4. HASIL DAN PEMBASAN 4.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan terdiri dari penentuan kurva pertumbuhan bakteri Streptoverticillium ladakanum dan konsentrasi optimum limbah cair surimi dalam produksi enzim transglutaminase. Media yang digunakan adalah media yang disubstitusi limbah cair surimi dengan berbagai konsentrasi (v/v). 4.1.1 Waktu propagasi Waktu propagasi merupakan waktu perkembangan bakteri yang tepat untuk dipindahkan ke dalam media produksi. Pada umumnya, bakteri memiliki waktu propagasi saat fase log yang dapat dilihat pada kurva pertumbuhan. Bakteri yang dipindahkan ke dalam media produksi akan memiliki fase adaptasi yang lebih singkat saat fermentasi (Mangunwidjaja, 1994). Lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh volume inokulum dan kondisi fisiologisnya. Oleh karena itu, inokulum bakteri sebaiknya diinokulasikan ke dalam media fermentasi pada saat sel aktif melakukan metabolisme (fase eksponensial). Pertumbuhan mikroorganisme pada media tertentu terbagi menjadi empat zfase pertumbuhan, yaitu fase adaptasi, fase eksponensial (logaritmik), fase stasioner serta fase kematian atau penurunan (Irianto, 2006). Pengamatan pola pertumbuhan mikroba dilakukan selama 5 hari dengan selang waktu 12 jam. Pola pertumbuhan bakteri dapat dilihat pada Gambar 7. Pertumbuhan mikroba ditentukan dengan menggunakan metode biomassa. Berat kering biomassa yang telah ditimbang menunjukkan total sel bakteri pada waktu tertentu. Gambar 7. Kurva pertumbuhan bakteri Streptoverticillium ladakanum 27 Gambar 7 menunjukkan waktu propagasi yang terbaik pada media pertumbuhan bakteri Streptoverticillium ladakanum dicapai pada waktu inkubasi 72 jam dengan berat kering sel bakteri sebesar 5.53 g/l. Bakteri Streptoverticillium ladakanaum memiliki fase eksponensial lebih lama karena bakteri tersebut termasuk ordo Actinomycetales (bakteri tingkat tinggi) yang melakukan produksi dengan spora. Reproduksi bakteri yang termasuk genus Streptoverticillium terjadi dari salah satu miselium aerial atau dari germinasi spora. Spora tersebut memiliki permukaan yang halus sampai sedikit kasar (Holt et al., 1994). 4.1.2 Konsentrasi optimum limbah cair surimi Produksi enzim transglutaminase menggunakan bakteri Streptoveticillium ladakanum yang dikultur dalam media substitusi dengan penambahan limbah cair surimi. Streptoverticillium ladakanum merupakan bakteri yang bersifat aerobik, tumbuh optimum pada temperatur 26-32oC dan pH 6,5-8,0 (Holt et al., 1994). Pada penelitian ini, bakteri dikultur pada media substitusi tersebut dan diinkubasi dalam inkubator goyang dengan temperatur 26 oC dan kecepatan agitasi 150 rpm selama 8 hari. Nilai pH media substitusi yang digunakan untuk kultur bakteri tersebut adalah 7,5 dan limbah cair surimi yang digunakan memiliki pH yang relatif netral (7,7). Media produksi enzim transglutaminase yang digunakan pada tahap optimasi ini adalah media yang diberi perlakuan limbah cair surimi dengan konsentrasi berbeda-beda (25%, 50%, 75% dan 100%) (v/v), sedangkan media yang ditambah sodium kasein 2% digunakan sebagai kontrol. Selama delapan hari, enzim diambil setiap harinya dan dilakukan pengujian aktivitas enzim untuk menentukan waktu produksi dan konsentrasi limbah cair surimi optimum dalam produksi enzim transglutaminase. Hasil pengujian aktivitas enzim pada media substitusi dengan penambahan konsentrasi limbah cair surimi yang berbeda-beda dapat dilihat pada Gambar 8. Waktu optimum produksi transglutaminase dapat diketahui dari nilai aktivitas yang dimiliki enzim setelah waktu tertentu. Aktivitas enzim transglutaminase ditentukan berdasarkan jumlah L-glutamic acid γ-monohydroxamate yang dibentuk oleh enzim selama proses transferasi gugus 28 asil dengan menggunakan CBZ-gln-gly dan hydroxylamine sebagai substrat. Senyawa L-glutamic acid γ-monohydroxamate diukur dengan metode kolorimetri. Satu unit aktivitas transglutaminase dinyatakan sebagai banyaknya enzim yang mengkatalisis pembentukan 1 µmol L-glutamic acid-monohydroxamate per menit pada suhu 37oC. Gambar 8. Pengaruh konsentrasi limbah cair surimi terhadap aktivitas enzim transglutaminase; : kontrol; : media yang ditambah limbah cair surimi 25%; : media yang ditambah limbah cair surimi 50%; : media yang ditambah limbah cair surimi 75%; : media yang ditambah limbah cair surimi 100% Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dengan rancangan acak lengkap pada media substitusi menunjukan bahwa perbedaan konsentrasi limbah cair surimi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap aktivitas enzim pada tingkat kepercayaan 95% (Lampiran 5). Ini terlihat pada Gambar 8, dimana peningkatan aktivitas enzim dari masing-masing media substitusi memiliki pola yang hampir sama, yaitu pada awal inkubasi meningkat dengan lambat, kemudian mencapai titik maksimum pada hari ke-7 dan cenderung mulai menurun pada waktu inkubasi hari ke-8. Hal ini dikarenakan limbah cair surimi yang digunakan masih dalam bentuk cairan (bukan konsentrat) sehingga komponen-komponen limbah cair surimi yang dibutuhkan bakteri untuk menghasilkan enzim relatif sama pada setiap media substitusi. Hasil uji ragam juga menunjukan bahwa pengaruh pemberian konsentrasi limbah cair surimi 75% dan 100% terhadap aktivitas enzim berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (Lampiran 5). Enzim transglutaminase yang dihasilkan pada media tanpa perlakukan (kontrol) memiliki aktivitas enzim paling 29 tinggi sebesar 1,018 unit/ml dengan waktu inkubasi 4 hari. Sedangkan, aktivitas enzim pada media yang diberi perlakuan limbah cair surimi memperlihatkan nilai lebih rendah dan waktu produksinya lebih lama dibandingkan kontrol. Aktivitas enzim tertinggi yang dihasilkan pada media yang diberi perlakuan limbah cair surimi ditunjukkan oleh media dengan penambahan limbah cair surimi 100% (v/v) sebesar 0,985 unit/ml dan dicapai pada waktu inkubasi pada hari ke-7. Lama waktu produksi dan rendahnya aktivitas enzim diduga disebabkan oleh kebutuhan nutrien bakteri dari lingkungannya masih tercukupi sehingga kurangnya stimulasi sel dalam mensintesis enzim dalam jumlah banyak. Dugaan ini berdasarkan pernyataan Suhartono (1989) yang menyatakan bahwa jumlah enzim di dalam sel disesuaikan oleh sel. Dalam keadaan tidak diperlukan oleh sel, enzim tidak terdapat pada konsentrasi tinggi. Apabila diperlukan, terjadi stimulasi dalam sel yang dapat meningkatkan sintesis enzim. Semakin tinggi konsentrasi limbah cair surimi, aktivitas semakin tinggi. Dengan jumlah enzim yang sama, sementara konsentrasi substrat limbah cair surimi ditingkatkan dua kalinya menyebabkan peningkatan aktivitas enzim. Hasil analisa proksimat limbah cair surimi menunjukkan bahwa protein yang ada pada limbah tersebut masih cukup tinggi, antara lain protein terlarut sebesar 20,99 mg/ml dan protein total sebesar 56,05%. Kandungan protein yang cukup tinggi ini memungkinkan limbah cair surimi ini cocok sebagai substrat pada media pertumbuhan dan produksi enzim transglutaminase oleh bakteri Streptoverticillium ladakanum. Limbah cair surimi juga mengandung beberapa mineral yang dibutuhkan oleh bakteri. Karena bahan surimi berupa ikan, maka dalam limbah cair surimi juga mengandung beberapa mineral seperti Zn, I, Fe, Cu, Mn, Ca dan Co. Selain itu, mineral lain yang bukan berasal dari daging ikan seperti Na terdapat pada limbah cair surimi. Garam NaCl (0,3-0,6) diperlukan untuk melarutkan protein miofibril serta ditambahkan pada pencucian akhir untuk memperbaiki air yang hilang (Yeong et al., 2002). Kebutuhan mikroorganisme akan mineral dengan sendirinya disesuaikan dengan kandungan unsur di dalam selnya. Komponen mineral utama yang umumnya dibutuhkan semua jenis mikroorganisme adalah fosfat, kalium, 30 kalsium, sulfur dan magnesium. Beberapa jenis mineral biasanya sudah terdapat bersama-sama dengan komponen substrat, seperti besi, tembaga, kobalt, mangan, seng dan sebagainya. Fosfor, sulfur dan kation lain diberikan sebagai garam mineral (Suhartono, 1989). Media yang selanjutnya digunakan untuk produksi enzim transglutaminase adalah media yang disubstitusi limbah cair surimi 100%. Mempertimbangkan media tersebut memiliki aktivitas enzim yang paling tinggi dibandingkan media substitusi lainnya yang sama diberi perlakuan limbah cair surimi. 4.2 Penelitian Utama Penelitian utama merupakan tahap karakterisasi enzim transglutaminase yang meliputi penentuan pH dan suhu optimum aktivitas enzim transglutaminase, ketahanan enzim terhadap panas, serta pengaruh aktivator (ion logam) dan inhibitor terhadap aktivitasnya serta penentuan berat molekul protein dengan metode SDS-PAGE. 4.2.1 pH optimum aktivitas enzim Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh pH karena sifat ionik gugus karboksil dan gugus amino mudah dipengaruhi oleh pH, sehingga mengubah konformasi enzim, pengikatan substrat dan daya katalitik dari grup-grup pada sisi aktif enzim. Pengaruh yang mungkin akan terjadi adalah perubahan kecepatan maksimum, perubahan afinitas enzim terhadap substrat (Km), atau perubahan stabilitas enzim (Fogarty dan Kelly, 1979). Optimasi pH ditentukan dengan mereaksikan enzim dengan substrat pada berbagai variasi pH dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 10 menit. Variasi pH yang digunakan, yaitu 200 mM bufer asetat (pH 4-6), 200 mM bufer Tris-HCl (pH 6-7) dan 200 mM bufer borat (pH 8-7). Hasil penentuan pH optimum untuk aktivitas enzim transglutaminase dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan aktivitas optimum enzim transglutaminase terjadi pada 200 mM bufer Tris-HCl pH 8, yaitu sebesar 0.596 unit/ml. Aktivitas enzim transglutaminase masih ditemukan pada pH 9 sebesar 0,550 unit/ml, walaupun kemampuan enzim untuk mengkatalisis reaksi hydroxylamine mulai mengalami sedikit penurunan. N-CBZ-Gln-Gly dan 31 Gambar 9. Pengaruh pH pada aktivitas enzim transglutaminase; : buffer asetat (pH 4-6); : buffer Tris-HCl (pH 6-8); : buffer borat (pH 8-9) Gambar 9 menunjukkan aktivitas optimum enzim transglutaminase terjadi pada 200 mM bufer Tris-HCl pH 8, yaitu sebesar 0.596 unit/ml. Aktivitas enzim transglutaminase masih ditemukan pada pH 9 sebesar 0,550 unit/ml, walaupun kemampuan enzim untuk mengkatalisis reaksi N-CBZ-Gln-Gly dan hydroxylamine mulai mengalami sedikit penurunan. Enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada dalam tingkat ionisasi yang diinginkan. Nilai pH optimum tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin sedikit berada di atas atau dibawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim di dalam sel mungkin diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan (Lehninger, 1993). Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH lingkungannya. Perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap aktivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim-substrat. Disamping pengaruh terhadap struktur ion pada enzim, pH rendah, atau pH tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan mengakibatkan menurunnya aktivitas enzim (Poedjiadi, 1994). Berdasarkan Gambar 9 diketahui bahwa enzim transglutaminase yang dihasilkan dari media yang disubstitusi limbah cair surimi yang diuji cenderung bekerja pada lingkungan yang netral. Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh Suzuki et al., (2000) yang melaporkan bahwa enzim 32 transglutaminase yang dihasilkan dari spora bakteri Bacillus subtilis memiliki pH optimum 8,2. Selain itu, dilaporkan bahwa pH optimum enzim transglutaminase dari ikan nila (Oreochromis niloticus) berkisar 7-7,5 (Worratao and Yongsawatdigul, 2005). 4.2.2 Suhu optimum aktivitas enzim Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan dari aktivitas enzim. Setiap enzim memiliki aktivitas pada suhu tertentu. Aktivitas akan meningkat dengan meningkatnya suhu, akan tetapi setelah suhu optimum tercapai maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu akan menurun dengan peningkatan suhu (Pelczar dan Chan, 1986). Penentuan suhu optimum dilakukan dengan cara mereaksikan enzim pada pH optimalnya dengan substrat CBZ-Gln-Gly dan hydroxylamine pada berbagai suhu. Pada penelitian ini variasi suhu yang digunakan antara 25 oC sampai 70oC. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim transglutaminase ditunjukkan pada Gambar 10. Gambar 10. Pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim transglutaminase Pada umumnya semakin tinggi suhu maka laju reaksi kimia akan semakin cepat. Aktivitas enzim transglutaminase dari bakteri Streptoverticillium ladakanum mencapai optimum pada suhu 50 oC dalam 200 mM bufer Tris-HCl pH 8, dengan nilai sebesar 0,851 unit/ml (Gambar 10). Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Kristin (2009) menunjukkan bahwa aktivitas optimum enzim transglutaminase yang dihasilkan dari media yang menggunakan limbah cair tahu dan tapioka terjadi pada suhu 55oC. 33 Suhu di bawah 50oC menunjukkan peningkatan aktivitas enzim karena terjadinya peningkatan energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi serta rotasi enzim dan substrat, sehingga memperbesar peluang keduanya untuk berinteraksi (Suhartono, 1989). Ando et al., (1989) melaporkan bahwa aktivitas optimum enzim transglutaminase terjadi pada suhu 50 oC. Sedangkan enzim transglutaminase yang diisolasi dari bakteri rekombinan Streptoverticillium platentis memiliki suhu optimum 55oC (Lin et al., 2008). Peningkatan suhu diatas 50oC menyebabkan putusnya ikatan hidrogen dan hidrofobik lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersier dari enzim, sehingga enzim mengalami denaturasi (Suhartono, 1989). Denaturasi adalah rusaknya bentuk tiga dimensi enzim yang menyebabkan enzim tidak dapat lagi berikatan dengan substrat. Denaturasi menyebabkan aktivitas enzim menurun. Jika suhu dibawah suhu optimum maka enzim tidak dapat bekerja dengan baik atau energi aktivasinya juga akan menurun. Enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim makin menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya juga akan menurun. Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan kecepatan reaksi, akan tetapi kenaikkan suhu pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi (Poedjiadi, 1994). Suhu mempengaruhi laju reaksi katalistik enzim dengan dua cara. Pertama, kenaikan suhu akan meningkatkan laju reaksi enzim sampai batas tertentu. Disisi lain peningkatan suhu yang berlebihan akan berpengaruh terhadap perubahan konformasi substrat sehingga sisi aktif substrat mengalami hambatan untuk memasuki sisi aktif enzim dan akhirnya menurunkan aktivitas enzim. Kedua, peningkatan energi termal molekul yang membentuk struktur protein enzim akan menyebabkan terjadinya denaturasi pada enzim, karena rusaknya interaksi nonkovalen yang menjaga struktur tiga dimensi enzim tersebut. Denaturasi menyebabkan struktur pada lipatan enzim membuka pada bagian permukaannya sehingga sisi aktif enzim berubah dan sebagai akibatnya akan terjadi penurunan aktivitas pada enzim (Hames dan Hooper, 2000). 34 4.2.3 Ketahanan enzim terhadap panas Ketahanan enzim terhadap panas dilakukan dengan memanaskan enzim pada suhu tertentu selama 2 jam. Setiap 20 menit, enzim yang telah dipanaskan tersebut diambil dan diuji aktivitasnya. Variasi suhu yang digunakan adalah 37 oC, 50oC dan 60oC. Hasil pengujian ketahanan enzim terhadap panas dapat dilihat pada Gambar 11. Seperti terlihat pada Gambar 11, enzim transglutaminase yang dihasilkan dari media yang disubstitusi limbah cair surimi relatif stabil pada kisaran suhu yang luas (37-50oC) selama 2 jam. Aktivitas maksimum enzim transglutaminase ditunjukkan pada suhu 37oC pada 20 menit inkubasi, yaitu sebesar 1,148 unit/ml. Sedangkan pada suhu 60oC, enzim transglutaminase langsung mengalami inaktivasi. Gambar 11. Pengaruh ketahanan panas terhadap aktivitas enzim transglutminase; : suhu 37oC; : suhu 50oC; : suhu 60oC Enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan terjadinya denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim makin menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya juga akan menurun. Akan tetapi kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikan kecepatan reaksi (Poedjiadi, 1994). Kestabilan molekul protein dipengaruhi oleh kesetabilan ikatan-ikatan pada molekul enzim. Kestabilan molekul enzim ini mempengaruhi pengikatan enzim dengan substrat, baik secara langsung ataupun tidak langsung (Pribadi, 2005). 35 Dari uji ketahanan panas diketahui bahwa enzim transglutaminase yang dihasilkan ini memiliki ketahanan suhu yang relatif lebih rendah dibandingkan transglutaminase yang dihasilkan dari filarial nematode Brugia malayi yang mempunyai suhu optimum 55-60oC, tetapi menunjukkan kestabilan pada suhu 60oC dengan aktivitas 100% sampai dengan 60 menit inkubasi (Singh and Mehta, 1994). Sebaliknya, transglutaminase enzim yang tersebut diisolasi dari relatif tahan Streptomyces panas dibandingkan hygroscopicus yang mempunyai suhu optimum 37-45oC dan stabil pada suhu 20 oC dengan aktivitas relatif 100% sampai dengan 30 menit inkubasi (Li Cui et al., 2007). 4.2.4 Pengaruh aktivator terhadap aktivitas enzim Enzim berperan sebagai katalitik, akan tetapi tidak selalu dapat bekerja sendiri. Enzim juga memerlukan tambahan komponen kimia bagi aktivitasnya. Komponen ini disebut dengan kofaktor. Kofaktor bisa berupa molekul organik, atau mungkin juga suatu molekul organik kompleks yang disebut koenzim. Beberapa enzim membutuhkan baik koenzim maupun satu atau lebih ion logam bagi aktivitasnya (Lehninger, 1993). Penentuan pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim diukur dengan mereaksikan enzim pada kondisi optimum dengan 1 mM ion logam. Ion logam yang diujikan meliputi kation Na+, K+, Li+ ,Cu+, Ca2+, Mg2+, Zn2+ dan Fe3+. Ion logam tersebut merupakan semua kation dalam berbentuk garam klorida. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh dari ion-ion lain selain kation dalam bentuk garam klorida terhadap kerja enzim. Hasil pengujian aktivitas enzim transglutaminase terhadap penambahan ion logam dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim transglutaminase 36 Ion logam mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan enzim. Logam biasanya berperan sebagai pengatur aktivitas enzim (Harper et al., 1979). Ion logam dapat mengaktifkan enzim melalui berbagai kemungkinan seperti: menjaga bagian internal enzim, menghubungkan enzim dengan substrat, mengubah konstanta keseimbangan reaksi enzim, merubah tegangan permukaan protein enzim, menghilangkan inhibitor, menggantikan ion logam yang tidak efektif pada sisi aktif enzim maupun substrat, dan merubah konformasi enzim menjadi konformasi yang lebih aktif (Richardson dan Hylop, 1985). Pengaruh ion logam terhadap aktivitas relatif transglutaminase dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh berbagai ion logam terhadap aktivitas relatif enzim transglutaminase Ion logam Konsentrasi (mM) 100 Kontrol + Aktivitas relatif (%) 1 108,26 1 106,31 1 105,84 Cu 1 105,06 Ca2+ 1 102,41 2+ 1 0 Mg 1 80,22 Fe3+ 1 87,46 Na K+ Li + + Zn 2+ Setiap enzim membutuhkan ion logam yang berbeda dalam jenis dan jumlahnya dan bersifat spesifik. Dari hasil pengujian terlihat bahwa penambahan ion Zn2+ dengan konsentrasi 1 mM dapat menghambat aktivitas enzim secara keseluruhan (Gambar 12). Sementara itu, penambahan ion Mg2+ dan Fe3+ dengan konsentrasi 1 mM dapat menurunkan aktivitas realtif enzim transglutaminase masing-masing sebesar 19,78% dan 12,54% (Tabel 7). Pengaruh penambahan ion logam ini dapat menurunkan bahkan menghambat secara keseluruhan aktivitas enzim. Hal ini dikarenakan ion logam tersebut telah mengubah kemampuan enzim dalam mengikat substrat sehingga aktivitasnya menurun atau pun terhambat. Suhartono (1989) menjelaskan bahwa ikatan aktivator atau inhibitor dengan enzim dapat mengubah kemampuan enzim untuk mengikat substrat sehingga mengubah daya katalis enzim. Hal ini disebabkan struktur enzim sudah mengalami 37 perubahan fisik dan kimiawi sehingga aktivitas hayatinya pun berubah. Beberapa laporan menunjukkan bahwa penambahan ion logam Zn2+ mampu menghambat aktivitas transglutaminase sampai 4,5% (Li Cui et al., 2007). Demikian juga dengan beberapa transglutaminase lain seperti yang dihasilkan oleh Streptoverticillium S-8112 dengan penambahan 1 mM ZnCl2, aktivitas enzim tersebut menurun sampai 11% (Ando et al., 1989). Ion logam seperti Na+, K+, Li+ ,Cu+ dan Ca2+ memberikan peningkatan terhadap aktivitas enzim. Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa aktivitas enzim tertinggi terdapat pada penambahan ion logam Na+ sebesar 0,929 unit/ml dengan peningkatan aktivitas relatif hanya 8,26%. Sementara itu, penambahan ion logam lainnya seperti K+, Li+, Cu+ dan Ca2+ memberikan peningkatan aktivitas relatif hampir sama sekitar 2-6%. Peningkatan aktivitas enzim tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Hal ini dididuga enzim tersebut memiliki kebutuhan ion logam yang masih terpenuhi dari lingkungannya. Selain itu, enzim transglutaminase yang berasal dari bakteri tidak dipengaruhi ion logam khususnya Ca2+. Microbial transglutaminase tidak dipengaruhi ion logam Ca2+, sehingga adanya senyawa pengkelat logam, seperti diamine tetraacetic acid (EDTA) tidak menghambat aktivitasnya (Lin et al., 2008). Li Cui et al., (2007) melaporkan bahwa aktivitas relatif enzim transglutaminase yang diisolasi dari Streptomyces hygroscopicus dapat meningkat sekitar 5-8% setelah ditambah beberapa ion logam seperti Na+, K+ dan Ca2+ dengan konsentrasi 1 mM. Selain itu, penambahan ion logam Ca2+ pada enzim transglutaminase yang dihasilkan dari bakteri rekombinan Streptoverticillium platensis memberikan peningkatan aktivitas relatif hanya 1,9% (Lin et al., 2008). 4.2.5 Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas enzim Enzim sangat peka terhadap senyawa yang diikatnya. Apabila aktivitas enzim menjadi terhambat karena senyawa ini disebut inhibitor. Inhibitor cenderung akan menurunkan kecepatan reaksi yang dikatalis oleh enzim. Pada penelitian ini, inhibitor yang diujikan meliputi EDTA (ethylenediamine tetraacetic acid) dan PMSF (phenyl methyl sulfonyl fluoride), dengan menggunakan 2 konsentrasi 1 mM dan 5 mM. 38 Pengujian inhibitor yang dilakukan sama dengan pengujian pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim, yaitu enzim direaksikan dengan inhibitor 1 mM dan 5 mM pada kondisi optimum. Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas relatif transglutaminase dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas relatif enzim transglutaminase Inhibitor Konsentrasi (mM) 100 Kontrol EDTA PMSF Aktivitas relatif (%) 1 98,89 5 90,63 1 97,43 5 81,99 Hasil Pengujian menunjukkan bahwa transglutaminase yang dihasilkan dari media yang disubstitusi limbah cair surimi tahan terhadap EDTA, tetapi terjadi penurunan aktivitas ketika ditambahkan PMSF. Semakin besar kadar PMSF yang ditambahkan, maka semakin besar pula hambatannya. Penambahan PMSF 1 mM dan 5 mM memiliki nilai aktivitas enzim secara berurutan sebesar 1,079 unit/ml dan 0,989 unit/ml dan menyebabkan penurunan aktivitas enzim sebesar 2,57% pada penambahan PMSF 1 mM, sedangkan pada konsentrasi 5 mM penurunan aktivitas yang terjadi sebesar 18,01%. Aktivitas enzim dengan penambahan EDTA 1 mM dapat menurunkan aktivitas enzim sebesar 1,1 %. Sedangkan penambahan EDTA dengan konsentrasi besar (5 mM) dapat menurunkan aktivitas enzim sebesar 9,37%. Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas enzim transglutaminase ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13. Pengaruh inhibitor terhadap aktivitas enzim transglutaminase Senyawa inhibitor adalah senyawa yang dapat merubah kemampuan enzim dalam mengikat substrat sehingga meyebabkan perubahan daya katalisator enzim. 39 Perubahan ini disebabkan struktur enzim mengalami perubahan fisik dan kimiawi sedemikian rupa sehingga aktivitas hayatinya menjadi berubah (Suhartono, 1989). Senyawa inhibitor seperti EDTA dan PMSF merupakan inhibitor spesifik dan dapat digunakan untuk menentukan jenis enzim tertentu. PMSF merupakan inhibitor yang umumnya digunakan untuk menonaktifkan protease serin. Senyawa EDTA merupakan pengkelat yang dapat menstabilkan enzim. Senyawa ini mampu mengkelat ion logam baik yang dibutuhkan atau tidak dibutuhkan oleh enzim. Bila suatu ion logam dikelat oleh EDTA maka akan terjadi perubahan konformasi sehingga berpengaruh terhadap aktivitas enzim. Hasil pengujian (Gambar 13) menunjukkan bahwa aktivitas enzim transglutaminase yang dihasilkan dari media yang disubstitusi limbah cair surimi tidak dihambat secara keseluruhan oleh inhibitor EDTA dan PMSF. Meskipun aktivitas relatif enzim transglutaminase yang dihasilkan lebih rendah dari kontrol, akan tetapi daya hambat yang dihasilkan tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan enzim yang digunakan adalah enzim kasar (bukan hasil pemurnian) sehingga masih terdapat zat-zat pengotor yang mempengaruhi kinerja enzim tersebut. Sebagai perbandingan, penelitian yang dilakukan Lin et al., (2008) menunjukkan bahwa enzim transglutaminase murni yang dihasilkan dari bakteri rekombinan Streptoverticillium platensis yang ditambah inhibitor EDTA 5 mM memiliki aktivitas relatif cukup besar (96,3%). Microbial transglutaminase tidak dipengaruhi ion logam Ca2+, sehingga adanya senyawa pengkelat logam, seperti diamine tetraacetic acid (EDTA) tidak menghambat aktivitasnya (Lin et al., 2008). Sebaliknya, transglutaminase yang dipengaruhi ion logam Ca 2+ dapat dihambat oleh EDTA, misalnya tilapia transglutaminase (Worratao dan Yongsawatdigul 2005). Sedangkan Suzuki et al., (2000) menjelaskan bahwa enzim transglutaminase murni yang dihasilkan dari spora bakteri Bacillus subtilis mengalami penurunan aktivitas relatif sebesar 26% setelah dihambat PMSF dengan konsentrasi 5 mM. 4.2.6 Berat molekul protein dengan SDS-PAGE Penentuan berat molekul enzim transglutaminase dari bakteri Streptoverticillium ladakanum dilakukan dengan menggunakan cara analisis SDSPAGE. Analisis ini dilakukan terhadap enzim transglutaminase kasar. Hasil uji 40 SDS-PAGE 12% terhadap enzim transglutaminase kasar Streptoverticillium ladakanum menunjukkan jumlah pita protein sebanyak tiga buah pita dengan berat molekul 16,0; 40,2 dan 94,0 kDa (Gambar 14). Standar yang digunakan adalah marker LMW yang mengandung phosphorylase B, 97,0 kDa; albumin, 66,0 kDa; ovalbumin, 45,0 kDa; carbonic anhydrase, 30,0 kDa; trypsin inhibitor, 20,1 kDa; dan α-lactabumin, 14,4 kDa. Berdasarkan hasil karakterisasi oleh Kristin (2009) terhadap enzim transglutaminase Streptoverticillium ladakanum yang diproduksi dari media dengan penambahan limbah tahu dan tapioka yang kemudian dilakukan ultrafiltrasi diketahui bahwa enzim tersebut memiliki berat molekul sebesar 37,0 kDa. Hasil ini membuktikan bahwa enzim kasar mengandung campuran protein yang ukurannya berbeda sehingga menghasilkan lebih dari satu pita protein. Berat molekul enzim transglutaminase Physarum polycephalum sebesar 39,6 kDa (Klein et al., 1992). Enzim transglutaminase dari bakteri Streptoverticillium S-8112 dan Streptoverticillium platensis memilliki berat molekul sebesar 40,0 kDa (Ando et al., 1989; Lin et al., 2008). Bakteri Streptomyces hygroscopicus menghasilkan enzim transglutaminase dengan berat molekul 38,0 kDa (Li Cui et al., 2007). Suzuki (2000) melaporkan bahwa enzim transglutaminase yang dihasilkan dari spora bakteri Bacillus subtilis memiliki berat molekul sebesar 29,0 kDa. 97,0 kDa 94,0 kDa 66,0 kDa 45,0 kDa 40,2 kDa 30,0 kDa 20,1 kDa 14,4 kDa 16,0 kDa M TG1 TG2 Gambar 14. Berat molekul protein dari enzim transglutaminase Keterangan: M = marker LMW, TG = enzim kasar transglutaminase