bab iv jati diri imam yang bertindak in persona christi melalui

advertisement
BAB IV
JATI DIRI IMAM YANG BERTINDAK IN PERSONA CHRISTI
MELALUI PELAYANAN SAKRAMEN EKARISTI
MENURUT ENSIKLIK ECCLESIA DE EUCHARISTIA NO. 29
4.1 Gambaran Umum Ensiklik Ecclesia De Eucharistia
4.1.1 Latar Belakang dan Tujuan Lahirnya Ensiklik Ecclesia De Eucharistia
Ecclesia De Eucharistia adalah sebuah surat ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II
yang berbicara tentang Ekaristi dan hubungannya dengan Gereja. Ensiklik ini diluncurkan
pada hari Kamis Suci 17 April 2003.1
Adapun alasan-alasan yang melatarbelakangi Paus untuk menulis ensiklik ini, antara
lain: Pertama, alasan yang bersifat selebrasi atau perayaan. Bapak Suci Yohanes Paulus II
ingin merayakan pesta perak kepausannya dengan permenungan akan Ekaristi sebagai
”ungkapan syukur kepada Tuhan yang mengaruniakan Ekaristi dan Imamat: Karunia dan
Misteri”. Hari Kamis Suci adalah hari Ekaristi dan Imamat. 2 Kedua, alasan yang bersifat
teologis eklesiologis. Gereja hidup dari Ekaristi. 3 Hal ini karena yang dirayakan dan
dihadirkan dalam Ekaristi itu adalah misteri paskah yang menjadi puncak misteri penebusan
Kristus melalui peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus 4. Karena itu Bapa Suci
menegaskan kembali ajaran Konsili Vatikan II mengenai Ekaristi sebagai sumber dan puncak
seluruh hidup kristiani.5 “Oleh karena Ekaristi adalah milik seluruh Gereja, maka Sri Paus
merasa terpanggil untuk mengganti Surat Kamis Suci tahun 2003 dengan sebuah ensiklik
Ecclesia De Eucharistia. Melalui ensiklik ini Paus menghimbau kita semua untuk
1
Rm. Emmanuel J. Sembiring, OFMCap, Ecclesia De Eucharistia; Himbauan untuk Pelestarian
Pesona Ekaristi, dalam: Liturgi, Vol. 16, No. 1, Januari-Februari, (Jakarta: KOMLIT KWI, 2005), hal 14.
2
EE. No. 7.
3
EE. No. 1.
4
E. Martasudjita, Pr, Ekaristi… Op. Cit., hal 308.
5
LG. No. 11.
menyalakan kembali “pesona” Ekaristi dan mengalami hubungannya dengan Gereja secara
baru”.6
Atas dasar itulah, Paus pun mengatakan bahwa Ekaristi lahir dari misteri Paskah, dan
karenanya Ekaristi menjadi jantung hidup Gereja.7 Di samping itu juga Ekaristi menjadi milik
Gereja yang paling berharga dalam peziarahannya sepanjang sejarah . 8 Ketiga, alasan
pastoral. Pembaharuan liturgi yang telah didorong oleh Konsili telah memberikan sumbangan
besar bagi semakin besarnya kesadaran, partisipasi yang lebih aktif dan berdayaguna dalam
Kurban Altar yang Suci. Akan tetapi di dalamnya juga terdapat keredupan. Bahkan di
beberapa tempat, praktek sembah sujud Ekaristi hampir terlupakan sama sekali. Karena itu
tujuan dikeluarkannya ensiklik Ecclesia De Eucharistia ini adalah untuk mencerahi
kekelaman yang terjadi dan menyalakan keredupan. Dengan tegas Paus mengharapkan agar
surat Ensiklik ini dapat memberikan sumbangsih bagi penghapusan awan kelam pada ajaran
dan praktek yang harus ditolak, sehingga Ekaristi terus bersinar dalam seluruh misterinya
yang cemerlang. 9 Keempat, alasan ekumene. Bagi Bapa Suci, hubungan antara pelayanan
imamat dan Ekaristi serta ajarannya mengenai Kurban Ekaristi, adalah hal yang menjadi
pokok dialog yang berdaya guna pada bidang ekumenisme. Karena itu, kita harus bersyukur
kepada Tritunggal Mahakudus atas kemajuan yang sangat berarti serta kesepakatan yang
dicapai pada bidang ini. Hal ini karena kita dihantar kepada suatu pengharapan bahwa suatu
hari nanti kita akan sepaham dalam iman. Akan tetapi, mengenai jemaat-jemaat Gerejani,
yang timbul di Barat pada abad XVI dan seterusnya serta keterpisahannya dari Gereja Katolik
masih berlangsung penuh hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena jemaat-jemaat Gerejani
yang terpisah dengan Gereja Katolik masih menyandang kekurangan kesatuan dengan kita,
yang seharusnya bersumber pada baptisan, terutama oleh kekurangan Sakramen Tahbisan,
6
Rm. Emmanuel J. Sembiring, OFMCap, Op. Cit., hal.14.
EE. No. 3.
8
EE. No. 9.
9
EE. No.10.
7
mereka tidak penuh memiliki realitas misteri Ekaristi yang asli dan utuh. Atas dasar itu, maka
kita harus menghindarkan diri untuk tidak menerima komuni dalam perayaan mereka,
sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman tentang hakikat Ekaristi. Jika kita tidak
memperhatikan hal ini dengan serius maka akan memperlambat kemajuan upaya menuju
kesatuan nyata yang penuh.10
4.1.2 Tema-tema Umum Ensiklik Ecclesia De Eucharistia
Secara umum, ensiklik Ecclesia De Eucharistia terdiri dari 8 bagian yakni pengantar
(1 bab), isi (6 bab) dan penutup/kesimpulan (1 bab). Kedelapan bagian dari ensiklik ini saling
kait-mengait, artinya terdapat hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Adapun
klarifikasi dari ensiklik ini, sebagai berikut:
1. Pengantar (No. 1-10)
Bagian pengantar terdiri dari 10 poin. Dalam kesepuluh poin ini, Sri Paus
menyampaikan kekagumannya yang mendalam akan pesona Ekaristi dan alasan
mendasar dikeluarkannya ensiklik ini. Melalui ensiklik ini Bapak Suci menyampaikan
niat hatinya kepada para Uskup, Imam dan Diakon, Penyandang Hidup Bakti, Pria
dan Perempuan, dan Segenap Para Beriman agar awan kelam yang menimpa
penghayatan Gereja akan Ekaristi harus ditolak dan hendaknya Ekaristi terus bersinar
dalam seluruh misterinya yang cemerlang.
2. Bab I : Misteri Iman (No. 11-20)
Bab I terdiri dari 10 poin. Poin-poin ini menjelaskan bahwa Ekaristi yang dirayakan
Gereja saat ini merupakan buah dari misteri paskah. Merayakan Ekaristi berarti
merayakan misteri iman Gereja yakni sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus.
3. Bab II : Ekaristi Membangun Gereja (No. 21-25)
10
EE. No. 30.
Ekaristi adalah dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan Gereja. Dengan
merayakan Ekaristi, Gereja semakin diteguhkan dan dikuatkan dalam peziarahan
hidupnya.
4. Bab III: Sifat Apostolik Ekaristi dan Gereja ( No. 26-33)
Ekaristi dan Gereja bersifat apostolik. Artinya bahwa Gereja dapat merayakan
Ekaristi hingga saat ini karena berkat iman para rasul.
5. Bab IV: Ekaristi dan Persekutuan Gerejani (No. 34-45)
Ekaristi adalah anugerah istimewa dari Allah kepada manusia. Karena itu manusia
harus menyambut karunia istimewa ini dengan suasana hati yang baik. Dengan
demikian, Ekaristi akan mempersatukan kita semua yang menyantapnya.
6. Bab V: Perayaan Ekaristi (No. 46-51)
Ekaristi yang dirayakan Gereja saat ini mempunyai hubungan yang erat dengan Yesus
Kristus yang mana Ia sendiri telah merayakannya dengan para murid pada Perjamuan
Malam Terakhir. Dalam merayakan Ekaristi, perlu diperhatikan norma-norma liturgi
sehingga tidak terjadi hal-hal yang sifatnya mengaburkan misteri iman yang
dirayakan.
7. Bab VI: Sekolah Maria, “Wanita Ekaristi” (No.52-57)
Maria adalah guru kita dalam merenungkan wajah Kristus. Dia adalah wanita Ekaristi
dalam seluruh hidupnya. Karena itu, kita tidak boleh melupakan Maria dalam
merenungkan hubungan Gereja dengan Ekaristi karena dia adalah wanita ekaristis.
8. Penutup (No. 59-62)
Pada bagian ini disimpulkan bahwa Ekaristi adalah harta Gereja, jantung dunia yang
harus dijaga dan dihindarkan dari segala pemahaman yang salah. Ekaristi
mempersatukan kita dengan semua umat beriman yang telah dibaptis. Oleh karena itu,
tidaklah boleh menganggap remeh harta kekayaan ini. Kita pun harus belajar dari
Maria yang adalah wanita Ekaristi.
4.2 Tinjauan Khusus Ensiklik Ecclesia De Eucharistia No. 29
4.2.1 Teks Ensiklik Ecclesia De Eucharistia No. 29
Studi yang didalami penulis dalam tulisan ini adalah studi teks. Karena itulah, pada
bagian ini penulis berkewajiban menampilkan teks bersangkutan sehingga dari teks tersebut
penulis dapat berpijak untuk menguraikan dan membahasnya secara lebih mendalam.
“Ungkapan, yang berulang kali digunakan oleh Konsili Vatikan II, mengacu kepada
“imam tertahbis, yang bertindak dalam pribadi Kristus, mewujudkan Kurban Ekaristi,” telah
kukuh mengakar dalam ajaran para Paus. Seperti telah ditunjuk pada kesempatan-kesempatan
lain, rumusan dalam pribadi Kristus “berarti lebih dari sekadar mempersembahkan „dalam nama
dari‟ atau „pada posisi‟ Kristus. Dalam diri berarti identifikasi sakramental yang khas dengan
Imam Agung abadi, Pendasar dan Penyandang wibawa tertinggi atas kurban ini, dari Dia pemilik
kurban, di mana, dalam kebenaran, tak seorang dapat mengambil tempat-Nya.” Pelayanan para
imam, yang telah menerima Sakramen Tahbisan Suci, pilihan Kristus dalam rencana
penyelamatan, menandaskan bahwa Ekaristi yang mereka rayakan adalah karunia yang secara
mendasar mengatasi daya hadirin, dan dalam setiap peristiwa bersifat hakiki menghubungkan
konsekrasi Ekaristi secara sah dengan Kurban Salib dan dengan Perjamuan Terakhir.
Jemaat, yang berkumpul bersama untuk merayakan Ekaristi, agar menjadi sungguh
jemaat Ekaristi, mutlak mengandaikan kehadiran seorang imam tertahbis sebagai pemimpin.
Pada pihak lain, komunitas dengan sendirinya tak mampu melantik seorang imam tertahbis.
Pelayanan ini adalah karunia, yang diterima oleh jemaat lewat kesinambungan Uskup sampai
kepada para Rasul. Adalah Uskup, yang lewat Sakramen Tahbisan suci, mengangkat imam baru,
dengan mencurahkan kemampuan mengkonsekrasikan Ekaristi kepadanya. Demikianlah misteri
Ekaristi tak mungkin dirayakan oleh jemaat mana pun, kecuali oleh imam tertahbis, seperti
dengan jelas diajarkan oleh Konsili Lateran IV”.
4.2.2 Konteks Ensiklik Ecclesia De Eucharistia No. 29 dalam Bab III
4.2.2.1 Terbedakan dari Nomor yang Mendahului
Ensiklik Ecclesia De Eucharistia nomor 28 menguraikan sifat keapostolikan Gereja
dan Ekaristi. Gereja itu bersifat apostolik karena dibangun atas dasar iman para rasul. Para
rasul senantiasa mengajar, menguduskan dan membimbing Gereja melalui penggantipengganti mereka yaitu para Uskup yang dibantu oleh para imam dan dalam kesatuan dengan
pengganti Petrus, Gembala tertinggi Gereja. Melalui tahbisan suci, kesatuan para gembala
dengan Gembala Tertinggi Gereja tidak terputus. Ekaristi juga bersifat apostolik. Melalui
imamat rajawinya, umat beriman bergabung dalam persembahan Ekaristi yang dipimpin oleh
imam tertahbis.
Jadi nomor 28 sebenarnya menguraikan dua hal mendasar yang bersifat apostolik
yaitu imam dan Ekaristi dan sekaligus membuka jalan bagi nomor 29 untuk memfokuskan
penekanan dan pembahasannya pada imam tertahbis yang bertindak in persona Christi dalam
mempersembahkan Ekaristi.
4.2.2.2 Terbedakan dari Nomor yang Mengikuti
Dalam nomor 29 dikatakan dengan jelas bahwa imam tertahbis yang bertindak dalam
pribadi Kristus, mewujudkan Kurban Ekaristi. Karena itu, Ekaristi dan Imamat mempunyai
hubungan yang sangat erat. Nomor 30 menguraikan tentang perbedaan mendasar antara
agama Katolik dan Protestan yakni pada Sakramen Imamat dan Ekaristi. Karena kekurangan
pada Sakramen Tahbisan maka orang Protestan tidak penuh memiliki realitas misteri Ekaristi
yang asli dan utuh. Memang benar bahwa ada usaha yang baik untuk mempersatukan kembali
Gereja-Gereja yang telah pecah dari Gereja Katolik sehingga suatu saat terjadi kesepahaman
dalam iman (gerakan ekumene). Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa dengan seenaknya
saja Ekaristi Suci ini dikorbankan dan digantikan. Ekaristi harus dijaga dan dihormati. Nomor
30 mengakhiri uraiannya dengan sebuah penekanan sebagaimana yang ditekankan dalam
nomor 29 bahwa kuasa untuk mengkonsekrirkan Ekaristi hanya diberikan kepada Uskup dan
imam.
4.3 Pokok-pokok Pikiran dalam Ensiklik Ecclesia De Eucharistia No. 29
4.3.1 Ekaristi sebagai Karunia Agung
Pada dasarnya rahmat merupakan suatu sikap dari pihak Allah terhadap manusia,
sikap yang baik dan positif yang mau mengembangkan manusia tanpa ada lebih dahulu jasa
dari manusia. Maka Rahmat berarti misteri kasih pribadi Allah, yang mengatasi segala
pikiran, angan-angan dan kemampuan manusia. Karena itu, kita sebagai manusia penerima
rahmat harus sadar bahwa “Ekaristi pertama-tama adalah karunia unggulan, karunia maha
berharga dari Tuhan Yesus Kristus sendiri”.11 Disebut karunia agung karena dalam Ekaristi
itu, Kristus memberikan diri-Nya secara total dan utuh bagi kita agar kita diselamatkan.
Karena itu, tak ada hal istimewa yang bisa menandingi karunia Yesus ini.
Ekaristi semata-mata adalah karunia agung dari Kristus maka kita sebagai umat-Nya
harus menerima karunia terluhur itu dengan sikap syukur dan penuh hormat. Dengan sikap
syukur dan hormat itu kita semakin dipersatukan dengan Allah dan antarkita sendiri, sehingga
Allah menjadi segalanya dalam semua. Karena itu, Gereja selalu berusaha menghimpun umat
beriman agar mereka menghadiri misteri iman itu dengan sungguh-sungguh tanpa merasa
dirinya sebagai bagian terpisah dari perayaan Ekaristi yang sedang dirayakan.
4.3.2 Relasi Ekaristi dengan Kurban Salib dan Perjamuan Malam Terakhir
Konsili Vatikan II menghubungkan Ekaristi dengan Perjamuan Malam Terakhir dan
Kurban Salib sekaligus. Demikian kata Konsili:
“Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Korban
Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabadikan Korban Salib untuk
selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan wafat
dan kebangkitan-Nya: sakramen cintakasih, lambang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan
Paskah. Dalam Perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikaruniai
jaminan kemuliaan yang akan datang”.12
Jadi, Perjamuan Malam Terakhir sudah disebut dengan kurban Ekaristi. Akan tetapi
hal ini tentu saja tidak berarti bahwa Perjamuan Malam Terakhir adalah perayaan Ekaristi
Gereja yang pertama. Karena kita memahami bahwa perayaan Ekaristi Gereja yang pertama
terjadi dan terlaksana sesudah Tuhan Yesus wafat dan sekaligus saat para murid atau umat
kristiani telah mengalami kepenuhan iman berkat Roh Kudus akan Yesus Kristus yang wafat
dan bangkit sebagai Tuhan dan penyelamat dunia. Kata “Kurban Ekaristi” yang diadakan
11
12
EE. No. 11.
SC. No. 47.
Tuhan pada waktu Perjamuan Malam Terakhir menunjuk pada penyerahan diri Yesus kepada
Bapa dan bagi keselamatan dunia sebagaimana terlaksana dalam peristiwa sengsara dan
wafat-Nya di salib. Sebab, peristiwa salib Kristus itulah yang dirayakan dan dihadirkan pada
setiap perayaan Ekaristi. Kurban Ekaristi ini ditetapkan untuk “mengabadikan Kurban Salib
untuk selamanya”. Maka, tampak di sini kesatuan kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus.
Artinya, Ekaristi merupakan suatu kurban, dalam mana Yesus Kristus mengabadikan kurban
Salib yang sekali untuk selamanya itu (Ibr 7:27) di dalam, melalui dan dengan Gereja.
4.3.3 Identifikasi Imam
4.3.3.1 Imam In Nomine Christi
Secara sepintas kita akan mengatakan bahwa sebenarnya tindakan imam in persona
Christi dan in nomine Christi adalah sama. Tidak ada perbedaan mendasar. Akan tetapi kalau
diteliti, ternyata keduanya memiliki perbedaan mendasar. Perbedaannya terletak pada
sakramen yang diterimanya. Melalui Sakramen Permandian, Krisma dan Ekaristi, seorang
imam sama seperti kaum beriman lainnya adalah anak-anak Allah yang dipersatukan dengan
Allah untuk menguduskan dirinya dan menjadi saksi iman akan Kristus yang menderita,
wafat dan bangkit. Seorang imam sebagaimana kaum beriman lainnya memberi kesaksian
atas karya keselamatan Allah dalam nama Kristus. Tindakannya hanya mengatasnamakan
Kristus. Hal ini karena ia adalah anak Allah yang telah disatukan dengan Kristus melalui
sakramen inisiasi. Sebaliknya melalui Sakramen Tahbisan yang diterimanya, seorang imam
diidentifikasikan secara khas dengan Imam Agung Abadi Yesus Kristus. Kristus sungguhsungguh hadir dalam dirinya ketika ia mempersembahkan kurban Ekaristi.
4.3.3.2 Imam In Persona Christi
Seorang beriman memperoleh jabatan imamat khusus melalui Sakramen Tahbisan.
Hanya orang yang memperoleh Sakramen Tahbisan suci yang layak disebut sebagai imam
(imamat khusus). “Imamat pelayanan khusus ini dimiliki oleh seorang imam karena dari
Sakramen Tahbisan ia memperoleh kekuasaan suci (sacra potestas), di mana dengannya ia
disatukan dengan Kristus Kepala dan Gembala. Dengan kekuasan suci yang diterima pada
momentum tahbisan, imam dipanggil sebagai pelayan untuk membangun dan memerintah
umat imami dan untuk mempersembahkan atas nama mereka kurban Ekaristi kepada Allah
dalam Pribadi Kristus sendiri”.13 Imam adalah satu-satunya yang dapat mempersembahkan
Ekaristi karena ia bertindak in persona Christi. Tindakan imam dalam kurban tak berdarah ini
jauh melampaui tindakan umat beriman lainnya karena ia bertindak dalam pribadi Kristus.14
Karena itu, pendapat kelompok Waldensis yang mengatakan bahwa awam juga berhak
menjadi pelayan dalam hal sakramen, khususnya Sakramen Ekaristi, tak dapat dibenarkan.
Hal ini dikatakan dengan tegas dan jelas oleh Paus Inocentius III, “Tentang Ekaristi, sesudah
konsekrasi, roti dan anggur benar-benar berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Untuk
itu, hanya imam yang sah dan tertahbis yang mampu dan boleh memberkati atau memimpin
Ekaristi. Kaum awam (bukan imam) yang mengatakan bahwa mereka juga dapat menjadi
pelayan Sakramen Ekaristi adalah orang-orang heretik”. 15 Dengan demikian, jelaslah
hubungan antara Ekaristi dan Imamat. Yang menghubungkannya adalah Kristus sendiri, di
mana Ia hadir dalam Ekaristi dan hadir juga dalam diri imam yang mempersembahkan
Ekaristi itu.
Paus Paulus VI menyebut empat dimensi atau aspek karakteristik dari imamat khusus
pelayanan seorang imam, yaitu dimensi sakral, dimensi apostolik, dimensi mistik-asketik dan
dimensi eklesial. Dalam dimensi sakral, seorang imam adalah orang-Nya Allah. Ia adalah
13
Rm. Dr. Hubertus Leteng, Op. Cit., hal. 90.
Patrick J. Dunn, Priesthood; A Re-examination of The Roman Catholic Theology Of The
Presbyterate, (New York: Alba House, 1990), hal. 156.
15
J. Neuner, SJ and J. Dupuis, SJ, The Christian Faith, (New York: Alba House, 2000), No.
1703.
14
pelayan Tuhan. Ia dapat melakukan karya-karya yang mengatasi kekuasaan alami, karena ia
bertindak in persona Christi. Melalui dirinya, mengalir suatu kebajikan adikodrati.16
Kristus sendiri hadir dalam pelayanan gerejani dari imam yang ditahbiskan dalam
Gereja-Nya sebagai Kepala Tubuh-Nya, Gembala kawanan-Nya, Imam Agung kurban
penebusan dan Guru kebenaran. Karena itu, dalam Lumen Gentium 10; 28; SC 33,
Presbyterorum Ordinis 2; 6, Gereja menyatakan dengan sangat jelas bahwa seorang imam,
berkat Sakramen Tahbisan, bertindak “atas nama Kristus, Kepala (in persona Christi,
Capitis)”.17 Kekhasan imamat pelayanan para imam terletak dalam hubungan khusus dengan
Kristus sebagai kepala dan gembala umat-Nya. Untuk maksud ini, Konsili Vatikan II dengan
sengaja memakai sebutan in persona Christi dan bukannya sebutan representatio Christi.
Dengan cara ini, konsili hendak menegaskan bahwa seorang imam tidak pernah mewakili
Kristus yang seakan-akan berhalangan hadir. Sebaliknya imam justru menjadi tanda yang
efektif dari Kristus sebagai kepala umat. Dengan sebutan ini, di hadapan umat dan terhadap
umat, “setiap imam dengan caranya sendiri membawa pribadi Kristus sendiri”.18
4.3.3.2.1 Latar Belakang Persoalan Ekaristi dan Kuasa Tahbisan (tindakan imam in
persona Christi)
4.3.3.2.1.1 Masalah Realis Praesentia Christi
4.3.3.2.1.1.1 Ekaristi pada Abad Pertengahan
Ajaran Ekaristi pada abad pertengahan dimulai dengan pertikaian tentang Ekaristi
yang pertama (abad IX) antara Radbertus dan Ratramnus, dan pertikaian yang kedua (abad
XI) yakni dengan munculnya tokoh Berengarius. Radbertus mengajarkan bahwa santapan
Ekaristis itu sama dengan tubuh dan darah Yesus historis. Di sini, Radbertus lebih
menekankan makna realis dan mengabaikan makna simbolis dari santapan Ekaristis.
16
Rm. Dr. Hubertus Leteng, Op. Cit., hal. 91.
KGK. No. 1548.
18
Rm. Dr. Hubertus Leteng, Op. Cit., hal. 90.
17
Sementara itu, Ratramnus lebih menekankan makna simbolis daripada makna realis. Inti
ajaran Ratramnus adalah bahwa Tubuh dan Darah Kristus dalam Ekaristi itu tidak sama
dengan tubuh Yesus yang hidup di Palestina itu. Tubuh Kristus dalam Ekaristi itu menjadi
gambar dan simbol dari Tubuh Kristus mulia. Akan tetapi, simbolismenya Ratramnus adalah
simbolisme murni yang sama sekali tidak mengandung realitas yang sesungguhnya.
Selanjutnya pada pertikaian kedua, tokoh Berengarius tampil dengan ajarannya yang
menyangkal realis praesentia. Inti ajarannya adalah bahwa sesudah konsekrasi, hakekat roti
dan anggur tidak berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus melainkan tinggal tetap roti dan
anggur sebagaimana sebelum konsekrasi. Singkatnya, Berengarius menolak perubahan
hakekat roti dan anggur menjadi hakekat Tubuh dan Darah Kristus. Baginya, santapan
Ekaristi sesudah konsekrasi hanya melulu simbol Tubuh dan Darah Kristus tetapi tidak
sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus.19
Salah satu filsuf pada abad pertengahan yang menanggapi persoalan ini adalah
Thomas Aquinas. Pada intinya, Thomas Aquinas memahami sakramen sebagai tanda dan
sarana untuk kehidupan rohani manusia. Karena itu, ia memikirkan tiga segi sakramen
Ekaristi, yaitu, Ekaristi sebagai signum commemorativum yang mengenangkan penderitaan
dan wafat Yesus; Ekaristi sebagai signum communionis yang mengungkapkan kesatuan
Gereja; dan Ekaristi sebagai signum praefigurativum yang menunjuk makna eskatologis
Ekaristi. Thomas juga menegaskan ajaran transsubstantiatio yang mengatakan bahwa
sesudah konsekrasi hosti dan anggur benar-benar berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus.
Ia menegaskan bahwa dengan perubahan itu, hakekat/esensi roti dan anggur tidak ada lagi.
Hal ini karena hakekat roti dan anggur sudah diubah menjadi hakekat Tubuh dan Darah
Kristus oleh daya kuasa Allah sendiri. Kristuslah yang mengubah substansi roti dan anggur
19
E. Martasudjita, Pr, Sakramen… Op. Cit., hal. 286-287.
menjadi hakekat Tubuh dan Darah Kristus. Dengan ini, Thomas mengajarkan ajaran
transsubstantiatio melalui argumentasi iman.20
Persoalan tentang realis praesentia Christi dalam Ekaristi berlanjut terus hingga abad
XVI. Gerakan yang muncul pada abad ini adalah gerakan Reformasi yang dimotori oleh
Martin Luther. Pada dasarnya Luther tetap mendukung paham mengenai kehadiran Kristus
yang nyata dalam Ekaristi (realis praesentia Christi). Meskipun demikian, ia menolak
pandangan bahwa secara substansial roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah
Kristus. Menurutnya, Tubuh dan Darah Kristus ada bersama dengan roti dan anggur. Karena
itu ia menggantikan ajaran transsubstantiatio dengan istilah consubstantiatio (ada bersama).
Lebih lanjut ia menegaskan bahwa karena Firman Allah maka roti dan anggur sungguh
sakramen. Namun sifat sakramen dari roti dan anggur dalam perjamuan kudus ialah sejauh
disantap. Roti dan anggur yang masih tersisa dalam perjamuan kudus tidak diakuinya lagi
sebagai Tubuh dan Darah Kristus. Hal inilah yang membuat Luther dan para pengikutnya
tidak mentakhtakan Tubuh Kristus yang tersisa di dalam tabernakel. Penghormatan dan
penyembahan terhadap Tubuh Kristus yang disimpan dalam tabernakel dianggap sebagai
sesuatu yang sia-sia dan tidak masuk akal. Luther juga menolak pandangan tentang Ekarsiti
sebagai kurban. Alasannya bahwa bila Ekaristi dipahami sebagai kurban maka akan
berlawanan dengan pandangan bahwa kurban salib Kristus merupakan satu-satunya kurban
Perjanjian Baru. Selain itu, jika Ekaristi dipandang sebagai kurban Gereja maka dengan
sendirinya akan menyangkal pandangan bahwa Ekaristi itu adalah karunia Allah bagi
Gereja.21
20
M. Purwatma, Pr, Ekaristi Dalam Diskusi Ekumeni, dalam: Y.B. Prasetyantha, MSF., (Ed.),
Ekaristi Dalam Hidup Kita, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 74-75.
21
Ibid., hal. 286-288.
4.3.3.2.1.1.2 Tanggapan Gereja
Ajaran resmi Gereja dirumuskan ketika mulai muncul pertikaian dan kasus-kasus dari
kelompok bidaah. Gereja mulai mengambil sikap yang tegas dan serius terhadap ajaranajaran sesat itu dan secara tegas pula Gereja menyampaikan ajarannya yang benar. Penolakan
Berengarius terhadap realis praesentia Christi ini memaksa Gereja untuk mengutuk dan
mewajibkan Berengarius mengakui iman Gereja akan misteri Ekaristi yang benar. Bahwa
sesungguhnya sesudah konsekrasi, roti dan anggur benar-benar berubah menjadi Tubuh dan
Darah Kristus.
Sejak meledaknya kasus Berengarius ini, teologi mengembangkan gagasan mengenai
transsubstantiatio, yakni bahwa sesudah konsekrasi, roti dan anggur berubah menjadi Tubuh
dan Darah Kristus. Ajaran ini dinyatakan sebagai ajaran resmi Gereja oleh Konsili Lateran IV
tahun 1215. Selanjutnya, ajaran tentang transsubstantiatio ini dipertegas secara lebih
mendalam dalam Konsili Trente dengan maksud untuk menanggapi ajaran kaum Reformasi.
Konsili Trente mengajarkan kehadiran Kristus yang sungguh-sungguh real dan nyata dalam
Ekaristi dan juga ajaran transsubstantiatio. Tentang hal ini Konsili Trente mengatakan:
“Barangsiapa yang berkata bahwa dalam Sakramen Ekaristi yang Mahakudus tetap terdapat
substansi roti dan anggur dan sekaligus substansi Tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus,
dan siapa yang menyangkal perubahan yang mengagumkan dan tak ada bandingannya dari
seluruh substansi roti ke dalam Tubuh Kristus dan dari seluruh substansi anggur ke dalam Darah
Kristus, di mana yang tetap tinggal di situ hanya rupa roti dan anggur saja, yang dalam Gereja
Katolik perubahan itu dengan tepat disebut transsubstantiatio, terkucillah dia”.22
Dengan ajaran transsusbtantiatio dari Trente ini maka jelaslah bahwa Gereja Katolik
menolak
pandangan
kaum
Reformasi
yang
menekankan
konsep
impanatio
dan
cumsubstantiatio.
4.3.3.2.1.2 Kuasa Tahbisan: Imam In Persona Christi Capitis
Kita yakin dan percaya bahwa Allah kita bersemayam di tempat yang Mahatinggi
namun Ia selalu dekat dengan kita. Ia tidak meninggalkan kita sendirian. Dalam Roh-Nya, Ia
22
J. Neuner, SJ and J. Dupuis, SJ, The Christian Faith… Op. Cit., no. 1527.
senantiasa menyertai kita karena Ia adalah Emmanuel. Kita tak dapat melihat Allah
sebagaimana kita melihat seorang manusia. Dapatkah kita melihat Allah yang bersemayam di
tempat yang Mahatinggi itu?
Sakramen Imamat adalah suatu bentuk kehadiran khusus yang dijanjikan Yesus bagi
umat-Nya dan bagi dunia. Kita hidup dalam cahaya inkarnasi di mana Allah yang transenden
menjadi manusia, agar manusia dapat menemui-Nya dalam diri seorang manusia. Yesus
sendiri berkata, “Siapa melihat Aku, melihat Bapa” (Yoh 12:45). Dalam hubungannya
dengan itu, Imam Agung mau melanjutkan karya penebusan manusia melalui kodrat manusia
lagi, yaitu melalui manusia. Imam Agung-Nya akan hadir dan bekerja dalam diri orang yang
ditahbiskan menjadi imam. Ini adalah suatu misteri yang tidak cukup direnungkan dengan
mengandalkan intelek kita tanpa melalui iman.
Gereja Katolik dengan amat tegas mengajarkan bahwa melalui tahbisan sakramental
yang diberikan kepada seseorang dengan penumpangan tangan dan doa tahbisan yang
diucapkan oleh uskup, terjadilah ikatan ontologis/keberadaan yang mendalam, yang
menyatukan Imamat dengan Kristus Sang Imam Agung dan Gembala Baik. Dengan dan
melalui pentahbisan, imam dikurniai kuasa rohani, yakni keikutsertaan dalam kewibawaan
Kristus, membimbing Gereja melalui Roh-Nya. Di sini Gereja mau menyatakan bahwa
tahbisan suci yang telah diterima oleh seorang imam memasukkan dia ke dalam misteri
Tritunggal. Karena itu, Kristus bekerja secara istimewa dalam dirinya untuk bertindak in
persona Christi dalam pelayananannya di dalam Gereja yakni melayani Umat Allah.
Pelayanan imam in persona Christi itu nampak sangat jelas dalam perayaan Ekaristi. Dalam
Kristus, imam bertindak untuk mengkonsekrir roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah
Kristus. Tubuh dan Darah Kristus itulah yang kemudian dibagikan dan disantap oleh umat
beriman sehingga hidup mereka semakin dikuatkan dan dari situlah mereka memperoleh
jaminan keselamatan abadi.
Ajaran Gereja Katolik ini ditantang oleh beberapa bidaah. Puncak tantangan itu
adalah pada masa Reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther. Terhadap kuasa Tahbisan
Imamat yang diajarkan oleh Gereja Katolik ini, Luther mengajukan protesnya. Ia
menyampaikan penolakannya dengan mengemukakan beberapa alasan mendasar yang
melatarbelakangi penolakannya terhadap kuasa tahbisan imam yang diajarkan oleh Gereja
Katolik itu.
Menurut Luther, manusia pertama-tama diselamatkan oleh Allah (sola gratia).
Manusia tidak mempunyai kuasa untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Perbuatan baik
bukanlah syarat mutlak baginya untuk memperoleh pengampunan dari Allah. Allah sajalah
yang pertama-tama menghendaki dan menjanjikan keselamatan bagi manusia. Karena itu,
hanya dengan iman yang mantap kepada Kristus, manusia dapat diselamatkan (Sola Fide).
Baginya, pengampunan adalah masalah antara orang percaya itu dengan Allah; tidak ada
orang lain yang terlibat. Tidak ada imam yang diperlukan untuk menyatakan bahwa orang itu
telah diampuni. Orang yang percaya dapat membaca di dalam Kitab Suci janji-janji akan
pengampunan bagi orang-orang yang mengaku dosa-dosa mereka. Sama sekali tidak
dibutuhkan orang lain untuk mengulangi pengakuan dosa mereka dan untuk mewujudkannya.
Dengan bantuan rahmat Allah, orang yang percaya dapat melakukan segala sesuatu yang
perlu untuk keselamatannya sendiri tanpa harus menyandarkan diri sepenuhnya pada imam
ataupun Gereja. Singkatnya, Gereja dan segala strukturnya bukanlah sarana keselamatan.
Jika Gereja mengatakan bahwa dirinya adalah sarana keselamatan maka Gereja secara jelas
mau menggantikan posisi Allah sebagai sumber keselamatan. Gereja menempatkan dirinya
pada garis depan sementara menomorduakan Allah.23
Berdasarkan argumen-argumen yang dibangun dan dinyatakan oleh kaum Reformasi
ini maka jelaslah bahwa kaum Reformasi tidak mengakui kuasa tahbisan yang diperoleh
23
Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, dalam: Liem Sien Kie, (penerj.), (Yogyakarta:
PT BPK Gunung Mulia, 2006), hal. 133-135.
seorang imam untuk bertindak in persona Christi. Dengan demikian, mereka juga tidak
mengakui kurban Ekaristi yang dipersembahkan oleh seorang imam dalam pribadi/atas nama
Kristus (in persona Christi). Karena itu, tepatlah bila Gereja Katolik melarang umatnya
dengan tegas untuk tidak melaksanakan praktek komuni antar Gereja (intercommunio).
Alasannya bahwa gereja-gereja Reformasi tidak memiliki kepenuhan iman yang utuh dengan
Gereja Katolik.
4.3.4 Tahbisan Imam sebagai Karunia Hirarkis
Misi kedatangan Yesus ke dunia ini adalah untuk mewartakan dan menghadirkan
Kerajaan Allah. Karena itu, hidup dan karya-Nya selalu diarahkan kepada apa yang
dikehendaki Bapa-Nya itu. Dalam hubungannya dengan itu, Yesus memanggil dan memilih
dua belas orang dari antara murid-murid yang lain untuk mengambil bagian dalam misi-Nya
itu. “Yesus adalah yang diutus oleh Bapa. Pada awal karya-Nya, “Ia memanggil orang-orang
yang dikehendaki-Nya, Ia menetapkan dua belas orang, untuk menyertai Dia dan untuk
diutus-Nya memberitakan injil” (Mrk 3:13-14). Oleh karena itu, mereka adalah utusan-Nya.
Dalam diri mereka, Ia melanjutkan perutusan-Nya: “sama seperti Bapa mengutus Aku,
demikian sekarang Aku mengutus kamu” (Yoh 20:21). Pelayanan para rasul melanjutkan
perutusan Kristus: “Barang siapa menyambut kamu, ia menyambut Aku” (Mat 10:40)”. 24
Dengan demikian, para rasul Kristus mengetahui bahwa mereka diberi kuasa oleh Allah
sebagai “pelayan Perjanjian Baru” (2 Kor 3:6), “pelayan Allah” (2 Kor 6:4), “utusan dalam
nama Kristus” (2 Kor 5:20), “pelayan Kristus...dan pengemban rahasia-rahasia Allah” (1 Kor
4:1).25
“Imam-imam turut mengambil bahagian di dalam imamat Yesus Kristus melalui
Sakramen Tahbisan suci. Setelah peristiwa kenaikan dan Pentekosta, rasul-rasul meletakkan
24
25
KGK. No. 858.
Ibid. No. 859.
tangan atas orang banyak dan merekapun menerima Roh Kudus. “Jangan lalai
mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan
dengan penumpangan tangan sidang penatua” (1 Tim 4:14).26
Imam dan Diakon menerima Roh Kudus yang sama melalui Sakramen Tahbisan suci
yang membuatnya mengambil bahagian secara langsung di dalam tugas Imamat tertahbis,
Yesus Kristus dan pengganti-pengganti-Nya, para rasul. Sebagaimana Kristus memanggil
para rasul maka dewasa ini Gereja (melalui Uskup-Uskup) memanggil dan memberikan tugas
misi Yesus Kristus kepada kita. Karena itu, tidak dapat ada pelayanan imam yang sejati di
luar persekutuan dengan Uskup dan Dewan para Uskup, khususnya dengan Uskup setempat,
yang sudah selayaknya „dihormati sebagai bapak dan dipatuhi‟ seperti yang dijanjikan dalam
upacara tahbisan.27
4.3.5 Sakramen Tahbisan sebagai Dasar Pelayanan
Di dalam Gereja, kita mengenal 7 sakramen. Seorang manusia sungguh-sungguh
dipersatukan dengan Allah bila ia telah menerima sakramen-sakramen Gereja. ”Bila kita
menerima rahmat sakramen-sakramen, sama saja kita bersatu dengan Allah sendiri, kita
menjalin hidup bersama Allah. Allah hadir melalui Kristus dalam sakramen-sakramen.
Melalui Kristus, Allah hadir di tengah umat-Nya dan umat menghadap Allah melalui
Kristus”. 28 Dengan menerima Sakramen Permandian, seorang manusia sungguh-sungguh
dilahirkan kembali menjadi anak Allah dan menjadi anggota Gereja yang sah. Dengan
menerima Sakramen Perkawinan, suami istri sungguh-sungguh dipersatukan dengan Kristus
dalam cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja dan ikut serta menghayati misteri
ilahi itu.29
26
Rm. Anselmus Leu, Pr, Spiritualitas Imamat; Menghidupkan Kembali Spiritualitas Tahbisan,
(Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2004), hal. 24.
27
PDV. No. 28.
28
E. Martasudjita, Pr, Sakramen ... Op. Cit., hal. 164.
29
Konfrensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik, (Yokyakarta: Kanisius, 1996), hal. 440.
Dalam kaitannya dengan itu, seorang imam benar-benar menjadi imam Tuhan dan
dapat melayani umat Allah dengan sakramen-sakramen Gereja terlebih Ekaristi, apabila ia
ditahbiskan oleh Gereja. “Dengan tahbisan, seseorang menjadi pemimpin dalam Gereja,
bukan hanya dalam perayaan Ekaristi atau dalam pelayanan sakramen lainnya melainkan
dalam seluruh kehidupan Gereja. Sakramen Tahbisan mengangkat seseorang untuk
menggembalakan umat Allah dengan sabda dan rahmat Allah”.30
Ada tingkat-tingkat tahbisan dalam Gereja. Yang pertama dan utama adalah tahbisan
uskup. Hal ini dikatakan dengan jelas dalam Lumen Gentium 21 bahwa dengan tahbisan
uskup, uskup diterimakan kepenuhan Sakramen Imamat, yang biasanya disebut imamat
tertinggi atau keseluruhan pelayanan suci. Adapun para imam biasa, kendatipun “tidak
menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa, mereka tergantung dari para
Uskup, namun mereka sama-sama imam seperti para uskup; dan berdasarkan Sakramen
Tahbisan, merekapun dikhususkan untuk mewartakan injil serta menggembalakan umat
beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru”.31 Dengan
demikian, jelaslah bagi kita bahwa dasar pelayanan seorang imam dalam Gereja adalah
Sakramen Tahbisan. Sakramen Tahbisanlah yang memberikan seorang imam wewenang dan
kuasa untuk merayakan sakramen-sakramen dalam Gereja, mempersembahkan kurban sejati
kepada Allah. Doa tahbisan yang didaraskan oleh seorang uskup pada saat pentahbisan
menjadikan Sakramen Tahbisan itu sah atas diri imam sehingga imam tersebut memperoleh
dasar dalam pelayanannya. Dalam Sakramen Tahbisan itu, kasih Allah dalam diri Yesus dan
dalam persatuan dengan Roh Kudus mengurapi sang imam untuk tugas pelayanannya dalam
Gereja sebagai pelayan yang sah dan resmi. Itulah sebabnya, Presbyterorum Ordinis
30
31
LG. No. 21.
LG. No. 28.
mengatakan bahwa melalui pentahbisan, imam dikaruniai kuasa rohani, yakni keikutsertaan
dalam kewibawaan Yesus Kristus, membimbing Gereja melalui Roh-Nya.32
Roh Kudus merupakan hasil pertama dari Sakramen Tahbisan sehingga imam (dan
Uskup) bisa bertindak atas nama Kristus, karena disanggupkan oleh Roh Kudus. Tahbisan
melengkapi calon dengan Roh Kudus dan di dalam Roh Allah itu ia menjadi sanggup untuk
bertindak atas nama Kristus. Identifikasi sakramental dengan Sang Imam Agung yang Kekal
itu secara istimewa memasukkan imam ke dalam misteri Tritunggal, dan melalui misteri
Kristus ke dalam Persekutuan Ministerial Gereja, untuk melayani umat Allah”.33
4.3.6 Kemampuan Konsekrasi Berkat Tahbisan
Melalui tahbisan suci, seorang imam diurapi dengan Roh Kudus dan ditandai dengan
meterai istimewa, dan dengan demikian ia dijadikan serupa dengan Kristus Sang Imam,
sehingga ia mampu bertindak dalam pribadi Kristus.
Dalam merayakan Ekaristi, seorang imam bertindak dalam pribadi Kristus. Doa
Syukur Agung adalah pusat dan puncak seluruh perayaan Ekaristi. Doa Syukur Agung sangat
sentral dan penting karena di dalamnya dihadirkan seluruh misteri penebusan Kristus bagi
kita di atas altar. Seluruh misteri karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui peristiwa
Yesus Kristus yang berpuncak pada wafat dan kebangkitan-Nya, kini dirayakan oleh seluruh
Tubuh Mistik Kristus, yaitu Kristus dan Gereja-Nya, berkat Roh Kudus. Karena itu, perayaan
misteri penebusan Kristus itu dipimpin oleh imam yang bertindak in persona Christi dalam
bentuk perjamuan sakramental di altar.34 Pada saat Doa Syukur Agung, imam mengucapkan
secara langsung apa yang dahulu dilakukan dan dikatakan sendiri oleh Yesus Kristus pada
Malam Perjamuan Terakhir. Tindakan dan kata-kata Yesus yang diucapkan kembali oleh
imam pada bagian ini merupakan tindakan dan kata-kata Yesus atas roti dan piala pada waktu
32
PO. No. 2.
PDV. No. 12.
34
E. Martasudjita, Pr, Ekaristi... Op. Cit., hal. 162-163.
33
Tuhan mengadakan Perjamuan Malam Terakhir dengan para murid. Jelaslah bahwa hanya
imamlah yang mengucapkan kata-kata Yesus ini karena imamlah yang telah menerima
urapan suci untuk bertindak in persona Christi dalam merpersembahkan kurban Ekaristi.
Dalam Ekaristi, Doa Syukur Agung menjadi puncak perayaan. Selain imam, umat
tidak boleh mengucapkan Doa Syukur Agung.35 Imam telah dicurahi dengan Roh Kudus dan
diberi kesanggupan untuk melaksanakan Kurban Agung ini. Karena itu imamlah yang berhak
mendoakan Doa Syukur Agung (konsekrasi) karena ia telah menerima sakramen tahbisan.
4.3.7 Relasi Imam Tertahbis dan Kurban Ekaristi
Pada hakekatnya, semua orang ingin membangun relasi yang intim dengan Allah yang
adalah penciptanya. Karena itu, setiap orang berusaha untuk selalu membangun komunikasi
yang intim dengan Allah. Hal ini nampak dalam kehidupan hariannya, seperti: berpartisipasi
aktif dalam Ekaristi, berdoa rosario, adorasi, dll.
Misi panggilan dan pelayanan seorang imam di dunia ini adalah menjadi tanda dan
sarana Allah, yang hadir dan bekerja secara efektif dalam Gereja-Nya. Artinya bahwa, yang
menjadi pusat, orientasi dan muara hidup dan karya seorang imam adalah Kerajaan Allah
seperti halnya misi dan karya Kristus sendiri. Dengan Sakramen Tahbisan, perbuatan seorang
imam bukan lagi sekadar tindakan pribadinya sendiri yang bersifat subjektif-individual,
melainkan benar-benar menjadi sesuatu yang objektif-institusional, karena imamat dan
misinya berasal dari Kristus sendiri. Imam adalah anggota Gereja yang ditahbiskan untuk
bertindak atas nama Kristus dan untuk menghadirkan Kristus secara sakramental.
36
Penghadiran Kristus oleh imam secara sakramental nampak dalam Ekaristi. Hal ini karena
dengan kekuasaan kudus yang ada padanya, imam pejabat membentuk dan memimpin umat
keimaman. Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus.
35
Paus Yohanes Paulus II (Promulgator), Kitab Hukum Kanonik, 1983, dalam: V. Kartosiswoyo, Pr,
Lic. Iur Can., dkk., (Penerj.), (Jakarta: Obor, 1996), kanon 906, $1. Kutipan selanjutnya disingkat KHK dan
diikuti dengan nomor kanonnya.
36
Rm. Dr. Hubertus Leteng, Op. Cit., hal. 110.
Di sini jelaslah bahwa Imamat dan Ekaristi mempunyai hubungan yang sangat erat.
Hubungan antara keduanya begitu dekat, sehingga Imamat tak dapat dipahami tanpa Ekaristi
dan Ekaristi tak dapat dipahami tanpa Imamat. Ekaristi adalah alasan dasar dari Imamat.
Tanpa Imamat, Ekaristi tak dapat eksis, dan sebaliknya tanpa Ekaristi, Imamat tak dapat
eksis. Karena itu, imam tidak pernah dapat merealisasikan dirinya secara penuh, jikalau
Ekaristi tidak menjadi pusat dan akar dari kehidupannya. Dalam hubungan yang begitu dekat
antara Imamat dan Ekaristi ini maka ada beberapa alasan pokok mengapa Ekaristi menjadi
api rohani utama bagi seorang imam dalam hidup dan karyanya. Pertama, Ekaristi adalah inti
atau kunci utama imamat dari seorang imam. Kedua, Ekaristi adalah sumber kehidupan
seorang imam. Ketiga, Ekaristi adalah kekuatan rohani seorang imam37. Hanya dalam dan
melalui Ekaristilah, kehidupan dan pelayanan seorang imam memperoleh kekuatan dan
semangat.
4.3.8 Perayaan Ekaristi sebagai Tugas Imam Tertahbis
Setiap hari Kamis Suci, sejak tahun 1979 hingga tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II
selalu menulis surat pribadi kepada semua imam di seluruh dunia. Hal ini karena ia menandai
hari Kamis Putih sebagai hari Ekaristi dan Imamat. Atas dasar itu, pada hari Kamis Putih
1980, beliau menulis demikian: “Ekaristi adalah alasan yang prinsipial dan sentral dari
adanya Imamat, yang memang muncul pada saat institusi Ekaristi dan bersama dengannya”. 38
Di sini jelaslah bagi kita bahwa Ekaristi dan Imamat saling berhubungan. Hubungan
itu sangat erat sehingga tak dapat dipisahkan. Atau dengan kata lain, Sakramen Imamat atau
Tahbisan ada dan diadakan demi Ekaristi. Seorang ditahbiskan terutama dan yang terpokok
ialah untuk Ekaristi. Singkatnya, seorang ditahbiskan menjadi imam agar ia memimpin
Ekaristi sehingga ia hidup dari dan untuk Ekaristi. Pelayan yang selaku pribadi Kristus (in
37
Ibid. hal. 382-385.
E. Martasudjita, Pr, Ekaristi Pusat dan Puncak Pelayanan Imamat, dalam Ekaristi untuk Imamat,
Pada Majalah Liturgi Vol. 16 No 2 Maret –April, (Jakarta: KOMLIT KWI, 2005), hal. 4.
38
persona Christi) dapat melaksanakan Sakramen Ekaristi, hanyalah imam yang ditahbiskan
secara sah. 39 Hal inilah yang mendorong Bapa Suci untuk mengatakan lagi bahwa bila
Ekaristi adalah pusat dan puncak hidup Gereja, maka haruslah juga menjadi pusat dan
puncak pelayanan Imamat. Ekaristi adalah prinsip dan inti alasan pengadaan Sakramen
Imamat, yang memang timbul pada saat pendasaran Ekaristi. Dengan demikian, jelaslah
bahwa perayaan Ekaristi adalah tugas pokok dari pelayan tertahbis.40
Umat beriman adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus. Sebagai
orang beriman, kita mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk wajib menguduskan Yesus
dalam hati kita dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus kepada
dunia. Akan tetapi, supaya umat beriman makin terpadu menjadi satu Tubuh, “di dalamnya
tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama” (bdk. Rm 12: 4), maka Tuhan yang sama
telah melantik antara umat beriman sejumlah pelayan, yang dalam persekutuan umat beriman
mereka memiliki kekuasaan tahbisan suci untuk mempersembahkan Korban Suci dan
mengampuni dosa-dosa, dan yang demi nama Kristus menjalankan tugas Imamat secara
resmi demi kepentingan umat manusia.41
Tugas utama seorang imam tertahbis adalah merayakan Ekaristi. Ekaristi adalah
sakramen yang paling agung karena dengan merayakannya, misteri paskah Kristus
dihadirkan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa sakramen-sakramen yang lain tidak
berarti dan bernilai. Sakramen yang lain pun sangat penting dalam kehidupan umat beriman
terlebih dalam kehidupan imam. Akan tetapi semuanya memperoleh kesempurnaannya di
dalam Ekaristi. Karena itu, “imam hendaknya merayakan Ekaristi setiap hari meskipun tidak
dapat dihadiri umat, karena Ekaristi merupakan tindakan Kristus dan Gereja; dalam
melaksanakan itu, para imam menunaikan tugasnya yang utama”.42
39
KHK. Kan. 900, $1.
EE. No. 31.
41
PO. No. 2.
42
KHK. No. 904.
40
4.3.9 Jemaat Ekaristis
Kisah Para Rasul 2: 41-46 dengan sangat jelas menggambarkan cara hidup jemaat
kristen yang pertama. Mereka yang telah memberi diri dibaptis selalu berkumpul untuk
memecahkan roti dan berdoa. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara
bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji
Allah. Tindakan yang dilakukan oleh jemaat pertama ini sungguh-sungguh mengungkapkan
penghayatan dan kecintaan mereka akan Ekaristi. Mereka sungguh-sungguh menghayati
perintah Yesus yang mereka peroleh dari para rasul yakni “Lakukanlah ini sebagai kenangan
akan Daku”. Dengan ini, mereka menunjukkan identitas mereka sebagai pengikut Kristus dan
sebagai jemaat ekaristis.
Tuhan Yesus Kristus mempercayakan perayaan Ekaristi kepada Gereja. Dengan
Ekaristi, kini Gereja mendapat cara dan jalan masuk ke misteri penyelamatan Allah dalam
Kristus. Sebab melalui liturgi, terutama dalam kurban ilahi Ekaristi, terlaksanalah karya
penebusan kita. Lebih dari itu, Ekaristi sebagai lambang kesatuan menunjuk maksud
penganugerahan Ekaristi oleh Kristus yakni agar Gereja memiliki kebersamaan dan kesatuan
dengan Allah melalui Dia dan dalam Roh Kristus dan dengan warga Gereja sendiri.43
Gereja yang adalah persekutuan umat Allah, berpartisipasi dalam Imamat Kristus
dengan dua cara yaitu imamat umum dan imamat khusus. “Hakikat dari imamat umum kaum
beriman terletak dalam kapasitas dan kewajiban yang diperoleh karena kelahiran kembali dan
pengurapan Roh Kudus waktu menerima Sakramen Permandian dan Sakramen Krisma untuk
“mempersembahkan kurban rohani dan untuk mewartakan daya kekuatan Dia yang telah
memanggil mereka dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang mengagumkan”. Dengan
permandian dan krisma, “tidak ada anggota, yang tidak berperan serta dalam perutusan
seluruh Tubuh, tetapi setiap anggota wajib menguduskan Yesus dalam hatinya, dan dengan
43
E. Martasudjita, Pr, Sakramen... Op. Cit., hal. 296.
semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus”. Kewajiban kristiani ini lahir dari
kenyataan bahwa “setiap orang kristen adalah imam”. Apa yang dimaksudkan di sini adalah
imamat “umum” yang melibatkan orang yang dipermandikan untuk menghidupi pengorbanan
kepada Allah melalui partisipasi dalam Ekaristi dan sakramen-sakramen, kesaksian hidup
yang suci, penyangkalan diri dan cinta kasih yang aktif”.44
Lumen Gentium menyebut Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh hidup
kristiani. 45 Sebutan ini menunjuk pada pemahaman Konsili Vatikan II yang tidak mau
memisahkan Ekaristi dengan kehidupan setiap hari. Hidup sehari-hari memperoleh kekuatan
dan dasarnya dari Ekaristi sebagai sumber. Dari Ekaristilah mengalir kekuatan yang menjiwai
dan menggerakkan seluruh hidup orang kristiani dalam mengarungi suka duka hidupnya.
Ekaristi juga menjadi puncak dari seluruh kegiatan kristiani. Artinya, semua bidang
kehidupan yang dijalani umat kristiani tertuju dan mengarah kepada Ekaristi sebagai
puncaknya. Karena itu, Ekaristi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kehidupan
umat beriman.
Berdasarkan uraian di atas maka jelaslah bagi kita bahwa umat beriman mempunyai
hubungan yang erat dengan Ekaristi. Umat beriman harus berpartisipasi aktif dan sadar dalam
korban Ekaristi yang dipersembahkan oleh imam. Dengan berpartisipasi secara aktif dan
sadar, umat beriman akan semakin mengalami bahwa Allah sendiri yang hadir dan berkarya
dalam Ekaristi untuk menyelamatkannya. Karena itu umat beriman akan selalu memadahkan
syukur dan pujian kepada Allah yang rela menyertai manusia dan setia mengasihinya sampai
sehabis-habisnya. Hanya dengan itulah, kehidupan jemaat semakin bermakna dan bernilai
karena memang “tiada jemaat kristen yang dibangun tanpa berakar dan berporos pada
perayaan Ekaristi suci”.46
44
Rm. Dr. Hubertus Leteng, Op. Cit., hal. 88-89.
LG. No. 11
46
PO. No. 6.
45
4.3.10 Kesatuan Jemaat dan Imam Tertahbis sebagai Pemimpin
Dalam sejarah perkembangan Gereja, kita belajar dan tahu bahwa sebelum Konsili
Vatikan II, jabatan hirarki dipandang sebagai status dan kedudukan yang terhormat dan tinggi
dalam Gereja. Kaum awam (umat) menempatkan dirinya sebagai orang nomor dua,
sementara itu imam yang adalah pemimpinnya merupakan orang yang paling sempurna.
Akibatnya, antara imam dan umat terdapat jurang pemisah yang sangat dalam.
Kenyataan seperti ini mulai berubah semenjak Konsili Vatikan II yakni bahwa
imamat umum kaum beriman dan imamat jabatan kendati berbeda hakekatnya dan bukan
hanya tingkatnya, keduanya saling terarahkan. Sebab keduanya dengan cara khas masingmasing mengambil bagian dalam satu Imamat Kristus untuk menghadirkan Kerajaan Allah di
muka bumi ini. Dengan demikian, umat beriman tidak lagi bersikap pasif atau menjadi
penonton dalam perayaan Ekaristi tetapi ikut mengambil bagian secara aktif dan sadar.
Kesadaran ini yang mendorong umat untuk melibatkan dirinya secara utuh dalam kegiatankegiatan liturgi Gereja, terlebih dalam Ekaristi.
Imam dan umat semakin membangun kerja sama yang baik dalam posisinya masingmasing tanpa harus saling menggantikan. Akhirnya, dengan merayakan Ekaristi dan
menyambut Tubuh Tuhan, semua umat beriman, baik imam maupun umat dipersatukan
dalam satu Tubuh yaitu Tubuh Kristus. Dengan demikian, dalam dan melalui Ekaristi, kita
semua dipersatukan, baik antara kita dengan Kristus maupun persatuan di antara kita sebagai
umat Allah. Dari Ekaristi yang kita santap, kita semakin dikuatkan dan diteguhkan untuk
bersama-sama memberi kesaksian tentang Kerajaan Allah.
Download