ABSTRAK

advertisement
Edisi: II/XII/A.APBN/2015
DILEMATIS PENYERAPAN APBN
ABSTRAK
Kinerja penyerapan anggaran selalu
menjadi sorotan di setiap penghujung
tahun
anggaran.
Beberapa
permasalahan klasik terus berulang
mulai dari aspek kinerja birokrasi
maupun aturan perundang-undangan
yang
berlaku.
Dalam
sistem
penganggaran berbasis kinerja, kuantitas
penyerapan
anggaran
bukanlah
indikator utama kinerja anggaran.
Capaian kinerja anggaran merupakan
unsur
utama
yang
harus
dipertimbangkan.
Selama
capaian
indikator kinerja telah tercapai, maka
penyerapan anggaran menjadi tolok
ukur efisiensi anggaran. Namun dari
aspek fungsi distribusi dan alokasi APBN,
rendahnya penyerapan anggaran dapat
mengindikasikan adanya inefisiensi
dalam proses perencanaan program,
terhambatnya
penerima
manfaat
anggaran dan dalam aspek yang lebih
luas akan mempengaruhipertumbuhan
ekonomi yang sampai saat ini masih
ditopang oleh tingginya konsumsi
pemerintah. Tulisan ini mencoba
menyajikan isu penyerapan anggaran
mulai dari permasalahan klasik yang
terus dihadapi sepanjang tahun dan
upaya yang telah dilakukan pemerintah
untuk mengatasi permasalah tersebut.
Pada akhirnya pemerintah perlu
menginisiasi
penerapan
anggaran
berbasis
outcome
yang
mengintegrasikan
perencanan
dan
penganggaran
melalui
pendekatan
indikator kinerja yang terukur serta lebih
terfokus pada sisi efisiensi anggaran .
Kinerja
Penyerapan
Anggaran
menjadi problem klasik yang selalu
dihadapi menjelang akhir tahun.
Berbagai upaya dilakukan baik oleh
pemerintah maupun parlemen
dalam menggenjot penyerapan
anggaran
dan menghindari
bertumpuknya penyerapan diakhir
tahun. Berbagai himbauan untuk
menggenjot penyerapan anggaran
menjadi sering disampaikan oleh
pemerintah menjelang akhir tahun.
Dalam
sistem
penganggaran
berbasis kinerja (PBK), penyerapan
anggaran
memang
bukan
merupakan indikator keberhasilan
pengelolaan
anggaran
negara.
Kinerja anggaran lebih didasarkan
pada tercapainya indikator output
sebagai hasil dari pelaksanaan
program dan kegiatan yang
dilakukan
oleh
kementerian/lembaga.
Namun
demikian, apabila dilihat dari asas
kemanfaatan anggaran, rendahnya
penyerapan merupakan indikator
tertundanya atau terhambatnya
multiplier effect yang menjadi salah
satu
pendorong
utama
perekonomian. Terlebih lagi bila
dilihat struktur pembentuk PDB
Indonesia yang sebagian besar masih bertumpu pada konsumsi. Dengan
demikian seberapa besar serapan pengeluaran/belanja pemerintah dapat
memberikan multiplier effect yang merata menjadi penting untuk dapat
dikelola dengan baik.
Data I-Account per September 2015 menunjukkan besarnya serapan
belanja negara baru mencapai 62 persen1 dari total Rp1.984,1 triliun yang
dialokasikan dalam APBN Perubahan tahun 2015. Dalam dua bulan
terakhir penyerapan anggaran baru mencapai 70 persen.2 Pemerintah
telah menetapkan target penyerapan berkisar 92 – 94 persen. Merujuk
pada besaran defisit APBNP tahun 2015 yang ditetapkan sebesar 1,90
persen dari PDB, maka diperkirakan total belanja pemerintah yang tidak
dapat diserap berkisar Rp119 – 158 triliun pada tahun 2015.
Ada beberapa aspek yang dapat diambil dari rendahnya serapan anggaran
ini. Pertama sisi efisiensi, ini menggambarkan terhambatnya penerima
manfaat anggaran akibat pengelolaan anggaran yang belum merata di
sepanjang tahun 2015. Di sisi lain, tidak terpenuhinya target penyerapan
belanja pemerintah dipastikan akan menghasilkan saldo anggaran lebih
(SAL), apabila pemerintah secara konsisten berupaya menarik pembiayaan
sesuai target yang telah ditetapkan dalam APBNP Tahun 2015. Inefisiensi
kembali menjadi sorotan, mengingat
salah satu sumber pembiayaan
defisit adalah pinjaman luar negeri
yang, disamping dikenakan beban
bunga, juga berbagai beban fee lain
seperti commitment fee, front-end
fee, insurance premium, dan lainlain yang harus ditanggung oleh
negara.
Sumber: Data pokok APBN, diolah
Aspek inefisiensi penganggaran menjadi salah satu isu utama yang
mengemuka terkait rendahnya serapan anggaran. Secara rata-rata jumlah
1
http://www.kemenkeu.go.id/Data/realisasi-apbn-ta-2015-30-september-2015-i-account tanggal
akses 30 November 2015
2
http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/11/03/tahun-2015-tersisa-dua-bulan-jokowi-mintapenyerapan-anggaran-digenjot diakses tanggal 30 November 2015.
anggaran yang tidak terserap dari tahun 2011-2014 sebesar Rp64,53
triliun, mendekati rata-rata alokasi anggaran ketahanan pangan sebesar
Rp63,63 triliun dan melebihi rata-rata alokasi anggaran kesehatan sebesar
Rp46,30 triliun.
Kedua, kendala peraturan dan kinerja birokrasi.
Rendahnya serapan anggaran belanja barang dan belanja modal dalam
periode tahun 2009 – 2014 lebih disebabkan oleh prosedur pengadaan
barang dan jasa, adanya penundaan pelaksanaan kegiatan/proyek yang
terkendala iklim/cuaca, bencana alam dan masalah dalam
pengadaan/pembebasan lahan, serta penghematan anggaran dari
pelaksanaan tender.
Tabel 2. Realisasi Belanja Barang dan Belanja Modal
Sumber: LKPP Tahun 2009-2014
Sesungguhnya rendahnya serapan anggaran tidak dapat sepenuhnya
dikaitkan dengan kinerja birokrasi mengingat ada banyak persoalan terkait
dengan rendahnya dan menumpuknya penyerapan anggaran di akhir
tahun. Pada tahun 2012 Bappenas telah melakukan penelitian terkait
kinerja penyerapan anggaran tahun 2011 di 6 kementerian/lembaga dan
SKPD di dua provinsi. 3 Beberapa temuan yang mengindikasi rendahnya
penyerapan anggaran bersumber dari : a) Pemblokiran anggaran; b)
Pengembalian dan penghematan, pemberian dana reward dan APBNP; c)
Dana kontrak multiyears yang tidak dapat dialihkan ke kegiatan TA
berikutnya; d) Tagihan satker tidak langsung dilakukan; e) Pelelangan; f)
3
Kedeputian Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan ” Laporan Identifikasi Permasalahan Penyerapan
Anggaran Tahun 2011 Di Enam Kementerian/Lembaga Dan Satuan Kerja Pemerintah Daerah Di Dua
Provinsi” Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2012
Lahan; g) Organisasi; h) Lambatnya pengumpulan data penyerapan; dan i)
Permasalahan lainnya.
Dalam meningkatkan kinerja birokrasi, pemerintah bersama parlemen
terus berupaya memperbaiki kuantitas penyerapan anggaran dan
menghindari bertumpuknya realisasi di akhir tahun. Beberapa upaya yang
patut diapresiasi antara lain: a) Pembentukan Tim Evaluasi dan
Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA) yang dibentuk sejak tahun
2012 dan telah memperbaiki kuantitas penyerapan dari sebelumnya di
bawah 90 persen menjadi di atas 90 persen; b) Penerapan mekanisme
reward and punishment yang telah dimulai sejak tahun 2009; dan c)
Penerbitan Perpres nomor 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat
Perpres nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan dan menyederhanakan
proses pengadaan barang/jasa dan mendorong penggunaan
e-procurement dan e-purchasing.
Pada akhirnya sistem penganggaran berbasis kinerja tidak sepenuhnya
bersandar pada kuantitas penyerapan semata, tapi seberapa besar
indikator capaian output terpenuhi dengan anggaran yang dibelanjakan.
Namun demikian, fungsi distribusi yang melekat dalam APBN perlu
pengelolaan yang lebih baik untuk memperluas dampak multiplier effect
yang ditimbulkannya.
Salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas APBN adalah melalui
penerapan Outcome Based Budgeting (Penganggaran Berbasis Outcome)
yang mengintegrasikan perencanaan dan penganggaran dengan indikator
kinerja yang terukur, menghindari program dan kegiatan yang
overlapping, mengalihkan fokus proses penganggaran pada kinerja
program dan menyusun data multiyears kinerja anggaran yang
memudahkan pengambilan keputusan anggaran di semua level.
Di sisi lain, untuk menghindari adanya penumpukan realisasi anggaran di
akhir tahun, pemerintah dan parlemen dapat membangun mekanisme
pembahasan realisasi anggaran per triwulan untuk dapat dilakukan
identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh kementerian/lembaga,
sehingga dapat segera dirumuskan kebijakan-kebijakan yang
mempermudah serapan anggaran dengan tetap mengedepankan aspek
akuntabilitas anggaran. (sla, ana)
Download