protein pada rumput laut

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXXI, Nomor 4, Tahun 2006 : 23 - 30
ISSN 0216-1877
PROTEIN PADA RUMPUT LAUT
Oleh
Tri Handayani 1)
ABSTRACT
PROTEIN OF SEAWEED. Seaweeds are consumed by people, especially who lived
in the coastal areas. Seaweeds are traditionally used in human and animal nutrition.
Their protein contents and amino acids composition differ according to the species
and seasonal conditions. Generally, the protein fraction of brown seaweeds is lower
than the green or red seaweeds. Seaweeds digestions are carried out by means of
three enzymes, namely, pepsin, pancreatin, and pronase. The relative digestibility of
seaweed proteins is generally expressed as a percentage of casein digestibility base
(100%). Some perspectives on the potential uses of seaweed proteins for the
development of foods or additive for human and animal consumption. Rhodophyceae
contain a particular protein called phycoerythrin which is already used in
biotechnology applications.
morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya
berbeda. Makroalgae bentuknya yang seperti
rumput terutama yang berukuran besar dan
hidupnya di laut, sehingga orang awam terutama
kaum usahawan menyebutnya rumput laut.
Sedangkan di kalangan ilmuwan atau akademisi,
rumput laut dikenal dengan nama algae
(SUSANTO, 2003).
Indonesia kaya dengan berbagai
makroalgae, antara lain adalah jenis Gracilaria
sp., Gelidium sp., Eucheuma sp. (Rhodophyta),
Sargassum sp., Turbinaria sp., Padina sp.
(Phaeophyta), dan Ulva sp. (Chlorophyta)
merupakan jenis-jenis yang banyak ditemukan
dan cukup melimpah (RACHMANIAR, 2005).
Meskipun demikian, jenis algae yang
dimanfaatkan hingga saat ini masih sangat
terbatas, demikian juga dengan lingkup
pemanfaatannya. Tidak semua rumput laut
PENDAHULUAN
Istilah "rumput laut" sudah lazim
dikenal dalam dunia perdagangan, namun istilah
ini merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris
"seaweed" (ASLAN, 1991). Kalau mendengar
kata rumput laut, bayangan kita akan mengarah
ke suatu bentuk tumbuhan seperti rumput yang
tumbuh di laut. Gambaran tersebut sama sekali
salah dan tidak saling berhubungan. Secara
botani, rumput laut tidak termasuk dalam
keluarga Gramineae, melainkan tergolong pada
kelompok makroalgae yang hidup di laut
(ANONIM, 1991).
Rumput laut adalah tumbuhan tingkat
rendah yang tidak dapat dibedakan antara
bagian akar, batang, dan daun. Semua bagian
tumbuhannya disebut thallus. Secara
keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai
1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta.
23
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dibutuhkan dalam skala industri. Sementara itu,
jenis-jenis rumput laut yang tidak dimanfaatkan
dalam skala industri sebenarnya mempunyai
manfaat yang tidak kalah penting. Pemanfaatan
rumput laut tersebut antara lain adalah sebagai
sumber makanan yang dapat langsung
dikonsumsi, misalnya sebagai sayuran atau
lalapan.
Rumput laut secara tradisional
digunakan sebagai nutrisi bagi manusia dan
hewan. Rumput laut juga digunakan sebagai
makanan tambahan (suplemen) karena
mempunyai kandungan nutrisi antara lain :
protein, beberapa elemen mineral dan vitamin.
Rumput laut jenis algae coklat digunakan untuk
produksi zat makanan tambahan untuk
melengkapi nutrisi manusia antara lain protein,
beberapa elemen mineral, vitamin, dan terutama
hidrokoloid yang berupa alginat, agar, dan
karaginan (FLEURENCE, 1999).
Sumberdaya rumput laut dimanfaatkan
untuk makanan dan produk sayuran laut. Di
beberapa negara Asia, rumput laut sering
dikonsumsi sebagai sayuran laut, bahkan orangorang Jepang mengkonsumsi sayuran laut ratarata 1,6 kg (berat kering) per tahun per kapita
(FUJIWARA-ARASAKI et al. dalam
FLEURENCE, 1999). Diketahui kurang lebih
25% dari makanan yang dikonsumsi di Jepang
adalah mengandung rumput laut yang
dipersiapkan dan disimpan dalam beberapa
bentuk dan menjadi sumber penghasilan utama
bagi nelayan di sana. Di Malaysia, pemanfaatan
rumput laut sebagai makanan tidak seperti di
Jepang dan Cina. Meskipun demikian, pada
kenyataanya rumput laut hanya dikonsumsi di
daerah pantai khususnya sepanjang pantai timur
Penisula Malaysia dan di Malaysia Timur,
rumput laut dimakan sebagai salad (NORZIAH
& AND CHING, 2000). Sedangkan di
Indonesia, rumput laut banyak dimanfaatkan
penduduk pantai untuk sayur dan lalapan,
bahkan beberapa jenis rumput laut banyak dijual
di pasar-pasar tradisional.
Sampai saat ini, masih sedikit sekali
informasi mengenai aspek biokimia dan
komposisi nutrisi dari rumput laut yang
menunjang pemanfaatannya sebagai sumber
makanan yang bernilai gizi. Oleh karena itu
aspek biokimia dan nutrisi rumput laut yang saya
tulis diharapkan dapat memberikan wawasan
tentang pemanfaatan rumput laut menjadi
meluas, tidak hanya dinikmati masyarakat
sekitar pantai tetapi juga oleh masyarakat
umum.
KADAR PROTEIN PADA RUMPUT
LAUT
Kadar protein rumput laut berbedabeda tergantung dari jenis (Tabel 1). Kadar
protein terendah pada rumput laut coklat yaitu
5-11% dari berat kering, tetapi masih sebanding
dengan kadar protein pada tanaman polongpolongan. Rumput laut merah mengandung
protein sekitar 30-40% dari berat kering,
sedangkan rumput laut hijau mengandung
protein ± 20% dari berat kering
(DHARMANANDA, 2002). Menurut
FUJIWARA-ARASAKI et al. dalam
FLEURENCE (1999) pada umumnya kadar
protein rumput laut coklat adalah rendah (3-15%
dari berat kering), dibandingkan dengan rumput
laut hijau dan merah (10-47% dari berat kering).
Sedangkan menurut BURTIN (2003), rumput
laut coklat mengandung protein sebesar 3-9%
dari berat basah, rumput laut hijau dan merah
mengandung protein sebesar 6-20% dari berat
basah.
24
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 1. Kadar protein pada beberapa rumput laut dibandingkan dengan protein
beberapa sayuran lokal.
Jenis makanan
Kadar protein
Sumber
Rumput laut
Gracillaria changgi
6,9
NORZIAH & CHING (2000)
Sargassum crassifolium
5,19
HANDAYANI (2004)
Sargassum sp.
16,72
RACHMANIAR (2005)
Turbinaria sp.
13,97-14,47
RACHMANIAR (2005)
Ulvapertusa
20-26
FLEURENCE (1999)
Ulva lactuca
10-21
FLEURENCE (1999)
Ulva sp.
15,80
RACHMANIAR (2005)
Kedelai
33,8
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Kacang polong
3,4
TEE et al. dalam NORZIAH & CHING (2000)
Buncis
2,4
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Kacang kapri
6,7
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Kacang panjang
2,7
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Bayam
3,5
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Wortel
1,2
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Kol kembang
2,4
DEP. KES. RI dalam SEDIAOETAMA (2000)
Sayuran lokal
sayuran lokal pada umumnya, kecuali terhadap
protein polong-polongan. Hal ini menunjukkan
bahwa rumput laut ini sangat baik untuk
dimanfaatkan sebagai sumber makanan karena
kadar proteinnya yang tinggi dan merupakan
faktor yang menentukan dalam pemanfaatannya sebagai makanan tambahan/
suplemen. Kadar protein rumput laut, selain
tergantung pada jenis juga tergantung pada
periode musim. Kadar protein tertinggi adalah
diperoleh pada musim dingin dan musim semi,
sedangkan kadar protein terendah tercatat
selama musim panas (GALLAND-IRMOULI
et al. dalam FLEURENCE, 1999).
Beberapa rumput laut hijau, antara
lain jenis yang tergolong marga Ulva, memiliki
kadar protein antara 10-26 % (berat kering)
dalam thallus. Sebagai contoh Ulva pertusa
yang secara periodik dikonsumsi dengan nama
"ao-nori" oleh orang-orang Jepang
mempunyai kadar protein tinggi, yaitu antara
20-26% dari berat kering. Sedangkan Ulva
lactuca mempunyai kadar protein sebasar 1021% dari berat kering (FUJIWARAARASAKI et al. dalam FLEURENCE,
1999).
Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan
bahwa rumput laut mempunyai kandungan
protein yang cukup tinggi dibandingkan
25
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
KOMPOSISI ASAM AMINO RUMPUT
LAUT
juga. Kadar asam glutamat, serin dan alanin
relatif tinggi selama akhir musim dingin, musim
semi, September, dan Oktober, namun demikian
hampir tidak terdeteksi pada akhir tahun.
Arginin tidak terdeteksi pada musim semi, lisin
juga pada musim semi dan bulan Juli. Histidin
hampir tidak terdeteksi pada musim semi dan
musim panas, sedangkan hidroksi-prolin tidak
terdeteksi pada bulan Pebruari, musim semi,
September dan Oktober. Prolin terdeteksi hanya
pada bulan Pebruari, September dan Oktober.
Perubahan komposisi asam amino secara
musiman tersebut disebabkan oleh kandungan
protein yang juga terpengaruh oleh musim.
Perubahan-perubahan itu mungkin disebabkan
oleh variasi kondisi lingkungan, seperti
intensitas cahaya dan penyimpanan kembali
nitrogen selama musim yang berbeda-beda
(GALLAND-IRMOULI et al., 1999).
Protein tersusun dari asam-asam
amino, sehingga hidrolisis protein secara
sempurna akan diperoleh asam-asam amino.
Kadar asam amino suatu produk makanan perlu
dikaitkan dengan kebutuhan asam amino dalam
tubuh manusia. Ada tiga faktor penting yaitu
keseimbangan asam amino, kadar asam amino
essensial relatif dibandingkan dengan asam
amino protein telur, dan rasio asam amino
essensial terhadap asam amino non essensial
(GALLAND-IRMOURLI et al., 1999).
Komposisi asam amino essensial dari
rumput laut seringkali dipelajari dan dikaitkan
dengan komposisi asam amino essensial pada
produk makanan lain yang berprotein tinggi
seperti telur dan kedelai. Kebanyakan rumput
laut mengandung asam amino essensial yang
hampir sama dengan asam amino essensial yang
terdapat pada telur (NORZIAH & CHING,
2000).
Sebagian besar rumput laut,
mengandung asam aspartat dan asam glutamat
yang cukup banyak dalam komposisi total asam
amino. Kedua asam amino tersebut terdapat
sekitar 22-44% dari total asam amino (MUNDA
dalam FLEURENCE, 1999). Rumput laut hijau,
kandungan asam glutamat dan asam aspartat
sekitar 26-32% dari total asam amino pada Ulva
rigida dan Ulva rotundata (FLEURENCE et al.
dalam FLEURENCE, 1999).
Kadar asam amino dari protein rumput
laut juga dipengaruhi oleh musim, seperti halnya
pada kadar proteinnya. GALLAND-IRMOULI
et al. (1999) menyatakan bahwa komposisi asam
amino dari protein 10 spesimen Palmaria
palmata yang dikoleksi dan diukur pada bulan
yang berbeda sepanjang tahun 1996, diperoleh
kadar asam amino yang fluktuatif/berbeda-beda
PROSES PENCERNAAN PROTEIN
RUMPUT LAUT
Mengetahui profil asam amino
merupakan hal penting dalam rangka untuk
mengevaluasi nilai nutrisi dari protein.
Pencernaan protein-protein tersebut adalah
faktor utama dalam mendapatkan asam-asam
amino ke dalam tubuh (GALLAND-IRMOULI
et al., 1999). Pembahasan utama pencernaan
protein rumput laut secara in vitro adalah
bentuk ekstrak protein pada kondisi basa
kuat (FUJIWARA-ARASAKI et al. dan
INDEGAARD et al. dalam FLEURENCE,
1999). Pencernaan protein secara in vitro
dibantu oleh 3 enzim yaitu enzim pepsin,
pankreatin dan pronase. Pencernaan relatif
protein rumput laut secara in vitro pada
umumnya dibandingkan dengan persentase
pencernaan kasein sebagai dasar (100%
tercerna) (FLEURENCE, 1999).
26
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 2. Komposisi asam amino pada beberapa rumput laut dan produk lokal.
27
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 3. Pencernaan relatif secara in vitro dari protein larut basa dan air dari rumput laut.
Pengukuran pencernaan protein
rumput laut secara in vitro sudah banyak
dilaporkan (SINGH & CREAMER, 1993;
GALLAND-IRMOULI et al., 1999; dan
FLEURENCE, 1999). Sebagai contoh adalah
pencernaan relatif protein larut basa dari
Porphyra tenera, yang dihitung dengan
menggunakan hidrilisis kasein sebagai standar
pencernaan 100%, adalah 78% dengan pronase
dan 56 % dengan pepsin dan pancreatin.
Pencernaan protein larut basa dari Ulva pertusa
dengan reaksi pepsin, pankreatin dan pronase,
masing-masing adalah 17%, 66,6%, dan 94,8%.
Pencernaan relatif protein larut basa dari
Palmaria palmata dengan pankreatin adalah
sebesar 56% (Tabel 3). Hasil tersebut sama
dengan yang dihasilkan dari Porphyra tenera
yang sama-sama rumput laut merah berprotein
tinggi (GALLAND-IRMOULI et al. dalam
FLEURENCE, 1999).
Pencernaan protein rumput laut secara
in vitro, dapat berbeda tergantung pada spesies
dan variasi musim pada kandungan faktor
antinutrisi. Komponen-komponen tersebut
adalah molekul fenol dan polisakarida.
Polisakarida rumput laut ada yang merupakan
serat larut dan tidak larut. Pada rumput laut
coklat menunjukkan aksi penghambatan yang
kuat dari serat larut pada aktivitas pepsin secara
in vitro, dan pengaruh negatif serat pada
pencernaan protein. Serat rumput laut
merupakan salah satu faktor anti nutrisi
(FLEURENCE, 1999)
POTENSIAL PENGGUNAAN PROTEIN
RUMPUT LAUT
Setelah mengetahui kadar proteinnya
yang tinggi dan komposisi asam aminonya,
rumput laut merah menjadi potensi baru sebagai
sumber protein makanan. Di Eropa,
perkembangan makanan sebagai makanan
fungsional menjadikan kemungkinan baru untuk
menggunakan rumput laut dalam nutrisi
manusia, khususnya untuk spesies yang kaya
protein. Sebagai tambahan, Rhodophyceae
mengandung partikel-partikel protein yang
disebut phykoeritrin (PE) yang siap digunakan
pada aplikasi-aplikasi bioteknologi (pada reaksi
immunoflouresensi). Problem utama pada
penggunaan PE sebagai peluntur makanan
adalah ketidakstabilan relatif kromoprotein
terhadap panas dan variasi pH (FLEURENCE,
1999).
28
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Penggunaan rumput laut dengan kadar
protein tinggi pada produksi makanan bagi ikan
budidaya menjadi aplikasi lain dari sumber
tanaman laut. Tepung Porphyra digunakan
sebagai makanan tambahan. Pola makanan
Penggunaan protein rumput laut pada pakan
ikan ditujukan untuk memulihkan berat badan
kembali dan menaikkan dekomposisi trigliserida
dan protein dalam otot. Pengaruh positif lainnya
mengenai penggunaan rumput laut pada pakan
ikan adalah menaikkan ketahanan ikan pada
stress atau penyakit (MUSTOFA et al. &
SOTOH et al. dalam FLEURENCE, 1999).
Rumput laut khususnya Chlorophyceae dan
Rhodophyceae, menjadi sumber protein
makanan tambahan untuk nutrisi manusia dan
hewan. Kandungan asam-asam aminonya
merupakan nutrisi yang menarik untuk
dipelajari, tetapi pencernaan protein rumput laut
secara in vitro masih jarang dipelajari. Sebuah
perlakuan bioteknologi dengan degradasi
enzimatis terhadap serat rumput laut dapat
diusahakan untuk meningkatkan pencernaan
protein dan kemudian menaikkan nilai nutrisi
protein tersebut. Secara tidak langsung, rumput
laut merah juga menjadi sumber potensial
makanan tambahan (additive). Penggunaan
rumput laut nampaknya memenuhi kandungan
protein tinggi dalam pakan ikan budidaya
menjadi harapan penggunaan sumber tanaman
laut (FLEURENCE, 1999).
DHARMANANDA, S. 2002. The Nutritional
and Medical Value of Seaweeds Used
in Chinese Medicine. Institute for
Traditional Medicine. Portland,
Oregon.
http:/www.itmonline.org/arts/
seaweed.htm.
FLEURENCE, J. 1999. Seaweed Protein:
Biochemistry, Nutritional Aspects and
Potential Uses. Review of Trends in
Food Chemistry, 10 : 25-28
GALLAND-IRMOULI, A.V., J. FLEURENCE,
R. LAMGHARI, M. LUCON, C.
ROUXEL, O. BARBAROUX, J.P.
BRONOWICKI, C. VILLAUME,
AND J.L. GUEANT. 1999. Nutritional
Value of Protein from Edible Seaweed
Palmaria palmata (Dulse). Journal Of
Nutritional Biochemistry, 10 : 353359.
HANDAYANI, T. 2004. Analisis Komposisi
Nutrisi Rumput Laut Sargassum
crassifolium J. Agardh. Skripsi.
FMIPA-UNS Surakarta : 60 hal.
NORZIAH, M.H and C.Y. CHING. 2000.
Nutritional Composition of edible
Seaweed Gracillaria changgi. Journal
of Food Chemistry, 68 : 69-76.
RACHMANIAR, R. 2005. Penelitian
Kandungan Kimia Makroalgae Untuk
Neutroceuticals dan Agrochemicals.
Laporan Akhir P2O LIPI. Jakarta : 22
hal.
DAFTAR PUSTAKA
ANONIM. 1991. Rumput Laut Di Indonesia:
Seaweed in Indonesia. Bank Bumi
Daya. Jakarta : 179 hal.
SEDIAOETAMA, A.D. 2000. Ilmu Gizi Untuk
Mahasiswa dan Profesi. Jilid 1. Dian
Rakyat. Jakarta : 105 hal.
ASLAN, L.M. 1991. Budidaya Rumput Laut.
Kanisius. Yogyakarta : 76 hal.
BURTIN, P. 2003. Nutritional Value of
Seaweed. Journal of Agricultural
Food Chemistry, 2 (4): 1-6.
29
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SINGH, H AND L. K. CREAMER. 1993.
In Vitro Digestibility of Whey
Protein/KCasein
Complexes
isolated From Heated Concentrated
Milk. Journal of Food Sciences. 58 :
299-302.
SUSANTO, A.B. 2003. Rumput Laut
Bukan Sekedar Hidup di Laut.
http:/nakila.rvs.uni-bielefield.de/majalah/laut/
RUMPUT.htm.
30
Oseana, Volume XXXI No. 4, 2006
Download