9 TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2003) perilaku ialah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Ada dua perspektif teori yang menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan individu dalam membentuk perilakunya. Perspektif teori pertama adalah nature sebagai ”the view espoused by nativists. Nature refers not simply to abilities present at birth but to any ability determined by genes, including those appearing through maturation”. Para ahli psikologi evolusi sebagai penganut perspektif teori ini menganggap bahwa perilaku merupakan produk dari seleksi alam sebagai “evolutionary adaptation” (EA). Ketertarikan interpersonal merupakan contoh sexual selection: laki-laki dan perempuan memilih pasangan yang paling sesuai bagi sukses reproduksinya. Kedua nurture sebagai “the view of empiricists, the view that everything is learned through interactions with the environment, the physical and social world, more widely referred to as ‘experience”. Para ahli psikologi radikal (seperti Skinner dan Watson) berpendapat bahwa seluruh perilaku dapat dijelaskan oleh suatu peristiwa sendiri. Skinner berpendapat bahwa proses pembelajaran suatu bahasa oleh anak kecil dapat dijelaskan melalui reward dan konsekuensinya. Contoh lain dari perspektif teori ini adalah bahwa schizophrenia muncul pada anak-anak yang senantiasa menerima informasi kontradiktif dari kedua orang tuanya. Teori Convergence memadukan kedua teori di atas. Teori ini menyebutkan bahwa perkembangan individu adalah perpaduan antara bawaan dengan pengaruh luar. Kekuatan internal dan eksternal saling berinteraksi, saling memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu. Interaksi lingkungan dengan faktor bawaan tidak selalu tetap dan tergantung pada sifat hereditas, sifat lingkungan dan intensitas pengaruh luar. Sifatsifat jasmani tubuh manusia merupakan ciri utama seseorang dan sulit diubah sedangkan kemampuan berbicara, bersikap dan berperilaku dapat diubah melalui interaksi sosial antara sifat bawaan dan lingkungan luar (Zanden dan James, 1995). 10 Memperkuat argumentasi tersebut, Lewin (dalam Hersey et al: 1996) mengemukakan bahwa perilaku individu merupakan fungsi dari individu dan situasi. Secara matematis kondisi demikian dinyatakan sebagai: B = ƒ (P,S). Dalam hal ini B = behavior, P = person dan S = situation. Seseorang berperilaku, dipengaruhi oleh sesuatu dalam diri orang (yang memotivasi individu untuk bertindak) dan oleh sesuatu di luar orang itu (situasi), antara individu dengan situasi akan saling bergantung. Perilaku juga dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai hasil tertentu dan dipengaruhi oleh tujuan. Tujuan atau sasaran tidak selamanya didasari oleh perilaku individu tersebut. Hal ini dikarenakan adanya alam bawah sadar yang memengaruhi perilaku seseorang individu. Menurut teori communication and human behavior, perilaku pada dasarnya merupakan suatu tindakan manusia yang diawali oleh adanya proses input berupa informasi yang masuk dari tiap individu (Ruben, 1992). Beragam informasi yang masuk tersebut selanjutnya mengalami proses seleksi untuk menentukan informasi yang relevan. Informasi yang telah melalui proses seleksi tersebut selanjutnya mengalami proses interpretasi yang menyebabkan timbulnya beragam penafsiran terhadap informasi yang sama dari tiap individu. Informasi yang mengalami interpretasi tersebut selanjutnya disimpan dalam short-term atau long-term memory. Tergantung pada penting atau tidaknya nilai informasi. Bila informasi tersebut penting, maka individu akan menyimpan informasi tersebut dalam long-term memory, sebaliknya bila informasi tersebut tidak penting maka individu itu akan menyimpannya dalam short-term memory yang mudah dilupakan. Adanya asupan informasi yang diproses dalam diri individu, memungkinkan individu memiliki kebutuhan dan menentukan tujuan yang relevan dengan asupan informasi tersebut. Jadi, asupan informasi mengalami seleksi, interpretasi dan retention hingga munculnya kebutuhan dan tujuan yang berujung pada munculnya perilaku individu. Perilaku individu juga dapat dijelaskan oleh teori operant conditioning yang digagas oleh BF. Skinner (Brophy, 1990). Menurut Skinner, perilaku individu pada dasarnya merupakan hasil dari suatu proses belajar. Sementara itu Pavlov menganggap tingkahlaku terjadi bila ada stimuli khusus, sementara Skinner menambahkan bahwa tingkahlaku demikian hanya menerangkan sebagian kecil saja dari semua kegiatan. Skinner berpendapat, ada bentuk tingkahlaku lain yang dia sebut sebagai tingkahlaku 11 operant, yang sengaja terjadi pada lingkungan tanpa unconditioned stimuli, seperti makanan. Penemuan Skinner memusatkan hubungan antara tingkahlaku dan konsekuen. Contoh, jika menyenangkan, individu akan menggunakan tingkahlaku itu lagi sesering mungkin. Menggunakan konsekuen yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam mengubah tingkahlaku, sering disebut sebagai operant conditioning. Konsekuensi menyenangkan akan memperkuat tingkahlaku, sementara konsekuensi yang tidak menyenangkan akan memperlemah tingkahlaku. Jadi, konsekuensi yang menyenangkan akan meningkat frekuensinya, sementara konseskuensi yang tidak menyenangkan akan mengurang frekuensinya. Operant (perilaku diperkuat jika akibatnya menyenangkan) merupakan tingkahlaku yang ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Operant belum tentu didahului oleh stimuli dari luar. Operant conditioning akan terbentuk jika frekuensi tingkahlaku operant bertambah atau bila timbul tingkahlaku operant yang tidak tampak sebelumnya. Frekuensi terjadinya tingkahlaku operant ditentukan oleh akibat tingkahlaku ini. Percobaan Skinner dengan tikus memerjelas hal ini. Tikus dibuat lapar dengan asumsi karena dorongan lapar, maka timbul motivasi untuk belajar keluar dan mencari makanan. Tikus yang lapar di dalam kotak, kesana-kemari tanpa sengaja menekan tombol. Banyaknya tekanan per satuan waktu dihitung sebagai tingkahlaku operant penekanan sebelum terbentuk operant conditioning. Setelah tingkat operant diketahui, eksperimenter mengaktifkan alat pemberi makan, sehingga setiap kali tikus menekan tombol, segelintir makanan jatuh ke penampung makanan. Makanan ini memerkuat frekuensi penekanan dan kecepatan penekanan berkurang jika makanan tidak muncul, artinya operant respons mengalami extinction jika tidak mendapatkan reinforcement (berupa makanan). Theory Planned Behavior (Fisbein, 2005) melihat dengan menggunakan perspektif lain tentang perilaku. Teori ini diawali dengan kritik terhadap teori dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat yaitu tidak dapat memperkirakan perilaku yang akan timbul. Pada awal tahun 1862 para ahli psikologi mulai membangun teori yang menunjukkan dampak sikap terhadap perilaku. Para ahli psikologi sosial kemudian melanjutkan studi mengenai sikap dan perilaku antara kurun waktu tahun 1918 dan 1925 dan menghasilkan banyak kemunculan teori baru dengan penekanan kaitan antara sikap 12 dan perilaku. Tesis utama dari trend perkembangan teori tersebut adalah bahwa sikap dapat menjelaskan perilaku manusia. Pada masa itu Thomas dan Znaiecki ialah ahli psikologi pertama yang menyampaikan bahwa sikap merupakan proses mental individual yang menentukan perilaku aktual individu dan respon potensialnya. Berangkat dari perspektif tersebut maka para ahli psikologi sosial mulai melihat sikap sebagai prediktor perilaku. Beberapa ahli psikologi sosial yang menganggap perspektif sikap sebagai prediktor perilaku antara lain (a) Thurston yang pada tahun 1929 mengembangkan metode pengukuran sikap dengan menggunakan skala interval. Setelah itu Likert mengembangkan skala pengukuran sikap yang lebih spesifik dan mudah digunakan. Gordon pada tahun 1935 menyampaikan teori yang menyatakan bahwa hubungan sikap dan perilaku tidaklah uni-dimensional, melainkan multi-dimensional. Sikap merupakan sesuatu yang kompleks yang menunjukkan perasaan individu tentang suatu objek, (b) Guttman pada tahun 1944 membuat skalogram analisis untuk mengukur perasaan individu tentang suatu objek tertentu. Kemudian, (c) Rosenberg dan Hovland pada tahun 1960 memaparkan bahwa sikap individu terhadap suatu objek meliputi aspek afektif, kognitif dan perilaku. Sebagai kelanjutan teori-teori hubungan sikap dan perilaku, Fishbein dan Ajzen berkolaborasi untuk mengembangkan cara memprediksi perilaku. Mereka beranggapan bahwa individu senantiasa rasional dan menggunakan informasi yang tersedia di sekitar mereka secara sistematik. Manusia sadar atas implikasi perilakunya sebelum bertindak. Fishbein dan Ajzen mereview seluruh studi itu, kemudian membangun sebuah perspektif untuk memprediksi perilaku dan sikap. Perspektif itu mereka disebut sebagai Theory of Reasoned Action (TRA) yang memasukan adanya behavior intention (BI) atau niat berperilaku dari perilaku. Satu kritik penting dilontarkan kepada TRA adalah bahwa individu memiliki kendala dalam mewujudkan perilakunya, meski individu yang bersangkutan telah memiliki niat untuk mewujudkan perilaku itu. Karena itu, Fishbein dan Ajzen menambahkan elemen perceived behavior control (PBC) yang pada dasarnya berisikan keyakinan individu tersebut untuk mampu mewujudkan perilakunya. Penambahan elemen PBC ini selanjutnya dikenal menjadi teori Theory Planned Behavior (TPB). 13 Tujuan dari TPB adalah (a) memprediksi dan memahami dampak niat untuk berperilaku pada perilaku, (b) mengidentifikasi strategi untuk mengubah perilaku, (c) menjelaskan perilaku nyata manusia seperti ”mengapa seseorang membeli mobil, mengapa seseorang memilih seorang caleg tertentu, atau mengapa nelayan tidak menggunakan bom ikan ketika mencari ikan”. Dalam hubungan ini asumsi TPB bahwa: (a) manusia bersifat rasional dan menggunakan informasi yang ada secara sistematik, (b) manusia memahami dampak perilakunya sebelum memutuskan untuk mewujudkan atau tidak perilaku tersebut. TPB secara lugas digambarkan sebagai berikut: (Ajzen, 2005; Rehman, 2000) Attitude (Aact) Background Factor Social - Age - Gender - Education - Income - Religion Subjective Norm (SN) Intention (BI) Behavior (B) Individu - Personality - Intelegence Information - Experience Perceived Behavior Control (PBC) Gambar 1 : Skema Perilaku dalam Theory Planned Behavior Sumber: Ajzen (2005). Attitudes, Personality and Behavior, New York: McGraw-Hill Education. B perilaku (behavior) atau action BI (intention to perform behavior) niat berperilaku Aact attitude – a person’s positif or negative evaluation of performing a behavior sikap – evaluasi positif atau negatif individu tentang perwujudan satu perilaku 14 SN subjective norm – a person perception of the social pressures upon him to perform or not perform a behavior Nilai subjektif – persepsi individu terhadap tekanan sosial yang diterimanya untuk menampilkan suatu perilaku atau tidak. PBC perceived behavioral control – perceived case or difficulty of performing a behavior Persepsi individu tentang keyakinannya untuk mampu melakukan sesuatu. Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam skema TPB, perilaku seseorang ditentukan oleh niat untuk berperilaku (behavior intention), sedangkan niat untuk berperilaku (behavior intention) ditentukan oleh attitude, subjective norm dan perceived behavior control. Selain itu, faktor latarbelakang (background factor) menunjukkan bahwa tiap individu berbeda lingkungan sosialnya seperti umur, jender, pendidikan, penghasilan, agama, kepandaian dan pengalamannya yang dapat menunjukkan beragam isu atau informasi yang memengaruhi kepercayaan individu tersebut (Ajzen, 2005). Niat untuk Berperilaku Niat untuk berperilaku (intention to perform behavior) ialah kecenderungan, tekad atau keinginan (intention) nelayan untuk berperilaku. Mengukur niat untuk berperilaku sama dengan mengukur perilaku itu sendiri, karena niat dan perilaku memiliki hubungan yang kuat. Setiap perilaku bebas yang ekspresinya oleh kemauan sendiri selalu akan didahului oleh niat. Niat seseorang untuk berperilaku ditentukan oleh: (1) sikap nelayan terhadap kegiatan perikanan tangkap yang berupa evaluasi positif atau negatif nelayan terhadap manfaat kegiatan perikanan tangkap, (2) tingkat kepatuhan individu nelayan terhadap orang-orang yang berpengaruh pada dirinya agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Penelitian-penelitian berikutnya menunjukkan bahwa niat untuk berperilaku tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih dipengaruhi faktor lain yaitu perceived behavior control (PBC) yang merupakan persepsi yang bersangkutan terhadap kendala-kendala dapat menghambat perilakunya. 15 Niat untuk berperilaku berbeda dengan motivasi. Bila niat untuk berperilaku menunjukkan hubungan sikap seseorang dengan perilakunya (yang kadangkala tidak sesuai), maka motivasi menekankan pada latarbelakang kebutuhan yang memengaruhi munculnya perilaku individu. Teori Hierarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow (Maslow, 1954) menjelaskan perbedaan ini. Maslow menjelaskan bahwa setiap orang memiliki lima macam kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), kebutuhan akan rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), kebutuhan sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), kebutuhan untuk dihargai (secara internal dan eksternal) dan kebutuhan aktualisasi untuk dirinya (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri). Maslow menunjukkan lima kebutuhan ke dalam hierarki urutan-urutan. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman berada pada tingkat terbawah, kemudian di atasnya ada kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Menurut Maslow, perbedaan kedua tingkat tersebut terjadi karena kebutuhan tingkat atas dapat dipenuhi secara internal sedangkan kebutuhan pada tingkat bawah dipenuhi secara eksternal. Teori kebutuhan Maslow telah diterima secara luas karena teori ini logis secara intuitif. Ringkasan Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu terhadap stimuli rangsangan atau lingkungan. Ada tiga teori yang menjelaskan pertumbuhan dan perkembangan individu sehingga membentuk perilaku, yaitu teori nativisme, teori empirisme dan teori konvergensi. Setiap teori itu berusaha menjelaskan faktor-faktor lingkungan yang melatarbelakangi timbulnya perilaku. Lebih jauh teori communication and human behavior, teori operant conditioning dan theory planned behavior telah menjelaskan tentang bagaimana perilaku terbentuk. Teori communication and human behavior umumnya digunakan untuk melihat faktor-faktor yang melatarbelakangi perilaku dan kecenderungan individu dalam berperilaku. Teori ini umumnya digunakan dalam bidang periklanan untuk memprediksi perilaku konsumen. Teori operant conditions adalah satu dari teori belajar yang berguna untuk mengubah perilaku individu melakukan pembelajaran. Teori ini menjelaskan 16 bahwa perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh stimulus saja. Melainkan juga dipengaruhi oleh kontrol atau usaha organisme itu sendiri. Theory Planned Behavior (TPB) menunjukkan bahwa perilaku individu yang ternyata tidak selalu sejalan dengan sikapnya. Teori ini melibatkan niat untuk berperilaku sebagai komponen antara sikap dan perilaku. Menurut TPB, niat untuk berperilaku (behavior intention)= BI dipengaruhi oleh sikap dan subjective norm. Makin kuat skor BI, maka akan makin besar kecenderungan perilaku itu dilaksanakan. Demikian pula jika subjective norm menjadi semakin kuat maka akan mungkin perilaku itu akan dilaksanakan. Faktor-faktor yang Memengaruhi Niat untuk Berperilaku Nelayan Artisanal 1. Sikap (Attitude) Walaupun sikap merupakan salah satu pokok bahasan dalam psikologi sosial, para pakar masih berbeda dalam mendefinisikannya. Seperti ditunjukkan oleh beberapa definisi sikap dibawah ini: Attitude is favorable or unfavorable evaluative reaction to ward something or someone, exhibit in one’s belief, feeling or intended behavior (Myer, 1996) An attitude is a disposition to respond favorably or unfavorably to an object, person, institution or event (Azjen, 1975) Attitude is a psychological tendency that expressed by evaluating a particular entity with some degree of favor or disfavor (Eagly & Chaiken, 1992) Definisi di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan dari sikap: (1) memiliki objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda dan sebagainya), dan (2) mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-tidak suka). Sikap adalah sesuatu yang dipelajari (bukan bawaan), oleh karena itu sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Sikap berbeda dengan sifat (trait) yang merupakan bawaan dan sulit diubah (Sarlito Wirawan Sarwono, 2002). Sikap memiliki tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan konatif (Triandis, 1971; Myers, 1996), agar mudah diingat ketiga domain tersebut maka diberi istilah yaitu affective (perasaan), behavior (perilaku) dan cognitive (kesadaran) disingkat ABC. Ajzen 17 (2005) memerinci respon yang timbul dari ketiga domain sikap tersebut dalam bentuk respon verbal dan non-verbal. Respon verbal dari kategori kognitif yaitu ekspresi kepercayaan seorang terhadap suatu objek tertentu, kategori afektif yaitu ekspresi perasaan seorang terhadap sikap suatu objek dan aspek perilaku yaitu ekspresi seorang dalam niat untuk berperilaku. Respon non-verbal dari kategori kognitif yaitu reaksi persepsi seorang terhadap suatu objek, kategori afektif yaitu reaksi psikologi seorang terhadap objek sikap dan kategori perilaku yaitu perilaku seorang yang mengarah kepada objek sikap. Sejalan dengan hal tersebut, Triandis (1971) menjabarkan ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur sikap yang terdiri dari measurable independent variable yaitu stimuli yang terdiri dari: (a) individuals, situations, social issues, social group, (b) intervening variable berupa attitudes dalam aspek affect, cognition dan behavior dan (c) measurable dependent variable untuk aspek affective berupa sympathetic nervous response, untuk aspek cognition berupa perceptual response verbal statement of beliefs dan untuk aspek behavior berupa overt action verbal statement concerning behavior. 2. Kepatuhan kepada Patron (Subjective Norm) Secara sederhana norma diartikan sebagai common guidelines for social action (Abrecombie et al, 1984). Sementara itu yang dimaksud dengan norma subjektif dalam penelitian ini ialah kepatuhan nelayan kepada patronnya sebagai a person’s perception of the social pressure upon him to perform or not perform a behavior. Kepatuhan terhadap patron ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) pendapat tokoh atau orang lain yang penting yang berpengaruh kepada yang bersangkutan atau (significant other). Agen ini melakukan atau tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh patron tersebut dan (2) seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat orang lain tersebut (motivation to comply). Karena itu konsep kepatuhan kepada patron berupa kepatuhan individu kepada orang lain yang berpengaruh (significant other). Kepatuhan pada Patron (KP) dinyatakan oleh rumus berikut ini : 18 KP= ∑ n.m Keterangan: KP = Kepatuhan kepada patron n = Harapan orang-orang penting/panutan/patron (significant other) dalam hidup m = Seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat tokoh (significant other) tersebut Kepatuhan kepada patron atau norma subjektif berbeda dengan norma. Menurut Horne (2001) norma mencakup 3 pengertian dasar, yaitu (1) norma merupakan aturan yang membolehkan atau melarang suatu perilaku atau seperangkat perilaku, (2) norma dikuatkan dengan sanksi eksternal (reward and punishment) yang dapat berupa materi atau bentuk simbolik, (3) norma berupa konsensus diantara para penganut norma tersebut. Pengertian tersebut membedakan norma dan nilai (value). Norma mempunyai sanksi yang bersifat eksternal, maka nilai (value) berasal dari sanksi yang bersifat internal. Demikian pula perbedaan norma dengan sikap (attitudes), norma dilegitimasi oleh kelompok sedangkan sikap (attitudes) ialah a property of the individual. 3. Kemampuan Berperilaku (Perceived Behavior Control) Ajzen (2005) menyatakan perceived behavior control ialah persepsi tentang keyakinan seseorang pada kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah mudah dilakukan atau sulit dilakukan. Menyangkut perilaku nelayan, perceived behavior control ini menggambarkan seberapa besar keyakinan individu nelayan tentang kemampuannya melakukan perilaku kegiatan menangkap hingga memasarkan ikan. Keyakinan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang dapat memudahkan atau menyulitkan pelaksanaan pekerjaan itu. Perceived behavior control pada penelitian ini disebut sebagai Kemampuan Berperilaku (KB). 19 Dalam buku Social Learning Theory (1977), Bandura mendefinisikan self-efficacy sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu. Self efficacy ini menunjukkan perasaan seorang. Dalam penelitian ini, Kemampuan Berperilaku (KB) digambarkan sebagai berikut: KB = ∑ c.p Keterangan: KB = Kemampuan berperilaku (perceived behavior control) c = Keyakinan individu tentang kemampuannya melakukan sesuatu p = Evaluasi individu tentang kemampuannya melakukan sesuatu Faktor Latar Belakang: Karakteristik Individu Nelayan Artisanal Arif Satria (2002) menyatakan bahwa karakteristik masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik masyarakat agraris, sesuai dengan perbedaan karakteristik sumberdaya yang dikelola. Masyarakat agraris yang diwakili oleh kaum tani menghadapi sumberdaya yang terkontrol, atau pengelolaan lahan untuk suatu komoditi dengan out put yang relatif dapat diprediksi. Sifat produksi seperti ini memungkinkan tetapnya lokasi produksi sehingga mobilitas usaha relatif rendah dan elemen resiko-pun tidak terlalu besar. Dalam hal ini usaha pembudidayaan ikan dapat digolongkan sebagai usaha masyarakat pertanian (agraris) karena sifat sumberdaya yang dihadapi relatif mirip. Karakteristik tersebut berbeda sekali dengan nelayan, yang sumberdayanya bersifat open access. Karakteristik seperti ini menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil maksimal sehingga resikonya menjadi lebih tinggi. Kondisi sumberdaya yang beresiko menyebabkan masyarakat nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka. Dalam yang sama, Arif Satria (2002) memperjelas karakteristik masyarakat nelayan di wilayah pesisir dengan menekankan beberapa aspek yaitu: (1) aspek sistem pengetahuan, (2) aspek kepercayaan, (3) peran wanita, (4) struktur sosial dan (5) posisi sosial nelayan. 20 Dari sistem pengetahuan, masyarakat pesisir dianggap memiliki pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan yang didapat dari orang tua. Kuatnya pengetahuan lokal tersebut yang selanjutnya menjadi salah satu faktor penyebab terjaminnya kelangsungan hidup mereka sebagai nelayan. Dari aspek kepercayaan, masyarakat nelayan percaya bahwa laut memiliki kekuatan magis sehingga perlu ritual khusus agar selamat ketika menangkap ikan dan hasilnya banyak. Tradisi tersebut antara lain ditafsirkan dengan kebiasaan sowan ke suhu atau dukun untuk mendapat perlindungan saat melaut dan memperoleh hasil yang banyak. Seiring dengan perkembangan pendidikan dan pendalaman agama, upacara ritual itu telah menjadi simbolik untuk menjaga stabilitas sosial dalam komunitas nelayan. Aktivitas ekonomi wanita masyarakat nelayan di wilayah pesisir umumnya relatif menonjol, selain bergelut pada urusan domestik rumah tangga istri nelayan menjalankan juga fungsi-fungsi ekonomi baik penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan maupun kegiatan jasa dan perdagangan. Pada masyarakat nelayan, ada pembagian kerja yang jelas. Pria menangkap ikan dan wanita menjual ikan hasil tangkapan tersebut. Secara sosial, status nelayan relatif rendah. Di India, pada umumnya nelayan berasal dari kasta rendah. Demikian pula di Jepang, posisi nelayan terdegradasi sehingga memunculkan masalah dalam regenerasi nelayan. Hanya sedikit kalangan muda yang bersedia menjadi nelayan, meski ada berbagai fasilitas subsidi dari pemerintah. Menurunnya status nelayan di Jepang ditunjukkan oleh menurunnya minat wanita Jepang untuk menjadi istri nelayan. Situasi ini dipaparkan oleh Firth (1971) dalam buku Malay Fishermen: Their Peasant Economny. Menurut, Firth nelayan mengalami “disrespect, implying not merely a low economic level and small-scale semi-subsistence production, but also a low cultural, even intellectual position” Dalam Webster New Word College Dictionary (2000), karakteristik (characteristic) didefinisikan sebagai “a distinguish trait a quality or qualities that distinguish something from other of its class or kind”. Dalam konteks penelitian sosial, ciri-ciri pembeda tersebut melekatkan suatu atribut sosial yang digunakan sebagai pembeda antara individu atau kelompok individu. Lionberger (1980) menyebut hal tersebut sebagai faktor yang memengaruhi kemauan seseorang untuk menerima atau menolak difusi. Faktor ini seperti usia, pendidikan, dan karakteristik psikologi. Beberapa 21 peneliti lain seperti Budiono Pitojo (2006), Zulfarima (2003) mengamati karakteristik demografi petani ladang berpindah dan lahan kering yang meliputi: (1) umur, (2) pendidikan, (3) pengetahuan, (4) pengalaman berusaha tani, (5) kekosmopolitan, (6) luas lahan garapan, dan (7) pendapatan. Budiono Pitojo (2006) juga mengamati karakteristik demografi petani tepi hutan seperti (1) suku, (2) pendidikan formal, (3) pendidikan non formal, (4) luas lahan garapan, (5) status lahan garapan, (6) kekosmopolitan, (7) pendapatan yang dikeluarkan, (8) jumlah keluarga, (9) pengalaman berusaha tani, (10) umur, (11) lama tinggal di desa, (12) motivasi melestarikan hutan dan (13) kontak dengan penyuluh. Dalam bidang kajian nelayan perikanan tangkap (fishers), Wildani Pingkan Saripurna Hamzen (2007) mengamati karaktertistik nelayan seperti pendidikan rendah pendatang dan memiliki motivasi untuk maju. Luky Adrianto (2006) dan Charles (2001) sepakat tentang karaktertistik sosial demografi nelayan. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system, terdapat beberapa karakteristik umum nelayan (fishers) yaitu pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu kelompok) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, pada komunitas nelayan komersial, nelayan bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh waktu, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan juga bervariasi berdasarkan motivasi dan perilaku menangkap ikan. Ada nelayan yang profit-maximizers yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti "perusahaan", dan pula nelayan satisfisers yang aktif menangkap ikan sekedar untuk mendapatkan penghasilan yang cukup. Pada nelayan artisanal (artisanal fisheries) yang diamati dalam penelitian ini, karakterteristik demografi meliputi umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan non formal, pengalaman sebagai nelayan, lama tinggal di desa, lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, harga perahu dan alat tangkapnya, jumlah anak buah kapal, ukuran mesin 22 perahu, modal yang dikeluarkan, pendapatan bersih, ragam alat tangkap yang dimiliki serta kemandirian nelayan a. Umur Umur kronologis ialah indikator penting yang menunjukkan perkembangan individu. Umur menunjukkan suatu kemampuan tertentu (Salkind,1985). Perkembangan manusia pada prinsipnya merupakan rangkaian perubahan jasmani dan rohani (fisiopsikis) ke arah yang lebih maju dan sempurna. Perkembangan tersebut, merupakan kompilasi dari beberapa proses yaitu: - perkembangan motor, yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam ketrampilan fisik seseorang; - perkembangan kognitif, yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses-proses perkembangan kemampuan kecerdasan seseorang; - perkembangan sosial dan moral, yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara seseorang berkomunikasi dengan objek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. b. Jumlah anggota keluarga Dalam Macmillan Dictionary of Anthropology (1990), keluarga ialah kesatuan sosial yang terdiri dari individu-individu yang memiliki ikatan keturunan (kinship). Konsep keluarga ini berbeda dengan rumah tangga (household) yang lebih didasari oleh aspek domestik. Dalam studi-studi mengenai masyarakat pedesaan, konsep keluarga lebih tepat digunakan, mengingat ikatan keturunan yang terdapat dalam keluarga lebih berfungsi untuk mengatur penguasaan sumberdaya (property) khususnya tanah. Keluarga inti (nuclear family) ialah satuan sosial keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anakanaknya yang belum kawin. Mengingat dalam keluarga juga terdapat aspek keturunan, maka biasanya pada keluarga pedesaan di Jawa, keluarga inti tersebut akan ditambah dengan anggota kerabat lain seperti kakek, nenek, saudara laki-laki/perempuan dari ayah, atau saudara laki-laki/perempuan dari ibu. Kadangkala dalam satu keluarga ada beberapa rumah tangga (household) yang dibedakan atas dasar jumlah tungku perapian masak yang berbeda. 23 c. Pendidikan non formal Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar dan pendidikan lanjutan. Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan yang paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara SLTP) merupakan pendidikan dasar. Pendidikan lanjutan meliputi program paket C (setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi. Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC) yang merupakan komponen Community Center. Meskipun dalam pendidikan non formal pembelajarannya, namun sebagai suatu institusi pendidikan ia berperan dalam memperbaiki kompetensi bidang tertentu dari pesertanya. d. Pengalaman sebagai nelayan Dalam Webster’s New World College Dictionary (2000) “experiences” diartikan sebagai the effect on a person of anything or everything that has happened to that person, individual reaction to events, feeling etc. Pengalaman seseorang juga berhubungan dengan usia kronologis individu tersebut. Secara biologis, seorang dengan tingkat usia kronologis tertentu akan dianggap dewasa bila telah mencapai usia tertentu. Semakin tua usia yang bersangkutan, maka pengalamannya juga akan banyak. Dari perspektif psikologi, seorang dianggap memiliki pengalaman bila yang bersangkutan telah dewasa jika ia mampu mengurus dirinya sendiri. Individu dikatakan dewasa apabila dia bekerja dan berkeluarga. 24 e. Lama tinggal di desa Lama tinggal di desa pesisir bagi seorang nelayan akan menentukan intensitas proses enkulturasi (penyerapan pengetahuan) dan sosialisasi (pembelajaran) yang bersangkutan dalam lingkungan sosial dan fisik tempat. Dalam proses enkulturasi tersebut, seorang nelayan menyerap nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku untuk menghadapi lingkungan. Hal serupa terjadi pula dalam proses sosialisasi nelayan tentang nilai-nilai dan norma-norma yang berfungsi sebagai pedoman masyarakatnya. Malinowski melihat, bahwa kultur yang dipelajari individu dalam masyarakatnya berfungsi untuk membantu yang bersangkutan memenuhi kebutuhan dasarnya. Semakin lama seorang individu tinggal dalam lingkungan kulturnya, maka semakin beragam muatan kultur yang dapat diserap dan dipelajari memenuhi kebutuhan dasarnya dan menghadapi berbagai tekanan dan lingkungannya (Bohannan, 1988). f. Lama memiliki perahu sendiri Dalam sistem perikanan tangkap artisanal di Indonesia, dikenal adanya pembagian tugas dan tanggungjawab antara pemilik perahu, nahkoda dan anak buah kapal (Kusnadi, 2000; Budi Siswanto, 2008). Pemilik perahu ialah orang yang menguasai dan memiliki perahu beserta peralatan tangkap dan alat bantu tangkap yang di ada dalamnya, meski pada nelayan artisanal di Jawa Barat perahu dimiliki oleh keluarga (Luky Adrianto, 2007), sementara nahkoda dan anak buah kapal adalah orang yang mengoperasikan perahu pada saat melaut. Memiliki perahu bagi seorang nelayan artisanal, berarti harus mampu mengoperasikan perahu beserta alat tangkap karena nelayan artisanal pemilik harus mengoperasikan sendiri perahunya. Selain itu bertanggungjawab dalam merawat perahu dan alat tangkapnya, kemudian penghasilan dari hasil melaut merupakan hak sepenuhnya nelayan yang bersangkutan, setelah dipotong biaya melaut. Semakin lama seseorang memiliki perahu sendiri, maka semakin banyak pengalaman yang dia miliki sebagai operator atau pengelola perahu dan peralatan itu. 25 g. Ukuran perahu Menurut UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Jo. Undang-undang No.45 Tahun 2009 pasal 1 kapal perikanan ialah kapal, perahu atau alat apung lain yang digunakan untuk menangkap ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan dan penelitian/eksplorasi perikanan. Ukuran utama kapal dinyatakan dalam indeks luas kapal ialah ukuran panjang, lebar dan tinggi kapal (Diniah, 2008). Ada dua bentuk perahu di pantai Utara Jawa, yakni jenis jukung dan mayang. Jukung ialah perahu kecil dari sebatang kayu, sedangkan mayang ialah perahu besar yang dibuat dengan menggunakan papan kayu, baik dengan haluan yang membesar, haluan dan buritan yang melengkung maupun yang tidak melengkung. Ada berbagai ukuran perahu mayang dan jukung dengan nama yang berbeda antara satu daerah dan daerah lain. Jukung biasanya digunakan untuk menangkap ikan di laut dekat pantai yang dijalankan oleh tidak lebih dari empat orang, digunakan oleh nelayan di sepanjang pantai Utara Jawa dengan sebutan jegong, landrangan, sope, pancasan, konting, bikung, kolek, konting, binkung, kementing, jukung- ender, jukung-lawak, jukung kinciran atau secara luas sampan. Untuk perahu berukuran besar, yakni perahu mayang, dikenal sebagai perahu rembang dan perahu jawa (Sutejo Kuat Widodo, 2007). Pada nelayan di pantai Utara Jawa Barat, ukuran perahu yang dioperasikan berkisar dari 2,75 – 25 GT (Luky Adrianto, 2007). Semakin besar ukuran perahu yang dioperasikan, maka semakin kompleks dan rumit peralatan yang digunakan dan semakin kompleks pula pengorganisasian penggunaan alat dan tenaga kerja yang terdapat di dalamnya. Jadi semakin besar perahu yang dimiliki dan dioperasikan oleh seorang nelayan artisanal, maka semakin besar pula tanggungjawabnya pada investasinya. h. Harga perahu beserta alat tangkapnya Semakin besar perahu, semakin kompleks dan rumit peralatan perahu dan alat tangkap yang terdapat di dalamnya. Hal ini akan berdampak pada nilai nominal perahu dan peralatan tangkapnya. Nelayan dengan ukuran perahu dibawah 10 GT dengan peralatan tangkap yang sederhana, tentu akan berbeda nilai nominal harga perahu dan alat 26 tangkapnya dengan perahu berukuran antara 10 – 25 GT. Pada perahu yang cukup rumit peralatan tangkap dan alat bantu tangkapnya, biasanya dilengkapi dengan peralatan alat bantu tangkap yang lebih rumit seperti fish finder, global positioning satelite, generator dan lampu tembak sebagai alat bantu tangkap ikan. Kelengkapan perahu demikian sudah barang tentu akan menentukan nilai nomimal perahu dan alat tangkap yang terdapat di dalamnya. Secara rata-rata, nilai investasi nominal perahu nelayan artisanal di pantai Utara Provinsi Jawa Barat pada tahun 1986 mencapai Rp. 4 s.d. Rp. 115 juta (Luky Adrianto, 2007). i. Jumlah anak buah kapal Anak buah kapal berfungsi dalam kegiatan penangkapan ikan di laut. Bagi nelayan yang mengoperasikan sendiri perahunya maka posisinya ialah sebagai nahkoda/jurumudi, yang juga menjadi kepal anak buah kapal (ABK). Pada nelayan yang beroperasi di Selat Madura, Jawa Timur, memiliki 12 jenis peran dan tanggungjawab dalam kegiatan penangkapan (Kusnadi, 2000). Sementara itu nelayan artisanal di pantai Utara Jawa Barat biasanya memiliki awak antara 3 – 18 orang termasuk juru mudi. Setiap anak buah kapal memiliki tugas sendiri seperti juru mudi, juru pantau, juru jhonson, tukang ngolor, tukang tarik batu, tukang pelambung (Luky Adrianto, 2007; Budi Susanto, 2008). Perbedaan tugas dan tanggungjawab itu menimbulkan perbedaan bagi hasil yang didapat diantara mereka. Pola nagi hasil di pantai Utara Jawa Barat mencakup 2:3, 1:3, 50:50, 60:40, 80:20 (Luky Adrianto, 2007). Seorang nelayan yang mengoperasikan perahunya sendiri, bertanggungjawab anak buah kapal anggotanya, baik pada saat melaut maupun pada saat tidak melaut, seperti upaya pinjam meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga anak buah kapal. j. Ukuran mesin perahu Ukuran mesin perahu yang dimiliki memengaruhi jenis alat tangkap, ukuran perahu, alat bantu tangkap dan jangkauan wilayah tangkap yang dituju. Jangkauan melaut nelayan artisanal di pantai Utara rata-rata antara satu hingga tujuh Mil dengan memakan waktu melaut antara satu hingga tujuh hari (Luky Adrianto, 2007). Satuan ukuran 27 kekuatan mesin perahu ialah PK (Pärk de Kräct) atau HP (Horse Power) atau tenaga kuda. Kekuatan mesin sangat berpengaruh bagi nelayan yang menggunakan alat jaring. Melepaskan dan menarik jaring membutuhkan kekuatan tenaga yang berasal dari mesin. Demikian pula dengan nelayan yang jangkauan melautnya jauh terutama nelayan purseseini. Ikan hasil tangkapan dimuat di perahu dan harus segera dibawa ke tempat pendaratan ikan sebelum perbekalan es habis. Waktu tempuh dan jarak perahu menuju pendaratan ikan akan ditentukan oleh kekuatan mesin perahu. Bila tertalu lama waktu tempuhnya dapat menyebabkan mutu ikan akan buruk. k. Modal setiap melaut Bagi nelayan di pantai Utara Jawa Barat, modal melaut berasal dari mereka sendiri atau pinjaman para punggawa (pedagang ikan). Nelayan yang menggunakan modal sendiri, dapat menjual ikan secara bebas juragan ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Nelayan yang meminjam modal dari punggawa (modal perahu, alat tangkap atau modal melaut) harus menjual ikan kepada punggawa yang memodalinya. Modal melaut digunakan nelayan di pantai Utara Jawa Barat untuk pengeluaran bahan bakar, makanan dan rokok (Luky Adrianto, 2007). Semakin besar dan kompleks ukuran perahu, semakin banyak anak buah kapalnya, maka semakin rumit kegiatan mencari dan menangkap ikan, sehingga mainn besar modal melaut yang dikeluarkan. Hal ini menyebabkan makin besar tanggungjawab nelayan pada investasinya. l. Pendapatan bersih melaut Dalam satu tahun tidak seluruh bulan para nelayan dapat melaut. Idealnya ada beberapa musim yang memengaruhi pendapatan melaut pantai Utara Jawa Barat. Saat musim timur ialah bertiupnya angin dari arah Timur ke Barat di bulan April, Mei dan Juni. Masa ini merupakan musim ikan yang ditunggu nelayan. Musim daya yaitu bertiupnya angin dari arah Tenggara Selatan (arah daratan pulau Jawa) pada bulan Juli, Agustus dan September. Masa ini merupakan musim untuk mencari ikan. Musim Barat pada bulan Januari dan Februari, musim ini angin bertiup kencang dari arah Barat yang 28 menyebabkan tinggi ombak. Musim ini hanya nelayan dengan alat tangkap tertentu saja dapat melaut karena tingginya ombak. Sepuluh tahun terakhir, pola musim bertiupnya angin tidak dapat diprediksi lagi oleh nelayan. Seringkali musim angin tertentu tidak sesuai dengan pola dimasa lalu. Keadaan demikian menyulitkan nelayan untuk memprediksi kondisi cuaca dan penangkapan ikan. Langkah strategis mensiasati keadaan tersebut, nelayan akan melaut dan beralih mencari wilayah tangkap (fishing ground) yang aman di kabupaten lain melalui andun (tinggal sementara dan kembali ke desa asal saat cuaca membaik). Nelayan di kabupaten Subang, melakukan andun ke Karawang atau Bekasi saat cuaca di di wilayahnya sedang buruk; atau sebaliknya. Strategi andun tidak hanya dilakukan oleh nelayan pantai Utara pulau Jawa saja, melainkan juga oleh nelayan di Selat Madura Jawa Timur (Kusnadi, 2000). Karena melaut dilakukan oleh nelayan tidak sepanjang tahun, maka perhitungan pendapatan bersih dilakukan dalam setiap melaut selama satu tahun. Pendapatan bersih melaut ialah rata-rata hasil penjualan ikan yang didapat oleh nelayan setelah melaut kemudian dipotong pengeluaran modal, pendapatan bagi hasil antara nahkoda (juru mudi) dengan anak buah kapal selama 12 bulan. m. Ragam alat tangkap yang dimiliki Dalam setahun nelayan tidak selamanya melaut.. Saat bulan purnama, pantulan sinar bulan menyilaukan pandangan di laut, sehingga sulit membedakan antara pantulan sinar bulan di ombak dengan pantulan sekumpulan ikan yang bergerak di laut. Saat saat musim ikan, ada waktu tertentu jenis ikan secara khusus yang lebih banyak. Keadaan ini disiasati oleh nelayan dengan menggunakan jenis alat tangkap yang berbeda sesuai jenis ikan yang sedang musim pada saat itu. Jenis dan ragam alat tangkap yang digunakan nelayan di pantai Utara Provinsi Jawa Barat terdiri dari gilnet, jaring badut, pukat harimau mini, pancing rawai, jaring payang (Luky Adrianto, 2007). Semakin banyak ragam alat tangkap yang dimiliki untuk menangkap ikan pada masa musim ikan tertentu, main besar upaya nelayan untuk mengurangi kerugiannya akibat tidak melaut yang berdampak kepada kelestarian lingkungan. Penggunaan alat tangkap seperti mini trawl atau sejenisnya (di pantai Utara Jawa terdapat variannya seperti garok, jaring apollo, dogol), dapat digunakan sepanjang musim angin kecuali bila 29 terdapat ombak tinggi sehingga nelayan tidak dapat melaut sama sekali. Selebihnya alat tangkap tersebut dapat digunakan namun dengan dampak buruk kepada lingkungan. n. Kemandirian Kemandirian dalam bahasa Inggris identik dengan self-reliance. Dalam Webster’s New Word College Dictionary (2000) arti self-reliance ialah reliance on one’s own judment or ability. Kemandirian mengandung makna percaya pada kemampuan dirinya. Dalam teori kemandirian istilah independence dan autonomy sering digunakan silih berganti (interchangeable), meski kedua istilah ini memiliki makna sama yaitu kemandirian. Sesungguhnya kedua istilah tersebut berbeda. Independence generaly refers to individual’s capacity to behave on their own. Istilah autonomy disamakan dengan kemandirian, sehingga didefinisikan bahwa individu yang otonom ialah individu yang mandiri, tidak mengandalkan bantuan atau dukungan orang lain yang kompeten dan bebas bertindak. Kemandirian dianggap sebagai self goverring person, yakni kemampuan mengatur diri sendiri. Mardin (2009) mencatat empat komponen kemandirian nelayan, yaitu kemandirian intelektual (intellectual self-reliance), kemandirian emosional (emotional self-reliance), kemandirian ekonomi (economic self-reliance) dan kemandirian sosial (social self-reliance). Kemandirian intelektual mengacu kepada kemampuan seorang individu untuk mengambil keputusan secara mandiri tanpa adanya intervensi dari orang lain. Seorang individu dengan tingkat kemandirian intelektual mampu mengidentifikasi, merancang dan dan bertindak berupa keputusan yang tidak tergantung pada orang lain. Kemandirian emosional merupakan kemandirian yang lebih awal dari kemandirian lain. Cirinya ialah dimensi kemandirian yang berhubungan dengan perubahan keterikatan hubungan emosional seorang dengan orang lain seperti orang yang dianggap dekat dalam hubungan kerabat. Karena itu kemandirian emosional ialah kemampuan individu untuk tidak bergantung dukungan emosional orang lain. Kemandirian ekonomi, berkait dengan kemandirian makro dan mikro dalam wacana negara. Kemandirian makro mengacu pada ketidaktergantungan negara secara ekonomi kepada institusi/kelembagaan ekonomi dari negara lain, sementara itu kemandirian miktro mengacu pada terbebasnya seorang 30 individu dari ketergantungan secara ekonomi kepada orang lain. Dalam hal ini individu bebas menentukan pilihan sendiri di bidang ekonomi. Kemandirian sosial mengacu pada intensitas kepedulian/kepesertaan dalam kegiatan sosial pada komunitasnya. Semakin mandiri seorang, tidak tergantung pada orang lain/pihak lain untuk mengambil keputusan dan bertindak pada kegiatan perikanan tangkap. Ringkasan Sikap pada dasarnya mengandung makna (1) mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda dan sebagainya), dan (2) mengandung penilaian (setujutidak setuju, suka-tidak suka). Perbedaan pengertian tentang konsep sikap terletak pada proses terjadinya dan penerapan dari konsep tentang sikap ini. Mengenai proses terjadinya, sebagian besar pakar berpendapat bahwa sikap adalah sesuatu yang dipelajari (bukan bawaan); oleh karena itu sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi dan diubah. Sikap berbeda dengan sifat (trait) yang lebih merupakan bawaan dan sulit diubah. Domain dari sikap terdiri dari aspek kognitif, afektif dan konatif. Secara sederhana norma diartikan sebagai common guidelines for social action. Dalam TPB dikenal subjective norm (tingkat kepatuhan pada patron) yang berfungsi menilai apa yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dipikirkan atau diharapkan oleh orang-orang dekatnya bahwa dia harus lakukan. Kepatuhan kepada patron juga merupakan persepsi seseorang terhadap orang-orang yang penting bagi dirinya bahwa dirinya harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kepatuhan kepada patron ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) pendapat tokoh atau orang lain yang penting yang berpengaruh atau tokoh panutan (significan other) tentang apakah subjek perlu, harus atau dilarang melakukan perilaku yang sedang diteliti, dan (2) seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat orang lain tersebut (motivation to comply). Kemampuan berperilaku (KB) merupakan persepsi tentang keyakinan seseorang akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya. KB ini ditentukan oleh keyakinan seseorang akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya. 31 Karakteristik individu nelayan adalah cirri atau sifat yang menandai keadaan nelayan seperti umur, jumlah anggota keluarga, pendidikan non formal, pengalaman sebagai nelayan, lama tinggal di desa, lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, harga perahu dan alat tangkapnya, jumlah anak buah kapal, ukuran mesin perahu, modal dalam setiap melaut, pendapatan bersih melaut, ragam alat tangkap dan kemandirian nelayan. Semua faktor tersebut seperti sikap, kepatuhan pada patron, kemampuan berperilaku, karakteristik individu merupakan faktor-faktor yang menentukan niat berperilaku untuk selanjutnya memengaruhi perilaku nelayan itu sendiri. Hubungan antara Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan Penjelasan mengenai hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi perilaku nelayan dalam penelitian ini mengacu kepada hubungan antar peubah yang dijabarkan dalam Theory Planned Behavior (TPB) yang telah dibahas pada bagian muka. Penjelasan hubungan antar peubah dalam TPB, bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh niat untuk berperilaku, selanjutnya niat seseorang untuk berperilaku ditentukan oleh (1) sikap sebagai keyakinan individu yang terdiri dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang ditunjukkan dalam bentuk adanya penilaian secara positif, netral atau negatif. (2) tingkat kepatuhan terhadap patron sebagai keyakinan bahwa orang-orang atau pihak tertentu yang penting dalam hidup mereka menghendaki agar yang bersangkutan berperilaku tertentu serta ketaatannya untuk mengikuti kehendak para pihak tersebut. Penelitian-penelitian selanjutnya membuktikan bahwa niat untuk berperilaku tidak dengan sendirinya menjadi perilaku, karena masih tergantung pada faktor lain, yaitu faktor ke-3 keyakinan kemampuan berperilaku atau kendala-kendala yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bersangkutan yang diperkirakan dapat menghambat perilakunya. Faktor latarbelakang (backgound factor) dalam penelitian ini menjelaskan bahwa tiap individu nelayan memiliki perbedaan karakteristik seperti umur, tanggunggan keluarga, pendidikan non formal, lama bekerja sebagai nelayan, lama tinggal di desa, 32 lama memiliki perahu sendiri, ukuran perahu, nilai jual perahu dan alat tangkapnya, ukuran mesin perahu, jumlah modal setiap melaut, pendapatan bersih melaut, jumlah jenis alat tangkap yang dimiliki dan kemandirian nelayan. Kesemua hal tersebut dapat memberikan beragam informasi berbeda tentang beragam isu, informasi yang menyediakan dasar dari kepercayaanya untuk memengaruhi sikap, kepatuhan pada patron dan kemampuan berperilaku. Hubungan Karakteristik Individu dengan Sikap Tiap-tiap nelayan memiliki ciri karakter pribadi yang unik sesuai dengan latarbalakang sosial demografi mereka. Ciri karakteristik individu sebagai background factor diduga memengaruhi sikap. Penelitian Martin et al (2010) Using the Theory of Planned Behavior to Predict Gambling Behavior menemukan adanya hubungan positif antara karakteristik individu seperti jenis kelamin, golongan etnik, status sosial keterlibatan dalam Greek (Greek affiliation) terhadap sikap responden terhadap kegiatan berjudi, Monica et al (2010) What Role Do Social Norms Play in the Context of Men’s Cancer Screening Intention and Behavior? Application of an Extended Theory of Planned Behavior menemukan hubungan positif antara karakteristik individu seperti usia terhadap sikap responden terhadap pemeriksaan penyakit kanker, Smith et al (2008) Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications meneliti tentang adanya hubungan positif antara karakteristik individu berupa usia, golongan etnik, ras, status perkawinan terhadap sikap responden tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki, Collin dan Carey (2007) The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students menemukan adanya hubungan positif karakteristik individu berupa usia, jenis kelamin, tahun keberadaan di sekolah, golongan etnik, tempat tinggal terhadap sikap responden tentang kegiatan heavy episodic drinking (HED) dan Baughan (2003) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior menemukan adanya hubungan positif antara karakteristik individu berupa usia, jenis kelamin terhadap sikap responden tentang kepatuhan terhadap aturan batas kecepatan mengendarai kendaraan. Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat 33 hubungan positif antara karakteristik individu dengan sikap (attitude). Hubungan Karakteristik Individu dengan Kepatuhan kepada Patron Karakteristik individu diduga memiliki hubungan positif dengan kepatuhan nelayan kepada patronnya. Kepatuhan kepada patron merupakan perpaduan antara perilaku yang dilakukan oleh individu (m), siapa tokoh (significant others) yang paling berperan untuk memengaruhi perilaku tersebut dan seberapa kuat individu tersebut akan mengikuti pendapat orang tokoh (significnt others) tersebut (n) (Ajzen, 2004). Dalam lingkungan sosial nelayan di pantai Utara Jawa Barat, para significant other ini ialah mereka yang memiliki peran secara sosial kepada para nelayan dalam hubungan patron klien. Nelayan berada pada posisi klien yang tergantung kepada patron. Bila ditilik pada significant other tersebut, keadaan ini tidak berbeda dengan significant other ada pada komunitas nelayan umummnya di Indonesia seperti pemodal, ketua kelompok nelayan, aparat pemerintah desa atau perikanan dan kerabat dalam anggota rumah tangga nelayan. Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm). Aldrich dan Cerel (2009) The Development of Effective Message Content for Suicide Intervention Theory of Planned Behavior menunjukkan adanya hubungan antara karakteristik dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm) pada responden yang beresiko melakukan tindakan bunuh diri. Oleh sebab itu peneliti mengusulkan program penyuluhan dalam bentuk intervensi untuk mencegah bunuh diri seseorang melalui significant other dari pelaku bersangkutan. Collins dan Carey (2007) The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students menegaskan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm) pada responden pelajar pecandu alkohol. Karena itu terapi yang diusulkannya adalah penyuluhan melalui significant other dari pelajar yang bersangkutan. Baughan (2003) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior menemukan adanya hubungan positif antara karakteristik individu dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm) terhadap aturan batas kecepatan mengendarai kendaraan. Saran dari penelitian ini adalah penekanan pentingnya sigificant other dalam memberi 34 nasehat kepada pelaku berkendara. Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara karakteristik individu dengan kepatuhan kepada patron (subjective norm). Hubungan Karakteristik Individu dengan Kemampuan Berperilaku Karakteristik diduga memiliki hubungan erat dengan kemampuan berperilaku. Kemampuan berperilaku adalah persepsi tentang keyakinan nelayan akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya. Beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kemampuan berperilaku seperti Eng dan Ginis (2007) Using the Theory of Planned Behavior to Predict Leisure Time Physical Activity Among People With Chronic Kidney Disease yang menegaskan adanya hubungan positif antara karakteristik dengan kemampuan berperilaku responden penderita kidney disease kronik. Karena itu peneliti menyarankan penanganan terhadap kendala-kendala yang mungkin dihadapi oleh penderita dalam perilaku fisik memanfaatkan waktu luang (Leisure Time Physical Activity). Galea dan Bray (2006) Predicting Walking Intentions and Exercise in Individuals With Intermittent Claudication: An Application of the Theory of Planned Behavior melihat adanya hubungan positif antara antara karakteristik dengan kemampuan Berperilaku. Monica (2010) What Role Do Social Norms Play in the Context of Men’s Cancer Screening Intention and Behavior? Application of an Extended Theory of Planned Behavior melihat hubungan positif antara karakteristik seperti usia terhadap kemampuan berperilaku (perceived behavior control) responden terhadap pemeriksaan penyakit kanker. Smith (2008) berjudul Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications menemukan hubungan positif antara karakteristik berupa usia, golongan etnik, ras, status perkawinan terhadap kemampuan berperilaku (perceived behavior control) responden tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki. 35 Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara karakteristik individu dengan kemampuan berperilaku (perveived behavior control). Hubungan Sikap dengan Niat untuk Berperilaku Sikap mengandung makna: (1) mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi, benda dan sebagainya), dan (2) mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-tidak suka). Sikap diduga memiliki hubungan positif dengan niat untuk berperilaku. Beberapa penelitian yang menjelaskan adanya hubungan positif antara sikap dengan niat untuk berperilaku seperti penelitian Orbell and Hagger (2006) “When No Means No”: Can Reactance Augment the Theory of Planned Behavior? Merupakan studi longitudinal yang temuannya menegaskan adanya hubungan antara sikap dengan niat untuk berperilaku responden wanita dalam melakukan kunjungan menjalani pengobatan penyakit kanker rahim. Eng dan Ginis (2007) The Theory of Planned Behavior in Prediction of Leisure Time Physical Activity Among Individuals With Spinal Cord Injury. Latimer dan. Ginis (2005) juga menegaskan adanya hubungan antara sikap dengan niat untuk berperilaku responden dalam memanfaatan waktu luang guna pengobatan penyakit spinal cord injury, Martin et al (2010) Using the Theory of Planned Behavior to Predict Gambling Behavior yang menggambarkan perilaku berjudi sebagai persoalan publik, Martin dan kawan-kawan menemukan bahwa norma dalam lingkungan kehidupan pertetanggaan, sikap dan kemampuan berperilaku (perceived behavior control) berhubungan positif dengan niat pada responden untuk berperilaku berjudi. Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara sikap dengan niat untuk berperilaku. Hubungan Kepatuhan kepada Patron dengan Niat untuk Berperilaku Secara sederhana norma diartikan sebagai as common guidelines for social action (Abrecombie et al, 1984). Dalam ilmu perilaku dikenal tingkat kepatuhan (subjective norm). Norma menilai apa yang diyakini oleh seseorang tentang apa yang dipikirkan atau diharapkan oleh orang-orang dekatnya bahwa dia harus lakukan. Norma subjektif 36 ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) pendapat tokoh atau orang lain yang penting yang berpengaruh atau tokoh panutan (significan other) tentang apakah subjek perlu, harus atau dilarang melakukan perilaku yang sedang diteliti, dan (2) seberapa jauh subjek akan mengikuti pendapat orang lain tersebut (motivation to comply). Kepatuhan terhadap patron diduga memiliki hubungan positif dengan niat untuk berperilaku. Beberapa hasil penelitian menguatkan argumen tersebut, Martin et al (2010) tentang Using the Theory of Planned Behavior to Predict Gambling Behavior yang menggambarkan perilaku berjudi sebagai persoalan public, Martin dan kawan-kawan menemukan bahwa norma dalam lingkungan kehidupan pertetanggaan, sikap dan kepatuhan terhadap patron berhubungan secara langsung dengan niat pada responden untuk berperilaku berjudi. Temuan penelitian ini juga sejalan dengan Susan et al (2007) berjudul The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students dan penelitian Mark et al (2008) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior dan Corner et al (2002) berjudul The Theory of Planned Behavior and Healthy Eating. Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara kepatuhan kepada patron dengan niat untuk berperilaku. Hubungan Kemampuan Berperilaku dengan Niat untuk Berperilaku Tingkat kemampuan berperilaku nelayan dalam proses kegiatan perikanan tangkap ialah persepsi tentang keyakinan nelayan akan kemampuannya melakukan perilaku tertentu, apakah merupakan sesuatu yang mudah dilakukan atau sebaliknya. kemampuan berperilaku diduga memiliki hubungan positif dengan niat untuk berperilaku. Beberapa hasil penelitian menguatkan argumen tersebut seperti Jones, Courneya, Fairey, dan Mackey (2005) Does the Theory of Planned Behavior Mediate the Effects of an Oncologist’s Recommendation to Exercise in Newly Diagnosed Breast Cancer Survivors? Results From a Randomized Controlled Trial yang menegaskan adanya hubungan positif antara kemampuan berperilaku dengan niat untuk berperilaku. Susan et al (2007) berjudul The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students dan penelitian Mark et al (2008) berjudul Drivers’ 37 Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior dan penelitian Corner et al (2002) berjudul The Theory of Planned Behavior and Healthy Eating. Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif kemampuan berperilaku dengan niat untuk berperilaku. Hubungan Niat untuk Berperilaku dengan Perilaku Berangkat dari kritik terhadap teori dan pengukuran sikap yang seringkali tidak tepat, yakni tidak dapat memperkirakan perilaku yang timbul, maka ditentukanlah attitude, subjective norm dan perceived behavior control yang selanjutnya akan menentukan perilaku. Sebelum sampai pada perilaku, Fisbein dan Ajzen (1975) menetapkan adanya niat untuk berperilaku. Mengukur sikap, sama dengan mengukur niat itu sendiri, karena setiap perilaku yang bebas, yang ditentukan oleh kemauan sendiri selalu didahului oleh niat untuk berperilaku. Dengan demikian semakin kuat niat seseorang akan mencerminkan hubungan yang kuat pula dengan perilakunya. Penelitian berikut menegaskan hubungan positif anatara niat untuk berperilaku dengan perilaku individu. Lowe, Bennett, Walker dan Milne (2003) A Connectionist Implementation of the Theory of Planned Behavior: Association of Beliefs With Exercise Intention. Senn dan Ledgerwood (2001) Predictors of Intention to Use Condoms Among University Women: An Application and Extension of the Theory of Planned Behaviour, menegaskan adanya hubungan positif anatara niat responden pelajar wanita untuk menggunakan kondom dengan perilaku seksualnya. Courneya (1995) Understanding Readiness for Regular Physical Activity in Older Individuals: An Application of the Theory of Planned Behavior. Al-Majali dan Nik Mat (2010) Application of Decomposed Theory of Planned Behavior on Internet Banking Adoption in Jordan. Monica et al (2010) What Role Do Social Norms Play in the Context of Men’s Cancer Screening Intention and Behavior? Application of an Extended Theory of Planned Behavior temuannya bahwa ada hubungan positif antara behavior intention terhadap behavior responden terhadap pemeriksaan penyakit kanker, Smith et al (2008) berjudul Can the Theory of Planned Behavior Help Explain Men’s Psychological Help-Seeking? Evidence for a Mediation Effect and Clinical Implications tentang adanya hubungan positif antara 38 behavior intention terhadap behavior tentang pencaharian bantu psikologi bagi laki-laki, Collin et al (2007) berjudul The Theory of Planned Behavior as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Students menemukan adanya hubungan positif antara behavior intention terhadap behavior responden tentang kegiatan heavy episodic drinking (HED) dan Baughan (2003) berjudul Drivers’ Compliance With Speed Limits: An Application of the Theory of Planned Behavior menemukan adanya hubungan positif antara behavior intention dengan behavior tentang aturan batas kecepatan mengendarai kendaraan. Merujuk pada hasil studi tersebut, maka dalam penelitian ini diduga terdapat hubungan positif antara niat untuk berperilaku dengan perilaku individu yang bersangkutan. Nelayan Artisanal Untuk memahami perilaku nelayan artisanal hal penting yang harus dipahami adalah keragaman dan jenis skala usaha nelayan. Apakah nelayan itu? Beragam kategori dan deskripsi yang dibuat untuk beragam tujuan. Berkes et al (2001) mencatat pada awalnya pengertian nelayan hanya berkaitan dengan sumberdaya perikanan dan tipe-tipe alat tangkapnya. Suatu gambaran yang sangat sederhana. Deskripsi yang lebih mendalam mencakup beberapa kategori dari kegiatan perikanan tangkap, seperti jenis alat tangkap yang digunakan, eksploitasi jenis-jenis tangkapan tertentu yang selanjutnya berkait dengan keberadaan kegiatan penangkapan yang membutuhkan penilaian dan pengelolaan sebagai proses, jaringan pasar dan sistem pemerintahan. Hal ini berarti kegiatan nelayan memiliki cakupan bidang biologi, teknologi, ekonomi, sosial, budaya dan dimensi politik. Sejalan dengan Berkes, Johnson (2005) menyatakan bahwa pengertian small scale dan artisanal fisheries dalam beberapa dekade ini telah digunakan oleh para ahli politik perikanan, administrator, ahli hukum, ahli biologi, ahli ekonomi, ahli sosiologi, insinyur, nelayan, NGO, media massa dengan berbagai sudut pandang dalam ruang lingkup konteks nasional yang berbeda. Merujuk pada hal tersebut, maka FAO berupaya mengkombinasikan perbedaan karakteristik pengertian tersebut dengan menyatakan bahwa ”traditional fisheries involving fishing houdehold (as opposed to commercial 39 companies), using relatively small amount of capital and energy, relatively vessels (if any), making short fishing trips close to shore, mainly for local consumption. In practice, definition varies between contries, e.g. from gleaning or a one-man canoe in poor developing countries to more than 20-m, trawlers, seiners, or long-liners in developed ones. Artisanal fisheries can be subsistence or commercial fisheries, providing for local consumption or export. They are sometimes refered to as smal-scale fisheries”. Dalam pengertian tersebut berarti perikanan tradisional termasuk yang dilaksanakan oleh rumah tangga yang berbeda dengan perikanan yang dilaksanakan dalam skala komersial; menggunakan modal, energi mesin yang relatif kecil (jika ada), lama melaut yang singkat, tidak jauh dari pantai, untuk tujuan konsumsi lokal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencaharian utamanya adalah menangkap ikan di laut. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, nelayan dimaknai sebagai perorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang mata pencahariannya atau kegiatan usahanya melakukan kegiatan penangkapan ikan. Ditjen Perikanan Tangkap (2000) mendifinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Adapun orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring atau mengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam perahu tidak dikategorikan sebagai nelayan. Sementara itu ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap disebut sebagai nelayan meskipun mereka tidak secara langsung melakukan penangkapan ikan. Dari kapasitas teknologi (alat tangkap, armada), orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi, Arif Satria (2002) menggolongkan nelayan terdiri dari (1) peasant fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten), (2) post peasant fisher, (3) commercial fisher yaitu nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan, dan (4) industrial fisher.Peasant fisher atau nelayan tradisional yang biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsisten). Sebutan ini muncul karena alokasi hasil tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Umumnya mereka masih menggunakan alat tangkap tradisional dayung atau sampan tidak bermotor dan 40 masih melibatkan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama. Post peasant fisher, dicirikan dengan berkembangnya motorisasi perikanan dibidang teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor. Penguasaan perahu motor itu semakin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan di wilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan karena mempunyai daya tangkap lebih besar. Pada jenis ini nelayan sudah mulai berorientasi pasar. Sementara itu tenaga kerja atau ABK-nya sudah mulai meluas dan tidak bergantung pada anggota keluarga saja. Commercial fisher, dicirikan dengan skala usaha yang sudah lebih besar yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang digunakan pun lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya, contohnya nelayan purse seine di Pekalongan Jawa Tengah. Industrial fisher dicirikan dengan a) diorganisasi dengan cara mirip dengan perusahaan-perusahaan agroindustri di negara maju, (b) secara detail lebih padat modal. (c) memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan sederhana, baik untuk pemilik maupun awak perahu, dan (d) menghasilkan untuk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan skala besar ini dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi ada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang kompleks. Charles (2001) membagi kegiatan perikanan tangkap (harvest fisheries) ke dalam 4 bagian, yaitu (a) subsistence fisheries, sebagai kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri, (b) native/indigenous/aboriginal fishers, sebagai kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil manusia secara tradisional. Terkadang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, (c) recreational fishers, sebagai kegiatan penangkapan ikan yang bertujuan sebagai kegiatan rekreasi (hiburan), (d) commercial fishers, sebagai kegiatan penangkapan ikan yang bertujuan untuk dijual guna memenuhi kebutuhan domestik maupun industri. Secara lebih rinci, Charles (2001) membagi commercial fisheries dalam dua kelompok yakni small scale fisheries (artisanal) dan large-scale fisheries (industrial) seperti dapat dilihat pada Tabel 1 berikut: 41 Tabel 1 Dikotomi antara Artisanal Fisheries dan Industrial Fisheries Domain Terminologi Lokasi penangkapan Tujuan Tujuan khusus bagi pengembangan wilayah Tujuan yang berkait dengan pemanfaatan tenaga kerja Jenis produksi Kepemilikan Perubahan input Hubungan desa - kota Hubungan komunitas Persepsi yang dimiliki bersama Small scale fisheries (artisanal) Artisanal (developing areas; inshore/small - boat develop areas); Coastal, termasuk wilayah pasang surut, dan tidak jauh dari pantai; Tujuan bersifat multiple (seperti untuk tujuan sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain); Keamanan produksi pangan dan kehidupan di tingkat lokal; Fokus pada memaksimalkan kesempatan kerja; Perikanan subsisten, sebagaimana pula perikanan komersial namun untuk pasar domestik yang terbatas; Secara khusus individual/keluarga; terkadang kelompok usaha kecil Berbasis pada jumlah tenaga kerja, dengan tingkat teknologi yang sederhana Umum pada masyarakat pedesaan; berlokasi di luar pusat kegiatan sosial dan ekonomi Merupakan komunitas tertutup pada tempat para nelayan tersebut tinggal, sebagai bagian dari komunitas yang lebih luas dalam wilayah pesisir “tradisional”, “romantis”. teknologi sederhana Large scale fisheries (industrial). Industrial (developing areas; corporate ; developed areas); Offshore, beroperasi relatif jauh dari pantai; Fokus ke arah satu tujuan yaitu keuntungan ekonomi; Produksi untuk ekspor dan pertukaran luar negeri; Fokus pada minimasi biaya tenaga kerja; Perikanan yang mengarah kepada pasar komersial, terkadang fokus pada pemenuhan kebutuhan; ekspor Secara khsusus dalam bentuk perusahaan terkadang berdasarkan peralatan yang berasal dari luar negeri Berbasis pada modal yang menerapkan teknologi baru Umumnya pada masyarakat perkotaan; berlokasi pada pusat kegiatan sosial dan ekonomi Relatif terpisah dan merupakan komunitas yang bebas sebagai komunitas pesisir Moderen, multinasional, Sumber: Charles (2001) dalam Sustainable Fishery System. London: Blackwell Science. Sejalan dengan Charles, Berkes (2001) juga membedakan kriteria nelayan dalam tiga golongan yaitu large scale fisheries, small scale fisheries dan subsistence scale fisheries. Secara lebih rinci perbedaan dari kategori tersebut dijabarkan pada Tabel 2 sebagai berikut: 42 Tabel 2 Kategori Nelayan Large-Scale, Small Scale dan Subsisten Karakteristik Unit penangkapan Kepemilikan Komitmen waktu Kapal/perahu Tipe peralatan Kecanggihan alat tangkap Permodalan Perlengkapan (per unit penangkapan) Kelebihan hasil tangkapan Proses hasil penangkapan Tingkat penghasilan operator Integrasi pada ekonomi Ketenagakerjaan Perluasan pasar Kapasitas manajemen dari otoritas nelayan Kategori Large-Scale (Industrial) Tetap, dgn pembagian kerja dan prospek karir Small Scale (Artisanal) Tetap, skala kecil, spesialisasi dalam pembagian kerja Konsentrasi pada beberapa pemilik kadangkala pemilik tidak ikut mengoperasikan Kadangkala dioperasikan oleh pemilik atau operator senior atau bersamasama, atau sesama pemilik Kadangkala penuh waktu atau paruh waktu Kecil. Motor di perahu atau diluar perahu (kecil) Sebagian atau seluruhnya dirakit sendiri Digerakan mesin dan manual Medium ke kecil; dimodali oleh operator Kadangkala waktu penuh Digerakan oleh peralatan yang kompleks Mesin dibuat dan dirakit oleh pihak lain Elektronik, otomatis Besar, proporsi yang lebih besar bukan berasal dari operator Besar Dijual ke pasar yang terorganisir Umumnya untuk makanan ikan dan konsumsi bukan langsung untuk manusia Terkadang tinggi Formal; sangat terintegrasi Full time atau tergantung musim Produksi ditemukan di pasar dunia Beragam ilmu pengetahuan dan pengelola Subsisten (Artisanal) Dioperasikan sendiri, atau kerabat atau kelompok dalam komuniti Dioperasikan oleh pemilik Pada umumnya paruh waktu; Tidak ada mesin atau ada tapi kecil; Buatan tangan sendiri, dirakit oleh penggunanya Utamanya tanpa mesin Kecil; oleh operator Medium ke kecil; Medium ke kecil; Dijual ke pemasaran lokal yang terorganisir; konsumsi oleh operator Secara primer dikonsumsi oleh operator, kerabatnya; pertukaran secara barter Sebagian dikeringkan, diasap, diasinkan; umumnya untuk konsumsi manusia Medium ke rendah sekali Terintegrasi sebagian Kadangkala beragam pekerjaan Nasional dan lokal Minimal dengan sedikit ilmuwan dan pengelola Keseluruhan dikonsumsi untuk manusia Minimal Informal dan tidak terintegrasi Beragam pekerjaan Lokal dan tingkat distrik Tidak dikelola secara ilmu pengetahuan kecuali oleh sumberdaya si pengguna 43 Tabel 2 (lanjutan) Unit manajemen Pengumpulan data perikanan Memiliki satu atau banyak unit Tidak sulit Kadangkala banyak dengan unit-unit yang kecil Sulit tergantung pada nelayan Unit-unit yang sangat kecil Kadangkala tidak ada data; Sumber: Berkes et al (2001) Managing Small-scale Fisheries: Alternative Directions and Methods. Otawa: International Development Research Center Dilihat dari wilayah tangkapnya (fishing ground), terdapat perbedaan antara larga scale fisheries dan small scale fisheris. Berkes (2001) menjabarkan larga scale fisheries dicirikan dengan (a) umumnya terdapat di wilayah perkotaan yang berkembang, (b) terdiri dari 1 atau 10 kapal besar, (c) 1000 metrik ton kemampuan menangkap ikan, (d) stok ikan yang besar, (e) manajemen unit dan (f) memiliki manajemen perencanaan perikanan. Sementara itu small scale fisheries dicirikan dengan (a) berasal dari banyak desa-desa komunitas nelayan, (b) 7 hingga 100 perahu berukuran kecil, (c) 1000 metrik ton kemampuan menangkap ikan, (d) stok ikan yang kecil, banyak unit manajemen dengan (e) banyak manajemen perencanaan perikanan. Sistem Kegiatan Perikanan Tangkap Nelayan Artisanal Sistem perikanan tangkap (fishery system) merupakan sistem yang amat kompleks yang tidak hanya melibatkan aspek sosial ekonomi manusia, namun juga melibatkan aspek kompleks dari biologi dan masing-masing komponen tersebut saling berkaitan (Walters, 1980 dalam Charles, 2001). Sependapat dengan Walters (1980), Charles menyampaikan tesis tentang sistem perikanan tangkap (fisheries system) yang mengaitkan lingkungan bio-fisik dan lingkungan sosio-ekonomik dalam penjelasan dinamika sistem tersebut. Menurut Charles, fisheries system terdiri dari serangkaian komponen lingkungan bio-fisik, lingkungan sosio-ekonomik yang saling berkait dalam kegiatan perikanan tangkap seperti digambarkan dalam Gambar 3 fishery system berikut: 44 Biophysical Environment Sosio-econ Environment Household and Community Ecosystem Fish Fleet Population Dynamics Fisher Capital Dynamics Labour Dynamics Harvest Post Harvest Market Market Conditions Benefits - Social - Cultural - Economic - Biodiversity Gambar 3 Kaitan Aspek Bio-fisik dan Sosio ekonomi dalam Sistem Perikanan Tangkap Sumber: Charles (2001). Sustainable Fishery System. London: Blackwell Science Gambar 3 di atas menjelaskan terdapat tiga aspek yang saling berkait dalam penangkapan ikan, yaitu dinamika populasi ikan, dinamika modal berupa perangkat alat tangkap ikan dan dinamika tenaga kerja yaitu nelayan. Proses yang harus dilalui setelah kegiatan penangkapan ikan adalah pasca penangkapan, sebelum masuk pada tahap pemasaran yang dipangaruhi oleh kondisi pasar (market conditions). Pada bagian akhir dari sistem perikanan secara ideal adalah keuntungan yang diharapkan dapat diperoleh oleh berbagai pihak dalam bentuk keuntungan sosial, kultural, ekonomi dan keragaman hayati (biodiversity). 45 Perikanan Tangkap Nelayan Artisanal di Indonesia Mengacu pada Gambar 3 di atas, penelitian ini membatas ruang lingkup studi pada Sosio-Economic Environment yaitu aspek perilaku nelayan artisanal dalam sistem kegiatan perikanan tangkap. Dilihat dari ruang lingkup proses kegiatan perikanan tangkap di pantai Utara Jawa Timur, Kusnadi (2001) mengidentifikasi ada 5 (lima) aspek kegiatan ketika menelaah tahapan dalam produksi penangkapan hingga distribusi pendapatan nelayan perikanan tangkap. Kelima aspek tersebut yaitu: (a) teknologi penangkapan, (b) operasi penangkapan, (c) modal dan tenaga kerja, (d) pemasaran dan (e) bagi hasil. Bila aspek yang dikemukakan oleh Kusnadi ini dipadukan dengan sistem perikanan yang dikemukakan oleh Charles (2001) dan perilaku nelayan dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan, maka ruang lingkup kegiatan perikanan tangkap nelayan artisanal yang dibahas dalam studi ini tidak terlepas dari 4 (empat) bidang kegiatan, yaitu: a. kegiatan dalan bidang penggunaan teknologi alat tangkap dan alat bantu tangkap berkait dengan capital dynamics yaitu armada, alat tangkap (fleet) dan alat bantu tangkap yang mendorong hasil tangkapan maksimal dengan dampak se-minimal mungkin terhadap lingkungan fisik. b. kegiatan dalam bidang kegiatan persiapan dan operasi penangkapan yang berisi tentang kemampuan nelayan menentukan waktu musim ikan, lokasi penangkapan ikan, ukuran dan jenis ikan yang boleh ditangkap serta kondisi cuaca yang memungkinkan untuk melaut. c. kegiatan dalam bidang pengerahan tenaga kerja dan modal yang berisi tentang kemampuan nelayan untuk mengoptimalkan tenaga kerja dan modal yang ada dalam mengoperasikan perahu beserta alat tangkap. d. kegiatan dalam bidang menjaga mutu hasil tangkapan dan pemasaran ikan berkait dengan kemampuan nelayan mengupayakan mutu ikan yang baik tetap terjaga untuk mencapai harga jual ikan yang setinggi-tingginya. 46 Teknologi Perikanan Tangkap Teknologi perikanan tangkap tidak terlepas dari keberadaan armada penangkapan. Armada penangkapan terdiri dari beberapa unit penangkapan ikan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Kapal adalah suatu bentuk konstruksi yang dapat terapung (floating) di air dan mempunyai sifat muat berupa penumpang atau barang yang sifat geraknya dapat menggunakan dayung, angin dan mesin, seperti: (1) Penggerak dayung Kapal yang digerakkan oleh tenaga manusia dengan dayung (oar) di samping kiri/kanan lambung (hull) kapal. (2) Penggerak angin Kapal yang konstruksinya menggunakan tiang-tiang layar dan beberapa macam layar (sail) untuk memanfaatkan tenaga hembusan angin pada layar kapal tersebut. (3) Tenaga mesin Kapal yang mempunyai ruang mesin di dalam lambung kapal dimana mesin tersebut mampu menggerakan baling-baling (propeler) kapal sebagai sarana dorong/gerak kapal. Perahu atau kapal yang digunakan untuk mengangkut nelayan, alat penangkap ikan dan hasil penangkapan dalam rangka penangkapan dengan bagan, sero, kelong dan lain-lain termasuk perahu atau kapal perangkap (Ditjen Perikanan Tangkap, 2002). Kapal-kapal yang dipakai dalam kegiatan sumberdaya hayati perikanan, dikenal dengan nama kapal ikan, mempunyai peranan yang sangat penting dalam tujuan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan tersebut serta jenis dan bentuk yang berbeda sesuai dengan tujuan usaha, keadaan perairan, fishing ground dan lain-lain sebagainya. Di Indonesia perahu atau kapal penangkap menurut Direktorat Perikanan Tangkap (2002) secara umum diklasifikasikan sebagai berikut: (1) perahu tidak bermotor a. jukung b. perahu papan i. kecil (perahu yang terbesar panjangnya kurang dari 7 Meter) 47 ii. sedang (perahu yang terbesar panjangnya 7 sampai 10 Meter) iii. besar (perahu yang terbesar panjangnya 10 Meter atau lebih) (2) perahu motor tempel (3) kapal motor c. kurang dari 5 GT d. 5 – 10 GT e. 20 – 30 GT f. 30 – 50 GT g. 50 – 100 GT h. 100 – 200 GT i. 200 GT ke atas Menurut Direktorat Perikanan Tangkap (2002), secara umum di Indonesia standar alat penangkap perikanan laut diklasifikasikan sebagai berikut: (1) pukat udang (shrim net) (2) pukat kantong (seine net) a. payang (termasuk lempara) b. dogol c. pukat pantai (3) pukat cincin (purse seine) (4) jaring insang (gilnet) (5) jaring angkat (lift net) (6) pancing (hook and lines) (7) perangkap (traps) (8) alat pengumpul kerang dan rumput (shell fish and seawees colection) (9) moro ami (10) alat tangkap lainnya Penelitian Kusnadi (2000) membahas tentang teknologi penangkapan ikan yang dilakukan nelayan khususnya di wilayah Jawa Timur, mengenai konstruksi badan perahu dan bentuk lunasnya yang sebagian besar menggunakan model pakisan. Model perahu 48 lainnya seperti jo-ijo, jokis (campuran model jo-ijo dan pakisan) dan pancingan. Diantara jenis-jenis perahu yang ada, sampan pancingan merupakan perahu model khusus yang badannya harus dibentuk utuh (kayu tidak bersambungan), tanpa lunas dan lengghi (rusuk perahu yang terletak di bagian bawah badan perahu). Karena itu sampan pancingan dibuat dari kayu bulat yang berdiameter sekitar 1 Meter. Pada umumnya sampan pancingan dibuat dari kayu sengon, sukun atau jumalem. Selain sampan pancingan, bahan baku pembuatan jenis-jenis perahu lainnya adalah kayu jati, nyamplong, kesambi dan mangir yang berbentuk sirap. Sirap kayu jati dimanfaatkan untuk badan kayu bagian atas. Rusuk kayu terbuat dari kayu nyamplong karena kualitas kayunya sangat baik. Badan kayu bagian bawah dibuat dari sirap kayu kesambi atau kayu mengir. Kedua jenis perahu ini diletakkan di bagian tengah hingga bawah badan perahu karena kayunya sangat keras dan tidak mudah rusak atau pecah jika terkena batu karang atau benda-benda keras lainnya di bawah laut. Kekuatan kayu akan terus terjamin karena terus menerus terkena air. Jika kayu-kayu tersebut diletakkan pada bagian tengah hingga atas badan kayu, yang silih berganti terkena air laut dan panas matahari, justru akan mudah lapuk. Kayu jati merupakan satu-satunya jenis kayu yang tanah air dan panas matahari sehingga diletakkan pada bagian tengah hingga atas badan perahu. Proses pembuatan perahu secara umum juga disertai dengan upacara ritual. Menurut Kusnadi (2000) rangkaian upacara pembuatan perahu tradisional di Sulawesi, Madura dan Bali dimaksudkan agar perahu memiliki “spirit hidup” dan kekuatan magis sehingga terhindar dari segala bahaya ketika sedang melaut. Operasi Penangkapan Ikan Dalam melakukan operasi penangkapan ikan, nelayan mengidentifikasi daerahdaerah penangkapan ikan (fishing ground) dengan nama-nama tertentu. Daerah-daerah penangkapan ikan itu dianalogikan oleh nelayan dengan nama-nama semacam “desa-desa ikan” (Kusnadi, 2000) Penentu batas-batas antar desa-desa ikan yang satu dengan yang lainnya berdasarkan tanda-tanda bintang di langit (ketika malam hari) dan posisi gununggunung yang ada di daratan (ketika siang hari). Dengan nama-nama “desa ikan” tersebut lebih mudah bagi nelayan dalam menemukan wilayah penangkapan (fishing ground). Informasi tentang lokasi “desa-desa ikan” (fishing ground) oleh nelayan belum 49 menjamin keberadaan ikan di daerah tersebut karena masih dibutuhkan pengetahuan tentang musim ikan dan mobilitas ikan yang cukup tinggi bergerak ke berbagai tempat. Kusnadi (2000) mengidentifikasi keberadaan ikan di perairan pantai Utara Jawa Timur. Musim kemarau, berlangsung pada bulan Mei – Oktober, sedangkan musim hujan berlangsung pada November – April. Musim ikan berlangsung pada musim hujan yang secara efektif hanya selama tiga bulan, yakni Januari, Februari dan Maret. Pada bulanbulan tersebut, temperatur panas air laut rendah dan nelayan melaksanakan operasi penangkapan secara efektif. Tanda-tanda akan datangnya musim ikan adalah jika sudah mulai turun hujan sekitar satu minggu berturut-turut. Pada saat musim kemarau ketika temperatur panas air laut cukup tinggi, ikan sulit diperoleh. Apabila perairan wilayah tangkap nelayan sedang tidak musim ikan, nelayan akan melakukan andun (migrasi musiman) ke berbagai daerah yang sekiranya dapat memberikan penghasilan mereka. Setiap jenis perahu memiliki jadwal operasi dan cara penangkapan yang berbedabeda. Di wilayah pantai Utara Jawa Timur, jadwal keberangkatan kerja perahu jenis sleret ditentukan oleh rotasi bulan. Setiap satu bulan kerja terbagi dalam masa tera’an dan petengan. Masa teraa’an adalah masa terang bulan, sedangkan masa petengan adalah masa gelap bulan. Pada masa tera’an nelayan libur bekerja karena ikan sangat sulit dicari. Ikan-ikan turun ke dasar laut untuk menghindari sinar terang bulan. Masa ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk memperbaiki atau menambal bagian-bagian perahu yanhg rusak dan berlubang. Setelah libur tera’an nelayan mulai melaut lagi yang merupakan awal masa petengan. Masa melaut petengan dibagi lagi menjadi masa sorean, maleman dan semaleman yang ditetapkan berdasarkan saat terbitnya bulan. Pelepasan jaring payang dilakukan setelah sampai pada suatu lokasi penangkapan yang diperkirakan menyimpan potensi ikan. Tanda-tanda di suatu tempat memiliki potensi ikan diketahui berdasarkan pengalaman melaut pada malam sebelumnya, informasi dari nelayan-nelayan lainnya, adanya onjhem (rumpon ikan) atau jika saat melaut dari kejauhan melihat timbulnya cahaya terang berwarna kebiru-biruan di permukaan air laut. 50 Pengerahan Modal dan Tenaga Kerja Menurut Kusnadi (2000) kegiatan perikanan sangat padat modal. Modal yang besar itu diutamakan untuk membeli sarana produksi seperti perahu, jaring dan mesin. Sumber-sumber permodalan bagi nelayan adalah tabungan dan harta benda pribadi, pinjaman dari kerabat atau tetangga dan pengamba. Masalah penyediaan fasilitas modal sering menjadi kendala bagi para nelayan untuk menjaga konsistensi atau kelangsungan usaha pekerjaan yang dilakukannya. Kesulitan untuk memenuhi kebutuhan modal lebih dirasakan oleh nelayan-nelayan kecil yang karena berbagai keterbatasannya tidak memiliki akses kepada sumber-sumber modal yang tersedia. Kebutuhan biaya dapat kelompokkan menjadi tiga, yaitu kebutuhan harian, bulanan dan tahunan. Besar kecilnya biaya tergantung pada jenis perahu dan tingkat kerusakan peralatan tangkap. Termasuk kebutuhan harian antara lain pembelian minyak solar untuk bahan bakar mesin atau minyak tanah untuk bahan bakar lampu, suku cadang lampu strongking (kaca lampu, kaca, spuyer), serta senar dan mata pancing. Adapun yang termasuk kebutuhan bulanan antara lain penyediaan biaya untuk mengatasi kerusakan mesin perahu dan biaya pembelian nilon untuk menambal perahu yang rusak. Kerusakan mesin tidak mesti terjadi satu bulan sekali, kadang-kadang tiga atau enam bulan sekali. Apabila ada kerusakan mesin yang memperbaiki adalah montir setempat. Montir tersebut diberi upah dengan uang yang berasal dari imbalan dari setiap perahu. Kebutuhan tahunan adalah penyediaan biaya yang diperlukan untuk memperbaiki kerusakan perahu dan jaring secara total. Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan Cara manusia mendapatkan produk yang diinginkan melalu;: membuat sendiri, pemaksaan, mengemis, dan pertukaran. Pertukaran adalah tindakan untuk memperolah produk yang dikehendaki dari seseorang dengan menawarkan sesuatu yang lain sebagai balasannya. Pertukaran adalah konsep yang mendasari pemasaran, Dua pihak dikatakan terlibat dalam pemasaran jika mereka bernegosiasi dan bergerak ke arah suatu kesepakatan. Jika kesepakatan tercapai dikatakan suatu transaksi terjadi. Transaksi adalah unit dasar dari pertukaran. Transaksi merupakan perdagangan nilai-nilai di antara dua pihak. Contoh transaksi adalah transaksi komersial, transaksi pekerjaan, transaksi untuk kepentingan umum, transaksi keagamaan dan amal. 51 Beberapa jenis transaksi pemasaran ikan yang dikenal (Taswa Sukmadinata, 1995) terdiri dari: a. Transaksi dalam pemasaran ikan dengan cara lelang Tujuan pokok dari pelelangan ikan adalah diperolehnya tingkat harga yang wajar dan pembayaran secara tunai. Para pelaku dalam tatanan kelembagaan dengan sistem lelang ini adalah: nelayan-nelayan sebagai penjual ikan, para bakul sebagai pembeli serta KUD Mina sebagai penyelenggara pelelangan ikan. Aktivitas ekonomi dari para pelaku dalam pelelangan di atas terpisah satu sama lain. Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan didaratkan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dimana dalam periode pasar hari itu jumlahnya tertentu, artinya penawaran adalah tetap. Biasanya ikan-ikan yang ditawarkan pada suatu lelang harus dijual seluruhnya karena penawaran tetap maka harga hanya berfungsi untuk mengalokasi ikan yang tersedia diantara para peserta lelang. Meskipun harga pasar dapat berubah sebagai suatu isyarat bagi produsen dimasa yang akan datang, namun harga tidak dapat melaksanakan fungsi tersebut dalam periode berjalan, karena ikan yang didaratkan di TPI pada periode berjalan adalah tetap. Perbedaan yang kecilpun pada jumlah yang ditawarkan dapat menyebabkan perbedaan besar pada harga akhir yang disepakati bersama. Kondisi lain yang dapat menentukan pembentukan harga ikan di TPI adalah: (a) ketidaksempurnaan arus informasi sebagai dasar terjadinya pasar yang efisien tidak dapat terpenuhi. Penguasaan informasi yang tidak sama (asymetris) menyebabkan proses penetapan harga tidak berjalan seimbang, dalam hal ini pembeli umumnya mempunyai lebih banyak informasi daripada nelayan. (b) struktur pasar oligopsonistik Struktur pasar demikian akan menyebabkan pembeli menentukan harga beli yang serendah-rendahnya tanpa memperdulikan kondisi nelayan sebagai penjual. Kondisi tersebut di atas dapat memperlemah posisi tawar menawar dari nelayan. Selanjutnya keadaan dapat menyebabkan berfluktuasi harga ikan pada tingkat harga yang rendah, artinya kalau jumlah ikan yang didaratkan berubah, harga ikan akan jatuh; sedangkan kalau ikan yang didaratkan sedikit harga akan naik tetapi kenaikannya tidak 52 besar. Dengan dilaksanakannya transaksi dengan lembaga lelang, diharapkan dapat menahan turunnya harga ikan pada harga yang tidak terlalu rendah. Pelelangan dapat dilakukan dengan sistem penawaran Inggris yang menaik, sistem penawaran Belanda yang menurun dan sistem penawaran Jepang yang simultan. Keadaan harga yang berfluktuasi pada tingkat harga yang relatif rendah ini dapat menjadi penyebab rendahnya tingkat pendapatan nelayan, terutama bagi anak buah kapal (ABK) nelayan tradisional. b. Transaksi ikan dengan cara kontrak-informal Dalam transaksi jual beli ikan dengan cara kontrak informal atau cara langganan, nelayan umumnya menjual ikan hasil tangkapannya pada tengkulak atau juragan sebagai pembeli ikan langganannya. Apabila nelayan memerlukan uang, biasanya pada musim paceklik, ia pinjam dari tengkulak atau juragan langganannya. Demikian seterusnya sehingga hubungan tersebut menjadi dasar ikatan dalam usahanya, dalam arti nelayan terikat untuk menjual ikan tangkapannya pada pembeli ikan langganannya tersebut atau dengan kata lain pemasaran dilaksanakan dalam tatanan kelembagaan yang bersifat kontrak informal. Dalam transaksi jual beli ikan, biasanya pembeli lebih banyak menguasai informasi, baik mengenai biaya produksi penangkapan, maupun kekuatan permintaan dan harga ikan di pasar konsumen. Karenanya pembeli lebih banyak menentukan harga beli ikan daripada nelayan. Apabila transaksi dengan cara lelang di TPI berjalan bersamasama dengan transaksi dengan cara kontrak informal atau langganan, maka penentuan harga ikan dapat mengacu pada harga lelang di TPI. Jadi harga ikan tidak terlalu rendah, bahkan dapat lebih tinggi dari harga lelang ikan. Apabila nelayan secara langganan menjual ikannya pada pengusaha, misalnya pengolahan ikan, maka pengusaha ini merupakan pengusaha monopsoni. Dalam keadaan demikian pengusahaan monopsoni menghadapi penawaran ikan dari para nelayan yang akan dibelinya. Apabila pengusaha monopsoni tersebut bertujuan untuk memaksimumkan keuntungannya maka harga ikan sebagai faktor produksi yang dibayar oleh pengusaha monopsoni sudah lebih murah dari nilai produksi marginal yang ditimbulkan oleh pemakaian faktor produksinya. 53 Upaya yang dapat dilakukan untuk menaikan harga jual ikan antara lain para nelayan penjual/nelayan harus bergabung dalam satu asosiasi atau koperasi produsen/nelayan untuk meningkatkan kemampuan tawar menawar dengan pihak pembeli langganannya seperti dalam kasus bilateral monopoly. Dalam kasus ini penentuan tingkat harga dan kuantitas yang dijual belikan tidak hanya ditentukan oleh pertimbangan ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor lain misalnya keahlian dan keterampilan dalam mengadakan perundingan. Hasil tangkapan ikan seharinya mungkin banyak, mungkin sedikit bahkan mungkin kosong. Jadi resiko dan ketidakpastian dalam usaha penangkapan ikan relatif besar. Keadaan ini disebabkan oleh karakteristik sumberdaya ikan yang bersifat musiman, dipengaruhi oleh keadaan fisik, kimia dan biologi perairan serta teknologi dan ketrampilan dalam operasi penangkapan. c. Transaksi pemasaran ikan dengan cara kontrak Salah satu upaya yang diharapkan dapat mengurangi resiko dan ketidakpastian usaha adalah dengan rekayasa kelembagaan transaksi pemasaran ikan dengan cara kontrak formal. Kontrak adalah suatu bentuk kelembagaan ditaraf operasional yang berfungsi untuk menata struktur hak-hak berdasarkan transaksi yang berlangsung antar kelompok atau individu. Perubahan dalam struktur hak-hak dapat mengakibatkan perubahan dalam kesempatan dari setiap individu (partisipan) dan pada akhirnya dapat merubah pula keragaan yang dicapai. Dalam kontrak pemasaran yang merupakan perjanjian tertulis dan mengikat secara hukum, terjabar struktur hak-hak yang mendefinisikan (distribusi) hak dan kewajiban. Ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam kontrak pemasaran umumnya mengenai: spesifikasi barang, rumusan harga, cara pengiriman barang dan sanksi-sanksi apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam kontrak tidak dipenuhi oleh para peserta kontrak yang terlibat. Hal penting dalam kontrak yang akan menentukan pendapatan para pelakunya adalah kesepakatan dalam perumusan harga produksi. Perumusan harga produk dapat dilakukan dengan berbagai macam rumusan, antara lain: harga ditentukan konstan berdasarkan hasil perundingan, misalkan: Po = ao; berdasarkan harga pasar; berdasarkan 54 maksimum keuntungan bersama, berdasarkan trend harga, berdasarkan rumusan costplus, sales-minus atau profit share. Apabila harga dirumuskan tetap sama berdasarkan hasil perundingan, maka pembeli akan membayar kepada penjual dengan harga yang sama dalam jangka waktu yang disepakati. Harga tidak dapat bervariasi sepanjang waktu kontrak, jadi mengurangi ketidakpastian harga jual beli produk. Dengan tatanan kelembagaan kontrak dimana rumusan penentuan harga ditetapkan sama dapat merefleksikan persaingan sempurna apabila penjual dan pembeli sama kekuatan atau sama keahliannya dalam perundingan. Kekuatan atau posisi tawar-menawar dalam perundingan ditentukan antara lain oleh informasi yang dikuasasi masing-masing peserta, dan struktur pasar dimana transaksi jual beli terjadi. Untuk mendapatkan informasi ini perlu biaya, sebagai konsekuensi dari kegiatan mengukur atau mengidentifikasi kuantitas maupun kualitas produk pada saat sekarang ataupun saat yang akan datang. Biaya informasi merupakan bagian dari biaya transaksi. Secara rinci batasan ruang lingkup studi perilaku nelayan dijabarkan dalam Gambar 4 berikut. 55 Biophysical Environment Common Property dan Co-Management Sumberdaya Perikanan Benefits - Social - Cultural - Economic - Biodiversity Socio Economic Environment Ruang lingkup proses kegiatan perikanan tangkap 1. penggunaan alat tangkap dan alat bantu tangkap 2. persiapan dan pelaksanaan operasi penangkapan 3. pengerahan tenaga kerja dan modal 4. menjaga mutu ikan hasil tangkapan dan memasarkan Perilaku Nelayan Sikap Nelayan dlm Proses Kegiatan Perikanan (X2) Karakteristik Individu Nelayan Artisanal (X1) Kepatuhan Nelayan terhadap Patron dlm Proses Kegiatan Perikanan (X3) Niat untuk Berperilaku Nelayan dlm Proses Kegiatan Perikanan (Y1) Perilaku Nelayan dlm Proses Kegiatan Perikanan (Y2) Kemampuan Berperilaku Nelayan dlm Proses Kegiatan Perikanan (X4) Gambar 4 Ruang Lingkup Studi Perilaku Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan Tangkap. Diadopsi dari Charles (2001). Sustainable Fishery System. London: Blackwell Science dan Ajzen (2005). Attitudes, Personality and Behavior, New York: McGraw-Hill Education. 56 Gambar 4 tentang Ruang Lingkup Studi Perilaku Nelayan dalam Memanfaatkan Sumberdaya Perikanan Tangkap terlihat benefits (keuntungan) sosial, kultural, ekonomi dan keragaman hayati yang diharapkan dari nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan tangkap. Untuk mencapai keuntungan tersebut, maka diperlukan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dalam bentuk pengaturan terhadap Common Property Resourches dan Co-Management. Common Property dan Co-Management dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Meskipun pengelolaan sumberdaya alam secara komunal telah berfungsi sejak ratusan tahun yang lalu dalam konteks kebudayaan dan lingkungan yang berbeda di seluruh dunia, institusi common property senantiasa mendatangkan kritik. Garret Hardin (1968) dalam tulisannya The Tragedy of the Commons mengajukan contoh hipotesa dari penurunan sumberdaya bersama padang rumput dan mengagumentasikan bahwa pemanfaatan kolektif secara tidak terkontrol menyebabkan kerusakan pada sumberdaya milik “bersama” tersebut. Ketidaksepakatan terhadap kesimpulan Hardin ini bermunculan dalam dua dekade terakhir. Diantaranya oleh Ostrom (1990) yang berpendapat bila privatization dan centralization justru akan menyebabkan over-explotation, manakala negara gagal mengawasi dan membatasi explotasi. Oleh sebab itu menurut Ostrom, common user may develop their own “hybrid” institutions that are neither private (the market) nor public (the state). Studi-studi dari seluruh dunia menghasilkan contoh bahwa pemanfaatan secara bersama yang berdasarkan perlindungan sumberdaya alam tidak selalu berakhir dengan hasil yang tragis. Konsep common property telah mengalami proses pendefinisian ulang berdasarkan temuan empirik dan diperlukan alternatif pemahaman teoritis tentang konsep common property. Perspektif teori yang muncul pada saat ini berasumsi bahwa common property tidak sebagai kelompok yang memanfaatkan sumberdaya secara bersama; namun sebagai suatu institusi dari suatu pengelolaan yang dilakukan sendiri dengan turut berpartisipasinya para pihak berkentingan sebagai anggota untuk mensiasati keterbatasan kewenanganya. 57 McKean (dalam Jhonson dan Kristen 2004) bahwa common property adalah “as an arrangement in which a group of resource users share rights and duties toward a resource". Situasi ini merupakan suatu sistem dari shared private property dengan batasbatas yang jelas mengenai aturan hak dan pengelolaan pemanfaatan. Sistem ini sebagaimana halnya dengan regim property yang lain “mengemas hak dan kewajiban” dari para pihak yang memiliki kepentingan. Hak dan kewajiban diberikan dan dimiliki oleh setiap pihak berkepentingan untuk memanfaatkan dan menjaga sumberdaya secara bersama. Persoalan ekonomis sifat kepemilikan ikan laut secara bersama memunculkan berkembangknya sifat individualistik yang tinggi di kalangan para nelayan. Semua nelayan berkeinginan untuk memetik manfaat sebesar-besarnya dari sumberdaya yang ada tanpa ada seorangpun di antara mereka yang mau melakukan sesuatu untuk menjaga agar sumberdaya tersebut tetap ada pada tingkat yang menguntungkan. Bila kondisi tersebut tidak dikelola, maka konflik horizontal merupakan akibat berikutnya yang akan muncul. Merintis langkah untuk resolusi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan milik “bersama”, menjadi kebutuhan untuk mencegah konflik meluas. Sumardjo (2011) mengartikan resolusi konflik dengan menghentikan konflik dengan cara-cara yang analitis dan masuk ke akar permasalahan, dengan menekankan bahwa resolusi konflik adalah suatu proses (a) analisis dan penyelesaian masalah, (b) mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok seperti identitas dan pengakuan, serta (c) perubahan-perubahan institusi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Iwan Tjitradjaja (2008) mengusulkan manajemen konflik terhadap pengelolaan “sumberdaya bersama” dengan cara membangun dan mengembangkan mekanisme penanganan konflik dengan tujuan untuk mencegah berkembangnya konflik menjadi kekerasan dan yang secara sosial, ekonomi, dan ekologis destruktif, dan mengubahnya menjadi hubungan sosial yang konstruktif dan kooperatif. Menegaskan kembali pendapat keduanya, dalam bidang pemanfaatan sumberdaya perikanan Luky Adrianto et al (2009) menekankan perlunya ko-manajemen perikanan untuk mencegah kesinambungan sumberdaya pesisir. konflik pemanfaatan dan menjaga 58 Dari perspektif ko-manajemen perikanan, pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari filosofi keterkaitan antara ekosistem, sumberdaya perikanan dan manusia yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri. Pengelolaan perikanan tidak akan pernah ada apabila ekosistem dan sumberdaya perikanan sebagai salah satu “produk” ekosistem alam (air tawar, air laut, payau dan lainlain) mengalami degradasi atau punah (Luky Adrianto et al, 2009). Dalam konteks ini interaksi yang ada dalam sistem alam (ekosistem perairan) dan sistem manusia (social agent and actor) serta prinsip-prinsip yang melatarbelakangi bagaimana kedua system ini bekerja perlu diketahui dengan baik. Dasar pemahaman inilah yang menjadi latar belakang dari seluruh pola tata kelola perikanan dalam bentuk ko-manajemen perikanan (fisheries co-management). Ko-manajemen perikanan (fisheries co-management) adalah pola pengelolaan dimana pemerintah dan pelaku pemanfaatan sumberdaya (user group) berbagi tanggungjawab (sharing the responsibility) dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan tujuan mewujudkan keseimbangan tujuan ekonomi dan sosial dalam kerangka kelestarian ekosistem dan sumberdaya perikanan (Luky Adrianto et al, 2009). Sebagai suatu proses, di dalam ko-manajemen perikanan terdapat 4 stakeholders kunci, yaitu (1) pelaku pemanfaat sumberdaya dimana dalam kelompok ini termasuk nelayan dan pembudidaya ikan, (2) pemerintah, termasuk pusat dan daerah, (3) stakeholders lain dimana di dalamnya termasuk anggota masyarakat lain, pemilik kapal, pelaku perdagangan perikanan, pengolah ikan dan lain-lain (4) agen perubahan termasuk penyuluh perikanan, LSM, perguruan tinggi dan lembaga riset. Beberapa contoh hasil studi telah menunjukkan efektifitas penerapan tanggungjawab bersama dari common property berbasis ko manajemen, seperti Jhonson et al (2004) Common Property and Conservation: The Potential for Effective Communal Forest Management within a National Park in Mexico, Polasky et al (2005) Cooperation in Commons, Yandle (2006) Sharing natural resource management responsibility: Examining the New Zealand rock lobster co-management experience, Berkes (1986) Common Property Resources and Huntung Territories, Mulrenman (2005) Comanagement? An Attainable Partnership? Two Cases from James Bay, Northern Quebec and Torres Strait, Northern Queensland, Pannel (1997) Managing the Discourse of 59 Resource Management: the Case of Sasi from ' Southeast' Maluku, Indonesia, Aswani (1999) Common Property Models of Sea Tenure: A Case Study from the Roviana and Vonavona Lagoons, New Georgia, Solomon Islands Shankar. Berangkat dari contoh-contoh studi tentang keefektifan penerapan tanggungjawab bersama dari common property berbasis ko-manajemen tersebut, merupakan suatu keniscayaan yang mungkin terjadi terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di pantai Utara Jawa Barat. Kondisi Perikanan Tangkap di Pantai Utara Jawa Barat Sumber daya perikanan dan kelautan di Jawa Barat pada dasarnya memiliki potensi yang sampai sekarang belum benar-benar tergali dengan baik. Hasil studi berjudul Rencana Arah Pengembangan Bisnis Kelautan Jawa Barat yang dilaksanakan oleh BAPEDA Jawa Barat tahun 2007, mencatat kawasan Pesisir Utara Jawa Barat (Pantura) memiliki potensi sumber daya pesisir berupa hutan mangrove seluas 7600 Ha yang tersebar di beberapa kabupaten, yaitu: Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang (Pamanukan), Kabupaten Indramayu (Losarang, Kandanghaur, Sindang dan Eretan), Kabupaten Cirebon (Babakan). Sumberdaya terumbu karang sebagai salah satu kekayaan pesisir yang berfungsi penting dalam struktur ekosistem pesisir diketahui terdapat di beberapa kawasan Pantura seperti: perairan antara kecamatan Tempuran dan Cimalaya (Karawang), Bobos (Kab Subang), Pantai Majakerta, Pulau Rakit Utara dan Pulau Cantigi (Kabupaten Indramayu). Di kawasan pesisir pantura, sampai saat ini terdapat tambak seluas lebih kurang 30.080. Potensi lainnya di kawasan pantura Jawa Barat adalah budidaya rumput laut di Tempuran (Kabupaten Karawang) dan Pamanukan (Kabupaten Subang), serta perikanan laut yang diupayakan di sepanjang pesisir Pantura, kecuali pada beberapa kawasan yang mengalami overfishing, seperti beberapa titik di Kota Cirebon. Di kawasan Pantura Jawa Barat tidak terdapat Kawasan Konservasi. Kabupaten Indramayu merupakan penyumbang produksi perikanan tangkap laut terbesar di Jawa Barat, diikuti oleh Kabupaten Cirebon. Hal ini dapat dipahami karena memang armada perikanan tangkap di wilayah perairan Pantura ini adalah yang terbanyak di Jawa Barat, walaupun sebenarnya kondisi stok di perairan ini sudah mulai 60 banyak berkurang. Jumlah effort (trip) perikanan tangkap di perairan Pantura memang mengalami trend yang meningkat terus, dengan trend peningkatan tertinggi di Kabupaten Subang (12,48%), diikuti Kabupaten Cirebon (11,47%), Kabupaten Indramayu (7,20%) dan Kabupaten Karawang (4,06%). Perairan Indramayu diketahui memang memiliki nilai carrying capacity yang paling tinggi (27.980 ribu ton) dibandingkan dengan wilayah lainnya di Pantura atau 3 kali lipat dibanding kabupaten Karawang, Kabupaten Subang dan Kabupaten Cirebon. Secara keseluruhan untuk perairan Pantura ini memang mengalami apa yang disebut sebagai overfishing secara ekonomi karena terlalu banyak input yang digunakan untuk stok yang terbatas yang berakibat terjadinya degradasi sumber Dalam sumber yang sama (BAPEDA Jawa Barat, 2007), secara keseluruhan Pantura Jawa Barat untuk perikanan pelagisnya telah terdegradasi sebesar 26%, dengan laju di Kabupaten Cirebon 26%, Kabupaten Indramayu 26%, Kabupaten Karawang 26% dan Kabupaten Subang 24%. Potensi lestari dan pemanfaatan aktual dari perikanan tangkap pelagik di pantura Jawa Barat, yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan perairan pantura sudah dieksploitasi melebihi kapasitas produksi lestarinya (overfishing). Sebagai penunjang kegiatan usaha perikanan tangkap di Pantai Utara Jawa Barat, terdapat beberapa fasilitas Pusat Pendaratan Ikan (PPI) dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), diantaranya di Kabupaten Cirebon ada 16 PPI dan 1 PPP, Kabupaten Indramayu 1 PPP dan 15 PPI, Kabupaten Subang dengan 2 PPP dan 6 PPI, Kabupaten Karawang dengan 1 PPP dan 11 PPI, Kabupaten Bekasi dengan 3 PPI. Struktur usaha skala mikrosektor perikanan dan kelautan di Perairan pesisir Jawa Barat, masih didominasi oleh nelayan perahu tanpa motor, dengan motor dibawah 30 GT, kemudian bakul, dan usaha pengolahan perikanan sederhana, serta usaha jasa services coastal related seperti pada sektor pariwisata dan perhubungan dan pertambangan pasir laut. Sampai saat ini usaha perikanan dan kelautan skala mikro boleh dikatakan belum berkembang dengan baik, bahkan cenderung terjadi penurunan, jika dilihat dari jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) tangkap laut, nelayannya sendiri dan juga jumlah Rumah Tangga Budidaya, serta pembudidayanya. Secara keseluruhan, armada perikanan tangkap Jawa Barat memang masih didominasi oleh perahu-perahu tradisional dan motor di bawah 30 GT, skala mikro (70%). 61 Alat tangkap yang biasa digunakan nelayan skala kecil adalah jaring, pancing, bubu dan lain-lain. Jenis alat tangkap yang beroperasi di perairan pesisir Jawa Barat secara umum didominasi oleh payang, jaring insang hanyut, jaring insang tetap, jaring tiga lapis dan pancing lainnya. Penggunaan jaring trawl dilarang di wilayah pantai Utara Provinsi Jawa Barat. Meski dilarang, namun penggunaan jenis alat tangkap ini dalam ukuran yang lebih kecil dan nama yang berbeda tetap digunakan. Nama alat tangkap tersebut misalnya garok, jaring apollo yang tersebar digunakan dari wilayah tangkap kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu hingga Cirebon. Usaha skala mikro perikanan tangkap di Jawa Barat memang tidak menggiurkan karena rata-rata pendapatan yang diperoleh masih sangat rendah antara Rp. 60.000 s.d. Rp.80.000/bulan. Rendahnya pendapatan ini selain karena memang output yang diperoleh rendah karena stok yang sudah menurun (di Pantura Jawa Barat), juga karena biaya melaut yang tinggi (terutama komponen BBM). Usaha pengolahan ikan yang dilakukan dalam skala mikro menjadi sangat dominan di pesisir Jawa Barat, biasanya dilakukan oleh keluarga nelayan, seperti usaha pengolahan ikan asin, pemindangan, terasi, kecap, dan lain-lainnya. Studi-studi Terdahulu tentang Perilaku Nelayan dan Theory Planned Behavior (TPB) Sejauh penelusuran literatur yang telah dilakukan oleh penulis, hingga saat studi ini dilaksanakan belum ditemukan studi tentang perilaku nelayan yang menggunakan Theory Planned behavior (TPB) sebagai perspektif teori untuk mengukur perilaku nelayan. Di sisi lain, dalam konteks penyuluhan pembangunan, pemahaman faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku nelayan dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup mereka adalah sangat penting. Beberapa hasil studi tentang nelayan artisanal (small scale fishery) yang pernah dilakukan ini diantaranya; Wildani Pingkan Saripurna Hamzen (2007) penelitiannya berjudul Pengembangan Mutu Sumberdaya Manusia Nelayan: Kasus Nelayan Kecil di Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini melihat perilaku nelayan dari perspektif mutu sumberdaya manusianya yang dinyatakan masih rendah dengan indikator masih rendahnya penghasilan yang diperoleh dari hasil usaha 62 menangkap ikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Temuan penelitian ini menyatakan bahwa: (1) karakteristik nelayan dicirikan dengan: (a) karakteristik individu: pendidikan rendah, nelayan pendatang, motivasi intrinsik untuk maju rendah, meskipun nelayan menghargai profesinya, (b) karaktersitik usaha, yaitu pola patron-klien (pemilik, pekerja, pemodal merangkap konsumen utama), alat tangkap bervariasi, pola bagi hasil bervariasi, sebagian besar berpengalaman sebagai nelayan > 10 tahun, dan alasan utama menjadi nelayan karena berasal dari keluarga nelayan. Dukungan lingkungan terhadap terbentuknya kompetensi nelayan rendah; Faktor-faktor internal yang berhubungan dengan terbentuknya kompetensi adalah; (1) usia, (b) jumlah tanggungan, (c) pengeluaran setiap bulan dan (d) pengalaman sebagai nelayan, dan yang paling memengaruhi terbentuknya kompetensi nelayan adalah pengalaman. Faktor-faktor eksternal yang berhubungan dengan terbentuknya kompetensi nelayan adalah (1) kelembagaan nelayan, (2) mutu sumberdaya manusia nelayan masih rendah, diperlihatkan dengan rendahnya kompetensi, rendahnya kemampuan memenuhi kebutuhan konsumen, rendahnya penghasilan dan rendahnya kemampuan memenuhi kebutuhan diri dan keluarga (kebutuhan hidup). Penelitian Siti Amanah (2006) berjudul Pengembangan Masyarakat Pasisir berdasarkan Kearifan Lokal: Kasus Kebupaten Buleleng, Provinsi Bali. Penelitian ini menggambarkan bahwa pola kehidupan masyarakat pesisir sangat kompleks, dihadapkan pada kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang khas dan sumber kehidupan masyarakat pesisir yang bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada pemanfaatan sumberdaya pesisir. Keterkaitan diantara para peubah penelitian ini dalam model pengembangan perilaku masyarakat pesisir mengelola sumberdaya pesisir secara lestari menunjukkan adanya hubungan positif dan nyata antara dinamika sosial budaya, kepemimpinan informal, kondisi nelayan, kualitas program pemberdayaan, kompetensi fasilitator serta dukungan fasilitas dan peraturan pemanfaatan sumberdaya pesisir dengan perilaku nelayan dalam mengelola sumberdaya pesisir. Penelitian Kusnadi (2000) berjudul Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial terhadap Nelayan Pantai Utara Jawa Timur menemukan adanya faktor lingkungan alam dan faktor non alam yang menyebabkan semakin terpuruknya kesejahteraan nelayan. Keterpurukan ini disiasati oleh nelayan dengan perilaku dalam 63 bentuk strategi adaptasi nelayan. Faktor alam berkaitan dengan fluktuasi musim ikan; faktor non alam berkaitan dengan faktor-faktor ketimpangan dalam pranata bagi hasil, ketiadaan jaminan sosial awak perahu dan jaringan pemasaran ikan yang rawan terhadap fluktuasi harga, keterbatasan teknologi pengolahan ikan, dampak negatif modernisasi serta terbatasnya peluang-peluang kerja yang tersedia yang bisa diakses oleh anak buah kapal (pandhiga) dan anggota rumah tangga lainnya. Rumah tangga-rumah tangga nelayan, khususnya nelayan kecil atau nelayan tradisional tidak lagi melihat laut sebagai sumberdaya yang tidak terbatas. Mereka memandang sumberdaya yang tersedia di lingkunganya semakin langka dan terbatas untuk bisa diakses dan didayagunakan. Oleh sebab itu jaringan sosial adalah salah satu strategi adaptasi yang paling mudah dimanfaatkan oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan hidup sehari-hari. Penelitian Salas (2000) tentang Fishing Strategies of Small Scale Fisheries and Their Implication for Fisheries Management. Studi ini menggambarkan perbandingan strategi perilaku menangkap ikan oleh nelayan dari tiga komunitas desa pesisir di Yucatan, Mexico. Nelayan dari tiga daerah tersebut melakukan kegiatan penangkapan di wilayah tangkap (fishing ground) yang sama dengan perbedaan regulasi dan lingkungan dari asal masing-masing komunitas tersebut. Dengan menggunakan ”choice model”, perbedaan regulasi dan lingkungan dari ketiga komunitas pesisir tersebut berimplikasi pada perilaku mereka dalam strategi penangkapan ikan dan pekerjaan mereka secara berkelompok. Penelitian Akhmad Fauzi (1998) berjudul The Management of Competing Multi Spesies Fisheries: A Case Study of Small Pelagic Fishery on North Coast of Central Java. Dalam penelitian ini terungkap bahwa nelayan kecil perikanan tangkap (small pelagic fishery) di Pantai Utara Laut Jawa memainkan peran yang penting dalam tingkat ekonomi lokal sekaligus sebagai sumber produksi protein hewani bagi komunitas desadesa di sepanjang dan sekitar wilayah tersebut. Sejak mulai digunakannya alat tangkap trawl di awal tahun 1980-an, kegiatan perikanan di daerah tersebut mengalami perkembangan yang sangat cepat dengan digunakannya kapal-kapal purse seine di wilayah Pantai Utara Jawa. Pertambahan kapal-kapal purse seine yang menggunakan alat tangkap trawl tidak hanya menekan sumberdaya nelayan kecil (small pelagic) tetapi juga memunculkan isu perebutan sumberdaya perikanan tangkap antara nelayan purse seine 64 yang menggunakan trawl (komersial) dengan nelayan skala kecil (small pelagic) tradisional pada sisi yang lain. Studi lain yang penting pernah dilakukan oleh Pujo Semedi. Dalam studinya berjudul Close to the Stone, Far from the Trhone: The Story of Javanese Fishing Community 1920 – 1990 (2003), menyoroti melalui prespektif historis tentang komunitas nelayan di pantai Utara Jawa dan hubungannya dengan kegiatan eksploitasi sumberdaya laut sebagai sumber ekonomi. Untuk membuat eksplanasi tentang studinya, Semedi membagi kurun waktu antara tahun 1820 – 1990 menurut konteks peristiwa-peristiwa penting yang memengaruhi dinamika kehidupan komunitas desa pesisir Wonokerto Kulon khususnya (sebagai studi kasus) dan pantai Utara Jawa umumnya. Dalam studinya itu Semedi telah menunjukkan jenis seperti apa komunitas desa pesisir pantai Utara Jawa yang bekerja di tengah laut sebagai nelayan. Menurutnya, komunitas nelayan pantai Utara Jawa jauh dari pusat kekuasaan Jawa yang berbasis ekonomi pertanian, secara mental lebih bersifat independen dan agresif. Walaupun mereka bersifat independen dan agresif, mereka mempercayai religi Islam yang juga berfungsi sebagai pelindung. Persoalan hubungan pola prilaku manusia dan daya dukung sumberdaya laut dalam menyediakan pangan, Semedi menyoroti masalah over-fishing di Indonesia. Melalui perspektif historisnya, pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi secara global tidak hanya pada nelayan di pantai Utara Jawa yang mengalami peningkatan modal produksi, tetapi juga mencakup sektor perikanan dengan jarak yang lebih jauh untuk mencari ikan. Penerapan teori TPB untuk memprediksi perilaku individu dalam berbagai bidang ilmu perilaku manusia telah banyak dilakukan. Diantara hasil penelitian tersebut seperti penelitian Beedell dan Rehman (2000) berjudul Using Social Psychology Models to Understand Farmers’ Conservation Behavior, menggunakan TPB dalam mengukur perilaku (behavior) petani yang berkait dengan dengan kegiatan konservasi. Tujuan dari studi ini adalah menemukan bagaimana perilaku seluruh petani mengelola kondisi lingkungannya pada lahan pertanian dengan berbagai macam cara; kedua menilai bagaimana penggunaan model TPB dapat menjelaskan mengapa perilaku petani dapat berbeda satu sama lain. Menggunakan 125 petani sebagai responden di Bedforshires UK yang menjadi wilayah penelitian ini, dianalisis untuk mengidentifikasi pokok yang 65 mendasari faktor yang menentukan dari perilaku petani. Petani dengan kepedulian terhadap lingkungan yang baik, anggota dari Farming and Widlife Advisory Group, lebih memiliki perhatian terhadap konservasi daripada petani lain yang tidak tergabung dalam kelompok tersebut. Keadaan demikian disebabkan petani lebih dipengaruhi oleh kelompok acuan (significant other) dalam bidang pertanian, konservasi, dana dan penyuluhan tentang konservasi. Tujuan dari studi tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana perilaku seluruh petani mengelola kondisi lingkungan pada kegiatan pertanian mereka dengan menggunakan cara-cara yang serupa, dan jika mereka tidak melakukan hal tersebut, mengapa demikian? Selanjutnya penelitian ini juga ingin menilai bagaimana penggunakan model pendekatan TPB dapat menjelaskan mengapa perilaku petani dapat berbeda satu sama lain. Para petani dengan kepedulian yang baik terhadap lingkungan, dapat diprediksi memiliki perilaku yang positif terhadap lingkungan melalui pengelolaan pemagaran lahan pertanian mereka dibandingkan dengan mereka yang kurang memiliki kepedulian mengenai hal tersebut. Mereka mungkin mendapat tekanan yang lebih dari lingkungan masyarakatnya, keluarganya dan kelompok mereka untuk menjaga kondisi tersebut dibanding dengan petani lainnya. Penggunaan perspektif teori ini menyediakan suatu struktur dan kerangka kerja yang dapat dipertanggungawabkan dalam penelitian untuk memprediksi perilaku individu. Penelitian lain yang menggunakan perspektif TPB dilakukan oleh Moorrison et al (2002) dengan judul penelitiannya Teen Sexual Behavior: Application of the Theori Reasoned Action. Penelitian ini memprediksi perilaku seksual dalam bentuk hubungan seksual para remaja dan menentukan apakah hal ini berkait dengan jenis kelamin dan pengalaman perilaku seksual sebelumnya. Dengan mengambil 749 responden yang duduk antara kelas 9 – 11 dengan prediksi perilaku seksual mereka ketika mereka menduduki kelas 10 – 12. Sejumlah 53% dari responden adalah wanita dengan sekitar 48% dari mereka adalah non-Hisponic Amerika-Eropah. Hasil dari penelitian ini adalah pengalaman perilaku melakukan hubungan seksual berhubungan dengan prediksi perilaku hubungan seksual ketika mereka menduduki kelas yang lebih tinggi dan tidak ada perbedaaan antara responden wanita dan laki-laki. Seperti telah diprediksikan, hasil path analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara 66 niat (intention) dengan perilaku (behavior), demikian pula hubungan antara attituted, subjective norm dan perceived behavior control dengan intention. Penelitian-penelitian lain yang menggunakan perspektif TPB, seperti Arifin FX. Suarif (1995) dalam penelitiannya Hubungan Sikap dan Norma Subjektif dengan Intensi Bersanggama pada Mahasiswa di Jakarta, Sean Charlene et al (2001) dalam penelitiannya berjudul Predictor of Intention to Use Condoms Among University Womens: An Apprication and Extention of The Theory Planned Behavior, penelitian Mark, Conner et al (2002) berjudul The TPB and Health Eating; penelitian Mark A, Elliot et al (2003) berjudul Driver’s Compliance with Speed Limits an Application of the TPB, penelitian Carey, Kate B et al (2007) berjudul The TPB as a Model of Heavy Episodic Drinking Among College Student; penelitian Ginis, Martin et al (2007) berjudul Using TPB to Predict Leisure Time Physical Activity Kidney Disease, penelitan Ryan J, Martin et al (2010) berjudul Using the TPB to Predict Gambling Behavior. Kesemua penelitian tersebut berupaya memprediksi perilaku manusia secara akurat sehingga dapat digunakan bagi keperluan perbaikan kualitas hidup manusia. Ringkasan Indonesia merupakan negara agraris dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 90% dari total penduduk di wilayah pedesaan, termasuk pula di bidang perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Alasan bidang perikanan memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia; pertama, karena bidang perikanan merupakan sumber kesempatan kerja bagi kehidupan komunitas pedesaan di wilayah pesisir; kedua, perikanan di Indonesia merupakan bidang yang penting sebagai sumber protein hewani utama yang dikonsumsi oleh hampir seluruh penduduk di Indonesia. Ketiga, bidang perikanan memberikan kontribusi yang signifikan dalam perdagangan internasional. Penangkapan ikan di Indonesia, secara umum dilakukan oleh nelayan dengan tiga kategori jenis kapal dan alat tangkap yang mereka gunakan, yaitu: nelayan skala kecil – menengah dan nelayan skala besar. Namun dalam prakteknya hanya dibagi dua kelompok besar, yaitu nelayan tangkap skala kecil (small scale fisheries) atau artisanal fishery yang ditandai dengan kondisi marjinal dan kemiskinan dari para nelayan tersebut; 67 dan nelayan skala besar (large scale fisheries) dengan kondisi yang lebih baik karena padat modal dan dukungan jejaring industri perikanan. Perilaku nelayan dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan mencakup (a) kegiatan dalan bidang penggunaan teknologi alat tangkap, alat bantu tangkap berkait dengan capital dynamics yaitu armada, alat tangkap (fleet) dan alat bantu tangkap yang mendorong hasil tangkapan maksimal dengan dampak se-minimal mungkin terhadap lingkungan fisik, (b) kegiatan dalam bidang kegiatan operasi penangkapan yang berisi tentang kemampuan nelayan menentukan waktu musim ikan, lokasi penangkapan ikan, ukuran dan jenis ikan yang boleh ditangkap serta kondisi cuaca yang memungkinkan untuk melaut, (c) kegiatan dalam bidang pengerahan modal dan tenaga kerja yang berisi tentang kemampuan nelayan untuk mengoptimalkan tenaga kerja yang ada dalam mengoprasikan perahu hingga alat tangkap dan (d) kegiatan dalam bidang menjaga mutu ikan hasil tangkapan dan pemasaran ikan yang berisi tentang kemampuan nelayan menjaga mutu ikan dan mengupayakan harga jual ikan yang setinggi-tingginya. Perilaku individu nelayan artisanal tidak selalu sejalan dengan sikapnya. Oleh sebab itu perspektif teori TPB berusaha menghubungkan antara sikap dengan perilaku individu melalui pengukuran niat untuk berperilaku. Meskipun terdapat keterbatasan konteks penggunaan TPB dalam mengukur perilaku, telah banyak penelitian yang menggunakan perspektif TPB untuk memprediksi perilaku individu.