Modul Metode Penelitian Kualitatif [TM7].

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Metode Penelitian
Kualitatif
Modul Standar untuk
digunakan dalam Perkuliahan
di Universitas Mercu Buana
Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
Fakultas Ilmu
Komunikasi
Advertising &
Marketing
Communications
07
Kode MK
Disusun Oleh
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Abstrak
Kompetensi
Modul ini dipergunakan dalam
perkuliahan Metode Penelitian
Kualitatif, pertemuan . Pokok bahasan
dalam Modul ini mencakup mengenai:
mazhab semiotika dalam ilmu
komunikasi, semiotika sebagai studi
tentang tanda, definisi dan konsep
tanda dan makna, serta tokoh-tokoh
semiotika dan pokok-pokok pikirannya.
Mahasiswa dapat memahami
mengenai mazhab semiotika dalam
ilmu komunikasi, semiotika sebagai
studi tentang tanda, definisi dan
konsep tanda dan makna, serta tokohtokoh semiotika dan pokok-pokok
pikirannya.
Mengenal Semiotika Komunikasi
Mazhab Semiotika dalam Ilmu Komunikasi
Istilah ‘komunikasi’ telah didefinisikan dalam berbagai pengertian dan sudut pandang. Pada
dasarnya komunikasi bukanlah sekedar subjek, dalam pengertian akademik ‘komunikasi’
mengacu kepada suatu area multidisipliner yang memiliki banyak titik temu dengan berbagai
bidang keilmuan yang lain terutama bidang-bidang ilmu sosial seperti sosiologi dan
psikologi.
Banyak ahli membangun definisi dari ‘komunikasi’ sebagai sebuah ‘proses transmisi pesan’.
Beberapa model komunikasi menggunakan definisi proses ini sebagai dasarnya. Pada
kenyataannya definisi komunikasi dapat kita lihat dari dua sudut pandang/mazhab yang
berbeda.
Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai proses transmisi pesan. Disini fokus utamanya
adalah mengenai bagaimana komunikator mengirimkan pesan kepada komunikan. Atau
bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya
(decode), dan dengan bagaimana transmitter menggunakan saluran dan media komunikasi.
Dalam sudut pandang ini menurut Fiske (1990) isu-isu komunikasi yang muncul adalah
mengenai efisiensi dan akurasi, dan dilihat juga bahwa komunikasi merupakan sebuah
proses dimana dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind dari
pribadi yang lain. Jika efek tersebut berbeda dari yang diharapkan, mazhab ini cenderung
berbicara tentang kegagalan komunikasi, dan akan dilakukan evaluasi untuk melihat di
tahap mana kegagalan tersebut terjadi.
Berbeda dengan mazhab proses tersebut, terdapat mazhab lain yang melihat komunikasi
sebagai ‘produksi dan pertukaran makna’. Disini fokus utamanya adalah bagaimana pesan
atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni yang
berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Mazhab ini juga tidak memandang
kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi, namun
“kegagalan” tersebut dilihat dapat sebagai pengaruh dari perbedaan budaya antar pengirim
pesan dan penerimanya. Fiske (1990), menyatakan bahwa bagi mazhab ini, studi
komunikasi adalah studi mengenai teks dan kebudayaan.Metode studinya yang utama
adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna).
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam mazhab proses, cenderung dipergunakan ilmu-ilmu sosial terutama psikologi dan
sosiologi, dan cenderung juga memusatkan dirinya kepada tindakan komunikasi. Sedangkan
mazhab semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni, dan cenderung
memusatkan dirinya pada ‘karya’ komunikasi (Fiske, 1990, hal.9).
Mazhab proses mendefinisikan ‘interaksi sosial’ sebagai proses yang dengannya seorang
pribadi berhubungan dengan yang lain, atau mempengaruhi perilaku, state of mind atau
respons emosional yang lain, dan demikian sebaliknya. Sedangkan mazhab semiotika
mendefinisikan interaksi sosial sebagai sesuatu yang membentuk individu sebagai anggota
dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.
Selanjutnya, mazhab proses melihat pesan sebagai sesuatu yang ditransmisikan melalui
proses komunikasi. Namun, bagi mazhab semiotika, pesang lebih dilihat sebagai konstruksi
tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, menghasilkan makna. Jadi pesan
bukanlah sesuatu yang dikirim dari A ke B, melainkan suatu elemen dalam sebuah
hubungan terstruktur yang elemen-elemen lainnya termasuk realitas eksternal dan
produser/pembaca (Fiske, 1990, hal.11).
Semiotika sebagai Suatu ‘Studi tentang Tanda’
Selain mengacu pada suatu mazhab yang menjelaskan posisi komunikasi, istilah semiotika
juga dikenal sebagai sebuah pendekatan metodologis. Semiotika secara umum diartikan
sebagai studi tentang ‘tanda’ dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, juga cara
bekerjanya, hubungannnya dengan tanda-tanda lain, pengiriman dan penerimaannya oleh
mereka yang menggunakannya (Kriyantono, 2006, hal. 261).
Menurut
Umberto Eco, yang dikutip oleh Alex Sobur, secara etimologi istilah semiotik
berasal dari kata Yunani semion yang dalam bahasa Inggris menjadi sign yang berarti
tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya,. Secara terminologi,
semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang tanda – yang mencakup
objek-objek, peristiwa, dan seluruh kebudayaan.
Analisis semiotika berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yange tersembunyi
di balik sebuah tanda, karena system tanda memiliki sifat yang amat konstekstual dan
bergantung pada pengguna tanda tersebut. Menurut Littlejohn (1996), tanda adalah basis
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanfa dapat melakukan
komunikasi dengan sesamanya.
Tanda menjadi bagian dari keseluruhan sistem tanda yang kompleks. Suatu tanda
menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) adalah hubungan antara
suatu objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori
yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk nonverbal,
teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda
merujuk pada semiotika (Sobur, 2006, hal. 15-16).
Tanda dan Makna
Kita dapat berinteraksi satu dengan yang lain karena kita memahami makna yang
dimaksudkan oleh bahasa – verbal dan nonverbal – yang kita gunakan. Tapi bagaimana
makna ini dihasilkan dan dikirim, itulah yang menjadi pembahasan kita. Menurut Berger,
terobosan terpenting semiologi adalah: menempatkan bahasa sebagai model (pola) dan
menerapkan konsep-konsep bahasa pada fenomena lain (teks) dan bukan hanya
bahasa itu sendiri. Jadi, kita memperlakukan teks seperti bahasa, bukan semata-mata
sebagai sesuatu.
Jonathan Culler berpendapat, bahasa dapat berguna dalam mengkaji fenomena budaya
karena didasarkan pada dua landasan:
1) fenomena sosial dan budaya bukanlah sekadar objek atau peristiwa material,
tetapi objek dan peristiwa yang memiliki makna. Karena itu, fenomenafenomena ini menjadi tanda;
2) fenomena sosial-budaya ditentukan oleh jaringan hubungan.
Jadi, intinya: tanda-tanda dan hubungan. Inilah dua gagasan kunci dari analisis semiotik.
Menurut Saussure, di satu sisi, bahasa merupakan sistem tanda yang mengungkapkan ideide – sehingga bahasa dapat dibandingkan dengan sistem penulisan (alfabet), ritus simbolik,
sinyal-sinyal militer, dsb. Di sisi lain, semiologi memperlihatkan: apa yang menetapkan tanda
dan aturan/hukum yang mengaturnya.
Tanda dan sistem yang mengikat berbagai tanda merupakan sumber makna. Sistem tanda
tersebut umumnya tidak selalu jelas dan harus dicari di dalam teks. Misalnya, batik
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
merupakan satu sistem tanda yang membawa makna terkait dengan status, selera,
nasionalisme, dan sebagainya. Batik bukan semata-mata sebagai pakaian, penutup tubuh.
Tanda
Ferdinand de Saussure
Menurut Saussure, tanda merupakan suatu kombinasi yang tak terpisahkan antara konsep
(concept) dan gambaran-suara (sound-image). Secara visual, kombinasi tersebut tampak
sebagai berikut:
Jam Dinding
Sound-image
Jam
(signifier)
Concept
Jam Dinding
(signified)
tanda
simbol
Pengertian tanda tersebut oleh Fiske (1988:44) diterjemahkan ke dalam gambar berikut:
Sign
compose
Signifier
Signification
External meaning or
reality
Signified
Konsep memiliki makna karena adanya hubungan. Hubungan yang bersifat mendasar
adalah hubungan oposisi (berlawanan). Misalnya, konsep ‘kaya’ tidak memiliki makna,
kecuali ada konsep ‘miskin’. Jadi, isi (definisi kaya) tidak menentukan makna (apa itu kaya).
Yang menentukan makna (apa itu kaya)adalah hubungan (antara kaya dan miskin) dalam
suatu sistem (lingkungan sosial).
Hubungan antara signifier dan signified bersifat krusial, artinya hubungan tersebut arbitrer,
unmotivated, dan un-natural. Dengan kata lain, tak ada hubungan logis antara suatu kata
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dan suatu konsep (signifier) dengan signified. Karena itu, usaha menemukan makna dalam
teks jadi menarik dan problematis.
Menurut Saussure, tanda berbeda dengan simbol. Jika tanda bersifat arbiter (jam bisa
diganti dengan watch), maka simbol tidak pernah bersifat arbitrer sepenuhnya. Burung
garuda sebagai simbol nasionalisme Indonesia tidak bisa digantikan dengan burung lainnya.
Saussure meletakkan tanda dalam konteks komunikasi manusia dengan melakukan
pemilahan antara apa yang disebut signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier
adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang
dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca. Signified adalah gambaran mental, yakni pikiran
atau konsep aspek mental dari bahasa. Kedua unsur ini seperti dua sisi mata uang atau
selembar kertas.
Menurut Alex Sobur, “Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut
dinamakan signification. Dengan kata lain, signification adalah upaya memberi makna
terhadap dunia.”
Charles Saunders Pierce
Peirce juga mengemukakan teori segi tiga makna Peirce ( Triangle Meaning Theories) untuk
mengungkapkan suatu makna, adalah sebagai berikut:
Sign
Interpreta
nt
Object
Dari diagram tersebut dapat dijelaskan bahwa berbicara tanda adalah sesuatu yang tidak
sekedar tentang tanda itu sendiri, berkaitan dengan obyek yang dipahami oleh seseorang,
yang mempunyai efek di dalam pikiran/benak seseorang tersebut, intepretant. gambar
mengenai anak panah yang mempunyai dua arah menunjukkan bahwa masing-masing
elemen dapat dipahami hanya di dalam hubungan dengan elemen yang lain.
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut pemikir Amerika, Charles Sanders Peirce (Alex Sobur, 2003: 34) bahwa tandatanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki
hubungan sebab akibat dan simbol untuk asosiasi konvensional. Menurut Peirce, sebuah
analisis tentang esensi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan
oleh objeknya. Pertama dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda
sebagai ikon. Kedua menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek
individual, ketika kita menyebut tanda sebagai indeks. Ketiga, kurang lebih perkiraan yang
pasti bahwa hal tersebut diinterpertasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebagai simbol.
Mengacu pada pendapat Paul Cobley dan Litza Jansz (Agus Sudibyo, 2001: 246) dan Aart
van Zoest (1993:23), tipologi tanda-tanda Pierce adalah sbb:

Ikon adalah tanda yang dicirikan oleh persamaan dengan objek yang digambarkan.
Misalnya gambar-gambar, patung-patung tokoh terkenal memperlihatkan tanda yang
relatif sama dengan objeknya. Patung Diponegoro memperlihatkan ciri yang sama
dengan alm. Pangeran Diponegoro.

Indeks, adalah sebuah tanda yang dalam corak tandanya bergantung dari adanya
sebuah obyek. Indeks memperlihatkan hubungan langsung (sebab-akibat) antara
sebuah tanda dan objek yang kedua-duanya dihubungkan. Misalnya asap dengan
api, gejala batuk dengan penyakit.

Simbol, adalah tanda yang hubungan antara tanda dan obyeknya ditentukan oleh
suatu “peraturan”
yang berlaku secara umum; tanda yang ditentukan lewat
konvensi, persetujuan atau aturan lainnya. Maknanya ditentukan oleh suatu
persetujuan bersama atau diterima umum sebagai suatu kebenaran. Misalnya katakata isyarat.
Ahli semiotika dari kubu Saussure menggunakan kosa kata yang berbeda. Mereka
menggunakan istilah-istilah pinjaman dari linguistik …. Para ahli semiotika ini (selain
Saussure) tidak berpegang pada makna primer (denotasi) tanda yang disampaikan,
melainkan berusaha untuk mendapatkan makna sekunder (konotasi) yang juga dipunyai
tanda itu. Roland Barthes adalah pemuka yang paling terkenal dari aliran semiotika ini, yang
disebut aliran “semiotika konotasi.”
M. Ridwan Kamil menulis, persoalan yang timbul mengenai makna (signifikasi) suatu tanda
antara lain: mengapa tanda yang sama bisa bermakna ganda atau bahkan berlawanan.
Pertanyaan ini kemudian dijawab Roland Barthes yang menyempurnakan pemikiran
Saussure tersebut dengan konsepnya tentang adanya proses denotatif dan konotatif dalam
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pencerapan makna. Denotatif adalah hal yang tersurat, atau esensi suatu objek apa
adanya. Sementara, konotatif adalah interpretasi makna yang dipengaruhi oleh kondisi
emosional, sosial, dan mental budaya si pengamat.
Analisis semiotik merupakan proses signifikasi yang tidak terbatas pada bahasa. Kurniawan
menjelaskan: “Signifikasi … terdapat pula pada hal-hal yang bukan bahasa …. Barthes
menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk signifikasi. Dengan kata lain,
kehidupan sosial apa pun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula.”
Daniel Chandler mengungkapkan:
Roland Barthes adopted from Louis Hjelmslev the nation that are different orders of
signification (level of meaning). The first order of signification is that of denotation: at this
level there is a sign consisting of signifier and signified. Connotation is a second-order of
signification which uses the first sign (signifier and signified) as its signifier and attaches to it
an additional signified. In this framework connotation is a sign which derives of a denotative
sign (so denotation lead to a chain of connotations).
Pemikiran Roland Barthes mengenai signifikasi dua tahap (two order signification)
sebagai berikut digambarkan Fiske sebagai berikut:
Signifikasi Dua Tahap Barthes
First order
Reality
second order
sign
culture
Form
Signifier
………….
Denotatio
n
Signified
Content
Myth
Sumber: John Fiske, Introduction to Communication Studies, 1990, h. 88
Melalui model tersebut Fiske menjelaskan, signifikan tahap pertama merupakan hubungan
antara signfier dan signfied di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah
yang
digunakan
Barthes
untuk
menunjukkan
signifikasi
tahap
kedua.
Hal
ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang
subjektif atau paling intersubjektif.
Ditambahkan oleh Daniel Chandler : “Connotations ‘derives not from the sign itself, but from
the way society uses and values both signifier and signified’.” Konotasi ternyata tidak
diperoleh dari tanda itu sendiri, tetapi dari bagaimana masyarakat menggunakan dan menilai
baik penanda dan petanda dari sebuah tanda.
Mengutip Fiske dan Hartley, Chandler menjelaskan rantai konotasi Roland Barthes sebagai
berikut :
Related to connotation is what Roland Barthes refers to as myth. Barthes argues that the
orders of signification called denotation and connotation combine to produce ideology –
which has been described as a third order of signification … cultural myth express and serve
to organize shared ways of conceptualizing something. Tony Thawaites and his colleagues
add that ‘signs and codes are produced by, and reproduced, cultural myth. This is an
ideological function which serves to make shared values, attitudes and beliefs seem natural’,
‘normal’, ‘self-evident’, ‘common-sense’, and even ‘true’.
Barthes berpendapat bahwa tahapan signifikasi yang disebut denotasi dan konotasi
menyatu untuk menghasilkan ideologi – yang digambarkan sebagi tahapan ketiga signifikasi.
Mitos-mitos kebudayaan mengungkapkan dan menyediakan organisasi bagian-bagian
dengan cara mengkonsepkan sesuatu. Tanda dan kode diproduksi dan direproduksi oleh
mitos-mitos kebudayaan. Hal ini merupakan fungsi ideologis yang tersedia untuk membuat
bagian nilai, tingkah laku dan kepercayaan agar terlihat alami, normal, terbukti sendiri,
masuk akal dan bahkan benar.
Signifikasi tahap ketiga mencari tahu ideologi dari teks dengan cara menemukan mitos yang
membentuknya. Alex Sobur menjelaskan kaitan antara ideologi dengan mitologi sebagai
berikut :
Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat
di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam teks-teks semacam itu. Ideologi
adalah sesuatu yang abstrak. Mitologi (kesatuan mitos-mitos yang koheren)menyajikan
inkarnasi makna-makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. Ideologi harus dapat
diceritakan. Cerita itulah mitos.
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Aart Van Zoest menawarkan cara praktis untuk menemukan kaitan antara ideolgi dengan
mitologi dalam sebuah teks dengan cara:
… mencari apa yang dinamakan ‘retak’ dalam teks. Di dalam sebuah teks pasti terdapat
bahagian gejala yang kelihatan aneh bagi kita, sebagai sesuatu yang menarik perhatian.
Gejala-gejala itu dapat ditemukan oleh orang yang telah mengembangkan suatu kepekaan
khusus untuk penemuan-penemuan semacam itu. Semiotika dapat membantu pada
kesempatan-kesempatan itu, apabila orang tetap ingat akan pertanyaan apakah ada
lambang-lambang yang bersifat khusus.
Pencarian ‘retak’ dalam sebuah teks akan menggiring peneliti pada signifikasi tahap ketiga.
‘Retak’ atau lambang-lambang khusus yang kelihatan aneh dan menarik perhatian akan
menggiring kita pada penemuan ideologi dan mitologi dalam sebuah teks.
Daniel Chandler mengemukakan : “In the third (mythological or ideological) order of
signification the refers major culturally-variable concepts underpinning a particular
worldview-such as masculinity, feminity, freedom, individualism, objectivism … and so on.”
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada 3 tahap signifikasi yang terdapat dalam
model Roland Barthes yakni :
Signifikasi tahap pertama (denotatif) yaitu semua hal yang tersurat atau esensi suatu objek
apa adanya. Denotasi ini yang merupakan makna literal.
Signifikasi tahap kedua (konotatif) yaitu semua hal yang tersirat yang mencerminkan nilainilai ‘yang dinyatakan’ dan terdapat pada tanda. Makna konotatif mengacu pada makna
sosial budaya dan kondisi si pengamat.
Signifikasi tahap ketiga yaitu mitos atau ideologi yang mencerminkan konsep besar
kebudayaan dalam sebuah teks. Ideologi dan mitologi ini dapat diperoleh dengan
menafsirkan ‘retak’ dalam ataupun tanda-tanda khusus yang dimiliki sebuah teks.
Dari apa yang dikemukakan di atas, jelas bahwa denotasi merupakan makna literal dari
sebuah tanda sedangkan konotasi mengacu pada makna sosial budaya dan kondisi si
pengamat. Bagaimanapun juga, bagi para semiotikus, baik konotasi maupun denotasi
melibatkan fungsi dari kode-kode. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Daniel
Chandler: “However, for semioticians both denotation and connotation involve the use of
codes.”
Menurut Berger: “ Kode adalah pola-pola yang sangat kompleks, yang dipelajari oleh
masyarakat ataupun sebuah kebudayaan . Kode tersebut, atau struktur-struktur rahasia, di
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dalam pikiran orang, mempengaruhi cara individu menginterpretasikan tanda dan simbol
yang mereka temui dari media dalam kehidupan keseharian.”
Artinya kode merupakan pola-pola asosiasi yang dipelajari, tertanam dalam pikiran orang
dan suatu kebudayaan serta mempengaruhi proses interpretasi tanda-tanda dalam teks.
Kode sebagai sistem makna luar yang lengkap sebagai acuan dari setiap tanda; menurut
Barthes (1974:18-20) terdiri dari lima jenis.
Pertama, kode hermeneutika. Di bawah kode hermeneutika, orang dapat mendaftar
beragam istilah (formal) yang sebuah teka-teki (enigma) dapat dibedakan, diduga,
diformulasikan, dipertahankan, dan akhirnya disingkap. Kode ini disebut pula suara
kebenaran (the voice of truth).
Kedua, kode proaiterik (suara empirik), yang merupakan tindakan naratif dasar (basic
narative action) yang tindakan-tindakan dapat terjadi dalam beragam sekuen yang mungkin
diindikasikan.
Ketiga, Kode budaya (suara ilmu), sebagai referensi kepada sebuah ilmu atau lembaga
pengetahuan. Biasanya orang mengindikasikan tipe pengetahuan (fisika, fisiologi, psikologi,
sejarah, dan lain-lain) mengacu pada, tanpa cukup jauh mengkonstitusi (atau
merekonstruksi) budaya yang diekspresikan.
Keempat, Kode semik (petanda dari konotasi atau pembicaraan yang ketat). Merupakan
kode relasi – penghubung (medium-relatic code) yang adalah sebuah konotator dari orang,
tempat, objek, yang petanda adalah sebuah karakter (sifat, atribut, predikat)
Kelima, Kode simbolik (tema) yang bersifat tidak stabil dan dimasuki melalui beragam sudut
pendekatan.i
Berbeda dengan Barthes, Ferdinand de Sausurre (ahli linguistik modern) yang dikutip Arthur
Asa Berger, berpendapat “Tanda adalah kombinasi konsep dan citra suara, dan suatu
kombinasi yang tidak dapat dipisahkan.”. Dalam logika Sausurre proses pemaknaan
seseorang diawali dengan penangkapan makna secara denotasi, makna secara denotasi
adalah makna primer suatu tanda yang dapat langsung kita tangkap jika kita menggunakan
panca indra, Sedangkan makna konotasi terbentuk akibat perkembangan makna yang tidak
lagi mengacu pada makna primernya.
Oleh karena itu dengan mengetahui konotasi maka kita dapat menemukan makna-makna
yang tersembunyi dari suatu fenomena. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Sausurre
yang menyatakan bahwa, “untuk mengetahui citra kita perlu mengetahui konotasi, karena
konotasi memungkinkan penggunaan tanda untuk mengungkap sesuatu yang lain daripada
apa yang diungkapkan”
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dapat dipahami makna konotasi yang yang diungkapkan pada akhirnya akan melahirkan
citra tentang penggunaan simbol. Ungkapan dari Ferdinand de Sausurre, bahasa sebagai
suatu sistem tanda sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari objek kajian yang tidak
terpisahkan dari objek kajian semiotika. Apabila kita ingin menganalisis sebauah bahasa
dengan semiotika ada baiknya kita ketahui konsep-konsep teori linguistik dari Saussure
seperti langue/parole, sintagmatik/paradigmatik, sinkronik/diakronik, petanda/penanda”.ii
Bahasa sebagai obyek sosial yang murni, dan melihat keberadaannya di luar individu
sebagai
seperangkat
konvensi-konvensi
sistematik
yang
berperan
penting
dalam
komunikasi, disebut sebagai langue oleh Saussure. Langue merupakan institusi sosial yang
otonom, yang tidak tergantung pada materi tanda-tanda pembentuknya.
Langue
adalah bahasa sebagai wujud dari sebuah sistem.
dengan parole
Sedangkan yang disebut
merupakan bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Parole dapat
dipandang sebagai kombinasi dari subyek penutur yang mampu menggunakan kode bahasa
untuk mengungkapkan pikiran pribadinya. Parole merupakan penggunaan aktual bahasa
sebagai tindakan-tindakan individu.
Segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik.
Linguistik sinkronik memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan
tema-tema secara berbarengan dan membentuk sistem di dalam pikiran yang kolektif.
Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis sintagmatik bahasa sebagai sistem yang
eksis pada suatu waktu titik tertentu yang seringkali berarti waktu saat ini atau kontemporer
dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga berujud seperti saat ini.
Sebaliknya, segala sesuatu yang berhubungan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik
diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang yaitu prospektif dan retrospektif.
Sudut pandang pertama berjalan sesuai alur waktu dan kedua berjalan mundur. Linguistik
diakronik (analisis paradigmatik) mengkaji relasi-relasi secara suksesif mengikat termaterma secara bersamaan, dan masing-masing dapat saling substitusi tanpa membentuk
suatu sistem dan tidak disadari oleh pikiran kolektif.
Segala sesuatu yang ada dalam sebuah bahasa berdasarkan relasi-relasi. Relasi-relasi ini
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu relasi sintagmatik dan paradigmatik. Sebuah
sintagmatik merujuk pada hubungan in presentia antara satu kata dengan kata yang lain,
atau antara satuan gramatikalnya. Berbeda dengan paradigmatik, di dalam relasi in setiap
tanda berada di dalam kode sebagai bagian dari paradigma. Suatu sistem relasi in absentia
yang mengkaitkan tanda yang satu dengan tanda yang lain.
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tanda (sign) merupakan satuan dasar bahasa yang niscaya tersusun dari dua relata yang
tak terpisahkan, yakni citra bunyi (accoustic image) sebagai unsur penanda (signifier) dan
konsep sebagai petanda (signified). Petanda merupakan aspek material tanda yang bersifat
sensoris, dapat diindrai (sensible), yang didalam bahasa lisan mengambil wujud sebagai
citra bunyi atau citra akustik yang berkaitan dengan sebuah konsep (petanda). Sedangkan
petanda merupakan aspek mental dari tanda-tanda yang biassa disebut sebagai konsep
ideasional yang tertanam di dalam benak si penutur. Petanda bukanlah sesutau yang diacu
oleh tanda melainkan semata-mata sebagai wujud representasi mental.
Pendekatan Semiotika
Berkenaan dengan studi semiotik pada dasarnya pusat perhatian pendekatannya
adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, (1990:40) terdapat 3 area penting dalam
studi semiotik, yakni:
1. Tanda itu sendiri (the sign itself). Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara
tanda-tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah
konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang
menggunakannya.
2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda (the codes or system into which signs
are organized). Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi
kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran
komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.
3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja the culture within which these codes and
signs operate. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tandatanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri.
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Denzin, NK., Lincoln, YS, 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar.
Kriyantono, R. 2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Prenada Media Group.
Daymon, C., Holloway, I 2002. Riset Kualitatif: Public Relations & Marketing
Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Sukidin, B. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Penerbit Insan
Cendekia.
i
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes, Yayasan Indonesiatera, Magelang, 2000, h.69-70
Aminuddin, Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi, Kanal, Yogyakarta,
2002, h. 85 -86
ii
‘13
1
Metode Penelitian Kualitatif
Nindyta Aisyah, S.Ikom., M.Si.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download