HUKUM KEDOKTERAN

advertisement
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN
1
Aries M
Hukum:
adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
suatu kekuasaan dalam mengatur pergaulan hidup dalam
masyarakat
Hukum Kedokteran:
- Merupakan bagian dari Hukum Kesehatan
- Menyangkut asuhan/ pelayanan kedokteran
(Medical Care/ pelayanan)
Profesi Kedokteran  tidak terpisahkan dengan pelayanan
kesehatan dan etika
2
Etika:
- Berasal dari kata Yunani Ethos
- Artinya:
3
- yang baik
- yang layak
- adalah norma-norma, nilai-nilai atau pola tingkah
laku kelompok profesi tertentu dalam memberikan
pelayanan jasa kepada masyarakat
- adalah ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang
baik dan yang buruk, yang patut dikerjakan
seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana
profesi
Persamaan Etika dan Hukum
1. Merupakan alat untuk tertibnya hidup bermasyarakat
2. Obyeknya adalah tingkah laku manusia
3. Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota
masyarakat, agar tidak saling merugikan
4. Menggugah kesadaran untuk bersikap manusiawi
5. Sumbernya adalah hasil pemikiran para pakar dan
pengalaman para anggota senior
4
Perbedaan Etika dan Hukum
1. Etika berlaku untuk lingkungan profesi, Hukum
berlaku untuk umum
2. Etika disusun berdasarkan kesepakatan anggota
profesi, Hukum disusun oleh Badan Pemerintahan
3. Etika tidak seluruhnya tertulis, Hukum tercantum
secara terinci dalam Kitab Undang-undang dan
lembaran/ Berita Negara
5
4. Sanksi pelanggaran etika berupa tuntunan, sanksi
pelanggaran hukum berupa tuntutan
5. Pelanggaran etika diselesaikan oleh MKEK yang
dibentuk oleh IDI, Pelanggaran Hukum selalu
diselesaikan melalui Pengadilan
6. Penyelesaian pelanggaran etika tidak selalu
disertai bukti fisik, penyelesaian pelanggaran
Hukum selalu disertai bukti fisik.
6
Sumber Hukum:
7
Undang-undang
Peraturan Pemerintah
Kepres
Per Pres
Kep Men
Per Men
Standar profesi
Standar Pelayanan Medis
Prosedur Tetap
dll
Persamaan Etika dan Hukum (no 3) :
Mengandung hak dan kewajiban anggota-anggota masyarakat, agar
tidak saling merugikan
Profesi Kedokteran
Proses Pelayanan Kesehatan
Hubungan dokter-pasien
Hak dan Kewajiban dokter-pasien
8
Input
Proses
Output
Outcome
-Profesi dokter atau dokter gigi, dll
- Etika
- Pasien dan keluarga
- Sarana Kesehatan
- Aturan-aturan yang berlaku
- Tindakan – tindakan kedokteran
9
UU no. 29/ 2004 tentang Praktek Kedokteran diatur
sangat jelas: Hak dan Kewajiban dokter-pasien:
Pasal 50 Hak dokter dan dokter gigi:
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi
dan standar prosedur operasional
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya, dan
d. Menerima imbalan jasa
10
Hak Dokter dan Dokter Gigi
- Menurut para pakar etika dan Hukum , Hak
tersebut tidak perlu ditonjolkan kecuali pasal 50
(c) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur
dari pasien & keluarganya
- Menolak bekerja diluar SPM
- Menolak tindakan yang bertentangan dengan kode
etik profesi Kedokteran
- Memilih pasien dan mengakhiri hubungan
profesional dengan pasien
11
- Hak atas Fair Play
Pasien tidak puas dengan perawatan yang diberikan,
dokter yang merawat berhak memperoleh pemberitahuan
pertama untuk peristiwa tersebut karena hubungan
profesional dokter-pasien diwarnai oleh kemauan atau
itikad baik kedua belah pihak.
- Mendapat informed consent dari pasien atau keluarganya
12
Pasal 51, Kewajiban Dokter dan Dokter Gigi
a. Memberikan Pelayanan Medis sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
b. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia
d. Melakukan pertolongan darurat medis atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya, dan
e. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi
13
Kewajiban dokter dan dokter gigi
- Bekerja sesuai SPM
- Memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap pasien
- Menyimpan rahasia jabatan atau pekerjaan medik ( diatur PP
No. 10/ 1966)
Dapat dikesampingkan dalam hal:
- Penyakit menular dan Asuransi
- Pasien mengijinkan secara tertulis
- Kepentingan yang lebih tinggi
- Menolong pasien Gawat Darurat
14
Pasal 52, Hak Pasien
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang
tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 45
ayat (3)
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain,
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan
medis
d. Menolak tindakan medis, dan
d. Mendapatkan isi rekaman medis
15
Hak Pasien :
- Memberikan persetujuan Tindakan Medis
Berkaitan dengan pasal 351 KUHP
Yang mengatur tentang Penganiayaan
- Memilih dokter dan Rumah Sakit
- Atas rahasia medis
16
Pasal 53, kewajiban pasien
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur
tentang masalah kesehatannya
b. Mematuhi nasehat dan petunjuk dokter atau
dokter gigi
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana
pelayanan kesehatan, dan
d. Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang
diterima
17
Kewajiban pasien:
Memberikan informasi yang lengkap & jujur
Informasi tidak lengkap/ salah
Sengaja menyembunyikan informasi
Timbul cedera
Dokter dapat terlepas dari kesalahan
Kewajiban berterus terang  Fair Play
18
Tujuan ilmu kedokteran:
1. Menyembuhkan dan mencegah penyakit
Hidup berkualitas
2. Meringankan penderitaan
3. Mendampingi pasien
Melihat pasien sebagaimana manusia yang seutuhnya.
19
Keadaan kritis, dokter berkewajiban mengusahakan agar
pasien didampingi oleh keluarga/ kerabat
Standar profesi dokter  dijadikan norma bagi pekerjaan
dokter:
1. Tindakan yang teliti dan hati-hati
2. Standar medis:
- Tindakan bersifat profesional
- Terapi harus dilakukan berdasarkan diagnosis
yang sudah ditegakkan.
- Dokter tidak dibenarkan melakukan tindakan
yang bukan wewenangnya atau di luar bidang
keahliannya.
20
3.
4.
5.
21
Kemampuan rata-rata dalam bidang
keahlian yang sama.
Situasi dan kondisi yang sama
RS type B ‡ RS type A
Asas proporsionalitas
Tidak boleh : - Diagnostic overkill
- Therapeutic overkill
22
Dokter
: - Mempunyai kebebasan profesional
tetapi tidak mempunyai kebebasan
terapeutik
- Dapat menolak melakukan perawatan/
pengobatan/ tindakan medis tertentu
apabila ia tidak dapat
mempertanggungjawabkannya secara
profesional
- Dapat mengakhiri hubungan dengan
pasien
Pasien
: - Mempunyai kebebasan terapeutik
Tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila
dipenuhi ketiga syarat berikut:
1.
2.
3.
Mempunyai indikasi medis kearah suatu tujuan
perawatan yang konkrit .
Dilakukan menurut ketentuan yang berlaku di dalam
ilmu kedokteran
Lege artis
Telah mendapat persetujuan pasien
Informed consent
23
Informed concent
Menurut pasal 45 UU no 29/2004
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan
dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus
mendapat persetujuan
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang –
kurangnya menyangkut :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
24
(4). Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan
baik secara tertulis maupun lisan
(5). Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan
25
Aspek hukum dari informed concent
I. Aspek hukum pidana
Dikaitkan dengan pasal 351 KUHP yaitu tentang penganiayaan
26
Tindakan medis oleh dokter, bukan merupakan penganiayaan
apabila memenuhi :
1). Pasien tersebut setuju dengan tindakan terhadap dirinya
tersebut.
2). Tindakan medis berupa pembedahan yang pada
hakekatnya juga menyayat, menusuk dan memotong tubuh
pasien berdasarkan suatu indikasi medik dan ditujukan
untuk suatu tujuan yang nyata.
3). Tindakan medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah
ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
Ketiga syarat tersebut saling melengkapi dan berkaitan,
sehingga pasal 351 KUHP dapat dikenakan bila salah satu
diantaranya tidak dipenuhi, terlupakan atau terabaikan.
Perbuatan yang dapat dikategorikan dalam malpraktek pidana
1. Tindak pelanggaran kesopanan ( pasal-pasal 290,294,285 dan
286 KUHP )
2. Pengguguran kandungan tanpa indikasi medik ( pasal-pasal
299,348,349 dan350 KUHP )
3. Sengaja membiarkan pasien tidak tertolong ( pasal 322 )
4. Membocorkan rahasia medik ( pasal 322 )
5. Lalai sehingga mengakibatkan kematian atau luka-luka ( pasal
359, 360 dan 361 KUHP )
6. Memberikan atau menjual obat palsu ( pasal 386 KUHP )
7. Membuat surat keterangan palsu ( pasal 263 dan 267 KUHP )
8. Melakukan Euthanasia ( pasal 344 KUHP )
27
II. Aspek hukum perdata
• Tanggung jawab profesional sangat erat dengan ketentuan mengenai
perikatan, menyangkut perjanjian perawatan maupun terapeutik.
• Perikatan upaya/usaha maksimal  inspanningsverbintenis
• Bukan perjanjian berdasarkan hasil  resultaatverbintenis
• Pasal 1320 KUHPerdata menegaskan bahwa untuk sahnya suatu
perjanjian harus dipenuhi 4 syarat :
1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari
paksaan, kekeliruan, salah paham, dan penipuan.
2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan.
4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang
dibenarkan dan tidak dilarang oleh peraturan perundangundangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk
dipenuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.
28
Kemungkinan-kemungkinan malpraktek perdata
dapat terjadi untuk hal-hal sebagai berikut :
1. Wanprestasi ( pasal 1239 KUH Perdata )
2. Perbuatan melanggar hukum ( pasal 1365 KUH Perdata )
3. Melalaikan kewajiban ( pasal 1367 KUH Perdata )
4. Kelalaian yang mengakibatkan kerugian ( pasal 1366
KUHPerdata )
29
Para pakar hukum :
• Mengingatkan bahwa suatu pernyataan persetujuan adalah
sah, jika sebelumnya diberikan informasi yang cukup terlebih
dahulu ( voldoende informatie )
• Hukum Perdata menganut prinsip “ Barang siapa merugikan
orang lain, harus memberikan ganti rugi ”.
• Dianggap wanprestasi,
apabila salah satu pihak tidak melakukan, terlambat
melakukan, salah melakukan ataupun melakukan apa yang
tidak boleh dilakukan menurut perjanjian tadi.
30
Situasi Khusus yang berkaitan dengan Informed
concent
A. Keadaan Gawat Darurat ( Emergency )
Doktrin yang diakui dalam dunia kedokteran tentang keadaan
gawat darurat meliputi empat hal :
1. Syok
2. Perdarahan
3. Patah tulang
4. Kesakitan
Sedangkan rumusan George J. Anas adalah
“... Any injury or acuta medical condition liable to cause death,
disability or serious illnes if not immediately attended to”.
31
Leenen, menjelaskan mengenai fiksi hukum bahwa seseorang
yang berada dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa
yang umumnya akan disetujui oleh seorang yang berada dalam
keadaan sadar, pada situasi dan kondisi sakit yang sama
Presumed concent
Dasar hukumnya adalah pasal 1354 KUH Perdata, yang mengatur
tentang perwalian sukarela atau zaakwaarneming
Apabila dokter menunda operasi hanya karena belum ada izin
untuk itu dan kemudian terjadi akibat yang serius atau fatal
karena penundaan tersebut, justru dokter dapat dituntut karena
kelalaian.
32
B. Pembiusan ( Anesthesia )
Pasal 89 KUHP menyatakan membuat seseorang tidak
berdaya atau pingsan, dapat dikategorikan sebagai tindak
kekerasan.
Mengingat sifat dan tanggungjawab yang khusus dari tindak
pembiusan dalam suatu pembedahan
Perlu informed concent tersendiri
C. Operasi tambahan ( Extended Operation )
Secara hukum operasi tambahan tetap harus meminta izin
tersendiri, kecuali bila patologi ( kelainan ) itu akan
membahayakan jiwa pasien bila tidak diambil tindakan
segera.
33
D. Blanket concent
adalah formulir pernyataan persetujuan yang mencantumkan “...
Saya (baca: Pasien) menyetujui segala tindakan medik yang
akan dilakukan dan membebaskan dokter dari segala tuntutan
hukum”.
Dari sudut Hukum Pidana maupun Hukum Perdata atau
Administratif, jelas bahwa sebenarnya tidak mempunyai
kekuatan hukum sama sekali.
Harus ditegaskan sekali lagi bahwa pemenuhan atas Standart
Profesi Medik (SPM) dan inform concent dalam arti sebenar –
benarnya, telah cukup untuk membebaskan dokter dari
pelbagai tuntutan ataupun gugatan hukum.
34
Implikasi keberadaan Informed Concent
1. Apakah dengan informed concent itu dokter kemudian dapat
bertindak sekehendak hatinya ?
1. Apakah informed concent itu juga berarti bahwa pasien
menyetujui tindakan-tindakan dokter yang bertentangan
dengan SPM ?
2. Apakah dengan keberadaan informed concent, segala akibat
(terutama yang negatif) yang timbul kemudian tetap menjadi
tanggung jawab dokter seluruhnya, meskipun dokter telah
memenuhi SPM ?
35
Implikasi keberadaan Informed Concent
Bila dokter telah memenuhi informed concent dan SPM, tetapi
timbul juga akibat negatif yang tidak sesuai dengan harapan,
maka dokter tersebut tidak dapat dipidana ataupun membayar
kerugian apapun.
Harus diingat bahwa selalu ada kemungkinan tujuan tindak
medik tidak tercapai ataupun risiko-risiko yang tidak dapat
diperkirakan atau hal-hal lain yang secara hukum tidak dapat
dilimpahkan tanggungjawabnya kepada dokter yang
melakukan tindak medik tersebut.
36
Dasar-dasar Peniadaan Hukuman dalam
Hukum Kedokteran
Guwandi menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan
hukuman atau kesalahan khusus bidang medik :
1. Risiko pengobatan (risk of treatment )
a. Risiko yang inheren atau melekat
b. Reaksi alergik
c. Komplikasi dalam tubuh pasien
2. Kecelakaan medik ( medical accident )
3. Kekeliruan penilaian klinis ( Non-negligent error of judgement )
4. Volenti non fit iniura
5. Contributory negligence
37
• Dalam tindakan medik, selalu ada risiko yang melekat pada tindak
medik tersebut.
• Apabila dokter melakukan tindakan medik dengan hati-hati, seiizin
pasien dan berdasarkan SPM, tetapi ternyata risiko itu tetap terjadi,
maka dokter tidak dapat dipersalahkan.
Demikian pula bila terjadi reaksi alergi yang tidak dapat diperkirakan
sebelumnya, seperti halnya komplikasi yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya
• Dalam hal terjadi kecelakaan medik, perlu direnungkan ucapan
seorang hakim yang mengadili suatu perkara, yaitu “Kita memang
mensyaratkan bahwa seorang dokter harus bertindak hati-hati
pada setiap tindakan medik yang dilakukan. Namun demikian kita
tidak dapat mencap begitu saja sebagai tindak kelalaian terhadap
suatu yang sebenarnya adalah suatu kecelakaan”.
38
• Kekeliruhan penilaian klinis
Teori respectable minority rule, menyebutkan bahwa seorang
dokter tidak dianggap lalai apabila ia memilih salah satu dari
sekian banyak cara pengobatan yang diakui oleh dunia
kedokteran.
Lord Denning (seorang hakim) menyatakan tentang kesalahan
klinis, “ apabila seorang dokter selalu dianggap bertanggung
jawab apabila terjadi sesuatu atau bila tidak berhasil
menyembuhkan, maka hal ini pada akhirnya akan merugikan
masyarakat itu sendiri. Pada seorang profesional, suatu
kesalahan dalam pertimbangan (error of judgement) bukanlah
kelalaian. Mungkin pertimbangannya telah keliru, tetapi ia atau
dokter lainpun tidak mungkin akan selalu benar”.
39
• Volenti Non Fit Iniura
Didasarkan pada pandangan bahwa bila seseorang telah
mengetahui adanya suatu risiko dan secara sukarela
bersedia menanggung risiko tersebut, jika kemudian risiko
itu benar-benar terjadi maka ia tidak lagi dapat menuntut
( He who willingly undertakes a risk cannot after wards
complain ).
• Contributory Negligence
Digunakan untuk sikap-tindak yang tidak wajar dari pihak
pasien, yang mengakibatkan kerugian atau cedera pada
dirinya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter
terdapat pula kelalaian atau tidak. Sikap-tindak yang
demikian ini, sengaja ataupun tidak sengaja dapat
merupakan dasar peniadaan hukuman pada pihak dokter.
40
 Penulis-penulis lain juga menambahkan bahwa adanya dasar
Peniadaan Hukuman tersebut tidak berarti kemudian dokter
dapat bertindak menyimpang dari SPM dan informed concent
Pemenuhan terhadap SPM dan informed concent merupakan
satu-satunya ketentuan dasar untuk meniadakan sifat
bertentangan dengan hukum dari suatu tindakan medik
 Kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat
seharusnya disambut dengan gembira oleh semua pihak dan
menjadi dorongan agar para dokter lebih menghayati hukum
yang melandasi profesinya.
Perlu direnungkan suatu ucapan filsafat :
if not we, then who?
if no now, then when ?
41
Kasus Prita “Versus” Akhlak Dokter
Oleh HANDRAWAN NADESUL
42
Penilaian dan sikap pengendalian masyarakat pasien sebagai sistem
kontrol yang efektif terhadap eloknya layanan medis
(Telaah Kisch & Reeder)
Kasus Prita bukan cuma satu. Tak sedikit pasien kita yang
dikecewakan dokter atau rumah sakit akhirnya merasa
terabaikan
43
Tanpa melacak apa di balik kasus itu, kasus Prita masih akan terus
menjadi endemis. Anggapan bahwa “dokter selalu benar, pasien pasti
salah” atau “mana mungkin pasien salah, dokter pasti salah” perlu
dilempangkan.
Dokter dan rumah sakit bukan pihak yang untouchable. Kerja profesi
dokter sudah lengkap diberi “pagar”. Pendidikan etika kedokteran saat
sekolah, sumpah dokter kepada Yang Maha Mengawasi saat lulus, dan
selama berpraktik dokter dipandu oleh perangkat Undang-Undang
Kesehatan, Undang-Undang Perlindungan konsumen dan Undang-undang
Praktik Kedokteran. Tiap dokter menginsafi semua itu.
Dokter mau berbicara
Bukan sikap kesengajaan profesi dokter kalau muncul kasus.
Bukan karena semua dokter ingin melompati “pagar” yang
disepakati. Lebih sering, ada yang lebih kuat dari hanya hukum dan
regulasi jika praktik dokter tampil tak elok di mata pasien.
Ada dua hal yang membuat kinerja profesi dokter tidak elok,
yaitu komunikasi dokter dengan pasien dan akhlak dokter sendiri.
Soal komunikasi, harus diakui, opini pasien ihwal penyakitnya
belum tentu sama dengan opini medis. Makin terbatas wawasan
medis pasien, makin banyak yang perlu dokter komunikasikan.
Salah sangka pasien terhadap kasus medisnya lebih sering karena
dokter menjawab pasien jika ditanya.
Kasus Steven – Johnson misalnya. Ini kasus alergi hebat yang
bisa mengancam nyawa pasien akibat obat atau suntikan. Kita tahu,
dalam kondisi berobat, pasien kita umumnya tak memiliki “paspor”
kesehatan selain tak punya dokter keluarga. Pasien kita umumnya
selalu asing dimata dokter yang dikunjunginya.
44
Secara medis, tanpa data lengkap pasien, sulit bagi
dokter meramal reaksi alergi hebat yang mungkin menimpa
pasien. Selain itu, karena keterbatasan waktu praktik, banyak
dokter juga kurang mengorek kondisi medis pasien yang
belum dikenal. Jika saja dokter lebih banyak bertanya,
misalnya adakah bakat alergi, dan menjelaskan kemungkinan
alergi hebat bisa terjadi sehabis berobat, dan sekiranya
sampai muncul kasuspun, tentu tak sampai diopinikan
sebagai malapraktik karena pasien sudah tahu jika resiko itu
bakal terjadi. Hingga kini, kasus Steven-Johnson diopinikan
masyarakat sebagai kesalahan pihak medis.
Kasus Prita muncul karena tidak dibangun komunikasi
dokter dengan pasien. Tanpa penjelasan apa yang dilakukan
dokter dan yang akan dialami pasien serta akibat yang
mungkin muncul dari berobat, keterbatasan wawasan pasien
ihwal penyakitnya mungkin melahirkan opini miring yang
justru merugikan dokter
45
Merawat akhlak dokter
Tiap dokter mengetahui kewajiban pribadi dan hak pasien. Bukan
melalaikan keinsafan itu saja jika kasus malpraktik dan misconduct
(bersikap judes, marah, tak ramah) masih muncul. Sejatinya kompetensi
dokter dan pasien kelewat senjang. Otonomi dokter nyaris tak terbatas.
Tanpa keindahan akhlak, praktik dokter tampil tidak profesional.
Industri medis yang kita anut dan fakta yang merongrong moral
dokter adalah rumah sakit harus berinvestasi dan perlu berhitung agar
tetap melaba. Pasien yang dilayanipun melebihi jumlah dokter sehingga
tergoda berpraktik hingga larut malam dengan konsekuensi praktiknya
tidak lagi profesional berpotensi membahayakan pasien.
Mengingat penghargaan pemerintah tak memadai, ada banyak
dokter memilih menerima iming-iming dari perusahaan farmasi. Ini
mengakibatkan harga obat mahal dan harus dipikul pasien.
46
Praktik memberi obat yang tak perlu dan memilih yang lebih
mahal (iatrogenic dan poly pharmacy) mencitrakan dokter tidak lagi
melihat profesinya.
Dokter dan rumah sakit bisa terjebak berlaku nakal dengan
memanfaatkan ketidaktahuan pasien yang terperdaya jika orientasi
profesi dokter hanya demi duit. Tanpa akhlak yang elok, hukum
medis bisa ditekuk, regulasi medis bisa dilipat, dan dokter
memanfaatkan kekuasaannya yang tinggi. Rekam medis sebagai
satu-satunya bukti tindak malapraktik ada dibawah kekuasaan
dokter.
Otonomi profesi dokter kelewat tinggi sehingga jika akhlak
dokter lumpuh, dokter bisa berkelit dari tudingan melakukan
kesalahan. Hukum dan regulasi medis bisa ditaklukan. Namun, tidak
demikian bila akhlak dokter terawat.
47
Hak pasien harus difungsikan. Wawasan kesehatan masyarakat
perlu bertambah cerdas agar lebih kritis dan skeptis atas layanan
medis yang diterima. Sadar akan hak sebagai pasien dan kaya
wawasan kesehatan membantu dokter merawat akhlaknya. Dokter
tidak sembarangan melakukan pekerjaan profesinya. Kita sepakat, tak
ada yang lebih berkuasa dari akhlak dalam keunggulan profesi
apapun.
Akhlak dokter tidak boleh dikalahkan oleh apapun dan tetap
eling akan sumpah profesi yang merupakan janji kepada Yang Maha
Melihat. Jadi, tak ada pilihan bagi dokter yang ingin tetap profesional,
mendahulukan kepentingan pasien dan memilih berpraktik dengan
hati.
Handrawan Nadesul
Dokter; Pengasuh Rubrik Kesehatan;
dan Penulis Buku
Sumber: KOMPAS, Sabtu 6 Juni 2009, hal 6
48
TERIMA KASIH
49
Download