RESUME JOURNAL HUBUNGAN ANTARA PERANAN PERAWAT DENGAN SIKAP PERAWAT PADA PEMBERIAN INFORMED CONSENT SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DI RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA Abstraksi Salah satu peran perawat adalah sebagai pelindung dan advokat bagi pasien yaitu untuk membela hak pasien, hak legal pasien salah satunya adalah informed consent. Informed consent merupakan persetujuan pasien setelah adanya informasi dari dokter untuk dilakukan suatu tindakan medik. Sikap perawat pada pemberian informed consent adalah sebagai fasilitator dalam pengambilan keputusan mengenai suatu tindakan medik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran perawat dengan sikap perawat pada pemberian informed consent sebagai upaya perlindungan hukum bagi pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian ini non eksperimental dengan rancangan deskriptif korelasi dan menggunakan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel 38 orang dengan tehnik pengambilan sampel menggunakan propursive sampling. Analisis data menggunakan uji statistik Spearman Rank. Pendahuluan Salah satu tenaga kesehatan adalah perawat yang berperan penting dalam menentukan dan melaksanakan praktik keperawatan. Perawat dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya secara aktif untuk melakukan perannya pada situasi tertentu. Salah satu peran perawat adalah sebagai advokat (penasehat) bagi pasien yaitu melindungi hak pasien unt\uk mendapatkan informasi dan untuk berpartisipasi dalam keputusan mengenai perawatan yang akan diterima oleh pasien. Dalam pelayanan kesehatan, dikenal hak legal pasien yang salah satunya adalah persetujuan tindakan medik (informed consent). Persetujuan tindakan medik merupakan persetujuan seseorang untuk dilakukan sesuatu, seperti pelaksanaan prosedur operasi maupun tindakan diagnostik. Persetujuan tindakan didasarkan pada keterbukaan dan keterangan terhadap berbagai resiko yang potensial, keuntungan dan alternatif yang ada untuk pasien. Pasal 53 undang – undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyatakan dengan jelas tentang hak – hak pasien, diantaranya adalah hak atas informasi dan hak memberikan persetujuan tindakan medik. Pelaksanaan kedua hak tersebut diwujudkan dalam bentuk informed consent sehingga konsekuensinya adalah setiap tindakan medik yang dilakukan tanpa informed consent merupakan perbuatan melanggar hukum. Pelaksanaan informed consent terhadap pasien merupakan wewenang dokter untuk mendapatkan persetujuan tindakan medik yang akan dilakukan , sedangkan perawat adalah mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi pasien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan diagnostik maupun pengobatan. Permasalahan yang sering terjadi pada pelayanan kesehatan adalah dokter hanya melakukan kewajibannya untuk melakukan suatu tindakan medik tanpa penjelasan terlebih dulu kepada pasien dan hanya mendelegasikan perawat untuk memberikan surat pernyataan persetujuan tindakan medik kepada pasien untuk di isi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang hubungan antara peran perawat dengan sikap perawat pada pemberian informed consent sebagai upaya perlindungan hukum bagi pasien. Hasil dan pembahasan Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan peran perawat dengan sikap perawat pada pemberian informed consent sebagai upaya perlindungan hukum bagi pasien yang ditunjukkan dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,000 atau p < 0,05. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa peran dan sikap perawat sangat baik (78,9 %) pada pemberian informed consent, hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (78,9 %) perawat dapat berperan sebagai advokat bagi pasien yang berfungsi sebagai penghubung antara pasien dengan tim kesehatan lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan pasien, membela kepentingan pasien, membantu pasien untuk memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan oleh tim kesehatan lain. Peran sebagai advocacy mengharuskan perawat bertindak sebagai fasilitator dalam tahap pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani pasien. Sikap perawat sangat baik pada pemberian informed consent ditunjukkan dengan mempunyai pemahaman kemampuan untuk memberikan suatu pernyataan maupun pembelaan untuk kepentingan pasien. Advocacy ( sikap untuk melindungi pasien) merupakan kemampuan untuk bisa melakukan suatu kegiatan atau berbicara untuk kepentingan orang lain dengan tujuan untuk perlindungan hak kepada orang lain. Adanya hubungan yang erat (p = 0,864) antara peran dan sikap perawat dalam pemberian informed consent. Dalam menjalankan peran sebagai advocat, sebagian besar (80%) perawat cenderung untuk membantu pasien memperoleh informasi sebelum dilakukan tindakan medik dan memfasilitasi pasien maupun keluarga dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan. Kesimpulan Ada hubungan erat antara peran perawat dengan sikap perawat pada pemberian informed consent sebagai upaya perlindungan hukum bagi pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Fitri Arofiati, Erna Rumila Mutiara Medika Vol. 9 No. 2:58 – 63, Juli 2009 RESUME JURNAL STANDAR PELAYANAN MINIMAL RUMAH SAKIT SEBAGAI PERSYARATAN BADAN LAYANAN UMUM DAN SARANA PENINGKATAN KINERJA Latar Belakang Pengembangan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah salah satu isu penting dan terkini dalam pengembangan manajemen mutu rumah sakit. Standar Pelayanan Minimal (SPM) menjadi perhatian utama dari sebagian besar pengelola rumah sakit pemerintah karena SPM merupakan salah satu persyaratan bagi rumah sakit untuk menjadi Badan Layanan Umum (BLU), sebuah bentuk organisasi rumah sakit pemerintah dengan keleluasaan pengelolaan keuangan. Kegiatan untuk memfasilitasi penyusunan SPM telah cukup banyak dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan kesehatan Fakultas kedokteran U niversitas Gajah Mada baik kepada rumah sakit pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten kota. Untik menilai sejauh mana penyusunan SPM akan memberikan dampak terhadap perbaikan mutu maka perlu dilakukan suatu analisis. Analisis dilakukan dengan menelaah pentingnya penyusunan SPM rumah sakit dari empat sudut pandang: 1) sebagai persyaratan dari perundang – undangan yang berlaku, 2) sebagai persyaratan pelanggan, 3)sebagai persyaratan BLU dan 4) sebagai alat tolok ukur antar rumah sakit. 1. Tinjauan dari sudut pandang peraturan perundangan. 2. Tinjauan dari sudut pelayanan publik. 3. Tinjauan dari kepentingan perubahan kelembagaan rumah sakit menjadi BLU. 4. Standar Pelayanan Minimal sebagai alat monitoring dan peningkatan kinerja. Hasil Penyusunan dan penerapan SPM merupakan suatu kewajiban berdasarkan peraturan perundang – undangan sebagai bagian dari pemenuhan kepuasan pelanggan. Sebagai rumah sakit dalam bentuk BLU dengan keleluasaan pengelolaan keuangannya, rumah sakit dituntut untk dapat menunjukkan akuntabilitasnya dengan senantiasa memenuhi standar. Kesimpulan Standar pelayanan Minimal (SPM) yang mempunyai dua elemen pokok yaitu indikator kinerja dan target yang harus dicapai perlu disusun dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan (baik pelayanan dasar maupun rujukan) dengan tiga alasan, yaitu : a) peraturan perundangan menghendaki demi menjamin akuntabilitas pelayanan publik, b) pasien sebagai fokus pelayanan membutuhkan dan menghendaki pelayanan yang berkualitas, memuaskan dan dapat dijamin memberikan keamanan, c) untuk menjadi BLU, rumah sakit harus dapat menunjukkan akuntabilitas kinerjanya dengan ditetapkannya indikator dan target pencapaian tiap indikator kinerja, dan sebagai sarana untuk melakukan monitoring dan penilaian kinerja yang mengarah pada upaya perbaikan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah jenis – jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit kepada masyarakat dengan tolok ukur kinerja yang jelas untuk tiap jenis pelayanan. Standar Pelayanan Minimal (SPM) bukan standar teknis, tetapi untuk mencapai SPM tersebut perlu ada tindak lanjut dalam bentuk penyusunan standar teknis dan pemenuhan persyaratan struktur (sarana prasarana), dan tindak lanjut perbaikan pada sistem pelayanan agar nilai ambang yang dijanjikan dapat tercapai. Tjahjono Kuntjoro dan Hanefi Djasri Jurnal manajemen Pelayanan Kesehatan Vol. 10, No. 1, Maret 2007 RESUME JURNAL PENGEMBANGAN PROSES VERIFIKASI PRA-OPERASI UNTUK MENINGKATKAN KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT Abstraksi Proses pelayanan medis kepada pasien selalu menimbulkan resiko pada pasien. Tujuan program keselamatan pasien adalah untuk mengurangi resiko cedera atau kejadian yang tidak diharapkan akibat struktur atau proses pelayanan medis. Hal ini dapat dikurangi dengan perbaikan struktur dan proses pelayanan medis. Verifikasi pra operasi merupakan salah satu langkah yang digunakan untuk memastikan bahwa seluruh syarat – syarat operasi telah dilakukan sebelum prosedur operasi dimulai. Data – data yang ada harus pula dikaji untuk meyakinkan bahwa ti ndakan yang akan dilakukan adalah sesuai dengan harapan pasien, dan sesuai dengan pengertian seluruh tim yang terlibat.informasi yang tidak sesuai harus diklarifikasi sebelum tindakan dimulai. Pengantar Isu patient safety merupakan salah satu isu utama dalam pelayanan kesehatan. Para pengambil kebijakan, pemberi pelayanan kesehatan, dan konsumen menempatkan sebagai prioritas pertama pelayanan. Patient safety merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar efisiensi pelayanan. Patient safety perlu secara terus menerus dipantau,diukur dan diperbaiki. Selain satu konsep utama adalah pengenalan resiko yang dapatdicegah. Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi sebagai bagian dari pelayanan kepada pasien. Identifikasi dan pemecahan masalah tersebut merupakan bagian utama dari pelaksanaan konsep patient safety. Isu – isu pelayanan yang beretika dan profesional, tidak akan dapat dilepaskan dari konsep patient safety. Patient safety didefinisikan sebagai bebas dari cedera aksidental atau menghindarkan cedera pada pasien akibat tindakan pelayanan. Patient safety melibatkan sistem operasional dan proses pelayanan yang meminimalkan kemingkinan terjadinya adverseevent / error dan memaksimalkan langkah – langkah penanganan bila error telah terjadi. Tujuan patient safety adalah untuk mengurangi resiko cedera atau harm pada pasien akibat struktur dan proses pelayanan kesehatan. Peneitian Zhan dan Miller dari 994 rumah sakit memperlihatkan bahwa cedera akibat tindakan medik menyebabkan bertambahnya hari rawat inap sampai dengan 10,89 hari. Tambahan biaya perawatan sebesar $ 57.727, dengan peningkatan angka mortalitas sampai 21,96 % akibat sepsis paska operasi. Sepsis paska operasi merupakan cedera akibat tindakan medik yang paling merugikan, diikuti oleh dehisensi luka operasi, dan infeksi akibat tindakan medik lain. Tiga strategi untuk meningkatkan patient safety, yaitu : (1) penelitian, (2) tindakan yang memadai, (3) kepemimpinan. Penelitian yang baik harus dilakukan untuk mengidentifikasi adverse event yang paling umum terjadi dan berbagai faktor penyebabnya. Penelitian kualitatif harus pula dilakukan untuk memperoleh pemahaman terjadinya kegagalan sistem pelayanan kesehatan yang mengakibatkan harm pada pasien. Pencanangan pencegahan kesalahan operasi adalah salah satu topik keselamatan pasien yang di ususng WHO. Keslahan operasi merupakan salah satu bentuk kesalahan di rumah sakit, kesalahan operasi dapat dijumpai dalam bentuk kesalahan tempat operasi (wrong site), melakukan operasi pada pasien yang salah (wrong patient), dan melakukan operasi dengan prosedur yang salah (wrong prosedures). Analisis akar masalah menunjukkan bahwa penyebab yang utama adalah buruknya komunikasi. Proses verifikasi pasien sebelum tindakan pembedahan merupakan salah satu upaya untuk mencegah kesalahan tindakan bedah. Seluruh tim yang terlibat dalam satu operasi seharusnya memiliki kewaspadaan yang sama terhadap proses verifikasi ini. Penelitian yang bersifat lokal tentang pengembangan sistem verifikasi pra operasi masih sangat terbatas. Penelitian bertujuan untuk mengkaji sistem verifikasi pra operasi sebagai bagian dari protokol umum untuk mencegah kesalahan pembedahan. Sistem Verifiaksi Pra – Operasi Pengembangan proses verifikasi dilakukan dengan membuat alur pelayanan, membuat daftar tilik persiapan operasi, serta secara rutin mencatat dokumen – dokumen yang relevan. Proses verifikasi dikembangkan sebagai berikut : persiapan operasi dilakukan di bangsal, sesuai jadwal pasien akan dibawa ke ruang operasi. Di bagian penerimaan pasien ruang operasi akan dilakukan verifikasi terhadap kelengkapan administrasi, kelengkapan persyaratan operasi, tindakan keperawatan, dan status present pasien. Pada kondisi persyaratan tidak lengkap akan dilakukan cek ulangke bangsal tempat asal pasien. Proses verifikasi Pra – Operasi Menurut WHO, prosedur verifikasi dilakukan dengan tiga cara, yaitu : (1) verifikasi dokumen pra operasi, (2) memberi tanda pada tempat operasi, (3) melakukan pemeriksaan singkat (time out) sesaat sebelum operasi di mulai. Pembahasan Keselamatan pasien di kamar operasi tidak hanya tergantung dari proses pembedahan. Keselamatan pasien operasi dimulai dari proses sebelum pasien memasuki ruangan operasi, termasuk proses varifikasi yang baik, memastikan tidak adanya medication error, pemberian antibiotik profilaksis yang tepat dan sebagainya. Langkah – langkah dalam mencegah kesalahan operasi memerlukan kerjasama semua tim yang terlibat. Proses verifikasi merupakan tahapan yang penting untuk memastikan bahwa operasi dilakukan pada orang yang benar, lokasi yang benar dan dilakukan dengan prosedur yang benar. Pasien dan keluarga pasien mempunyai peran yang cukup besar untuk mencegah kesalahan operasi. Rumah sakit harus lebih memberikan pengetahuan dan kewaspadaan bagi pasien dan keluarganya untuk terlibat dalam aktifitas ini. Seluruh anggota tim juga memiliki peran yang sangat besar untuk memastikan bahwa semua tindakan telah dilakukan dengan benar. Penelitian menunjukkan bahwa sumber akar masalah yang utama di ruang operasi adalah kegagalan komunikasi. Pengamatan selama 90 jam terhadap 48 tindakan operasi menunjukkan bahwa, selama masa observasi ada 129 kesalahan dari 421 komunikasi. Kesalahan berupa informasi yang hilang / tidak akurat, informasi tidak diberikan pada pihak yang benar dan tidak disampaikan pada waktu yang tepat. Hasil analisis akan dijadikan umpan balik bagi seluruh anggota tim untuk upaya perbaikan terus menerus. Proses edukasi bagi para staf tampaknya menjanjikan sebagai upaya untuk membudayakan keselamatan pasien di rumah sakit. Proses identifikasi dan verifikasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keselamatan pembedahan. Jaimovich menyatakan bahwa identifikasi keselamatan pembedahan mencari 6 benar, yaitu : (1) benar pasien, (2) benar tempat pembedahan, (3) benar prosedur, (4) benar bagian tubuh, (5) benar dokumen, dan (6) benar peralatan. Penelitian ini merupakan langkah awal sebuah penelitian yang lebih besar untuk melihat berbagai variabel lain yang berperan pada sistem verifikasi dan identifikasi untuk keselamatan pembedahan (safe surgery). Kesimpulan dan saran Proses verifikasi pra operasi merupakan salah satu upaya untuk mengurangi resiko kesalahan pembedahan. Rumah sakit telah mengembangkan sistem verifikasi dan daftar periksa serah terima persiapan operasi sebagai upaya untuk meningkatkan keselamatan pasien. Hasil uji coba yang dilakukan memperlihatkan ha hasil yang cukup menjanjikan. Upaya perbaikan terus dilakukan dan dikomunikasikan kepada seluruh pihak yang terkait Rizaldy Pinzon Jurnal Manajemen Pelayanan kesehatan Vol. 10 No. 3, September 2007