A. Pendahuluan Bahasa merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Tanpa adanya bahasa, maka manusia dipastikan tidak akan bisa berinteraksi atau berkomunikasi dengan baik. Dengan kata lain, bahwa bahasa itu adalah sesuatu yang telah menyatu dengan kehidupan manusia. Sebagai salah satu yang menyatu dengan kehidupan manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek dan kegiatan manusia di manapun berada. Ketika manusia melakukan kegiatan apa pun pastilah bahasa akan menyertainya. Oleh karena itu, jika orang bertanya apakah bahasa itu, maka jawabannya pun bermacam-macam bergantung pada konteks pertanyaannya. Jawaban seperti, bahasa adalah alat untuk menyampaikan isi pikiran, bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, bahasa adalah alat untuk mengekspresikan diri, semuanya dapat diterima. Para pegiat bahasa dalam hal ini para linguistik akan memandang bahasa sebagai objek kajiannya bukan sebagai sesuatu yang lain, melainkan bahasa dipandang sebagai bahasa. Oleh karena itu, para linguistik lazim mengartikan bahasa sebagai sebuah sistem lambang, maka bahasa itu sama dengan lambang lain, bahasa merupakan lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial, tetapi sekaligus bersifat konvensional (Chaer, 2012: 32). Bahasa dalam pandangan para linguis harus dibedakan dengan berbahasa. Menurut Chaer (2009, 1) kegiatan berbahasa itu berkaitan juga dengan proses atau kegiatan mental (otak). Proses berbahasa dikatakan berjalan baik apabila makna yang dikirimkan penutur dapat diresepsi oleh pendengar seperti yang dimaksudkan oleh si penutur. Sebaliknya, suatu proses berbahasa dikatakan tidak berjalan dengan baik pabila makna yang dikirim penutur diresepsi atau dipahami pendengar tidak sesuai dengan yang dikehendaki penutur. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa, studi linguistik perlu dilengkapi dengan studi antardisiplin antara linguistik dan psikologi, yang lazim disebut psikolinguistik. Kajian dalam psikolinguistik mengkaji bagaimana kegiatan manusia dalam memproduksi dan meresepsi bahasa itu, yang dimulai dari enkode semantik dalam otak pembicara dan pada dekode semantik dalam otak pendengar. Kalau bahasa 1 adalah objek kajian linguistik, maka kegiatan berbahasa ini lah merupakan objek kajian psikolinguistik. Mungkin banyak dari kita yang kurang menyadari ketika manusia berbicara, dalam mental (otak) manusia sebetulnya telah menyusun rentetan kalimat yang akan dibicarakan. Seperti yang diungkapkan oleh (Darjowidjojo, 2012: 115) seolaholah manusia telah menyusun kalimat tanpa harus berpikir ketika berbicara dengan teman atau keluarga. Manusia sepertinya tidak merasa kesusahan dalam memproduksi atau mengeluarkan sebuah ujaran. Perasaan seperti ini memang menjadi hal tidak begitu penting karena manusia secara tidak sadar bahwa sebenarnya dalam berkomunikasi memerlukan perencanaan mental yang rinci dari tingkat wacana sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Perencanaan yang demikian rinci itu terjadi begitu cepat dalam komunikasi manusia. Bayangkan saja dalam beberapa menit saja manusia berkomunikasi, berapa aspek yang dilibatkan dalam mental (otak) untuk merentet kalimat sedemikian rupa sehingga orang lain mengerti apa yang dikatakannya. Sederhananya, dalam proses mental atau produki ujaran ini akan banyak menyangkut berbagai aspek. Dan pada akhirnya kalimat akan direalisasikan dalam bentuk bunyi pada tahap artikulasinya. Terkadang dalam memproduksi ujaran dan berakhir pada tahap artikulasi, kalimat-kalimat yang dimunculkan terjadi beberapa kesalahan. Kesalahan itu dapat berupa kilir lidah seperti kelapa untuk kepala. Jadi ketika kita ingin meniliti bagaimana manusia memproduksi kalimat kita juga harus melihat dari kalimat yang diujarkan, kita cermati bagaimana bagaimana kalimat itu diujarkan. Dari uraian di atas, kita sebagai manusia pemilik bahasa tentunya harus memahami betul bagaimana produksi ujaran dan kalimat yang selama ini kita gunakan. Apalagi, sebagai pegiat bahasa setidaknya harus memiliki pemikiran yang kritis berkaitan dengan produksi ujaran dan kalimat ini. Bagaimana langkahlangkah dalam memproduksi ujaran, melalui tahapan apa saja bahasa yang diproduksi oleh manusia sehingga kalimat yang muncul dapat begitu kompleksnya. Maka pada makalah ini yang akan dibahas tentang bagaimana produksi ujaran dan kalimat tersebut. 2 B. Tahapan dalam Memproduksi Ujaran Seperti yang telah dipaparkan dalam pendahuluan bahwa dalam berkomunikasi, penutur memerlukan mental yang rinci dari tingkat wacana (topik atau pesan) sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Mental yang berada dalam otak manusia ini pastinya akan membutuhkan beberapa aspek. Menurut Dardjowidjojo (2012, 116) aspek pertama berkaitan dengan siapa yang kita ajak bicara atau interlokutornya. Ini akan berpengaruh betul terhadap ujaran yang akan kita produksi. Karena ujaran tersebut akan sampai pada pemahaman interlokutor jika informasi yang ada dalam ujaran semua merupakan informasi lama. Jadi, di sini berkaitan dengan pengetahuan interlokutor atau orang yang kita ajak bicara. Tidak mungkin kita akan berbicara ujaran yang banyak mengandung informasi baru, seperti kalimat Mas Yusi sedang mengajari muridnya bahasa Indonesia. Kalimat tersebut akan dimengerti maknanya jika Mas Yusi adalah salah satu teman dari interlokutor atau orang yang kita ajak bicara. Akan tetapi, bila Mas Yusi adalah orang yang tidak diketahui identitasnya, maka kalimat tersebut menjadi tidak bermakna. Dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa ketika kita akan berujar, pastinya ada maksud atau pesan yang ingin kita sampaikan. Pesan tersebut, pastinya akan disesuaikan dengan siapa yang kita ajak bicara dan memberikan pesan yang sesuai, benar, dan tidak ambigu. Sehingga maknanya mudah diterima oleh interlokutor. Proses dalam memproduksi ujaran pastinya akan dimulai dengan pesan atau informasi ini. Hal itu sesuai dengan pendapat Dardjowidjojo (2012, 117) bahwa proses dalam memproduksi ujaran dapat dibagi menjadi empat tahapan. Tahapan pertama adalah pesan, di mana pesan yang akan disampaikan diproses tahapan fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik, tahapan posisional, di mana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan terakhir adalah tahapan fonologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan. Pada tahapan pesan, pembicara mengumpulkan nosi-nosi dari makna yang ingin disampaikan. Seperti kalimat tadi, Mas Yusi sedang mengajari muridnya bahasa Indonesia. Maka, nosi-nosi yang ada pada mental pembicara adalah antara lain adanya seseorang, orang ini adalah laki-laki, dia sedang melakukan suatu perbuatan, perbuatan itu adalah mengajarkan bahasa Indonesia pada muridnya. 3 Pada tahapan fungsional, ada dua hal yang akan diproses. Pertama, memilih bentuk leksikal yang sesuai dengan pesan yang akan disampaikan dan informasi gramatikal untuk masing-masing bentuk leksikal tersebut. Seperti kata Mas Yusi dalam contoh kalimat, mengarah pada seorang laki-laki yang sama-sama kita kenal, dan kata ini adalah nama orang laki-laki. Sedangkan perbuatan yang dilakukan diwakili oleh verba dasar ajar. Mas Yusi adalah pelaku sedangkan muridnnya adalah resipiennya. Proses kedua pada tahapan fungsional adalah memberikan fungsi pada kata-kata yang telah dipilih. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sintaktik atau fungsi gramtikal. Seperti contoh, Mas Yusi dikaitkan dengan fungsi subjek sedangkan muridnya pada objek. Selanjutnya pada tahapan posisional, di sini akan diurutkan bentuk leksikal untuk ujaran yang akan dikeluarkan. Ini yang nantinya menjadi dasar diagram pohon. Seperti contoh kata sedang akan berhubungan dengan mengajari, bukan dengan Mas Yusi. Begitu juga –nya akan berhubungan dengan murid, dan bukan pada Mas Yusi. Setelah pengurutan selesai, diproseslah afiksasi yang relevan. Untuk bahasa Indonesia kata dasar dalam contoh kalimat ajar haruslah ditambah dengan konfiks me-i. Dan pada akhirnya, setelah melalui beberapa tahapan pemrosesan, hasil dari beberapa pemrosesan ini akan dikiran ke tingkat fonologi untuk diwujudkan dalam bentuk bunyi. Seperti yang kita lakukan ketika berbicara, akhir dari tahapan pemrosesan adalah pelakasanaan artikulasinya. Pada tahap ini aturan fonoktaktik bahasa yang bersangkutan diterapkan. Berikut gambaran tahapan pemrosesan ujaran yang dimodifikasi dari Dardjowidjojo (2012: 118). Fungsional: Posisional: Enkode Pengurutan Fonologi Leksikal dan Konstituen (Pelaksanaan Pemberian dan Artikulasinya) Pemilihan Pesan bentuk Fungi Infleksi Enkode Gramtikal 4 1. Perencanaan Produksi Topik Seperti digambarkan di atas, dalam proses memproduksi ujaran orang mulai dari perencanaan mengenai topik atau pesan yang akan diujarkan, kemudian turun ke kalimat yang akan dipakai, dan turun lagi ke konstituen yang akan dipilih. Setelah itu, barulah di masuk ke pelaksanaan artikulasinya. Dalam perencanaan topik banyak unsur-unsur yang menyertainya. Karena dalam merencanakan topik, antara pembicara dan interlokutornya sama-sama memiliki topik atau pengetahuan yang sama. Dalam perencanaa produksi topik ini, terdapat beberapa unsur yang dibutuhkan oleh pembicara sebelum menyampaikan pesan atau informasinya. Hal itu diperkuat dengan pernyataan dari H. Clark dalam Dardjowidjojo (2012: 121) ada empat unsur yang terlibat yaitu, personalia, latar bersama, perbuatan bersama, dan kontribusi. Unsur personalia di sini merujuk pada partisipan yaitu, pembicara dan interlokutornya. Sedangkan maksud dari unsur latar bersama, hampir sama seperti penjelasan pada paragraf pertama. Hal ini merujuk pada anggapan bahwa baik pembicara maupun interlokutornya sama-sama memiliki pengetahuan yang sama. Jadi di dalamnya bukan merupakan informasi baru saja, melainkan terdapat informasi lama yang juga dimiliki oleh interlokutor. Untuk unsur perbuatan bersama, menurut Dardjowidjojo (2012: 122) bahwa baik pembicara maupun interlokutornya melakukan perbuatan yang pada dasarnya memunyai aturan yang mereka ketahui bersama. Tidak mungkin dalam percakapan tiba-tiba kita langsung menutup pembicaraan bila belum membuka sebuah pembicaraan. Sedangkan untuk unsur terakhir, yaitu unsur kontribusi. Unsur ini lebih cenderung mengarah pada proses untuk mencapai latar bersama. Sehingga, dalam percakapan tidak mengalami kegagalan atau makna yang ambigu. Suatu percakapan hanya dapat berlanjut bila terdapat unsur kontribusi seperti pembukaan untuk mengarahkan percakapan. 2. Perencanaan Produksi Kalimat Setelah melalui perencanaan topik atau pesan yang akan disampaikan dalam tahap produksi ujaran, selanjutnya dalam mental (otak) manusia akan melakukan perencanaan produksi kalimat. Setelah melakukan perencanaan yang bersifat lebih 5 luas atau abstrak, tahap selanjutnya manusia akan masuk pada perencanaan kalimat. Inilah hirarki yang harus dilalui oleh setiap manusia ketika memproduksi sebuah ujaran. Pada perencanaan produksi kalimat juga sama seperti perencanaan produksi topik, terdapat beberapa unsur yang menyertai hal tersebut. Menurut Clark dalam Dardjowidjojo (2012: 129) ada tiga kategori yang perlu diproses: muatan proposional, muatan ilokusioner, dan struktur tematik. Pada kategori muatan proposional, pembicara menentukan proposisi apa yang ingin dia nyatakan. Ketika kita akan membicara seorang laki-laki yang mengajari muridnya, pastinya dalam mental (otak) manusia akan meruntut kalimat yang berkaitan dengan hal itu juga. Setelah muatan proposional ditentukan, pembicara menentukan muatan ilokuionernya, makna yang akan disampaikan itu akan diwujudkan dalam kalimat yang seperti apa. Di sini peran tindak ujaran muncul. Suatu maksud dapat dinyatakan dengan kalimat representatif atau kalimat direktif. Dan yang terakhir adalah sturuktur tematik. Strukutur tematik berkaitan dengan penentuan berbagai unsur dalam kaitannya dengan fungsi gramatikal atau semantik dalam kalimat. Pembicara akan menentukan mana yang dijadikan subjek dan mana yang objek. C. Produksi Kalimat Kalimat adalah satuan bahasa yang langsung yang digunakan sebagai ujaran di dalam komunikasi verbal yang hanya dilakukan oleh manusia. Kalimat juga digunakan dalam berbahasa sehingga para tata bahasawan tradisional biasanya membuat defenisi kalimat dengan mengaitkan peranan kalimat itu sebagai alat interaksi dan kelengkapan pesan atau isi yang akan disampaikan. Oleh karena itu defenisi kalimat yang merupakan susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap dapat selalu kita jumpai. Menurut Djuha (1989) kalimat merupakan lafal yang tersusun dari dua kata atau lebih yang mengandung arti. Kita akan mengikuti konsep bahwa kaliamat adalah satuan sintaksis yang tersusun dari konstituen dasar (Djoko Kenjtono 1982). Dalam melakukan pembicaraan manusia tidak lepas dari pengaruh kerja otak (mental). Ketika manusia memproduksi ujaran, sebetulnya di dalam otak manusia akan melakukan pemanggilan kembali terhadap produksi kata yang tersimpan di 6 dalam memori manusia. Untuk memanggil kembali produksi kata itu tentunya diperlukan proses eliminatif dengan memanfaatkan fitur-fitur yang ada pada kata itu, baik itu fitur semantik, sintaktik, maupun fonologis. Dari pembahasan produksi ujaran bahwa ujaran diproses melalui tuga tahap: konseptualisasi, formulasi, dan artikulasi. Jadi, dalam memproduksi ujaran manusia, proses yang terjadi dalma mental (otak) manusia selalu berlangsung seperti itu, dan terjadi begitu cepat sehingga dalam merentet kalimat seolah-olah manusia tanpa berpikir. Menurut hemat penulis, terdapat hubungan antara otak dengan fungsi wicara sehingga menghasilkan produksi kalimat. Kinerja otak yang baik akan menghasilkan kalimat yang cukup baik dan lancar. Studi tentang produksi kalimat tidak dapat dilakukan secara langsung. Tetapi dapat dilakukan dengan mengamati, memcermati kegiatan manusia pertama-tama adalah pada kegiatan berbicara. Yang dilakukan adalah mengobservasi kalimat yang diujarkan di mana pembicara senyap (pause), di mana dia ragu, dan mengapa dia senyap dan ragu, serta kesalahankesalahan apa yang dibuat oleh pembicara. Situasi berbicara juga mempengaruhi kesenyapan dan kilir lidah yang terjadi selama proses produksinya kalimat. Ini sebagai bukti bagaimana proses memproduksi kalimat, sehingga gejala-gejala ini perlu kita kaji. 1. Senyapan (Pauses) Kesenyapan dan keraguan dalam kegiatan berbicara, terjadi karena pembicara lupa kata-kata apa yang akan diperlukan, atau memerlukan filterisasi kata yang akan digunakan dalam berbicara. Kesalahan lain dalam kilir lidah seperti kelapa untuk kepala menunjukkan bahwa kata ternyata tidak tersimpan secara utuh dan dalam proses penyampaian orang terleih dahulu meramunya atau mempersiapkanya dengan baik (Meyer, 2000). Pengujaran ideal selalu tercipta dalam bentuk-bentuk ujaran yang lancar yang berawal sampai akhir melalui rangkaian kata-kata yang rapi, dan tidak terputus. Namun ujaran yag ideal ini tidak selamanya berhasil dicipta karena pada umumnya orang berbicara sambil berfikir sehingga jika diperhadapkan pada sebuah topik yang sulit, maka orang akan semakin keras untuk turut memikirkan kata-kata yang dipakai dalam berbicara. Dalam proses inilah orang 7 akan banyak mengalami senyapan yang muncul sebagai reaksi berfikir dan berbicara. Berikut ini kita akan mengenal beberapa senyapan. Senyapan pada umumnya dapat terjadi karena orang ragu-ragu (hesitation). Kecuali ujaran klise hafalan atau ujaran itu dipersiapkan dengan baik sebelumnya, umumnya orang senyap karena terlanjur ia memulai dengan ujaranya yang tadinya ia belum siap untuk memulai kalimatnya. Oleh karena itu orang senyap sebentar mencari kata-kata untuk melanjutkan pembicaraan kemungkinan lain senyap adalah karena lupa sehingga senyap untuk mengingat kembali sesuatu yang akan diujarkanya, kemungkinan senyap itu terjadi ketika orang sangat berhati-hati dalam bertutur, tipe kehati-hatian ini umumnya terdapat pada seorang pejabat publik atau kaum politikus. Ketidaksiapan maupun kehati-hatian dalam berbicara dapat terwujud dalam dua macam senyapan yaitu: 1). Senyapan diam dan 2). Senyapan terisi. Dalam senyapan diam pembicara berhenti sejenak dan diam saja setelah menemuan kata-kata baru ia melanjutkan tuturanya. Contoh 1) itu..............(kemarin kesini). Dalam menyebutkan kata itu si, ia lupa sejenak nama orang yang kemarin datang kesini, sehingga ia harus berhenti sejenak mengingat nama orang yang datang kesini. Ketika orang tersebut berhasil mengingat nama seseorang itu maka ia akan melanjutkan tuturanya seperti 2) Itu si.....Agus kemarin kesini. Dalam senyap kita selalu menggunakan kata-kata seperti anu, apa itu, siap itu, orang juga mengisi senyapan dengan bunyi-bunyi tertentu seperti eh, dan uh, yang sekedar hanya mengisi senyapan contoh 1). Menurut Bapak Presiden...eh,...soal ini harus,... dijadikan dasar yang,.... Pada bahasa kita juga memiliki piranti untuk mengisi kesalahan atau kekeliruan dalam berbicara misalnya, kata maaf, maksud kami, kami ulangi, dan lain-lain. Kedudukan senyapan dalam bertutur belum menjadi kesepakatan yang baku oleh para ahli bahasa namun senyapan sering muncul setelah ada katapertama dalam sebuah klausa atau kalimat(Boomer, 1965). Letak Senyapan oleh para ahli belum ada kesepakatan yang pasti dimana tempat persisnya letak senyapan, namun ada yang berpendapat bahwa senyapan terdapat pada terutama sesudah kata pertama dalam suatu klausa atau kalimat (Boomer 1965:148-158). Senyapan 8 terdapat sebelum bentuk leksikal yang penting (Goldman-Eisler 1964), Namun demikian ada beberapa tempat-tempat yang para ahli sependapat (Clark & Clark 1977:267). Pertama, jeda grammatikal adalah tempat senyap untuk merencanakan kerangka konstituen pertama dari kalimat yang akan diujarkan. Senyapan seperti ini cenderung lama dan sering. Kedua, batas konstituen yang lain. Pada batas antara satu konstituen dengan konstituen yang lain, disinilah orang merencakan konstituen apa yang cocok. Misalnya verb phrase, adverbial phrase, apa yang cocok yang akan digunakan selanjutnya. Ketiga, sebelum kata utama dalam konstituen. Pada bahasa seperti bahasa inggris, frasa nomina yang dimulai dengan kata itu... dapat memunculkan senyapan karena pembicara bisa saja sudah terlanjur mengeluarkan kata itu tetapi dia kemudian harus mencari nomina atau kata lain yang cocok. 2. Kekeliruan Kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan karena kilir lidah atau penyakit afasia. Kekeliruan terjadi karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita tidak kehendaki namun dapat terucap kita cenderung memindah-bunyi atau kita berada pada posisi bicara yang terlalu cepat sehingga berucap dengan melampaui kerja otak atau berfikir ini berbeda dengan kekeliruan afasik, afasik muncul dari gangguan otak sehingga terjadi hambatan keras untuk mengucapkan kata-kata. a) Kilir Lidah Kilir lidah merupakan suatu fenomena dalam ujaran sehingga pembicara dalam melakukkan tuturan selalu menuturkan kata-kata yang dimaksudkan. Kilir lidah muncul sebagai seleksi yang keliru terhadap kata yang digunakan dan kedua adalah kilir muncul dari kekeliruan asembling. Kilir lidah muncul sebagai seleksi yang keliru sering disebut Fredian slip orang meretrif kata yang tidak diingin kan kekeliruan ini ada alasanya bahwa manusia menyimpan kata secara kodrati, ada contoh tipe seleksi yang berdasarkan semantik, (1). Ada kata kol, sawi, bayam, ini merupakn kelompok jenis sayuran. Ketika seseorang menyuruh temannya untuk membeli kol, tetapi yang diucap adalah sawi, (2). Kamu nanti beli kol, maksud saya pensil, ya. Kilir lidah malaproprisme, yaitu kekeliruan yang disebabkan karena ingin kelihatan berkelas tinggi dengan memakai kata-kata yang muluk, tetapi kata-kata 9 tersebut bukan lah kata yang benar. Contohnya: sebuah bengkel menuliskan di papan namanya “Tempat Repavarasi Sepeda” mungkin degan pengertian huruf V pada kata revarasi adalah lebih keren dari pada huruf p. demikian pula seorang pelawak yang menyebutkan kata antisisapi padahal yang dimaksudnya antisipasi karena untuk di anggap lebih intelek. Seorang pelawak cukup menggunaan kata hati-hati atau berjaga-jaga dalm panggung lawak misalnya, namun malaprosisme ini menunjukkan penggunaan kata-kata yang tinggi tetapi sangatlah keliruh, kata antisipasi terlalu elit atau lebih pada ruang intelelek. b) Afasia Afasia adalah suatu penyakit wicara dimana orang tidak dapat berbicara dengan baik seperti pada umumnya. Penyakit ini muncul karena berbagai macam faktor misalnya karena stroke. Penyakit stroke muncul akibat dari kekurangan oksigen dari sebagian otak sehingga menjadi cacat, karena afasia kerap sekali berhubungan dengan otak maka sangat berpengaruh dalam proses berbicara. Pada penyakit wicara ini kita dapat mengenal bentuk-bentuk afasia dan derah mana yang atau hemisfir yang kena gangguan wicara. 1) Afasia Broca. Kerusakan yang terdapat dalam broca, karena broca merupakan alat otak manusia yang berdekatan dengan mulut maka tentunya tuturan juga mengalami gangguan. Misalnya pada perencanaa dan pengungkapan ujaran yang tidak jelas dan terpatah-patah. 2) Afasia Wernike. Model afasia yang lancar berbicara tetapi tidak mempunyai arti yang jelas sehingga makna dalam ucapan penutur tidak dapat dipahami. Afasia wenike juga tidak dapat memahami apa yang dibicarakan oleh lawan tutur. 3) Afasia anomik. Gangguna wicaranya tampak pada ketidakmampuan penderita terhadap mengaitkan konsep dan bunyi, jadi kepada penderita ini kalau disuruh mengambil benda yang namanya gunting maka akan melukainya, dan jika sebelumnya kita kenalkan benda gunting tadi maka dia tidak mengenalnya. 10 4) Afasia Global. Pada afasia ini kerusakan terjadi hampir pada semua daerah otak, luka sanagt sangat luas ini tentunya mengalami gangguan fisik dan verbal yang sangat besar. D. Simpulan Dari berbagai uraian dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam memproduksi ujaran, manusia harus melalui beberapa tahapan. Dimulai dari perencanaan topik atau pesan yang akan diujarkan. Hingga pada akhirnya sampai pada pelaksanaan artikulasinya. Proses dalam memproduksi ujaran dapat dibagi menjadi empat tahapan. Tahapan pertama adalah pesan, di mana pesan yang akan disampaikan diproses tahapan fungsional, di mana bentuk leksikal dipilih lalu diberi peran dan fungsi sintaktik, tahapan posisional, di mana konstituen dibentuk dan afiksasi dilakukan, dan terakhir adalah tahapan fonologi, di mana struktur fonologi ujaran itu diwujudkan. Dalam melakukan pembicaraan manusia tidak lepas dari pengaruh kerja otak (mental). Ada hubungan antara otak dengan fungsi wicara sehingga menghasilkan produksi kalimat. Studi tentang produksi kalimat tidak dapat dilakukan secara langsung. Tetapi dapat dilakukan dengan mengamati, memcermati kegiatan manusia pertama-tama adalah pada kegiatan berbicara. Yang dilakukan adalah mengobservasi kalimat yang diujarkan di mana pembicara senyap (pause), serta kesalahan-kesalahan apa yang dibuat oleh pembicara. Kesenyapan dan keraguan dalam kegiatan berbicara, terjadi karena pembicara lupa kata-kata apa yang akan diperlukan, atau memerlukan filterisasi kata yang akan digunakan dalam berbicara. Sedangkan kekeliruan dalam wicara dapat disebabkan karena kilir lidah atau penyakit afasia. E. Daftar Pustaka Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta. ___________. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjawidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguisti, Pengantar Pehamahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik, Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama. 11