2. tinjauan pustaka

advertisement
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Enzim Transglutaminase
Transglutaminase termasuk ke dalam kelompok enzim transferase dan
mempunyai nama sistematis, yaitu protein glutamin γ-glutamyltransferase
(EC 2.3.2.13). Transglutaminase merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi
perpindahan gugus asil antara kelompok γ-carboxyamide residu glutamin pada
protein, peptida dan berbagai amina primer. Apabila kelompok ε-amino residu
lisin aktif sebagai aseptor asil, maka akan menghasilkan proses polimerisasi dan
interaksi silang inter- atau intra-molekul protein melalui pembentukan ikatan
ε-(γ-glutamyl) lisin. Pada proses ini terjadi pertukaran amonia dari kelompok
ε-amino residu lisin ke kelompok carboxyamide residu glutamin pada molekul
protein. Apabila amin primer tidak ada, maka air dapat berperan sebagai aseptor
asil dan menghasilkan proses deamidasi kelompok γ-carboxyamide glutamin
untuk membentuk asam glutamat (Haard dan Simpson, 2000). Reaksi katalisasi
enzim transglutaminase dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Transglutaminase mengkatalisis reaksi: a) reaksi perpindahan asil
b) interaksi silang residu lisin dan glutamin dari protein c) deamidasi
(Folk, 1980).
Istilah
“transglutaminase”
pertama
kali
diperkenalkan
oleh
Clarke et al., (1957) yang menjelaskan aktivitas transamidasi pada liver marmut.
Sekarang, transglutaminase sudah ditemukan pada tumbuhan, invertebrata, amfibi,
5
burung, ikan dan mikroorganisme. Enzim dari berbagai sumber tersebut
mengkatalis perubahan post-translational protein dengan membentuk ikatan
isopeptida melalui interaksi silang protein atau penggabungan amina (Folk, 1980).
Transglutaminase tersebar secara luas pada organisme eukariot dan prokariot.
Akan tetapi karakteristik transglutaminase yang paling baik, yaitu berasal dari
mamalia. Berdasarkan sumbernya, enzim transglutaminase dibagi ke dalam dua
golongan, yaitu:
a). Mammalian Transglutaminase
Aktivitas transglutaminase ditemukan dan tersebar secara luas dalam plasma,
jaringan dan cairan ekstraseluler dari beberapa mamalia. Transglutaminase yang
merubah protein seluruhnya ada dalam tubuh. Enzim transglutaminase tersebut
dapat digolongkan ke dalam lima golongan, yaitu faktor XIII (plasma dan
plasenta), transglutaminase jaringan, keratinosit, epidermis dan prostata
(Greenberg et al., 1991; Aeschilman dan Paulsson, 1994 dalam Hemung, 2007).
Sifat biokimia dari lima jenis mammalian transglutaminase dapat dilihat pada
Tabel 1. Perbedaan dari kelima jenis mammalian transglutaminase terletak pada
berat molekul, struktur subunit dan aktivitas protease, tetapi semuanya memiliki
ketergantungan yang sama pada kalsium.
Tabel 1. Sifat biokimia dari lima jenis mammalian transglutaminase
TGase
Berat molekul
(KDa)
Struktur
subunit
Aktivitas
protease
Ketergantungan
pada kalsium
Faktor XIII
- Plasma
360
a2b2
ada
ada
- Plasenta
166
a2
ada
ada
Jaringan
85
monomer
tidak
ada
Keratinosit
90
monomer
tidak
ada
Epidermis
80
monomer
ada
ada
Prostata
150
homodimerik
tidak
ada
Sumber : Greenberg et al., (1991); Aeschilman dan Paulsson (1994) dalam
Hemung (2007)
b). Varietas Transglutaminase lainnya
Enzim yang mengkatalisis pembentukan ikatan ε-(γ-glutamyl)
lisin
ditemukan pada berbagai organisme. Contohnya, aktivitas transglutaminase yang
ditemukan pada ikan (Araki dan Seki, 1993), lobster (Myhrman dan BrunerLorand,
1970),
kepiting
sepatu
kuda
(Tachypleus
tridentatus)
6
(Tokunaga et al., 1993) serta yeast Candida albicans (Ruizherrer et al., 1995).
Selain itu, transglutaminase ditemukan pada berbagai bakteri seperti Bacillus
subtilis (Suzuki et al., 2000), Streptoverticillium sp. (Ando et al., 1989), dan
Streptomyces sp. (Umezawa et al., 2002) serta tumbuhan Medicago sativa L.
(Margosiak et al., 1990). Struktur kristal dari microbial transglutaminase dapat
dilihat pada Gambar 2. Aktivitas transglutaminase yang dihasilkan oleh seluruh
organisme tersebut tergantung pada Ca2+, kecuali bakteri dan tumbuhan.
Gambar 2. Struktur kristal dari microbial transglutaminase
(Kashiwagi et al., 2002)
2.2 Karakterisasi Biokimia Enzim
Aktivitas enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu yang menentukan
efektivitas kerja suatu enzim. Apabila faktor pendukung tersebut berada pada
kondisi yang optimum, maka kerja enzim juga akan optimal. Hasil karakterisasi
enzim walaupun masih bersifat ekstrak kasar, namun dapat menggambarkan
karakter enzim di dalamnya. Kondisi lingkungan harus menunjang kondisi yang
dibutuhkan enzim untuk dapat berfungsi sebagai katalis reaksi (Ryta, 2001).
2.2.1 Suhu
Reaksi enzim umumnya terdiri dari beberapa tahapan reaksi dan respon
terhadap suhu dari masing-masing tahap berbeda. Setiap enzim memiliki aktivitas
pada suhu tertentu. Aktivitas akan meningkat dengan meningkatnya suhu, akan
tetapi setelah suhu optimum tercapai maka yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu
akan
menurun
dengan
peningkatan
suhu.
Hal
terdenaturasinya protein enzim (Pelczar dan Chan, 1986).
ini
disebabkan
telah
7
Enzim adalah suatu protein, maka kenaikan suhu dapat menyebabkan
terjadinya denaturasi. Apabila terjadi proses denaturasi, maka bagian aktif enzim
akan terganggu dan dengan demikian konsentrasi efektif enzim makin menjadi
berkurang dan kecepatan reaksinya juga akan menurun. Kenaikan suhu sebelum
terjadinya proses denaturasi dapat menaikan kecepatan reaksi, akan tetapi
kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses denaturasi akan mengurangi
kecepatan reaksi (Poedjiadi, 1994). Peningkatan suhu tertentu menyebabkan
semakin meningkatnya aktivitas katalitik dan semakin bertambahnya proses
kerusakan enzim (Palmer, 1991).
Peningkatan suhu menyebabkan putusnya ikatan hidrogen dan hidrofobik
lemah yang mempertahankan struktur sekunder-tersier dari enzim, sehingga enzim
mengalami denaturasi (Suhartono, 1989). Denaturasi adalah rusaknya bentuk tiga
dimensi enzim yang menyebabkan enzim tidak dapat lagi berikatan dengan
substrat. Denaturasi menyebabkan aktivitas enzim menurun. Dan jika suhu di
bawah suhu optimum maka enzim tidak dapat bekerja dengan baik atau energi
aktivasinya juga akan menurun.
Struktur protein menentukan aktivitas enzim, jika srukturnya terganggu
maka aktivitasnya akan berubah pula. Kenaikan suhu sampai batas tertentu dalam
suatu reaksi menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi enzim karena
bertambahnya energi kinetik yang mempercepat gerak vibrasi, translasi dan rotasi
enzim dan substrat sehingga memperbesar peluang keduanya untuk bereaksi. Pada
suhu yang lebih besar dari batas reaksi, protein enzim dapat mengalami perubahan
konformasi yang bersifat detrimal, yaitu berubahnya susunan tiga dimensi yang
khas dari rantai polipeptida. Hal yang sama juga dapat terjadi pada substrat yang
perubahan konformasinya dapat menyebabkan gugus reaktifnya akan mengalami
kesulitan pada saat memasukan sisi aktif enzim (Suhartono, 1989).
Suhu optimum untuk aktivitas transglutaminase, yaitu antara 45-55oC,
tergantung
pada
spesies
Streptoverticillium.
Transglutaminase
dari
o
Stv. mobaraense memiliki aktivitas optimum pada suhu 55 C sedangkan suhu
optimum
untuk
transglutaminase
dari
Stv.
griseocarneum
dan
Stv. cinnamoneum spp. adalah 45oC. Stabilitas enzim akan menurun dengan
meningkatnya suhu. Aktivitas transglutaminase dari Stv. mobaraense bertahan
8
lama pada suhu 40oC sedangkan pada suhu diatas 50oC aktivitasnya menurun
(Ando et al., 1989). Suhu optimum untuk transglutaminase dari mamalia lebih
tinggi dari suhu tubuhnya, yaitu sekitar 55oC. Apabila suhunya lebih dari 55 oC,
aktivitas enzim akan turun dengan cepat, karena enzim mengalami perubahan
konformasi atau terdenaturasi (Jiang dan Lee, 1992 dalam Negus, 2001).
2.2.2 pH
Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH
lingkungannya. Enzim dapat bermuatan ion positif, ion negatif, atau ion
bermuatan ganda (zwitterion). Dengan demikian perubahan pH lingkungan akan
berpengaruh terhadap aktivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks
enzim-substrat. Disamping pengaruh terhadap struktur ion pada enzim, pH
rendah, atau pH tinggi dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan
ini akan mengakibatkan menurunnya aktivitas enzim (Poedjiadi, 1994).
Enzim memiliki pH optimum yang khas, yaitu pH yang menyebabkan
aktivitas maksimal. Profil aktivitas pH enzim menggambarkan pH pada saat
gugus pemberi atau penerima proton yang penting pada sisi katalitik enzim berada
dalam tingkat ionisasi yang diinginkan. Nilai pH optimum tidak perlu sama
dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin sedikit berada di
atas atau di bawah pH optimum. Aktivitas katalitik enzim di dalam sel mungkin
diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan (Lehninger, 1993).
Pada umumnya, enzim bersifat ampolitik, yang berarti enzim mempunyai
konstanta disosiasi pada gugus asam maupun gugus basanya terutama pada gugus
residu terminal karboksil dan gugus terminal aminonya. Diperkirakan perubahan
keaktifan enzim ini adalah akibat perubahan pH lingkungan. Perubahan pH
lingkungan ini terjadi karena adanya perubahan ionisasi pada gugus ionik enzim
pada sisi aktifnya atau sisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi sisi
aktif. Gugus ionik berperan dalam menjaga konformasi sisi aktif dalam
meningkatkan substrat menjadi produk. Perubahan ionisasi juga dapat dialami
oleh substrat atau kompleks enzim-substrat, yang juga berperan terhadap aktivitas
enzim (Webb dan Dixon, 1979).
9
2.2.3 Ion logam
Banyak enzim yang memerlukan tambahan komponen kimia bagi
aktivitasnya. Komponen ini disebut dengan kofaktor. Kofaktor bisa berupa
molekul anorganik, seperti ion Fe2+, Mn2+, Zn2+, atau mungkin juga suatu molekul
organik kompleks yang disebut koenzim, seperti thiamin pirofosfat, FAD, serta
koenzim A. Beberapa enzim membutuhkan baik koenzim maupun satu atau lebih
ion logam bagi aktivitasnya. Pada beberapa enzim, koenzim atau ion logam
lainnya hanya terikat secara lemah atau dalam waktu sementara. Akan tetapi pada
enzim lain senyawa ini terikat secara kuat dan permanen. Dalam hal ini disebut
gugus protetik. Enzim yang strukturnya sempurna dan aktif mengkatalisis
bersama-sama dengan koenzim atau gugus logamnya disebut haloenzim. Koenzim
dan ion logam bersifat stabil selama pemanasan, sedangkan bagian protein enzim
disebut apoenzim akan terdenaturasi oleh pemanasan (Lehninger, 1993).
Ion logam mempunyai peranan penting dalam menjaga kestabilan enzim.
Logam biasanya berperan sebagai pengatur aktivitas enzim (Harper et al., 1979).
Ion logam dapat mengaktifkan enzim melalui berbagai kemungkinan seperti: (a)
menjaga bagain internal enzim, (b) menghubungkan enzim dengan substrat, (c)
merubah konstanta keseimbangan reaksi enzim, (d) merubah tegangan permukaan
protein enzim, (e) menghilangkan inhibitor, (f) menggantikan ion logam yang
tidak efektif pada sisi aktif enzim maupun substrat, dan (g) merubah konformasi
enzim menjadi konformasi yang lebih aktif (Richardson dan Hylop, 1985).
Lebih dari 25% jenis enzim mengandung ion logam yang terikat atau
memerlukan ion logam bagi aktivitasnya. Metaloenzim mengandung ion logam
fungsional dalam jumlah pasti, yang dipertahankan selama proses pemurnian.
Enzim yang diaktifkan oleh logam memperlihatkan ikatan yang lebih lemah
dengan logam, dengan demikian memerlukan logam tambahan. Oleh karena itu,
perbedaan metaloenzim dengan enzim yang diaktifkan oleh logam terletak pada
afinitas suatu enzim tertentu terhadap ion logamnya (Harper et al., 1979).
2.2.4 Senyawa inhibitor
Telah diketahui bahwa mekanisme enzim dalam suatu reaksi ialah melalui
pembentukan kompleks enzim-substrat (ES). Oleh karena itu, hambatan atau
inhibisi pada suatu reaksi yang menggunakan enzim sebagai katalis dapat terjadi
10
apabila penggabungan substrat pada bagian aktif enzim mengalami hambatan.
Molekul atau ion yang dapat menghambat reaksi tersebut dinamakan inhibitor
(Poedjiadi, 1994).
Hambatan yang dilakukan oleh inhibitor dapat berupa hambatan irreversible
dan reversible. Hambatan irreversible pada umumnya disebabkan oleh terjadinya
proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus fungsi atau yang terdapat pada
molekul enzim. Hambatan reversible dapat berupa hambatan bersaing atau
hambatan tidak bersaing (Poedjiadi, 1994).
Inhibitor merupakan senyawa yang cenderung menurunkan kecepatan reaksi
yang dikatalisis oleh enzim. Inhibitor dapat bereaksi dengan substrat, kofaktor
atau dengan enzim langsung. Microbial transglutaminase tidak dipengaruhi ion
logam Ca2+, sehingga adanya senyawa pengkelat logam, seperti ethylenediamine
tetraacetic acid (EDTA) tidak menghambat aktivitasnya (Lin et al., 2008).
Sebaliknya, transglutaminase yang dipengaruhi ion logam Ca 2+ dapat dihambat
oleh EDTA, misalnya tilapia transglutaminase (Worratao dan Yongsawatdigul
2005). Aktivitas microbial transglutaminase dapat dihambat kuat oleh
(p-Chloromercuribenzoate)
PCMB
serta
sedikit
dihambat
oleh
(N-ethylmaleimide) NEM dan (Phenyl methyl sulfonyl fluoride) PMSF.
2.3 Streptoverticillium ladakanum
Klasifikasi bakteri Streptovercillium ladakanum adalah sebagai berikut
(Wikispesies, 2007) :
Filum
: Actinobacteria
Kelas
: Actinobacteria
Ordo
: Actinomycetales
Famili
: Streptomycetaceae
Genus
: Streptoverticillium
Spesies
: Streptoverticillium ladakanum
Streptoverticillium memiliki ukuran besar dengan diameter antara 0,8-1,2 µm.
Ciri pemersatu ialah pleomorfisme sel-selnya dan kecenderungan membentuk
filamen (hifa) bercabang. Pada beberapa spesies, hifa-hifa itu bersatu membentuk
miselium (Pelczar dan Chan, 1986). Setiap cabang vertisil memiliki puncak
11
cabang (umbel) yang terdiri dari dua atau beberapa rantai spora yang berbentuk
bola dan spiral (Holt et al., 1994).
Beberapa spesies menghasilkan pigmen yang dapat larut, substrat berwarna
dan aerial mycelium. Bakteri ini resisten pada lysozyme dan neomycin serta
mampu menghasilkan komponen yang menunjukkan aktivitas seperti antifungal,
antibakteri, antiprotozoa dan antitumor serta sensitif terhadap agen antibakteri dan
actinophage. Streptoverticillium
termasuk ke dalam kelompok bakteri Gram
positif. Dinding selnya mengandung L-diaminopimelic acid (L-DAP). Kandungan
utama sel bakteri ini adalah saturated, iso- dan anteiso-fatty acid, MK-9 (H6) dan
MK-9
(H8)
menaquinone
phosphatidylethanolamine,
serta
phospholipid
phosphatidylinositol
(diphosphatidylglycerol,
dan
phosphatidylinositol
mannoside) (Holt et al., 1994).
Gambar 3. Bakteri Streptoverticillium sp. (Tresner et al., 1971)
Streptoverticillium bersifat aerobik, yaitu tumbuh pada kondisi lingkungan
yang banyak oksigen atau konsentrasi karbondioksida sedikit. Bakteri ini juga
bersifat kemoorganotrof dan mesopilik. Tumbuh optimum pada temperatur
26-32oC dan pH 6,5-8,0. Bakteri
ini kebanyakan hidup saprofit pada tanah
(Holt et al., 1994).
Reproduksi bakteri yang termasuk Streptoverticillium terjadi dari salah satu
miselium aerial atau dari germinasi spora. Spora tersebut memiliki permukaan
yang halus sampai sedikit kasar (Holt et al., 1994).
2.4 Medium Pertumbuhan Mikroba
Medium pertumbuhan adalah tempat untuk menumbuhkan mikroba. Mikroba
memerlukan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan energi dan untuk bahan
12
pembangun sel, untuk sintesa protoplasma dan bagian-bagian sel lain. Setiap
mikroba mempunyai sifat fisiologi tertentu, sehingga memerlukan nutrisi
tertentu pula.
Media pertumbuhan dapat berupa media sintetik maupun media alami. Pada
media sintetik, setiap komponen merupakan senyawa yang relatif murni serta
konsentrasi komponen dalam media dan strukturnya dapat diketahui dengan pasti.
Media sintetik mempunyai keuntungan, antara lain: setiap komponen dapat
dengan mudah diubah, disamping kesalahan atau kelainan yang mungkin terjadi
selama fermentasi akibat komposisi media dapat dicegah (Yuniasari, 1994).
Faktor yang penting dalam optimasi media fermentasi adalah pemilihan
komposisi sumber karbon dan nitrogen karena sel-sel mikroorganisme dan
berbagai produk fermentasi sebagian besar terdiri dari unsur karbon dan nitrogen
serta garam-garam dalam jumlah seimbang (Suhartono, 1989).
Gula sederhana seperti glukosa merupakan sumber karbon yang mudah
dicerna dan digunakan mikroorganisme sebagai sumber energi. Penggunaan
glukosa dalam media harus dibatasi, karena selain pertimbangan ekonomis juga
untuk menghindari efek represi produksi enzim (Suhartono, 1989). Bakteri akan
melakukan hidrolisa secara perlahan pada media yang mengandung senyawa
karbon dan sumber nitrogen untuk mencegah terjadinya represi katabolit (proses
yang menyebabkan fase lag menjadi berkepanjangan sehingga mempengaruhi
sifat perumbuhan dan pembentukan produk yang menyebabkan penurunan
aktivitas enzim) dan produksi enzim meningkat (Bierbaum et al., 1994).
Sumber nitrogen yang digunakan dalam media fermentasi dapat berupa
nitrogen organik maupun nitrogen anorganik. Contoh sumber nitrogen organik
untuk pertumbuhan mikroba, antara lain pepton, ekstrak khamir, tepung kedelai
dan limbah organik (Suhartono, 1989). Ekstrak khamir dan pepton merupakan
sumber asam amino atau nitrogen dan vitamin B sebagai stimulan pertumbuhan
bakteri. Mikroba membutuhkan vitamin B untuk pertumbuhannya, seperti vitamin
B1 (thiamin), B2 (riboflavin), B6 (piridoksin), dan B12 (kobalamin). Vitamin B
ini digunakan dalam pembentukan koenzim yang akan berikatan dengan enzim
dengan ikatan yang tidak begitu kuat (Moat, 1979).
13
Kebutuhan nutrisi mikroba terlihat dalam unsur-unsur yang tersusun dalam
selnya. Susunan kimia sel mikroba relatif tetap, baik unsur kimia maupun
senyawa yang terkandung di dalam sel. Komponen utama yang menyusun sel
bakteri adalah unsur C, H, O, N, P dan S, yang jumlahnya 95% dari berat kering
sel, sedangkan sisanya tersusun dari unsur-unsur lain (Irianto, 2006).
Mikroba membutuhkan nitrogen sebagian besar untuk sintesis protein dan
asam-asam nukleat. Nitrogen digunakan dalam bentuk amonium, nitrat, asam
amino, protein, dan sebagainya. Sumber karbon untuk mikroba dapat berbentuk
senyawa organik maupun anorganik. Hidrogen dan oksigen biasanya digunakan
sebagai air untuk keperluan seperti pelarut, hidrolisis, ionisasi, osmosis, dan
sebagianya (Irianto, 2006).
Seluruh mikroorganisme membutuhkan sumber sulfur, nitrogen dan fosfat
sebagai sumber mineral trace. Komponen mineral utama yang umumnya
dibutuhkan semua jenis mikroorganisme adalah fosfat, kalium, kalsium, sulfur
dan magnesium. Penambahan kasium seringkali meningkatkan aktivitas enzim
yang dihasilkan. Beberapa jenis mineral biasanya sudah terdapat bersama-sama
dengan komposisi substrat, seperti besi, tembaga, mangan, seng dan sebagainya.
Fosfat, sulfat dan anion lain diberikan sebagai garam mineral (Suhartono, 1989).
2.5 Limbah Cair Surimi
Limbah cair didefinisikan sebagai buangan cair yang berasal dari suatu
lingkungan masyarakat dan lingkungan industri dimana komponen utamanya
adalah air yang telah digunakan dan mengandung benda-benda padat yang terdiri
dari zat-zat organik dan anorganik (Mahida, 1984).
Air pencucian surimi merupakan hasil samping atau bahkan menjadi limbah
bagi industri pengolahan surimi, sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran
perairan jika tidak ditangani dengan baik karena mengandung bahan organik yang
tinggi (Uju et al., 2009). Kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand) dari proses
pencucian minced fish berkisar antara 6000-27000 mg/l (Lin et al., 1995).
Air dari proses pencucian surimi tidak hanya membawa protein sarkoplasma
yang larut air, akan tetapi protein miofibril, protease, hemepigmen dan zat bioaktif
lainnya yang sangat potensial (Tacharatanamanee et al., 2004). Air limbah yang
dihasilkan dari pencucian pertama pada proses pembuatan surimi mengandung
14
protein, non protein, nitrogen, lemak dan abu yang tinggi (Lin et al., 1995). Air
cucian minced fish mengandung protein 1,58% (b/v) dan mengandung 17 asam
amino
dengan
asam
glutamat
sebagai
komponen
dominan
(Trilaksani et al., 2007). Secara spesifik, Bourtoom et al., (2009) melaporkan
kadar protein air cucian minced fish tahap pencucian pertama sebesar 1,23 mg/ml,
sedangkan pada pencucian kedua dan ketiga lebih rendah, yaitu 0,64 dan
0,54 mg/ml. Kadar protein ini 1,8 kali lebih tinggi dibandingkan kadar protein air
pasteurisasi rajungan (Uju et al., 2008). Asam amino dari konsentrat air limbah
surimi ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel
2.
Asam amino konsentrat
(Oreochromis niloticus)
No.
Jenis asam amino
1
Asam aspartat
2
Asam glutamat
3
Serin
4
Glisin
5
Histidin
6
Argini
7
Treonin
8
Alanin
9
Prolin
10
Tirosin
11
Valin
12
Metionin
13
Sistin
14
Isoleusin
15
Leusin
16
Fenilalanin
17
Lisin
Sumber : Trilaksani et al., (2007)
air
limbah
surimi
ikan
nila
Nilai rata-rata (%)
3,79 + 0,04
5,49+ 0.05
1,13 + 0,05
1,64 + 0,04
0,49 + 0,03
0,94 + 0,01
2,45 + 0,06
2,03 + 0,03
1,12 + 0,03
1,35 + 0,02
0,32 + 0,06
0,98 + 0,09
0,76 + 0,01
3,23 + 0,05
2,73 + 0,01
1,64 + 0,05
1,35 + 0,04
2.6 Aplikasi Transglutaminase dalam Industri
Modifikasi
protein
dengan
menggunakan
transglutaminase
sudah
dimanfaatkan pada berbagai industri makanan. Transglutaminase berfungsi dalam
meningkatkan sifat rheologi, enkapsulasi bahan yang berlemak dan larut lemak,
memperbaiki pembentukan gel dan sifat gel, perubahan daya larut protein serta
sifat busa dan daya ikat air (Motoki dan Seguro, 1998; Jaros et al., 2006 dalam
Lantto, 2007). Kebutuhan industri makanan terhadap enzim transglutaminase
sudah dapat dipenuhi semenjak beberapa instansi internasional menggunakan
15
microbial
transglutaminase
yang
dihasilkan
dari
mikroorganisme
Streptoverticillium mobaraense pada industri makanan (Grades, 2006).
Microbial transglutaminase (MTGase) komersial yang diproduksi oleh
Ajinomoto sudah diaplikasikan pada berbagai makanan berprotein untuk
meningkatkan karakteristik beberapa produk makanan komersial, seperti
kenampakan, tekstur, viskositas dan gelasi. Pembentukan interaksi silang
tambahan menyebabkan perubahan pada ukuran, konformasi, viskositas, gelasi
dan kestabilan beberapa makanan berprotein seperti kedelai, ketan, urat daging ,
miosin, globulin dan kasein sehingga penampakan dan tekstur berbagai makanan
dapat dimodifikasi dengan menggunakan MTGase selama proses pembuatan
makanan. Menurut Hazová et al., (2002) dalam Grades (2006), penambahan
MTGase ke dalam tepung menimbulkan pengaruh positif pada tekstur roti dan kue
kering dengan konsentrasi enzim sebesar 3,5-4,5 mg/kg tepung. Hasil penelitian
Lauber et al., (2002) dalam Grades, (2006) menunjukan bahwa penamabahan
MTGase pada yoghurt dari susu skim yang diberi perlakukan dengan suhu 80 oC
selama 5 menit memberikan pengaruh yang nyata. Hasil penelitian tersebut
disajikan pada Gambar 4.
a)
b
)
Gambar 4. Yoghurt dari susu skim yang diberi perlakukan dengan suhu 80oC
selama 5 menit: a) tanpa MTGase b) dengan 100 U MTGase/L
(Lauber et al., 2002 dalam Grades, 2006).
Transglutaminase juga dapat dimanfaatkan pada industri tekstil. Misalnya,
transglutaminase digunakan untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh
bahan kimia dan protease selama pembuatan wool (Cortez et al., 2004) dan
pencucian benang wool (Cortez et al., 2005). Beberapa aplikasi microbial
transglutaminase pada pengolahan makanan dapat dilihat pada Tabel 3.
16
Tabel 3. Aplikasi microbial transglutaminase pada pengolahan makanan
Sumber
Daging
Produk
Hamburger, bakso,
stuffeddumplings, shao-mai
Daging kaleng
Daging beku
Ikan
Daging cetak
Fish paste
Kolagen
Terigu
Imitasi sirip ikan hiu
Makanan kue
Kacang
kedelai
Mapuo doufu
Tofu goreng (aburaage)
Tofu
Sayuran
dan buahbuhaan
Kasein
Seledri
Promotor absorpsi mineral
Gelatin
Ikatan silang protein
Makanan manis
Seasoning
Seasoning
Sumber : Zhu et al., (1995)
Pengaruh
Meningkatkan elastisitas,
tekstur, rasa dan flavor
Tekstur dan penampakan
menjadi baik
Meningkatkan tekstur dan
mengurangi biaya
Merestrukturisasi daging
Meningkatkan tekstur dan
penampakan
Imitasi pelezat makanan
Meningkatkan tekstur dan
volume
Memperpanjang
daya
simpan
Meningkatkan tekstur
Memperpanjang
daya
simpan
Pengawet makanan
Meningkatkan
absorpsi
mineral pada usus
Mengurangi allergenicity
Makanan rendah kalori
dengan tekstur baik, kokoh
dan elastis
Meningkatkan rasa dan
flavour
Reference
Sakamoto and Soeda (1991)
Seguro and Motoki (1991)
Takagaki dan Narukawa
(1990)
Matsui et al., (1990)
Wakameda et al., (1990b)
Tani et al., (1990
Ashikawa et al., (1990)
Kato et al., (1991)
Soeda et al., (1990)
Nonaka et al., (1990)
Takagaki et al., (1991)
Noguchi et al., (1992)
Yamauchi et al., (1991)
Yamanaka and Sakai (1992)
Kobata et al., (1990)
Download