BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lemak dan Minyak Lemak dan minyak

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lemak dan Minyak
Lemak dan minyak
yang umum digunakan dalam pembuatan sabun
adalah trigliserida dengan tiga buah asam lemak yang tidak beraturan
diesterifikasi dengan gliserol. Masing–masing lemak mengandung sejumlah
molekul asam lemak dengan rantai karbon panjang antara C12 (asam laurat)
hingga C18 (asam stearat) pada lemak jenuh dan begitu juga dengan lemak tak
jenuh. Campuran trigliserida diolah menjadi sabun melalui proses saponifikasi
dengan larutan natrium hidroksida membebaskan gliserol. Sifat – sifat sabun yang
dihasilkan ditentukan oleh jumlah dan komposisi dari komponen asam – asam
lemak yang digunakan. Komposisi asam – asam lemak yang sesuai dalam
pembuatan sabun dibatasi panjang rantai dan tingkat kejenuhan (Tambun,
2006:1).
Pada umumnya, panjang rantai yang kurang dari 12 atom karbon dihindari
penggunaanya karena dapat membuat iritasi pada kulit, sebaliknya panjang rantai
yang lebih dari 18 atom karbon membentuk sabun yang sangat sukar larut dan
sulit menimbulkan busa. Terlalu besar bagian asam – asam lemak tak jenuh
menghasilkan sabun yang mudah teroksidasi bila terkena udara. Alasan – alasan
di atas, faktor ekonomis, dan daya jual menyebabkan lemak dan minyak yang
dapat dibuat menjadi sabun terbatas.
Minyak dan lemak yang telah dipisahkan dari jaringan asalnya
mengandung sejumlah kecil komponen selain trigliserida, yaitu: lipida kompleks
(lesitin, sephalin, fosfatida lainnya, glikolipida), sterol yang berada dalam keadaan
5
bebas atau terikat dengan asam lemak, asam lemak bebas, lilin, pigmen yang larut
dalam lemak, dan hidrokarbon. Komponen tersebut mempengaruhi warna dan
flavor produk (Budimarwanti, 2008 : 1).
Gambar 1. Reaksi hidrolisis trigliserida sebagai berikut:
Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu
dan nilai gizi dari bahan pangan yang digoreng. Pada lemak dan minyak dikenal
ada dua tipe kerusakan yang utama, yaitu ketengikan dan hidrolisis. Ketengikan
terjadi bila komponen cita-rasa dan bau mudah menguap terbentuk sebagai akibat
kerusakan oksidatif dari lemak dan minyak yang tak jenuh. Komponen-komponen
ini menyebabkan bau dan cita-rasa yang tidak dinginkan dalam lemak dan minyak
dan produk-produk yang mengandung lemak dan minyak (Raharjo, S. dalam
Hermanto, 2010 : 263)
2.2 Sabun
Sabun adalah surfaktan atau campuran surfaktan yang digunakan dengan
air untuk mencuci dan membersihkan lemak (kotoran). Sabun memiliki struktur
kimiawi dengan panjang rantai karbon C12 hingga C16. Sabun bersifat ampifilik,
yaitu pada bagian kepalanya memiliki gugus hidrofilik (polar), sedangkan pada
bagian ekornya memiliki gugus hidrofobik (non polar) (Nurhadi, 20012:6).
6
Gambar 2. Persamaan reaksi penyabunan
O
CH2
O
C
R1
R1CO2K
CH2
OH
R2CO2 K +
CH
OH
O
CH
O
C
R2
+
3 KOH
O
CH2 O
C
R3
R3CO2K
Minyak
sabun
CH 2 OH
gliserol
Sabun adalah produk yang dihasilkan dari reaksi antara asam lemak
dengan basa kuat. Sementara itu, sabun yang di dalam SNI (1994) disebut sebagai
sabun mandi didefinisikan sebagai sabun natrium yang pada umumnya
ditambahkan zat pewangi atau antiseptik dan digunakan untuk membersihkan
tubuh dan tidak membahayakan kesehatan. Yui (1996) mengatakan bahwa sabun
adalah senyawa garam dari asam monokarboksilat rantai panjang (C12-C18)
dengan logam alkali yang umumnya berupa natrium (Avitch 2001 dalam
Gunawan, 2011)
2.2 1. Sejarah Sabun
Tak ada catatan pasti, kapan nenek moyang kita mulai bersabun. Konon,
tahun 600 SM masyarakat Funisia di mulut Sungai Rhone sudah membuat sabun
dari lemak kambing dan abu kayu khusus. Mereka juga membarterkannya dalam
berdagang dengan bangsa Kelt, yang sudah bisa membuat sendiri sabun dari
bahan serupa. Pliny (23–79) menyebut sabun dalam Historia Naturalis, sebagai
7
bahan cat rambut dan salep dari lemak dan abu pohon beech yang dipakai
masyarakat di Gaul, Prancis (Tambun, 2006 : 104).
Akhir tahun 1700-an Nicolas Leblanc, kimiawan Prancis, menemukan,
larutan alkali dapat dibuat dari garam meja biasa. Sabun pun makin mudah dibuat,
alhasil sabun terjangkau bagi semua orang. Di Amerika Utara industri sabun lahir
tahun 1800-an. "Pengusaha-"nya mengumpulkan sisa-sisa lemak yang lalu
dimasak dalam panci besi besar. Selanjutnya, adonan dituang dalam cetakan
kayu. Setelah mengeras, sabun dipotong-potong, dan dijual dari rumah ke rumah
(Tambun, 2006:105).
2.2 2. Jenis - Jenis Sabun
Berdasarkan jenisnya, sabun dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sabun
opaque, sabun transparan dan sabun translusen. Ketiga jenis sabun tersebut dapat
dibedakan dengan mudah dari penampakannya. Sabun opaque adalah jenis sabun
yang biasa digunakan sehari-hari yang berbentuk kompak dan tidak tembus
cahaya; sabun transparan merupakan sabun yang paling banyak meneruskan
cahaya jika pada batang sabun dilewatkan cahaya; sedangkan sabun translucent
merupakan sabun yang sifatnya berada di antara sabun transparan dan sabun
opaque. Sabun transparan mempunyai harga yang relatif lebih mahal dan
umumnya digunakan oleh kalangan menengah atas (Jungermann, dalam Gunawan
2011:9).
Sabun mandi terdiri dari cold-made, opaque dan sabun transparan. Sabun
mandi cold-made kurang terkenal, tetapi sabun ini mempunyai kemampuan busa
baik dalam air garam. Sabun mandi ini biasanya banyak digunakan oleh para
8
pelaut. Sabun opaque adalah jenis sabun mandi yang biasa digunakan sehari-hari.
Sabun transparan atau disebut juga sabun gliserin mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan jenis sabun lain, yaitu mempunyai tampilan yang lebih
menarik (berkilau) jika dibandingkan dengan jenis sabun lain serta dapat
menghasilkan busa lebih lembut di kulit (Jungermann, 1979). Sabun jenis ini
mempunyai harga yang sangat mahal dan hanya dapat dikonsumsi oleh kalangan
menengah ke atas (Purnamawati, 2006:7).
2.2 3. Sabun Transparan
Gambar 3. sabun transparan
Sabun transparan dapat dihasilkan dengan sejumlah cara yang berbeda.
Salah satu metode yang tertua adalah dengan
cara melarutkan sabun dalam
alkohol dengan pemanasan lembut untuk membentuk larutan jernih, yang
kemudian diberi pewarna dan pewangi. Warna sabun tergantung pada pemilihan
bahan awal dan bila tidak digunakan bahan yang berkualitas baik, kemungkinan
sabun yang dihasilkan akan berwarna sangat kuning (Butler, dalam Qisti 2009:8).
Sabun transparan merupakan sabun yang memilki tingkat transparansi
paling tinggi. Ia memancarkan cahaya yang menyebar dalam bentuk partikelpartikel yang kecil, sehingga obyek yang berada di luar sabun akan kelihatan
9
jelas. Obyek dapat terlihat hingga berjarak sampai panjang 6 cm (Cavith, 2001
dalam Purnamawati, 2006:15).
Proses pembuatan sabun dapat dilakukan dengan dua cara yaitu proses
saponifikasi dan proses netralisasi. Pada proses saponifikasi akan diperoleh
produk samping berupa gliserol, sedangkan sabun yang diperoleh dengan proses
netralisasi tidak menghasilkan gliserol. Proses saponifikasi terjadi karena reaksi
trigliserida dengan alkali, sedangkan proses netralisasi terjadi karena reaksi antara
asam lemak bebas dengan alkali (Fitrianti, 2007)
2.3 Asam Sitrat
Asam sitrat diyakini ditemukan oleh alkimiawan Arab-Yemen (kelahiran
Iran) yang hidup pada abad ke-8, Jabir Ibn Hayyan. Pada zaman pertengahan, para
ilmuwan Eropa membahas sifat asam sari buah lemon dan limau; hal tersebut
tercatat dalam ensiklopedia Speculum Majus (Cermin Agung) dari abad ke-13
yang dikumpulkan oleh Vincent dari Beauvais. Asam sitrat pertama kali diisolasi
pada tahun 1784 oleh kimiawan Swedia, Carl Wilhelm Scheele, yang
mengkristalkannya dari sari buah lemon. Pembuatan asam sitrat skala industri
dimulai pada tahun 1860, terutama mengandalkan produksi jeruk dari Italia
(Harsanti, 2010)
Asam sitrat adalah asam hidroksi trikarboksilat (2 hidroksi – 1, 2, 3 –
propana trikarboksilat) yang diperoleh dari ekstraksi buah-buahan atau hasil
proses fermentasi. Asam sitrat merupakan senyawa organik yang pertama kali
diisolasi dan dikristalkan oleh Scheele pada tahun 1784 dari sari buah jeruk
10
kemudian dibuat secara komersial pada tahun 1860 di Inggris (Wertheim dan
Jeskey dalam Purnamawati, 2006).
Gambar 4. Struktur kimia asam sitrat (Dalimunthe, 2009)
Keasaman asam sitrat disebabkan oleh adanya tiga gugus karboksil
(COOH), dimana dalam bentuk larutan masing-masing gugus akan melepaskan
ion protonnya. Jika ini terjadi maka akan terbentuk ion sitrat. Sitrat membuat
penyangga yang sangat baik untuk mengendalikan pH (Purnamawati, 2006).
Ion sitrat dapat bereaksi dengan banyak ion logam dengan pengkelatan,
sehingga digunakan sebagai pengawet dan penghilang kesadahan air. Pada
temperatur kamar, asam sitrat berbentuk serbuk Kristal berwarna putih. Serbuk
kristal ini dapat berupa bentuk anhydrous (bebas air) atau bentuk monohidrat yang
mengandung satu molekul air untuk setiap molekul asam sitrat. Secara kimia,
asam sitrat bersifat seperti asam karboksilat lainnya, jika dipanaskan di atas
temperatur 175 oC asam sitrat terurai dengan melepaskan karbon dioksida dan air
(Harsanti, 2010).
Metode yang umum dipakai untuk menyingkirkan kontaminasi logam,
yang khususnya bermanfaat sebagai proses tambahan pada deodorisasi adalah
dengan memanfaatkan senyawa yang disebut penyapu logam yang dapat
membentuk suatu kompleks tidak aktif dengan besi dan logam-logam berat
11
lainnya. Senyawa yang dikenal di mancanegara selama bertahun-tahun sebagai
penyapu logam tersebut adalah senyawa-senyawa asam seperti asam fosfat dan
asam organik (Purnamawati, 2006).
2.4 Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng 1 kali Penggorengan
Dalam penelitian ini sebelum dilakukan pembuatan pupuk kalium sulfat
terlebih dahulu dilakukan pembuatan gliserol hasil samping produksi biodiesel
dari minyak goreng bekas 1 kali penggorengan atau reaksi transesterifikasi dan
pemurnian gliserol dengan metode acetin. Langkah awal pembuatan gliserol hasil
samping produksi biodiesel dari minyak goreng bekas 1 kali penggorengan ini
dilakukan untuk menghasilkan biodiesel dengan hasil sampingnya berupa gliserol.
Setelah gliserol didapatkan maka dianalisis terlebih dahulu dengan metode acetin
untuk memperoleh konversi gliserol.
Pada pembuatan gliserol hasil samping produksi biodiesel dari minyak
goreng bekas 1 kali penggorengan, 250 mL minyak penggorengan 1 kali
dipanaskan pada suhu 100oC untuk menghilangkan kandungan air yang ada pada
minyak. Kemudian suhu diturunkan menjadi 65oC. Dalam tempat terpisah di
campur 50 mL metanol dan 1% katalis KOH, kemudian dipanaskan pada suhu
yang sama yaitu 65oC. Setelah mencapai pada suhu yang sama, keduanya di
campur dalam labu leher tiga, dan di refluks dengan kecepatan pengadukan 500
rpm selama 1 jam untuk menghasilkan metil ester dan gliserol kasar.
Adapun mekanisme reaksi transesterifikasi yang terjadi antara minyak
goreng bekas dengan menggunakan katalis KOH,
12
O
H2C-OOCR
H2C-OH
R-C-OCH3
O
Katalis
HC-OOCR1 + 3CH3OH
HC-OH +
R1- C-OCH3
O
KOH
H2COOCR2
Trigliserida
H2C-OH
Metanol
Gliserol
R2- C-OCH3
Metil ester
Gambar 5 Mekanisme Reaksi Transesterfikasi
Dalam mekanisme reaksi ini alkohol di reaksikan dengan ester untuk
menghasilkan ester baru, sehingga terjadi pemecahan senyawa trigliserida untuk
mengadakan migrasi gugus alkil antar ester. Ester baru yang dihasilkan disebut
dengan biodiesel (Adam, 2012).
Proses reaksi transesterifikasi ini dilakukan dengan dilihat dari kandungan
asam lemak yang terdapat dalam minyak. Jika minyak mengandung FFA di atas
5% maka proses esterifikasi dengan katalis asam diperlukan, dan jika asam lemak
minyak di bawah 5% maka langsung di transesterifikasi dengan katalis basa.
Karena FFA yang terdapat dalam sampel minyak goreng bekas pada penelitian ini
adalah 0,106%, maka proses reaksi yang dilakukan langsung menggunakan reaksi
transesterifikasi (Hikmah dan Zuliani, 2010)
Minyak yang akan di transesterifikasi juga harus memiliki angka asam
yang lebih kecil dari 1. Banyak peneliti yang menyarankan agar kandungan asam
lemak bebas lebih kecil dari 0,5%. Selain itu, semua bahan yang akan digunakan
harus bebas dari air. Karena air akan bereaksi dengan katalis, sehingga jumlah
katalis menjadi berkurang. Katalis harus terhindar dari kontak dengan udara agar
13
tidak mengalami reaksi dengan uap air dan karbon dioksida (Bradshaw and
Meuly, dalam Hikmah dan Zuliani, 2010).
Salah satu reaksi kimia yang dapat menghasilkan gliserol adalah proses
transesterifikasi minyak nabati menghasilkan metil ester (biodiesel) menggunakan
alkohol (metanol) dengan tambahan katalis basa. Dengan pengembangan industri
biodiesel yang semakin intensif dengan berbagai jenis minyak nabati sebagai
bahan baku, maka produksi gliserol kasar sebagai hasil sampingnya juga akan
melimpah. Oleh karena itu diversikan produk olahan menggunakan gliserol perlu
dilakukan salah satunya dalam pembuatan sabun transparan (Suryani, 2007).
Dari uraian di atas pada proses pembuatan biodiesel yang perlu kita
ketahui bahwa jika asam lemak bebas dalam minyak rendah maka reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa langsung dilakukan tanpa melakukan reaksi
esterifikasi tetapi jika, minyak mengandung asam lemak bebas tinggi maka perlu
dilakukan reaksi esterifikasi dengan katalis asam. Perlunya reaksi pendahuluan ini
untuk mengurangi kandungan asam lemak bebas dalam minyak, kemudian
dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi (Adam, 2012)
2.5 Pemurnian Gliserol dengan Metode Acetin
Setelah diperoleh gliserol dari hasil samping pembuatan biodiesel dan
sebelum digunakan sebagai sampel untuk membuat pupuk kalium sulfat terlebih
dahulu gliserol dianalisis dengan metode acetin untuk memperoleh konversi
gliserol.
Pada pemurnian gliserol dengan metode acetin, Gliserol yang diperoleh
dari proses pembuatan biodiesel belum bernilai ekonomis, sebab masih
14
mengandung zat lain selain gliserol. Agar gliserol bernilai ekonomis maka
dilakukan pemurnian terlebih dahulu menggunakan analisis gliserol dengan
metode acetin. Pada metode acetin gliserol hasil samping pembuatan biodiesel ini
masih mengandung metanol. Untuk memisahkan metanol dari gliserol dilakukan
pemanasan sampai suhu 60oC. Tujuan dari pemanasan ini adalah untuk
menguapkan sisa metanol, sehingga didapatkan gliserol bebas metanol. Gliserol
bebas metanol ditempatkan pada erlenmeyer dan ditambahkan ke dalamnya 3
gram natrium asetat dan 7,5 mL asam asetat anhidrat. Campuran ini selanjutnya
dipanaskan selama 1 jam. Dilakukannya pemanasan ini agar campuran larutan
bisa tercampur sempurna. Karena pada saat sebelum dilakukan pemanasan
natrium asetet dan asam asetat anhidrat tidak bercampur dengan gliserol.
Kemudian pada tempat terpisah dipanaskan 50 mL aquades, dan dimasukkan ke
dalam Erlenmeyer yang berisi gliserol, natrium asetat dan asam asetat anhidrat.
Kemudian
campuran
ditambahkan
4
tetes
indikator
pp,
dan
dinetralisasikan dengan basa NaOH 3N sampai terbentuk warna merah muda.
Ditambahkan lagi dengan 10 mL NaOH 1N, penambahan larutan ini untuk
memperoleh NaOH yang berlebihan. Campuran selanjutnya dipanaskan selama 15
menit, pada saat pemanasan warna daripada larutan semakin memudar, ini terjadi
karena proses pemanasan mempengaruhi netralisasi pada larutan. Setelah
dipanaskan kemudian didinginkan kembali untuk memperoleh netralisasi larutan
kembali. Setelah dingin, campuran dititrasi dengan HCl 0,5N sampai warna merah
muda hilang atau proses netralisasi berhenti. Setelah dilakukannya metode acetin
15
ini maka didapatkan konversi gliserol dengan menggunakan persamaan pada
Lampiran 3 (Adam, 2012)
Derajat kemurnian gliserol tertinggi sebesar 98,04%. Sedangkan derajat
kemurnian gliserol terendah yaitu 12,45%. Jadi, semakin kecil derajat kemurnian
gliserol yang diperoleh maka semakin kecil pula kemurnian gliserolnya dan
semakin besar derajat kemurnian yang diperoleh atau mendekati angka kemurnian
tertinggi dari gliserol maka semakin besar pula derajat kemurnian gliserol yang
digunakan (Mappiratu dan Ijirana, 2009)
2.6 Penjelasan Mengenai Bahan Baku Yang digunakan Pada Pembuatan
Sabun Transparan
1. Asam stearat
Asam stearat berbentuk padatan berwarna putih kekuningan (Wade dan
Weller, 1994). Asam stearat memilki atom karbon C18 yang merupakan asam
lemak jenuh dan berperan dalam memberikan konsistensi dan kekerasan pada
produk (Mitsui, 1997). Asam stearat mempunyai titik cair pada suhu 69,4oC
(Ketaren dalam Purnawati, 2006:36).
2. Minyak kelapa
Minyak kelapa diperoleh dari kopra yaitu daging buah kelapa yang sudah
dikeringkan. Minyak kelapa mengandung asam laurat C12 yang berperan dalam
proses pembentukan sabun dan pembusaan (Cavith dalam Purnawati, 2006:36).
3. Natrium hidroksida (NaOH)
NaOH merupakan salah satu jenis alkali (basa) kuat yang bersifat korosif
serta mudah menghancurkan jaringan organik yang halus. Ion Na+ dari NaOH
16
bereaksi dengan asam lemak membentuk sabun (Cavith dalam Purnawati,
2006:37).
4. Gliserol
Gliserol berbentuk cairan jernih, tidak berbau dan memiliki rasa manis.
Gliserin diperoleh dari hasil samping proses pembuatan sabun atau dari asam
lemak tumbuhan dan hewan (Purnawati, 2006 : 37).
5. Asam sitrat
Asam sitrat adalah asam hidroksi trikarboksilat yang diperoleh dari
ekstraksi buah-buahan atau hasil proses fermentasi. (Wertheim dan Jeskey, 1956).
Asam sitrat berfungsi untuk menurunkan nilai pH (Kirket al. dalam Purnawati,
2006:37)
6. Sukrosa
Sukrosa merupakan senyawa nonionik dan mempunyai sifat pengemulsi,
pembusaan, deterjensi (detergency),dan pelarutan (solubizing) yang sangat baik
(Gupta et al. dalam Purnamawati, 2006:38).
17
Download