keuangan negara, perkembangan moneter dan

advertisement
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN
LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
BAB IV
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN
LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan pembangunan nasional memerlukan pembiayaan dalam
jumlah yang besar. Dalam menggariskan arah pembangunan jangka panjang
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) memberikan petunjuk bahwa
pelaksanaan pembangunan harus berlandaskan kemampuan sendiri,
sedangkan dana luar negeri merupakan pelengkap. Lebih lanjut GBHN
menggariskan bahwa pengerahan dana dari dalam negeri, yang terdiri dari
tabungan Pemerintah dan tabungan masyarakat, perlu ditingkatkan dengan
sungguh-sungguh sehingga peranan bantuan luar negeri semakin berkurang
dan pada akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan.
Untuk pelaksanaan Repelita V GBHN menggariskan bahwa pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan, termasuk kebijaksanaan keuangan negara
dan moneter, tetap bertumpu pada Trilogi Pembangunan. Kebijaksanaan
anggaran belanja yang berimbang dan dinamis, kebijaksanaan yang menjamin keseimbangan moneter dan neraca pembayaran serta tersedianya
barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari yang cukup tersebar merata
dengan harga yang stabil dan terjangkau oleh rakyat banyak, perlu di lanjutkan.
IV/3
Di bidang keuangan negara digariskan bahwa pengelolaan anggaran
pendapatan dan belanja negara perlu terus disempurnakan agar penerimaan
negara makin meningkat, sedangkan pengeluaran negara makin terkendali,
terarah dan efisien. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari berbagai
sumber, terutama di luar minyak dan gas bumi maka sistem perpajakan terus
disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan, kemampuan dan
manfaat. Badan-badan usaha milik negara perlu terus ditingkatkan efisiensi
dan produktivitasnya sehingga meningkat peranannya dalam pembangunan.
Di bidang keuangan digariskan bahwa pengerahan dana tabungan
masyarakat melalui lembaga keuangan, seperti lembaga perbankan, lembaga
keuangan bukan bank dan pasar modal, baik dalam bentuk deposito,
penerbitan surat berharga maupun jenis tabungan lainnya, perlu makin
digalakkan, sehingga peranannya sebagai sumber dana pembangunan makin
meningkat. Lebih lanjut digariskan bahwa pemanfaatan dana masyarakat
untuk perkreditan diarahkan untuk menunjang kegiatan investasi yang
produktif sesuai dengan prioritas pembangunan, tercapainya alokasi dana
investasi yang efisien, dan yang mendorong pemerataan kesempatan kerja
dan berusaha, serta terpeliharanya keseimbangan moneter dan stabilitas
ekonomi.
Kebijaksanaan keuangan negara dan kebijaksanaan moneter
dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional secara
keseluruhan
dengan
berpedoman
pada
arahan-arahan
tersebut.
Perkembangan dan hasil-hasil yang dicapai sejak Repelita I secara garis
besar dilaporkan dalam bagian berikut, sedang perkembangan dan hasil-hasil
yang dicapai selama 5 tahun terakhir diuraikan secara lebih rinci dalam
bagian-bagian selanjutnya dari bab ini.
B.
KEBIJAKSANAAN
DAN
SEJAK REPELITA I
HASIL-HASIL
PEMBANGUNAN
Di bidang keuangan negara, sejak awal pelaksanaan pembangunan
kebijaksanaan keuangan negara senantiasa didasarkan pada asas anggaran
negara yang berimbang dan dinamis. Kebijaksanaan ini dan bersama-sama
dengan kebijaksanaan moneter yang berhati-hati, telah merupakan jangkar
kestabilan perekonomian sampai saat ini dan sekaligus berperan sebagai
pendukung pertumbuhan yang cukup tinggi dan wahana bagi pelaksanaan
b erb agai p ro gr am pemerataan. Dar i waktu ke waktu p ereko no mian
IV/4
Indonesia mengalami guncangan, baik dari luar maupun dari dalam. Namun
karena asas kebijaksanaan tersebut dipegang teguh, gejolak dan guncangan
tersebut selalu dapat teratasi.
Di bidang penerimaan dalam negeri sewaktu penerimaan dari
sumber-sumber migas masih sangat dominan, upaya-upaya dilakukan untuk
mendorong pengembangan kegiatan sektor migas dan untuk mendapatkan
syarat-syarat yang paling menguntungkan dalam pembagian hasil, untuk
kemudian digunakan mempercepat pelaksanaan pembangunan. Hal ini
dimaksudkan agar sumber-sumber kekayaan bangsa yang sangat penting ini
dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selanjutnya,
dengan menyurutnya peranan migas, upaya-upaya tersebut masih terus
dilakukan, dan bersamaan dengan itu sumber-sumber penerimaan non migas
makin dikembangkan agar menjadi sumber andalan bagi pembiayaan
pembangunan.
Dalam rangka mengembangkan sumber-sumber non migas
upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan serta meningkatkan
sumber-sumber pajak dan bukan pajak terus ditingkatkan. Berbagai langkah
mendasar telah dilakukan untuk meningkatkan penerimaan dari pajak
melalui pembaharuan sistem perpajakan yang dimulai sejak tahun 1984.
Dengan pembaharuan tersebut, Indonesia sekarang memiliki sistem per pajakan yang maju dan diharapkan mampu memenuhi tuntutan
perkembangan keadaan di waktu mendatang. Sistem perpajakan yang baru
tersebut didasarkan atas metode "self-assessment" dan dengan tarif dan
prosedur yang lebih sederhana sehingga dapat mendorong ekstensifikasi
perpajakan secara luas. Arab pembaharuan perpajakan ini sejalan dengan
kecenderungan yang terjadi di banyak negara di dunia.
Dengan langkah-langkah kebijaksanaan tersebut penerimaan dalam
negeri telah meningkat sangat pesat. Dalam tahun 1968 realisasi penerimaan
dalam negeri baru mencapai Rp 149,7 miliar; dalam tahun 1992/93
penerimaan ini diproyeksikan untuk mencapai Rp 46,5 triliun. Ini berarti
bahwa dalam kurun waktu tersebut penerimaan ini telah melipat menjadi
lebih dari 300 kalinya. Sementara itu, terutama setelah diadakan pembaruan
sistem perpajakan, penerimaan dari sumber-sumber non migas meningkat
sangat pesat. Penerimaan terbesar sampai dengan tahun 1986/87 diperoleh
dari migas. Tetapi setelah periode tersebut penerimaan di luar migas telah
me nj ad i s u mb er p e ner i m aa n t er b e sar . Ka la u d al a m ta h u n 1 9 8 7 /8 8
IV/5
sumbangan penerimaan non migas pada penerimaan dalam negeri baru
mencapai 51,7%, dalam APBN tahun 1992/93 sumbangan ini telah
meningkat menjadi 70,0%. Peningkatan penerimaan tersebut akhir -akhir ini
terutama terjadi dalam pajak penghasilan. Dengan perkembangan tersebut
ketergantungan penerimaan negara pada sumber-sumber migas secara
bertahap terus berkurang. Perkembangan realisasi APBN tersebut dapat
dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.
Di sisi pengeluaran, penggunaannya senantiasa dilandasi prinsip
efisiensi dan penghematan. Pengeluaran rutin diarahkan untuk menunjang
kelancaran penyelenggaraan kegiatan pemerintah yang ditujukan untuk
meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan sekaligus meningkatkan
tabungan pemerintah.
Tabungan Pemerintah selama periode 24 tahun terakhir menunjukkan
kecenderungan yang meningkat meskipun dari tahun ke tahun mengalami
pasang surut, terutama sebagai akibat dari gejolak-gejolak dalam
perekonomian dunia yang mempengaruhi perkembangan harga minyak, kurs
mata uang-mata uang dan tingkat bunga internasional. Dalam perkembangannya, tabungan Pemerintah terus meningkat dari awalnya Rp 27,2
miliar dalam tahun 1969/70 menjadi Rp 7,3 triliun dalam tahun 1985/86.
Tetapi, khusus untuk tahun 1986/87 sebagai akibat dari penurunan harga
minyak bumi yang sangat tajam dan apresiasi matauang-matauang utama
terhadap dolar Amerika, tabungan pemerintah sangat merosot menjadi
Rp 2,6 triliun. Dalam tahun-tahun selanjutnya penurunan penerimaan dari
migas ini secara bertahap dapat diimbangi oleh peningkatan yang cepat dari
penerimaan non migas sehingga tabungan pemerintah berangsur-angsur
berhasil ditingkatkan kembali dan diperkirakan mencapai Rp 13,3 triliun
dalam tahun 1992/93. Dengan demikian tabungan pemerintah dalam tahun
1992/93 ini adalah hampir 490 kali dari tabungan pemerintah yang dapat
dipupuk dalam tahun pertama Repelita I.
Tabungan Pemerintah bersama-sama dengan pinjaman luar negeri
atau penerimaan pembangunan merupakan dana pembangunan yang
digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan yang dilakukan
Pemerintah. Pemanfaatan bantuan luar negeri selalu berpedoman pada
arahan GBHN yang disebutkan di atas. Dengan kebijaksanaan pinjaman luar
negeri yang berhati-hati, serta dengan menjaga agar pemanfaatannya efektif,
perekonomian Indonesia sampai sekarang terhindar dari masalah hutang
IV/6
TABEL IV – 1
1)
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
Angka tahunan
APBN
IV/7
GRAFIK IV – 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA NEGARA,
1968 – 1992/93
IV/8
sebagaimana dialami oleh berbagai negara berkembang selama dekade tahun
1980-an. Sementara itu dengan semakin besarnya pinjaman komersial,
melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1991 telah dibentuk Tim
Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (Tim PKLN).
Dengan adanya Tim ini kesimpangsiuran dalam memasuki pasar modal
internasional dapat dihindarkan dan jumlahnya secara keseluruhan dapat
dijaga agar tetap dalam batas-batas yang aman bagi neraca pembayaran internasional Indonesia. Di dalam berbagai forum internasional, termasuk
forum-forum di antara negara-negara berkembang sendiri, Indonesia
dianggap sebagai salah satu negara berkembang yang telah berhasil
mengelola hutang luar negerinya dengan baik.
Dana pembangunan yang meningkat dengan pesat selama hampir
seperempat abad terakhir ini telah memungkinkan peningkatan kegiatan
pembangunan yang kian pesat pula. Dana pembangunan telah meningkat
dari Rp 57,9 miliar dalam tahun 1968 menjadi Rp 22,9 triliun dalam APBN
tahun 1992/93 atau telah melipat menjadi hampir 400 kali selama 24 tahun.
Dilihat dari komposisinya sumbangan tabungan pemerintah dalam
pembiayaan kegiatan pembangunan meningkat dari 0% pada tahun 1968
menjadi 67,2% pada tahun 1985/$6. Selanjutnya setelah mengalami
penurunan menjadi 31,0% pada tahun 1986/87, karena faktor -faktor
eksternal seperti yang disebutkan di atas, maka sumbangan tabungan
pemerintah berangsur-angsur meningkat kembali menjadi 58,1% pada tahun
1992/93. Walaupun mengalami pasang surut, peningkatan perkembangan
tabungan pemerintah tersebut mencerminkan langkah maju menuju
kemandirian dalam pembiayaan pembangunan.
Dalam pada itu selama 24 tahun terakhir sektor keuangan juga
mengalami perubahan yang cepat. Kemampuan sektor keuangan sangat
meningkat seperti tercermin dari meningkatnya pengerahan tabungan
masyarakat melalui lembaga keuangan. Kegiatan penghimpunan dana
melalui perbankan sejak Repelita I hingga tahun ke empat Repelita V
menunjukkan hasil-hasil yang sangat mengesankan. Pada tahun 1968,
jumlah dana yang berhasil dihimpun baru mencapai Rp 113,9 miliar, dan
pada tahun 1992/93 telah mencapai Rp 109,4 triliun atau menjadi lebih dari
950 kali dalam kurun waktu 24 tahun. Upaya penghimpunan dana
masyarakat untuk pembangunan diawali dengan diperkenalkannya deposito
berjangka pada tahun 1968, yang selanjutnya diikuti dengan Tabanas,
Taska, dan sertifikat deposito pada tahun 1971. Penghimpunan dana ini
IV/9
makin berkembang setelah adanya kebijaksanaan deregulasi Juni 1983, yang
telah memberi peluang lebih besar bagi bank-bank untuk menentukan tingkat
suku bunga deposito dan pinjaman, dan lebih berkembang lagi setelah
deregulasi bulan Oktober 1988, yang mempermudah pendirian bank-bank.
baru dan kantor-kantor cabang sehingga jangkauan jaringan bank makin
luas. Paket deregulasi bulan Oktober 1988 ini mempunyai dampak yang luas
terhadap laju perkembangan sektor perbankan. Apabila sebelum paket
tersebut jumlah bank dan kantor-kantornya tidak banyak berubah, maka
setelah itu jumlah bank maupun kantor-kantor cabangnya meningkat sangat
pesat. Jumlah bank dan kantor cabang yang pada tahun 1988 baru mencapai
masing-masing 111 buah dan 1.728 buah pada bulan Juni 1992 telah
mencapai masing-masing 210 buah dan 4.355 buah.
Sejalan dengan perkembangan dana yang berhasil dihimpun,
perkembangan kredit perbankan juga meningkat pesat. Jumlah kredit yang
disalurkan hingga September 1992 mencapai Rp 122,7 triliun, yang
merupakan kelipatan 974 kali dari posisi tahun 1968 yang baru mencapai
Rp 126,0 miliar.
Sementara itu lembaga keuangan yang mencakup usaha
perasuransian, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan bukan bank, dan
dana pensiun, berkembang pesat sejak adanya deregulasi di bidang keuangan
dan perbankan pada tahun 1988. Jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi
pada tahun 1992 telah mencapai 145 buah, atau meningkat 60 buah
dibanding tahun 1987. Lembaga pembiayaan juga meningkat dari 83 buah
pada tahun 1987 menjadi 146 buah pada tahun 1992.
Di samping pasar uang, pasar modal juga terus dikembangkan untuk
menghimpun dana jangka panjang dari masyarakat. Langkah-langkah
pengembangan pasar modal sudah mulai dirintis pada tahun 1972 dengan
berdirinya Badan Pembina Pasar Uang dan Modal. Namun kegiatan pasar
modal baru mengalami peningkatan pesat terutama setelah dikeluarkannya
Paket Kebijaksanaan Desember 1987, yang mengizinkan berdirinya bursa
paralel dan lebih berperannya lembaga penunjang pasar modal. Investasi
yang ditanamkan di pasar modal meningkat dari Rp 476,1 miliar pada tahun
1989 menjadi Rp 24,8 triliun pada tahun 1992 atau melipat menjadi 52 kali
dalam waktu 3 tahun terakhir ini. Selain itu, beberapa tahun terakhir ini
pasar obligasi dan modal ventura juga mulai berkembang, sehingga menjadi
sumber pembiayaan alternatif bagi dunia usaha.
IV/10
Pertumbuhan sektor keuangan yang cepat seperti tersebut di atas
memerlukan penataan kelembagaan. Sehubungan dengan itu pada awal tahun
1992 telah diundangkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang
menggantikan UU No. 14 Tahun 1967. Undang-undang Perbankan yang
baru ini memberikan landasan yang lebih mantap bagi perkembangan sektor
perbankan di waktu-waktu mendatang. Di samping undang-undang tersebut,
juga telah diundangkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian,
dan UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Ketiga undang-undang
tersebut telah memberikan landasan hukum yang lebih pasti bagi
penyelenggaraan usaha di sektor keuangan. Selain itu rangkaian
undang-undang ini juga memberi kejelasan mengenai pembagian bidang
usaha dari berbagai lembaga keuangan, seperti klasifikasi jenis bentuk usaha
dan jenis kegiatan usaha. Dengan keluarnya undang-undang tersebut di atas
maka perlindungan hukum bagi lembaga keuangan dan masyarakat yang
menggunakan jasanya menjadi semakin jelas.
Dengan latar belakang perkembangan di bidang keuangan negara dan
moneter sejak Repelita I ini, berikut dilaporkan secara lebih rinci
perkembangan di kedua bidang tersebut selama 5 tahun terakhir.
C. KEUANGAN NEGARA
Sejak Repelita I penyempurnaan pengelolaan keuangan negara
dengan tetap berpedoman pada asas anggaran pendapatan dan belanja negara
yang berimbang dan dinamis terus diupayakan. Upaya ini ditingkatkan lagi
dalam 5 tahun terakhir ini. Kebijaksanaan keuangan negara dilaksanakan
seiring dan saling mendukung dengan kebijaksanaan moneter dan
kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan lainnya untuk melaksanakan
Trilogi Pembangunan sehingga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
berjalan seiring dengan pemerataan pembangunan yang makin meluas dan
stabilitas ekonomi yang dinamis dan mantap.
1. Penerimaan Dalam Negeri
Salah satu sasaran penting dari langkah-langkah kebijaksanaan di
bidang keuangan negara sejak Repelita I adalah meningkatkan seluruh unsur
penerimaan dalam negeri, terutama yang berasal dari sumber-sumber non
migas dan lebih khususnya dari penerimaan pajak, sehingga kemandirian
IV/11
dalam pembiayaan pembangunan terutama untuk sektor negara makin
mantap sedangkan ketergantungan pada sumber-sumber migas makin
berkurang. Langkah mendasar yang telah dilakukan untuk meningkatkan
penerimaan dari pajak adalah melalui pembaharuan sistem perpajakan yang
dimulai sejak tahun 1984. Pelaksanaan selama lima tahun terakhir ini
dipusatkan pada usaha-usaha untuk menyempurnakan mekanisme perpajakan
agar sistem perpajakan menjadi semakin sederhana, efektif, mudah dipahami
dan adil. Selain itu, penerimaan pajak terus ditingkatkan baik melalui
intensifikasi pemungutannya maupun ekstensifikasi wajib pajaknya. Langkah
ini merupakan kelanjutan dari pembaharuan sistem perpajakan yang telah
dilaksanakan sejak tahun 1984. Sementara itu, penerimaan bukan pajak terus
dimantapkan melalui peningkatan efisiensi BUMN dan intensifikasi
penerimaan rutin dari departemen dan non departemen. Dari unsur
penerimaan minyak bumi dan gas alam, berbagai upaya dilaksanakan untuk
tetap dapat mengerahkannya secara maksimal.
Dengan berbagai langkah tersebut, penerimaan dalam negeri telah
meningkat cukup pesat. Hal ini tercermin pada meningkatnya jumlah
penerimaan dalam negeri yang pada tahun 1968 baru mencapai Rp 149,7
miliar, menjadi Rp 46,5 triliun dalam APBN tahun 1992/93, atau meningkat
sebesar lebih dari 300 kali. Sementara itu dalam kurun waktu lima tahun
terakhir, walaupun harga minyak tidak mengalami kenaikan lagi yakni
berfluktuasi sekitar US$ 17 per barel, penerimaan dalam negeri masih
meningkat lebih dari 2 kali lipat dari Rp 20,8 triliun pada tahun 1987/88
menjadi Rp 46,5 triliun dalam APBN 1992/93. Perkembangan penerimaan
dalam negeri yang terdiri dari penerimaan migas dan penerimaan di luar
migas dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2.
2.1. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam
Sejak Repelita I berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mendorong
kegiatan sektor migas. Langkah tersebut, sejak tahun 1971 dilengkapi
dengan upaya untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan
dalam pembagian hasil. Mulai Repelita III, dengan semakin besarnya
produksi dari negara-negara bukan anggota OPEC, harga minyak bumi dan
gas alam menunjukkan kecenderungan yang menurun. Menyadari hal
tersebut, pada kuartal terakhir 1982/83 OPEC menerapkan kuota produksi
yang rendah kepada anggota-anggotanya. Namun harga minyak cenderung
menurun terus. Oleh karena itu selama 5 tahun terakhir upaya untuk
IV/12
TABEL IV - 2
1)
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1968 - 1992/93
(miliar rupiah)
Akhir
Jenis Penerimaan
1. Penerimaan minyak bumi
dan gas alam
Minyak bumi
Gas alam
2. Penerimaan di luar
minyak bumi dan gas alam
Jumlah
1968
33,3
(33,3)
(-)
Akhir
Repelita I
(1973/74)
382,2
(382,2)
(-)
Rapelita II
(1978/79)
Akhir
Repelita III
(1983/84)
1987/88
Akhir
Repelita IV
(1988/89)
Repelita V
1989/90
1990/91
1991/92
2)
1992/93
2.308,7
9.520,2
10.047,2
9.527,0
11.252,1
17.711,9
15.039,1
13.947,5
(2.308,7)
(8.484,9)
(8.719,7)
(8.326,3)
(9.502,0)
(14.577,5)
(12.481,3)
(11.200,8)
(1.035,3)
(1.327,5)
(1.200,7)
(1.750,1)
(3.134,4)
(2.557,8)
(2.746,7)
(-)
116,4
585,5
1.957,4
4.912,5
10.756,1
13.477,3
17.487,7
21.834,5
26.545,7
32.560,9
149,7
967,7
4.266,1
14.432,7
20.803,3
23.004,3
28.739,8
39.546,4
41.584,8
46.508,4
1) Angka tahunan.
2) APBN.
IV/13
GRAFIK IV 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1968 - 1992/93
1968
1973/74
1978/79
Migas
IV/14
1983/84
1988/89
Nonmigas
1992/93
menggalang persatuan di negara-negara OPEC dalam rangka memelihara
tingkat harga yang wajar terus dilanjutkan.
Penerimaan dari migas juga dipengaruhi oleh kapasitas produksi dan
tingkat konsumsi BBM dalam negeri, Upaya untuk mengembangkan
kapasitas sektor migas yang telah dilaksanakan sejak Repelita I telah berhasil
meningkatkan produksi minyak bumi dari 219,9 juta barel dalam tahun 1968
menjadi 616,5 juta barel dalam tahun 1977/78. Sejak itu produksi minyak
mulai menurun yang disebabkan oleh penurunan produksi secara alamiah
dari lapangan-lapangan minyak tua. Sementara itu konsumsi dalam negeri
meningkat terus. Pada tahun 1987/88 produksi minyak bumi menjadi 507,9
juta barel sehingga kapasitas ekspor juga turun. Untuk itu selama 5 tahun
terakhir telah dilaksanakan berbagai langkah untuk menjamin kelangsungan
produksi dan menghemat penggunaan BBM.
Salah satu upaya penting dalam menjamin kelangsungan produksi
minyak bumi dan gas alam adalah dengan menciptakan iklim yang
merangsang bagi investasi di bidang perminyakan, terutama dalam rangka
mengembangkan eksplorasi minyak lahan baru di wilayah baru (frontier).
Dalam bulan September 1988 ditetapkan persyaratan baru kontrak bagi
hasil. Dalam ketentuan tersebut kontraktor diberikan beberapa insentif
berupa perlakuan khusus di bidang perpajakan, penyempurnaan pola bagi
hasil, penyesuaian harga prorata, dan kemudahan dalam pengadaan barang
untuk keperluan eksplorasi. Khusus untuk wilayah kawasan Timur
Indonesia, dalam bulan Pebruari 1989 telah dikeluarkan kebijaksanaan
penyempurnaan insentif bagi kontrak bagi hasil. Dalam ketentuan ini
perbandingan bagi hasil untuk kontrak baru atas daerah yang sudah
diketahui (konvensional) adalah 80% pemerintah dan 20% kontraktor,
sedangkan bagi kontrak baru atas lahan di wilayah baru adalah 75%
pemerintah dan 25% kontraktor.
Langkah-langkah tersebut dilanjutkan dengan paket insentif yang
berlaku surut sejak 1 Januari 1992. Paket ini terdiri dari 9 bagian dan
berlaku untuk lahan baru di wilayah baru, lahan lama dan perpanjangan,
serta lahan baru di daerah yang sudah diketahui. Paket insentif tersebut
antara lain berupa bagi hasil gas yang sebelumnya 70% untuk pemerintah
dan 30% untuk kontraktor, kini untuk lahan baru di wilayah baru
perbandingan penerimaan hasilnya menjadi 60% untuk pemerintah dan 40%
untuk kontraktor, sedangkan untuk lahan baru di daerah yang sudah
IV/15
diketahui adalah 65% untuk pemerintah dan 35% untuk kontraktor.
Kemudian untuk bagi hasil minyak bumi di wilayah baru, apabila pada
waktu yang lalu dibagi menurut produksi minyak per hari, kini disama
ratakan, yaitu 80% untuk pemerintah dan 20% untuk kontraktor. Bagi hasil
minyak untuk pengembangan lapangan di kedalaman laut lebih dari 1.500
meter yang sebelumnya juga dibagi menurut produksi perhari, kini untuk
lahan lama dan perpanjangan, serta lahan baru di wilayah baru disamakan,
yaitu 75% untuk pemerintah dan 25% untuk kontraktor.
Dengan diberikannya insentif tersebut Indonesia diharapkan tetap
menarik sebagai tempat penanaman modal bidang migas di kawasan Asia
Pasifik, mengingat beberapa negara tetangga juga telah menyediakan
perangsang cukup besar bagi investor asing di bidang eksplorasi minyak dan
gas bumi. Dengan demikian sumber-sumber dari migas tetap dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai salah satu sumber penerimaan dalam
negeri yang penting.
Berbagai insentif yang telah diberikan seperti tersebut di atas telah
berhasil meningkatkan volume produksi dan ekspor migas. Selama periode
1987/88-1991/92 produksi minyak bumi (termasuk kondensat) meningkat
3,1% per tahun. Walaupun demikian penerimaan negara dari migas
selama 5 tahun terakhir mengalami pasang surut sesuai dengan
perkembangan harga migas di pasaran internasional. Perkembangan yang
menonjol adalah sehubungan dengan timbulnya krisis Teluk dalam bulan
Agustus 1990 yang telah meningkatkan harga minyak dunia. Sebagai
akibatnya harga ekspor minyak Indonesia juga meningkat dalam bulan
Oktober 1990 mencapai harga US$ 35,29 per barel. Lonjakan harga minyak
tersebut meningkatkan penerimaan migas pada tahun anggaran 1990/91
menjadi sebesar Rp 17,7 triliun atau naik 57,4% dari tahun sebelumnya.
Selanjutnya dalam tahun 1991/92, dengan berakhirnya Krisis Teluk, harga
minyak merosot lagi dan berfluktuasi pada tingkat yang lebih rendah. Secara
keseluruhan dalam tahun 1991/92 rata-rata harga minyak Indonesia
mencapai US$ 18,55 per barel dengan penerimaan migas berjumlah Rp 15,0
triliun atau turun 15,1 % dari tahun sebelumnya. Dengan asumsi tingkat
rata-rata harga minyak sekitar US$ 18 per barel, penerimaan migas dalam
APBN 1992/93 diperkirakan dapat mencapai Rp 13,9 triliun.
2.2. Penerimaan di Luar Minyak Bumi dan Gas Alam
Sejak Repelita I, langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan di
IV/16
luar migas terus diupayakan. Upaya tersebut menjadi semakin penting
dengan menurunnya harga minyak di pasaran internasional mulai tahun
1982. Dengan perkembangan itu, keuangan negara makin mengandalkan
pada penerimaan dalam negeri di luar migas, terutama penerimaan pajak.
Dalam kurun waktu 1968-1983/84 penerimaan di luar migas mengalami
peningkatan rata-rata sebesar 26,7% per tahun, yaitu dari Rp. 77,9 miliar
menjadi Rp 4,9 triliun. Walaupun demikian peranannya dalam penerimaan
dalam negeri semakin menurun dari 73,0% menjadi 34,0%, karena dalam
periode tersebut terjadi peningkatan penerimaan migas yang cukup tinggi.
Sejak tahun 1984/85, yaitu tahun pertama diberlakukannya undang-undang
perpajakan yang baru, peranan penerimaan sektor non migas menjadi
semakin besar. Pada tahun 1984/85 penerimaan non migas adalah sebesar
Rp 5,5 triliun atau 34,4% dari penerimaan dalam negeri dan meningkat
menjadi Rp. 10,8 triliun pada tahun 1987/88 atau 51,7% dari penerimaan
dalam negeri. Selama 5 tahun terakhir, penerimaan di luar migas telah
meningkat dengan pesat, yaitu rata-rata sebesar 24,7% per tahun, dari
Rp 10,8 triliun pada tahun 1987/88, menjadi Rp 32,6 triliun dalam APBN
tahun 1992/93. Peningkatan ini terutama berasal dari penerimaan pajak,
yang meningkat dari Rp 8,8 triliun menjadi Rp 28,9 triliun atau rata -rata
meningkat dengan 26,8% per tahun. Seiring dengan itu peranan penerimaan
di luar migas dalam penerimaan dalam negeri telah meningkat dari 48,3%
dalam tahun 1987/88 menjadi 70,0% dalam APBN 1992/93. Seperti telah
disebutkan di atas hasil-hasil tersebut terutama merupakan hasil dari
upaya-upaya penyempurnaan peraturan perundang-undangan, peningkatan
pelayanan pajak, intensifikasi pemungutan pajak, pengawasan administratif
khususnya atas wajib pajak potensial, serta meningkatnya kesadaran wajib
pajak. Dalam rangka meningkatkan pemahaman terhadap pajak, secara
intensif telah dilakukan berbagai upaya penyuluhan pajak, baik yang
dilakukan oleh aparat perpajakan sendiri maupun yang dilakukan dengan
bekerja sama dengan unsur media massa. Di samping itu perbaikan
pelayanan bagi wajib pajak terus dilakukan melalui penyempurnaan dan
peningkatan administrasi perpajakan dan kemampuan aparatur pajak.
Salah satu unsur penerimaan pajak yang perkembangannya paling
pesat sejak diterapkan sistem perpajakan yang baru adalah penerimaan Pajak
Penghasilan (PPh), yang mulai berlaku pada tahun 1984 berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983. Sebelum berlakunya Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1983 ini, PPh ditampung dalam pemungutan Pajak
Pendapatan (PPd), Pajak Perseroan (PPs), MPO dan Pajak atas Bunga
IV/17
Dividen dan Royalty (PBDR). Dalam tahun 1968 realisasi penerimaan
ekuivalen PPh baru mencapai Rp 25,3 miliar yang meningkat menjadi
Rp 2.212,0 miliar dalam tahun 1984/85. Memasuki tahun keempat sejak
berlakunya undang-undang perpajakan yang baru (tahun 1987/88)
penerimaan PPh mencapai Rp 2,7 triliun, atau meningkat sebesar rata -rata
5% per tahun. Dalam APBN tahun 1992/93 jumlah penerimaannya
diperkirakan menjadi Rp 10,9 triliun, atau meningkat sebesar rata -rata
32,1% per tahun sejak tahun 1987/88. Hasil-hasil tersebut terutama
merupakan hasil dari berbagai langkah penting di bidang ini, termasuk
upaya perluasan wajib pajak dan penyempurnaan peraturan perundangundangan dan pelaksanaan PPh. Beberapa dari langkah-langkah penting di
bidang pelaksanaan PPh ini adalah sebagai berikut.
Dalam rangka perluasan wajib pajak PPh, melalui PP Nomor 13
Tahun 1988 dikenakan pajak penghasilan sebesar 15% dan bersifat final,
dengan kemungkinan restitusi Atas Bunga Deposito Berjangka, Sertifikat
Deposito, dan Tabungan. Upaya meningkatkan penerimaan pajak dilakukan
dengan tetap mempertimbangkan aspek pemerataan dan keadilan. Untuk itu
Tabanas/Taska, simpanan pedesaan, tabungan uang muka kredit pemilikan
rumah, tabungan naik haji, dan tabungan kecil lainnya, dibebaskan dari
ketentuan ini. Sesuai dengan PP Nomor 74 Tahun 1991, wajib pajak badan
(perusahaan) atas penerimaan bunga tersebut di atas yang sebelumnya
dikenakan tarif 15% dan bersifat final, sejak 1 Januari 1992 dikenakan tarif
berjenjang dan tidak bersifat final. Bagi bunga deposito dan tabungan di
bawah Rp 5 juta wajib pajak perorangan dikenakan pajak 15% final.
Adapun pengenaan pajak penghasilan terhadap penerimaan yang diperoleh
penabung kecil (saldo bulanan tertinggi kurang dari Rp 1 juta), dana
pensiun, gerakan pramuka, PMI dan pemilikan rumah sederhana tetap
ditangguhkan.
Selanjutnya melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991,
dilaksanakan penyempurnaan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983, yang
antara lain mengatur PPh terhadap deviden yang diterima badan usaha dalam
negeri dari penyertaan modal pada badan usaha lainnya yang didirikan di
Indonesia serta terhadap perusahaan reksa dana dan modal ventura. Dalam
rangka mendorong kegiatan ekonomi di daerah terpencil, UU tersebut juga
memberikan insentif pajak penghasilan berupa pengurangan dari kewajiban
pajaknya bagi pemberi kerja yang memberikan imbalan berbentuk natura
kepad a karya wann ya ser ta kemud ahan dalam menggunakan metod e
IV/18
penyusutan dan amortisasi. Di samping itu dengan kecenderungan yang
meningkat dari badan usaha swasta yang melakukan pemindahtanganan harta
atau akuisisi, ditegaskan kembali berlakunya PPh atas pemindahan harta
dalam bentuk penjualan, pengalihan/tukar menukar, hibah, warisan, dan
penyertaan dalam bentuk harta (in-kind participation). Penegasan ini
dimaksudkan untuk mengamankan penerimaan negara, serta agar terdapat
kepastian hukum mengenai berlakunya peraturan perpajakan atas pemindahtanganan harta.
Sementara itu sejalan dengan perkembangan tingkat inflasi selama
masa kepemilikan harta, secara periodik dilakukan penyesuaian terhadap
harga atau nilai perolehan dari harta berupa tanah dan/atau bangunan. Hal
ini diatur melalui PP Nomor 42 Tahun 1985, dan yang terakhir melalui
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1075 Tahun 1992 yang berlaku untuk
tahun pajak 1992.
Kebijaksanaan lain untuk mempertahankan aspek keadilan dan
pemerataan ditempuh melalui penyesuaian Pendapatan Tidak Kena Pajak
(PTKP). Kalau sebelum berlakunya undang-undang baru besarnya PTKP
untuk keluarga yang terdiri atas suami, istri, serta tiga orang anak adalah
sebesar Rp 1.050.000,- maka sejak tanggal 1 April 1984 PTKP tersebut
telah meningkat menjadi Rp 2.880.000,- dan pada tahun 1990 dinaikkan lagi
menjadi sebesar Rp 4.320.000,-.
Sementara itu perkembangan penerimaan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Pajak pertambahan
nilai merupakan penyempurnaan dari pajak penjualan (PPn) dan mulai
diberlakukan pada tahun anggaran 1985/86. Makin efektifnya PPN
dibandingkan dengan PPn dapat dilihat dari perkembangannya selama
periode 1968-1992/93. Dalam tahun 1968, jumlah penerimaan ekuivalen
PPN adalah sebesar Rp 15,2 miliar dan meningkat menjadi Rp 878,0 miliar
pada tahun 1984/85. Sedang dalam APBN tahun 1992/93 j umlahnya
diperkirakan dapat mencapai Rp 11.032,2 miliar yang merupakan
peningkatan sebesar lebih dari 12 kali lipat dibandingkan dengan
realisasinya dalam tahun 1984/85.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, hingga saat ini masih berlaku tarif tunggal sebesar 10% untuk PPN
IV/19
barang dan jasa. Sedangkan tarif pajak penjualan atas barang mewah yang
semula adalah 10% dan 20%, melalui PP Nomor 29 Tahun 1988 telah
disesuaikan menjadi 10%, 20%, dan 30% tergantung pada tingkat
kemewahannya dan selanjutnya terakhir disempurnakan dengan PP Nomor
76 Tahun 1992 menjadi 10%, 20% dan 35%.
Peningkatan penerimaan PPN juga diupayakan melalui ekstensifikasi
obyek pajak. Melalui PP Nomor 75 Tahun 1991 yang diberlakukan sejak
1 April 1992, pedagang eceran besar (PEB) dengan omset paling sedikit
Rp 1 miliar dalam setahun dikenakan PPN. Dengan kebijaksanaan tersebut
berarti ruang lingkup pengenaan PPN telah meliputi seluruh mata rantai
produksi mulai dari tingkat pabrikan, grosir, sampai pedagang eceran.
Pengenaan PPN terhadap pedagang eceran memerlukan langkah-langkah
penyempurnaan dalam pelaksanaannya, dan hal ini terus diupayakan.
Sementara itu, sejalan dengan perkembangan perekonomian, batasan
dan ukuran pengusaha kecil telah disesuaikan. Dalam SK Menteri Keuangan
Nomor 1288 Tahun 1991 ditetapkan batasan pengusaha kecil yang bebas
dari kewajiban menyerahkan pajak pertambahan nilai dinaikkan dua kali
lipat, yaitu menjadi Rp 120 juta untuk peredaran bruto Barang Kena Pajak
dan Rp 60 juta untuk penyerahan Jasa Kena Pajak.
Selain langkah-langkah tersebut di atas, untuk makin memantapkan
pelaksanaan PPN, juga dilakukan kerja sama dengan Bulog dalam rangka
mengamankan penerimaan PPN yang hams dibayar oleh penyalur dan grosir
gula pasir dan terigu. Sedangkan untuk menghindari penyelundupan pajak
dilakukan verifikasi silang antara data PPN dan SPT PPh dan verifikasi
lapangan atas Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan langkah-langkah
penyempurnaan tersebut PPN masih tetap diharapkan sebagai salah satu
sumber penerimaan pajak andalan di waktu-waktu mendatang.
Jenis pajak lainnya yang menunjukkan kecenderungan terus
meningkat adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PBB merupakan jenis
pajak lain lagi yang mulai diberlakukan dalam tahun 1986 dalam rangka
pembaharuan sistem perpajakan. PBB diterapkan berdasarkan Undangundang Nomor 12 Tahun 1985, yang sebelumnya meliputi Ipeda dan Pajak
Kekayaan. Pemungutan PBB diserahkan pada Pemda setempat sedang lebih
dari 60% atas hasil penerimaannya dapat langsung dipergunakan oleh Dati II
yang bersangkutan. Makin efektifnya jenis penerimaan ini dalam bentuk
IV/20
PBB dibandingkan dengan bentuk sebelumnya dapat dilihat dari
perkembangannya selama periode 1968-1992/93. Dalam tahun 1968 jumlah
ekuivalen PBB baru mencapai Rp 0,1 miliar yang meningkat menjadi
Rp 275,1 miliar pada tahun 1987/88 untuk kemudian melonjak menjadi
Rp 990,6 miliar dalam APBN tahun 1992/93.
Kebijaksanaan di bidang PBB selain ditujukan untuk meningkatkan
penerimaan negara juga ditujukan untuk meningkatkan produktivitas tanah
dan bangunan. Upaya ini dilakukan melalui penyesuaian klasifikasi Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP). Kebijaksanaan pengenaan PBB yang sebelumnya
mengacu kepada SK Menteri Keuangan Nomor 1324 Tahun 1988, sejak
tanggal 22 Nopember 1991 diperbarui dengan SK Menteri Keuangan Nomor
1147 Tahun 1991. Berdasarkan peraturan yang baru tersebut, NJOP untuk
tanah perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan tanah peternakan disempurnakan, sedangkan NJOP tanah pedesaan tidak mengalami perubahan.
Sementara itu tarif PBB masih tetap tunggal yaitu 0,5% dari nilai jual kena
pajak (NJKP), yang berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 1985 ditetapkan
sebesar 20% dari NJOP. Dalam rangka mengurangi beban pajak PBB
masyarakat berpendapatan rendah, melalui SK Menteri Keuangan Nomor
1291 Tahun 1991 batas nilai jual bangunan tidak kena pajak yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1992 dinaikkan dari Rp 3,5 juta menjadi Rp 7,0 juta
untuk setiap satuan bangunan.
Selanjutnya, untuk memantapkan pelaksanaan PBB, sistem tempat
pembayaran (Sistep) terus dikembangkan. Hal ini dimaksudkan untuk makin
memperlancar pembayaran PBB oleh masyarakat melalui tempat-tempat
pembayaran tertentu dengan dukungan komputerisasi data piutang. Sampai
dengan tahun 1992 Sistep telah dikembangkan di 181 Dati II, dan dalam
tahun 1993 akan dikembangkan lagi di 119 Dati II, sehingga dalam tahun
anggaran 1993/94 diharapkan Sistep sudah dilaksanakan secara nasional.
Penerimaan di luar migas lain yang cukup penting adalah bea masuk.
Melalui berbagai langkah deregulasi, terutama sejak tahun 1986,
kebijaksanaan bea masuk makin diarahkan sebagai pengatur arus dan pola
impor barang agar mampu mendorong peningkatan efisiensi industri dalam
negeri, peningkatan ekspor non migas dan penciptaan lapangan kerja yang
makin luas. Meskipun demikian peranannya sebagai sumber penerimaan
negara tetap penting. Penerimaan bea masuk yang dalam tahun 1968 baru
mencapai Rp 37,3 miliar, dalam tahun 1986/87 telah meningkat menjadi
IV/21
Rp 960,1 miliar. Penerimaan bea masuk meningkat dari Rp 1,0 triliun pada
tahun 1987/88 menjadi Rp 3,0 triliun dalam APBN 1992/93. Peningkatan
penerimaan ini antara lain di sebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
cepat, terutama selama 3 tahun terakhir, dan sebagai hasil dari meningkatnya
efisiensi pelaksanaan pemungutan bea masuk.
Penerimaan non migas yang cukup penting lainnya adalah dari cukai.
Perkembangan penerimaan cukai selama periode 1968-1992/93 disesuaikan
dengan peranannya tidak hanya sebagai sumber penerimaan negara tetapi
juga sebagai pengatur kegiatan konsumsi dan produksi masyarakat yang
menyangkut tembakau, gula, bir dan alkohol sulingan. Kalau dalam tahun
1968 jumlah penerimaan cukai baru sebesar Rp 16,6 miliar, maka pada
tahun 1983/84 realisasinya telah mencapai Rp 773,2 miliar, atau meningkat
sebesar rata-rata 29,2% per tahun. Selama 5 tahun terakhir penerimaan cukai
meningkat dengan rata-rata sebesar 16,9% per tahun dari Rp 1,1 triliun
dalam tahun 1987/88 menjadi Rp 2,4 triliun dalam APBN tahun 1992/93.
Berbagai perkembangan panting pelaksanaan cukai adalah sebagai berikut.
Dengan SK Menteri Keuangan Nomor 336 Tahun 1991 telah diatur kembali
struktur tarif cukai tembakau yang semula berdasarkan pada strata jenis
produksi total selama satu tahun takwim. Untuk jenis sigaret kretek yang
diproduksi tanpa mesin, sampai dengan produksi tidak lebih dari 50 juta
batang setahun dikenakan tarif cukai sebesar 0,5%; dan pabrikan yang
memproduksi di atas 30 miliar batang setahun dikenakan tarif 17,5%. Untuk
sigaret kretek mesin dengan tingkat produksi di atas 30 miliar batang
setahun dikenakan tarif 37,5%. Selanjutnya untuk menjaga keseimbangan
perkembangan produksi sigaret putih mesin dengan sigaret kretek mesin,
melalui SK Menteri Keuangan Nomor 1181 Tahun 1991, sigaret putih mesin
berdasarkan harga eceran per batang sampai dengan Rp 45,-, antara Rp 45,dan Rp 65,- serta di atas Rp 65,- masing-masing dikenakan tarif cukai
sebesar 22,5%, 35% dan 37,5%.
Salah satu obyek cukai yang panting adalah gula. Penetapan cukai
gula diarahkan untuk mewujudkan tingkat harga gula yang terjangkau
masyarakat dan sekaligus mampu menjamin pendapatan petani dan industri
gula. Penyesuaian harga dasar terakhir dilakukan melalui SK Menkeu
Nomor 43 Tahun 1991. Tarif cukai untuk semua jenis gula ditetapkan sama
sebesar 4% dari harga dasarnya. Penyesuaian harga dasar juga diterapkan
untuk alkohol sulingan, yang terakhir dilakukan melalui SK Menteri
Keuangan Nomor 560 Tahun 1991. Harga dasar alkohol sulingan dinaikkan
IV/22
dari Rp 600,- menjadi Rp 800,- per liter dengan tarif cukai 70% dari harga
dasarnya. Sedangkan, harga dasar cukai bir tetap ditentukan sebesar Rp 750, dengan tarif 50% dari harga dasarnya.
Penerimaan pajak ekspor yang terus meningkat dari Rp 13,9 miliar
dalam tahun 1968 menjadi Rp 104,0 miliar dalam tahun 1983/84 kemudian
menurun sampai mencapai Rp 78,8 miliar pada tahun 1986/87. Kecuali
peningkatan kembali menjadi sebesar Rp 183,5 miliar pada tahun 1987/88
perkembangan selanjutnya adalah terus menurun sehingga mencapai Rp 18,8
miliar dalam tahun 1991/92. Hal ini sejalan dengan pola perkembangan
ekspor non migas yang makin mengandalkan pada hasil industri pengolahan
yang tidak dikenakan pajak ekspor. Sejak tahun 1986 berbagai komoditi
ekspor yang diolah menjadi barang jadi atau barang industri, sehingga tidak
dikenakan pajak ekspor, telah meningkat dengan sangat pesat. Sejalan
dengan perkiraan kenaikan komoditi ekspor yang kena pajak, dalam APBN
1992/93, penerimaan pajak ekspor diperkirakan mencapai Rp 60,0 miliar.
Penerimaan pajak lainnya mencakup penerimaan dari bea meterai dan
bea lelang. Penerimaan pajak ini meningkat dari Rp 222,9 miliar pada tahun
1987/88 menjadi Rp 354,5 miliar dalam APBN tahun 1992/93 yang pada
tahun 1968 baru sebesar Rp 3,4 miliar. Upaya-upaya pengembangannya
mencakup antara lain peningkatan pengawasan atas pelaksanaan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai, pencegahan
dan pemberantasan beredarnya meterai tempel palsu, serta penertiban dan
penyempurnaan pelaksanaan lelang.
Penerimaan bukan pajak terdiri dari penerimaan-penerimaan
departemen dan lembaga pemerintah non departemen, serta penerimaan
bagian pemerintah atas laba BUMN termasuk bank-bank pemerintah. Sejalan
dengan kebijaksanaan di bidang perpajakan, penerimaan bukan pajak juga
selalu diupayakan peningkatannya. Peningkatan penerimaan bukan pajak
dari departemen dan lembaga pemerintah non departemen dilakukan melalui
penyempurnaan administrasi dan tats cara penyetoran, serta peningkatan
pengawasan di dalam pelaksanaannya. Sedangkan upaya peningkatan
penerimaan bukan pajak yang berasal dari bagian pemerintah atas laba
BUMN dilakukan melalui peningkatan efisiensi operasional dan penyempurnaan manajemen BUMN. Dengan upaya-upaya tersebut realisasi
penerimaan bukan pajak meningkat dari Rp 4,7 miliar pada tahun 1968
menjadi Rp 2,0 triliun pada tahun 1987/88 dan diperkirakan akan mencapai
IV/23
TABEL IV – 3
1)
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
IV/24
Angka tahunan
APBN
Sebelum Repelita IV terdiri dari Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, Menghitung Pajak Orang (MPO),
dan Pajak atas Dividen, Bunga dan Royalti (PDBR)
Sebelum tahun 1985/86 terdiri dari Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor
Sebelum 1 Januari 1986 termasuk Pajak Kekayaan
Sebelum 1 Januari 1986 hanya merupakan penerimaan Ipeda. Sejak pelaksanaan UU tentang PBB.
(1 Januari 1986), jumlah penerimaan ini menggantikan Ipeda dan Pajak Kekayaan
Termasuk laba bersih minyak sebesar Rp. 801 miliar
GRAFIK IV – 3
PENERIMAAN DILUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
1968 – 1992/93
IV/25
Rp 3,7 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Secara keseluruhan perkembangan penerimaan di luar migas dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik
IV-3.
3. Pengeluaran Rutin
Seperti telah disebutkan di atas kebijaksanaan anggaran belanja rutin
diarahkan untuk menunjang kelancaran kegiatan pemerintahan sekaligus
mendukung upaya meningkatkan tabungan pemerintah. Untuk itu anggaran
belanja rutin senantiasa diselaraskan dengan penerimaan dalam negeri dan
dilaksanakan dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas.
Langkah-langkah yang dimaksud antara lain meliputi peningkatan daya guna
dan hasil guna aparatur negara, pengendalian dan pemanfaatan maksimal
pengeluaran belanja barang serta penghapusan subsidi yang dipandang tidak
diperlukan lagi.
Dengan langkah-langkah tersebut, selama hampir 25 tahun terakhir
realisasi pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan. Pengeluaran rutin
telah meningkat dari Rp 149,7 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp 33,2
triliun pada APBN tahun 1992/93 atau rata-rata meningkat 25% per tahun.
Sementara itu, selama 5 tahun terakhir realisasi pengeluaran rutin tet ap
meningkat, yaitu dari Rp 17,5 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 33,2
triliun dalam APBN tahun 1992/93 atau rata-rata meningkat dengan 13,7%
pertahun. Peningkatan ini terutama untuk menunjang peningkatan
kelancaran tugas-tugas umum dan pelayanan kepada. masyarakat serta untuk
pemenuhan kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri
yang naik pesat. Namun kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan
kenaikan pada kurun waktu 1968-1987/88 yang sebesar 28,7% per tahun.
Perkembangan pengeluaran rutin yang lebih dirinci lagi dalam
unsur-unsurnya dapat dilihat pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4.
Salah satu unsur terbesar dalam pengeluaran rutin adalah belanja
pegawai, yang mencakup pegawai negeri sipil dan anggota ABRI, serta
pensiunan. Upaya pengendalian belanja ini ditempuh dengan menyerasikan
laju pertambahan pegawai negeri sesuai dengan kebutuhan pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat. Selama hampir 25 tahun belanja pegawai naik
116 kalinya dari Rp 78,3 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp 9,1 triliun
pada APBN tahun 1992/93. Anggaran pos pengeluaran ini terus meningkat
selama 5 tahun ini dan terutama digunakan untuk memperbaiki kesejahteraan
IV/26
TABEL IV – 4
1)
PENGELUARAN RUTIN,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
Angka tahunan
APBN
Sampai dengan akhir Repelita III terdiri dari subsidi untuk Irian Jaya
dan subsidi untuk daerah lainnya.
Termasuk subsidi pangan
Termasuk subsidi BBM, kecuali pada tahun 1973/74
IV/27
GRAFIK IV – 4
PENGELUARAN RUTIN,
1968 – 1992/93
IV/28
pegawai Pemerintah melalui peningkatan Tunjangan Perbaikan Penghasilan
(TPP) bagi pegawai negeri sipil, anggota ABRI dan pensiunan dan kenaikan
gaji berkala, kenaikan pangkat/golongan dan tambahan berbagai tunjangan
pegawai seperti tunjangan keluarga, tunjangan jabatan struktural dan
tunjangan jabatan fungsional, serta untuk penyesuaian anggaran tunjangan
beras dan uang makan/lauk pauk. Di samping itu dana tersebut juga
digunakan untuk menampung penambahan pegawai baru termasuk tenaga
guru, paramedis dan sebagainya. Sejak tahun 1987/88 telah diberikan TPP
sebanyak 5 kali yaitu tahun 1988/89, 1989/90 dua kali, 1991/92, dan
1992/93 masing-masing sebesar 10%, 15%, 25%, sekitar 44%, serta
masing-masing 18% untuk golongan I dan II dan 12% untuk golongan III
dan IV. Dalam hubungan itu belanja pegawai telah meningkat dari Rp 4,6
triliun tahun 1987/88 menjadi Rp 9,1 triliun dalam APBN tahun 1992/93
atau rata-rata meningkat dengan 14,6% per tahun. Selain pos ini,
pengeluaran untuk belanja pegawai juga ditampung dalam pos subsidi daerah
otonom yang selama 5 tahun terakhir ini juga meningkat dari Rp 2,8 triliun
menjadi Rp 5,3 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Perkembangan belanja
pegawai beserta rinciannya dapat dilihat pada Tabel IV-5.
Sementara itu pengeluaran belanja barang diarahkan pada
pengendalian pengadaan barang sehingga benar-benar sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan dalam rangka menunjang mutu dan perluasan
pelayanan kepada masyarakat. Adapun alokasinya tetap diprioritaskan pada
upaya peningkatan penggunaan produksi dalam negeri dengan memberi
kesempatan kepada pengusaha-pengusaha lemah. Selanjutnya dalam upaya
memperpanjang umur barang-barang produktif milik negara, sistem
pemeliharaan dan perawatan barang-barang tersebut dan proyek-proyek yang
telah selesai pembangunannya makin disempurnakan. Sejak pelaksanaan
pembangunan belanja barang naik dari Rp 110,1 miliar pada tahun 1968
menjadi Rp 2,4 triliun pada APBN 1992/93. Selama kurun waktu 5 tahun
terakhir belanja barang setiap tahunnya terus meningkat terutama untuk
menampung peningkatan biaya operasional berbagai kantor/instansi
pemerintah, biaya pengembangan struktur organisasi pada beberapa
departemen/lembaga non departemen, biaya mutasi, dan sebagainya. Selain
itu, kenaikan juga digunakan untuk menampung biaya pemeliharaan
barang-barang milik negara. Dengan demikian belanja barang meningkat
dari Rp 1,3 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 2,4 triliun dalam APBN
tahun 1992/93. Sementara itu, dalam pemanfaatannya langkah-langkah
penghematan terus dilakukan antara lain melalui pembatasan kegiatan rapat
IV/29
TABEL IV – 5
1)
BELANJA PEGAWAI,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
IV/30
Angka tahunan
APBN
kerja, seminar, pemakaian telepon, listrik,
kegiatan-kegiatan lain yang tidak mendesak.
perjalanan
dinas
dan
Pos pengeluaran yang sangat penting dalam rangka menjaga
kredibilitas dalam kerja sama internasional dalam pengeluaran rutin adalah
pembayaran bunga dan cicilan hutang. Dalam tahun 1968 pembayaran bunga
dan cicilan hutang sebesar Rp 10 miliar. Dengan meningkatnya pinjaman
luar negeri untuk melengkapi pembiayaan pembangunan nasional jumlah
pengeluaran pembayaran bunga dan cicilan hutang terus meningkat, hingga
dalam tahun 1987/88 pembayaran bunga dan cicilan hutang mencapai Rp 8,2
triliun. Selama 5 tahun terakhir pembayaran bunga dan cicilan hutang telah
meningkat menjadi Rp 15,9 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Kenaikan
ini terutama disebabkan oleh membesarnya jumlah hutang luar negeri yang
telah jatuh tempo, selain adanya apresiasi beberapa mata uang dunia
terhadap dolar Amerika antara tahun 1985-1988. Meskipun jumlahnya
meningkat, namun sebagai persentase terhadap pengeluaran rutin total
pembayaran bunga dan cicilan hutang tidak banyak mengalami perubahan
dalam APBN tahun 1992/93.
Selanjutnya realisasi belanja rutin lain-lain selama 25 tahun terakhir
berfluktuasi cukup tinggi. Pengeluaran ini mencakup subsidi BBM, biaya
penyelenggaraan Pemilu, giro pos, bebas porto dan lain-lain. Lonjakan biaya
belanja rutin lain-lain terjadi bila harga minyak bumi membumbung tinggi
hingga subsidi BBM meningkat pesat. Hal ini terjadi dalam tahun 1980/81,
1981/82 serta tahun 1990/91. Untuk menghemat belanja negara secara
bertahap subsidi BBM ini diturunkan bahkan dihapuskan melalui penye suaian harga BBM. Dalam kaitan itu selama 5 tahun terakhir penyesuaian
harga BBM dalam negeri dilakukan pada tahun 1990, tahun 1991 dan yang
terakhir pada bulan Januari 1993.
4.1. Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan
Dengan meningkatnya dan meluasnya kegiatan pembangunan, dana
pembangunan yang diperlukan semakin besar pula. Untuk itu tabungan
pemerintah diupayakan makin membesar dengan meningkatkan penerimaan
dalam negeri, dan dilain pihak menghemat pengeluaran rutin tanpa
mengabaikan kelancaran pelayanan pemerintah. Sementara itu sesuai dengan
pengarahan GBHN sumber dana luar negeri dimanfaatkan sebagai
pelengkap.
IV/31
Seperti telah disebutkan di muka, tabungan pemerintah selama
periode 24 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan yang meningkat
meskipun dari tahun ke tahun mengalami pasang surut, terutama sebagai
akibat dari gejolak harga minyak, kurs berbagai mata uang dan tingkat
bunga internasional. Dalam tahun 1968 tabungan Pemerintah belum
tersedia. Selanjutnya, secara bertahap walaupun berfluktuasi tabungan
pemerintah menunjukkan kecenderungan meningkat. Peningkatan yang pesat
terjadi selama 5 tahun terakhir, di mana tabungan Pemerintah melipat 4 kali
dari Rp 3,3 triliun dalam tahun 1987/88 menjadi Rp 13,3 triliun dalam
APBN tahun 1992/93. Perlu dicatat bahwa karena menurunnya harga ekspor
minyak dan melonjaknya pembayaran bunga dan cicilan hutang yang telah
jatuh tempo, tabungan pemerintah menurun dari Rp 3,3 triliun dalam tahun
1987/88 menjadi Rp 2,3 triliun dalam tahun 1988/89. Namun, setelah itu
tabungan pemerintah terus meningkat pesat, sehingga pada tahun 1991/92
untuk pertama kalinya sejak tahun 1986/87 peranan tabungan pemerintah
telah melampaui peranan bantuan luar negeri sebagai sumber dana
pembangunan. Tabungan pemerintah bersama-sama dengan pinjaman luar
negeri merupakan dana pembangunan yang digunakan untuk membiayai
kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Dana pembangunan
telah meningkat dari Rp 57,9 miliar dalam tahun 1968 menjadi Rp 22,9
triliun dalam APBN tahun 1992/93. Perkembangan dana pembangunan
beserta rinciannya dapat dilihat pada Tabel IV-6 dan Grafik IV-5.
Sebagaimana tahapan pembangunan sebelumnya, kebijaksanaan
pengeluaran pembangunan diarahkan untuk melanjutkan dan menyempurnakan kebijaksanaan tahapan sebelumnya dan sekaligus menampung prioritas
baru yang digariskan dalam GBHN 1988. Sejalan dengan peningkatan dana
pembangunan, realisasi pengeluaran pembangunan juga meningkat, dari
Rp 9,5 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 22,9 triliun dalam APBN
tahun 1992/93 atau meningkat rata-rata sebesar 19,2% per tahun. Gambaran
perkembangan pengeluaran pembangunan dapat dilihat pada Tabel IV-7.
4.2.
Pengeluaran
subsektor
pembangunan
berdasarkan
sektor
dan
Sesuai dengan prioritas pembangunan yang dijabarkan dalam
Repelita V dan Repelita-repelita sebelumnya, pengeluaran pembangunan,
diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana dasar yang menunjang
IV/32
TABEL IV – 6
1)
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
Angka tahunan
APBN
Terhadap Jumlah Dana Pembangunan
IV/33
GRAFIK IV – 6
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN,
1968 – 1992/93
IV/34
TABEL IV – 7
1)
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
IV/35
(Lanjutan Tabel IV – 7)
IV/36
(Lanjutan Tabel IV – 7)
IV/37
(Lanjutan Tabel IV – 7)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
IV/38
Angka tahunan
APBN
Termasuk Sub Sektor Pertambangan
Terdiri atas Sub Sektor Kesehatan dan Keluarga berencana
Termasuk Kesejahteraan Sosial
Meliputi sektor 5, 12, 14 s/d 16 dan bantuan proyek untuk Sektor 6, 7, 8, 13, dan 17
Penjumlahan dari Sub Sektor Prasarana Jalan, Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara serta Pos dan telekomunikasi
Termasuk Kepercayaan Terhadap tuhan Yang Maha Esa
Tidak termasuk peranan Wanita
Kesejahteraan Sosial
Keluarga berencana
Jumlah untuk Sektor/Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dimasukkan di dalam Sub Sektor Pertanian, Sub Sektor pengairan, dan
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi.
kegiatan ekonomi, penyediaan pelayanan dasar yang makin luas bagi rakyat,
pengembangan sumber daya manusia, penanggulangan kemiskinan dan
penyediaan dana operasi dan pemeliharaan yang memadai bagi
proyek-proyek yang sudah selesai dibangun. Dalam kaitan itu, prioritas
alokasi anggaran belanja pembangunan selalu diberikan pada 5 sektor utama,
tanpa mengesampingkan sektor-sektor lainnya. Kelima sektor ekonomi yang
memperoleh alokasi terbesar tersebut adalah (i) sektor perhubungan dan
pariwisata, (ii) sektor pertanian dan pengairan, (iii) sektor pendidikan,
generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap tuhan Yang
Maha Esa, (iv) sektor pertambangan dan energi, serta (v) sektor
pembangunan daerah, desa dan kota.
Selama hampir seperempat abad pelaksanaan pembangunan
pembiayaan untuk sektor perhubungan dan pariwisata diarahkan untuk
mendukung kawasan yang pertumbuhan ekonominya cepat serta membuka
isolasi dan mendorong perkembangan di daerah-daerah yang relatif kurang
berkembang. Dalam kaitan itu, pembiayaan sektor perhubungan dan
pariwisata setiap tahunnya selalu menjadi prioritas utama dan jumlahnya
selalu ditingkatkan, sehingga pada APBN tahun 1992/93 mencapai Rp 4,4
triliun dibanding Rp 33,3 miliar pada awal Repelita I. Demikian pula selama
lima tahun terakhir anggaran sektor perhubungan senantiasa menunjukkan
peningkatan yang cukup besar. Bila realisasinya pada tahun 1987/88 adalah
Rp 1,6 triliun, maka dalam APBN tahun 1992/93 telah mencapai Rp 4,4
triliun atau melipat menjadi lebih dari 2,7 kali selama 5 tahun. Anggaran
sektor ini terutama dialokasikan untuk mempercepat pembangunan prasarana
jalan. Di samping itu juga digunakan untuk membiayai pembangunan sarana
perhubungan laut dan udara. Pembangunan prasarana perhubungan di
wilayah timur Indonesia dan daerah-daerah terbelakang lain juga
mendapatkan perhatian khusus.
Pembangunan sektor pertanian sejak Repelita I juga selalu mendapat
prioritas utama serta diarahkan untuk memantapkan swasembada pangan dan
mendukung industrialisasi melalui peningkatan produksi dan kualitas serta
penganekaragaman produk-produk pertanian serta perluasan lapangan kerja.
Anggaran sektor pertanian dan pengairan meningkat dari Rp 29,8 miliar
pada tahun 1969/70 menjadi Rp 3,0 triliun pada APBN tahun 1992/93.
Sementara itu realisasi pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan
pengairan selama periode 1987/88-1992/93 rata-rata setiap tahun meningkat
sebesar 8 ,8 %, yaitu dari Rp 1,9 triliun p ada tahun 1987 /88 menjadi
IV/39
Rp 3,0 triliun dalam APBN tahun 1992/93. Bagian terbesar dari anggaran
digunakan terutama untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan nilai
tambah komoditas pertanian guna meningkatkan pendapatan petani, peternak
dan nelayan; perluasan areal sawah dan komoditi pertanian lainnya; dan
pembangunan, rehabilitasi serta operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.
Sebagai salah satu jalur utama dalam pengembangan sumber daya
manusia, sektor pendidikan, generasi muda, kebudayaan nasional, dan
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mendapat perhatian yang
cukup besar. Anggaran di sektor ini sejak pembangunan mulai dilaksanakan
selalu diarahkan untuk meningkatkan mutu pendidikan di semua jenjang dan
sekaligus memperluas pemerataan pelayanannya. Dalam perkembangannya,
realisasi anggaran tersebut selalu menunjukkan peningkatan yang cukup
berarti. Selama hampir 24 tahun terakhir pembiayaan sektor ini naik dari
Rp 8,1 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 3,0 triliun pada APBN tahun
1992/93. Dalam lima tahun terakhir anggaran sektor pendidikan terutama
dialokasikan untuk pembangunan gedung sekolah dan laboratorium,
penyediaan biaya operasional pendidikan, penataran guru, pengadaan buku
bacaan dan peralatan pendidikan, serta pengembangan kegiatan penelitian
khususnya di perguruan tinggi. Selain itu, dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan guru pembangunan rumah guru diperbanyak. Untuk
membiayai kegiatan tersebut realisasi anggaran tersebut telah ditingkatkan
dari Rp 1,2 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 3,0 triliun dalam APBN
tahun 1992/93 atau meningkat rata-rata sebesar 20,5% setiap tahun.
Selama pelaksanaan pembangunan sejak Repelita I, alokasi anggaran
pembangunan di sektor pertambangan dan energi, diarahkan terutama untuk
pemanfaatan sebesar mungkin kekayaan tambang bagi pembangunan
nasional, dan penyediaan energi terutama listrik yang dikelola secara hemat
dan efisien. Realisasi anggaran pembangunan sektor pertambangan dan
energi setiap tahunnya terus ditingkatkan, yaitu dari sekitar Rp 8,3 miliar
pada tahun 1969/70 menjadi Rp 3,0 triliun pada APBN tahun 1992/93.
Untuk memenuhi kebutuhan energi listrik yang naik dengan cepat,
khususnya dari sektor industri, anggaran sektor pertambangan dan energi
naik dengan cepat selama periode 1987/88-1992/93, yaitu rata-rata sekitar
20,1% per tahun dari Rp 1,2 triliun menjadi Rp 3,0 triliun. Bagian terbesar
daripada anggaran tersebut dipergunakan untuk meningkatkan kapasitas
listrik terpasang khususnya bagi keperluan sektor industri, di samping
me n ye d i a ka n li str i k b a g i ma s yar a kat d i d aera h p erko ta a n ma up u n
IV/40
di pedesaan. Kegiatan-kegiatan lain di sektor ini antara lain adalah
pengembangan pertambangan dan diversifikasi sumber-sumber energi.
Sementara itu pembiayaan sektor pembangunan daerah, desa, dan
kota selama 24 tahun, dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan
yang sangat pesat. Realisasinya telah meningkat dari Rp 5,9 miliar pada
tahun 1969/70 menjadi Rp 2,9 triliun pada APBN tahun 1992/93. Selama
5 tahun terakhir untuk lebih menunjang peningkatan kegiatan ekonomi
daerah dan pemerataan pembangunan antar daerah serta menanggulangi
kemiskinan melalui Inpres Dati I, Inpres Dati II, Inpres Desa, dan Inpres
lainnya anggaran sektor pembangunan daerah desa dan kota terus
ditingkatkan dengan pesat yaitu rata-rata sebesar 25,7% dari Rp 0,9 triliun
pada tahun 1987/88 menjadi Rp 2,9 triliun pada tahun 1992/93. Di samping
program Inpres tersebut, sejak tahun pertama Repelita V telah dilaksanakan
program khusus untuk menanggulangi kemiskinan di daerah-daerah, yaitu
program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT). Karena sangat bermanfaat
bagi masyarakat miskin, program PKT setiap tahun lebih ditingkatkan dan
diperluas.
Beberapa tahun ini juga dicatat adanya pemanfaatan khusus dari
anggaran pembangunan. Untuk mengamankan kesinambungan pembangunan
dan mendukung upaya untuk mendinginkan perekonomian yang memanas,
pada tahun 1990/91 dan 1991/92 dicadangkan dana masing-masing sebesar
Rp 2 triliun dan Rp 1,5 triliun. Sehingga secara kumulatif sampai dengan
tahun 1991/92 cadangan ini telah mencapai Rp 3,5 triliun. Perkembangan
realisasi pengeluaran pembangunan menurut sektor dan subsektor dapat
dilihat pada Tabel IV-7.
4.3. Pengeluaran pembangunan menurut jenis pembiayaannya
Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek, dapat dilihat berdasarkan jenis pembiayaannya, dan dalam hal ini dapat dibedakan pembiayaan menjadi : (a) departemen/lembaga, (b) pembiayaan pembangunan
daerah dan (c) pembiayaan lainnya. Realisasi pengeluaran pembangunan di
luar bantuan proyek naik dari Rp 79,8 miliar pada tahun 1968 menjadi
Rp 13,8 triliun pada APBN 1992/93. Sementara itu selama 5 tahun terakhir
ini pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek meningkat menjadi
2,7 kali lipat dari Rp 5,1 triliun pada tahun 1987/8 8 menjadi Rp 13,8 triliun
IV/41
pada tahun 1992/93. Secara keseluruhan perkembangan realisasi pengeluaran
pembangunan tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-8.
Dana pembangunan departemen/lembaga dialokasikan untuk
membiayai proyek-proyek pembangunan sektoral yang menjadi tanggung
jawab masing-masing departemen/lembaga yang bersangkutan. Perkembangannya sejak Repelita I selalu menunjukkan peningkatan. Dana pemba ngunan proyek-proyek sektoral untuk seluruh departemen/lembaga naik dari
Rp 92,9 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 8,0 triliun pada tahun
1992/93. Peningkatan yang sangat pesat terjadi selama 5 tahun terakhir,
yaitu dari sebesar Rp 1,4 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 8,0 triliun
dalam APBN tahun 1992/93 atau meningkat menjadi lebih dari 5 kali lipat.
Perlu dikemukakan bahwa lokasi proyek-proyek sektoral tersebut adalah di
daerah.
Selama hampir seperempat abad bantuan untuk pembangunan daerah
juga berkembang dengan pesat, yaitu naik menjadi lebih dari 900 kali lipat
dari Rp 5,5 miliar pada tahun 1969/70 menjadi Rp 5,0 triliun dalam APBN
1992/93. Sementara itu, selama 5 tahun terakhir bantuan untuk
pembangunan daerah yang jumlahnya telah mencapai Rp 1,3 triliun pada
tahun 1987/88 terus ditingkatkan menjadi Rp 5,0 triliun pada APBN tahun
1992/93 atau naik menjadi sekitar 3 kali lipat. Ini merupakan langkah nyata
untuk lebih mendorong pembangunan daerah dalam rangka memperkecil
tingkat perbedaan laju pertumbuhan antar daerah.
Dalam bantuan pembangunan daerah tercakup bantuan pembangunan
desa yang jumlahnya terus ditingkatkan, yaitu dari Rp 2,6 miliar pada tahun
1969/70 menjadi Rp 326,5 miliar dalam APBN 1992/93. Dibanding dengan
realisasinya pada tahun 1987/88 yang mencapai Rp 102,2 miliar, anggaran
bantuan pembangunan daerah dalam APBN 1992/93 naik menjadi
lebih 3 kali lipat. Dengan demikian jumlah bantuan per desa
meningkat dari Rp 1,35 juta setiap desa pada tahun 1987/88 menjadi Rp 4,5
juta termasuk Rp 900 ribu untuk pembinaan kegiatan PKK pada tahun
1992/93. Bantuan tersebut ditujukan untuk meningkatkan swadaya dan
swakarsa masyarakat pedesaan, termasuk kegiatan wanitanya.
Sementara itu sejak tahun kedua Repelita I (1970/71) bantuan Dati II
telah meningkat dari Rp 5,6 miliar menjadi Rp 825,1 miliar pada APBN
1992/93. Bantuan Dati II menunjukkan perkembangan yang pesat selama
IV/42
TABEL IV – 8
1)
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN
TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
Angka tahunan
APBN
IV/43
lima tahun terakhir, yaitu dari Rp 263 miliar pada tahun 1987/88 menjadi
Rp 825,1 miliar dalam APBN tahun 1992/93 atau rata-rata meningkat
sebesar 25,6% per tahun. Pada tahun 1992/93 bantuan untuk seluruh Dati II
untuk pertama kali lebih besar dari bantuan untuk seluruh Dati I. Tambahan
bantuan Dati II yang cukup besar ini merupakan langkah nyata ke arah pelak sanaan otonomi daerah yang lebih besar kepada Dati II, khususnya dalam
rangka menunjang program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan
di daerah-daerah bersangkutan. Di samping itu, bantuan tersebut ditujukan
untuk membiayai proyek prasarana dan sarana di masing-masing Dati II dan
kegiatan pembangunan lainnya yang menjadi tanggung jawab Dati II.
Bantuan pembangunan Dati I juga terus mengalami peningkatan,
yaitu mencapai Rp 715,5 miliar pada APBN tahun 1992/93 dibanding
Rp 20,7 miliar pada tahun kedua Repelita I. Selama periode 1987/88 1992/93, bantuan Dati I naik menjadi hampir 3 kali lipat dari Rp 290,4
miliar menjadi Rp 715,5 miliar. Kenaikan tersebut ditujukan untuk
meningkatkan bantuan per Dati I dari minimum Rp 10 miliar dan maksimum
Rp 12 miliar pada tahun 1987/88 menjadi merata sebesar Rp 22,5 miliar
untuk setiap Dati I pada tahun 1992/93. Sejak tahun 1990/91 bantuan per
Dati telah ditambah dengan bantuan lain yang jumlahnya bagi Dati I
masing-masing disesuaikan dengan luas wilayah daratan administrasinya.
Dengan demikian kemampuan masing-masing Dati I dalam menangani
pembangunan di daerahnya makin meningkat.
Selanjutnya dalam rangka makin memeratakan pendidikan, Inpres SD
yang dilaksanakan sejak tahun 1973/74 dengan realisasi anggaran Rp 17,2
miliar dan Inpres Kesehatan yang dilaksanakan sejak tahun 1974/75 dengan
realisasi anggaran Rp 5,3 miliar dari tahun ke tahun kegiatannya terus
ditingkatkan. Selama lima tahun terakhir Inpres SD telah meningkat dari
Rp 193,3 miliar pada tahun 1987/88 menjadi sebesar Rp 669,1 miliar dalam
APBN 1992/93. Dengan tercapainya sasaran penyebaran gedung-gedung SD
ke seluruh pelosok, bantuan ini makin diarahkan pada kegiatan rehabilitasi,
pembangunan kembali dan perluasan gedung-gedung SD yang sudah ada
serta pembangunan kelengkapannya seperti rumah guru. Dalam rangka
meningkatkan mutu dan memperluas jangkauan pelayanan kesehatan di
daerah, bantuan pembangunan kesehatan dalam kurun waktu yang sama
ditingkatkan dari Rp 74,0 miliar menjadi Rp 339,1 miliar. Bantuan obat per
jiwa telah dinaikkan dari Rp 400 per jiwa pada tahun 1987/88 menjadi
Rp 600 per jiwa.
IV/44
Sementara itu untuk makin memperlancar arus barang, jasa dan
penumpang di daerah sejak tahun 1979/80 dilaksanakan Inpres Penunjangan
Jalan Kabupaten (IPJK) yang antara lain digunakan untuk memperbaiki
badan jalan, memperbaiki dan mengganti jembatan dan kondisi jalan yang
kritis. Dalam perkembangannya Inpres peningkatan jalan terus ditingkatkan
dari Rp 13,0 miliar pada tahun 1979/80 menjadi Rp 164,2 miliar pada tahun
1987/88. Selanjutnya, sejak tahun pertama Repelita V dalam kegiatan
tersebut dirubah menjadi Inpres Peningkatan Jalan Kabupaten dan
ditambahkan Inpres Peningkatan Jalan Propinsi (IPJP). Selama lima tahun
terakhir Inpres peningkatan jalan mengalami kenaikan yang paling pesat
dibanding Inpres lainnya, yaitu naik lebih dari 7 kali lipat menjadi
Rp 1.173,3 miliar dalam APBN 1992/93. Pada tahun 1992/93 IPJK
mendapatkan anggaran yang terbesar di antara bantuan Inpres lainnya. Hal
ini disebabkan jaringan jalan kabupaten sangat penting bagi ekonomi rakyat
dan sekaligus sebagai perwujudan upaya untuk makin mengembangkan
otonomi daerah.
Berbagai bentuk bantuan lainnya yang diarahkan untuk mendukung
pembangunan daerah adalah bantuan pembangunan dan pemugaran pasar dan
bantuan penghijauan dan reboisasi yang dimulai sejak tahun 1976/77 dengan
realisasinya masing-masing sekitar Rp 100 juta dan Rp 16 miliar. Bantuan
pemugaran dan pembangunan pasar diberikan untuk meningkatkan
kemampuan berusaha pedagang kecil dan pengusaha golongan ekonomi
lemah. Pembiayaannya pada APBN 1992/93 dianggarkan sebesar Rp 3
miliar. Bantuan penghijauan dan reboisasi ditujukan untuk memelihara
kelestarian lingkungan antara lain kegiatan penghijauan dengan melibatkan
partisipasi masyarakat setempat. Bantuan penghijauan dan reboisasi selama
5 tahun terakhir meningkat hingga 6 kali lipat dari Rp 16,2 miliar pada
tahun 1987/88 menjadi Rp 97,2 miliar dalam APBN tahun 1992/93.
Di samping beberapa bentuk bantuan tersebut daerah juga
memperoleh dana pembangunan yang berasal dari dana Ipeda yang kemudian
digantikan dengan hasil pemungutan PBB sejak bulan Januari 1986. Jumlah
yang diterima daerah dari hasil pemungutan PBB merupakan bagian
Pemerintah Daerah dari penerimaan PBB setelah dikurangi bagian
pemerintah pusat dan biaya pemungutan. Dana Ipeda/PBB sampai dengan
tahun 1986/87 mencapai Rp 171,0 miliar dibanding Rp 15,2 miliar pada
tahun 1972/73. Sejalan dengan meningkatnya penerimaan PBB, jumlah yang
diterima daerah selama lima tahun terakhir telah meningkat pesat, yaitu dari
Rp 222,8 miliar pada tahun 1987/88 diperkirakan menjadi sebesar Rp 802,4
miliar dalam APBN 1992/93.
IV/45
Sementara itu pembiayaan lainnya mencakup pembiayaan untuk
subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah (PMP), dan lain-lain
pengeluaran pembangunan (LLP). Pemberian subsidi pupuk dimaksudkan
untuk mendukung upaya mencapai/mempertahankan swasembada pangan
melalui penyediaan pupuk dan pestisida dengan harga yang terjangkau oleh
petani. Sedangkan pemberian PMP kepada BUMN-BUMN dimaksudkan
untuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi yang berprioritas
tinggi dan mempunyai manfaat strategis. Penyediaan dana LLP pada
dasarnya dimaksudkan untuk membiayai berbagai program pemerintah yang
tidak tercakup dalam pembiayaan departemen dan pembiayaan bagi daerah,
seperti pengembangan kawasan terpadu (PKT), penanggulangan kawasan
kumuh, pengembangan sarana pariwisata, pengembangan statistik, proyek
keluarga berencana, pengadaan air bersih, pengadaan benih, prasarana bis
kota, pengembangan pabrik obat dan lain sebagainya. Dalam perkembangannya anggaran belanja pembangunan lainnya berfluktuasi sesuai
dengan kebutuhan, namun secara bertahap diusahakan untuk terus
diperkecil/dikurangi. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan anggaran negara yang makin terbatas. Sebagai
gambarannya, sejak tahun 1969/70 realisasi pengeluaran pembangunan
lainnya yang mencapai Rp 7,6 miliar terus meningkat hingga yang tertinggi
mencapai Rp 1,5 triliun pada tahun 1984/85. Selanjutnya realisasi
pengeluaran pembangunan lainnya selama 5 tahun terakhir menurun
dari Rp 953,7 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 823,6 miliar dalam
APBN 1992/93.
Pengeluaran pembangunan selain dibiayai dengan dana rupiah juga
dibiayai dengan bantuan proyek. Sesuai dengan usaha ke arah kemandirian
pembiayaan pembangunan, maka peranan bantuan proyek terhadap jumlah
keseluruhan pengeluaran pembangunan secara bertahap diupayakan semakin
menurun. Peranan bantuan luar negeri dalam bentuk bantuan proyek
terhadap keseluruhan pengeluaran pembangunan menurun dari sebesar 100%
pada tahun 1968, menjadi 57,2% pada tahun 1987/88 dan akhirnya menjadi
40,6% dalam APBN 1992/93. Secara umum sasaran pemanfaatan bantuan
proyek tersebut antara lain adalah untuk penyediaan prasarana dan sarana
ekonomi, peningkatan teknologi, serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan
proyek dan bantuan proyek menurut alokasi sektor dan subsektor dapat
dilihat pada Tabel IV-9 dan Tabel IV-10.
IV/46
TABEL IV – 9
1)
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN TIDAK TERMASUK BANTUAN PROYEK
MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
IV/47
(Lanjutan Tabel IV – 9)
IV/48
(Lanjutan Tabel IV – 9)
IV/49
(Lanjutan Tabel IV – 9)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
IV/50
Angka tahunan
APBN
Termasuk Sub Sektor Pertambangan
Terdiri atas Sub Sektor Kesehatan dan Keluarga Berencana
Termasuk Kesejahteraan Sosial
Meliputi sektor 5, 12, dan 14 s/d 16 dan bantuan proyek untuk Sektor 6, 7, 8, 13, dan 17
Penjumlahan dari Sub Sektor Prasarana Jalan, Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara serta Pos dan Telekomunikasi
Termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Tidak termasuk Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
Tidak termasuk Peranan Wanita
Kesejahteraan Sosial
Keluarga berencana
Jumlah untuk Sektor/Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup dimasukkan di dalam Sub Sektor Pertanian, Sub Sektor pengairan, dan
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi.
TABEL IV – 10
1)
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
IV/51
(Lanjutan Tabel IV - 10)
IV/52
(Lanjutan Tabel IV - 10)
IV/53
(Lanjutan Tabel IV - 10)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
IV/54
Angka tahunan
APBN
Termasuk Sub Sektor Pertambangan
Terdiri atas Sub Sektor Kesehatan dan Keluarga Berencana
Termasuk Kesejahteraan Sosial
Meliputi sektor 5 s/d 8 dan Sektor 12 s/d 17
Penjumlahan dari Sub Sektor Prasarana Jalan, Perhubungan Darat, Perhubungan Laut, Perhubungan Udara serta Pos dan Telekomunikasi
Tidak Termasuk Kepercayaan Terhadap tuhan Yang Maha Esa
D.
PERKEMBANGAN MONETER
1. Kebijaksanaan Moneter
Kebijaksanaan moneter sebagai
salah satu kebijaksanaan
pembangunan dilaksanakan untuk mendukung terpeliharanya stabilitas
ekonomi yang mantap, mendukung pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
dan memperluas pemerataan pembangunan. Selama periode 1969-1982
kebijaksanaan moneter dilaksanakan secara langsung melalui penetapan pagu
kredit, pengaturan suku bunga kredit dan deposito, serta pemberian kredit
likuiditas Bank Indonesia. Dengan kebijaksanaan tersebut pemberian kredit
diarahkan sesuai dengan prioritas pembangunan, seperti mendorong kegiatan
investasi dan kegiatan produksi dalam negeri, peningkatan ekspor dan
kegiatan pengusaha golongan ekonomi lemah. Pemberian kredit secara
terbatas ini juga dimaksudkan untuk mengendalikan jumlah uang beredar
dan tingkat inflasi.
Kebijaksanaan moneter secara langsung kemudian diubah menjadi
secara tidak langsung melalui paket kebijaksanaan Juni 1983. Dalam paket
kebijaksanaan tersebut pagu atas kredit dan aktiva lainnya sebagai alat
pengendalian moneter secara langsung dihapuskan dan kepada bank
diberikan kebebasan untuk menetapkan suku bunga dan syarat-syarat
pemberian kredit, kecuali untuk beberapa sektor yang berprioritas tinggi.
Dengan demikian dunia perbankan didorong untuk semakin giat
menghimpun dana masyarakat dan tidak tergantung kepada dana murah dari
Pemerintah, serta semakin mampu menyalurkan kredit secara efisien dan
efektif. Kebijaksanaan tersebut selanjutnya diikuti dengan pengembangan
alat pengendalian moneter secara tidak langsung. Pada bulan Februari 1984
dikeluarkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan disediakan fasilitas diskonto
bagi bank-bank, dan dalam bulan Februari 1985 dikeluarkan ketentuan
tentang penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Langkah kebijaksanaan penting lain adalah penurunan likuiditas
wajib minimum dan penyempurnaan sistem operasi pasar terbuka dalam
paket Oktober 1988. Penurunan likuiditas wajib minimum dari 15% menjadi
2% semakin memperluas ruang gerak perbankan untuk menyalurkan dana
yang telah dihimpun. Sedangkan dengan penyempurnaan sistem operasi
pasar terbuka, yaitu dengan menambah jenis SBI dan SBPU berjangka waktu
30 hari, 90 hari, dan 180 hari serta pembentukan pasar sekunder bagi piranti
IV/55
moneter (SBI dan SBPU), pilihan menjadi semakin beragam dan likuiditas
piranti menjadi meningkat.
Selain itu, sejak dikeluarkannya Paket Januari 1990, suku bunga
kredit yang sebelumnya diberi subsidi selanjutnya diserahkan kepada
mekanisme pasar dan pemberian KLBI dibatasi. Kebijaksanaan pengendalian
moneter secara tidak langsung semakin disempurnakan dalam Paket Februari
1991, dengan dikeluarkannya ketentuan yang berkaitan dengan prinsip
kehati-hatian, seperti penentuan posisi devisa neto, swap dan swap ulang,
serta margin trading. Paket kebijaksanaan ini juga mengatur izin pendirian
beberapa perusahaan pialang pasar uang Rupiah dan valuta asing untuk
meningkatkan kegiatan pasar uang. Pada bulan Nopember 1991, ketentuan
posisi devisa neto dan swap disempurnakan dalam kaitan dengan
dibentuknya tim Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN).
Dengan rangkaian kebijaksanaan seperti tersebut di atas kemampuan
pengendalian moneter secara tidak langsung menjadi semakin kokoh. Hal ini
tercermin dari hasil pengetatan moneter yang diambil pada pertengahan
tahun 1990 untuk menyejukkan suhu perekonomian yang memanas
(overheating). Sejak Juni 1990 hingga April 1991, kebijaksanaan moneter
yang ketat dilaksanakan dengan menaikkan tingkat diskonto SBI secara
bertahap dari 11,1-15,5% pada bulan Mei 1990 menjadi 20,2-24,8% pada
akhir Maret 1991. Kebijaksanaan ini berhasil menurunkan laju pertumbuhan
uang beredar (Ml) dari 47,6% tahun 1989/90 menjadi 6,4% tahun 1990/91.
Demikian pula, laju pertumbuhan likuiditas perekonomian (M2) turun dari
45,7% menjadi 26,0% dalam periode yang sama.
Upaya penyejukan suhu ekonomi tersebut dilanjutkan selama tahun
1991 dan 1992 dengan pelonggaran likuiditas secara bertahap. Tingkat
diskonto SBI diturunkan secara bertahap dari 18,0-21,5% pada bulan April
1991 menjadi 13,5-14,0% pada akhir Desember 1992. Tingkat diskonto
SBPU juga diturunkan dari 19,0-19,5% menjadi 13,5-15,3% dalam periode
yang sama. Sebagai hasilnya laju pertumbuhan jumlah uang beredar dan
likuiditas perekonomian dapat dikendalikan pada tingkat yang wajar sebesar
15,9% dan 24,2% pada tahun 1991/92. Di samping itu suku bunga deposito
berjangka juga berhasil diturunkan dari 22,7-24,2% pada bulan Maret 1991
menjadi 17,5-20,5% pada bulan Agustus 1992. Demikian juga dengan suku
bunga kredit dari 23,2-26,7% menjadi 20,0-24,1% dalam periode yang
sama. Dengan langkah pengendalian tersebut dalam tahun 1992 laju inflasi
dapat dikendalikan menjadi 4,9%.
IV/56
2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar
Kebijaksanaan uang beredar senantiasa diupayakan sesuai dengan
kebutuhan pertumbuhan ekonomi dengan tetap memperhatikan kestabilan
harga. Jumlah uang beredar selama 24 tahun terakhir telah meningkat dari
Rp 114 miliar pada tahun 1968 menjadi Rp 28.779 miliar pada tahun 1992,
atau pertumbuhan rata-rata sebesar 26,2% per tahun. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi, pertambahan terbesar terjadi selama 5 tahun terakhir
ini sebesar Rp 16,2 triliun atau tumbuh dengan rata-rata 17,9% per tahun.
Laju pertumbuhan uang beredar menunjukkan peningkatan mulai tahun
1988/89 sebesar 18,9% dan mencapai puncaknya pada tahun 1989/90
sebesar 47,6%. Dengan adanya gejala peningkatan laju inflasi pada awal
tahun 1990, maka mulai pertengahan tahun 1990 hingga awal tahun 1991
maka diambil kebijaksanaan uang ketat. Sebagai hasilnya pertambahan uang
beredar kemudian menurun selama tahun 1990/91, yaitu 6,4%. Setelah laju
inflasi dapat dikendalikan, sejak akhir tahun 1991 keketatan mulai
dilonggarkan dan pertambahan uang beredar selama tahun 1991/92 mencapai
15,9%. Perkembangan jumlah uang beredar dan laju tingkat kenaikan harga
(inflasi) tersebut dijabarkan lebih rinci pada Tabel IV-11 dan Tabel IV-12.
Dilihat dari komposisi uang beredar, peranan uang giral meningkat
dengan cepat sehingga pada tahun 1989/90 mencapai 65,0% dibandingkan
dengan 34,0% pada tahun 1968. Hal ini menunjukkan pelayanan perbankan
dan kepercayaan masyarakat pada perbankan semakin meningkat. Pada
tahun-tahun selanjutnya, jumlah uang kartal meningkat lebih cepat, sehingga
peranan uang giral pada tahun 1992 menurun menjadi 60,1%.
Perkembangan ini tidak terlepas dari berkembangnya berbagai jenis
tabungan yang memberikan banyak kemudahan seperti halnya giral akan
tetapi memberikan bunga yang jauh lebih tinggi.
Sementara itu dilihat dari penyebab perubahan uang beredar, sektor
luar negeri selama periode 1969/70-1987/88 selalu memberikan pengaruh
ekspansi, terutama sebagai hasil penerimaan ekspor migas. Penerimaan
tersebut selanjutnya menambah rekening Pemerintah di Bank Indonesia yang
memberikan pengaruh kontraktif. Perkembangan ini menggambarkan bahwa
kebijaksanaan anggaran belanja dan pendapatan pemerintah yang seimbang
dan dinamis telah berhasil membatasi pengaruh ekspansi sektor luar negeri
terhadap uang beredar.
IV/57
TABEL IV – 11
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
IV/58
Angka akhir tahun
Angka sementara hingga Desember 1992
Terhadap tahun sebelumnya
TABEL IV – 11
1)
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
Angka akhir tahun
Angka sementara hingga Desember 1992
Sampai dengan Maret 1979 berdasarkan Indeks Biaya Hidup (IBH) di Jakarta. Untuk periode April 1979 s/d Oktober 1990 berdasarkan
Indeks Harga Konsumen (IHK) gabungan 17 kota (April 1977 – Maret 1978 = 10). Mulai April 1990 menggunakan
Indeks harga Konsumen gabungan 27 kota (April 1988 – Maret 1989 = 100)
Perubahan terhadap tahun sebelumnya
IV/59
Pengaruh meningkatnya pemberian kredit kepada sektor swasta
sangat besar dalam pertambahan jumlah uang beredar selama periode
1987/88 hingga tahun 1990/91. Sumbangan kenaikan kredit swasta terhadap
pertambahan jumlah uang beredar adalah sebesar Rp 7,7 triliun pada tahun
1987/88, dan meningkat menjadi Rp 31,2 triliun pada tahun 1990/91.
Dampak kenaikan kredit sektor swasta yang cepat tersebut diperlunak
dengan efek mengurang dari kenaikan aktiva lain dari Rp 5,2 triliun me njadi
Rp 10,5 triliun dalam periode yang sama. Kenaikan aktiva lain bersih pada
tahun 1990/91 terutama berkaitan dengan penjualan SBI khusus kepada
BUMN dan adanya kenaikan modal bank sehubungan dengan meningkatnya
jumlah dan kegiatan bank. Pertambahan uang beredar kemudian melambat
pada tahun 1991/92 hingga Desember 1992, seiring dengan menurunnya
pemberian kredit kepada perusahaan swasta dan perorangan. Sektor
keuangan pemerintah selama periode 1990/91 dan 1991/92 menunjukkan
pengaruh mengurang yang cukup besar karena tingginya penerimaan dari
migas dan meningkatnya penerimaan berbagai pajak dan pungutan lainnya.
Sementara itu, sektor luar negeri memberikan pengaruh menambah yang
semakin besar sejak tahun 1990/91 akibat meningkatnya penerimaan ekspor
non migas dan pinjaman komersial luar negeri. Rincian lebih lanjut
sebab-sebab perubahan uang beredar tersebut dapat dilihat pada Tabel
IV-13.
3. Dana Perbankan
Kebijaksanaan Pakto 1988, yang antara lain telah meningkatkan
jumlah bank dan kantor cabang, telah mendorong peningkatan
penghimpunan dana yang pesat, terutama melalui deposito berjangka.
Sebelum dikeluarkan kebijaksanaan Oktober 1988, dana perbankan
bertambah dengan lambat, yaitu sebesar Rp 8,4 triliun selama periode
1969/70-1987/88. Pada tahun 1987/88, dana yang dihimpun mencapai
Rp 31,0 triliun dan terus meningkat dan laju peningkatannya mencapai
puncaknya pada tahun 1989/90 yaitu sebesar 49,8%. Pada tahun-tahun
selanjutnya laju ini menurun akibat diberlakukannya kebijakan uang ketat.
Walaupun demikian pada tahun 1991/92 masih tumbuh sekitar 23,5%.
Sampai dengan pertengahan tahun 1992/93 (September 1992), dana
perbankan yang terdiri dari deposito berjangka rupiah dan valuta asing, giro
dan tabungan sudah mencapai Rp 109,4 triliun. Selama hampir 5 tahun
terakhir jumlah dana yang dihimpun telah meningkat menjadi 3 kali lipat.
IV/60
TABEL IV – 13
1)
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
Angka tahunan
Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah
dari Rp 702,50 menjadi Rp 970,- per US Dolar pada 30 Maret 1983, masing-masing sebesar Rp 1.962,50 pada sektor
luar negeri, Rp 237,3 miliar pada sektor Pemerintah, Rp 294,3 miliar pada sektor kegiatan perusahaan,
Rp 1.399,4 miliar dan Rp 620,1 miliar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi)
Angka sementara hingga Oktober 1992
Termasuk tagihan pada swasta
Kredit Pengadaan pangan
IV/61
Sejalan dengan pertambahan jumlah bank, jumlah giro meningkat
pesat sejak tahun 1988. Pertambahan jumlah giro selama periode
1968-1987/88 sebesar Rp 8,4 triliun, lebih kecil dibandingkan Rp 15,2
triliun selama periode 1988/89-1992. Pada tahun 1987/88 jumlah giro baru
mencapai Rp 8,5 triliun dan pada bulan September 1992 telah mencapai
Rp 23,7 triliun.
Di antara bentuk dana perbankan tersebut deposito berjangka rupiah
menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan. Pertambahan deposito
tersebut sebesar Rp 28 triliun selama 5 tahun terakhir lebih besar dibanding
selama periode 1968-1987/88 yang hanya mencapai Rp 16,6 triliun.
Ditinjau dari jangka waktunya, perkembangan deposito 6 bulan relatif lebih
besar dibanding deposito jangka waktu yang lain. Hingga September 1992,
dana deposito berjangka rupiah yang terhimpun mencapai Rp 44,7 triliun,
yang berarti 2,6 kali lipat dibanding posisi tahun 1987/88.
Perkembangan tabungan juga menunjukkan kenaikan yang pesat
terutama setelah paket kebijaksanaan Oktober 1988. Jika selama periode
1973/74-1987/88 hanya bertambah Rp 2,2 triliun, maka dalam periode
1988/89-1992/93 bertambah Rp 19,8 triliun. Pada tahun 1987/88 jumlah
tabungan baru mencapai Rp 2,3 triliun sedangkan pada pertengahan tahun
1992/93 telah mencapai Rp 22,1 triliun, yang berarti melipat menjadi
9 kalinya selama 5 tahun terakhir ini. Laju kenaikan tabungan terbesar
terjadi pada tahun 1989/90 sebesar 49,8%, dan ini terutama didorong oleh
meningkatnya jenis tabungan yang ditawarkan perbankan kepada
masyarakat. Jumlah penabung juga menunjukkan peningkatan yang sangat
pesat, dari 20,4 juta orang pada tahun 1987/88 menjadi 36,7 juta orang pada
bulan September 1992. Tabungan, yang terdiri atas Tabungan Pembangunan
Nasional (Tabanas), Tabungan Asuransi Berjangka (Taska), Tabungan
Ongkos Naik Haji (ONH), Simpanan Pedesaan (Simpedes) dan tabungan
lainnya dalam tahun 1992 tetap menunjukkan peningkatan yang
menggembirakan walaupun tidak sebesar tahun sebelumnya.
Sampai akhir Juni 1991 nilai Tabanas dan Taska berjumlah Rp 1,6
triliun dengan jumlah penabung sebanyak 17,8 juta orang yang sedikit
mengalami penurunan dibandingkan dengan posisi akhir Maret 1990 sebesar
Rp 1,7 triliun dengan 18,0 juta penabung. Penurunan tersebut terutama
disebabkan oleh kurang menariknya Tabanas dan Taska dibanding jenis
tabungan lainnya, seperti dalam hal suku bunga, tata cara penarikan dan
IV/62
insentif berupa pemberian hadiah. Perlu dikemukakan, sejak Juli 1991
Tabanas/Taska tidak dilaporkan bank-bank secara terpisah tetapi
dikelompokkan ke dalam jenis tabungan lainnya.
Sementara itu Simpedes, jenis tabungan untuk masyarakat pedesaan,
selama beberapa tahun terakhir ini masih menunjukkan peningkatan yang
cukup berarti dari tahun ke tahun yaitu dengan rata-rata 11,3% per tahun.
Jika pada akhir Desember 1987 baru mencapai Rp 205,8 miliar maka pada
akhir Desember 1991 telah menjadi sebesar Rp 1,4 triliun dengan 4,5 juta
penabung dan meningkat lagi menjadi sebesar Rp 1,6 triliun dengan 5,1 juta
penabung pada bulan September 1992.
Minat kalangan bisnis dan LKBB terhadap sertifikat deposito bank
cukup besar. Jumlah sertifikat deposito dalam peredaran menunjukkan
peningkatan dari Rp 222 miliar pada tahun 1987/88 menjadi Rp 1.9 triliun
pada bulan September 1992. Perkembangan penghimpunan dana melalui
giro, deposito berjangka, tabungan dan sertifikat deposito tersebut dapat
dilihat pada Tabel IV-14 hingga Tabel IV-17.
4. Kebijaksanaan dan Perkembangan Perkreditan
a. Kebijaksanaan Perkreditan
Seperti telah disebutkan terdahulu, sistem perkreditan nasional
mengalami penyempurnaan dengan dikeluarkannya Paket Kebijaksanaan Juni
1983 dan Paket Kebijaksanaan Januari 1990 (Pakjan 1990). Paket
kebijaksanaan yang terakhir bertujuan mendorong bank dan lembaga
keuangan untuk lebih mandiri dengan mengurangi secara bertahap
ketergantungannya pada kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), dan untuk
mendukung kebijaksanaan pengendalian moneter secara tidak langsung.
Kredit likuiditas dalam jumlah terbatas hanya diberikan untuk mendukung
upaya pelestarian swasembada pangan, upaya pengembangan koperasi serta
upaya peningkatan investasi. Melalui Pakjan tersebut, dalam rangka mendukung perkembangan usaha kecil dan untuk menunjang pencapaian sasaran
pemerataan, perbankan diwajibkan menyediakan sekurang-kurangnya 20%
dari dana kreditnya untuk membiayai sektor usaha kecil (Kredit Usaha
Kecil).
Terkait dengan upaya meningkatkan kesehatan perbankan, tata cara
IV/63
TABEL IV – 14
1)
PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN
DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING,
1969/70 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Angka akhir tahun. Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan serta termasuk
dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk
Angka sementara hingga September 1992
Termasuk giro valuta asing
Terdiri atas deposito berjangka rupiah dan valuta asing, serta termasuk sertifikat deposito
Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH)
Terhadap tahun sebelumnya
IV/64
TABEL IV – 15
1)
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN
MENURUT JANGKA WAKTU,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
Angka akhir tahun. Termasuk dana milik pemerintah Pusat dan bukan penduduk serta sertifikat deposito
Angka sementara hingga September 1992
Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
Terhadap tahun sebelumnya
IV/65
TABEL IV – 16
1)
PERKEMBANGAN TABUNGAN MASYARAKAT,
1968 – 1992/93
1)
2)
3)
IV/66
Angka akhir tahun
Angka sementara hingga September 1992
Setelah Juni 1991 Tabanas/Taska tidak dilaksanakan lagi
TABEL IV – 17
1)
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
Angka akhir tahun. Termasuk sertifikat deposito antar-bank
Angka sementara hingga September 1992
IV/67
pemberian kredit perbankan terus disempurnakan. Dalam Paket
Kebijaksanaan Februari 1991 diatur antara lain bahwa bank tidak
diperkenankan memberikan kredit untuk pembelian saham karena
mengandung risiko tinggi. Selain itu disempurnakan ketentuan tentang batas
maksimum pemberian kredit (BMPK) kepada satu debitur sebesar 20% dan
debitur group sebesar 50%, masing-masing terhadap modal bank yang
bersangkutan. BMPK juga dikenakan secara bervariasi kepada pengurus,
pemegang saham dan keluarganya. Dalam rangka mengurangi risiko kredit,
telah diatur pembatasan pemberian kredit untuk pembelian saham dan
pemilikan saham oleh bank. Pengaturan pemberian kredit perbankan tersebut
juga ditegaskan dalam Undang-undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992.
b. Perkembangan Perkreditan
Selama kurun waktu 1968-1983/84 kredit perbankan bertambah
sebesar Rp 16,0 triliun, atau tumbuh sebesar rata-rata 37,7% per tahun.
Sejalan dengan upaya penghimpunan dana, pemberian kredit perbankan
melonjak setelah dibebaskannya pagu kredit pada tahun 1983. Pertumbuhan
kredit perbankan meningkat terus dan mencapai puncak pada tahun 1989/90
dengan laju pertumbuhan 53,8%. Kebijaksanaan uang ketat sejak
pertengahan tahun 1990 telah menurunkan laju pertumbuhan tersebut. Pada
tahun 1991/92 laju pertumbuhan telah turun 16,1%. Untuk periode 1987/88
sampai dengan pertengahan 1992/93 kredit tersebut naik dari Rp 35,0 triliun
menjadi Rp 122,7 triliun. Peningkatan pemberian kredit menunjukkan
tanggapan yang positif dari dunia usaha terhadap deregulasi sektor moneter
maupun sektor
Menurut sektor perbankan, pemberian kredit oleh bank swasta
nasional menunjukkan peningkatan tercepat, yakni dari Rp 9,2 triliun pada
tahun 1987/88 menjadi Rp 46,4 triliun pada bulan September tahun 1992.
Kenaikan tersebut dimungkinkan oleh bertambahnya jumlah bank dan kantor
cabang serta penghimpunan dana yang cepat oleh bank swasta sebagai akibat
deregulasi. Namun demikian bank pemerintah masih merupakan pemberi
kredit terbesar yang mencapai Rp 66,1 triliun pada September 1992.
Perkembangan kredit menurut sektor perbankan tersebut dapat dilihat pada
Tabel IV-18.
Penyaluran kredit langsung oleh Bank Indonesia tampak menurun
dalam empat tahun Repelita V dibandingkan Repelita sebelumnya, yaitu dari
.IV/68
TABEL IV – 18
1)
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR PERBANKAN,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
Angka akhir tahun. Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit
antar-bank serta kredit Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek
Angka sementara hingga September 1992
Sejak Mei 1989 termasuk BTN
Termasuk Bank Pembangunan Daerah
Terhadap tahun sebelumnya
IV/69
Rp 1.583 miliar pada tahun 1988/89 menjadi Rp 790 miliar pada
pertengahan tahun 1992. Penurunan tersebut sesuai dengan tujuan
dikeluarkannya kebijaksanaan penyempurnaan sistem perkreditan nasional
(Pakjan 1990).
Dapat dikemukakan di sini bahwa kredit untuk usaha kecil, sebagai
bagian dari upaya pemerataan kesempatan berusaha, juga meningkat dengan
cepat dalam kurun waktu 1990/91-1991/92. Pemberian kredit untuk usaha
kecil (KUK) hingga Maret 1992 mencapai Rp 22,8 triliun atau 22,3% dari
seluruh kredit perbankan, jauh meningkat dibanding Rp 14,1 triliun pada
tahun 1989. Kredit ini banyak digunakan untuk usaha kecil yang bergerak di
sektor perdagangan, restoran dan hotel, dan sektor perindustrian.
Perkembangan kredit menurut sektor ekonomi menunjukkan kredit
untuk sektor produksi terus meningkat lebih besar dibandingkan sektor
perdagangan dan sektor lain-lain. Hingga bulan September 1992 proporsi
kredit menurut sektor ekonomi tersebut adalah 38,5% untuk produksi,
27,4% untuk perdagangan dan 34,1% untuk lain-lain. Perkembangan kredit
menurut sektor ekonomi tersebut dapat dilihat pada Tabel IV-19 dan Grafik
IV-6.
Walaupun sejak Januari 1990 tidak didukung lagi dengan kredit
likuiditas perkembangan kredit ekspor tetap menunjukkan peningkatan
pesat. Bila pada tahun 1988/89 pangsa kredit ekspor hanya sekitar Rp 4,6
triliun, maka pada tahun 1992 telah mencapai Rp 10,5 triliun. Peningkatan
ini menunjukkan bahwa dunia usaha yang bergerak di sektor ekspor menjadi
semakin menguntungkan setelah devaluasi tahun 1983 dan 1986, serta
beberapa deregulasi sektor rill sejak tahun 1986. Menurut paket kebijak sanaan Oktober 1988, Bank Asing dan Bank Campuran diwajibkan
menyalurkan 50% dari kreditnya dalam bentuk kredit ekspor. Peningkatan
pemberian kredit ekspor tersebut telah ikut pula berperan dalam mendukung
peningkatan ekspor non migas.
Penyerapan kredit investasi meningkat cepat selama hampir 5 tahun
terakhir, dari Rp 7,7 triliun pada tahun 1987/88 menjadi Rp 33,6 triliun
pada pertengahan tahun 1992/93. Sektor perindustrian menyerap lebih besar
dibandingkan sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Hal ini memungkinkan
pertumbuhan ekspor industri pengolahan meningkat dengan cepat selama
5 tahun terakhir. Mengenai perkembangan realisasi kredit investasi ini dapat
dilihat pada Tabel IV-20 dan Grafik IV-7.
IV/70
TABEL IV – 19
1)
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
Angka akhir tahun. Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tetapi tidak termasuk kredit
antar-bank serta kredit Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan nilai lawan bantuan proyek
Angka sementara hingga September 1992
Termasuk sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian
Termasuk sektor jasa dan lain-lain
Terhadap tahun sebelumnya
IV/71
GRAFIK IV – 6
PERKEMBANGAN KREDIT MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1968 – 1992/93
IV/72
TABEL IV – 19
1)
PERKEMBANGAN REALISASI KREDIT INVESTASI
MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1968 – 1992/93
(miliar rupiah)
1)
2)
3)
Angka akhir tahun. Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat dan nilai lawan valuta asing pinjaman investasi
dalam rangka bantuan proyek
Angka sementara hingga September 1992
Terhadap tahun sebelumnya
IV/73
GRAFIK IV – 19
PERKEMBANGAN REALISASI KREDIT INVESTASI
MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1968 – 1992/93
IV/74
Di samping kredit yang disalurkan melalui perbankan terdapat pula
jenis kredit lainnya, yakni kredit pemilikan rumah (KPR) yang disalurkan
melalui PT Papan Sejahtera. KPR yang diberikan kepada masyarakat
berpenghasilan menengah ini terus mengalami kenaikan dari Rp 132,0 miliar
pada tahun 1987/88 menjadi Rp 225,0 miliar pada tahun 1991/92. Mulai
25 Maret 1993, PT Papan Sejahtera yang semula berstatus lembaga
keuangan bukan bank berubah menjadi bank umum.
5. Suku Bunga
Kebijaksanaan yang berkaitan dengan suku bunga diarahkan pada
tercapainya tingkat suku bunga yang dapat mendorong investasi, tanpa
mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung dan menyebabkan terjadinya
pengaliran modal keluar negeri. Dari Repelita I hingga Repelita III,
pengaturan suku bunga secara langsung, baik suku bunga deposito dan
tabungan maupun suku bunga kredit mempunyai arti penting sebagai salah
satu alat kebijaksanaan moneter di dalam mengerahkan dana masyarakat dan
mengarahkan kredit ke sektor-sektor yang diprioritaskan. Penetapan suku
bunga secara langsung tersebut selalu disesuaikan dengan perkembangan
ekonomi dan moneter yang terjadi. Sebagai contoh, pada tahun 1974 suku
bunga kredit dinaikkan sejalan kebijaksanaan pengendalian inflasi. Kenaikan
suku bunga kredit bank pemerintah dinaikkan secara selektif dengan tetap
mempertahankan suku bunga yang relatif rendah bagi kredit prioritas seperti
Bimas, KIK/KMKP, serta kredit untuk pengadaan pangan dan produksi.
Selanjutnya dengan perkembangan harga yang semakin mantap, melalui
ketentuan 1 Januari 1978, suku bunga kredit jangka pendek bank-bank yang
semula berkisar antara 9% sampai 24% setahun diturunkan menjadi berkisar
antara 9% sampai 21%. Dalam ketentuan tersebut juga diadakan perubahan
dan penggeseran atas bidang-bidang yang diprioritaskan.
Pengendalian tingkat suku bunga, sejak dikeluarkan paket
kebijaksanaan Juni 1983 dilakukan secara tidak langsung melalui tingkat
diskonto SBI dan SBPU. Pada tahun 1987/88 terjadi kenaikan tingkat suku
bunga yang tinggi, seperti suku bunga pasar uang antar bank mencapai
46,5%. Perbankan pada waktu itu mengalami kesulitan likuiditas akibat
pengalihan sebagian dana BUMN ke dalam SBI untuk mencegah
mengalirnya modal ke luar negeri. Dengan semakin mantapnya stabilitas
ekonomi dan meredanya spekulasi valuta asing, tingkat suku bunga kredit
dan deposito diturunkan melalui persamaan tingkat bunga diskonto u lang
IV/75
SBI dan SBPU. Suku bunga rata-rata SBI 7 hari yang pada akhir tahun
1987/88 sebesar 12,3% menurun menjadi 10,2% pada akhir Maret 1990.
Suku bunga rata-rata SBPU yang pada akhir Mei 1988 adalah 17,4%
menurun menjadi 13,4% pada akhir Maret 1990. Sedangkan suku bunga
antar bank juga mengalami penurunan yakni dari 15,4% pada akhir Maret
1988 menjadi 13,4% pada akhir Maret 1990.
Sementara itu suhu perekonomian mulai memanas dalam tahun 1989
dan awal tahun 1990. Kebijaksanaan pengetatan moneter pada tahun
1990/91 dan pemindahan deposito berjangka milik beberapa BUMN ke
dalam SBI, dalam rangka menyejukkan suhu perekonomian, telah
meningkatkan suku bunga. Pada akhir tahun 1990/91 suku bunga rata-rata
tertimbang deposito berjangka 12 bulan meningkat menjadi 20%. Sedangkan
suku bunga SBI menjadi 19-26% dan SBPU 30,9%.
Dengan makin terkendalinya laju inflasi dan situasi neraca
pembayaran memasuki tahun 1991/92 secara bertahap suku bunga
diturunkan melalui penurunan tingkat diskonto SBI dan SBPU. Pada akhir
tahun 1991/92, suku bunga SBI berhasil ditekan menjadi 17% dan SBPU
menjadi 18,5%. Selanjutnya suku bunga deposito berjangka juga mengalami
sedikit penurunan, yaitu 19,4% untuk deposito 12 bulan. Sedangkan suku
bunga kredit modal kerja yang pada bulan Maret 1991 sebesar 26,8% turun
menjadi 25,0% pada bulan Maret 1992. Dalam periode yang sama, suku
bunga kredit investasi mengalami penurunan yang lebih besar dari 23,2%
menjadi 19,0%.
Pada tahun 1992/93, upaya penurunan suku bunga terus dilakukan
dengan menurunkan tingkat diskonto SBI dan SBPU. Hingga Desember
1992, suku bunga SBI mencapai 13,8% dan suku bunga SBPU sebesar
14,4%. Selanjutnya suku bunga dana antar bank dapat dikendalikan sebesar
11,0%. Sementara itu, suku bunga kredit hingga bulan Oktober 1992,
mencapai 23,5% untuk kredit modal kerja dan 19,0% untuk kredit investasi.
Sedangkan suku bunga deposito 12 bulan mencapai 18%.
6. Perkembangan Harga
Stabilitas harga sebagai faktor panting dalam stabilitas nasional
merupakan sasaran utama kebijaksanaan di bidang fiskal dan moneter.
Secara umum harga-harga dapat dipelihara kestabilannya, terutama setelah
IV/76
tahun 1984 dengan tingkat inflasi yang dapat diupayakan selalu di bawah
10% per tahun. Dalam periode 1973-1987 tingkat inflasi adalah sebesar
rata-rata 14% per tahun. Selama lima tahun terakhir laju inflasi yang cukup
tinggi dialami pada tahun 1990/91 yaitu sebesar 9,1%. Inflasi dalam tahun
1990/91 disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu siklus meningkatnya
permintaan masyarakat menjelang Lebaran, kenaikan harga bahan bakar
minyak, dan penyesuaian tarif angkutan. Selain ketiga faktor tersebut,
meningkatnya pemberian kredit perbankan sebagai akibat dari peningkatan
tajam kegiatan investasi di dalam negeri, merupakan pendorong utama.
Dampak dari memanasnya perekonomian bersama-sama dengan kemarau
panjang yang terjadi dalam tahun 1991, mengakibatkan tingkat inflasi
selama tahun 1991/92 masih cukup tinggi, yakni sebesar 9,8%.
Kebijaksanaan uang ketat yang dimulai pada pertengahan tahun 1990
berhasil menurunkan laju pertumbuhan pemberian kredit perbankan. Sebagai
hasilnya inflasi periode April-Desember 1992 turun menjadi 4,14% atau
4,94% untuk seluruh tahun 1992.
E.
PERKEMBANGAN
PERBANKAN
KEUANGAN LAINNYA
DAN
LEMBAGA
1. Perbankan
Pertumbuhan ekonomi yang cepat sejak Repelita I telah menimbulkan
peningkatan permintaan yang cepat akan dana, piranti keuangan dan jasa
lembaga keuangan. Pada tahun 1969/70 tercatat 181 bank (bank umum,
bank pembangunan dan bank tabungan) dengan jumlah kantor 996 buah.
Selama periode 1969/70-1987/88 jumlah bank mengalami penurunan
sebanyak 69 buah karena adanya penggabungan (merger) dan pencabutan
izin usaha terutama pada bank swasta. Walaupun demikian bila ditinjau dari
jumlah kantor bank masih menunjukkan peningkatan yaitu sebanyak 644
buah. Dalam periode tersebut, usaha pengembangan lembaga perbankan
ditekankan pada pemupukan kepercayaan masyarakat dan perluasan
pemberian jasa-jasa bank.
Untuk makin meningkatkan peranan jasa lembaga keuangan dalam
pembangunan maka dikeluarkan serangkaian paket kebijaksanaan deregulasi
di bidang perbankan, yang dimulai dengan paket 27 Oktober 1988 (Pakto).
Paket kebijaksanaan ini, yang antara lain memberi kemudahan bagi
pendirian bank-bank baru, telah menghasilkan perkembangan perbankan
IV/77
yang mengesankan selama 5 tahun terakhir. Dari tahun 1987 hingga Juni
1992 jumlah bank umum telah bertambah dari 112 buah menjadi 201 buah
dengan pertambahan jumlah kantor sebanyak 2.733 buah. Sebagian besar
pertambahan bank umum tersebut adalah bank umum swasta nasional
sebanyak 70 buah. Sedang jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
bertambah dari 5.789 buah menjadi 8.912 buah.
Sementara itu juga disadari bahwa lembaga perbankan pada dasarnya
merupakan lembaga yang kelangsungan hidupnya bertumpu pada
terpeliharanya kepercayaan masyarakat. Dalam hubungan ini, telah
ditempuh langkah-langkah agar jumlah lembaga perbankan yang telah
meningkat dengan pesat sejak tahun 1988 tersebut tetap dapat tumbuh secara
sehat. Untuk ini, melalui paket kebijaksanaan Pebruari 1991 telah di
keluarkan beberapa ketentuan untuk menjamin bahwa pertumbuhan
perbankan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, seperti tercermin dari
ketentuan tentang rasio kecukupan modal terhadap aktiva tertimbang
menurut risiko (CAR) dan rasio pinjaman terhadap deposito (LDR). Sebagai
akibat dikeluarkannya langkah-langkah ini, maka lembaga perbankan sejak
awal 1991 telah berupaya untuk memantapkan tingkat kesehatannya. Proses
konsolidasi dari lembaga perbankan ini tercermin dari pertumbuhan yang
jumlah lembaga perbankan yang lebih lambat selama tahun 1991/1992, yaitu
sebesar 20 buah dibanding dengan pertambahan sebesar 40 buah dalam tahun
1989/1990.
Rangkaian langkah deregulasi dan konsolidasi tersebut di atas
memberikan kemampuan kepada perbankan nasional untuk menanggapi
perkembangan nasional maupun internasional yang senantiasa bergerak cepat
dan memberikan tantangan yang semakin luas. Dorongan yang semacam ini
belum tertampung dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang
Perbankan. Untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan
menyeluruh terhadap berbagai peraturan bidang moneter dan perbankan
tersebut, serta untuk memberikan pengarahan yang jelas kepada dunia
perbankan yang berkembang dengan cepat, maka dikeluarkan Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Menurut Undang-undang
ini, jenis-jenis bank hanya terdiri atas bank umum dan bank perkreditan
rakyat. Dalam peraturan pelaksanaan selanjutnya, berdasarkan serangkaian
Peraturan Pemerintah, telah dikeluarkan ketentuan tentang antara lain
perubahan status bank-bank pemerintah dari perusahaan negara menjadi
persero, penyesuaian lembaga keuangan bukan bank menjadi bank dan
IV/78
tentang lokasi dan syarat-syarat pendirian bank perkreditan rakyat.
2. Lembaga Keuangan Lainnya
Sejalan dengan perkembangan perekonomian dan pendapatan
masyarakat, permintaan terhadap jasa lembaga keuangan lain yang terdiri
dari Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), Asuransi, Dana Pensiun dan
Lembaga Pembiayaan, juga meningkat selama hampir seperempat abad
terakhir. Peningkatan tersebut tampak menonjol selama 5 tahun terakhir
dengan dikeluarkannya beberapa kebijaksanaan dan undang-undang baru
yang mendorong pertumbuhan kegiatan lembaga keuangan lain tersebut.
Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB), ditinjau dari investasi yang
ditanamkan, menunjukkan peningkatan pesat dari Rp 1,9 triliun pada tahun
1987/88 menjadi Rp 4,7 triliun pada tahun 1991/92. Kegiatan investasi
LKBB tersebut sudah jauh meningkat dibanding pada tahun 1975/76 yang
baru mencapai Rp 101,9 miliar. Jumlah LKBB sampai dengan akhir tahun
1991/92 mencapai 14 LKBB, yang terdiri atas 3 LKBB pembiayaan
pembangunan, 9 LKBB pembiayaan investasi, 1 LKBB pembiayaan
perumahan, dan 1 LKBB lainnya. Agar LKBB dapat lebih mengembangkan
usahanya, menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, dapat
menyesuaikan diri menjadi bank umum paling lambat 25 Maret 1993. Selain
itu, LKBB dapat pula berubah menjadi perusahaan efek.
Melalui paket kebijaksanaan Desember 1988 diberikan banyak
kemudahan bagi usaha asuransi antara lain penyederhanaan tata cara
perizinan, ketentuan permodalan, bentuk perusahaan asuransi, serta
ketentuan batas tingkat solvabilitas. Deregulasi ini telah mendorong
meningkatnya kegiatan usaha asuransi, yang antara lain tercermin dari
bertambahnya jumlah premi bruto industri asuransi dan dana investasi.
Premi asuransi pada tahun 1991 mencapai Rp 2,7 triliun atau 1,17%
terhadap PDB meningkat dibandingkan Rp 1,4 triliun atau 1,12% terhadap
PDB pada tahun 1987. Dalam periode yang sama, dana investasi meningkat
dari Rp 2,5 triliun menjadi Rp 6,3 triliun. Perkembangan asuransi hingga
tahun 1991 tersebut jauh meningkat dibanding tahun 1972 yang baru
mencapai jumlah premi sebesar Rp 25,7 miliar dan dana investasi sebesar
Rp 10,2 miliar. Jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi pada tahun 1992
telah mencapai 145 buah, atau meningkat 25% terhadap tahun 1988, dengan
rincian 4 6 p erusahaan asur ansi jiwa, 5 per usahaan asuransi so sia l,
IV/79
90 perusahaan asuransi kerugian, dan 4 perusahaan reasuransi. Selain itu,
menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
dikenal juga perusahaan penunjang asuransi. Pada tahun 1992 kelompok
perusahaan ini mencapai 110 buah, dengan rincian 70 perusahaan pialang
asuransi, 21 perusahaan penilai kerugian asuransi, dan 19 konsultan
aktuaria.
Dana Pensiun juga menunjukkan perkembangan yang terus
meningkat. Yayasan Dana Pensiun (YDP) hingga Maret 1992 berjumlah 194
buah, yang berarti bertambah 112 buah dibanding tahun 1987. Sementara
itu, agar dana pensiun berkembang dengan sehat, melalui Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1992 telah ditetapkan landasan hukum yang kuat bagi
pendiriannya, termasuk landasan hukum tentang pembinaan dan pengawasan
oleh Pemerintah. Dalam Undang-undang tersebut, dana pensiun yang
menjanjikan manfaat pensiun dibagi menjadi dua, yaitu dana pensiun
pemberi kerja dan dana pensiun lembaga keuangan. Dana pensiun pemberi
kerja dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan untuk
para karyawannya, sedangkan dana pensiun lembaga keuangan dibentuk oleh
bank atau perusahaan asuransi jiwa bagi perorangan, baik karyawan maupun
pekerja mandiri.
Lembaga pembiayaan, juga meningkat pesat setelah adanya Paket
20 Desember 1988. Pada tahun 1987 jumlah lembaga pembiayaan mencapai
83 buah, yang kemudian berkembang menjadi 146 buah pada tahun 1992,
dengan perincian 2 perusahaan anjak piutang, 3 perusahaan pembiayaan
konsumen, 6 perusahaan modal ventura, 2 perusahaan kartu kred it dan
58 perusahaan sewa guna usaha serta 75 perusahaan multi finance. Investasi
yang dilakukan lembaga pembiayaan mencapai Rp 6,8 triliun pada tahun
1991, yang berarti meningkat enam kali dibandingkan tahun 1987. Sewa
guna usaha (leasing), sebagai jenis lembaga pembiayaan yang sudah lama
berkembang, terus menunjukkan perkembangan pesat selama periode
1975-1991. Investasi yang dilakukannya meningkat dari Rp 680 juta pada
tahun 1975 menjadi Rp 3,9 triliun pada tahun 1991.
3. Pasar Modal
Pasar modal merupakan sarana penghimpun dana dan pembiayaan
jangka panjang bagi dunia usaha. Pertumbuhan kegiatan industri sesudah
tahun 1986 telah mengakibatkan naiknya kebutuhan investasi melalui pasar
modal. Untuk menanggapi kebutuhan tersebut, telah dikel uarkan berbagai
IV/80
paket kebijaksanaan deregulasi di bidang pasar modal, seperti Paket
Desember 1987, dan Paket Desember 1988. Paket-paket tersebut antara lain
mengatur izin penyelenggaraan bursa efek oleh swasta di beberapa kota
selain Jakarta, diizinkannya perdagangan saham antar bursa, pelaksanaan
sistem saham terdaftar dan sistem perusahaan terdaftar, dan pendirian bursa
paralel (OTC).
Selanjutnya pada bulan Nopember 1990 dikeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 53 yang antara lain menetapkan dibentuknya Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Lembaga ini membantu Menteri
Keuangan dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan pasar modal.
Selain itu juga diatur hal-hal mengenai kerangka kelembagaan pasar modal,
seperti pendirian reksa dana dan lembaga penunjang pasar modal.
Selanjutnya penyelenggaraan bursa efek di Jakarta dilaksanakan oleh
PT Bursa Efek Jakarta mulai tahun 1992. Dengan demikian investor
mempunyai beberapa pilihan untuk memperjualbelikan sahamnya, yaitu di
Bursa Efek Surabaya (BES), dan Bursa Efek Jakarta (BEJ), termasuk Bursa
Paralel Indonesia (BPI).
Rangkaian kebijaksanaan tersebut telah mendorong perkembangan
pasar modal. Hal ini tampak dari pertambahan jumlah perusahaan yang
menerbitkan saham dan obligasi di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebanyak 150
buah selama kurun waktu 1988-1992 dibandingkan dengan 27 buah selama
periode 1977-1987. Volume perdagangan saham BEJ meningkat cepat
selama hampir 5 tahun terakhir ini, dari 6,9 juta lembar pada tahun 1988
menjadi 1 triliun lembar pada tahun 1992, dengan kenaikan nilai
perdagangan dari Rp 30,2 miliar menjadi Rp 4,8 triliun. Nilai perdagangan
saham mencapai puncak pada tahun 1990 sebesar Rp 7,4 triliun, dengan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhir tahun sebesar 417,8.
Selanjutnya pada tahun 1991 nilai perdagangan saham mengalami penurunan
menjadi Rp 5,8 triliun, dan IHSG merosot menjadi 247,3. Penurunan ini
terutama mencerminkan proses koreksi pasar atas perkembangan yang sangat
cepat di masa lalu. Dalam tahun 1992 kegiatan perdagangan saham
menunjukkan peningkatan kembali sehingga IHSG naik menjadi 274,3 pada
akhir tahun.
IV/81
Jumlah perusahaan yang menerbitkan emisi (go public) di Bursa Efek
Jakarta sampai dengan akhir bulan Nopember 1992 telah berkembang
menjadi 180 perusahaan, jauh meningkat dibandingkan 27 perusahaan pada
tahun 1987. Pada tahun 1992 nilai kapitalisasi saham mencapai Rp 25 triliun
dan nilai perdagangan obligasi Rp 3,3 triliun, juga jauh meningkat
dibandingkan Rp 112,1 miliar dan Rp 535,7 miliar pada tahun 1987.
IV/82
Download