MODUL PERKULIAHAN Kognisi Sosial Teori-Teori Psikologi Sosial 2 Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka 02 Kode MK Disusun Oleh 61017 Filino Firmansyah, M.Psi Abstract Kompetensi Materi tentang teori peran, teori belajar, teori pertukaran sosial, teori disonansi kognitif, teori keseimbangan. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kembali mengenai teori peran, teori belajar, teori pertukaran sosial, teori disonansi kognitif, teori keseimbangan. Teori-Teori Psikologi Sosial 2 Pada modul ini akan dibahas beberapa teori yang menjelaskan perilaku sosial berdasarkan teori peran, teori belajar, teori pertukaran sosial, teori disonansi kognitif, teori keseimbangan. Materi diambil dari Buku Psikologi Sosial – Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial karangan Sarlito Wirawan Sarwono (2009) TEORI PERAN Teori peran adalah teori yang merupakan perpaduan berbagai teori, orientasi maupun disiplin ilmu. Selain dari psikologi, teori peran berawal dari dan masih tetap digunakan dalam sosiologi dan antropologi. Dalam ketiga bidang ilmu tersebut, istilah “peran” diambil dari dunia teater. Dalam teater, seorang aktor harus bermain sebagai seorang tokoh tertentu dan dalam posisinya sebagai tokoh itu ia diharapkan untuk berperilaku secara tertentu. Posisi aktor dalam teater (sandiwara) itu kemudian dianalogikan dengan posisi seseorang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dalam teater, posisi orang dalam masyarakat sama dengan posisi aktor dalam teater, yaitu bahwa perilaku yang diharapkan daripadanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu berada dalam kaitannya dengan adanya orang-orang lain yang berhubungan dengan orang atau aktor tersebut. Dari sudut pandangan inilah disusun teoriteori peran. Sebetulnya cukup banyak teori peran dalam psikologi. Tetapi karena keterbatasan tempat pembicaraan akan dipusatkan pada teori Biddle & Thomas (1966) saja, dengan di sana sini bilamana perlu akan disinggung pula teori-teori lainnya. Dalam teori Biddle & Thomas membagi peristilahan dalam teori peran dalam 4 golongan, yaitu istilah-istilah yang menyangkut: a. Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial b. Perilaku yang muncul dalam interaksi tersebut c. Kedudukan orang-orang dalam perilaku d. Kaitan antara orang dan perilaku ‘13 2 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Berbagai istilah tentang orang-orang Orang-orang yang mengambil bagian dalam interaksi sosial dapat dibagi dalam 2 golongan sebagai berikut : a. Aktor (actor, pelaku): yaitu orang yang sedang berperilaku menuruti suatu peran tertentu b. Target (sasaran) atau orang lain (other): yaitu orang yang mempunyai hubungan dengan aktor dan perilakunya Aktor maupun target bisa berupa individu-individu ataupun kumpulan individu (kelompok). Hubungan antara kelompok dengan kelompok, misalnya terjadi antara sebuah paduan suara (aktor) dengan pendengar (target). Istilah “aktor” kadang-kadang diganti dengan person, ego, atau self. Sedangkan “target” kadang-kadang diganti dengan istilah alter-ego, alter, atau non-self. Dengan demikian jelaslah bahwa teori peran sebetulnya dapat diterapkan untuk menganalisis setiap hubungan antar dua orang atau banyak orang. Jadi, termasuk juga hubungan POX (dari teori Heider). Cooley dalam (Sarwono, )dan Mead (dalam Sarwono, ) menyatakan bahwa hubungan aktortarget adalah untuk membentuk identitas aktor yang dalam hal ini dipengaruhi oleh penilaian atau sikap orang-orang lain yang telah digeneralisasikan oleh aktor. Secord & Backman (dalam Sarwono, )menyatakan bahwa aktor menempati posisi pusat (focal position), sedangkan target menempati posisi padanan dari posisi pusat tersebut (counter position). Dengan demikian, maka target berperan sebagai pasangan (partner) bagi aktor. Hal ini tampak misalnya pada hubungan ibu-anak, suami-istri atau pimpinan-anak buah. ‘13 3 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Berbagai istilah tentang Perilaku Menurut Biddle & Thomas ada lima istilah tentang perilaku dalam kaitannya dengan peran : a. Expectation (harapan) Harapan-harapan orang lain pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang pada umumnya tentang perilaku-perilaku yang pantas, yang seyoggianya ditunjukkan oleh seseorang yang mempunyai peran tertentu. b. Norm (noma) Orang sering mengacaukan istilah “harapan” dengan “norma”. Tetapi menurut Socord & Backman (dalam Sarwono,) “norma” hanya merupakan salah satu bentuk “harapan”. Jenis-jenis harapan merupakan Secord & Backman adalah sebagai berikut : 1) Harapan yang bersifat meramalkan (anticipatory), yaitu harapan tentang suatu perilaku yang akan terjadi. Misalnya seorang istri menyatakan : “Aku kenal betul suamiku. Kalau kuberitahu bahwa aku telah membeli baju seharga Rp. 60.000,ini, ia tentu akan marah sekali!” Oleh Mc David & Harari (dalam Sarwono, ) harapan jenis ini disebut predicted role expectation. 2) Harapan normatif (atau, menurut Mc David & Harari : precribed role expectation) adalah keharusan-keharusan yang menyertai suatu peran. Biddle & Thomas membagi-bagi harapan normatif ini ke dalam 2 jenis : Harapan yang terselubung (covert) : harapan-harapan itu tetap ada walaupun tidak diucapkan. Misalnya dokter harus menyembuhkan pasien, guru harus mendidik murid-muridnya. Inilah yang disebut norma (norm). Harapan yang terbuku (overt) : yaitu harapan-harapan yang diucapkan : misalnya ayah meminta anaknya agar menjadi orang yang bertanggung jawab dan rajin belajar. Harapan jenis ini dinamai tuntutan peran (role demand). Tuntutan peran melalui proses internalisasi dapat menjadi norma bagi peran yang bersangkutan. c. Performance (wujud perilaku) Peran diwujudkan dalam perilaku oleh aktor. Berbeda dari norma, wujud perilaku ini adalah nyata, bukan sekedar harapan. Dan berbeda pula dari norma, perilaku yang nyata itu bervariasi, berbeda-beda dari satu aktor ke aktor yang lain. Misalnya peran ayah seperti yang diharapkan oleh norma adalah mendisiplinkan anaknya. Tetapi dalam kenyataannya, ayah yang satu bisa memukul untuk mendisplinkan anaknya, sedangkan ayah yang lain mungkin hanya menasehati. ‘13 4 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Variasi ini dalam teori peran dipandang normal dan tidak ada batasnya. Persis sama halnya dengan dalam teater, dimana tidak ada dua aktor yang bisa betul-betul identik dalam membawakan suatu peran tertentu. Bahkan satu aktor bisa berbeda-beda caranya membawakan suatu peran tertentu pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu teori peran tidak cenderung mengklasifikasikan istilah-istilahnya menurut perilakuperilaku khusus, melainkan berdasarkan klasifikasinya berdasarkan sifat asal dari perilaku dan tujuannya (atau motivasinya). Jadi wujud perilaku peran dapat digolongkan misalnya ke dalam jenis-jenis hasil kerja, hasil sekolah, hasil olahraga, pendisiplinan anak, pencaharian nafkah, pemeliharaan ketertiban dan sebagainya. d. Evaluation (penilaian) dan Sanction (sanksi) Penilaian dan sanksi agak sulit dipisahkan pengertianya jika dikaitkan dengan peran. Biddel & Thomas mengatakan bahwa kedua hal tersebut didasarkan pada harapan masyarakat (orang lain) tentang norma. Berdasarkan norma ini orang memberikan kesan positif atau negatif terhadap suatu perilaku. Kesan negatif atau positif inilah yang dinamakan penilaian peran. Di pihak lain, yang dimaksudkan dengan sanksi adalah usaha orang untuk mempertahankan suatu nilai positif atau agar perwujudan peran diubah sedemikian rupa sehingga yang tadinya dinilai negatif bisa menjadi positif. Penilaian menurut sangsi menurut Biddle & Thomas dapat datang dari orang lain maupun dari dalam diri sendiri. Jika penilaiain dan sangsi dari luar, berarti bahwa penilaian dan sanksi terhadap peran itu ditentukan oleh perilaku orang lain. Misalnya, seorang pegawai dinilai baik oleh atasannya dan atasan itu memberi sanksi berupa bonus agar pegawai itu mempertahankan prestasinya yang baik tersebut. Atau kalau pegawai itu dinilai tidak baik oleh atasannya, atasannya akan memberi sanksi berupa teguran atau peringatan agar ia lebih baik lagi menjalankan perannya. Jika penilaian dan sanksi datang dari dalam diri sendiri, maka pelaku sendirilah yang memberi nilai dan sanksi berdasarkan pengetahuan tentang harapan-harapan dan norma-norma masyarakat. Biasanya sanksi dari diri sendiri terjadi pada peran-peran yang dianggap penting oleh individu yang bersangkutan, sedangkan penilaian dan sanksi dari orang lain lebih sering berlaku pada peran dan norma yang kurang penting buat individu tersebut. Misalnya, seorang pegawai yagn menganggap penting perannya sebagai pegawai, menjatuhkan sanksi pada dirinya sendiri sehingga ia makin rajin bekerja. Di pihak lain, kalau pegawai itu menganggap bahwa perannya sebagai pegawai kurang penting, maka ia baru mengubah perilakunya jika ia dikenakan sanksi oleh orang lain. ‘13 5 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id TEORI BELAJAR SOSIAL DAN TIRUAN Dalam kehidupan manusia ada 2 macam belajar yaitu belajar secara fisik (belajar menari, naik sepeda dan lain-lain) dan belajar psikis. Termasuk dalam belajar psikis ini : belajar sosial (social learning), dimana seseorang mempelajari perannya dan peran orang lain dalam kontak sosial. Selanjutnya orang tersebut akan menyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan peran sosial yang telah dipelajarinya itu. Cara yang sangat penting dalam belajar sosial, menurut aliran rangsang balas, adalah tingkah laku tiruan (imitation). A. Teori Belajar Sosial dan Tiruan dari Miller dan Dollard Miller dan Dollard meyakini bahwa tingkah laku manusia adalah dipelajari. Karena itu untuk memahami perilaku sosial dan proses belajar sosial harus mengetahui prinsip-prinsip psikologi belajar. Miiler dan Dollard menyatakan ada 4 prinsip dalam belajar, yaitu : 1. Dorongan (drive) Adalah rangsang yang sangat kuat yang mendorong manusia untuk bertingkah laku. Stimulus-stimulus yang cukup kuat biasanya bersifat biologis (dorongan primer) seperti lapar, haus, seks, kejenuhan, dan sebagainya. Hal tersebut menjadi dasar utama motivasi manusia. Pada manusia yang berbudaya tinggi, dorongan primer jarang menjadi kepentingan pokok kecuali dalam keadaan perang, bencana, kemiskinan dan keadaan darurat lainnya. Pada manusia yang berbudaya tinggi, dorongan-dorongan primer disosialisasikan menjadi dorongan sekunder, misalnya lapar disosialisasikan menjadi dorongan untuk makan makanan tertentu (nasi atau roti), seks disosialisasikan menjadi hubungan suami-istri dalam pernikahan, dorongan primer lainnya disosialisasikan menjadi dorongan untuk memperoleh pujian, uang dan sebagainya. Menurut Miller dan Dollard, semua tingkah laku didasari oleh dorongan, termasuka tingkah laku tiruan. 2. Isyarat (cue) Adalah rangsang yang menentukan bila dan dimana suatu tingkah laku balas (response) akan timbul dan tingkah laku balas apa yang akan terjadi. Isyarat di sini dapat disamakan dengan rangsang diskriminatif. Dalam belajar sosial, isyarat yang terpenting adalah tingkah laku orang lain, baik yang langsung ditujukan kepada seseorang tertentu maupun yang tidak. Misalnya, uluran tangan merupakan isyarat untuk berjabat tangan. ‘13 6 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 3. Tingkah laku balas (response) Manusia mempunyai hirarki bawaan dari tingkah laku (innate hirarchy of response). Pada waktu organisme dihadapkan untuk pertama kali kepada suatu rangsang tertentu, maka tingkah laku balas yang timbul didasarkan pada hirarki bawaan tersebut. Baru setelah beberapa kali terjadi ganjaran dan hukuman, maka akan timbul tingkah laku balas yang sudah disesuaikan dengan faktor-faktor penguat tersebut, disusun menjadi hierarki resultan (resultant hierarchy of responses). Disinilah pentingnya belajar dengan cara coba dan ralat (trial and error learning). Dalam tingkah laku sosial, belajar coba dan ralat dikurangi dengan belajar tiruan (imitation learning) dimana seorang anak tinggal meniru tingkah laku orang dewasa untuk dapat memberikan tingkah laku balas yang tepat, sehingga ia tidak perlu membuang waktu untuk belajar dengan cara coba dan ralat. Di sinilah guru, orang tua dan orang dewasa dalam mendidik anak-anak dan generasi muda. 4. Ganjaran (reward) Adalah rangsang yang menetapkan apakah suatu tingkah laku balas akan diulang atau tidak dalam kesempatan lain. Ada 2 macam ganjaran, yaitu ganjaran primer (yang memenuhi dorongan primer) dan ganjaran sekunder (yang memenuhi dorongan-dorongan sekunder). Miller dan Dollard menyatakan bahwa ada 3 mekanisme tiruan, yaitu : 1. Tingkah laku sama Tingkah laku sama terjadi bila dua orang bertingkah laku balas sama terhadap rangsang atau isyarat yang sama. Misalnya, dua orang naik bis yang sama karena mereka sejurusan. Tingkah laku sama ini tidak selalu merupakan hasil tiruan, oleh karena itu tidak dibicarakan lebih lanjut oleh Miller dan Dollard. 2. Tingkah laku tergantung Timbul dalam hubungan antara 2 pihak dimana salah satu pihak adalah lebih pintar, lebih tua atau lebih mampu daripada pihak yang lain. Dalam hal ini pihak yang lain itu akan menyesuaikan tingkah laku (match) dan akan tergantung (dependent) pada pihak pertama. Misalnya, kakak-adik sedang bermain menunggu ayah pulang. Biasanya ayah membawa permen. Terdengar suara langkah kaki ayah. Kakak segera berlari ke pintu. Adik ikut-ikutan lari. Ternyata ayah membawa permen dan diberikan kepada adiknya. Adik yang semula hanya meniru tingkah laku kakaknya mendapat ganjaran. Dilain waktu kalau adik mendengar langkah kaki ayahnya, ia langsung berlari ke pintu walaupun kakak tidak ada. ‘13 7 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tingkah laku tergantung dapat terjadi dalam 4 situasi yang berbeda : - Tujuan (goal) ssama tetapi tingkah laku belas berbeda. Dalam keadaan ini kalau orang pertama mendapat ganjaran, sedangkan orang kedua tidak, maka orang kedua akan meniru tingkah laku orang pertama. - Si peniru mendapat ganjaran (berupa ganjaran sekunder) dengan melihat tingkah laku orang lain. Misalnya, anak kecil merasa senang, melihat ibunya mengajak bermain-main ciluk ba. Karena senang, maka ia menirukan perbuatan ibunya dan ternyata ibunya lebih senang lagi dan tertawa atau memuji anak tersebut (ganjaran yang lebih kuat lagi). - Si peniru membiarkan orang yang ditiru untuk melakukan tingkah laku balas terlebih dahulu. Kalau berhasil, barulah ditiru. - Dalam hal ganjaran terbatas (hanya untuk peniru atau yang ditiru), maka akan terjadi persaingan antara model dan peniru. Peniru akan menirukan tingkah laku model untuk mendapat ganjaran. 3. Tingkah laku salinan Seperti halnya dengan tingkah laku tergantung, pada tingkah laku salinan, si peniru bertingkah laku atas dasar isyarat (bertingkah laku juga) yang diberikan oleh model. Demikian juga dalam tingkah laku salinan ini pengaruh ganjaran dan hukuman sangat besar terhadap kuat atau lemahnya tingkah laku tiruan. Tetapi berbeda daripada tingkah laku bergantung dimana si peniru hanya bertingkah laku terhadap isyarat yang diberikan model pada saat itu saja, pada tingkah laku salinan si peniru memperhatikan juga tingkah laku model di masa lalu maupun yang akan dilakukan di masa datang. Perkiraan tentang tingkah laku model dalam kurun waktu yang relatif panjang ini akan dijadikan patokan oleh si peniru untuk memperbaiki tingkah laku sendiri di masa yang akan datang sehingga lebih sesuai dengan tingkah laku model. Dalam hubungan ini peranan kritik penting sekali untuk lebih mempercepat proses penyalinan tingkah laku. Miller dan Dollard berpendapat bahwa konformitas sosial yang terjadi dalam setiap masyarakat disebabkan oleh tingkah laku salinan ini yang dasarnya adalah dorongan untuk menyalin (drive to copy). Dorongan ini mengandung rasa kecemasan (anxiety) akan kehilangan pengakuan dari masyarakat dan ganjaran untuk mendapat pengakuan atau pujian dari orang lain. ‘13 8 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id B. Teori Proses Pengganti Teori yang dikemukan oleh Bandura dan Walters ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk asosiasi suatu rangsang dengan rangsang lain. Penguat (reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas, tetapi bukan syarat yang penting dalam proses belajar sosial. Bandura dan Walkers menyatakan bahwa kalau seseorang melihat suatu rangsangan itu, maka dalam khayalan (imagination) orang tersebut terjadi serangkaian simbol-simbol yang menggambarkan rangsang dari tingkah laku batas tersebut. Rangkaian simbol-simbol ini merupakan pengganti daripada hubungan rangsang-balas yang nyata dan melalui asosiasi si peniru akan melakukan tingkah laku yang sama dengan tingkah laku model, terlepas dari ada atau tidaknya rangsang. Proses asosiasi yang tersembunyi ini sangat dibantu oleh kemampuan verbal seseorang. Dalam proses ini tidak ada cara coba dan ralat berupa tingkah laku nyata. Karena semua berlangsung secara tersembunyi dalam diri individu. Di sini yang penting adalah pengaruh tingkah laku model pada tingkah laku peniru yang menuru Bandura dan Walkers ada 3 macam yaitu : - Efek modelling (modelling effect) dimana peniru melakukan tingkah laku-tingkah laku baru (melalui asosiasi) sehingga sesuai dengan tingkah laku model - Efek menghambat (inhibitition) dan menghapus hambatan (disinhibition), yaitu tingkah laku model dihambat timbulnya, sedangkan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model dihapuskan hambatan-hambatannya sehingga timbul tingkah laku yang dapat menjadi nyata - Efek kemudahan (facilitation effect) dimana tingkah laku yang sudah pernah dipelajari peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model. Teori proses pengganti ini dapat pula menerangkan gejala timbulnya emosi pada peniru yagn sama dengan emosi yang ada pada model. Misalnya seorang melihat film yang memperlihatkan suatu operasi. Pasien yang dioperasi dalam film itu (model) digambarkan meringis kesakitan. Maka penonton pun bisa ikut meringis kesakitan. ‘13 9 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id TEORI PERTUKARAN SOSIAL Teori ini dikemukakan oleh Thibaut dan Kelley untuk menerangkan hubungan dua orang (atau lebih) dimana mereka saling tergantung untuk mencapai hasil-hasil yang positif. Premis dasar yang dipakai adalah interaksi sosial hanya akan diulangi kalau peserta-peserta dalam interaksi itu mendapat ganjaran sebagai hasil dari kesertaannya. Hasil yang dimaksud di sini bisa bersifat materiil (objek) atau psikologik (status, kekuasaan, kasihsayagn dan lain-lain). Interaksi sosial yang saling tergantung (interdependent) jadinya bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang positif bagi tiap-tiap peserta interaksi. Fungsi memaksimalkan hasil yang positif berlaku juga untuk seluruh kelompok sehingga individuindividu sebagai kelompok dapat tetap bersatu. Untuk menganalisa interaksi sosial. Thibaut dan Kelley menggunakan matriks. Untuk menyusun matrik itu mereka menggunakan konsep “set” sebagai unit terkecil dari interaksi. Suatu set adalah serangkaian aktivitas (tingkah laku) baik verbal maupun motoris untuk mencapai tujuan (goal) tertentu. Serangkaian set yang dilakukan oleh seseorang disebut urutan (sequence atau repertoire). Urutan dari A digambarkan pada sumbu X matriks, sedangkan urutan B dicantumkannya pada sumbu Y. Dalam matriks tersebut diatas nampak bahwa jika A melakukan a1 dan B melakukan b1, maka A akan mendapat hasil 6 dan B akan mendapat hasil 2. Kalau A mempertahankan a1 tetapi B mengubah setnya menjadi b2 makan B akan meningkatkan hasilnya menjadi 1. Kalau A kemudian mengubah setnya menjadi a2 dan B kembali ke b1, maka A kemudian mengubah setnya menjadi a2 dan B kembali ke b1, maka A akan mendapat 1 sedangkan B kembali ke b1, maka A mendapat 2 dan B : 5. Demikian seterusnya (catatan : angka-angka hasil interaksi tersebut adalah angka-angka hipotesis). Dalam hubungan yang kooperatif kedua pihak berusaha memaksimalkan hasil positif yang dapat diberikan kepada pasangan masing-masing. Dalam hubungan yang kompetitif tiap peserta berusaha mempertahankan set yang memberi hasil yang maksimal pada diri sendiri saja. ‘13 10 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pada waktu dua orang baru bertemu, kedua pihak belum mempunyai gambaran tentang matriks. Baru setelah interaksi terjadi beberapa saat, kedua pihak mulai mengetahui posisi masing-masing pada matriks dan atas dasar itu masing-masing membuat prediksi-prediksi (perkiraan) tentang bentuk selanjutnya dari matriks sehingga mereka bisa memperkirankan tingkah laku apa yang akan timbul selanjutnya dalam interaksi tersebut. Makin lama interaksi itu berlangsung, makin stabil tingkah laku masing-masing. Selanjutnya interaksi sosial akan dihayati oleh seseorang atas dasar 2 kriteria, yaitu : - Tingkat perbandingan (Comparison Level / CL) dan - Tingkat perbandingan pilihan (Comparison Level for Alternatives / CL alt) Tingkat Perbandingan adalah hasil minimum yang dapat diharapkan dari suatu hasil interaksi. Kalau hasil yang secara nyata diperolah dari suatu interaksi lebih tinggai dari Tingkat Perbandingan, maka interaksi itu akan menarik dan cenderung dipertahankan. Sebaliknya kalau hasil nyata dari suatu interaksi berada di bawah tingkat perbandingan yagn diharapkan maka interaksi tidak menarik lagi dan akan ditinggalkan jika ada pilihan lain. Ada tidaknya pilihan interaksi lain ditentukan oleh tingkat perbandingan pillihan, yaitu hasil minumun yang dapat diharapkan dari beberapa kemungkinan interaksi. Kalau ada interaksi lain yang hasilnya lebih tinggi dari hasil yang sekarang, maka orang yang bersangkutan akan menghentikan interaksi yang sekarang dan pindah ke interaksi yang lain. Tetapi kalau interaksi-interaksi lain semua memberikan hasil yang lebih rendah dari hasil yagn sekarang maka interaksi yang sekarang akan dipertahankan walaupun hasilnya lebih rendah daripada tingkat perbandingan yang diharapkan. Contoh dalam hubungan A dan B, A merasa mendapat hasil 4, sedangkan ia mengharapkan sedikitnya memperoleh hasil 5 (tingkat perbandingan = 5). Tetapi ia memperkirakan kalau interaksi ditukar dengan interaksi dengan C, hasilnya hanya 3, dan dengan D hasilnya makin kecil lagi, yaitu 2 (tingkat perbandingan pilihan = 2). Maka A akan tetap mempertahankan interaksi dengan B. Sebaliknya kalau ia melihat bahwa masih ada alternatif lain yang bisa memberi hasil yang lebih tinggi, misalnya E hasil = 5, dengan F hasil = 6 (Tingkat Perbandingan Pilihan = 5 ) maka A akan memutuskan hubungan dengan B dan mengganti dengan E atau F. ‘13 11 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Telah ditentukan di atas bahwa dalam interaksi masing-masing pihak mencoba menjajagi (ekspolarasi) matriks untuk dapat melakukan tingkah laku yang memberikan hasil maksimal. Terutama dalam interaksi-interaksi yang permanen seperti perkawinan dan hubungan kerja di kantor, fungsi eksplorasi ini sangat penting. Walaupun demikian ada hal-hal yang dapat mengurangi kemungkinan eksplorasi matriks, yaitu : a. Keasingan. Kalau 2 orang yang baru berjumpa dan belum saling mengenal, maka masing-masing akan berusaha bersikap menahan diri sehingga menyulitkan eksplorasi dari pihak pasangannya. b. Perbedaan norma kebudayaan antara orang-orang yang terlibat dalam interaksi juga akan menyulitkan eksplorasi. c. Otistik kebencian. Adanya perasaan kebencian menyebabkan seseorang menutup diri (otistik/autistic) sehingga menyulitkan eksplorasi matriks. d. Otistik persahabatan. Dalam persahabatan segi-segi yang kurang baik dari seseorang dicoba untuk ditutupi (reaksi otistik) sehingga sulit juga dilakukan eksplorasi matriks). Selanjutnya Thibaut dan Kelley mengemukakan bahwa teori mereka dapat pula menerangkan hubungan atasan dan bawahan yaitu dimana salah satu pihak (atasan) dapat mengontrol hasil yang boleh diperoleh oleh pihak lain (bawahannya). Dalam hal ini ada 2 macam kontrol oleh atasan, yaitu kontrol nasib (fate control) dan kontrol tingkah laku (behavior control). Pada kontrol nasib, atasan (A) mampu mengendalikan hasil bawahan (B) dengan mengubah-ubah tingkah lakunya Dalam matriks diatas jelas bahwa kalau A melakukan a1, makan B hanya 1, terlepas dari reaksi B apakah b1 atau b2. Demikian juga kalau A melakukan a2, maka hasil B adalah 4, tidak tergantung pada reaksi B. Kalau kemampuan A tidak hanya terbatas pada penentuan hasil yang akan diperoleh B tetapi juga dapat mengubah-ubah tingkah laku B dengan cara mengubah-ubah tingkah laku A sendiri, maka terjadilah kontrol tingkah laku seperti gambar dibawah ini ‘13 12 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Kalau A melakukan a1, maka B harus melakukan b2 agar memperoleh hasil maksimal (4). Kalau A melakukan a2 maka B harus melakukan b1 agar hasil tetap maksimal (4). Dengan demikian makan A dapat memperoleh B melakukan b1 (dengan ia sendiri melakukan a2) atau b2 (ia melakukan a1). Jelaslah bahwa dalam matriks diatas A dapat mengontrol tingkah laku B. Tetapi dalam praktek yang sering terjadi adalah bahwa B juga mampu memberi ganjaranganjaran tertentu pada A sehingga akhirnya kedua-duanya saling tergantung untuk menghadapkan ganjaran dari pasangannya. Hubungan yang demikian adalah hubungan saling tergantung (interdepeden, seperti gambar diatas). Dalam matriks diatas jelaslah bahwa A maupun B sama-sama berusahan mempertahankan set a1 dan b1. TEORI KESEIMBANGAN (BALANCE THEORY) Teori Heider adalah teori yang pertama dalam bidang ini sehingga banyak dijadikan dasar oleh teori-teori lainnnya. Teori ini berpangkal pada perasaan-perasaan yang ada pada seseorang (P) terhadap orang lain (O) dan hal yang lain (X) yang ada kaitannya dengan O. X dalam hal ini tidak hanya berupa benda mati, tetapi bisa berupa orang lain. Ketiga hal tersebut (p,o dan x) membentuk suatu kesatuan. Jika unit ini mempunyai sifat yang sama di semua seginya, maka timbullah keadaan yang seimbang dan tidak ada dorongan yang ‘13 13 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id berubah. Tetapi jika unit itu mempunyai segi-segi yang tidak bisa berjalan bersama-sama, maka terjadilah ketegangan (tension) dan timbulkan tekanan-tekanan yang mendorong untuk mengubah organisasi kognitif sedemikian rupa sehingga tercapai keadaan seimbang. Hubungan antara P, O dan X Menurut Heider ada 2 jenis hubungan dalam sistem p-o-x : a. Hubungan unit yang terdiri dari : a.1. Tipe U a.2. Tipe bukan U b. Hubungan sentimen, yang bisa bersifat b.1. positif (L) b.2. negatif (DL) Hubungan unit tipe U adalah jika 2 unsuer dipandang sebagai saling memiliki, sedangkan tipe bukan U (not U) adalah jika unsur-unsur itu tidak saling memiliki. Contoh : kalau p menyukai o dan tidak menyukai x, maka persoalan keseimbangan tidak adakan timbul selama o dan x dipandang sebagai hal-hal yang terpisah satu sama lain. Tetapi kalau hubungan o dan x saling memiliki (hubungan positif) timbullah perasaan seimbang dalam diri p. Sebaliknya kalau o dan x saling berhubungan tetapi tidak saling memiliki (hubungan negatif), terdapatlah keadaan tidak seimbang dalam struktur kognitif p. Pembentukan hubungan unit menurut Heider sebagian besar dipengaruhi oleh prinsipprinsip persepsi dari psikologi Gestalt seperti : kesamaan, kedekatan, kelangsungan, set dan pengalaman masa lalu. Misalnya dua anjing berjalan bersama akan lebih cenderung dipersepsikan sebagai satu unit (saling melengkapi) daripada jika yang seekor gajah berjalan ke arah yang berlawanan. Dengan demikian, dalam hal hubungan antar manusia, seorang akan cenderung dipandang sebagai satu unit dengan orang lain yang sekebangsaan, seagama, sekeluarga dan sebagainya. Hubungan sentiment di pihak lain adalah penilaian seseorang terhadap sesuatu. Jika termasuk di dalamnya antara lain adalah menyukai, memuja, menyetujui, menolak, tidak mencela, mengejek dan sebagainya. Kalau penilaian itu positif diberi symbol-simbol : L, sedangkan kalau penilaian itu negative diberi simbil : DL. Keadaan Seimbang dan Tidak Seimbang Keadaan seimbang menurut Heider adalah suatu keadaan dimana unsur-unsur saling berhubungan satu sama lain secara harmonis dan tidak ada tekanan untuk berubah. Dalam hubungan dua pihak (dyads) keadaan seimbang terjadi jika hubungan-hubungan antar ‘13 14 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kedua unsur itu semua positif atau semua negative. Dalam hubungan tiga pihak (triads) keadaan seimbang terjadi jika ketiga hubungan yang ada semuanya positif atau kedua negative dan satu positf. Kalau ketiga hubungan negative, maka situasinya meragukan (Perhatikan semua situasi dilihat dari sudut p; keadaan seimbang atau tidak seimbang adalah pada sistem kognisi p). Contoh : Hubungan dua pihak : - p memiliki x dan p menyukai x, terjadi keadaan seimbang (kedua hubungan positif) - p memiliki x (hubungan positif), tetapi p tidak menyukai x (hubungan negative), terjadi keadaan tidak seimbang. Hubungan 3 pihak : - p menyukai o (hubungan L) dan p menyukai x (hubungan L), sedangkan o menghasilkan x (hubungan U), maka terjadi keadaan seimbang, karena ketiga hubungan positif - p tidak menyukai o maupun x (hubungan DL/negative), sedangkan o menghasilkan x (hubungan U/positif), maka keadaan juga seimbang, karena ada 2 hubungan negative dan satu positif. - keadaan p menyukai o (hubungan L) padahal ia tidak menyukai x (hubungan DL), dan x adalah hasil dari o (hubungan U) maka keadaan tidak seimbang. Konsekuensi-konsekuensi dari kecenderungan menuju kesimbangan a. Keadaan seimbang (balanced) pada umumnya lebih disukai daripada keadaan tidak seimbang (inbalanced), walaupun kadang-kadang tidak seimbang bisa juga menyenangkan (misalnya menonton sulap, lawak atau memecahkan teka teki) b. Keadaan seimbang menyebabkan p menginduksi hubungan-hubungan lain. Misalnya p cenderung tidak menyukai orang-orang yang berbeda dari dirinya sendiri; p tidak menyukai o, ini berarti (induksi) : o tidak sama dengan p c p berhubungan dengan o, induksinya: p menyukai o p menyukai o, induksinya: p akan berhubungan dengan o p memiliki x, artinya p menyukai x dan sebagainya Keadaan tidak seimbang menimbulkan desakan untuk mengubah hubunganhubungan kognitif, baik hubungan unit ataupun hubungan sentimen. Ambil contoh ‘13 15 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id sebuah hubungan segitiga (triad) yang terdiri dari sebuah hubungan DL, sebuah hubungan L dan sebuah hubungan U. Keadaan seimbang dapat dicapai dengan mengubah hubungan DL ke L atau L ke DL atau U ke bukan U. Misalnya : Amir melihat sebuah lukisan yang disukainya (hubungan L), tetapi kemudian mengetahui bahwa pelukisnya (hubungan U) adalah Paman yang dibencinya (hubungan DL), Kepuasaan Amir selanjutnya adalah salah satu dari kemungkinan-kemungkinan berikut ini: Amir menganggap bahwa lukisan itu sebetulnya tidak bagus sama sekali (DL ke L) Amir menganggap bahwa Parman sebenarnya orang yang baik juga (DL ke L) Amir menganggap bahwa mungkin Parman hanya mengaku-ngaku pelukis. Pelukis yang sebenarnya bukan Parman (U ke bukan U) Disamping ketiga cara menuju keadaan seimbang tersebut di atas, masih ada satu cara lain yang bisa ditempuh Amir dalam contoh diatas, yaitu mendeferensiasikan (memecah-mecah) Parman (o) ke dalam beberapa bagian. Sebagian menyenangkan (Parman sebagai pelukis) dan sebagaian tidak menyenangkan (Parman sebagai teman). TEORI DISONANSI KOGNITIF Teori disonansi kognitif dari Festinger tidak jauh berbeda dengan teori-teori konsistensi kognitif lainnya, tetapi ada 2 perbedaan yang perlu dicatat: 1. Teori ini adalah tentang tingkah laku umum, jadi tidak khusus tentang tingkah laku sosial 2. Walaupun demikian, pengaruhnya terhadap penelitian-penelitian psikologi sosial jauh lebih menyolok daripada teori-teori konsistensi yang lain Inti dari teori disonansi kognitif ini sebenarnya sederhana saja: antara elemen-elemen kognitif mungkin terjadi hubungan-hubungan yang tidak pas (nonfitting relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif; disonansi kognitif menimbulkan desakan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari peningkatannya; hasil dari desakan itu terwujud dalam perubahan-perubahan pada kognisi, perubahan tingkah laku dan ‘13 16 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id menghadapkan diri pada beberapa informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu. Walaupun demikian penguraian dari teori ini sangat jauh dari sederhana. Definsi Disonansi Karena disonansi selalu terjadi dalam kaitan elemen-elemen kognitif yang saling berhubungan, maka terlebih dahulu perlu didefinisikan istilah elemen dan hubungan (relations). Elemen adalah kognisi, yaitu hal-hal yang diketahui seseorang tentang dirinya sendiri, tingkah lakunya dan lingkungannya. Istilah kognisi sendiri digunakan untuk menunjukkan kepada setiap pengetahuan, pendapat, keyakinan atau perasaan seseorang tentang dirinya sendiri dan lingkungannya. Faktor yang paling menentukan elemen-elemen kognitif adalah kenyataan (realitas). Sedangkan elemen kognitif sendiri berhubungan dengan hal-hal yang nyata ada dilingkungan dan hal-hal yang dapat terdapat dalam dunia kejiwaan seseorang. Hubungan dibedakan dalam 3 jenis: tidak relevan, disonan dan konsonan. Hubungan yang tidak relevan misalnya; orang tahu bahwa setiap musin hujan Jakarta kebanjiran dan ia pun tahu bahwa di Indocina tentang Vietnam masuk ke wilayah Kamboja. Kedua pengetahuan tersebut tidak saling berkaitan dan tidak saling mempengaruhi karenanya disebut tidak relevan. Hubungan dua elemen kognitif yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi disebut hubungan yang relevan. Ada dua macam hubungan yang relevan yaitu hubungan yang disonan dan hubungan yang konsonan. Disonansi didefinisikan sebagai berikut : Dua elemen dikatakan ada dalam hubungan yang disonan jika (dengan hanya memperhatikan kedua elemen itu saja) terjadi suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti suatu elemen yang lain. Contoh: Jika seseorang berdiri di hujan, seharusnya ia kebasahan. Tetapi kalau orang yang berdiri di hujan (elemen pertama) tidak basah (pengangkatan elemen yang kedua), maka terjadilah hubungan disonan. Konotasi adalah keadaan dimana terjadi hubungan yang relevan antara dua elemen dan hubungan yang tidak disonan. Jadi : jika satu elemen kognisi diikuti oleh elemen yang lain. Misalnya orang berdiri di hujan (elemen pertama) dan basah (elemen kedua). Tetapi adanya penyangkalan elemen tidak selalu jelas. Dalam keadaan ini maka antara konsonan dan disonan juga tidak dapat dibedakan dengan tajam. Faktor-faktor motivasi dan keinginan juga berpengaruh di sini, sehingga menambah rumitnya persoalan. Misalnya: seseorang berjudi terus walaupun ia terus kalah melawan penjudi-penjudi profesional. Perbuatan orang itu berjudi di terus disonan dengan pengetahuannya tentang lawannya yang profesional. Tetapi kalau ia memang ingin berjudi sampai habis seluruh uangnya, maka buat orang itu hubungan antara elemen-elemen tersebut di atas adalah konsonan. ‘13 17 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut Festinger disonansi dapat terjadi dari beberapa sumber : 1. Inkonsistensi logis. Contohnya: keyakinan bahwa air membeka pada 00C, secara logis tidak konsisten dengan keyakinan bahwa balok es tidak mencair pada 400C. 2. Nilai-nilai budaya (cultural mores), kebudayaan seringkali menentukan apa yang disonan dan apa yang konsonan. Contoh : makan dengan tangan di pesta resmi di Eropa menimbulkan disonansi, tetapa makan dengan tangan di warung di Jakarta dirasakan sebagai konsonan. 3. Pendapat umum. Disonansi dapat terjadi karena suatu pendapat yang dianut orang banyak dipaksakan kepada pendapat perorangan. Misalnya: seorang remaja yagn senang menyanyikan lagu keroncong. Hal ini menimbulkan disonansi karena pendapat umum percaya bahwa keroncong hanya merupakan kegemaran orangorang tua. 4. Pengalaman masa lalu. Contohnya : berdiri di hujan, tetapi tidak basah. Keadaan ini disonan karena tidak sesuai dengan pengalaman masa lalu. Ukuran Disonansi Tidak semua hubungan disonan sama kadarnya. Karena itu Festinger mengemukakan perlu diketahuinya faktor-faktor yang menentukan kadar disonansi itu. Faktor pertama adalah tingkat kepentignan elemen-elemen yang saling berhubungan itu bagi orang yang bersangkutan, maka tidak banyak disonansi yang akan timbul. Sebaliknya jika elemen itu sangat penting artinya orang yang bersangkutan, maka disonansi juga akan tinggi. Tetapi dalam kenyataannya tidak pernah ada hubungan yang melibatkan hanya dua elemen. Masing-masing elemen dari yang dua itu dihubungkan juga dengan elemen-elemen lain yang relevan. Sebagian hubungan-hubungan yang lain ini konsonan, sedangkan sebagian lainnya disonan. Menurut Festinger, hampir-hampir tidak pernah terjadi tidak ada disonansi sama sekali dalam hubungan-hubungan yang terjadi antarkelompok elemen. Karena itu kadar disonansi dalam hubungan 2 elemen, dipengaruhi juga oleh jumlah disonansi yang ditimbulkan oleh keseluruhan hubungan kedua elemen itu dengan elemenelemen lain yang relevan. Sayang sekali Festinger sendiri tidak menunjukkan bagaimana caranya untuk menetapkan kadar kepentingan dan relevansinya tersebut diatas. Tidak disonansi yang maksimum adalah sama dengan jumlah daya tolak dari elemen yang paling lemah. Jika disonansi maksimum itu tercapai, maka elemen yang lemah itu akan berubah dan disonansi akan berkurang. Tentu saja ada kemungkinan bahwa perubahan ‘13 18 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id elemen yang lemah itu akan berubah dan disonansi akan berkurang. Tentu saja ada kemungkinan bahwa perubahan elemen yang lemah itu akan menambahkan disonansi pada hubungan-hubungan yang lain dalam kumpulan elemen-elemen kognitif yang bersangkutan. Dalam hal ini maka perubahan pada elemen yang lemah tidak jadi terlaksana.\ Konsekuensi-konsekuensi Disonansi 1. Pengurangan disonansi melalui 3 kemungkinan : a. Mengubah elemen tingkah laku. Misalnya: seorang gadis membeli baju baru yang mahal ketika baju ini dipakainya ke sekolah seseorang temannya mengatakan baju itu “norak” (kampungan). Untuk menghilangkan disonansi, gadis itu bisa menjual lagi baju tersebut atau menghadiahkannya kepada orang lain (mengubah elemen tingkah laku). b. Mengubah elemen kogntif lingkungan: misalnya, gadis itu meyakinkan temannya bahwa baju tersebut tidak norak dan justru sedang jadi mode yang top masa kini. c. Menambahkan elemen kognitif baru: misalnya mencari pendapat teman lain yang mendukung pendapat bahwa baju tersebut bagus dan tidak norak. Sayang sekali teori ini tidak memberikan cara untuk memperkirakan kemungkinan mana yang akan ditempuh untuk mengurangi disonansi dalam keadaan-keadaan tertentu. 2. Penghindaran disonansi Adanya disonansi selalu meninmbulkan dorongan untuk menghindari disonansi tersebut. Dalam hubungan ini caranya adalah dengan menambah informasiinformasi baru yang diharapkan dapat menambah dukungan terhadap pendapat orang yang bersangkutan atau menambah perbedaharaan elemen kognitif dalam diri orang yang bersangkutan. Penambahan elemen baru ini harus sangat selektif, yaitu hanya mencarinya pada orang-orang yang diperkirakan dapat memberi dukungan dan menghindari orang-orang yang pandangannya berbeda. Demikian cara disonansi dihindari. ‘13 19 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Dampak Teori Teori Festinger ini mempunyai pengaruh terhadap berbagai situasi dalam kehidupan seharihari. Dampak teori tersebut antara lain terlihat dalam : 1. Pembuatan keputusan: keputusan dibuat berdasarkan suatu situasi konflik. Alternatif-alternatif dalam konflik itu bisa positif semua, bisa negatif atau bisa samasama mempunyai unsur positif dan negatif. Dalam ketiga situasi konflik tersebut, keputusan apa pun yang akan dibuat akan menimbulkan disonansi, yaitu : terjadi gangguan terhadap hubungan dengan elemen (alternatif) yang tidak terpilih. Kadar disonansi setelah pembuatan suatu keputusan tergantung pada pentingnya keputusan itu dan kemenarikan alternatif yang tidak terpilih. Mengenai suatu keputusan, biasanya terjadi hal-hal sebagai berikut : a. akan terjadi peningkatan pencarian informasi-informasi baru yang menghasilkan elemen kognisi yang mendukung (konsonan dengan) keputusan yang sudah dibuat b. akan timbul kepercayaan yang makin mantap tentang keputusan yang sudah dibuat atau timbul pandangan yang makin tegas membedakan kemenarikan alternatif yang telah diputuskan daripada alternatif-alternatif lainnya. Atau bisa juga dua kemungkinan itu terjadi bersama-sama. c. Makin sukar untuk mengubah arah keputusan yang sudah dibuat, terutama keputusan-keputusan yang sudah mengurangi banyak disonansi. 2. Paksaan untuk mengalah : dalam situasi-situasi publik (di tengah-tengah banyak orang), seseorang dapat dipaksa untuk melakukan sesuatu (dengan ancaman hukuman ataupun menjanjikan hadiah). Kalau perbuatan ini tergantung pada besarnya ancaman hukuman atau ganjaran yang akan diterima. 3. Ekspose pada informasi-informasi, Disonansi akan mendorong pencarian informasiinformasi baru. Kalau disonansi hanya sedikit, atau tidak ada sama sekali, maka usaha mencari informasi baru juga tidak ada. Kabar kadar disonansi pada taraf menengah (tidak rendah dan tidak tinggi), maka usaha pencarian informasi baru akan mencapai taraf maksimal. Dalam hal ini orang yang bersangkutan akan dihadapkan (ekspose) pada sejumlah besar informasi-informasi baru. Tetapi kalau kadar disonansi maksimal, justru usaha mencari informasi baru akan sangat berkurang, karena pada tahap ini akan terjadi perubahan elemen kognitif. 4. Dukungan sosial. Jika seseorang (misal A) tahu bahwa pendapatnya berbeda dari orang-orang lain, maka timbulkah apa yang disebut kekurangan dukungan sosial (lack of social support). Kekurangan dukungan sosial ini menimbulkan disonansi pada A yang kadarnya ditetapkan berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut : ‘13 20 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id a. Ada tidaknya objek (elemen kognitif nonsosial) yang menjadi sasaran pendapat orang lain itu, di sekitar A b. Banyaknya orang yang dikenal A yang berpendapat sama dengan A c. Pentingnya elemen yang bersangkutan bagi A d. Relevansi orang-orang lain tersebut bagi A e. Menarik tidaknya orang yang tidak setuju tersebut bagi A f. Tingkat perbedaan pendapat Cara-cara untuk mengurangi disonansi seperti ini adalah sebagai berikut : - Mengubah pendapat sendiri - Mempengaruhi orang-orang yang tidak setuju agar mengubah pendapat mereka - Membuat mereka yang tidak setuju untuk sebanding dengan diri sendiri. Daftar Pustaka Sarwono, S.W. (2009). Teori-Teori Psikologi Sosial :. Jakarta: Raja Grafindo Persada. ‘13 21 Psikologi Sosial 2 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id