Memberikan Efek Senang thd Turis Jepang melalui Komunikasi

advertisement
Peningkatan Pelayanan Kebahasaan terhadap Turis Jepang untuk Menanggapi Globalisasi
Pariwisata1)
Oleh: Mulyadi2)
Abstraksi
Makalah ini membahas masalah cara meningkatkan pelayanan
lingual kepada turis berbahasa Jepang dengan pendekatan
sosiolinguistik dan pragmatik. Pembahasannya meliputi
penggunaan tingkat tutur dan penjelasan ciri ungkapan yang
sopan secara pragmatik.
A. Pendahuluan
Berkat tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat pada tahun 1980-an, pada
masa ini disebut dengan ‘Bubble Keizai’, menciptakan pendapatan perkapita masyarakat
Jepang pada tingkat yang sangat tinggi dan daya beli yang sangat tinggi pula.
Dari daya beli yang sangat tinggi ini, keadaan memungkinkan masyarakat Jepang
untuk menghabiskan waktu luangnya dengan berekreasi ke luar negeri. Mereka ingin
melihat apa yang ada di luar negeri, alamnya maupun budayanya. Menurut data yang
dikeluarkan oleh pihak departemen luar negeri Jepang sepanjang tahun 2003, telah
diterbitkan paspor sebanyak 2.700.000 eksemplar lebih.
Dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Jepang ketika datang dari bepergian
mereka hampir bisa dipastikan membawa oleh-oleh baik untuk keluarga di rumah
maupun untuk rekan-rekan kerjanya.
1
2
makalah ini dipresentasikan pada Seminar Dies Fakultas Ilmu Budaya ke 58, UGM, 6 Maret 2004.
dosen pada Jurusan Sastra Jepang, FIB, UGM
1
Masyarakat Jepang adalah masyarakat ascetis. Tetapi dengan meningkatnya tingkat
pendapatan perkapita tingkat keascetisannyapun mengalami penurunan. (Yoshihara,
K.,1992) Sehingga sekarang bisa terlihat banyak orang Jepang yang membeli barangbarang mewah.
Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap globalisasi, dengan melihat fenomena
seperti ini, maka tidaklah berlebihan kiranya bila diupayakan untuk berusaha menangkap
peluang yang ada ini melalui peningkatan pelayanan kebahasaan kepada wisatawan
tersebut dengan harapan bisa mendatangkan devisa yang lebih banyak lagi, selain itu
penulis mengamati bahwa selama ini pelayanan kebahasaan di Yogyakarta terutama
bahasa Jepang masih belum mendapatkan perhatian yang khusus dari pihak terkait. Inilah
yang menggugah penulis untuk menulis makalah ini.
Dalam pergaulan bisnis di Jepang menggunakan bahasa dengan tatakrama yang baik
adalah suatu prioritas, sebagai contoh karyawan-karyawan yang baru masuk, sebelum
kerja di lapangan harus melewati training kebahasaan dahulu, yang meliputi cara
komunikasi yang baku dan baik sesuai dengan kaidah kebahasaan kepada mitra kerja
(customer) dan lain sebagainya.
Sehingga dengan adanya masyarakat yang begitu peduli terhadap sopan santun
berbahasa tersebut adalah sesuatu yang tidak sia-sia apabila pihak pelaku bisnis dari
2
Indonesia juga memberikan pelayanan kebahasaan yang lebih baik kepada para rekan
bisnis atau turis dari Jepang yang datang ke Indonesia .
Menurut pengamatan penulis, bahasa para praktisi bisnis di Yogyakarta yang meliputi
para pramuwisata, pegawai restoran, pegawai toko cenderamata, dan lain sebagainya
handicap bertatakrama dalam bahasa Jepangnya masih sangat kelihatan. Kekurangan
dalam penguasaan bahasa asing itu memang alami bagi siapapun, tapi tulisan ini
hanyalah ingin berusaha menggugah untuk memperbaiki yang sudah baik. Kita tidak bias
lepas dari makna pribahasa ‘tiada gading yang tak retak’.
Untuk memperbaiki atau mengupgrade komunikasi bahasa demi pelayanan yang
lebih terhadap para rekan bisnis ini penulis mengajukan solusinya dengan pendekatan
kajiab bahasa dari masyarakat pemakainya atau sosiolinguistik dan pemakaian bahasa
tergantung situasinya tau pragmatic.. Dengan demikian, pada tulisan ini penulis ingin
memberikan sedikit gambaran seberapa jauhkah peran sosiolinguistik dan pragmatik bisa
memberikan kontribusi dalam menangkap peluang globalisasi kepariwisataan terutama
dalam cara memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap para turis Jepang dilihat dari
segi pelayanan kebahasaan.
Hal-hal yang akan diuraikan pada makalah ini secara berturut-berturut adalah
mengenai struktur masyarakat Jepang yang berkaitan dengan penggunaan bahasa dilihat
dari status pembicara dan lawan bicara, kemudian diikuti uraian penggunaan bahsa dalam
3
pengucapan salam, menanggapi keluhan, dan pemilihan ujaran dan kata dalam tingkat
tutur bahasa Jepang.
B. Tatakrama yang ada pada Bahasa Jepang Standar
Secara garis besar tatakrama bahasa Jepang yang ada kaitannya dengan dunia
pariwisata bisa dilihat dari cara penggunaannya seperti pada butir-butir berikut.
1. Pengetahuan tentang Struktur Masyarakat Jepang
Bahasa Jepang adalah bahasa yang sangat erat hubungannya dengan struktur
masyarakat pemakainya, misalnya pemilihan kata yang dipakai tergantung dari lawan
bicara. Oleh karena itu perlulah kiranya adanya pengetahuan tentang garis besar struktur
masyarakat Jepang sekedarnya sesuai dengan kebutuhan agar bisa memahami dan
menggunakan bahasa Jepang dengan baik.
Konsep terbentuknya masyarakat Jepang yang paling unik adalah dengan adanya
konsep ie. Konsep ie ini, adalah konsep bahwa keluarga sebagai pusat organisasi
kemasyarakatan. Dengan konsep ini melahirkan cara pandang soto (orang luar) dan uchi,
(orang dalam)..Pada implementasi kebahasaan, ujaran-ujaran akan berbeda pemaiakainya
dengan mempertimbangkan lawan bicara berstatus orang dalam atau sebagai orang luar.
Lalu siapakah mereka?
Pada dunia bisnis, bagi masyarakat bisnis Jepang, tamu suatu perusahaan adalah
individu yang diperlakukan sebagai orang luar, sedangkan sekantor dianggap sebagai
4
orang dalam. Cara pandang seperti ini menentukan pemakaian ungkapan kebahasaan
dalam kehidupan sehari-hari, dan bias dilihat pada pemilihan bentuk ujaran dan kata
dalam tingkat tutur (kepada siapa akan berbicara). Tingkat tutur bahasa Jepang serti ini
disebut keigo (krama dalam bahasa Jawa)
2. Penggunaan Tingkat Tutur yang Benar
Tingkat tutur pada bahasa Jepang standar adalah tingkat tutur relatif (Kikuchi).
Relativitas tingkat tutur bahasa Jepang lebih tinggi dibandingkan dengan bahasa-bahasa
di Indonesia, atau dengan kata lain tingkat tutur pada bahasa-bahasa di Indonesia bisa
mendekati absolut. Hal ini bias terjadi karena struktur masyarakatnya yang berbeda , atau
lebih jelasnya menurut hipotesa Sapir-Whorf, bahasa dan masyarakatnya saling
mempengaruhi. (Chaer. A. 2003). Oleh karena itu kiranya tidak berlebihan apabila
penulis berpendapat bahwa kerelatifan ini mungkin diakibatkan oleh struktur masyarakat
Jepang, yaitu selain adanya hirarki, juga adanya pandangan orang dalam dan orang luar,
atau istilah Jepangnya soto dan uchi yang sangat kuat. Oleh karena itu agar bisa
menggunakan tingkat tutur dengan benar, faktor pendukung yang diperlukan adalah
selain kemampuan “tatabahasa” juga kemampuan memilih posisi terhadap lawan bicara
atau orang yang sedang diperbincangkan, sesuai dengan norma masyarakat Jepang
sehingga tidak keliru dalam pemilihan kata atau ungkapan yang benar.
Dari pengamatan penulis, dalam praktek di lapangan, mungkin karena kekurang
pahaman terhadap struktur masyarakat Jepang, para pembelajar bahasa Jepang dari
masyarakat Jawa ada suatu kecenderungan menyamakan penggunaan tingkat tutur ini
5
seperti pemakaian tingkat tutur dalam bahasa Jawa. Sehingga muncullah ungkapan yang
meninggikan atasan sendiri di depan tamu yang merupakan orang luar menurut cara
pandang masyarakat Jepang, padahal seharusnya dalam tatakrama berbahasa Jepang
orang dalam harus direndahkan terhadap orang luar sekalipun orang luar tersebut
statusnya lebih rendah daripada pembicara yang juga merupakan bawahan dari orang
yang sedang diperbincangkan tersebut. Misalnya keliru apabila meninggikan bos sendiri
di depan tamu perusahaan lain walaupun tamu itu jabatannya di bawahnya. Misalnya
untuk
menyatakan
‘ada’
terdapat
tiga
kata
yaitu
‘oru
(digunakan
untuk
merendah),’iru’(digunakan tidak untuk merendah maupun meninggikan orang lain), dan
‘irassharu’(digunakan untuk meninggikan). Kemudian di dalam ujaran bahasa Jepang
morfem //-mas-// menandakan situasi pembicaraan berlangsung secara formal. Sehingga
akan keliru apabila pembicara meninggikan ‘kachou {pak Mandor} sebagai atasan
sendiri ditinggikan di hadapan tamu, sekalipun tamunya jabatannya lebih rendah daripada
mandor, seperti kalimat 1) berikut.
1*) kachousan wa irasshaimasen
Kalau kita lihat komponen yang ada adalah ‘kachou’ nama jabatan setingkat mandor
atau supervisor, dan
‘san’
merupakan
kata sandang
yang sepadan dengan
kata’bapak’,’ibu’ dan lain sebagainya sebagai panggilan hormat kemudaian partikel ‘wa’
sebagai penanda topik dan frasal verba ‘irasshaimasen’ yang terdiri dari morfem
//irasshai-// yang berarti ‘ada’, morfem //-mas-// sebagai penanda bahwa ujaran itu formal,
morfem //-e-// penanda kala dan morfem //-n// sebagai penanda negasi. Sehingga akan
menjadi lazim penggunaannya apabila kalimat tersebut menjadi seperti berikut.
1 ) kachou wa orimasen
6
Kalau kita lihat komponen yang ada pada kalima 2) adalah ‘kachou’ nama jabatan
setingkat mandor atau supervisor, tanpa kata ‘san’ yang merupakan kata sandang yang
bermakna menhormati, kemudaian partikel ‘wa’ sebagai penanda topik dan frasal verba
‘orimasen’ yang terdiri dari morfem //or-// yang berarti ‘ada’, morfem //-mas-// sebagai
penanda bahwa ujaran itu formal, morfem //-e-// penanda kala dan morfem //-en// sebagai
penanda negasi.
Dari contoh sederhanan ini bias kita ketahui bahwa status mandor yang seharusnya
lebih tinggi maka di depan orang bias sederajat, bias mentukan pemilihan tingkat tutur
sehingga lazim penggunannya. Maka dengan demikian kiranya pemahaman mengenai
struktur masyarakat Jepang akan membantu memudahkan pembelajaran penggunaan
bahasa Jepang dengan baik.
2.1 Pemilihan Kosa Kata dalam Tingkat Tutur
Secara sederhana, kosa kata pada tingkat tutur bahasa Jepang terdiri atas sonkeigo
(meninggikan) dan kenjougo (merendah). Kosa kata ini sebagian besar secara morfologis
berkaidah o-verba ninaru untuk meninggikan dan o-verba- suru untuk merendah.
Keduanya selain mempunyai kosakata tingkat tutur yang bisa dibentuk dengan kaidah
morfologis, juga mempunyai kosakata bentuk morfologis tak beraturan walaupun
jumlahnya minor. Karena sebagian besar bisa dibentuk dengan kaidah morfologis, maka
untuk menguasainya pemakai tidak perlu menghafal banyak kata cukup dengan
menghafal kaidahnya saja. Dalam tingkat tutur bahasa Jepang standar selain tercermin
pada kosakata, juga terdapat bentuk-bentuk ujaran yang dipakai untuk menunjukkan
7
hubungan antara pembicara dengan lawan bicara. Bentuk ujaran tersebut juga dibagi dua,
yaitu yang dipakai untuk situasi formal atau tidaknya, kepada orang yang sudah akrab
atau belum, dan ujaran ini bisa ditandai dengan ada atau tidaknya morfem-morfem /desu//-es-/ dan /-mas-/ pada bentuk kalimat yang bersangkutan. Tetapi, karena tidak
adanya kriteria yang bisa dipahami dengan penalaran biner, yang menjadi rumit adalah
penentuan situasi itu formal atau non formal, menentukan posisi pembicara terhadap
lawan bicara, dan posisi pembicara terhadap orang yang diperbincangkan.
Namun bila ditulis secara ringkas bisa dikatakan bahwa bila pembicara ingin
menghormati pelaku atau orang yang diperbincangkan maka digunakan sonkeigo, bila
ingin merendah dipakai kenjougo. Bila ingin memperlakukan lawan bicara atau
menyesuaikan dengan suatu situasi, atau bila hubungan pembicara dengan lawan bicara
itu akrab dipakailah bentuk non-formal atau sebaliknya. Hal ini bisa diilustrasikan dengan
ungkapan-ungkapan seperti berikut.
3) sensei wa irassharanai.
(pak guru tidak akan pergi)
4) sensei wa irasshaimasen.
(pak guru tidak akan pergi)
Pada kalimat 3) terdapat leksem irassharu berupa kata irassharanai yang merupakan
kosakata sonkeigo, berarti kalimat ini meninggikan orang yang diperbincangkan.
Sedangkan bentuk kalimatnya bukan kalimat formal karena tidak didapatkan morfemmorfem /-es-//-desu/ atau /-mas-/, sehingga disini bisa dikatakan bahwa lawan bicara
8
adalah orang yang hubungannya dekat dengan pembicara dan situainya juga bukan situasi
formal. Sedangkan pada kalimat 4) selain terdapat kosa kata sonkeigo, juga terdapat
morfem /-mas-/, sehingga kalimat ini bermakna selain menghormati orang yang
diperbincangkan dan lawan bicara bukan orang dalam atau bukan orang yang akrab
dengan pembicara dan mungkin diujarkan dalam situasi formal.
3. Salam
Untuk memngakhiri atau mengawali suatu percakapan. dan biasanya juga
merupakan awal atau akhir pertemuan, maka seperti masyarakat Indonesia juga,
masyarakat Jepang juga melakukan hal yang sama, di dalamnya terdapat beberapa salam.
Selain salam yang dilakukan sehari-hari yang sudah baku seperti ‘ohayou gozaimasu’,
‘konnichi wa’, dan ‘konban wa’, masyarakat Jepang sering mengawali suatu pembicaraan
dengan membicarakan masalah yang berkaitan dengan cuaca dan lain sebagainya.
5) kyou wa ii tenki desu ne
(hari ini cuacanya bagus ya.)
6) yuube yoku nemuremashita ka
(apakah tadi malam bisa tidur nyenyak?) dan lain sebagainya.
Berbasa-basi ini merupakan ciri khas masyarakat Jepang, orang Jepang
menghindari pembicaraan yang langsung pada pokok pembahasan atau masalah
utama yang akan dibicarakan. Mereka sering mengatakan bahwa basa-basi sebelum
membicarakan pada pokok permasalahan diibaratkannya pelumas percakapan. Dalam
istilah yang sangat umum pembicaraan basa-basi ini adalah iimawashi (perkataan
9
memutar). Selain itu mereka juga mengibaratkan perkataan yang memutar akan
menancap lebih kuat seperti paku ulir yang cara menancapkannya harus di putar
terlebih dahulu.
Sehingga bila berhadapan dengan kolega atau tamu bisnis orang Jepang
sebaiknya harus menghindari percakapan yang langsung pada pokok pembicaraan.
Misalnya perlu dimulai dengan pembicaraan yang ringan misalnya tentang cuaca di
Jepang, keluarga, makanan, dan lain sebagainya yang tidak langsung berkaitan dengan
masalah pokok pembicaraan.
Dalam suatu wacana, bahasa Jepang seperti bahasa yang lainnya ungkapan yang
tidak langsung juga bisa dipakai untuk lebih menyopankan ujaran (Kamio, A. Jouhou no
Nawabari Riron). Misalnya bila ingin menyatakan sesuatu maka digunakan kata
‘agaknya’ walaupun pembicara yakin akan keadaan yang dibicarakan. Contohnya bila
Jepang menagih iuran, mereka akan mengatakan “anda nampaknya belum bayar iuran
rekreasi minggu depan......”, padahal pembicara telah mendapatkan data dari buku catatan
bahwa lawan bicaranya benar-benar belum membayarnya. Untuk menyatakan keadaan
seperti ini dipakai bentuk kalimat dengan modalitas “you” seperti berikut:
7) ano, sumimasen ga. basudai no koto nadesuga, mada oharai itadaiteinai you
desuga,…
(anu bu, maaf ini bu. tentang ongkos bis. sepertinya ibu belum melunasinya,)
10
Bila mengutarakan tagihan tersebut dengan ujaran langsung tanpa ungkapan
“sepertinya” maka ujaran tersebut derajat kesopanannya tentu lebih rendah daripada
ujaran yang tidak langsung tersebut, dan tentunya menimbulkan rasa ketidak nyamanan
bagi lawan bicara.
Bahasa Jepang “memang” njelimet dan bahkan seorang tokoh spritual dari barat
Fransiscus Xaverius mengatakan bahwa bahasa Jepang adalah “akuma no gengo”(The
Devil`s Language)( Ikegami Y., Gengo edisi September 1992). Melihat kebiasaan
kebahasaan Jepang tersebut bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin terlalu njelimet
dan tidak efisien waktu. Mengenai hal ini, masyarakat Jepang juga menyadarinya, mereka
mengibaratkannya antara paku biasa dan paku ulir yang harus diputar, karena harus
diputar maka akan menghasilkan daya lekat yang lebih kuat. Oleh karena itu di sini kita
dituntut untuk telaten dalam bertatakrama ini agar mendapatkan hasil yang maksimal.
4. Menanggapi Keluhan
Dalam menjalankan hubungan antar manusia sering terjadi suatu ketidak seimbangan,
ada pihak yang merasa dirugikan, entah disengaja ataupun tidak. Ketidak seimbangan ini
mudah terjadi pada hubungan antar pemeluk kebudayaan yang berbeda. Pihak yang
merasa dirugikan biasanya akan menyampaikan ketidak puasannya ini.
Dalam menyampaikan pikirannya dalam diri orang Jepang ada sikap honne dan
tatemae (Nakane,1988) apa yang diucapkan belum tentu sama dengan apa yang ada
dalam hatinya. Honne adalah ungkapan yang sama dengan isi hatinya, sedangkan tatemae
11
adalah ungkapan yang tidak keluar dari sanubari. Misalnya, orang Jepang sering
mengatakan enak bila disuguhi makan oleh tuan rumah walaupun rasanya tidak sesuai
dengan lidahnya, atau bila ia tidak suka akan mengatakan bahwa rasa makanan itu
merupakan rasa yang pertamakali dirasakan. Berkaitan dengan cara pengutaraan masalah
seperti tersebut di atas maka keluhan-keluhan turis Jepang biasanya tidak disampaikan
langsung kepada pihak penyelenggara di Indonesia, melainkan pada agen penjual paket
tour di Jepang. Namun bukan berarti keluhan yang disampakain kepada pihak Indonesia
tidak ada.
Bila memang harus mendapatkan keluhan dari pihak tamu maka kita tidak perlu
merasa gusar atau menganggap remeh. Keluhan itu hampir bisa dikatakan adalah hal
yang bisa dianggap biasa, tetapi perlu ditanggapinya dengan cara yang benar.
Untuk mengembalikan suatu hubungan agar kembali seimbang bisa dipakai
ungkapan apology. Apology adalah instrumen penyeimbang hubungan (Leech).
Kemudian menerangkan alasan atau memberi pengertian sebab terjadinya tindakan kita
yang merugikan tamu tamu tersebut. Bila tamu sudah paham sebab kesalahannya, maka
tindakan selanjutnya adalah harus mencoba memberikan solusi terhadap masalah yang
dikeluhkan oleh pihak pemakai jasa kita. Berikut adalah contoh dialog sederhana tentang
kekeliruan seorang pegawai restoran dalam melayani pesanan tamu:
Keluh : koohi wo chuumon shita noni, koocha ga kimashita.
(padahal saya pesan kopi kenapa yang datang teh?)
Jawab: sumimasen. machigaemashita. sugu omochishimasu
(maaf. saya keliru. akan segera saya bawakan)
12
Secara sederhana urutan menjawab keluhan adalah permintaan maaf, yaitu
‘sumimasen’, ‘moushiwake arimasen’ dan lain sebagainya, kemudian mengutarakan
alasan yaitu seperti pada dialog di atas, ‘watashiga magaemashita’, dan solusi yang
berupa kalimat ‘sugu omochi shimasu’.
Demikian sebaliknya bila kita melakukan keluhan terhadap tamu maka agar keluhan
kita tidak menimbulkan ketidaknyamanan, kita juga harus mengutarakan dengan
ungkapan seperti masyarakat Jepang, dengan cara yang tidak langsung dulu. Seandainya
dengan ujaran yang tidak langsung tersebut lawan bicara belum memahami maksud kita
maka barulah diutarakan secara langsung.
5. Memberikan Tawaran
Dalam masyarakat bisnis di Jepang hubungan antara bawahan dan atasan sangat jelas,
misalnya bila bawahan melihat atasannya membawa tas, maka bawahan akan segera
menawarkan untuk membawakannya, dan orang yang sering membawakan tas atasannya
atau bawahan seperti ini disebutnya juru bawa tas atau dalam bahasa Jepang disebut
‘kaban mochi’, nama ini mempunyai nuansa sedikit olok-olok (Okutsu, K. 1990).
Dalam masyarakat bisnis tamu adalah raja. Maka bila melihat “raja” dalam kesulitan
maka sudah sewajarnya bila ditawarkan bantuan untuk meringankan bebannya. Contoh
kongkritnya, bila ada tamu berkunjung ke Borobudur sambil menggendong anak dan
selain itu masih harus bawa sendiri barang-barangnya, maka sepatutnya ditawarkan
13
bantuan kepada tamu tersebut dengan menggunakan ungkapan yang benar. Ungkapan
yang dipakai adalah ragam merendah, karena menawarkan pekerjaan kepada pihak yang
kita tinggikan. Pola merendah di sini adalah pola o-verba-suru.
8) okyakusan, kaban wo omochishimasu.
(sini bu, saya bawakan tasnya)
Pada masyarakat pembelajar bahasa Jepang tingkat pemula, pola ini sering tertukar
dengan bentuk verba–te ageru, ‘okyaku-san kaban wo motte agemasu’. Padahal verba-te
ageru ini bermakna melakukan pekerjaan untuk orang lain dengan suatu ‘pengorbanan’,
sedangkan pola o-verba suru bermakna melalukan suatu pekerjaan untuk orang lain
dengan merendah terhadap orang yang bersangkutan. Sehingga bila pemilihan ujaran ini
tidak tepat maka menimbulkan kesan pemberi jasa lebih tinggi daripada “raja” tersebut
dan tidak dengan suka hati.
Agar tidak terjadi kesalahan dalam menerima jawaban tamu apakah dia menolak atau
menerima maka perlu juga kita perhatikan kebiasaan berterimakasih dalam bahasa Jepang.
Masyarakat Jepang ketika menerima suatu bantuan yang pertama kali diucapkan adalah
ungkapan apology, sedangkan pada masyarakat Indonesia bila mendapat bantuan, ucapan
terimakasih adalah hal yang lumrah, oleh karena itu tidak mustahil kalau ada pemandu
wisata yang menginterpretasikan apology ini merupakan penolakan terhadap tawaran
tersebut. Hal ini bisa digambarkan seperti dialog berikut:
A: kaban wo omochi shimasu.
(sini bu, saya bawakan tasnya.)
14
B: sumimasen.
(maaf)
Jadi, ungkapan terimakasih karena telah mendapatkan bantuan dari orang lain dalam
bahasa Jepang tidak selalu dengan kata ‘arigatou gozaimasu’.
C. Penutup
Berangkat dari kesadaran bangsa Jepang akan pentingnya tingkat ketrampilan
kebahasaan ini, kiranya perlulah ditingkatkan pelayanan kebahasaan ini baik yang lisan
maupun yang tertulis. Selain itu karena bahasa asing bukanlah bahasa yang dapat
dipelajari secara “gratis” dalam kehidupan sehari-hari kita, serta ketidak bisaan tamu
dijadikan sebagai “guru” karena tamu atau pelaksana pelayanan umum di lapangan tidak
pernah tukar posisi, yakni “raja” tetap menjadi raja sehingga ragam bahasa yang dipakai
tidak pernah berganti, maka pihak terkait selain memberikan program pelatihan terhadap
pegawai baru juga memberikan program “penyegaran” kepada pegawai yang sudah
senior secara rutin.
Para penyelenggara pembelajaran bahasa Jepang pada sekolah-
sekolah non formal sebaiknya menekankan kurikulumnya pada pembelajaran bahasa
bisnis ini.
15
Daftar Pustaka
Chaer, A.
2003 Psikolinguitik; Kajian Teoritik. Jakarta. PT Rineka Cipta
Fukutake, T.
1988 Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta. PT Gramedia
Ikegami, Y.
Nihongo to Nihongoron dalam Jurnal Gengo edisi September 1992 Vol 21 No.10
Jurusan Sastra Jepang, FIB, UGM. Hand-out Matakuliah Percakapan VI
Kamio, A.
1990 Jouhou no Nawabari Riron. Tokyo.Taishuukan Shoten
Kikuchi, Y.
1994 Keego. Tokyo. Kadogawarekigen
Nakane, C.
1988 Inside the Japanese System: Reading on Contemporary Society and PoliticalEconomy. Stanford University Press
Okutsu, K.
1990 Nihongo e no Shoutai; Bunpou to Goi.Tokyo. Bonjinsha
O`Neill, P.G.,
1991 A Programmed Course on Respect Language in Modern Japanese. Tokyo.
Charles E. Tuttle Company
www.mofa.go.jp
Yoshihara, K.,
1992 Pembangunan Ekonomi Jepang. Jakarta.UI Press
16
Download