Amrta Institute for water literacy P rivatisasi layanan air Jakarta bisa dikatakan sebagai produk Orde Baru. Sektor swasta secara resmi dilibatkan dalam layanan air Jakarta pada 1997, saat kekuasaan Seoharto masih solid. Saat itu perusahaan air asing Thames, dari Inggris, dan Suez, dari Perancis, menggandeng orang-orang dekat Soeharto untuk membuat perusahaan yang menerima konsesi yang memberi mereka hak penuh memberi layanan air di Jakarta. Tetapi privatisasi layanan air sebenarnya telah mulai dirintis jauh sebelum itu. Bank Dunia telah mulai memberi pinjaman untuk infrastruktur air di Jakarta pada awal 90-an, sebagai bagian dari agenda global untuk memperkenalkan privatisasi pada sektor air dan sanitasi. Dengan kata lain, privatisasi layanan air di Jakarta adalah gabungan dari agenda neoliberal global dan nuansa Korupsi, Kolusi, Nepotisme era Orde Baru. Tidak mengherankan jika kemudian privatisasi menghasilkan kontrak kerja sama yang, meminjam istilah Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, “gila”.1 Kontrak kerja sama dianggap gila karena memberikan jaminan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi mitra swasta, dan di saat yang sama membuat PAM Jaya, perusahaan air milik pemerintah provinsi DKI, terpuruk dalam kerugian dan utang. Di banyak kota di dunia kasus serupa juga terjadi, dan kemudian menimbulkan gelombang penolakan terhadap privatisasi layanan air secara global. Layanan air yang sebelumnya diprivatisasi mulai banyak yang diambil alih oleh publik. Di Jakarta, hal serupa juga tengah diperjuangkan. Privatisasi: sejarah kegagalan Kontrak kerja sama antara PAM Jaya dengan dua mitra swasta ditandatangani pada 1997, namun sesudah itu mengalami proses penyataan kembali, perubahan, dan proses renegosiasi yang pelik karena privatisasi September 2014 Saatnya Jakarta Mengakhiri Privatisasi Layanan Air dianggap merugikan Jakarta. Akhirnya pada 2012 Gubernur DKI Joko Widodo menyatakan akan mengakhiri privatisasi. Jakarta sudah jengah dengan persoalan yang ditimbulkan oleh privatisasi. Pelibatan swasta dalam layanan air Jakarta mulai dirintis pada Juni 1991 melalui pinjaman infrastruktur air dan sanitasi senilai USD 92 juta oleh Bank Dunia dan Dana Kerjasama Ekonomi Jepang kepada PAM Jaya. Dua lembaga inilah yang mempromosikan privatisasi layana air, hingga dua perusahaan asing masuk. Thames Water Overseas Ltd. masuk melalui Sigit Harjojudanto, anak Soeharto. Sedangkan GDF Suez menjalin rekan dengan Anthony Salim. Dua perusahaan masing-masing mendapatkan separoh Jakarta: bagian barat untuk operator yang saat ini bernama Palyja, dan bagian timur saat ini untuk Aetra. Perubahan pertama terhadap kontrak kerja sama adalah pada 2001 untuk menyesuaikan dengan situasi ekonomi dan politik setelah krisis 1998. Kontrak dinyatakan kembali tanggal 22 Oktober 2001. Kontrak tahun 2001 ini diikuti dengan beberapa kali rebasing, yaitu perubahan target lima tahunan yang harus dipenuhi oleh dua mitra swasta, yang sudah dilakukan pada 2003-2007 dan 2008-2012. Pada proses rebasing inilah yang oleh masyarakat ditengarai rawan penyimpangan karena berulang kali PAM Jaya menyetujui penurunan target kinerja mitra swasta.2 Akan tetapi, kesadaran PAM Jaya kemudian timbul, bahwa kontrak kerja sama telah semakin membuat PAM Jaya terpuruk dalam kerugian, sementara kinerja mitra swasta tidak mengalami peningkatan. Akhir 2011 PAM Jaya mulai menyuarakan keinginan untuk melakukan renegosiasi kontrak, diawali ketika direktur PAM Jaya saat itu Maurits Napitupulu menyuarakan dengan keras bahwa privatisasi telah membawa PAM Jaya dalam kerugian keuangan yang tidak main-main, hingga Rp18,2 Saatnya Jakarta Mengakhiri Privatisasi Layanan Air 1 triliun, jika kerja sama dengan swasta dilanjutkan sampai tahun 2022.3 Proses renegosiasi berlangsung alot. Aetra yang pertama bersedia berkompromi dengan beberapa perubahan yang kemudian dijadikan adendum terhadap kontrak, pada Desember 2012. Beberapa hal yang disetujui oleh Aetra adalah menurunkan imbal hasil yang selama ini dirasa terlalu tinggi, yaitu dari 22% menjadi 15,8%; penghapusan utang shortfall Rp 330 miliar; dan menurunkan tingkat kebocoran dari 29% menjadi 25%.4 Palyja, di lain pihak, tetap menolak melakukan renegosiasi hingga saat ini. Masyarakat sipil dan serikat buruh air minum telah lebih dulu menyatakan penolakan terhadap privatisasi layanan air. Tidak terhitung demonstrasi dan diskusi publik diselenggarakan untuk mendorong pengembalian layanan air ke tangan publik. Salah satu puncaknya adalah saat Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air (KMMSAJ), koalisi yang terdiri dari LSM, pelanggan, dan warga, melaporkan dugaan korupsi PAM Jaya dan dua operator swasta ke KPK pada Januari 2012,5 serta mengorganisir gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas privatisasi layanan air Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada April 2013.6 Bahkan Gubernur DKI Joko Widodo pertama kali menyatakan akan mengakhiri kontrak privatisasi layanan air, pada Maret 2013, juga saat pertemuan dengan masyarakat sipil.7 Jakarta tidak sendiri. Di kota-kota lain di Alasan mengakhiri privatisasi Tarif air mahal Keuntungan diambil oleh investor Masyarakat miskin tidak terlayani karena swasta berorientasi keuntungan bisnis Perusahaan swasta tidak punya kewajiban untuk transparan kepada publik, sehingga rawan korupsi Kebutuhan pembiayaan tinggi Pekerja berstatus outsourcing, sehingga tidak memiliki dedikasi terhadap pekerjaan, berisiko terhadap kualitas layanan dunia juga telah mengalami kegagalan privatisasi dan mulai mengambil alih layanan air dari tangan swasta. Tren global menentang privatisasi Di seluruh dunia, saat ini telah ada 86 kota yang mengakhiri privatisasi layanan air, yang menyebar di Asia, Eropa, Afrika, Amerika Utara, dan Amerika Selatan, yang terjadi selama 15 tahun terakhir.8 Jumlahnya akan terus bertambah karena kota-kota lain, termasuk Jakarta, sedang dalam proses untuk mengambil alih layanan air dari swasta. Tren ini dikenal sebagai remunisipalisasi, yaitu pengembalian sarana publik dari pihak swasta kepada pemerintah. Remunisipalisasi bahkan juga terjadi di Perancis, negara asal perusahaan-perusahaan air yang menjalankan konsesi privatisasi layanan air, termasuk Suez, yang beroperasi di Jakarta melalui Palyja. Di Perancis sendiri ada 9 kota yang telah mengakhiri privatisasi layanan air, termasuk Paris. Di Amerika Serikat, negara yang dikenal sebagai jantung kapitalisme, terdapat setidaknya tiga kota yang telah melakukan remunisipalisasi. Privatisasi layanan air semakin banyak ditentang karena telah menimbulkan persoalan seperti melonjaknya tarif, rendahnya kinerja swasta yang berorientasi keuntungan bisnis, dan tidak adanya transparansi. Sudah waktunya Jakarta melakukan remunisipalisasi. Alasan memilih pengelolaan publik Tarif air terjangkau karena perusahaan publik lebih efisien (di Paris, tarif air turun 8% setelah layanan air diambil alih pemerintah)9 Keuntungan diinvestasikan kembali untuk peningkatan layanan Layanan merata karena fungsi utamanya adalah layanan publik yang tidak berorientasi profit Lembaga publik memiliki kewajiban secara hukum untuk transparan dan akuntabel terhadap publik Pembiayaan lebih murah karena lembaga publik memiliki akses dana dengan bunga rendah Pengelolaan pekerja oleh lembaga publik lebih terjamin, memiliki komitmen terhadap layanan publik Catatan akhir 1 http://properti.kompas.com/read/2013/04/19/20234888/Layanan.Air.Bersih.Buruk.Basuki.Ancam.Suez.Environment 2 http://metropolitan.inilah.com/read/detail/1824954/icw-laporkan-dugaan-korupsi-air-di-jakarta/#.U_GO2cWSyy4 3 http://m.bisnis.com/industri/read/20111222/45/57497/pdam-jaya-klaim-terancam-merugi-rp18-2-triliun 4 http://m.bisnis.com/quick-news/read/20121220/77/110929/pengadaan-air-bersih-renegosiasi-kontrak-pam-palyja-bakal-molor 5 http://megapolitan.kompas.com/read/2012/01/31/18074020/Dugaan.Korupsi.PAM.Jaya.Dilaporkan.ke.KPK 6 http://nasional.kontan.co.id/news/kmmsaj-gugat-kontrak-swastanisasi-air-jakarta 7 http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/28/jokowi-cancel-contracts-with-water-firms.html 8 http://www.remunicipalisation.org/front/page/remunicipalisation_wave 9 http://www.remunicipalisation.org/front/page/home#case_Paris Media ini diterbitkan atas kerja sama Public Services International (PSI) <http://world-psi.org>, Transnational Institute (TNI) <http://tni.org>, Amrta Institute for Water Literacy <http://amrtainstitute.org>, dan Serikat Pekerja PDAM Jakarta (SP-PDAM Jakarta). Saatnya Jakarta Mengakhiri Privatisasi Layanan Air 2