Vitamin E Sebagai Terapi Fibrosis Ginjal Pada Tikus

advertisement
Vitamin E Sebagai Terapi Fibrosis Ginjal Pada Tikus (Rattus norvegicus) Berdasarkan
Kadar Kreatinin, Albumin dan Gambaran Histopatologi Hepar
Vitamin E as Renal Fibrosis Therapy in Rats (Rattus norvegicus) based on Kreatinine Levels,
Albumin Level and Liver Histopathology
Aditya Rendra S*, Aulanni’am*, Dyah Kinasih Wuragil
Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan
Universitas Brawijaya
* [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Fibrosis ginjal disebabkan oleh zat nefrotoksik, yang ditandai dengan adanya penurunan
progresif fungsi ginjal. Vitamin E (α - tocoferol) diketahui berguna sebagai antioksidan dan
antiinflamasi untuk terapi fibrosis ginjal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi
vitamin E terhadap penurunan kadar kreatinin, peningkatan albumin dan perubahan gambaran
histopatologi hepar pada tikus yang mengalami fibrosis ginjal hasil induksi streptokinase.
Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus (Rattus norvegicus) jantan yang dibagi kedalam 5
kelompok perlakuan yaitu kontrol (A), fibrosis ginjal (B), dan fibrosis ginjal dengan terapi vitamin
E dosis 200 mg/kg (C), 300 mg/kg (D), dan 400 mg/kg (E). Induksi fibrosis ginjal dilakukan
dengan injeksi streptokinase secara intravena pada vena coccygea, dosis 6000 IU/ekor tikus selama
3 kali selang 5 hari. Terapi vitamin E dilakukan dengan cara sonde lambung setiap 2 hari sekali
sebanyak 11 kali. Analisis data yang digunakan yaitu analisa kualitatif deskriptif untuk gambaran
histopatologi Hepar dan kuantitatif statistik untuk kadar albumin dan kreatinin dengan uji ANOVA
dan dilanjutkan dengan uji BNJ α = 5 %. Hasil penelitian menunjukan pemberian terapi vitamin E
secara signifikan (p<0,05) mampu menurunkan kadar kreatinin dan meningkatkan kadar albumin.
Dosis terbaik pemberian vitamin E adalah dosis 400 mg/kg BB menurunkan kadar kreatinin sebesar
3,93 %, meningkatkan kadar albumin sebesar 19,4 %, dan menurunkan tingkat nekrosis dari sel
hepatosit pada hewan model fibrosis. Kesimpulan dari penelitian ini adalah vitamin E berpotensi
sebagai bahan terapi fibrosis ginjal.
Kata Kunci : Fibrosis ginjal, Vitamin E Kreatinin, Albumin, Histopatologi hepar.
ABSTRACT
Renal fibrosis caused by nephrotoxic agents, which is characterized by a progressive
declining in renal function. Vitamin E (α - tocopherol) is known as an antioxidant and antiinflammatory for renal fibrosis. The purpose of this study was to determine the effect of vitamin E
therapy on decreasing of creatinine level, increasing of albumin level and liver histopathology in
rats (Rattus norvegicus) induced by streptokinase. This study used five groups of male rats (Rattus
norvegicus), were control (A), renal fibrosis (B), and renal fibrosis with vitamin E therapy dose of
200 mg / kg BW (C), 300 mg / kg BW (D), and 400 mg / kg BW (E). Induction of renal fibrosis
was conducted by injection of streptokinase through coccygeal vein, at a dose of 6000 IU/ rats for 3
times with lapse of 5 days. Vitamin E therapy was administered by force feeding once every 2 days
for 11 times. Data were analyzed quantitatively by ANOVA followed HSD test (p<0.05) for
creatinine and albumin level, whereas liver histopathology were analyzed qualitatively. Vitamin E
therapy dose of 400 mg / kg BW was able to give the best results on lowering creatinine levels to
be 3.93% and increasing albumin levels to be 19,4%. It also achieved the best result of reduced
hepatocytes necrotic cells in animal models of fibrosis. The conclusion of this study was vitamin E
has potential as therapeutic agents for renal fibrosis.
Keyword : Renal Fibrosis,Vitamin E, Kreatinin, Albumin, Liver histopathological appearance.
1
reaksi hipersensifitas tipe 3 dan menginduksi
terjadinya infiltrasi neutrofil serta makrofag.
Infiltrasi
neutrofil
dan
makrofag
menghasilkan Reactive Oxygen Species
(ROS) serta sitokin proinflamasi seperti
Tumor Necrosis Factor - α (TNF-α) (Hu,
2008).
Keberadaan
TNF-α
menginduksi
proses Epithelial to Mesenchymal Transition
(EMT) dan aktivasi fibrogenesis sehingga
mengakibatkan
perubahan
metabolisme
matriks ektrasel. Produksi matrik ekstrasel
yang tinggi menghasilkan jaringan fibrosis.
Renal fibrosis menyebabkan laju filtrasi
glomerulus menjadi turun sehingga filtrasi
dan ekskresi zat seperti kreatinin dan sintesis
albumin menjadi turun, sehingga kadar
kreatinin dalam darah meningkat dan kadar
albumin dalam darah akan turun (Cho, 2010).
Senyawa
radikal
bebas
dan
pembentukan jaringan fibrosis dapat ditekan
dengan menggunakan senyawa antioksidan
berupa vitamin E (α -tokoferol). Vitamin E
mampu menghambat pembentukan stres
oksidatif dan melindungi polyunsaturated
fatty acids (PUFAs) seperti linoleat, linolenic
dan arachidonic acids (Pryor, 2001).
Antioksidan vitamin E dapat digunakan
sebagai terapi dalam proses penyembuhan
penyakit fibrosis ginjal, dengan cara
menghambat pembentukan faktor yang
merangsang produksi komponen ECM
berlebih. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui pengaruh vitamin E sebagai
terapi fibrosis ginjal pada hewan model tikus
(Rattus
norvegicus)
hasil
induksi
streptokinase berdasarkan kadar kreatinin,
albumin dan gambaran histopatologi hepar.
Pendahuluan
Fibrosis ginjal adalah manifestasi akhir
dari Chronic Kidney Disease (CKD) yang
mengindikasikan terjadi jaringan fibrosa pada
ginjal dan End Stage Renal Disease (ESRD).
Chronic Kidney Disease (CKD) telah
berkembang menjadi masalah kesehatan yang
utama pada skala global. World Health
Organization (WHO) melaporkan bahwa,
pada tahun 2007 prevalensi Chronic Kidney
Disease (CKD) mencapai 13%. Office
International des Epizooties (OIE / World
Organisation of Animal Health) melaporkan
bahwa prevalensi dari penyakit tersebut
sebesar 1,6 - 20% untuk pet animal dari tahun
2006 sampai tahun 2010 (Lefebre, 2011).
Fibrosis ginjal disebabkan oleh banyak faktor
seperti obstruksi ureter, Chronic Kidney
Disease (CKD) dan obat - obatan yang
bersifat nefrotoksik seperti Streptokinase
(Pardede, 2009).
Pada penelitian sebelumnya oleh
McWilliam (2007) streptokinase yang
diinduksikan pada hewan model memiliki
dampak negatif yaitu menyebabkan reaksi
hipersensifitas tipe III pada organ ginjal.
Patomekanisme dari penyakit fibrosis ginjal
akibat obat streptokinase berawal ketika
Streptokinase mengaktivasi plasminogen
menjadi plasmin pada pembuluh darah dan
menyebar pada organ hepar. Plasmin akan
mengaktivasi reaksi kaskade komplemen,
sehingga
memicu
terjadinya
proses
fagositosis oleh sel Kupfer. Proses fagositosis
oleh sel Kupfer akan memproduksi enzim
proteolitik seperti matrix metalloproteinases
(MMP) dan Reactive Oxygen Species (ROS)
yang kesemuanya akan menyebabkan
kerusakan
sel
hepatosit.
Kegagalan
mempertahankan struktur dan fungsi sel
hepatosit berakhir dengan terjadinya nekrosis
sel (Razzaque, 2004).
Hepar memiliki fungsi penting dalam
detoksifikasi dari obat streptokinase, apabila
hepar
mengalami
kerusakan
maka
streptokinase tidak bisa di detoksifikasi.
Streptokinase yang tidak bisa didetoksifikasi
oleh hepar dibawa oleh darah menyebar ke
organ lain seperti ginjal melalui pembuluh
darah yaitu arteri splanknik. Streptokinase
yang menyebar ke ginjal mengakibatkan
Materi dan Metode
Perlakuan Hewan Coba
Penelitian ini menggunakan hewan
coba tikus (Rattus norvegicus) jantan strain
Wistar yang berumur 10 minggu dengan berat
badan tikus antara 120 - 170 gram. hewan
coba dibagi 5 kelompok perlakuan yaitu
kelompok kontrol (A), kelompok fibrosis
ginjal (B), dan kelompok fibrosis ginjal
dengan terapi vitamin E dosis 200 mg/kg (C),
300 mg/kg (D), dan 400 mg/kg (E). Masing
masing perlakuan menggunakan empat ekor
2
tikus. Penggunaan hewan coba dalam
penelitian telah mendapatkan sertifikat laik
etik dari komisi etik penelitian Universitas
Brawijaya no : 254-KEP-UB .
diawali dengan proses deparafinasi dengan
menggunakan xylol lalu dilanjutkan dengan
proses rehidrasi dengan menggunakan
alkohol absolut. Sediaan kemudian diwarnai
dengan pewarnaan Hematoksilin dan
dilanjutkan dengan pewarnaan Eosin.
Induksi Streptokinase dan Terapi Vitamin E
Streptokinase yang digunkankan berupa
obat dengan merek dagang streptase dengan
dosis 6000IU/tikus dilakukan secara intravena
melalui vena coxygea diinduksikan sebanyak
3 kali dengan selang 5 hari per injeksi yang
dilakukan pada hari ke-1, ke-6 dan ke-11.
Pengukuran Kadar Kreatinin
Pada pengukuran kadar kreatinin,
digunakan metode Jaffe Reaction (Burtis,
2005). Pemeriksaan kadar kreatinin terdiri
dari pembuatan reagensia, pengukuran larutan
blanko dan pengukuran nilai absorbsi
kreatinin serum darah sampel dengan
spektrofotometer (Biosystem tipe A15).
Vitamin yang digunankan adalah jenis
alpha tocoferol (Sigma), diberikan dengan
cara sonde lambung dengan dosis vitamin E
sebesar 200 mg/kg, 300 mg/kg, dan 400
mg/kg tikus. Pemberian vitamin dilakukan
selama 11 kali, dengan waktu pemberian 2
hari sekali yang dilakukan pada hari ke-16
sampai hari ke-36.
Pengukuran Kadar Albumin
Pada pengukuran kadar albumin,
digunakan metode Biuret (Tietz, 2000).
Pemeriksaan kadar albumin terdiri dari
pembuatan reagensia, pengukuran larutan
blanko dan pengukuran nilai absorbsi
albumin serum darah sampel dengan
spektrofotometer (Biosystem tipe A15).
Pengambilan Organ Hepar dan Pengambilan
Serum Darah.
Pengambilan organ hepar dilakukan pada
hari ke-37. Tikus diletakkan secara rebah
ventral pada papan pembedahan, kemudian
dilakukan dislokasi leher. Pembedahan
dilakukan pada bagian abdomen dan diambil
organ hepar. Kemudian organ hepar dibilas
dengan NaCl-fisiologis 0,9% dan dimasukkan
dalam larutan paraformaldehide 10% untuk
pembuatan preparat.
Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu menggunakan analisa
kualitatif
deskriptif
untuk
gambaran
histopatologi Hepar dan kuantitatif statistik
untuk kadar albumin dan kreatinin dengan uji
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji BNJ α =
5 % untuk melihat dan menganalisa
perbedaan antar kelompok perlakuan
(Kusriningrum, 2008).
Pengambilan darah dilakukan selama 4
kali yaitu pada hari ke-17, ke-23, ke-29, dan
ke-37. Pertama, tikus dimasukkan dalam
restrain tube dan Vena lateralis pada ekor di
Incisi 0,2 – 2 cm dari pangkal ekor dengan
skapel atau gunting yang steril. Darah
ditampung pada tabung mikrotube sebanyak 1
ml, kemudian diletakkan dengan sudut
kemiringan 45º dan dibiarkan mengendap
pada suhu kamar, selanjutnya dilakukan
sentrifugasi untuk mendapatkan serum.
Pembuatan Preparat Histopatologi
Pewarnaan Hemaktosilin - Eosin
Hasil dan Pembahasan
Kadar Kreatinin pada Hewan Tikus
(Rattus norvegicus) Model Fibrosis Ginjal
Setelah di Terapi Vitamin E
Hasil analisis pengukuran kadar
kreatinin pada tikus model fibrosis ginjal dan
setelah diterapi vitamin E berdasarkan Tabel
1. menunjukkan bahwa terapi vitamin E
memberikan pengaruh yang signifikan
(p<0,05) terhadap penurunan kadar kreatinin
darah pada tikus model fibrosis ginjal yang
ditujukkan dengan notasi yang berbeda. Pada
kelompok fibrosis ginjal terjadi peningkatan
sebesar 16,3%, kelompok terapi vitamin E
dan
Proses pembuatan preparat histopatologi
terdiri dari fiksasi, dehidrasi, penjernihan,
infiltrasi parafin, embedding, sectioning,
penempelan digelas objek (Junquiera, 2007).
Pewarnaan Hematoksilin – Eosin yang
3
Tabel 1. Hasil Pengukuran Rata-rata kadar Kreatinin
Perlakuan
Kontrol
Fibrosis ginjal
Terapi 200 mg/kg BB
Terapi 300 mg/kg BB
Terapi 400 mg/kg BB
Keterangan
Rata - rata kadar
kreatinin mg/dl
0,795 ± 0,17a
0,925 ± 0,12c
0,922 ± 0,14c
0,900 ± 0,08b
0,890 ± 0,19ab
Kadar Kreatinin %
Peningkatan
Penurunan
16,3
0,27
2,77
3,93
: Perbedaan notasi a, b, c menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara
kelompok perlakuan.
dosis 200 mg/kg BB secara statistik tidak
berbeda nyata dengan kelompok fibrosis.
Namun pada kelompok terapi 300 mg/kg BB
dan 400 mg/kg BB mempunyai respon yang
signifikan (p<0,05) dalam menurunkan kadar
kreatinin dibandingkan kelompok fibrosis.
Terapi vitamin E dosis 400 mg/kg BB adalah
dosis efektif karena secara statistik tidak
berbeda dengan kontrol negatif.
Kadar kreatinin yang tinggi pada
kelompok fibrosis ginjal disebabkan oleh
streptokinase. Streptokinase menyebabkan
terjadinya reaksi hipersensifitas tipe III,
dimana reaksi tersebut akan menimbulkan
produksi sejumlah radikal bebas. Radikal
bebas memicu terjadinya peroksidasi lipid
yang akan merusak glomerulus dan tubulus,
serta menyebabkan terjadi Inflamasi (Peter,
2007). Inflamasi memicu terjadinya aktivasi
proliferasi fibroblast. Fibroblast memproduksi
ECM yang berlebih dan terdeposisi pada
glomerulus dan tubulus. Pada akhirnya,
deposisi ECM membentuk suatu jaringan
fibrosa pada ginjal (Eddy, 2000).
Fibrosis ginjal menyebabkan terjadi
penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal yang
turun menyebabkan laju filtrasi glomerulus
menjadi turun, sehingga filtrasi dari sejumlah
zat seperti kreatinin menjadi terganggu. Hal
ini akan mengakibatkan zat kreatinin dan
unsur zat nitrogen non protein mengalami
retensi dalam ginjal sehingga kadar kreatinin
dalam darah meningkat (Razzaque, 2004).
Meyer (2004) mengatakan bahwa kadar
normal kreatinin pada hewan coba tikus
(Rattus norvegicus) adalah sebesar 0,4 – 0,8
mg/dl, apabila terjadi peningkatan kadar
kreatinin akan menandakan terjadi kerusakan
dan penurunan fungsi dari ginjal.
Kreatinin merupakan indikator yang
sensitif untuk menilai fungsi ginjal
dibandingkan ureum, hal ini dikarenakan
produksi kreatinin dipengaruhi oleh massa
otot yang sedikit sekali mengalami perubahan
dibandingkan dengan ureum. Kreatinin
terbuat dari zat kreatin fosfat dengan
katalisasi enzim kreatin kinase (CK) yang
dibentuk ketika terjadi sintesis ATP.
Kreatinin merupakan zat hasil metabolisme
sehingga difiltrasi oleh glomerulus dan
diekskresikan dalam urin. (Meyer, 2004).
Terapi vitamin E dengan dosis 200 mg/kg BB
belum mampu menurunkan kadar kreatinin,
hal ini dikarenakan pada dosis tersebut
kurang mampu bekerja secara maksimal
sebagai antioksidan. Pada terapi dosis 300
mg/kg BB dan 400 mg/kg BB belum mampu
menurunkan hingga kadar normal kreatinin,
akan tetapi penurunan kadar kreatinin hampir
mendekati nilai kadar kreatinin kelompok
kontrol.
Terapi vitamin E mampu menurunkan
kadar kreatinin, hal ini dikarenakan vitamin E
merupakan senyawa antioksidan. Antioksidan
vitamin E mendonorkan ion hidrogen yang
mampu merubah radikal peroksil menjadi
radikal tokoferil yang kurang reaktif. Hal ini
menyebabkan radikal tersebut tidak mampu
merusak jaringan dan menekan efek lipid
peroksidasi, sehingga kerusakan jaringan
ginjal akan menurun. Vitamin E juga akan
menginduksi
proliferasi
jaringan dan
regenerasi sel sehingga dapat menggantikan
oleh sel – sel yang telah rusak dan
membentuk jaringan baru. Jaringan ginjal
yang kembali normal akan memulihkan
fungsi ginjal. Fungsi ginjal yang kembali
normal akan menyebabkan filtrasi zat
kreatinin menjadi normal sehingga kreatinin
4
akan di filtrasi dan terekskresi keluar dari
tubuh. Filtrasi dari kreatinin yang kembali
normal mengakibatkan kadar kreatinin dalam
darah kembali menjadi normal (Loiselle,
2011).
akan menginduksi terjadinya fagositosis
kompleks komplemen yang berikatan dengan
sel hepatosit oleh sel kupfer, sehingga
menginduksi terjadinya inflamasi. Inflamasi
yang bersifat irreversibel menyebabkan
terjadinya nekrosis pada sel hepatosit. Sel
hepatosit yang nekrosis menyebabkan
terjadinya penurunan sintesis protein seperti
albumin. Hal ini menyebabakan kadar
albumin dalam darah menjadi turun (Kee,
2007).
Kadar albumin dalam darah yang turun
juga disebabkan oleh peningkatan produksi
NO (Nitrit Okisda) endogen oleh endothelium
pada arteri splanik, sehingga menyebabkan
terjadinya vasodilatasi arteri splanik. Hal ini
akan menyebabkan perubahan peningkatan
aliran darah menuju ginjal. Aliran darah
menuju ginjal akan menyebabkan terjadinya
ekskresi protein massif yang tinggi, sehingga
menyebabkan peningkatan ekskresi albumin
dan penurunan absorbsi oleh tubulus.
Albumin yang terekskresi dalam jumlah yang
tinggi menyebabkan kadar albumin dalam
darah menurun (Peter, 2007). Albumin
merupakan protein plasma yang memiliki
banyak fungsi. Meyer (2004) mengatakan
bahwa kadar normal albumin pada hewan
coba tikus (Rattus norvegicus) adalah sebesar
2,7 – 5,1 mg/dl, apabila terjadi penurunan
kadar albumin dapat disebabkan oleh banyak
faktor seperti kehilangan sejumlah albumin
dari tubuh melalui ekskresi urin (proteinuria)
oleh ginjal akibat terjadinya fibrosis ginjal
dan penurunan sintesis albumin akibat
kerusakan organ hepar.
Terapi vitamin E mampu meningkatkan
kadar albumin dalam darah, hal ini
dikarenakan vitamin E merupakan senyawa
Kadar Albumin pada Hewan Tikus (Rattus
norvegicus) Model Fibrosis Ginjal Setelah
di Terapi Vitamin E
Hasil analisis pengukuran kadar
albumin pada tikus model fibrosis ginjal dan
setelah diterapi vitamin E, berdasarkan Tabel
2. menunjukkan bahwa adanya perbedaan
yang signifikan (p<0,05) antara perlakuan.
Nilai kadar albumin kelompok terapi vitamin
E dosis 200 mg/kg BB dan 300 mg/kg BB
menunjukan perbedaan nyata pada kelompok
kontrol, akan tetapi tidak berbeda nyata
dengan kelompok fibrosis ginjal. Kelompok
terapi vitamin E dosis 200 mg/kg BB terjadi
peningkatan kadar albumin sebesar 6,5 %.
Pada kelompok terapi dosis 300 mg/kg BB
terjadi peningkatan kadar albumin sebesar
11,8 %. Nilai kadar albumin kelompok terapi
vitamin E dosis 400 mg/kg BB menunjukan
tidak berbeda nyata (p<0,05) pada kelompok
kontrol, hal ini ditunjukan dengan
peningkatan kadar albumin sebesar 12%.
Data ini menunjukan bahwa terapi dengan
dosis 400 mg/kg BB adalah dosis efektif
untuk terapi fibrosis ginjal.
Kadar albumin yang menurun pada
kelompok fibrosis ginjal diakibatkan oleh
streptokinase yang merupakan hepatotoksik
dan dapat menyebabkan kerusakan pada
hepar. Streptokinase akan mengaktivasi
plasminogen dan mengubahnya menjadi
plasmin. Plasmin mengaktifkan terjadinya
reaksi kaskade komplemen. Reaksi tersebut
Tabel 2. Hasil Pengukuran Rata-rata Kadar Albumin
Perlakuan
Kontrol
Fibrosis ginjal
Terapi 200 mg/kg BB
Terapi 300 mg/kg BB
Terapi 400 mg/kg BB
Keterangan
Rata - rata kadar
Albumin g/dl
2,7750 ± 0,28 c
2,0875 ± 0,75 a
2,2250 ± 0,10 ab
2,3350 ± 0,25 b
2,4925 ± 0,29 bc
Kadar Albumin %
Peningkatan Penurunan
24,7
6,5
11,8
19,4
-
: Perbedaan notasi a, b, c menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) antara
kelompok perlakuan.
5
antioksidan. Kelompok terapi vitamin E
dengan dosis 200 mg/kg BB masih
mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan
pada dosis tersebut vitamin E kurang mampu
bekerja secara maksimal sebagai antioksidan
radikal bebas Pada kelompok terapi vitamin E
dosis 300 mg/kg BB dan 400 mg/kg BB
menunjukkan belum mampu meningkatkan
kadar albumin hingga kadar normal, akan
tetapi mampu mendekati nilai kadar albumin
kelompok kontrol.
Terapi vitamin E pada dosis 400 mg/kg
BB mampu meningkatkan kadar albumin, hal
ini dikarenakan vitamin E yang berkerja
sebagai
antioksidan
radikal
bebas
menghambat terjadinya kerusakan jaringan
akibat peroksidasi lipid dari radikal bebas
sehingga menekan terjadinya nekrosis pada
sel hepatosit. Sel yang nekrosis akan
menginduksi terjadinya fagositosis oleh sel
makrofag dan regenerasi sel sehingga dapat
menggantikan oleh sel – sel yang telah rusak.
Sel hepatosit yang telah kembali normal akan
memulihakan fungsi hepar dalam mensintesis
protein seperti albumin, sehingga kadar
albumin menjadi naik lagi. Sel hepatosit yang
telah menjadi normal juga akan menginduksi
sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk
meningkatkan
konsentrasi
hormone
aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel
tubulus ginjal untuk mengabsorbsi albumin
sehingga ekskresi albumin melalui ginjal
akan menurun. Hal ini akan menyebabkan
kadar albumin dalam darah akan kembali
menjadi normal (Shah, 2007).
Pada hewan coba kelompok fibrosis
ginjal (Gambar 1.B), pada sel hepatosit
mengalami nekrosis koagulasi dan nekrosis
kaseosa. Nekrosis koagulatif ditandai dengan
struktur sel hepatosit masih terlihat jelas, intiinti sel hepatosit mengalami piknotik,
sitoplasma tampak berbutir, dan asidofilik.
Nekrosis kaseosa yang ditandai dengan
terlihat debris granular amorf, tanpa struktur
terlingkupi
dalam
cincin
inflamasi
granulomatosa, dan arsitektur jaringan
seluruhnya terobliterasi (tertutup) (Robbin,
2007).
Gambar 1.C, 1.D dan 1.E merupakan
gambaran histopatologi hepar tikus yang
diterapi vitamin E. Gambar 1.C yaitu
kelompok terapi dosis 200 mg/kg BB
menunjukkan tingkat nekrosis sel hepatosit
tidak jauh berbeda dengan gambaran
histopatologi sel hepatosit kelompok fibrosis
ginjal Gambar 1.B. Gambaran histopatologi
hepar tikus yang diterapi vitamin E dengan
dosis 300 mg/kg BB dan dosis 400 mg/kg BB
menunjukan penurunan tingkatan nekrosis
dibandingkan gambar histopatologi hepar
kelompok fibrosis ginjal (Gambar 1.B) akan
tetapi belum mampu mencapai keadaan
normal seperti Gambar 1.A.
Nekrosis sel hepatosit disebabkan oleh
induksi streptokinase yang akan mengaktivasi
plasminogen dan mengubahnya menjadi
plasmin. Plasmin mengaktifkan terjadinya
reaksi kaskade dan akan membentuk
kompleks imun pada daerah vena sentralis.
Kompleks
imun
memicu
terjadinya
fagositosis oleh sel kupfer dan akan
melepaskan bahan bahan yang bersifat radikal
bebas serta enzim protease seperti MMP.
Radikal bebas akan menimbulkan terjadinya
lipid peroksida yang akan menyebabkan
kematian sel hepatosit sehingga terjadi
nekrosis sel hepatosit (Loiselle, 2011).
Produksi radikal bebas yang tinggi juga
akan menginaktivasi mitokondria dan lisosom
dari sel hepatosit. Mitokondria dan lisosom
yang terinaktivasi akan menyebabkan
penghambatan sintesis ATP dan produksi
enzim hidrolitik. Produksi enzim hidrolitik
yang terhambat menyebabkan tidak terjadinya
proteolisis sel nekrotik, sehingga struktur
jaringan nekrosis masih dipertahankan. Hal
ini disebut dengan nekrosis koagulatif
Gambaran Histopatologi Hepar pada
Hewan Tikus (Rattus norvegicus) Model
Fibrosis Ginjal Setelah di Terapi Vitamin
E.
Hasil gambaran histopatologi sel
hepatosit dapat diamati pada Gambar 1.
menunjukkan terdapat perbandingan kondisi
jaringan organ hepar pada bagian sel
hepatosit dari setiap kelompok perlakuan.
Gambar 1.A merupakan gambaran sel
hepatosit pada kelompok kontrol, terlihat sel
hepatosit normal berbentuk kuboid, tersusun
radier, inti sel bulat letaknya sentral. Sinusoid
berbentuk irregular, ukurannya lebih besar
dari kapiler, mempunyai dinding seluler yaitu
kapiler yang diskontinu (Robbin, 2007).
6
Gambar 1.
Histopatologi hepar tikus (Rattus norvegicus) dengan pewaarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
pada perbesaran 400 kali, insert pembesaran 1000 kali
Keterangan : (A) Tikus kontrol (B) Tikus fibrosis, (C) Tikus dengan terapi 200 mg/kg BB, (D) Tikus
dengan terapi 300 mg/kg BB, (E) Tikus dengan terapi 400 mg/kg BB.
a : Nekrosis kaseosa
b : Nekrosis koagulatif
c : Perbaikan nekrosis kaseosa
(Gambar 1.B). Nekrosis koagulatif akan
menyebabkan kemotaksis dan fagositosis oleh
leukosit(Kumar, 2007).
Fagositosis leukosit akan menyebabkan
terbentuknya debris amorf granular dan
kerusakan struktur sel sehingga terbentuk
nekrosis kaseosa (Gambar 1.B) (Robbins,
2007). Terapi vitamin E pada dosis 300
mg/kg BB dan 400 mg/kg BB menunjukkan
terjadinya penurunan tingkat nekrosis pada
daerah disekitar vena sentralis. Terapi vitamin
E akan menghambat aktivitas lipid
peroksidase dengan cara mendonorkan ion
hidrogen dan mampu merubah radikal
peroksil menjadi radikal tokoferil yang
kurang reaktif, sehingga tidak mampu
merusak jaringan. Vitamin E juga berperan
sebagai ligand yang mengaktivasi TGF-β
yang kemudian akan mengaktivasi fibroblast
pada proses perbaikan jaringan akibat
nekrosis. Aktivasi fibroblast menghasilkan
matrik ekstraselular (ECM). ECM akan
mengaktivasi protein kinase pada sel kupfer
7
dan MMP untuk mendegradasi jaringan
tersebut (Shah, 2007).
Aktifasi protein kinase pada sel kupffer,
yang akan menghasilkan IL – 6. IL – 6
merupakan sinyal kimia dalam proses
transduksi sel. IL-6 akan berikatan dengan
reseptor sel hati dan merangsang regenerasi
sel hati melalui mekanisme Signal
Transducer and Activation of Transcription –
3 (STAT – 3). Protein STAT-3 akan berikatan
dengan segmen pemicu pada struktur DNA
yang secara spesifik akan memicu gen
struktural penyandi protein faktor transkripsi
yang akan menghasilkan enzim Cyclin
Dependent kinase (CDK) untuk proses
replikasi sel. Replikasi sel tersebut yang akan
menggantikan jaringan nekrosis pada sel
hepatosit (Henryk, 2010).
Cho, M. H. 2010. Renal Fibrosis. Korean
Journal Nephrology, 207: 737 –
740.
Eddy, H. M. 2000. Renal Fibrosis :
Molecullar Pathomechanism and
New Target Treatmant. Blackwell
Science Ltd., USA. 1- 45, 271-489.
Henryk, D. 2010. Clinical Hepatology :
Principles
and
Practice
of
Hepatobiliary Diseases. Springer
Vol. 10. pp. 5174.
Hu, K. W. and L. Youhua. 2008. Novel
actions of tissue-type plasminogen
activator in chronic kidney disease.
Frontiers in Bioscience 13: 51745186.
Junquiera and Carneiro. 2007. Text Book and
Atlas Histology. Blackwell Science
Ltd., USA. 1- 35, 250-489.
Kee, J. L. 2007. Pedoman Pemeriksaan
Laboratorium Dan Diagnostik.
Jakarta : EGC. p. 35-40.
Kumar, Vinay, S. Ramzi, L. Stanley and
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi
Robbins, Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Kusriningrum, 2008. Dasar Dasar Statistik.
Jakarta: Penerbit Buku Statistika
EGC.
Levebre, S. 2011. Literature Review –
Epidemiology of Feline Chronic
Kidney Disease. Springer Vol. 10.
pp. 504 - 510.
Loiselle, E. 2011. Vitamin E Therapeutic
Mechanism In Radiaton Induction.
Internist Berl. 4:413-4.
Meyer. 2004. Pathology Clinical Basic of
Medicine. Marcel Dekker Inc.,
USA. 1-30, 271-298.
Pardede, M. 2009. Treatment target in renal
fibrosisi. Nephrol Dial Transplant
(02): 3391–3407.
Peter, S. 2010. Clinical Nephrology :
Principles
and
Practice
of
Hepatobiliary Diseases. Springer
(02): 3391–3407.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diambil kesimpulan bahwa pemberian terapi
vitamin E pada tikus (Rattus norvegicus)
fibrosis ginjal secara signifikan (p<0,05)
mampu menurunkan kadar kreatinin dan
meningkatkan kadar albumin. Dosis terapi
yang efektif adalah dosis 400 mg/kg BB yang
mampu menurunkan kadar kreatinin sebesar
3,93% dan meningkatkan kadar albumin
sebesar 19,4%. Pemberian terapi vitamin E
pada tikus (Rattus norvegicus) hewan model
fibrosis ginjal memperbaiki gambaran
histopatologi hepar dengan menurunkan
tingkat nekrosis kaseosa dan koagulatif sel
hepatosit.
Ucapan Terimakasih
Terima kasih kepada Laboratorium
Biokimia, Laboratorium Fisiologi Fakultas
Kedokteran
dan Laboratorium Fisiologi
Hewan
Fakultas
MIPA,
Universitas
Brawijaya yang telah memberikan kesempatan,
dukungan, bantuan, dan kerjasama yang luar
biasa untuk penyelesaian penelitian ini.
Daftar Pustaka
Burtis, H. 2005. Clinical Blood Analisis.
Chim. Acta 37 – 193.
8
Pryor.
2001. Vitamin E Antioxydant
Therapeutic. Dialysis International,
Vol 28. Hlm. 59-62.
Razzaque, S. 2004. Fibrogenesis: Cellular and
moleculer Basic. Nephrol Dial
Transplant (22): 3391–3407.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins,
Ed.7, Vol.1. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Shah, A. 2007. Ilmu Penyakit Dalam. Buku
Ajar Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC, pp.249
Tietz, A. 2000. Albumin Serum Clinical
Analisis In Animal Model. Springer
(03): 37 – 58.
William, Mc. 2007. Drug induced renal
disease. Elsevier Journal. 15 : 1-
9
10
Download