Pendahuluan Bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa

advertisement
A.
Pendahuluan
Bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan
manusia. Tanpa adanya bahasa, maka manusia dipastikan tidak akan bisa
berinteraksi atau berkomunikasi dengan baik. Dengan kata lain, bahwa bahasa itu
adalah sesuatu yang telah menyatu dengan kehidupan manusia. Sebagai salah satu
yang menyatu dengan kehidupan manusia, bahasa selalu muncul dalam segala
aspek dan kegiatan manusia di manapun berada. Ketika manusia melakukan
kegiatan apa pun pastilah bahasa akan menyertainya. Oleh karena itu, jika orang
bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya pun bermacam-macam bergantung
pada konteks pertanyaannya. Jawaban seperti, bahasa adalah alat untuk
menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, bahasa adalah
alat untuk mengekspresikan diri, semuanya dapat diterima.
Para pegiat bahasa dalam hal ini para linguistik akan memandang bahasa
sebagai objek kajiannya bukan sebagai sesuatu yang lain, melainkan bahasa
dipandang sebagai bahasa. Oleh karena itu, para linguistik lazim mengartikan
bahasa sebagai sebuah sistem lambang, maka bahasa itu sama dengan lambang lain,
bahasa merupakan lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh para
anggota kelompok sosial, tetapi sekaligus bersifat konvensional (Chaer, 2012: 32).
Bahasa dalam pandangan para linguis harus dibedakan dengan berbahasa.
Menurut Chaer (2009, 1) kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau
kegiatan mental (otak). Proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila makna
yang dikirimkan penutur dapat diresepsi oleh pendengar seperti yang dimaksudkan
oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan
baik pabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak
sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan
pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin
antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik.
Kajian dalam psikolinguistik mengkaji bagaimana kegiatan manusia dalam
memproduksi dan meresepsi bahasa itu, yang dimulai dari enkode semantik dalam
otak pembicara dan pada dekode semantik dalam otak pendengar. Kalau bahasa
1
adalah objek kajian linguistik, maka kegiatan berbahasa ini lah merupakan objek
kajian psikolinguistik.
Mungkin banyak dari kita yang kurang menyadari ketika manusia berbicara,
dalam mental (otak) manusia sebetulnya telah menyusun rentetan kalimat yang
akan dibicarakan. Seperti yang diungkapkan oleh (Darjowidjojo, 2012: 115) seolaholah manusia telah menyusun kalimat tanpa harus berpikir ketika berbicara dengan
teman atau keluarga. Manusia sepertinya tidak merasa kesusahan dalam
memproduksi atau mengeluarkan sebuah ujaran. Perasaan seperti ini memang
menjadi hal tidak begitu penting karena manusia secara tidak sadar bahwa
sebenarnya dalam berkomunikasi memerlukan perencanaan mental yang rinci dari
tingkat wacana sampai pada pelaksanaan artikulasinya.
Perencanaan yang demikian rinci itu terjadi begitu cepat dalam komunikasi
manusia. Bayangkan saja dalam beberapa menit saja manusia berkomunikasi,
berapa aspek yang dilibatkan dalam mental (otak) untuk merentet kalimat
sedemikian rupa sehingga orang lain mengerti apa yang dikatakannya.
Sederhananya, dalam proses mental atau produki ujaran ini akan banyak
menyangkut berbagai aspek. Dan pada akhirnya kalimat akan direalisasikan dalam
bentuk bunyi pada tahap artikulasinya.
Terkadang dalam memproduksi ujaran dan berakhir pada tahap artikulasi,
kalimat-kalimat yang dimunculkan terjadi beberapa kesalahan. Kesalahan itu dapat
berupa kilir lidah seperti kelapa untuk kepala. Jadi ketika kita ingin meniliti
bagaimana manusia memproduksi kalimat kita juga harus melihat dari kalimat yang
diujarkan, kita cermati bagaimana bagaimana kalimat itu diujarkan.
Dari uraian di atas, kita sebagai manusia pemilik bahasa tentunya harus
memahami betul bagaimana produksi ujaran dan kalimat yang selama ini kita
gunakan. Apalagi, sebagai pegiat bahasa setidaknya harus memiliki pemikiran yang
kritis berkaitan dengan produksi ujaran dan kalimat ini. Bagaimana langkahlangkah dalam memproduksi ujaran, melalui tahapan apa saja bahasa yang
diproduksi oleh manusia sehingga kalimat yang muncul dapat begitu kompleksnya.
Maka pada makalah ini yang akan dibahas tentang bagaimana produksi ujaran dan
kalimat tersebut.
2
B.
Tahapan dalam Memproduksi Ujaran
Seperti
yang telah dipaparkan dalam pendahuluan bahwa dalam
berkomunikasi, penutur memerlukan mental yang rinci dari tingkat wacana (topik
atau pesan) sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Mental yang berada dalam otak
manusia ini pastinya akan membutuhkan beberapa aspek. Menurut Dardjowidjojo
(2012, 116) aspek pertama berkaitan dengan siapa yang kita ajak bicara atau
interlokutornya. Ini akan berpengaruh betul terhadap ujaran yang akan kita produksi.
Karena ujaran tersebut akan sampai pada pemahaman interlokutor jika informasi
yang ada dalam ujaran semua merupakan informasi lama. Jadi, di sini berkaitan
dengan pengetahuan interlokutor atau orang yang kita ajak bicara. Tidak mungkin
kita akan berbicara ujaran yang banyak mengandung informasi baru, seperti kalimat
Mas Yusi sedang mengajari muridnya bahasa Indonesia. Kalimat tersebut akan
dimengerti maknanya jika Mas Yusi adalah salah satu teman dari interlokutor atau
orang yang kita ajak bicara. Akan tetapi, bila Mas Yusi adalah orang yang tidak
diketahui identitasnya, maka kalimat tersebut menjadi tidak bermakna.
Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa ketika kita akan berujar, pastinya
ada maksud atau pesan yang ingin kita sampaikan. Pesan tersebut, pastinya akan
disesuaikan dengan siapa yang kita ajak bicara dan memberikan pesan yang sesuai,
benar, dan tidak ambigu. Sehingga maknanya mudah diterima oleh interlokutor.
Proses dalam memproduksi ujaran pastinya akan dimulai dengan pesan atau
informasi ini. Hal itu sesuai dengan pendapat Dardjowidjojo (2012, 117) bahwa
proses dalam memproduksi ujaran dapat dibagi menjadi empat tahapan. Tahapan
pertama adalah pesan, di mana pesan yang akan disampaikan diproses tahapan
fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik,
tahapan posisional, di mana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan
terakhir adalah tahapan fonologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan.
Pada tahapan pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang
ingin disampaikan. Seperti kalimat tadi, Mas Yusi sedang mengajari muridnya
bahasa Indonesia. Maka, nosi-nosi yang ada pada mental pembicara adalah antara
lain adanya seseorang, orang ini adalah laki-laki, dia sedang melakukan suatu
perbuatan, perbuatan itu adalah mengajarkan bahasa Indonesia pada muridnya.
3
Pada tahapan fungsional, ada dua hal yang akan diproses. Pertama, memilih
bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi
gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut. Seperti kata Mas Yusi
dalam contoh kalimat, mengarah pada seorang laki-laki yang sama-sama kita kenal,
dan kata ini adalah nama orang laki-laki. Sedangkan perbuatan yang dilakukan
diwakili oleh verba dasar ajar. Mas Yusi adalah pelaku sedangkan muridnnya
adalah resipiennya. Proses kedua pada tahapan fungsional adalah memberikan
fungsi pada kata-kata yang telah dipilih. Hal ini sangat berkaitan erat dengan
sintaktik atau fungsi gramtikal. Seperti contoh, Mas Yusi dikaitkan dengan fungsi
subjek sedangkan muridnya pada objek.
Selanjutnya pada tahapan posisional, di sini akan diurutkan bentuk leksikal
untuk ujaran yang akan dikeluarkan. Ini yang nantinya menjadi dasar diagram
pohon. Seperti contoh kata sedang akan berhubungan dengan mengajari, bukan
dengan Mas Yusi. Begitu juga –nya akan berhubungan dengan murid, dan bukan
pada Mas Yusi. Setelah pengurutan selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Untuk
bahasa Indonesia kata dasar dalam contoh kalimat ajar haruslah ditambah dengan
konfiks me-i.
Dan pada akhirnya, setelah melalui beberapa tahapan pemrosesan, hasil dari
beberapa pemrosesan ini akan dikiran ke tingkat fonologi untuk diwujudkan dalam
bentuk bunyi. Seperti yang kita lakukan ketika berbicara, akhir dari tahapan
pemrosesan adalah pelakasanaan artikulasinya. Pada tahap ini aturan fonoktaktik
bahasa yang bersangkutan diterapkan. Berikut gambaran tahapan pemrosesan
ujaran yang dimodifikasi dari Dardjowidjojo (2012: 118).
Fungsional:
Posisional:
Enkode
Pengurutan
Fonologi
Leksikal dan
Konstituen
(Pelaksanaan
Pemberian
dan
Artikulasinya)
Pemilihan
Pesan
bentuk
Fungi
Infleksi
Enkode Gramtikal
4
1. Perencanaan Produksi Topik
Seperti digambarkan di atas, dalam proses memproduksi ujaran orang mulai
dari perencanaan mengenai topik atau pesan yang akan diujarkan, kemudian turun
ke kalimat yang akan dipakai, dan turun lagi ke konstituen yang akan dipilih.
Setelah itu, barulah di masuk ke pelaksanaan artikulasinya. Dalam perencanaan
topik banyak unsur-unsur yang menyertainya. Karena dalam merencanakan topik,
antara pembicara dan interlokutornya sama-sama memiliki topik atau pengetahuan
yang sama.
Dalam perencanaa produksi topik ini, terdapat beberapa unsur yang
dibutuhkan oleh pembicara sebelum menyampaikan pesan atau informasinya. Hal
itu diperkuat dengan pernyataan dari H. Clark dalam Dardjowidjojo (2012: 121)
ada empat unsur yang terlibat yaitu, personalia, latar bersama, perbuatan bersama,
dan kontribusi. Unsur personalia di sini merujuk pada partisipan yaitu, pembicara
dan interlokutornya. Sedangkan maksud dari unsur latar bersama, hampir sama
seperti penjelasan pada paragraf pertama. Hal ini merujuk pada anggapan bahwa
baik pembicara maupun interlokutornya sama-sama memiliki pengetahuan yang
sama. Jadi di dalamnya bukan merupakan informasi baru saja, melainkan terdapat
informasi lama yang juga dimiliki oleh interlokutor.
Untuk unsur perbuatan bersama, menurut Dardjowidjojo (2012: 122) bahwa
baik pembicara maupun interlokutornya melakukan perbuatan yang pada dasarnya
memunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Tidak mungkin dalam percakapan
tiba-tiba kita langsung menutup pembicaraan bila belum membuka sebuah
pembicaraan. Sedangkan untuk unsur terakhir, yaitu unsur kontribusi. Unsur ini
lebih cenderung mengarah pada proses untuk mencapai latar bersama. Sehingga,
dalam percakapan tidak mengalami kegagalan atau makna yang ambigu. Suatu
percakapan hanya dapat berlanjut bila terdapat unsur kontribusi seperti pembukaan
untuk mengarahkan percakapan.
2. Perencanaan Produksi Kalimat
Setelah melalui perencanaan topik atau pesan yang akan disampaikan dalam
tahap produksi ujaran, selanjutnya dalam mental (otak) manusia akan melakukan
perencanaan produksi kalimat. Setelah melakukan perencanaan yang bersifat lebih
5
luas atau abstrak, tahap selanjutnya manusia akan masuk pada perencanaan kalimat.
Inilah hirarki yang harus dilalui oleh setiap manusia ketika memproduksi sebuah
ujaran.
Pada perencanaan produksi kalimat juga sama seperti perencanaan produksi
topik, terdapat beberapa unsur yang menyertai hal tersebut. Menurut Clark dalam
Dardjowidjojo (2012: 129) ada tiga kategori yang perlu diproses: muatan
proposional, muatan ilokusioner, dan struktur tematik. Pada kategori muatan
proposional, pembicara menentukan proposisi apa yang ingin dia nyatakan. Ketika
kita akan membicara seorang laki-laki yang mengajari muridnya, pastinya dalam
mental (otak) manusia akan meruntut kalimat yang berkaitan dengan hal itu juga.
Setelah muatan proposional
ditentukan, pembicara menentukan
muatan
ilokuionernya, makna yang akan disampaikan itu akan diwujudkan dalam kalimat
yang seperti apa. Di sini peran tindak ujaran muncul. Suatu maksud dapat
dinyatakan dengan kalimat representatif atau kalimat direktif. Dan yang terakhir
adalah sturuktur tematik. Strukutur tematik berkaitan dengan penentuan berbagai
unsur dalam kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat.
Pembicara akan menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana yang objek.
C.
Produksi Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa yang langsung yang digunakan sebagai ujaran
di dalam komunikasi verbal yang hanya dilakukan oleh manusia. Kalimat juga
digunakan dalam berbahasa sehingga para tata bahasawan tradisional biasanya
membuat defenisi kalimat dengan mengaitkan peranan kalimat itu sebagai alat
interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan. Oleh karena itu
defenisi kalimat yang merupakan susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran
yang lengkap dapat selalu kita jumpai. Menurut Djuha (1989) kalimat merupakan
lafal yang tersusun dari dua kata atau lebih yang mengandung arti. Kita akan
mengikuti konsep bahwa kaliamat adalah satuan sintaksis yang tersusun dari
konstituen dasar (Djoko Kenjtono 1982).
Dalam melakukan pembicaraan manusia tidak lepas dari pengaruh kerja otak
(mental). Ketika manusia memproduksi ujaran, sebetulnya di dalam otak manusia
akan melakukan pemanggilan kembali terhadap produksi kata yang tersimpan di
6
dalam memori manusia. Untuk memanggil kembali produksi kata itu tentunya
diperlukan proses eliminatif dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata
itu, baik itu fitur semantik, sintaktik, maupun fonologis. Dari pembahasan produksi
ujaran bahwa ujaran diproses melalui tuga tahap: konseptualisasi, formulasi, dan
artikulasi. Jadi, dalam memproduksi ujaran manusia, proses yang terjadi dalma
mental (otak) manusia selalu berlangsung seperti itu, dan terjadi begitu cepat
sehingga dalam merentet kalimat seolah-olah manusia tanpa berpikir.
Menurut hemat penulis, terdapat hubungan antara otak dengan fungsi wicara
sehingga menghasilkan produksi kalimat. Kinerja otak yang baik akan
menghasilkan kalimat yang cukup baik dan lancar. Studi tentang produksi kalimat
tidak dapat dilakukan secara langsung. Tetapi dapat dilakukan dengan mengamati,
memcermati kegiatan manusia pertama-tama adalah pada kegiatan berbicara. Yang
dilakukan adalah mengobservasi kalimat yang diujarkan di mana pembicara senyap
(pause), di mana dia ragu, dan mengapa dia senyap dan ragu, serta kesalahankesalahan apa yang dibuat oleh pembicara. Situasi berbicara juga mempengaruhi
kesenyapan dan kilir lidah yang terjadi selama proses produksinya kalimat. Ini
sebagai bukti bagaimana proses memproduksi kalimat, sehingga gejala-gejala ini
perlu kita kaji.
1. Senyapan (Pauses)
Kesenyapan dan keraguan dalam kegiatan berbicara, terjadi karena pembicara
lupa kata-kata apa yang akan diperlukan, atau memerlukan filterisasi kata yang
akan digunakan dalam berbicara. Kesalahan lain dalam kilir lidah seperti kelapa
untuk kepala menunjukkan bahwa kata ternyata tidak tersimpan secara utuh dan
dalam proses penyampaian orang terleih dahulu meramunya atau mempersiapkanya
dengan baik (Meyer, 2000). Pengujaran ideal selalu tercipta dalam bentuk-bentuk
ujaran yang lancar yang berawal sampai akhir melalui rangkaian kata-kata yang
rapi, dan tidak terputus. Namun ujaran yag ideal ini tidak selamanya berhasil dicipta
karena pada umumnya orang berbicara sambil berfikir sehingga jika diperhadapkan
pada sebuah topik yang sulit, maka orang akan semakin keras untuk turut
memikirkan kata-kata yang dipakai dalam berbicara. Dalam proses inilah orang
7
akan banyak mengalami senyapan yang muncul sebagai reaksi berfikir dan
berbicara.
Berikut ini kita akan mengenal beberapa senyapan. Senyapan pada umumnya
dapat terjadi karena orang ragu-ragu (hesitation). Kecuali ujaran klise hafalan atau
ujaran itu dipersiapkan dengan baik sebelumnya, umumnya orang senyap karena
terlanjur ia memulai dengan ujaranya yang tadinya ia belum siap untuk memulai
kalimatnya. Oleh karena itu orang senyap sebentar mencari kata-kata
untuk
melanjutkan pembicaraan kemungkinan lain senyap adalah karena lupa sehingga
senyap untuk mengingat kembali sesuatu yang akan diujarkanya, kemungkinan
senyap itu terjadi ketika orang sangat berhati-hati dalam bertutur, tipe kehati-hatian
ini umumnya terdapat pada seorang pejabat publik atau kaum politikus.
Ketidaksiapan maupun kehati-hatian dalam berbicara dapat terwujud dalam dua
macam senyapan yaitu: 1). Senyapan diam dan 2). Senyapan terisi. Dalam senyapan
diam pembicara berhenti sejenak dan diam saja setelah menemuan kata-kata baru
ia melanjutkan tuturanya. Contoh 1) itu..............(kemarin kesini). Dalam
menyebutkan kata itu si, ia lupa sejenak nama orang yang kemarin datang kesini,
sehingga ia harus berhenti sejenak mengingat nama orang yang datang kesini.
Ketika orang tersebut berhasil mengingat nama seseorang itu maka ia akan
melanjutkan tuturanya seperti 2) Itu si.....Agus kemarin kesini. Dalam senyap kita
selalu menggunakan kata-kata seperti anu, apa itu, siap itu, orang juga mengisi
senyapan dengan bunyi-bunyi tertentu seperti eh, dan uh, yang sekedar hanya
mengisi senyapan contoh 1). Menurut Bapak Presiden...eh,...soal ini harus,...
dijadikan dasar yang,.... Pada bahasa kita juga memiliki piranti untuk mengisi
kesalahan atau kekeliruan dalam berbicara misalnya, kata maaf, maksud kami, kami
ulangi, dan lain-lain.
Kedudukan senyapan dalam bertutur belum menjadi kesepakatan yang baku
oleh para ahli bahasa namun senyapan sering muncul setelah ada katapertama
dalam sebuah klausa atau kalimat(Boomer, 1965). Letak Senyapan oleh para ahli
belum ada kesepakatan yang pasti dimana tempat persisnya letak senyapan, namun
ada yang berpendapat bahwa senyapan terdapat pada terutama sesudah kata
pertama dalam suatu klausa atau kalimat (Boomer 1965:148-158). Senyapan
8
terdapat sebelum bentuk leksikal yang penting (Goldman-Eisler 1964), Namun
demikian ada beberapa tempat-tempat yang para ahli sependapat (Clark & Clark
1977:267). Pertama, jeda grammatikal adalah tempat senyap untuk merencanakan
kerangka konstituen pertama dari kalimat yang akan diujarkan. Senyapan seperti
ini cenderung lama dan sering. Kedua, batas konstituen yang lain. Pada batas antara
satu konstituen dengan konstituen yang lain, disinilah orang merencakan konstituen
apa yang cocok. Misalnya verb phrase, adverbial phrase, apa yang cocok yang akan
digunakan selanjutnya. Ketiga, sebelum kata utama dalam konstituen. Pada bahasa
seperti bahasa inggris, frasa nomina yang dimulai dengan kata itu... dapat
memunculkan senyapan karena pembicara bisa saja sudah terlanjur mengeluarkan
kata itu tetapi dia kemudian harus mencari nomina atau kata lain yang cocok.
2. Kekeliruan
Kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan karena kilir lidah atau penyakit
afasia. Kekeliruan terjadi karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita
tidak kehendaki namun dapat terucap kita cenderung memindah-bunyi atau kita
berada pada posisi bicara yang terlalu cepat sehingga berucap dengan melampaui
kerja otak atau berfikir ini berbeda dengan kekeliruan afasik, afasik muncul dari
gangguan otak sehingga terjadi hambatan keras untuk mengucapkan kata-kata.
a) Kilir Lidah
Kilir lidah merupakan suatu fenomena dalam ujaran sehingga pembicara
dalam melakukkan tuturan selalu menuturkan kata-kata yang dimaksudkan. Kilir
lidah muncul sebagai seleksi yang keliru terhadap kata yang digunakan dan kedua
adalah kilir muncul dari kekeliruan asembling. Kilir lidah muncul sebagai seleksi
yang keliru sering disebut Fredian slip orang meretrif kata yang tidak diingin kan
kekeliruan ini ada alasanya bahwa manusia menyimpan kata secara kodrati, ada
contoh tipe seleksi yang berdasarkan semantik, (1). Ada kata kol, sawi, bayam, ini
merupakn kelompok jenis sayuran. Ketika seseorang menyuruh temannya untuk
membeli kol, tetapi yang diucap adalah sawi, (2). Kamu nanti beli kol, maksud
saya pensil, ya.
Kilir lidah malaproprisme, yaitu kekeliruan yang disebabkan karena ingin
kelihatan berkelas tinggi dengan memakai kata-kata yang muluk, tetapi kata-kata
9
tersebut bukan lah kata yang benar. Contohnya: sebuah bengkel menuliskan di
papan namanya “Tempat Repavarasi Sepeda” mungkin degan pengertian huruf V
pada kata revarasi adalah lebih keren dari pada huruf p. demikian pula seorang
pelawak yang menyebutkan kata antisisapi padahal yang dimaksudnya antisipasi
karena untuk di anggap lebih intelek. Seorang pelawak cukup menggunaan kata
hati-hati atau berjaga-jaga dalm panggung lawak misalnya, namun malaprosisme
ini menunjukkan penggunaan kata-kata yang tinggi tetapi sangatlah keliruh, kata
antisipasi terlalu elit atau lebih pada ruang intelelek.
b) Afasia
Afasia adalah suatu penyakit wicara dimana orang tidak dapat berbicara
dengan baik seperti pada umumnya. Penyakit ini muncul karena berbagai macam
faktor misalnya karena stroke. Penyakit stroke muncul akibat dari kekurangan
oksigen dari sebagian otak sehingga menjadi cacat, karena afasia kerap sekali
berhubungan dengan otak maka sangat berpengaruh dalam proses berbicara. Pada
penyakit wicara ini kita dapat mengenal bentuk-bentuk afasia dan derah mana yang
atau hemisfir yang kena gangguan wicara.
1) Afasia Broca. Kerusakan yang terdapat dalam broca, karena broca
merupakan alat otak manusia yang berdekatan dengan mulut maka
tentunya tuturan juga mengalami gangguan. Misalnya pada perencanaa
dan pengungkapan ujaran yang tidak jelas dan terpatah-patah.
2) Afasia Wernike. Model afasia yang lancar berbicara tetapi tidak
mempunyai arti yang jelas sehingga makna dalam ucapan penutur tidak
dapat dipahami. Afasia wenike juga tidak dapat memahami apa yang
dibicarakan oleh lawan tutur.
3) Afasia anomik. Gangguna wicaranya tampak pada ketidakmampuan
penderita terhadap mengaitkan konsep dan bunyi, jadi kepada penderita ini
kalau disuruh mengambil benda yang namanya gunting maka akan
melukainya, dan jika sebelumnya kita kenalkan benda gunting tadi maka
dia tidak mengenalnya.
10
4) Afasia Global. Pada afasia ini kerusakan terjadi hampir pada semua daerah
otak, luka sanagt sangat luas ini tentunya mengalami gangguan fisik dan
verbal yang sangat besar.
D.
Simpulan
Dari berbagai uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
dalam memproduksi ujaran, manusia harus melalui beberapa tahapan. Dimulai dari
perencanaan topik atau pesan yang akan diujarkan. Hingga pada akhirnya sampai
pada pelaksanaan artikulasinya. Proses dalam memproduksi ujaran dapat dibagi
menjadi empat tahapan. Tahapan pertama adalah pesan, di mana pesan yang akan
disampaikan diproses tahapan fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih lalu diberi
peran dan fungsi sintaktik, tahapan posisional, di mana konstituen dibentuk dan
afiksasi dilakukan, dan terakhir adalah tahapan fonologi, di mana struktur fonologi
ujaran itu diwujudkan.
Dalam melakukan pembicaraan manusia tidak lepas dari pengaruh kerja otak
(mental). Ada hubungan antara otak dengan fungsi wicara sehingga menghasilkan
produksi kalimat. Studi tentang produksi kalimat tidak dapat dilakukan secara
langsung. Tetapi dapat dilakukan dengan mengamati, memcermati kegiatan
manusia pertama-tama adalah pada kegiatan berbicara. Yang dilakukan adalah
mengobservasi kalimat yang diujarkan di mana pembicara senyap (pause), serta
kesalahan-kesalahan apa yang dibuat oleh pembicara.
Kesenyapan dan keraguan dalam kegiatan berbicara, terjadi karena pembicara
lupa kata-kata apa yang akan diperlukan, atau memerlukan filterisasi kata yang
akan digunakan dalam berbicara. Sedangkan kekeliruan dalam wicara dapat
disebabkan karena kilir lidah atau penyakit afasia.
E.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta.
___________. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjawidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguisti, Pengantar Pehamahaman Bahasa
Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Bandung: Refika
Aditama.
11
Download