Melawan Oligarki Politik Lokal Abdur Rozaki

advertisement
Melawan Oligarki Politik Lokal
Abdur Rozaki
Demokrasi yang menjanjikan harapan akan kebebasan politik, kesetaraan
dan persaudaraan dalam ikatan solidaritas penuh empati atas penderitaan
sesama warga negara, terancam menjadi sekedar untaian nilai yang tidak
membumi ketika berbagai prosedur, arena dan instrumentasi demokrasi
lainnya dibajak oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan kapital dan
bermetamorfosis menjadi kekuatan oligarki politik.
Praktek oligarki politik, sebagaimana lazim di banyak tempat, lebih
berorientasi pada akumulasi dan perluasaan kekayaan dan meningkatnya
pengaruh ikatan keluarga atau politik dinasti di dalam mengendalikan
kebijakan pemerintahan (Winters, 2011:6). Konteks politik Indonesia
mutakhir, semakin terasakan, betapa demokrasi berada dalam cengkeraman
oligarki politik, baik itu yang direpresentasikan oleh kekuatan aktor politik
lama produk Orde Baru ataupun produk politik Orde Reformasi. Langgam dan
pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran
politik lokal (Prisma, 2014; Robison dan Hadiz, 2004; Hadiz, 2010).
Cengkeraman oligarki politik ini memang sangat mengkhawatirkan, namun
demikian berbagai kekuatan perlawanan masyarakat sipil masih memberi
harapan, bahwa demokrasi tidak mudah dibajak dan dikendalikan oleh para
oligarch. Perpaduan antara perlawanan masyarakat sipil dengan proses
penegakan hukum oleh KPK terhadap para pejabat korup mulai memberikan
efek kejut bagi para oligarch dan pendukungnya. Untuk oligarch di level
nasional memang masih tegar, daya tebas KPK terhadap mereka masih
mampu dilawan dengan serangan balik yang membuat KPK kelimpungan.
Misalnya, saat KPK menebas para politisi parpol dan orang kuat di kepolisian,
dua orang KPK yang trengginas memberantas praktek korupsi, yakni
Bambang Wijayanto dan Abraham Samad mengalami kriminalisasi dan
terlempar dari pimpinan KPK.
Namun, kemajuan yang paling membanggakan adalah keberhasilan KPK
melalui dukungan masyarakat sipil dalam menebas pengaruh para oligarch
lokal yang paling ganas dalam melakukan praktek rent seeking, state
predatory, dan teror politik terhadap para aktivis sosial yang tak tersentuh
hukum (untouchable) sebelumnya, terutama oligarch lokal yang ada di
Provinsi Banten (Nordholt dan van Klinken, 2007 ) dan Kabupaten Bangkalan
Madura (Rozaki, 2015).
Dua oligarch lokal di daerah ini memiliki kesamaan bangunan kekuasaan
karena kemampuan mempengaruhi dan mengendalikan kelompok
kekerasan, Jawara di Banten dan Blater di Madura. Perbedaannya, pada skala
dalam mempergunakan legitimasi keagamaan, untuk Bangkalan sangat
terasa kental nuansanya.
Publik begitu antusias atas keberanian dan keberhasilan KPK menangkap dan
menyeret ke pengadilan dua oligarch lokal, Ratu Atut Chosiyah Gubenur
Banten dan Fuad Amin Ketua DPRD Bangkalan. Penangkapan keduanya oleh
KPK seperti oase penyejuk saat demokrasi mulai mengalami kekeringan dan
harapan masyarakat sipil yang menentangnya hampir saja mulai kehilangan
harapan. Terutama, sebagaimana terjadi di Bangkalan yang masyarakat
sipilnya lebih aktif melakukan perlawanan terbuka terhadap oligarki politik
lokal.
Penangkapan Fuad Amin (FA) di kediamannya di Bangkalan oleh KPK karena
terlibat dalam kasus suap jual beli pasokan gas alam untuk pembangkit
listrik di Gili Timur Bangkalan, yang juga melibatkan Antonio Direktur PT.
Media Karya Sentosa, sangat mengejutkan warga Bangkalan khususnya yang
selama ini sudah menganggap Fuad Amin sebagai titisan “tuhan kedua”
karena keberhasilannya membangun oligarki politik melalui dua basis sosial
di dalam masyarakat, yakni sosial keagamaan dan sosial keblateran.
Basis sosial keagamaan dibangun melalui konstruksi sosial sebagai
keturunan Syaikhona Kholil, ulama’ kharismatik yang menjadi panutan dan
ikon spritual keberagamaan kaum Nahdliyyin, khususnya di Bangkalan
Madura. Fuad Amin melakukan politisasi kharisma Syaikhona Kholil dalam
menopang kekuasaannya. Basis sosial keblateran (jagoan Madura) juga
digunakan melalui kendali atas para klebun (kepala desa), yang umumnya
berasal dari basis sosial blater. Kedekatannya dengan kedua basis sosial ini
membuat FA dikenal dengan julukan Kiai Blater.
Dengan dua basis sosial ini, sang kiai blater mampu mengendalikan politik
pemerintahan secara oligarkis, yakni melucuti peran dan fungsi negara lebih
sibuk mengurus kepentingan diri dan keluarganya dibandingkan kepentingan
publik. Di samping itu, juga berperan aktif sebagai broker suara-dalam
berbagai arena demokrasi elektoral bagi para politisi yang ingin mendulang
suara untuk memperoleh kursi di parlemen dan para pasangan capres
lainnya, sebagaimana fenomena adanya beberapa TPS kosong untuk
perolehan suara pasangan Jokowi-JK pada Pemilu Presiden tahun 2014. Kala
itu kiai blater menjadi tim sukses capres pasangan Prabowo-Hatta.
Basis sosial dan jaringan politik yang kuat membuat berbagai kasus yang
selama ini menimpa FA, hampir semuanya tidak tersentuh hukum. Misalnya,
kasus kontroversi penggunaan ijazah palsu dalam pencalonannya sebagai
bupati, dugaan korupsi penggunaan dana pengungsi konflik etnik di Sambas,
dan penyalahgunaan dana APBD lainnya. Tidak hanya itu, Badan
Pengembangan Wilayah Suramadu (BPWS) yang memperoleh mandat
berdasarkan Perpres No. 27 Tahun 2008 untuk menjalankan pembangunan
kawasan pasca pembangunan jembatan Suramadu, berbagai programnya
tidak efektif dan cenderung mangalami kemandegan karena tidak
mengakomodasi kepentingan FA yang ingin masuk dalam struktur dewan
pengarah.
Pengorganisasian Perlawanan
Cara kerja KPK dalam menebas pengaruh dan jejaring oligarch lokal di kedua
daerah ini didasarkan oleh adanya struktur kesempatan politik (political
opportunity structure), yakni adanya konstelasi dan fragmentasi elit politik di
tingkat nasional yang berpengaruh pada melemahnya dukungan terhadap
kedua rezim lokal ini (McAdam, Tarrow dan Tilly, 2001).
Di samping itu, kecekatan dan kesigapan KPK dalam melakukan
pengumpulan alat bukti, terutama melalui penyadapan yang dilanjutkan
dengan aksi tangkap tangan.
Tanda-tanda memudarnya oligarch lokal di Banten, dimulai sejak Chasan
Shohib, Bapak dari Gubenur Ratu Atut yang menjadi jangkar utama sebagai
penopang kekuasaan wafat karena usia yang menua. Chasan yang dikenal
sebagai Jawara, pengusaha memiliki jaringan dan koneksi politik yang kuat
diberbagai kelompok politik, khususnya di Golkar.
Memudarnya Golkar karena konflik kepentingan internal di kalangan elitnya
dan juga tekanan lawan politik lainnya untuk melemahkan rezim lokal di
Banten ini memberikan jalan yang lebih leluasa bagi KPK untuk menebas
oligarch lokal di Banten. Meski tekanan kekuatan masyarakat sipil tidak
terlalu hebat dalam melakukan perlawanan, namun struktur kesempatan
politik yang ditandai oleh fragmentasi elit yang lebih kuat menjadi pembuka
yang memberi jalan menguntungkan KPK untuk mengurangi tekanan di
tingkat politik nasional.
Hal yang serupa namun nuansa perlawanan masyarakat sipilnya lebih kental
terjadi di Bangkalan Madura. Tanda-tanda keruntuhan Fuad Amin sebagai
orang kuat lokal mulai terlihat dari adanya keretakan pada dua struktur
lapisan atas dan bawah yang menjadi penopang kekuasaannya. Lapisan atas
mulai tampak, saat ia melakukan kesalahan strategi membangun dukungan
politik terhadap pasangan capres pada Pemilu 2014 yang lalu.
Fuad Amin mendukung pasangan Prabowo-Hatta. Seandainya pasangan
Prabowo-Hatta yang memperoleh kemenangan, mungkin ceritanya akan
menjadi lain. Jaringan patronase politik Fuad Amin di tingkat pusat akan
tetap stabil sebagaimana saat rezim SBY berkuasa karena berhubungan baik
dengan FA.
Kemenangan pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 memperlemah jaringan
patronase politik di tingkat pusat, dan hal ini membuka struktur kesempatan
politik bagi KPK untuk lebih intensif mengintai Fuad Amin sampai akhirnya
momentum penangkapan itu tiba, yakni dengan tertangkap tangannya kurir
Fuad Amin di Jakarta bersama dengan Direktur PT. Media Karya Sentosa dan
disusul kemudian dengan penangkapan Fuad Amin oleh penyidik KPK di
rumahnya, Jl. Kraton Kota Bangkalan.
Sedangkan untuk lapisan bawah, yakni para aktivis sosial dari lingkungan
kerabat FA sendiri, seperti Imam Buchori Kholil, dan organisasi masyarakat
sipil seperti LIRA (Lumbung Informasi Rakyat), CIDE (Center for Islam and
Democracy Studies), BCW (Bangkalan Corruption Wacth) dan komite aksi
lainnya yang tanpa henti meski harus berhadapan dengan teror dan
kekerasan, mengkritisi kebijakan Bupati-FA selama dua periode dan
dilanjutkan pada anaknya.
Misalnya, Fahrillah aktivis LIRA, Ibnu Khotib dan Mathur Kusairi aktivis CIDE
yang pernah mengalami pembacokan dan penembakan karena aktif
mengkritisi kebijakan Bupati. Para aktivis sosial di Bangkalan sangat aktif
memberikan suplai data kepada KPK atas sejumlah kasus korupsi yang
diduga kuat melibatkan oligarch lokal.
Saat Fuad Amin ditangkap KPK, para aktivis ini juga aktif membantu KPK
melacak sejumlah harta dan asetnya yang ada di Bangkalan dan di luar
Bangkalan.
Tertangkapnya sang kanjeng, julukan lain Fuad Amin oleh KPK dengan
keterlibatannya atas kasus korupsi suap jual beli gas alam dan pencucian
uang, menandai keruntuhan rezim dinasti politiknya. Hal ini memberi ruang
yang terbuka bagi para aktivis masyarakat sipil di Bangkalan untuk
mendorong proses demokratisasi, memperbaiki tata kelola pemerintahan
agar lebih bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat.
Dinasti politik keluarga yang menempatkan sang bapak sebagai Ketua DPRD
dan sang anak sebagai Bupati, makin kehilangan dukungan politik setelah
sang bapak berada dalam tahanan KPK. Sedangkan untuk Banten, kekuatan
masyarakat sipilnya masih membutuhkan pengorganisasian yang ekstra
keras untuk merontokkan dinasti Chasan Sohib karena saudara dan
kerabatnya Ratu Atut masih bertebaran sebagai Bupati dan walikota di
beberapa daerah yang berada di wilayah Provinsi Banten.
Pelajaran berharga dari kedua daerah yang selama ini dikendalikan oleh para
oligarch lokal ini adalah betapa signifikannya sinergisitas antara kekuatan
organisasi masyarakat sipil dengan KPK yang memiliki peranan melakukan
proses penegakan hukum, terlebih jika fragmentasi elit nasional semakin
menguat yang membuka adanya struktur kesempatan politik. Keduanya
saling membutuhkan untuk menproteksi dan mencegah kendali para oligarch
lokal dalam membajak proses dan agenda demokratisasi.
Abdur Rozaki ialah Peneliti Institute for Research and Empowerment (IRE) &
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dr Rozaki menekuni studi politik lokal
terkait orang kuat lokal dan kelompok kekerasan yang memiliki pengaruh
dalam politik kebijakan daerah. Beberapa karya tulisnya, Kelompok
Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi, IRE Press dan CSEAS Universitas
Kyoto, 2006, Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater
sebagai Rezim Kembar di Madura, Pustaka Marwa, Yogyakarta, 2003. Email:
[email protected]
Download