F20291/Analisis Ekonomi Muhammad Chatib Basri

advertisement
Analisis Ekonomi Muhammad Chatib Basri
Negeri yang Kekurangan Aliran Listrik, Jalan, dan Air Bersih
23-09-02
TANGGAL 12 September malam, gelap gulita yang menaungi
Jabotabek dan Banten-akibat padamnya listrik-mungkin hanya
pertanda awal tentang buruknya infrastruktur di negeri ini. Rumah
tangga yang kalang kabut, kemacetan lalu lintas, dan terhentinya
beberapa proses produksi hanyalah indikasi dini tentang dampak
infrastruktur yang memprihatinkan. Konsumen pun mengeluh, kenapa
listrik padam?
Bukankah tarif listrik sudah mulai dinaikkan? Sebuah keluhan yang
sah. Namun, soal ini juga harus dilihat dalam perspektif lebih jauh,
yakni kendala infrastruktur. Beberapa hari sebelumnya, sebuah
pesawat penerbangan dari Makassar ke Jakarta nyaris mengalami
nasib yang naas karena oksigen tak berfungsi, ketika pesawat masuk
ke ruang hampa. Untung pesawat masih berhasil kembali ke
Makassar.
ags
Di tempat lain kita mendengar soal bahaya yang muncul di jalur utama
pantai utara Jawa. Kerusakan jalan, yang diperparah dengan penurunan tanah, jelas
membahayakan pengendara yang lewat di sana. Kita juga membaca tentang defisit pasokan air
minum di Jawa Barat. Proses pasokan ke konsumen yang biasanya bisa berjalan selama 24
jam, kini, menurut Koran Tempo, hanya mampu berjalan selama 6-18 jam. Harian Kompas
menunjukkan, bagaimana Indonesia merupakan negara dengan infrastruktur terburuk di Asia.
Bukti-bukti anekdotal di atas sebenarnya bercerita tentang akibat dari krisis ekonomi yang mulai
terasa. Krisis ekonomi memaksa adanya pemotongan biaya di mana-mana, termasuk biaya
pemeliharaan. Pada September 1997 misalnya, Kepres 39 memutuskan untuk menunda
pembangunan banyak proyek infrastruktur, termasuk swasta. Selain itu, banyak proyek swasta
yang mengalami kesulitan keuangan atau gagal memperoleh sumber dana. Akibatnya, praktis
tak ada pembangunan infrastruktur yang signifikan selama lima tahun krisis ekonomi. Mudah
ditebak, infrastruktur yang lama mengalami depresiasi dan tak bisa berfungsi sepenuhnya.
Apa implikasi dari semua ini? Jawabnya jelas, yakni pertama, rentannya keselamatan kita dan
timbulnya kerugian yang diderita masyarakat. Kedua, meningkatnya beban yang ditanggung
kelompok. Dan, ketiga, sulitnya mendukung pertumbuhan ekonomi tinggi yang
berkesinambungan. Soal kerugian dan rentannya keselamatan masyarakat telah banyak dibahas
termasuk di Harian Kompas kemarin. Saya akan lebih memfokuskan diri pada masalah
dampaknya bagi penduduk miskin, pertumbuhan ekonomi, dan alternatif pembiayaannya. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan disini;
Pertama, kualitas infrastruktur yang rendah akan memberatkan penduduk miskin dan
perusahaan kecil. Dalam kasus air misalnya, penetapan harga yang murah tanpa didukung oleh
infrastruktur seperti akses air bersih, justru hanya akan memberikan keuntungan kepada
pedagang dan bukan kelompok miskin. Contohnya, air bersih yang dijual pemerintah dengan
harga murah, dijual kembali oleh para pedagang kepada masyarakat -yang tak memiliki akses
air- dengan harga yang berlipat (menurut studi World Bank tahun 1988, bisa 4-9 kali lebih
mahal).
Karena itu, bisa dibayangkan, kelangkaan pasokan air bersih di Jawa Barat akan menaikan
harga dengan amat tajam, yang akhirnya sangat membebani kelompok miskin, di sisi lain
memberikan keuntungan berlipat bagi pedagang. Dalam kasus listrik, Ikhsan dan Usman dari
LPEM-FEUI menunjukkan, peningkatan pasokan listrik akan membantu kelompok miskin.
Alasannya, harga yang mereka bayar untuk energi menjadi lebih murah. Biaya rata-rata untuk
penyambungan rumah tangga yang sebesar Rp 1.147 - bila ada peningkatan pasokan listrik jelas berada di bawah biaya rata-rata yang sebesar Rp 7.428 per kWh untuk mereka yang tidak
memiliki sambungan (sebagian mereka adalah kelompok miskin).
Penyediaan akses listrik akan menurunkan biaya konsumsi energi, untuk mereka yang tidak
memiliki sambungan, menjadi Rp 1.183 per kWh. Bagaimana dengan industri? Data Statistik
Industri menyebutkan bahwa sebagian besar pengguna generator adalah perusahaan yang
besar (dengan pekerja lebih dari 100 orang), sedang persentase penggunaan generator di
perusahan kecil dan menengah (dengan pekerja kurang dari 100) relatif kecil. Artinya,
perusahaan kecil dan menengah lebih tergantung kepada pasokan PLN, sedangkan mayoritas
perusahaan memiliki pembangkit listriknya sendiri.
Ini adalah sesuatu yang logis karena penyediaan generator atau membeli listrik dari perusahaan
lain membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Jadi cuma yang besar yang mampu. Walau demikian
setelah krisis, sejalan dengan meningkatnya harga solar, sebagian perusahaan besar pun ikut
mengandalkan sumber listriknya dari PLN untuk menghemat biaya. Implikasinya, keterbatasan
PLN akan memukul industri, terutama yang kecil dan menengah. Kasus yang sama juga terjadi
pada air bersih, seperti yang ditunjukan oleh studi yang dilakukan oleh Lee, Anas, dan Oh dari
World Bank (1996).
Dari sini kita bisa melihat bahwa kelompok yang paling dirugikan oleh keterbatasan infrastruktur
adalah kelompok miskin dan industri kecil dan menengah.
***
KEDUA, dampaknya pada pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Studi LPEM (2002)
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor nonmigas bukan hanya ditentukan oleh pertumbuhan
ekonomi dunia, tetapi juga soal-soal di sisi penawaran, seperti persoalan infrastruktur. Kendala
infrastruktur akan membuat proses produksi menjadi tersendat, sehingga secara ekonomi
sebenarnya terjadi kenaikan harga relatif barang-barang non-traded (seperti infrastruktur, yang
tidak bisa di ekspor atau impor) dibandingkan harga barang traded (barang yang bisa diekspor
atau impor).
Implikasinya ekspor akan menurun karena hilangnya daya kompetisi, yang pada gilirannya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Studi awal yang saya lakukan menunjukkan elastisitas
penyediaan listrik terhadap PDB berkisar 0,5-0,54 persen. Artinya, kenaikan 1 persen
penyediaan listrik akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5-0,54 persen.
Artinya untuk pertumbuhan ekonomi 6-7 persen - guna menyerap lapangan kerja dan
mengurangi rasio utang/PDB-dibutuhkan input berupa penjualan listrik sebesar 11-14 persen per
tahun.
Bandingkan angka ini dengan tingkat penggunaan listrik sekarang dan ke depan yang
diperkirakan sekitar 7-8 persen. Dengan kondisi ini, jelas terlihat bahwa infrastruktur yang ada
tak mampu menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Itu sebabnya
pemadaman reguler terjadi. Ironisnya ini tetap terjadi pada saat subsidi mulai dikurangi. Artinya,
pengurangan subsidi pun belum mencukupi. Tanpa investasi baru atau repowering, system yang
ada akan rawan sekali terhadap gangguan. Ini terjadi di banyak sektor infrastruktur kita. Dan
situasi menjadi semakin buruk lagi karena berbagai inefisiensi dan juga masalah KKN, serta
ketidaktransparanan dalam pelbagai proyek infrastruktur.
Studi yang saya lakukan pada periode 1990-an menunjukkan, jika pemerintah meningkatkan
pengeluaran untuk infrastruktur dan daya terpasang listrik sebesar 15 persen, pertumbuhan
ekonomi dapat didorong 8 persen lebih tinggi (misalnya dari 6 menjadi 6,5 persen). Ini
menunjukkan bahwa untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkesinambungan dibutuhkan perbaikan infrastruktur. Dalam kaitan dengan akses kredit di
daerah, studi awal LPEM menunjukkan bahwa infrastruktur seperti jalan beraspal dan
sambungan telepon memiliki dampak positif bagi permintaan kredit di daerah. Peningkatan
prosentase jalan beraspal sebesar 1 persen misalnya dapat meningkatkan permintaan kredit
didaerah sebesar 0.1 persen. Artinya, perbaikan infrastuktur memperbaiki perekonomian yang
pada gilirannya akan meningkatkan permintaan kredit.
***
SETELAH kita tahu betapa krusialnya soal investasi untuk infrastruktur, pertanyaan berikutnya
adalah sumber pembiayaannya. Sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama,
dari sisi internal, yakni peningkatan efisiensi dengan memberlakukan harga pasar dan
memperbaiki good governance. Kedua, meningkatkan pembiayaan dari pemerintah. Akan tetapi
ada kendala besar disini, yakni ruang anggaran praktis terbatas karena alokasi dana untuk
pembayaran bunga dan cicilan utang. Solusinya mengundang swasta untuk masuk atau
privatisasi.
Namun, ada hal penting yang perlu diperhatikan, privatisasi infrastruktur tanpa mengubah stuktur
pasarnya tak selalu menjamin harga yang lebih murah bagi konsumen. Penyebabnya, sunk cost
(biaya investasi yang tidak bisa diperoleh kembali) yang tinggi. Sunk cost yang tinggi akan
mengakibatkan hambatan untuk masuk (barriers to entry) dalam sektor infrastruktur. Untuk
menutupi sunk cost yang tinggi, secara rasional perusahaan menuntut monopoli profit. Artinya
perusahaan akan masuk ke dalam sektor ini, jika mendapat keuntungan sebagai monopolis.
Kalau ini yang terjadi, maka privatisasi hanya sekedar mengubah monopoli pemerintah menjadi
monopoli swasta. Lalu buat apa privatisasi?
Lalu apa solusinya? Untuk mengompensasi sunk cost yang tinggi ini pemerintah bisa melakukan
tax deductible atau pengurangan pajak. Jika swasta mau membangun infrastuktur, berikan
pengurangan pajak. dengan demikian ada insentif swasta untuk masuk ke dalam pasar tanpa
perlu monopoli profit. Dalam struktur pasar seperti ini, maka harga yang dibayar konsumen
adalah harga pasar persaingan -yang relatif murah. Saya tahu bahwa usulan pengurangan pajak
akan berpengaruh kepada penerimaan anggaran. Namun, bukankah dengan masuknya swasta,
biaya pembangunan infrastruktur dapat diperkecil? Dengan demikian efek anggarannya
sebenarnya tak berbeda jauh.
Di luar ide ini, satu hal penting yang harus diingat adalah insentif swasta untuk masuk
sebenarnya tak hanya tergantung soal sunk cost, namun juga kepastian peraturan dan hukum.
Bila ini tak dilakukan, insentif pajak tak akan banyak menolong dan infrastuktur tetap tak bisa
diperbaiki. Implikasinya masa depan yang gelap dan kering -dalam arti yang sesungguhnya,
karena padamnya listrik dan kurangnya air bersih-bukan hal yang musykil. Kita semua jelas tak
menginginkan ini.*
Download