupakan kenaikan sebesar 30 juta orang
sejak tahun 2007. Tingkat pengangguran telah meningkat sebanyak 3% di
sebagian besar negara maju sejak tahun 2007 dan sebanyak ¼ persen di negara
emerging (hingga Sepetember 2010). Di antara negara maju, beberapa negara
yang mengalami tingkat pengangguran paling tinggi terjadi di Spanyol (10%)
serta AS dan New Zealand. Hal ini cukup berbeda dari negara berkembang dan
emerging yang meskipun pada awalnya mengalami tingkat pengangguran tinggi di
bidang ekspor, sekarang telah mulai pulih, mengingat banyak dari para eksportir
di negara tersebut telah mengalihkan pasar mereka menjadi lebih beragam dan
tidak lagi bergantung pada pasar dari negara maju. Tingkat pengangguran yang
tinggi ini sangat berpotensi untuk mengakibatkan dampak sosial jangka panjang
seperti faktor biaya kesehatan dan anak-anak dari para penganguran tersebut.
Selain itu, berdasarkan analisis dari dampak krisis ekonomi sebelumnya, tingkat
penganggruan tinggi juga akan berdampak terhadap menurunnya jangka umur
hidup masyarakat, prestasi akademis, dan juga berkurangnya kohesi sosial
masyarakat. 99 Dengan kata lain, tingkat pengangguran yang tinggi berkaitan
99
IMF, “Sharp Rise in Unemployment from Global Recession”, (2 September 2010), diakses dari
http://www.imf.org/external/pubs/ft/survey/so/2010/NEW090210A.htm pada 6 Juli 2012 pukul
12.00.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
55 langsung dengan berkurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat di sebuah
negara.
(b) Kebijakan Austerity
Selain tingkat pengangguran yang tinggi, krisis finansial global AS telah
menyebabkan banyak pemerintah di negara maju untuk menjalankan kebijakan
austerity. Kebijakan austerity merupakan kebijakan yang berfokus pada upaya
untuk mengurangi anggaran pengeluaran pemerintah dalam rangka untuk
mengurangi budget deficit. Kebijakan austerity merupakan kebijakan yang tidak
populis mengingat kebijakan tersebut akan berdampak pada penurunan kuantitas
dan kualitas dari jasa dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Akan tetapi,
kebijakan ini menjadi sebuah hal yang harus dilakukan pasca krisis finansial
global AS mengingat banyak negara yang mengalami kenaikan tajam terhadap
budget deficit mereka dikarenakan oleh upaya pemerintah untuk memberikan
stimulus terhadap sektor finansial mereka.100
Kebijakan austerity ini dilakukan oleh sebagian besar negara maju mulai
pada awal tahun 2011 sebagai bagian dari upaya mereka untuk mempertahankan
rating kredit negara mereka masing-masing. Rating kredit ini sangat penting untuk
dipertahankan mengingat setelah krisis finansial global AS terjadi, tingkat
kepercayaan investor terhadap negara-negara maju semakin berkurang sehingga
banyak dari para investor tersebut yang mulai mengalihkan dana investasi mereka
ke pasar negara emerging. Dengan dijalankannya kebijakan austerity yang
berfokus pada pemotongan pengeluaran pemerintah, para pemimpin negara
tersebut berharap bahwa budget deficit negara dapat semakin ditekan sehingga
pada akhirnya rating kredit beberapa negara dan juga kepercayaan para investor
yang sudah menurun dapat dipulihkan kembali.
Salah satu negara yang cukup dominan di dalam melakukan kebijakan ini
adalah AS yang mulai pada awal tahun 2011 meluncurkan berbagai program
100
___, “Austerity”, diakses dari
http://www.investopedia.com/terms/a/austerity.asp#axzz1zoqKBezA pada 6 Juli 2012 pukul
13.00.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
56 austerity senilai 1 triliun dolar AS (jumlah ini bahkan akan ditingkatkan dengan
tambahan pemotongan 1,2 triliun dolar AS pada awal tahun 2013 nanti).
Pemotongan anggaran pengeluaran pemerintah AS ini berdampak pada
berkurangnya budget untuk membiayai asuransi kesehatan negara, Medicare dan
juga berbagai bentuk pengeluaran sosial lainnya seperti fasilitas bagi para
pengangguran serta pemotongan lapangan pekerjaan di sektor sosial pemerintah
dan dana pensiun. 101 Kebijakan ini juga dilakukan oleh Perancis yang
mengumumkan akan melakukan pemotongan anggaran pengeluaran sebesar 6 – 8
milyar Euro pada November 2011. Pemotongan anggaran ini direncanakan akan
dilakukan dengan mengurangi jumlah lapangan pekerjaan di sektor publik. 102
(c) Kesenjangan Sosial
Krisis finansial global AS juga membuat masyarakat AS dan internasional
semakin merasakan kesenjangan sosial yang terjadi di antara kelompok elit
ekonomi dan kelompok masyarakat pada umumnya. Kesenjangan ini semakin
dirasakan terutama pada saat pemerintah di banyak negara maju memilih untuk
menerapkan kebijakan yang semakin menguntungkan kelompok elit ekonomi
yang kebanyakan dapat dikatakan sebagai pihak yang memotori terjadinya krisis
finansial global AS seperti misalnya CEO Goldman Sachs, Llyod Blankfein.
Salah satu contoh dari kebijakan yang memihak para elit ekonomi ini dapat dilihat
dari bagaimana di saat masyarakat harus mengalami dampak dari tingkat
pengangguran tinggi dan juga berkurangnya fasilitas sosial dari pemerintah
dikarenakan oleh kebijakan austerity, para elit ekonomi ini justru mendapatkan
suntikan dana (bailout) yang dibiayai oleh pajak dari masyarakat. Bukan hanya
itu, para elit ekonomi ini juga mendapatkan tax break (kebijakan untuk
memberikan persentase pajak yang tidak representatif terhadap akumulasi
property). Hal ini dapat dilihat bagaimana 1470 elit ekonomi yang berpenghasilan
101
Patrick Martin, “Obama, Congress Make New Austerity Plans”, (23 November 2011), diakses
dari http://www.wsws.org/articles/2011/nov2011/budg-n23.shtml pada 8 Juli 2012 pukul 17.26.
102
James Boxell, “Sarkozy to Unveil Austerity Budget”, (7 November 2011), diakses dari
http://www.irishtimes.com/newspaper/world/2011/1107/1224307165379.html?via=rel pada 8 Juli
2012 pukul 17.33.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
57 di atas 1 juta dolar pada tahun 2009 tidak membayar pajak apa pun. Selain itu,
tariff pajak bagi para milioner pada tahun 2009 adalah 22,4% yang mana menurun
dari 30,4% dari tarif pajak pada tahun 1995. 103
Dengan semua perlakuan khusus yang mereka dapatkan, akumulasi
kekayaan para elit ekonomi ini juga semakin meningkat pasca terjadinya krisis
finansial global AS. Menurut data statistik dari salah satu kelompok riset AS,
AlterNet, 74 warga Amerika yang tergabung dalam kelompok elit ekonomi
berpenghasilan di atas 50 juta dolar AS per tahun, mendapatkan penghasilan ratarata sebesar 91,2 juta dolar AS pada tahun 2008. Tetapi pada tahun 2009,
penghasilan rata-rata dari kelompok elit yang sama mencatat penghasilan rata-rata
sebesar 518,8 juta dolar AS. Dengan kata lain, kelompok elit ekonomi ini berhasil
meningkatkan pendapatan mereka sebanyak 5 kali dari jumlah yang sebelumnya
hanya dalam kurun waktu setahun pada masa terjadinya krisis finansial global
AS. 104
3.3.2
Analisis Proses Terbentuknya Jaringan yang Mendasari Occupy
Movement
Berdasarkan pendekatan analisis jaringan sosial (social network analysis),
terdapat dua faktor utama yang dapat memicu terbentuknya sebuah gerakan sosial
yang bersifat grass root atau bottom up. Adapun faktor tersebut mencakup: 105
1. Cohesion yang menekankan interconnectedness dari hubungan sosial dan
tendensinya untuk membentuk kemungkinan meningkatkan intensitas
hubungan yang tercipta;
2. Equivalence yang menekankan sejauh mana anggota-anggota dari sebuah
jaringan memiliki hubungan yang mirip dengan yang lainnya
103
David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in Wealth”, (11
Agustus 2011), diakses dari
http://www.alternet.org/investigations/151999/meet_the_global_financial_elites_controlling_$46_
trillion_in_wealth?page=entire pada 8 Juli 2012 pukul 18.32.
104
Ibid., David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in Wealth”.
105
Helmut K. Anheier dan Hagai Katz, “Network Approaches to Global Civil”, dalam Mary
Kaldor, Helmut Anheier, dan Marlis Glasius (eds), Global Civil Society, (Oxford: Oxford
University Press, 2003), halaman 208-210.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
58 Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana
krisis finansial global AS dapat menjadi unsur pemicu yang menimbulkan kedua
faktor pendukung tersebut. Jika kita berupaya untuk menganalisis dari segi faktor
cohesion, hal utama yang perlu kita kaji adalah bagaimana krisis finansial global
AS dapat menjadi faktor yang menimbulkan interconnectedness (saling
berhubungan atau benang merah) di kalangan masyarakat internasional. Krisis
finansial global AS terbukti mampu menjadi sebuah fenomena yang memicu
timbulnya interconnectedness ini dikarenakan oleh dampak global yang melanda
masyarakat di sebagian besar negara maju yang menjadi tempat awal bermulanya
krisis ini. Dampak global ini berupa menurunnya tingkat kesejahteraan mereka
dikarenakan oleh ketiga faktor yang telah dijelaskan di atas. Penurunan tingkat
kesejahteraan ini merupakan sebuah dampak universal yang sama mengingat hal
ini berkaitan langsung dengan kemampuan setiap individu untuk memenuhi
kebutuhan mendasar mereka. Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan ini
berhubungan langsung dengan kualitas hidup seseorang.
Menurut pendekatan analisis jaringan sosial, salah satu alat yang
memungkinkan
terbentuknya
interconnectedness
adalah
teknologi
digital
(internet). Teknologi digital telah menjadi sebuah kultur politik bagi kegiatan
jaringan aktivis. Alasannya adalah karena infrastruktur dari teknologi digital ini
telah membentuk sebuah jaringan global di komunitas internasional yang
memungkinkan berbagai individu maupun organisasi dengan latar belakang yang
berbeda untuk saling bertukar informasi dan ide. Hal ini pada akhirnya membuat
teknologi digital sebagai sebuah wadah baru yang mampu untuk menciptakan
sebuah norma bersama yang disepakati oleh komunitas internasional terutama di
kalangan grass root. Teknologi digital ini mampu misalnya membuat sebuah
NGO lokal yang kekurangan sumber daya untuk mencari dukungan dari NGO
lainnya yang bergerak di bidang isu yang sama untuk mewujudkan norma
bersama yang telah disepakati di dalam isu yang bersangkutan. Dengan kata lain,
peran teknologi digital ini telah memungkinkan dibentuknya sebuah politik
jaringan yang menjadi dasar pembentukan organisasi payung di mana berbagai
organisasi, kelompok maupun individu saling mendukung untuk mencapai tujuan
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
59 bersama sambil tetap mempertahankan otonomi dan spesifikasi dari setiap elemen
yang terlibat. 106
Peran
teknologi
digital
(internet)
di
dalam
menimbulkan
interconnectedness di kalangan masyarakat AS dan internasional terkait dengan
dampak penurunan tingkat kesejahteraan hidup mereka juga sangat berpengaruh.
Peran internet dalam menyalurkan informasi dapat kita lihat melalui peran media
massa serta situs jejaring sosial (Facebook dan Twitter) di dalam membangun
kesadaran dari masyarakat internasional untuk menyuarakan protes mereka
terhadap pemerintah. Internet mempermudah masyarakat untuk mengetahui
perkembangan berita terbaru kegiatan demonstrasi massal di berbagai wilayah AS
yang selanjutnya menyebar ke negara lain dalam rangka menentang kebijakan
pemerintah yang dianggap terlalu memihak para kelompok elit ekonomi di dalam
sistem perdagangan bebas. Internet juga memungkinkan upaya pengorganisasian
gerakan demonstrasi massal. Hal ini dapat dilihat dari gerakan protes Occupy Wall
Street di Zucotti Park, New York (cikal bakal Occupy Movement) yang terwujud
melalui ajakan untuk berdemonstrasi yang disuarakan melalui website yang
dibentuk oleh salah satu NGO yang kemudian disebarluaskan melalui Facebook
dan Twitter. 107 Dengan kata lain, krisis finansial global AS telah memungkinkan
terbentuknya sebuah perasaan sepenanggungan di kalangan masyarakat AS dan
internasional yang menjadi korban dari krisis finansial global AS yang kemudian
disuarakan
melalui
teknologi
internet
untuk
semakin
memperkuat
interconnectedness yang sudah tercipta.
Selain cohesion, faktor lain yang juga cukup penting di dalam
terbentuknya jaringan sosial adalah equivalence yang pada dasarnya menekankan
pada kemiripan hubungan di antara anggota-anggota yang terlibat di dalam sebuah
106
Jeffrey S. Juris, “The New Digital Media and Activist Networking within Anti-Corporate
Globalization Movements”, dalam Annals of the American Academy of Political and Social
Science, Vol. 597, Cultural Production in a Digital Age, (Januari, 2005), halaman 197 -200. 107
Mattathias Schwartz, "Pre-Occupied", diakses dari
http://www.newyorker.com/reporting/2011/11/28/111128fa_fact_schwartz?currentPage=all pada
23 April 2012 pukul 14.30.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
60 jaringan. Pada kasus ini, krisis finansial global AS telah menciptakan sebuah
identitas yang sama di kalangan sebagian besar masyarakat AS dan internasional.
Identitas tersebut merupakan fakta bahwa mereka semua merupakan korban dari
sistem perdagangan bebas (kapitalisme) yang tidak adil. Hal ini diidentifikasi
secara jelas melalui Occupy Movement melalui slogan mereka yang mengusung
tema We’re the 99%. Krisis finansial global AS telah memperkuat identitas
masyarakat AS dan internasional yang tidak termasuk dalam kelompok elit
ekonomi sebagai kelompok yang terlupakan oleh pemerintah. Hal ini semakin
diperkuat terutama ketika banyak pemerintah di negara maju yang lebih memilih
untuk memfokuskan anggaran pemerintah bagi upaya bailout institusi investasi
besar yang sebenarnya menjadi dalang dari krisis finansial global AS. Kebijakan
tersebut pada akhirnya semakin menguntungkan kelompok elit ekonomi yang
seharusnya bertanggung jawab dan sebaliknya semakin merugikan kelompok
masyarakat luas karena pemerintah terpaksa harus memotong anggran
pengeluaran di sektor publik yang berfokus pada pemberian fasilitas dan servis
dari pemerintah. 108
Menurut pendekatan analisis jaringan sosial, pembentukan sebuah
identitas merupakan elemen penting yang dibutuhkan untuk memunculkan sebuah
gerakan grass root. Hal ini dikarenakan sebuah identitas akan memungkinkan
terciptanya sebuah gerakan yang bersifat memberdayakan (empowering) menuju
tujuan bersama yang lebih baik. Sebuah jaringan sosial yang terbentuk tidak akan
ada artinya ketika tidak memiliki sebuah tujuan untuk memberdayakan sebuah
kelompok masyarakat ke arah yang lebih baik. Tujuan untuk memberdayakan ini
jugalah yang juga akan semakin memotivasi terjadinya pertukaran informasi.
Identitas yang terbentuk dapat menjadi titik tolak ukur awal untuk mengetahui
sejauh mana perubahan yang harus diperjuangkan. 109
3.3.3 Occupy Movement
108
Loc. Cit., David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in
Wealth”. 109
Josefina Stubbs, “Powerful Connections: South-South Linking”, dalam Focus on Gender, Vol.
1, No. 1, (Februari, 1993), halaman 53.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
61 Dari analisis di atas, kita telah melihat bagaimana krisis finansial global
AS telah menjadi sebuah fenomena global yang mampu menciptakan elemen yang
diperlukan bagi terbentuknya sebuah jaringan yang membentuk sebuah gerakan
massal, Occupy Movement. Occupy Movement merupakan sebuah gerakan protes
yang diinisiasikan oleh gerakan Occupy Wall Street yang dimulai pada 17
September 2011 di Taman Zucotti yang terletak di daerah finansial Wall Street
,New York. Gerakan protes Occupy Wall Street ini pada awalnya diinisiasi oleh
sebuah grup aktivis Kanada bernama Adbusters. Isu utama yang diangkat oleh
protes ini adalah kesenjangan ekonomi dan sosial, keserakahan, korupsi, dan
pengaruh perusahaan besar yang dianggap terlalu besar di kalangan pemerintah
terutama di bagian jasa finansial. Slogan yang diangkat oleh gerakan ini adalah
‘We are the 99%’ (Kami adalah bagian dari 99%) yang berupaya untuk
mengangkat isu kesenjangan pendapatan dan juga distribusi kekayaan di AS di
antara kelompok masyarakat konglomerat yang membentuk 1% populasi di AS
dengan 99% sisa populasi AS lainnya. 110
Gerakan Occupy Wall Street terinspirasi dari sebuah gerakan protes
mahasiswa Inggris pada tahun 2010, gerakan protes anti austerity (aksi
penghematan oleh pemerintah dengan memotong budget mereka di berbagai
sektor pelayanan masyarakat seperti penyediaan asuransi kesehatan) di Yunani
dan Spanyol yang dikenal sebagai ‘indignados’ dan juga gerakan protes Arab
Spring. 111 Akan tetapi serangkaian kejadian yang memicu gerakan protes ini
adalah serangkaian percakapan email di antara pendiri organisasi aktivis Kanada
Adbusters Media Foundation dengan salah satu editor senior di organisasi
tersebut. Percakapan tersebut pada akhirnya memicu organisasi tersebut untuk
mengadakan gerakan okupasi di daerah Manhattan. Inisiasi gerakan protes ini
dilakukan dengan pembentukan sebuah website bernama OccupyWallStreet.org
110
___, "Intellectual Roots of Wall St. Protest Lie in Academe — Movement's principles arise from
scholarship on anarchy", dalam The Chronicle of Higher Education, diakses dari
http://chronicle.com/article,Intellectual-Roots-of-Wall/129428 pada 23 April 2012 pukul 14.14.
111
Peter Apps, (October 11, 2011), "Wall Street action part of global Arab Spring?", Reuters,
diakses dari http://www.reuters.com/article/2011/10/11/uk-global-politics-protestidUSLNE79A03220111011 pada 28 Maret 2012 pukul 01.27.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
62 dan juga melalui pengiriman email terhadap semua pendukung organisasi
Adbusters. 112 Adapun gerakan yang diinisiasi tersebut merupakan sebuah gerakan
protes damai yang bermaksud untuk memprotes pengaruh korporasi yang terlalu
besar dalam sistem demokrasi di AS, kurangnya konsekuensi hukum yang
diberikan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam krisis finansial
global, dan kesenjangan kekayaan yang semakin meningkat. Dengan kata lain,
gerakan ini merupakan upaya yang digerakkan bagi masyarakat AS agar dapat
menyuarakan protes mereka terhadap sistem finansial mereka yang dianggap
terlalu bergantung pada segelintir kelompok elit ekonomi.
Gerakan Occupy Wall Street mencuat sebagai salah satu dampak dari
krisis finansial global AS yang telah menyebabkan kejatuhan perekonomian
domestik negara tersebut. Krisis finansial global AS telah menyebabkan
meningkatnya tingkat pengangguran, berkurangnya dana kesejahteraan sosial
yang diperoleh masyarakat sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk
melakukan kebijakan austerity, dan juga meningkatnya jumlah orang yang
kehilangan tempat tinggalnya sebagai akibat dari krisis subprime mortgage.
Semua kejadian tersebut telah mengakibatkan masyarakat AS merasa semakin
tidak puas bukan hanya terhadap pemerintah AS tetap juga terhadap sistem
perdagangan internasional bebas yang dianggap terlalu memihak kelompok elit
perekonomian AS yang hanya terdiri dari 1%. Masyarakat AS melihat sendiri
bagaimana institusi perekonomian penting di negara mereka dikontrol oleh
sekelompok elit yang sebagian besar turut bertanggung jawab dalam
menyebabkan krisis subprime mortgage tetapi dapat terbebas dari dampak krisis
finansial global AS seperti pengangguran dan kehilangan tempat tinggal. 113
Gerakan Occupy Wall Street ini selanjutnya menyebar ke hampir seluruh
kota besar di seluruh negara bagian AS seperti Boston, Las Vegas, San Fransico,
112
Loc. Cit., Mattathias Schwartz, "Pre-Occupied".
113
David Graeber, “Occupy Wall Street's anarchist roots” diakses dari
http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2011/11/2011112872835904508.html pada 23 April
2012 pukul 16.06.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
63 dan kota-kota besar lainnya. Semua gerakan Occupy Wall Street ini mengangkat
permasalahan isu yang sama yaitu ketimpangan ekonomi yang dianggap berasal
dari sistem perdagangan internasional yang tidak adil dan hanya mengutamakan
kelompok elit tertentu. Dengan kata lain, gerakan Occupy Wall Street merupakan
sebuah bentuk respons dari rasa tidak percaya masyarakat AS terhadap sistem
perdagangan bebas (kapitalisme).
Gerakan Occupy Wall Street ini selanjutnya semakin menyebar bahkan
hingga tingkat internasional dan disebut sebagai Occupy Movement. Occupy
Movement ini dilakukan di berbagai kota besar di berbagai negara baik yang
merupakan sesama negara Barat (negara Eropa Barat, Australia, Kanada, dsb.),
Asia (Korea Selatan, Malaysia, Hongkong, dsb.) dan bahkan Timur Tengah (Iran).
Adapun metode yang digunakan sama seperti yang diterapkan dalam Occupy Wall
Street yaitu metode demonstrasi dengan menempati tempat umum serta
penyebaran informasi yang dilakukan melalui media jaringan sosial seperti
Facebook dan Twitter. 114
Secara garis besar, kronologis krisis finansial global AS hingga
terbentuknya Occupy Movement dapat dilihat pada tabel berikut:
Periode Waktu
Keterangan
Titik awal krisis finansial global AS di
Akhir 2007
level domestik (menurunnya nilai
saham subprime mortgage dan
timbulnya fenomena credit crunch)
Fase awal dampak penyebaran krisis
September 2008
finansial global AS (kejatuhan Lehman
Brothers dan pasar saham global)
114
Ken Voigt, “Beyond Wall Street: 'Occupy' protests go global”, diakses dari
http://edition.cnn.com/2011/10/07/business/wall-street-protest-global/index.html pada 22 Juni
2012 pukul 12.15.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
64 Tingkat pengangguran meningkat secara
Awal 2009
global terutama di negara maju yang
menjadi titik awal dari krisis finansial
global AS
Kebijakan austerity mulai diterapkan
Awal 2011
oleh pemerintah di berbagai negara
maju
NGO Adbusters dari Kanada mulai
Juni 2011
menyuarakan gerakan protes dengan
membentuk website
OccupyWallStreet.org
Gerakan Occupy Wall Street di Zucotti
September 2011
Park, New York berlangsung (gerakan
ini merupakan gerakan awal yang
memelopori Occupy Movement)
Gerakan Occupy Wall Street mulai
Oktober 2011 - sekarang
menyebar ke berbagai kota besar di AS,
Eropa dan berbagai negara di belahan
dunia lainnya
Sumber: ___, “Occupy Wall Street: A Protest Timeline”, diakses dari
http://theweek.com/article/index/220100/occupy-wall-street-a-protest-timeline pada 9 Juli 2012
pukul 09.34
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
65 BAB 4
KESIMPULAN
4.1 Dampak Krisis Finansial Global AS sebagai Pemicu Occupy Movement
Menurut paradigma realisme, krisis finansial global AS akan berujung
pada menurunnya kekuatan hegemoni AS di dalam sistem perdagangan
internasional. Menurunnya peran AS sebagai hegemon dikarenakan biaya yang
harus dikeluarkan untuk mempertahankan produk kolektif bersama yang pada
kasus ini merupakan sistem perdagangan bebas menjadi semakin mahal harganya
setelah kejatuhan sistem ekonomi domestiknya yang dipicu oleh krisis subprime
mortgage dan kejatuhan Lehman Brothers.
4.2 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan
Internasional Menurut Paradigma Liberalisme
Menurut paradigma liberalisme, krisis finansial global AS akan memicu
sebuah bentuk kerja sama perdagangan internasional baru yang bersifat lebih
proteksionisme di bawah naungan institusi ekonomi internasional lain selain WTO
yaitu G-20. Kerja sama ini tetap dimungkinkan karena pada akhirnya setiap
negara menyadari bahwa cara terbaik bagi mereka untuk menghindari dampak
krisis finansial global yang serupa di masa mendatang adalah dengan membentuk
sebuah sistem finansial baru yang melibatkan sistem regulasi yang lebih matang
bagi semua negara.
4.3 Dampak Krisis Finansial Global AS terhadap Sistem Perdagangan
Internasional Menurut Paradigma Liberalisme
Menurut paradigma konstruktivisme, krisis finansial global AS akan
memicu pada timbulnya rasa tidak percaya secara kolektif dari masyarakat
internasional terhadap sistem perdagangan bebas (kapitalisme). Rasa tidak
65 Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
66 percaya ini diwujudkan dalam bentuk gerakan protes massal yang disebut sebagai
Occupy Movement yang bertujuan untuk memprotes ketidakadilan sistem
perdagangan bebas yang selalu menguntungkan kelompok elit ekonomi yang
hanya membentuk 1% dari populasi masyarakat pada umumnya.
4.4 Tabel Perbandingan Ketiga Paradigma
Realisme
Liberalisme
Konstruktivisme
Krisis Finansial Global
AS
Krisis Finansial Global
AS
Krisis Finansial Global
AS
Sistem ekonomi domestik
AS melemah (kejatuhan
sektor finansial yang
diawali dengan subprime
mortgage)
Banyak negara yang
melanggar prinsip kerja
sama ekonomi yang
berlandaskan
perdagangan bebas di
bawah WTO
Timbulnya rasa tidak
percaya terhadap sistem
perdagangan bebas
(liberal) yang disebabkan
oleh meningkatnya
tingkat pengangguran,
kebijakan austerity, serta
kesenjangan sosial antara
kelompok elit ekonomi
dengan kelompok
masyarakat luas
Menurunnya hegemoni
AS dalam sistem
perdagangan
internasional
Menguatnya peran Cina
dalam sistem
perdagangan
internasional
Terbentuknya kerja sama
ekonomi baru yang lebih
berarah proteksionis di
bawah kerangka kerja
sama G-20
Kerja sama ekonomi baru
ini terbentuk sebagai
upaya untuk memastikan
transparansi dari setiap
negara terhadap sistem
finansial mereka
(memastikan agar negara
lain tidak berbuat curang)
Terbentuknya jaringan
yang berujung pada
timbulnya gerakan
Ocuupy Movement
Dari tabel perbandingan di atas, kita dapat melihat bagaimana setiap
paradigma HI pada akhirnya mampu menyorot dampak krisis finansial global AS
dari tiga perspektif aktor yang berbeda dalam sistem perdagangan internasional
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
67 yaitu state (negara) untuk pandangan realisme, sistem untuk pandangan
liberalisme, dan society (masyarakat) untuk pandangan konstruktivisme. Karena
memiliki fokus yang berbeda, setiap paradigma ini memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Untuk paradigma realisme, kelebihan dari teori stabilitas hegemoni adalah
bagaimana teori ini mampu menunjukkan karakter komunitas internasional sesuai
dengan keadaan yang paling realistis yaitu sebuah sistem internasional yang akan
didominasi oleh aktor negara yang memiliki kekuatan politik, ekonomi, dan
militer terbesar. Oleh karena itu, teori ini berhasil di dalam menggambarkan
dampak dari menurunnya kekuatan aktor yang dominan ini (hegemon) terhadap
sistem perdagangan yang dipeloporinya. Akan tetapi, teori ini terlalu berfokus
pada upaya untuk menjelaskan upaya dominasi yang mampu dilakukan oleh
sebuah hegemon tanpa menganalisis mengapa pada akhirnya hegemon ini
terkadang bersedia untuk mengkompromikan beberapa kepentingannya demi
mendapatkan dukungan dari negara-negara yang tidak sedominan dirinya. Dengan
kata lain, teori ini tidak mampu memasukkan unsur analisis dari faktor lain yang
berasal dari aktor non negara. Akibatnya, teori ini tidak dapat menjelaskan
mengapa setelah kemunduran AS sebagai hegemon, AS masih tetap menjadi aktor
yang dominan di dalam sistem perdagangan internasional.
Untuk paradigma liberalisme, kelebihan dari teori liberal institusionalis
adalah bagaimana teori ini mampu untuk menganalisis dampak dari krisis
finansial global AS dengan menggunakan pandangan yang cukup seimbang
karena tidak terlalu berfokus pada perspektif aktor negara tetapi pada perspektif
sebuah sistem internasional melalui konsep prisoner’s dilemma. Sayangnya, hal
ini jugalah yang menjadi kelemahan teori ini karena pada akhirnya teori ini tidak
mampu untuk menjelaskan mengapa kerja sama ekonomi internasional yang
dinaungi oleh WTO bisa mengalami kegagalan padahal sudah terdapat norma
yang mengikat para negara anggota yang tergabung di dalamnya. Teori ini hanya
mampu untuk menjelaskan mengapa sebuah kerja sama dapat dimulai tanpa
menganalisis lebih lanjut faktor apa saja yang dibutuhkan untuk membuat kerja
sama tersebut bertahan.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
68 Untuk paradigma konstruktivisme, kelebihan dari pendekatan analisis
jaringan adalah bagaimana pendekatan ini mampu memasukkan perspektif
masyarakat yang selama ini dianggap sebagai aktor yang paling tidak berpengaruh
dalam sistem internasional di dalam mengalami dampak krisis finansial global AS
yang terjadi di tingkat negara. Pendekatan ini mampu menganalisis kestabilan
sistem perdagangan internasional dari aspek yang tidak dapat dikuantifikasikan
yaitu rasa percaya masyarakat internasional terhadap sistem perdagangan bebas
yang diprakarsai oleh aktor negara. Akan tetapi, yang menjadi kelemahan
pendekatan ini adalah kurangnya kemampuan untuk mengkuantifikasi faktor
sosial yang ada sehingga korelasi di antara komponen yang berupaya untuk
dianalisis masih seringkali mengalami ambiguitas.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
69 DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anheier,Helmut K. dan Hagai Katz. 2003. “Network Approaches to Global Civil”,
dalam Mary Kaldor, Helmut Anheier, dan Marlis Glasius (eds), Global Civil
Society. Oxford: Oxford University Press.
Freeman, Linton. 2006. The Development of Social Network Analysis. Vancouver:
Empirical Press.
Gilpin, Robert. 2002. “The Rise of American Hegemony," dalam Two Hegemonies:
Britain 1846-1914 and the United States 1941-2001 diedit oleh Patrick Karl
O'Brien dan Armand Clesse Aldershot: Ashgate Publishing, Ltd.
Gilpin, Robert. 1990. War and Change in the International System. Cambridge,
1981.
Nye, R. 1990. Bound To Lead. New York.
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World-System (1). New York/London.
Wasserman, Stanley dan Katherine Faust. 1994. Social Network Analysis:
Methods and Applications. Cambridge: Cambridge University Press.
Jurnal:
Juris, Jefferey S. “The New Digital Media and Activist Networking within AntiCorporate Globalization Movements”, dalam Annals of the American
Academy of Political and Social Science, Vol. 597, Cultural Production in a
Digital Age, (Januari, 2005). Keohane, Robert O. dan Lisa L. Martin, 1995. “The Promise of Institutionalist
Theory”, dalam International Security, Vol. 20, No. 1, (Summer 1995).
Krasner, Stpehen D. ed. 1982. “International Regimes”, dalam
Organization (special issue), Vol. 36, No. 2 (Spring 1982).
International
Mearsheimer, John J. 1994-1995. “The False Promise of International
Institutions”, dalam International Security, Vol. 19, No. 3, (Winter, 19941995)
O’Brien, Patrick K. dan Geoffrey Allen Pigman. 1992. “Free Trade, British
Hegemony and the International Economic Order in the Nineteenth
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
70 Century” dalam Review of International Studies, Vol. 18, No. 2, (April,
1992).
North, Douglass C. dan Robert P. Thomas. 1970. "An Economic Theory of the
Growth of the Western World," dalam The Economic History Review, 2nd
series, Vol. 23, No. 1 (April 1970).
Snidal, D. 1985. “The Limits of Hegemonic Stability”, dalam International
Organization, Vol. 39, (1985).
Stein, Arthur A. 1984. “ The Hegemon’s Dilemma: Great Britain and the United
States, and the International Economic Order” dalam International
Organization, Vol. 38, No. 2, (Spring, 1984).
Strange, Susan. 1987. “The Persistent Myth of Lost Hegemony”, dalam
International Organization, Vol. 41, (1987). Laporan Ilmiah:
Nanto, Dick K. 2009. “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy
Implications”, Congressional Research Service, (Oktober 2009).
Internet:
___, “Global Financial Crisis – What Caused It and How the World Responded”,
diakses dari http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ diakses pada 18
April 2012 pukul 19.26.
Larry Elliott, “Global Financial Crisis: Five Key Stages 2007-2011”, (7 Agustus
2011), diakses dari http://www.guardian.co.uk/business/2011/aug/07/globalfinancial-crisis-key-stages pada 17 April 2012 pukul 20.46
___, “The Downturn in Facts and Figures”, dalam BBC (21 November 2007),
diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/7073131.stm pada 22 Juni 2012 pukul
02.51.
Stephen Foley, “Crash of a Titan: The Insisde Story of the Fall of Lehman
Brothers”, dalam The Independent (7 September 2009), diakses dari
http://www.independent.co.uk/news/business/analysis-and-features/crash-of-atitan-the-inside-story-of-the-fall-of-lehman-brothers-1782714.html pada 21 Juni
2012 pukul 23.47.
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
71 Jamie Oliver and Tony Goodwin, “The King of Subprime”, dikases dari
http://www.director.co.uk/ONLINE/2010/11_10_vince_cable_responsible_capital
ism.html pada 22 Juni 2012 pukul 00.18
___, “Case Study: The Collapse of Lehman Brothers”, diakses dari
http://www.investopedia.com/articles/economics/09/lehman-brotherscollapse.asp#axzz1yRhJLU7E pada 22 Juni 2012 pukul 00.32
___, “Global Financial Crisis - What caused it and how the world responded”,
diakses dari http://www.canstar.com.au/global-financial-crisis/ pada 22 Juni 2012
pukul 02.09
IMF, “Sharp Rise in Unemployment from Global Recession”, (2 September
2010),
diakses
dari
http://www.imf.org/external/pubs/ft/survey/so/2010/NEW090210A.htm pada 6
Juli 2012 pukul 12.00
___,
“Austerity”,
diakses
dari
http://www.investopedia.com/terms/a/austerity.asp#axzz1zoqKBezA pada 6 Juli
2012 pukul 13.00
Patrick Martin, “Obama, Congress Make New Austerity Plans”, (23 November
2011), diakses dari http://www.wsws.org/articles/2011/nov2011/budg-n23.shtml
pada 8 Juli 2012 pukul 17.26
James Boxell, “Sarkozy to Unveil Austerity Budget”, (7 November 2011), diakses
dari
http://www.irishtimes.com/newspaper/world/2011/1107/1224307165379.html?via
=rel pada 8 Juli 2012 pukul 17.33
David DeGraw, “Meet the Global Financial Elites Controlling $46 Trillion in
Wealth”,
(11
Agustus
2011),
diakses
dari
http://www.alternet.org/investigations/151999/meet_the_global_financial_elites_c
ontrolling_$46_trillion_in_wealth?page=entire pada 8 Juli 2012 pukul 18.32
Universitas Indonesia
Paradigma realisme..., Irene Severina, FISIP UI, 2012
Download