ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS - Institutional Repository UIN

advertisement
ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM
AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh
Ahmad Fauzi
NIM:105024000860
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 12 Maret 2011
Ahmad Fauzi
NIM: 105024000860
ii
ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM
AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh
Ahmad Fauzi
NIM:105024000860
Pembimbing
Dr. Abdullah, M.Ag.
NIP: 19610825 199303 1 002
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM ALQUR’AN TERJEMAHAN HAMKA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 10
Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 10 Maret 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag.
NIP: 19700505 200003 1001
Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, MA.
NIP: 19570816 199403 1001
Sekretaris Merangkap Anggota,
Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum.
NIP: 1979 1229 200511004
Anggota,
Dr. Abdullah, M.Ag.
NIP: 19610825 199303 1 002
iv
PRAKATA
Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang
senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis,
sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta
Salam Cinta
senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita
mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas
academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr.
Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul
Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Ahmad Saekhuddin,
M.Ag., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Moch. Syarif
Hidayatullah, M.Hum.
Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Abdullah, M.Ag yang
telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi
serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah
SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.
Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag,
Bpk.Syukron Kamil, MA., Bpk. Irfan Abubakar, MA., Bpk. Drs. A. Syatibi,
M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis
dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari.
Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang
Tua Penulis, Ayahanda H. No’an dan Ibunda Hj. Uliyah. Kepada Kakak-kakak
Penulis yaitu Suryanih, Abdul Hakim dan Nurhasan yang telah memberikan
bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi
ini. Dan tak lupa kepada Peri Kecil Penulis Nur Ainih yang telah membimbing
sekaligus memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di
Tarjamah Angkatan 2005, kepada Aida, Hairiyah, Dwi Mulyani, Hasbullah, Lina
Lathifah, Zaenab dan Yupi yang telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan
serta memberikan dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
v
Kemudian kepada Yudi, Hilman, Asep, Deni, Rachmad, Doli, dan Agus yang
telah memberikan semangat, hiburan dan berbagai candaan di basecamp
Tarjamah. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak
kelas dan adik kelas sehingga Penulis bangga menjadi salah satu mahasiswa
Tarjamah.. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh temanteman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan
dan memberikan paradigma baru kepada Penulis.
Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi
semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk
interpretasi yang lebih baik lagi.
Jakarta, 09 Maret 2011
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................
i
PERNYATAAN .....................................................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .........................................................
iv
PRAKATA .............................................................................................
v
DAFTAR ISI ..........................................................................................
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .....................................
ix
ABSTRAK .............................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..............................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................
7
D. Tinjauan Pustaka .............................................................
8
E. Metodologi Penelitian .....................................................
9
F. Sistematika Penulisan .....................................................
9
KERANGKA TEORI
A. Konsep Umum Penerjemahan Al-Qur’an .........................
11
1. Pengertian Terjemahan Al-Qur’an..............................
11
2. Macam-macam Terjemahan Al-Qur’an ......................
12
3. Syarat-syarat Terjemahan Al-Qur’an ........................
13
B. Homonimi .......................................................................
17
1. Pengertian Homonimi ...............................................
17
2. Konsep Homonimi ....................................................
20
3. Homonimi dalam Bahasa Arab ...................................
22
4. Homonimi dalam Bahasa Indonesia ..........................
24
C. Sekilas Tentang Nafs .......................................................
25
vii
BAB III
BAB IV
BIOGRAFI HAMKA
A. Riwayat Hidup Hamka ....................................................
30
B. Pendidikan dan Karir Hamka .........................................
33
C. Karya-karya Hamka ........................................................
40
ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS () DALAM ALQUR’AN TERJEMAHAN HAMKA
A. Homonimi Mutlak ...........................................................
1.
Kelas nomina ...............................................................
43
2.
Kelas Partikel ...........................................................
49
B. Homonimi Sebagian .......................................................
51
1.
BAB V
43
Berdasarkan Perbedaan Derivasi ..............................
51
PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................
56
B. Saran ..............................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke
dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab
Huruf Latin
Huruf Arab
‫ا‬
Huruf Latin
‫ط‬
t
‫ب‬
b
‫ظ‬
z
‫ت‬
t
‫ع‬
‘
‫ث‬
ts
‫غ‬
gh
‫ج‬
j
‫ف‬
f
‫ح‬
h
‫ق‬
q
‫خ‬
kh
‫ك‬
k
‫د‬
d
‫ل‬
l
‫ذ‬
dz
‫م‬
m
‫ر‬
r
‫ن‬
n
‫ز‬
z
‫و‬
w
‫س‬
s
‫ة‬
h
‫ش‬
sy
‫ء‬
`
‫ص‬
s
‫ي‬
y
‫ض‬
d
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ----
a
Fathah
----ِ
i
Kasrah
-----ُ
u
Dammah
ix
B. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ي‬---َ
ai
a dan i
‫و‬---َ
au
a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
‫ي‬/‫ا‬----َ
â
a dengan topi di atas
‫ِي‬----
î
i dengan topi di atas
‫ُو‬---
û
u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu ‫ ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan arrijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah
itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya, kata ‫ورة‬.ّ/0‫ ا‬tidak ditulis ad-darûrah melainkan
al- darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang
sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata
x
sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata
benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh
no.3)
No.
Kata Arab
Alih Aksara
1
123.4
tarîqah
2
156789‫ ا‬1:6;<0‫ا‬
al-jâmi’ah al-islâmiyah
3
‫=ﺝ=د‬0‫و@?ة ا‬
wihdat al-wujûd
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama
tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf
“al” a tidak boleh kapital.
xi
ABSTRAK
Ahmad Fauzi
“Analisis Homonimi Kata Nafs (‫ )ﻨﻔﺱ‬dalam al-Qur’an Terjemahan Hamka”. Di
bawah bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag.
Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pengalihan makna dari bahasa sumber
(Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benarbenar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Proses menerjemahkan
sangat membutuhkan peran semantic sebagai alat untuk aktualisasi makna
sehingga penerjemahan dirasakan lebih fleksibel
Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi
menjelaskan bahwa banyak terdapat kata yang sama. Dalam segi penulisan juga
sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Konsekuensi logis munculnya
gejala kehomonimian adalah ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh
pembicara kepada pendengar/lawan bicara. Dalam bahasa Arab, sampai saat ini
belum ditemukan kajian homonimi secara khusus. Misal; kata nafs dalam alQur’an yang mempunyai banyak makna (kehomonimian), namun makna-makna
tersebut tidak terdapat di dalam kamus-kamus Arab. Pemahaman terhadap
kehomonimian dapat menghindari ketaksaan dalam ujaran atau kalimat yang
disampaikan.
Penulis menemukan bahwa kata nafs dalam al-Qur’an memiliki makna
yang bervariatif, meskipun pada dasarnya secara harfiah maknanya berbeda
dengan yang tercantum di dalam kamus, untuk itu butuh kehati-hatian bagi para
penerjemah al-Qur’an dalam menerjemahkannya. Dengan memakai pembahasan
homonimi dalam bahasa Arab yang disebut musytarak al-lafzi dan dengan
pendekatan teori lyons yang membagi kehomonimian menjadi dua, yakni
homonimi mutlak dan homonimi sebagian, penulis mengemukakan konsep nafs
dalam al-Qur’an.
Penulis menarik kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan homonimi
nafs dalam kajian al-Qur’an, kita harus melihat konteks ayat sepenuhnya. Dari
kata yang mengirinya dalam ayat tersebut maka dapat disimpulkan makna dari
kata tersebut berhomonim.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semantik berasal dari bahasa Yunani: semantikos yang berarti, tanda atau
memberikan tanda. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna
yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. 1 Semantik
dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dan merupakan satu
dari tiga jenis analisis bahasa: fonologi, gramatika dan semantik. 2 Dalam
menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik
dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat
pemakainya.3 Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan
tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Itu semua karena bahasa
adalah sebuah produk budaya. Jadi makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau
memiliki nuansa makna yang berlainan.
Teks adalah objek utama dalam kajian semantik. Ketika kita berhadapan
dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan
pembaca. Suatu teks tidak ada artinya, jika tidak ada penulis sebagai pengirim
makna (sender) dan pembaca sebagai penerima makna (receiver) dari sang
1
2
www.id.wikipedia.org/semantik. Data diakses pada tanggal 19 Februari 2010.
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet ke-
2, h. 2.
3
Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr,
al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud
Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 5
1
penulis. Di samping itu juga, sebagai penerima makna, “pembaca juga memberi
makna kedua” bagi teks. Di dalam posisi ini, pembaca diartikan sebagai penafsir
makna.4
Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi.
Homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan
tetapi maknanya berbeda. Secara semantic, Verhaar (1978) memberi definisi
homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya
sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi
maknanya tidak sama.5
Homonimi adalah relasi
makna antar kata yang ditulis sama, tetapi
maknanya berbeda. Menurut Moeliono, homo sedikitnya mempunyai dua makna.
Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri)
yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia
muncul sebagai dua lema:
Ta.hu v mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami)
Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus.
Homonin dalam bahasa Arab pun banyak sekali dapat ditemukan. Berikut
salah satu contoh homonim dalam bahasa Arab:
4
Yustian Yusa, Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis Hermeneutik
Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran , (Skripsi S1 Fakultas Adab dan
Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009), h. 2.
5
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) h. 93
2
Kata daraba (‫ )ب‬mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat;
(4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9)
mengetuk. Semua kata daraba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya
dilafalkan dan berbentuk sama.
Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an. 6 Sebagai
teks, al-Qur’an telah termasuk dalam kajian semantik. Al-Qur’an sebagai kitab
suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat berbahasa Arab yang
sastrawi dan indah, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup kaum muslimin.
Agar menjadi pegangan hidup maka kaum muslimin perlu menafsirkan al-Qur’an
agar senantiasa aplikatif di dalam kehidupan.
Dalam kajian studi al-Quran, persoalan terjemahan al-Quran merupakan
salah satu yang dipersoalkan di kalangan ulama. Mereka pada umumnya
menganggap terjemahan al-Quran tanpa menyertakan teks Arab (ayat) sebagai
sesuatu yang dilarang. Sehingga, andai kata al-Quran harus diterjemahkan, teks
aslinya harus disertakan agar makna sesungguhnya yang diinginkan ayat tidak
tereduksi atau tidak menimbulkan pengertian yang justru berlawanan dengan
maksud al-Quran. Oleh sebab itu, dapat dipahami jika dalam penulisan karya
ilmiah ada pedoman bahwa jika seseorang ingin memaknai sebuah kata-kata
tertentu yang padanannya dalam bahasa lain tidak ditemukan atau ditemukan,
6
Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas
bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia.
Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak
terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan
Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra,
1990) h. 30
3
namun mempunyai kemungkinan banyak arti harus menyertakan teks aslinya agar
pembaca bisa memahami konteks yang diinginkan. Atau, dalam rangka
mengarahkan bahwa maksud yang diinginkan dari teks Arab atau lainnya adalah
makna yang diungkapkan penulis. Hal itu dianggap penting agar pembaca tidak
menimbulkan persepsi lain selain yang diinginkan penulis.
Salah satu bentuk variasi makna terjemahan yang terdapat dalam alQur’an yaitu kata nafs’. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya
nufûs dan anfus) berarti rûh (roh) dan ‘ain (diri sendiri). 7 Sedangkan dalam kamus
al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufûs) itu berarti
roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-syakhsu (orang), al-syakhsu
al-insân (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri) 8 . Sedangkan menurut
Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an
nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri
(self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga
dipakai untuk beberapa arti lainnya. 9 Dawan Raharjo menyimpulkan dalam
Ensiklopedi al-Qur’an, kata nafs’ lebih identik dengan jiwa (soul). Pengertian
tentang ”jiwa” dalam kata nafs memang cukup tampak didalam al-Qur’an dan
ternyata dalam sejarah kebudayaan, makna kata itu tertangkap oleh pembacanya
dan dikembangkan lebih lanjut dalam tasawuf. Dalam al-Qur’an Q.S. alAnbiya(21) ayat 53 dan diulang dalam al-Qur’an Q.S. al-’Ankabût(29) ayat 57
7
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), 826.
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), 1545.
9
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), 250
8
4
disebut bahwa: ”Tiap-tiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian”. Kata ”kullu
nafs” dalam kedua ayat itu dapat pula diterjemahkan dengan ”tiap-tiap yang
berjiwa”. Pada terjemahan itu, seorang dilihat esensinya pada jiwanya, sedangkan
pada ayat yang kedua, jiwa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan terdapat
pada sesuatu yang tak lain pada wadah atau badannya.
Jamridafrizal, S.Ag.,M.HUM dalam tesis Nafs (jiwa) menurut konsep alQur’an, menjelaskan sisi dalam nafs. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari
kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa
menempatkan dirinya menjadi subyek dan obyek sekaligus. Nafs juga sebagai
penggerak tingkah laku seperti berbuat baik ataupun yang buruk.
Kata nafs juga menjadi bahan perbincangan para sufi, terutama dalam
kajian tasawwuf. Sebagaimana terminologi kaum sufi (ahli tasawuf), yang oleh
Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa, ”Nafs dalam pengertian kaum
sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk”. Al-Ghazali
pun menyatakan dalam hadist yang berbunyi ‫ﺃَﻋﺩﻯ ﻋﺩﻭﻙ ﻨﻔﺴﻙ ﺍﻝﺘﻰ ﺒﻴﻥ ﺠﻨﺒﻴﻙ‬
yang artinya “musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua
sisimu”.
10
Sama halnya yang terdapat dalam Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk
berbuat kurang baik, padahal dalam alQur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif.
10
Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (tt; Kitab al-Syu’ab, tth), Vol.II, h.1345
5
Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis dan mengklasifikasikan
homonimi terhadap terjemahan kata nafs dalam al-Qur’an, berdasarkan fitur dan
perilaku semantis dalam pemakaian bahasa tulis.
Sebagaimana contoh nafs yang diartikan ”jiwa” atau ”diri”, sebenarnya kedua
istilah tersebut hanyalah soal pilihan kata terjemahan. Dalam al-Qur’an Q.S. alHasyr(59) ayat 9, umpamanya dijumpai kalimat: ”Dan barang siapa
diselamatkan dari kekikiran jiwanya, mereka adalah orang yang beruntung”.
Disini kata ”jiwa” dapat diganti dengan ”diri”. Pokoknya nafs menunjuk kepada
orang. Namun, jika seorang penterjemah memilih kata ”jiwa”, maka ia tentu
mempunyai maksud tertentu. Misalnya, penterjemah melihat bahwa esensi
manusia adalah jiwanya. Jika seseorang itu kikir, maka yang memiliki predikat
kikir adalah jiwanya.11
Atas dasar inilah penulis tertarik dengan karya-karya terjemahan al Qur’an,
terutama yang berkaitan dengan kata nafs dalam al-Qur’an. Dengan memakai
pendekatan teori Lyons, 12 penelitian ini mengacu kepada klasifikasi homonimi
bahasa Arab yang terdiri atas: (i) homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii)
homonimi sebagian (partial homonymy). Dalam pembahasan kali ini Penulis
mengangkat seorang profil ulama Indonesia yang sudah diakui karya-karya
terjemahannya, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal
dengan sebutan HAMKA sebagai objek penelitian. Dari sekian banyak bentuk
11
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 254
12
John Lyon, Linguistic Semantics, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Cet.
Ke-2, h. 55-57
6
dan makna kata nafs, penulis hanya membatasi penulisan ini dengan
menggunakan teori Achmad Mubarok dengan metode temantiknya, menyebutkan
8 makna nafs dalam al-Quran.
Dengan dilatarbelakangi variasi makna tersebut, penulis mengambil
skripsi yang berjudul ”ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS’ DALAM ALQUR’AN TERJEMAHAN HAMKA”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Setelah memaparkan latar belakang masalah, penulis hanya membatasi
penulisan hanya pada kata nafs dalam Al-quran terjemahan HAMKA.
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1. Apakah terjemahan
kata nafs dalam
Al-quran terjemahan HAMKA
sudah tepat?
2. Bagaimana kehomonimian kata nafs karya Hamka dalam penerjemahan
al-Qur’annya?
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui ketepatan terjemahan kata nafs dalam Al-Qur’an terjemahan
HAMKA.
2. Mengetahui faktor kehomonimian terhadap kata nafs karya Hamka dalam
penerjemahan al-Qur’annya .
7
Adapun manfaatnya adalah :
1. Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari bahasa Arab
terutama penerjemahan dan dapat memberikan informasi tambahan
pengetahuan tentang variasi makna.
2. Untuk para peneliti lainnya agar dapat memberikan sumbangan dalam
mengadakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan semantik
yang berkaitan dengan variasi makna.
D. Tinjauan Pustaka
Pada skripsi ini, penulis menggunakan terjemahan al-Qur’an terhadap kata
nafs yang diterjemahkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
sebagai objek utama dalam penelitian ini. Adapun judul skripsi ini terinspirasi
dari penelitian oleh Jamridafrizal, S.Ag.,M.HUM yang mengangkat analisa Nafs
menurut konsep al-Qur’an. Sedangkan analisis Homonimi kata nafs dalam alQur’an terjemahan HAMKA hanya pada skripsi ini. Dalam penelitian
Jamridafrizal tersebut, penulis menemukan adanya variasi makna yang terdapat
pada kata nafs. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian
tersebut sebagai pustaka utama, yang kemudian membandingkan dengan
terjemahan HAMKA dalam terjemahan al-Qur’annya.
Untuk melengkapi pembahasan ini, penulis menggunakan buku-buku,
artikel-artikel ataupun referensi lain yang dapat dijadikan acuan yang terkait
dengan analisis yang Penulis teliti.
8
E. Metode Penelitian
Pada penelitian ini, Sumber data yang diperoleh adalah melalui sumber
literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian yang
digunakan adalah metode deskriptif analitis yaitu dengan cara mengumpulkan
data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh HAMKA sebagai bahan primer,
seperti yang diutarakan Sutrisno Hadi: “Penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian dimana peneliti hanya mengumpulkan data, menganalisa data, dan
kemudian menyimpulkan tanpa menarik kesimpulan yang berlaku secara
umum.” 13 Analitis yaitu penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan
penelahaan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh
pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan untuk bahan
sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literature yang relevan
dengan pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari
buku-buku lain yang berkaitan.
Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif
Hidayatullah dan diterbitkan oleh UIN Jakarta press 2002.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, yaitu :
13
Sutrisno Hadi, Bimbingan Menulis Skripsi, Thesis dan Disertasi, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1984), h. 3
9
Bab I
Pendahuluan : terdiri dari 6 Sub Bab, yaitu : Pertama, Latar
Belakang Masalah, Kedua, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Ketiga, Tujuan
dan Manfaat Penelitian, Keempat, Tinjauan Pustaka, Kelima, Metodologi
Penelitian, dan Keenam, Sistematika Penulisan.
Bab II
Kerangka Teori : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama,
Gambaran Mengenai Penerjemahan al-Qur’an; Pengertian, Macam-macam dan
Syarat-syarat
Terjemahan al-Qur’an. Kedua,
Homonimi Secara Umum;
Pengertian, Konsep, Homonimi dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Ketiga,
Gambaran umum tentang Nafs
Bab III Sekilas Biografi Hamka : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama,
Riwayat Hidup Hamka. Kedua, Pendidikan dan Karir Hamka. Ketiga, Karyakarya Hamka.
Bab IV Analisis variasi makna kata nafs dalam Al-Qur’an terjemahan
Hamka : terdiri dari 2 sub bab, yaitu: Pertama, analisis homonimi mutlak, yang
terdapat 2 bagian, yaitu: kelas nomina dan kelas partikel. Kedua, analisis
homonimi sebagian berdasarkan perbedaan derivasi.
Bab V Penutup : terdiri dari 2 Sub Bab : Pertama, Kesimpulan. Dan
Kedua, Saran.
10
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Konsep Umum Penerjemahan al-Qur’an
1. Pengertian Terjemah Al-Qur’an
Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu
pembicaraan
dari
satu
bahasa
ke
bahasa
lain,
atau
singkatnya
mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan, berarti salinan bahasa, atau alih
bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.14 Secara etimologis kata ”‫ ”ﺘﺭﺠﻤﺔ‬atau
translation berarti menerangkan atau menjelaskan, seperti dalam ungkapan
tarjamtu al-kalam maksudnya bayyantuhu wa waddahtuhu “menerangkan
suatu pembicaraan dan menjelaskan maksudnya. 15 Maka, menafsirkan atau
menjelaskan al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa selain bahasa Arab,
termasuk menerjemahkan al-Qur’an. Dalam hubungan ini, Ibnu Katsir dan alBaghawi menyatakan: kata terjemah itu dalam tuturan bahasa Arab digunakan
secara mutlak dengan arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa
maupun dalam bahasa yang berbeda.16 Berdasarkan penjelasan tersebut maka
dapat disimpulkan kata tarjamah bermakna penjelasan dan kata terjemah
dapat diperluas untuk setiap ungkapan yang membutuhkan penjelasan.
14
Tim PrimaPena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), (Jakarta: Gita Media
Press), h. 754
15
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1): bersumber dari kitab at-tafsiru
wal mufassirûn karya Dr.Moch.Husein az-Zahabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h. 129.
16
M. Ali Hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 170.
11
2. Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an
Munculnya persoalan-persoalan baru seiring
dengan dinamika
masyarakat yang progresif mendorong umat Islam untuk mencurahkan
perhatian yang besar dalam menjawab problematika kontemporer yang
semakin kompleks dari masa ke masa. 17 Untuk itu Penulis akan menjelaskan
beberapa model dalam penerjemahan al-Qur’an sebagai berikut:
a. Terjemahan secara harfiyah (lafziyah) yaitu menerjemahkan al-Qur’an ke
dalam bahasa sasaran di mana kalimat dan susunan kata disesuaikan
dengan bahasa aslinya. Contoh, kalimat bismillah diartikan dengan
“dengan menyebut nama Allah” yang secara harfiyah adalah dua kata
yang diterjemahkan ke dalam bahasa pemakai yang sudah beredar di
masyarakat contohnya adalah terjemahan al-Qur’an Depag RI dari tiap
edisi.
Dalam terjemahan harfiyah selain beberapa pemahaman di atas ada
dua hal yang harus diikuti jika menerjemahkan al-Qur’an.
•
Adanya kosakata-kosakata yang sempurna dalam bahasa terjemah
sama dengan kosakata-kosakata bahasa asli.
•
Harus adanya penyesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan
kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu frasa dengan
frasa yang lain untuk menyusun kalimat.
17
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h.
132
12
b. Terjemahan tafsiriyah (ma’nawiyah) yaitu menerjemahkan dari ayat-ayat
al-Qur’an di mana si penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti alQur’an yang diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh
kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa dalam bahasa asli. Model
terjemahan tafsiriyah seperti ini juga sudah banyak beredar di
masyarakat.18
3. Syarat-Syarat Terjemah Al-Qur’an
Penerjemahan al-Qur’an adalah mengalihkan pesan al-Qur’an, ke
bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan
tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab
sehingga dapat dimengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan
terjemahan.
Seorang penerjemah al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat berikut:
•
Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung
jawab keislamannya dapat dipercaya.
•
Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya,
seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an.
•
Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia
harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik.
18
M. Ali Hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,
1988), h. 181
13
•
Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan
memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada
hakikatnya adalah seorang mufasir.
Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy ada beberapa ilmu yang
harus dimengerti dan dikuasai oleh seorang mufassir sebagai berikut:
•
Lughah Arabiyah: dengan ilmu ini seorang muafassir akan
mengetahui syarah kata tunggal.
•
Undang-undang bahasa Arab: aturan-aturan yang terdapat
dalam bahasa Arab atau jelasnya mengerti ilmu sharaf dan
nahwu.
•
Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’: dari ketiga ilmu ini seorang
mufassir akan mengerti susunan pembicaraan dan penjelasan
dari setiap kalimat dan memahami letak keindahan bahasa alQur’an.
•
Mengetahui asababun nuzul dan nasakh serta mengerti antara
mubham dan mujmal.
•
Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk
suruhan, petunjuk larangan. Ini diambil dari ilmu ushul fiqh.
•
Ilmu Kalam
•
Ilmu Qira’at.19
19
T. M. Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan
Bintang 1980), h. 207
14
Pada saat melakukan kerja penerjemahan al-Qur’an, seseorang harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
•
Dalam menerjemahkan seorang penerjemah harus berpedoman
pada syarat-syarat penafsiran rasional (‫)ﺍﻝﺘﻔﺴﻴﺭﺍﻝﻌﻘﻠﻲ‬.
•
Penerjemah harus memperhatikan ketepatan terjemah dengan
melihat tingkat penerjemah sebagai berikut: (1) terjemah kata
per kata dengan melihat padanannya; (2) terjemah makna dan
penjelasannya dengan menggambarkan makna tersebut dan
memberi beberapa penjelas tambahan atas makna kata; (3)
menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan dan
berusaha menjelaskan dengan dalil.
•
Dalam menerjemahkan haruslah terkonsentrasi pada redaksi
(‫ )ﺍﻷﻝﻔﺎﻅ‬dan makna al-Qur’an, bukan pada bentuk susunan alQur’an, karena sistem susunan tersebut merupakan mukjizat
yang tak terjemahkan.
•
Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode
terjemah yang benar dengan kriteria: (1) gaya penerjemahan
dengan bahasa yang mudah dicerna, dan sesuai dengan
kemampuan umum pembaca; (2) hati-hati dalam mencarikan
padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada dalam alQur’an; (3) menuliskan makna ayat dengan sempurna; (4)
memohon bantuan pada ahli Bsa untuk mendapatkan koreksi.
15
•
Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan.
•
Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan
bahwa terjemah
al-Qur’an tersebut bukanlah al-Qur’an,
melainkan tafsir al-Qur’an.
Selain strategi di atas, ada teknik umum yang harus pula diketahui
seorang yang hendak menerjemahkan al-Qur’an, seperti berikut:
•
Penerjemahan ayat sebaiknya ditulis miring.
•
Penerjemahan informasi
ayat dituliskan
sesuai
dengan
kelaziman yang dipakai, seperti (QS Al-Baqarah [2]: 33).
Namun demikian, penulisan ini bisa disesuaikan dengan gaya
selingkung yang berlaku.
•
Penerjemahan ayat sebaiknya diapit oleh tanda petik ganda.
•
Penerjemahan harus mengacu pada penerjemahan lain yang
telah
disepakati
keakuratannya
oleh
banyak
kalangan,
meskipun tetap dibenarkan melakukan penyuntingan bahasa,
bukan isi terjemahan.
•
Penerjemahan al-Qur’an di dalam teks lain, biasanya didahului
dengan klausa Allah Swt. berfirman. Ini bukan merupakan
keharusan. Penerjemah bisa memodifikasinya. 20
20
www.kampusislam.com, ditulis oleh: Moch. Syarif Hidyatullah. Diakses pada tanggal 19
februari 2010
16
B. Homonimi
1. Pengertian Hominimi
Homonimi berasal dari bahasa yunani kuno, onoma yang artinya
‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat
diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik,
verhaar memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase
atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.21
Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti
‘kekasih’, antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti
’sanggup, dapat’. Contoh lain, antara kata baku yang berarti ’standar’ dengan
baku yang berarti ’saling’, atau antara kata Bandar yang berarti ’pelabuhan’
dengan Bandar yang berarti ’parit’ dan Bandar yang berarti ’pemegang uang
dalam perjudian’.
Hubungan antara kata pacar dengan arti ’inai’ dan kata pacar dengan
arti ’kekasih’ inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama
berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena
hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi
contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa
Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata.
21
Verhaar, J. W. M, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1996), h. 124
17
Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa
yang berarti ’sanggup’, maka kata bisa yang berarti ’sanggup’ juga homonim
dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa
terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab
terjadinya homonimi.
Pertama, bentuk-bentuk homonimi itu berasal dari bahasa atau dialek
yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti ’racun ular’ berasal dari
bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti ’sanggup’ berasal dari bahasa
jawa. Contoh lain kata bang yang berarti ’adzan’ berasal dari bahasa jawa,
sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti ’kakak laki-laki
berasal’ dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti ’pangkal
permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti
’kalau’ berasal dari dialek Jakarta.
Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses
morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ’ibu sedang mengukur
kelapa di dapur’ adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat
’petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami’. Jelas, kata mengukur
yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata
kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua
terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me +
ukur = mengukur).
18
Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat
dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat:
ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’ berhomonimi dengan –
nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya
adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua
menyatakan sebuah buku tertentu.
Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun
ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup atau dapat’ seperti sudah disebutkan
di muka.
Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti
’perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang
berarti ’cinta kepada anak dari seornag ibu’. Contoh lain, orang tua yang
berarti ’ayah ibu’ dan frase orang tua yang berarti ’orang yang sudah tua’.
Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti ’lukisan milik yusuf’ dan lukisan
yusuf yang berarti ’lukisan hasil karya yusuf’, serta lukisan yusuf yang berarti
’lukisan wajah yusuf’.
Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu
cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik,
19
dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah
lagi dengan seorang wanita yang cantik.22
2. Konsep Homonimi
Para ahli bahasa sepakat bahwa konsep homonimi merupakan bagian
dari ketaksaan (ambiguity) yang secara definitif diartikan sebagai hubungan
pertalian dari dua atau lebih leksem-leksem yang berbeda, dan kebetulan
mempunyai bentuk sama. Rasional dikemukakannya teori homonimi adalah
kenyataan bahwa kosakata, yang di dalam kamus merupakan lema-lema,
dapat mempunyai implikasi sama bentuk lain makna.
Lyons (Linguistic Semantics, Cet. Ke-2: 1996) membagi homonimi ke
dalam dua kelas besar, yakni: Homonimi mutlak (absolute homonymy), dan
Homonimi sebagian (partikal homonymy).
Homonimi mutlak mempunyai ciri formal sebagai berikut: (i) makna
masing-masing leksem anggota homonimi tidak berhubungan; (ii) semua
leksem yang homonim dapat teridentifikasi; (iii) bentuk leksem yang identik
itu secara gramatikal equivalen. Homonimi mutlak, misalnya bank1 ’lembaga
keuangan’ dan bank2 ’tepi sungai’, bisa1 ’racun ular’ dan bisa2
’dapat
melakukan’.
Hasil analisis mutlak ini akan dipilah berdasarkan 3 (tiga) kategori
kelas kata (kategori primer) yang berlaku dalam tradisi linguistik arab, yakni
(1) nomina (al-ism), (2) verba (al-fi’il), dan (3) partikel (al-harf). Kelas
22
Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,1994) h. 93-96
20
nomina (al-ism) mencakup subkelas: adjektiva (al-sifat), partisip aktif (isim
fâil), partisip pasif (isim maf’ul), infinitif (masdar), dan pronomina persona.
Kelas verba (al-fi’il) mencakup verba perfektif (fi’il mâdi), verba imperfektif
(fi’il mudâri), dan verba imperatif (fi’il amr). Kelas partikel (al-haf)
mencakup preposisi (harf jarr), adverbia lokatif (zaraf makân), adverbia
waktu (zaraf zamân), interjeksi (munadâ’), partikel negasi (huruf manfi),
konjungsi (al-atf), interogativa (huruf istifhâm), dan fatis (al-isti’nâf).
Homonimi sebagian apabila ditemukan identitas (i), atau (i) dan (ii)
dari klasifikasi homonimi mutlak, tetapi tidak ditemukan identitas (iii).
Misalnya, verba find ’menemukan’ dan found ’mendirikan’ sama-sama
memiliki bentuk found; dan found sebagai bentuk dari find ’menemukan’
secara gramatikal tidak equivalen dengan bentuk found sebagai bentuk dari
found ’mendirikan’. Termasuk juga ke dalam homonimi sebagian apabila
leksem homonimis itu tidak berasal dari lingkungan gramatikal yang sama,
seperti adjektifa last1 dalam last week ’minggu yang lalu’ dan verba last2
dalam Bricks last a long time ’Bricks tahan lama’. 23
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa leksem-leksem itu homonimi
mutlak apabila memenuhi syarat dan bentuknya sama, baik dalam medium
fonik atau grafik. Homonimi sebagian cenderung mengakibatkan ketaksaan
dalam konteks tertentu, sehingga dapat dijelaskan dengan tata bahasa yang
23
Afdol Tarhik Wastono, Kajian Semantis Makna Homonimi Bahasa Arab (Jakarta: FIB-UI,
2000)
21
menurunkannya. Apabila homonimi sebagian mengakibatkan ketaksaan dalam
kalimat, maka itu merupakan kataksaan leksikal dan gramatikal.
3. Homonim dalam Bahasa Arab
Homonimi (Al-Musytarak Al-Lafzi) dalam bahasa Arab sama dengan
polisemi dalam bahasa Indonesia, yaitu kata atau frasa yang memiliki makna
lebih dari satu, atau memiliki makna yang berbeda-beda.
Pengertian homonimi Musytarak Lafzi di dalam buku ’Inda al-Arab
dibagi menjadi dua bagian yaitu polisemi dan homonimi, sedangkan di dalam
buku Ilmu ad-Dilalah, musytarak Lafzi banyak dipelajari di dalam al-Qur’an,
hadist nabi dan di dalam bahasa Arab. Menurut salah satu ahli bahasa,
musytarak Lafzi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu,
pengertian ini sama dengan definisi polisemi dalam bahasa Indonesia. 24
Berbeda pengertian musytarak Lafzi di dalam kitab Mulakhas
Qowâidul al-Lughah al-Arabiyah bahwa homonimi adalah lawan kata dari
sinonim. Homonimi adalah setiap kata yang memiliki beberapa makna, baik
makna yang sebenarnya atau makna kiasan. Para ahli bahasa berbeda
pendapat tentang definisi musytarak Lafzi tersebut, ada yang menolaknya dan
ada juga yang mengakui keberadaannya, dengan menunjukkan berbagai fakta
yang ada dan tidak dapat diragukan lagi.
Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya homonim
musytarak Lafzi di antaranya:
24
Ahmad Mukhtar ‘Umar, Ilmu Dilalah (Kuwait: Jamiaatul Kuwait, 1982), Cet.1, h.147
22
a.
Perbedaan dialek-dialek
Arab klasik,
maka adanya homonim
menampakkan implikasi dari perbedaan penggunaan kata dari berbagai
suku.
b.
Bergesernya beberapa kata dari makna yang asli pada makna kiasan,
dengan adanya hubungan tertentu, seringnya kata-kata itu digunakan,
sehingga kata kiasan menjadi sekuat kata yang sebenarnya.
c.
Adanya dua kata yang hampir sama, sighatnya juga sama. Dari situ
muncullah beraneka ragam makna.
Pengaruh bahasa (kata) asing ke dalam bahasa Indonesia ternyata
mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Homonin dalam bahasa Arab
banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:
a. Kata daraba (‫ ) ب‬mempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3)
memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8)
menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai
sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
b. Kata tawallâ ( ) mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian;
(3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6)
memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini
semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
c. Kata rusyd (
‫ ) ر‬mempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4)
rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya
dilafalkan dan berbentuk sama.
23
d. Kata qabadha ( ) mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan;
(3) mengerutkan: (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan;
(7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini
semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.
e. Tahlil n Puji-pujian kepada tuhan dengan menyebut la ila ha illallah.
Tahlil n Pengesahan perkawinan antara suami istri yang telah bercerai
tiga kali dengan perantaraan muhalil.
f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan
gigi), Sirat n Jembatan.
4. Homonimi dalam Bahasa Indonesia
Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara
kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini
agak berbeda dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang menyebut
homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun
maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya,
definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan
definisi hominimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf.
Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan
bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan. 25
Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia:
Rapat (berdempet-dempetan) dengan kata Rapat (meeting)
Beruang (hewan) dengan kata Beruang (punya uang)
25
http//google.com diakses selasa, 15 juni 2010
24
Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular)
Pacar (inai) dengan kata Pacar (kekasih)
Bandar (pelabuhan), Bandar (parit), Bandar (pemegang uang dalam perjudian)
C. Sekilas Tentang Nafs’
Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai
dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jamaknya nufus
dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).26 Sedangkan dalam kamus alMunawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh
dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), as-syakhs (orang), as-syahks alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri).27 Sedangkan menurut Dawan
Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs
yang jamaknya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self
atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga dipakai
untuk beberapa arti lainnya.28
Dalam pembahasan ini yang dimaksud nafs adalah makhluk ciptaan
Allah 29 yang termasuk makhluk hidup, dan karena itu nafs juga dimatikan
(QS:21;35), ciri khusus nafs adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan dan
keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi, dan dari unsur tanah dan air
26
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), h.826.
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1984), h.1545.
28
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep
kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h.250.
29
Sebab ada kata nafs dalam al-Qur’an yang digunakan juga untuk menunjuk kepada diri
Tuhan, yaitu dalam surat al-An’am (6) ayat 12.
27
25
(QS:6;2). Nafs sebagai makhluk Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah
(QS:7;189). Para mufassir umumnya menafsirkan nafs wahidah itu identik
dengan Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu berasal dari
Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu Hawa’ darinya, kemudian Allah
membuat keturunannya sehingga terbesar semua manusia lakilaki perempuan
sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya sehingga hari kiamat nanti.
Ayat pertama turun yang mengandung kata nafs dalam bentuk jama’nya
nufus terdapat pada surat al-Muzammil (73) ayat 20 surat paling awal ke tiga
sesudah al-‘Alaq dan al-Qalam, yang menjelaskan sesuatu perbuatan manusia
yang efeknya hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa apapun yang
dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa perbuatan baik dan buruk akan ditemui
balasannya di hari kiamat 30. Ayat kedua yang turun bersama dengan kata nafs
terdapat pada surat al-Mudatsir (74) ayat 38, yang menjelaskan bahwa setiap jiwa
itu tergadai dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya, maka jiwa itulah
sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat31.
Nafs di sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan
seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa orang tersebut.
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa
Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat
pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu
30
Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz VIII, (Cairo: Musthafa al-Babi alHalabi, 1974), h.267.
31
Lihat al-Maraghi, Juz VIII, h.269.
26
sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk 32. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap
manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika
seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk
bertindak dan memuaskan batinya. Nafsu ini disebut juga nafsu syahwat(libido).
Tetapi bernafsu tidak hanya identik dengan seks, bernafsu bisa digunakan untuk
sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa syahwat adalah
merupakan anugerah dari Tuhan (QS:31;14).
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki
kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada
manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga
mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.33
Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua kata yang sama-sama diartikan
nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa berarti hasrat (desire), hawa nafsu (lust).
Kata hawa atau ahwa disebut 17 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata
hawa bermakna kosong, jauh, sedangkan dari sudut leksiologis kata tersebut
bermakna kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati
kepada kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada
32
Hal ini sangat dipengaruhi oleh teorinya Sigmund Freud, yang mengatakan bahwa nafsu
(libido) adalah energi psikis yang mengendalikan manusia.
33
Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam
dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), 180.
27
syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia
ini ke dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka.34
Dalam al-Qur’an dibedakan antara ruh dan nafs, pada kedua kata itu
bukanlah sinonim. Kata ruh disebutkan sebanyak 21 kali, antara lain menunjuk
arti pembawa wahyu (QS:26;192-195), dan ruh yang membuat hidup manusia
(QS:15;126). Sedangkan kata nafs dalam al-Qur’an semua memiliki pengertian
dzat secara umum terdiri dari dua unsur material dan immatrial, yang akan mati
dan terbunuh (QS: 32;9). Dengan kemutlakan seperti ini, maka kata nafs bukanlah
sinonim dari kata al-ruh.
Fazlur Rahman menjelaskan mengenai nafs dalam al-Qur’an, kata ini
dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan
pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang
dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang dinyatakan oleh alQur’an dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah secara eklusif dari
raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak mendukung
doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs
yang sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi,
perasaan, atau aku. Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an
hanyalah dan seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watakwatak, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini
34
Abdul Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), h.117.
28
seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik,
tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.35
Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti alGhazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut al-Ghazali nafsitu
mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang
kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab), dan
dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh hewan dan
manusia.Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus,
suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk
masuk ke dalam surga-Nya (QS:al-Fajr;27-28).36
35
Fazlur Rahman, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia... h.260.
Hanna Djumhana Bastaman, Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.78.
36
29
BAB III
BIOGRAFI HAMKA
A. Riwayat Hidup Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
Panggilan kecilnya ialah Abdul Malik. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari
1908 di Manijuratau lebih tepatnya lahir pada tanggal 13 Muharram 1362, di
sebuah desa tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya
bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji
Rasul. Dia adalah adalah seorang tokoh pelopor gerakan pemuda Minangkabau. 37
Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar
belakang dimana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat
ataupun letak geografisnya. Kalau diperhatikan keberhasilan Hamka sebagai
seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah
“buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah kiranya Hamka dikenal,
Hamka dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat
serta disegani dalam lingkungannya. Kakeknya seorang ulama dan tokoh
masyarakat yang dihormati, begitu juga ayahnya yang juga seorang ulama dan
37
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve,
1993), h.75
30
tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat
dilihat dari aktifitasnya dalam berbagai organisasi yang diikutinya.38
Pada akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 Haji Abdul Karim
Amrullah (ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya yaitu Syekh Taher Jalaluddin,
Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad mempelopori
sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda. Gerakan
ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta organisasi yang
dikelola secara modern.39
Organisasi ini dikatakan organisasi pemuda, karena alasannya adalah
bahwa pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada
usia 40 tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru
30 tahun. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan tarikat di tanah tersebut,
kebanyakan mereka berusia 40-50 tahun dan relatif dibilang para golongan tua.40
Syekh Taher Jalaluddin, meskipun menetap di Singapura dan hanya dua
kali singgah ke tanah Minang, akan tetapi pemikiran beliau sangat berpengaruh
terhadap tokoh-tokoh tanah Minang tersebut, terutama ketiga tokoh angkatan
muda tersebut. Ketiga tokoh kaum muda tersebut adalah teman sekaligus murid
dari syekh Taher Jalaluddin. Pengaruh tersebut disalurkan melalui majalah alImam dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Syekh Taher bersama Raja Ali di
Singapura pada tahun 1908 yang diberi nama Al-Iqbal Al-Islami. Majalah Al38
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve,
1993), h.78
39
M. Yunan Yusuf, Corak penafsiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Perpustakaan IAIN,
1982), h.32
40
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.79
31
Imam berisi tentang artikel-artikel tentang masalah keagamaan dan laporan
peristiwa yang terjadi pada dunia islam. Melalui majalah inilah pemikiranpemikiran Muhammad Abduh disebar luaskan, yang dikutib dari majalah alManar. Dengan semangat yang diberikan oleh Syekh Taher melalui majalah alImam dan dasar intelekstual yang sudah bersentuhan dengan pemikiran Saudi
Arabia dan Mesir, ketiga tokoh tersebut melancarkan serangan-serangan terhadap
kaum adat yang memegang teguh adat dan tradisi yang dipengaruhi kebiasaan
Belanda.41
Syekh Abdul Karim menentang keras Rabithah dan Wasilah dengan
menulis buku Qati’u Razbi al-Mulhidin (pemotong tusukan oarang-orang ilhad).
Buku untuk memperkuat argumen Syekh Ahmad Khatib dalam menjawab Syekh
Sa’ad Munka, tokoh kaum tua. Setelah beberapa tahun majalah al-Imam tidak
terbit, Haji Abdullah Ahmad menerbitkan majalah baru yang diberi nama alMunir, yang memuat berbagai artikel tentang agama, biografi nabi, peristiwaperistiwa luar negeri, serta mengambil berbagai artikel dari al-Manar. Tujuan
majalah al-Munir adalah untuk memajukan putra-putra muslim supaya
mempunyai pengetahuan yang luas dalam masalah islam dan juga pengetahuan
yang memadai.42
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Syekh Abdul Karim Amrullah beserta
kawan-kawannya mendapat tantangan keras dari masyarakat setempat, terutama
dari kaum tua. Mereka dituduh keluar dari Majhab Ahli Sunnah, dan mereka juga
41
42
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.105
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.106
32
dituduh menganut paham Mu’tazilah, Wahabi dan Khawarij, bahkan dikatakan
telah zindiq, sesat dan menyesatkan. Minangkabau saat itu terbagi atas dua bagian,
kaum muda yang dipimpi oleh Syekh Abdul Kasim Amrullah dan kawankawannya sementara kaum tua yang dipimpin oleh Syekh Sa’ad Munka.
Puncaknya perselisihan ini terjadi pada tahun 1918.
Ditengah potret latar belakang seperti itulah seorang Hamka dilahirkan,
dari salah satu dari ketiga tokoh pemuda tersebut. Yaitu Syekh Rasul (Syekh
Abdul Kasim Amrullah), yang berharap agar anaknya kelak mengikuti jejak
ayahnya sebagai tokoh yang revolusioner dalam merubah kebekuan tradisi yang
menghambat kemajuan umat dan bangsa.43
B. Pendidikan dan Karir Hamka
Hamka atau pada waktu kecilnya dengan sebutan Abdul Malik memulai
pendidikannya dengan membaca al-Qur’an dirumah orang tuanya, dan gurunya
adalah ayahnya sendiri. Baru pada usia tujuh tahun, Hamka disekolahkan di
sekolah yang ada di desa dimana Hamka tinggal. Mereka pindah dari Maninjau ke
Padang Panjang pada tahun 1914.44
Pada tahun 1916 ketika Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan sekolah
diniyah petang hari, di Padang Panjang (pasar usang), Hamka dimasukkan ke
43
44
Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.107
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.48
33
sekolah tersebut. Sore hari aktifitas Hamka di sekolah, sementara malam harinya
beliau di surau belajar mengaji bersama teman-teman sebayanya.45
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan Hamka setiap hari. Keadaan yang
demikian membuat Hamka merasa jenuh, ditambah lagi sikap ayahnya yang keras
dan otoriter, membuat Hamka merasa terkekang dan kehilangan kebebasan di
masa kanak-kanaknya, sehingga sikap yang menyimpang dari Hamka adalah ia
dikenal sebagai anak yang nakal.46
Pada tahun 1928 saat ayahnya kembali dari perlawatan pertamanya ke
tanah jawa, suarau jembatan besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah
memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, yang kemudian diubah
menjadi sebuah madrasah yang dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan
harapan dari sekolah ini agar anaknya kelak menjadi ulama’ seperti dia juga.
Setelah selesai dari sekolah desa, Hamka di masukkan ke sekolah Thawalib
School tersebut.
Namun sistem belajar klasikal Thawalib School yang masih menggunakan
kurikulum dan materi pelajaran lama, membuat Hamka cepat bosan. Keadaan
seperti itu membuat Hamka lebih senang berada di dalam perpustakaan untuk
membaca buku-buku cerita dan sejarah. Imajinasinya sebagai anak-anak mulai
muncul, walaupun sesekali mendapat hambatan dari ayahnya yang lebih
menginginkan Hamka menjadi seorang alim.47
45
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.49
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.50
47
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.50-51
46
34
Pada tahun 1924 Hamka merantau ke tanah jawa, Yogyakarta adalah
tempat pertama dia merantau. Di tempat ini, Hamka menemukan semangat baru
dalam mempelajari islam. Lewat pamannya yang bernama
Ja’far Amrullah,
Hamka mengikuti kursus yang diadakan oleh Muhammadiyah dan Sarikat Islam. 48
Pada kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Agus Hadikusuma, dari
pertemuan ini Hamka mendapat pelajaran tentang tafsir Al-Qur’an. Ia juga
bertemu dengan HOS Cokrominoto. Dan sering mendengarkan ceramahnya
tentang islam dan sosialisme. Disamping itu, ia juga sering bertukar pikiran
dengan tokoh penting lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Samsul Rijal (tokoh
jong islamited bond).
Keberadaan Hamka di tanah jawa yang menumbuhkan semangat baru dan
kesadaran dalam melihat islam. Hal ini membuat ia membandingkan dengan
tanah kelahirannya, sebagaimana disinggung oleh para ahli islam, islam di
minangkabau lebih banyak berhadapan dengan adat praktek ninang yang
dipandang berbau Jahiliyah. Sebaliknya citra pembaharuan Islam di jawa
kelihatannya lebih berorentasi
kepada upaya memerangi
keterbelakangan,
kebodohan dan kemiskinan serta kristenisasi yang dapat sokongan dari kolonial. 49
Setelah beberapa lama di tanah jawa, Hamka pun kembali ke
Minangkabau dalam usia tujuh belas tahun. Hamka telah tumbuh menjadi
pemimpin ditengah-tengah lingkungannya. Ia sering berpidato ditengah-tengah
masyarakat Minangkabau yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. Ia juga
48
49
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.52
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.52-54
35
membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di suarau jembatan besi.
Kemudian hasil pidato teman-temannya dia kumpulkan dan terbitkan dalam
majalah yang diberi nama Khatibul Ummah.50
Pada bulan Februari Hamka berangkat ke Makkah. Semangat pergerakan
yang tertanam sejak tinggal di tanah jawa, tidak membuat Hamka tinggal diam di
tanah suci. Menjelang ibadah Haji berlangsung, Hamka bersama beberapa jamaah
haji lainnya mendirikan organisasi persatuan Hindia Timur yang bertujuan untuk
memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji kepada calon jamaah haji
asal Indonesia.
Sepulangnya dari Tanah Suci, Hamka telah menjadi seorang yang
menggantikan ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah sebagai ulama yang
menjadi panutan masyarakat Minangkabau. Semangat pergerakan tetap tertanam
dalam jiwanya, karena itulah beberapa waktu setelah itu ia aktif sebagai pengurus
Muhammadiyah cabang Padang Panjang, bahkan ia diserahi untuk memimpin
sekolah yang diberi nama Tabligh School.51
Demikianlah
Hamka
dalam
menempuh
hidupnya
dengan
pasti.
Pengukuhan diri sebagai seorang tokoh dan pengajar islam telah ia guratkan
dengan yakin dalam jiwanya.
Setiap muktamar Muhammadiyah berlangsung Hamka selalu tampil
sebagai pembicara atau pemberi ceramah. 52 Atas kepercayaan pimpinan pusat
Muhammadiyah, Hamka diutus untuk menjadi Muballiqh di Makasar. Pada tahun
50
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), jilid. 1, h.63.
M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h.63
52
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.64
51
36
1933, ia menghadiri muktamar Muhammadiyah semarang, dan setahun kemudian
dia diangkat menjadi anggota majlis konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah.53
Sekembalinya dari Makasar Hamka mendirikan Kullyatul Mabilghien di
Padang Panjang. Kemudian pada tahun 1936 di kota Medan, Hamka bersama
M.Yunan Nasution menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat, majalah yang
menurut Yunan Nasution memberikan andil besar bagi kepengarangan dan
kepujanggaan Hamka di masa depan.
Ketika Jepang mendarat di kota Medan pada tahun 1924, segala bentuk
perkumpulan dan perserikatan dilarang. Hampir semua masyarakat kecewa
dengan keadaan ini, namun Hamka ditempatkan sebagai ”anak emas”
oleh
Jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka
diangkat sebagai anggota Syusang Kai, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat pada
tahun 1944.54
Pada tahun 1946, Hamka dipilih sebagai ketua Muhammadiyah melalui
konferensi yang berlangsung di Padang Panjang. Dan pada tahun 1947, Hamka
dipercaya untuk menjadi ketua dari sekretaris FPN (Front Pertahanan Nasional),
sebuah badan yang dibentuk untuk membangkitkan semangat rakyat Sumatra
Barat dalam perjuangan bersenjata menghalau pejabat ketika terjadi agresi
Belanda yang pertama. Dan dalam waktu yang sama, Hamka menerbitkan
majalah yang diberi nama Menara.
53
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.65
Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan dan Riwayat
Perjuangannya Dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.475
54
37
Hamka hijrah ke Jakarta pada tanggal 18 Desember 1949. Jakarta ternyata
menawarkan sejuta kemungkinan buat Hamka. Beberapa lama kemudian, ia
diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah
Pemandangan. Dimasa ini juga Hamka terjun dalam politik praktis yaitu menjadi
anggota Partai Islam Masyumi.55
Pada tahun 1955, Hamka terpilih sebagai anggota konstituante Partai
Masyumi. Lewat konstituante, Hamka gigih memperjuangkan kepentingan islam.
Hamka pernah mengusulkan untuk mendirikan negara berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Usulannya memang tidak diterima, namun ia telah menunjukan
dengan gigih upayanya untuk berjuang demi Islam.
Ketika menjadi pejabat tinggi dan Penasehat Departemen Agama, Hamka
diundang pemerintah Amerika Serikat untuk menetap selama empat bulan di
Amerika. Setelah itu, berturut-turut menjadi anggota misi kebudayaan ke
Muangthai (1953), mewakili Departemen Agama beliau menghadiri peringatan
mangkatnya Budha ke 2500 di Myanmar (ketika itu Burma, 1945), ia juga
diundang menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958), dan oleh Universitas
Al-Azhar Kairo Hamka diminta untuk memberikan ceramah tentang pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia. Ceramah tersebut menghasilkan gelar Doctor
Honoris Causa bagi Hamka. 56
Ketika perkembangan polotik di Indonesia kian buruk akibat pengaruh
Partai Komunis Indonesia ( PKI ), Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan
55
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Op. Cit, h.292
Ceramah tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Pengaruh
Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961)
56
38
semboyan belaka dan diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis).
Kemudian Partai Masyumi pun dibubarkan oleh Soekarno, namun Hamka sebagai
tokoh masyarakat dan ulama tidak luput dari hasutan, yaitu dituduh mengadakan
rapat gelap menyusun rencana membunuh Presiden Soekarno. Ia juga dituduh
melakukan plagiat karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti. Atas tuduhan perencanaan
pembunuhan itu, Hamka dijebloskan ke dalam tahanan. Namun ketika Orde Baru
bangkit, orang-orang yang ditahan atas hasutan PKI dibebaskan termasuk
Hamka.57
Hamka kemudian memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah islam. Ia
memimpin majalah Panji Msyarakat dan menjadi imam besar masjid Al-azhar.
Hamka juga sering dipercaya mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri
pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti Konferensi Negara-negara
Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekah (1976), seminar tentang Islam
dan peradaban di Kuala Lumpur, Upacara Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal
di Lahore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977).58
Dengan usia yang semakin menua, kesehatan Hamka terganggu. Hamka
pun tidak lagi banyak melakukan kegiatan ke luar negeri. Ia lebih banyak
menunggu orang-orang yang datang kerumahnya untuk berkonsultasi tentang
masalah-masalah agama dan persoalan kehidupan.
Karir Hamka menjelang akhir hayatnya adalah sebagai Ketua Umum
Majlis Ulama Indonesia ( MUI ). Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka
57
58
Ibid, h.59
Ibid, h.60
39
mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pengunduran diri ini disebabkan adanya
kontroversi dengan Mentri Agama Alamsyah Ratu Prawira Negara tentang
menghadiri perayaan Natal bersama umat Islam. Saat itu Hamka dengan kapasitas
sebagai Ketua MUI, memfatwakan haram hukumnya seorang muslim menghadiri
perayaan Natal.
Agaknya keputusan pengunduran diri tesebut merupakan sinyal bagi
semua pihak untuk intropeksi diri, juga patanda bagi Hamka pamit untuk selamalamanya dari dunia ini, karena dua bulan setelah itu Hamka berpulang ke
Rahmatullah (meninggal dunia), yang bertepatan pada tanggal 24 Juli 1981 dalam
usia 73 tahun. 59 Hamka menutup mata dalam satu penyelesaian tugas, dengan
predikat sebagai seorang Ulama.
C. Karya-Karya Hamka
Hamka di masa hidupnya telah melahirkan banyak karya. Di bawah ini
adalah hasil karya-karya yang ditorehkan lewat tangan Hamka. 60
A. Karya Hamka dalam bentuk roman dan fiksi agama.
1. Di bawah Lindungan Ka’bah
2. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk
3. Merantau ke Deli
4. Tuan Direktur
5. Keadilan Illahi
59
60
Majalah Amanah, Seandainya Hamka masih ada, (Jakarta: 2000), h.45
M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.65-68
40
6. Angkatan Baru
7. Terusir
8. Di dalam Lembah Kehidupan
9. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao
10. Ayahku
11. Filsafat Hidup
12. Tasawwuf Moderen
13. Lembagu Budi
B. Dalam bentuk Buku
1. Islam dan Demokrasi
2. Revolusi Pikiran
3. Negara Islam
4. Revolusi Agama
5. Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi
41
BAB IV
Analisis Homonimi Kata Nafs ( ‫ ) ﻨﻔﺱ‬dalam Al-Qur’an
Terjemahan Hamka
Homonimi sebagai gejala semesta bahasa (language universal), tentu saja
dimiliki oleh bahasa Arab. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan
konsep homonimi bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus
Arab mencampur adukan, dalam satu entri atau lema, antara homonimi, sinonimi
maupun polisemi. Dan kebanyakan dari orang Indonesia pun hanya mengetahui
bahwa kata nafs itu hanya dengan kata ‘diri’
Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan tentang kehonimian
terhadap kata nafs dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan teori Lyon,
yang memberikan klasifikasi homonimi atas homonimi mutlak dan homonimi
sebagian. Adapun pembagian makna yang terkandung dalam kata nafs berdasarkan
teori Achmad Mubarok dengan metode temantiknya, menyebutkan 7 makna nafs
dalam al-Quran, yaitu:
•
Nafs, sebagai Diri atau seseorang.
•
Nafs, sebagai diri tuhan.
•
Nafs, sebagai person sesuatu..
•
Nafs, sebagai roh.
•
Nafs, sebagai jiwa.
•
Nafs, sebagai totalitas manusia.
42
•
Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku.
A. Homonimi Mutlak
1. Kelas Nomina (al-ism).
Berikut ini merupakan leksem-leksem yang berkategori nomina (al-ism).
a) - ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus (1)/ ’ruh”
- ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus (2)/ ‘diri’
- ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu)
Leksem ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
(1)/
’ruh” secara relasional mengacu kepada medan
makna sesuatu yang ghaib (tak terlihat), sedangkan leksem ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
dan ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
(3)/
(2)/
‘diri’
‘diri’ (person sesuatu) secara relasional mengacu kepada
medan makna sesuatu yang tampak oleh mata (jasad). Dengan demikian relasi
komponen makna leksem ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
/anfus
(3)/
(1)/
’ruh”, ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
(2)/
‘diri’ dan ‫ﺃَﻨﻔﺱ‬
‘diri’ (person sesuatu) berhubungan dan secara gramatikal equivalen
karena ketiganya berasal dari kategori yang sama yakni nomina (al-ism), Sebagai
contoh dari kedua leksem tersebut yang diterjemahkan oleh Hamka:
(i) surat al-An’am ayat 93:
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ﺮﹺﺟ‬‫ ﺃﹶﺧ‬‫ﻳﻬﹺﻢ‬‫ﻳﺪ‬‫ﻄﹸﻮ ﺃﹶ‬‫ﺎﺳ‬‫ﻜﹶﺔﹸ ﺑ‬‫ﻠﹶﺎﺋ‬‫ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻭ‬
“sedangkan malaikat menurunkan tangan mereka. Keluarkanlah nyawa-nyawa
kamu!”
(ii) Surah al-Imran ayat 61
43
‫ﻜﹸﻢ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﻨ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﺃﹶﻧ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺀَﻛﹸﻢ‬‫ﻧﹺﺴ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺎﺀَﻧ‬‫ﻧﹺﺴ‬‫ ﻭ‬‫ﺎﺀَﻛﹸﻢ‬‫ﻨ‬‫ﺃﹶﺑ‬‫ﺎ ﻭ‬‫ﺎﺀَﻧ‬‫ﻨ‬‫ ﺃﹶﺑ‬‫ﻉ‬‫ﺪ‬‫ﺍ ﻧ‬‫ﺎﹶﻟﻮ‬‫ﻌ‬‫ﺗ‬
“Marilah kemari! Kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami
dan istri-istri kamu, dan diri-diri kami dan diri-diri kamu”
(iii) Surah an-Nahl ayat 33
‫ﻮﻥﹶ‬‫ﻤ‬‫ﻳﻈﹾﻠ‬ ‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﻔﹸﺴ‬‫ﻮﺍ ﺃﹶﻧ‬‫ ﻛﹶﺎﻧ‬‫ﻦ‬‫ﻟﹶﻜ‬‫ ﻭ‬‫ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬‫ﻢ‬‫ﻬ‬‫ﺎ ﻇﹶﻠﹶﻤ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
“Dan Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya
diri mereka sendiri”
Contoh (i) ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬bentuk jamak dari ‫ﻨﻔﺱ‬, Hamka menerjemahkan
menggunakan kata ”nyawa”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata
nyawa berdefinisi pemberi hidup kepada badan wadak (organisme fisik) yang
menyebabkan hidup (pada manusia, binatang, dan sebagainya). Namun dalam
penerjemahan ayat ayat ini, penulis menemukan keganjalan dalam penerjemahan
Hamka. Kata ‫ ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ‬diterjemahkan dalam bentuk tunggal ‘malaikat’, sedangkan
dalam teks aslinya kata ‫ ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ‬tergolong bentuk jamak yang berarti lebih dari
satu. Dan juga pada kata setelahnya ‫ ﺃَﻴﺩﻴﻬﻡ‬diterjemahkan ‘tangan mereka’, padahal
pronomina ‫ ﻫﻡ‬di sini menyatakan kepada kata ‫ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ‬, akan tetapi ‫ ﻫﻡ‬diartikan
‘mereka’ dan ‫ ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ‬diartikan ‘malaikat’ jadi tidak sepadan dalam perpaduan
penerjemahannya, bentuk tunggal dipadukan dengan bentuk jamak. Sepatutnya
bentuk tunggal dipadukan dengan tunggal dan bentuk jamak dengan jamak pula.
Penulis menyatakan, kata ‫ ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ‬lebih tepat diterjemahkan dengan kata ‘para
malaikat’ sehingga dalam pemaknaanya pun lebih sepadan.
44
Pada masa awal turunnya al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk
menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara ruh digunakan untuk
menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru pada
periode sesudah al-Qur’an secara keseluruhan masyarakat di dunia Islam, kata
nafs digunakan oleh literatur Arab untuk menyebut jiwa dan ruh secara silang,
dan keduanya digunakan untuk menyebut rohani, malaikat dan jin. Namun kata
ruh dalam pengertian ini berbeda dengan kata ‫( ﺭﻭﺡ‬ruh). Para sufi
mendefinisikan ‫( ﺭﻭﺡ‬ruh) dalam al-Qur’an sebagai Malaikat Jibril atau malaikat
lain, Rahmat Allah kepada kaum mukminin, dan Kitab suci al-Qur'an.61 Ruh dari
pengertian kata nafs disini didefinisikan sesuatu zat yang tuhan tiupkan kedalam
tubuh manusia, sehingga manusia mendapat kehidupan.
Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama
berbeda pendapat mengenai hal itu. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kata al-ruh
juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Tentang tempat ruh dan nafs di
dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam
jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di
dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di
dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah
dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".62
61
Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 128
M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam
Dirasah...,h. 47-48.
62
45
Dalam hal ini, Hamka menerangkan makna ruh itu sendiri sama halnya
dengan penjelasan di atas bahwa ruh adalah zat yang tuhan hembuskan ke dalam
jasad manusia sehingga manusia tersebut mendapat kehidupan. Ruh salah satu
alat proses penciptaan manusia, awal mulanya diciptakan dari tanah dan setelah
sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya ruh.63
Contoh (ii) ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬bentuk jamak dari ‫ ﻨﻔﺱ‬Hamka menerjemahkan
menggunakan kata ‘diri’. Penulis melihat Makna ‘diri’ di sini menyatakan kepada
orang atau manusia. Di dalam kamus al-Munawir, terjemahan kata ‫ﻨﻔﺱ‬
mempunyai banyak pengertian yang menyatakan diri, namun dua kata yang
penulis lihat dari kamus tersebut yang menyangkut ke dalam pembahasan ini,
yakni al-syakhs (orang) dan al-syakhs bima’na al-insân (diri orang). Pemaknaan
‘diri’ dalam ayat ini menyatakan sisi luar yang terdapat pada manusia.
Contoh (iii) Hamka menerjemahkan ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬jamak ‫ ﻨﻔﺱ‬dari homonim yang
bermakna person sesuatu dengan kata diri pula, namun sebagaimana penjelasan di
atas bahwa nafs di sini murni menyatakan kepada diri pribadi (person sesuatu).
Pemaknaan nafs di sini hampir sama dengan pemaknaan ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
(2)/
‘diri’,
namun ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus (3)/ ‘diri’ (peson sesuatu) lebih menyatakan mendalam kepada
diri sendiri, dalam kamus al-Munawir pengertian yang menyatakan diri dalam
pembahasan ini, yakni al-dzat atau al’ain (diri sendiri). ‫ ﺃَﻨﻔﺱ‬/anfus
(2)/
‘diri’
terlihat seperti kata ganti atau pengganti kata ganti dari sesuatu, sedangkan ‫ﺃَﻨﻔﺱ‬
63
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.57
46
/anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu) menyatakan murni kepada diri dan tidak adanya
pengganti dari sesuatu yang dinyatakannya.
b) - Dalam surah asy-syams ayat 7
‫ﺎ‬‫ﺍﻫ‬‫ﻮ‬‫ﺎ ﺳ‬‫ﻣ‬‫ﻔﹾﺲﹴ ﻭ‬‫ﻧ‬‫ﻭ‬
“Dan jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya)”
- Serta surah al-fajr ayat 27
‫ﺔﹸ‬‫ﻨ‬‫ﺌ‬‫ﻄﹾﻤ‬‫ ﺍﻟﹾﻤ‬‫ﻔﹾﺲ‬‫ﺎ ﺍﻟﻨ‬‫ﻬ‬‫ﻳﺘ‬‫ﺎﺃﹶ‬‫ﻳ‬
“Hai jiwa yang tenang”
Dari kedua ayat tersebut, Hamka nenerjemahkan ‫ ﻨﻔﺱ‬dengan kata ‘jiwa”.
Penulis melihat tidak ada perbedaan kata dan makna dalam penejemahannya.
Terjemahan ini bermakna “sisi manusia”. Secara gramatikal kedua kata tersebut
berasal dari kategori yang sama yakni kategori nomina (ism).
Dalam hal ini, Filusuf Belanda Dr. C.A. van Puersen dalam bukunya
Tubuh, Jiwa, Roh (1981) menyatakan bahwa pada umumnya orang dulu
menyangka bahwa jiwa ini adalah sejenis daya yang bertempat di dalam tubuh,
misalnya dalam darah atau semacam darah itu sendiri, sehingga bagi Bani Israil,
sebagaimana terdapat juga dalam ajaran islam, darah itu haram untuk diminum
atau dimakan. Padahal sebenarnya pengertian jiwa ini jauh melebihi daya
kehidupan organisme (seperti energi), karena jiwa adalah tempat tinggal bagi
perasaan-perasaan, seperti: benci, gembira, rindu, cinta, dan bisa merasakan
kekosongan.
47
Sering terjadi perdebatan antara jiwa dan ruh. Pertanyan yang timbul
adalah apakah ruh itulah yang disebut jiwa dan sebaliknya? Agaknya, ruh
memang sama dengan jiwa. Bedanya, jiwa adalah ruh yang telah mempribadi,
setelah masuk ke dalam tubuh (yang akan menjadi) manusia. Karena ruh dan jiwa
itulah yang menjadikan segumpal daging itu menjadi manusia, maka timbul
pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Itulah sebabnya, maka dalam alQur’an manusia yang seluruhnya itu disebut juga sebagai jiwa.
Hamka memandang bahwa memang ruh yang berperan penting dalam
kehidupan manusia, seperti pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Namun
disisi lain, Hamka menyatakan untuk dihidupkan ruh itu harus memiliki wadah
‘organisme fisik’ (dalam konteks manusia) sehingga manusia tersebut dapat
melihat, mendengar, berbicara, dll. Dengan melihat penjelasan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa Hamka menyebut manusia keseluruhannya juga sebagai
jiwa.64
c) Surah al-An’am ayat 12
‫ﺔﹶ‬‫ﻤ‬‫ﺣ‬‫ ﺍﻟﺮ‬‫ﻔﹾﺴِﻪ‬‫ﻠﹶﻰ ﻧ‬‫ ﻋ‬‫ﺐ‬‫ﻛﹶﺘ‬
“Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberi rahmat”
Leksem ‫ ﻨﻔﺱ‬mengacu kepada medan makna tuhan, karena terdapat
huruf ‫( ﻩ‬pronomina persona) dibelakangnya, yang menyatakan bahwa leksem ‫ﻨﻔﺱ‬
64
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.59
48
menyebutkan diri tuhan. Leksem ‫‘ ﻨﻔﺴﻪ‬diriNya’ tergolong homonimi mutlak, dan
keduanya dari kelas nomina.
Dalam ayat di atas kata ‫ ﻨﻔﺱ‬yang menyatakan tuhan, Hamka
menerjemahkannya dengan kata ‘diri’. Tetapi bukan berarti ‘diri’ yang dimaksud
sama dengan diri yang terdapat pada manusia. Dalam tasawuf, nafs di sini disebut
nafs ilahiyyah, yaitu jiwa ilahi: diarahkan bahwa Allah bersama dengan segenap
sifatNya, yakni maha hidup, maha pemberi, dan sebagainya.
Mengapa Hamka menerjemahkan ‫ ﻨﻔﺱ‬menggunakan kata ‘diri’ bukan
dengan kata ‘jiwa’? Penulis melihat bahwa ayat ini diawali dengan ‫ﻜﺘﺏ ﻋﻠﻰ‬,
secara gramatikal tergolong verba perfektif (fi’il mâdi), sehingga bermakna diri
tuhan terlihat seperti bekerja. Oleh karena itu, kata diri lebih tepat digunakan
daripada kata jiwa, dikarenakan kata diri menegaskan dari sisi luar sedangkan
jiwa lebih condong menyatakan sisi dalamnya. Misal, makna jiwa itu menyangkut
sifat-sifat tuhan sebagaimana yang disebut asmaul husna, dan makna diri di sini
menyatakan tuhan itu juga melakukan suatu hal. Jadi, penggunaan kata diri lebih
tepat.
2. Kelas Partikel (al-huruf)
Berikut ini merupakan leksem homonimis yang kehomonimiannya
sangat dipengaruhi oleh partikel (al-huruf), sehingga pemaknaan yang terkandung
dalam leksem adalah Sisi Dalam Manusia yang Melahirkan Sesuatu.
Surah Al-rad ayat 11
49
‫ﻔﹸﺴِﻬﹺﻢ‬‫ﺎ ﺑﹺﺄﹶﻧ‬‫ﻭﺍ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻳﻐ‬ ‫ﻰ‬‫ﺘ‬‫ﻡﹴ ﺣ‬‫ﺎ ﺑﹺﻘﹶﻮ‬‫ ﻣ‬‫ﺮ‬‫ﻴ‬‫ﻳﻐ‬ ‫ ﻟﹶﺎ‬‫ﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ‬
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada nafs mereka sendiri.”
Dalam ayat diatas, ‫ ﺃﻨﻔﺴﻬﻡ‬diterjemahkan Hamka dengan ‘nafs mereka
sendiri’, memang agak terlihat rancu dari penerjemahan Hamka tersebut, leksem
‫ ﻨﻔﺱ‬diterjemahkan dengan nafs, seakan Hamka hanya menyerap kata ‫ ﻨﻔﺱ‬dari
Bsu ke Bsa. Tidak adanya penggunaan kata lain dalam menerjemahkan kata
tersebut. Penulis melihat dalam ayat ini, kata ‫ ﻨﻔﺱ‬lebih tepat diterjemahkan
dengan kata ‘diri’ dikarenakan dalam pemaknaan kata ‫ ﻨﻔﺱ‬di sini sebagai sesuatu
yang dapat melahirkan sesuatu. Oleh sebab itu, kata ‘diri’ lebih tepat digunakan
karena
pemaknaan
kata
diri
itu
merupakan
wadah
yang
dapat
melakukan/melahirkan sesuatu.
Kalimat ‫ ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡ‬secara gramatikal tergolong dalam partikel (al-harf)
dan secara relasional mengacu pada medan makna pronomina relatif karena
terdapat leksem ‫ ﻤﺎ‬yang menunjukan ‘sesuatu’ atau ‘apa’ dan leksem ‫ ﺏ‬masuk
dalam golongan partikel preposisi (harf jarr), yang berfungsi sebagai penegas
dari leksem ‫ ﻨﻔﺱ‬sehingga leksem ‫ ﻨﻔﺱ‬berperan penting dalam kalimat ini, yang
menyatakan ‫ ﻨﻔﺱ‬itu sebagai pelaku utama dalam melahirkan atau menghasilkan
sesuatu.
Jamridafrizal menegaskan bahwa dalam ayat ini terdapat dua kalimat
yang menunjukan sesuatu pada kaum, yaitu kalimat ‫ ﻤﺎ ﺒﻘﻭﻡ‬dan ‫ ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡ‬dalam
50
kaidah bahasa Arab, huruf pada kalimat ‫ ﻤﺎ ﺒﻘﻭﻡ‬dan ‫ ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡ‬mengandung arti
berita ( ‫) ﻤﺎ ﺨﺒﺭﻴﺔ‬. Jadi, ‫ ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡ‬artinya apa yang ada pada nafs atau sisi dalam
mereka. Kandungan huruf dilihat pada konteks ayat tersebut berhubungan dari
ayat sebelum dan sesudahnya.65
B. Homonimi Sebagian.
1. Berdasarkan perbedaan derivasi.
Pada proses ini, derivasi nomina menghasilkan leksem-leksem baru yang secara
historis tidak diramalkan atau berbeda secara semantis. Seperti pada contoh
berikut ini:
a) Surah al-Maidah ayat 32
‫ﺽﹺ‬‫ﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ‬‫ ﻓ‬‫ﺎﺩ‬‫ ﻓﹶﺴ‬‫ﻔﹾﺲﹴ ﺃﹶﻭ‬‫ﺮﹺ ﻧ‬‫ﻴ‬‫ﺎ ﺑﹺﻐ‬‫ﻔﹾﺴ‬‫ﻞﹶ ﻧ‬‫ ﻗﹶﺘ‬‫ﻦ‬‫ﻣ‬
“bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena (membunuh) orang
lain, atau berbuat kerusakan di bumi”
- ‫( ﻨﻔﺱ‬i)
‫‘ ﻨﻔﺴﺎ‬seseorang’
- ‫( ﻨﻔﺱ‬ii) ‘orang lain’
65
Jamridafrizal, tesis Nafs (jiwa) menurut konsep al-Qur’an, h. 9
51
Leksem ‫( ﻨﻔﺱ‬i) secara derivatif menghasilkan leksem infinitif ‫ﻨﻔﺴﺎ‬
‘seseorang’ merupakan homonimi sebagian berdasarkan derivasi. Sedangkan
leksem ‫( ﻨﻔﺱ‬ii) ‘orang lain’ bukan tergolong homonimi sebagian karena tidak
mengalami derivasi.
Kata ‫( ﻨﻔﺴﺎ‬i) diterjemahkan ‘seseorang’, dan kata ‫( ﻨﻔﺱ‬ii) diterjemahkan
‘orang lain’, terlihat dalam tulisan seperti dua kata yang memiliki makna yang
berbeda, namun secara relasional keduanya mengacu kepada komponen makna
objek tunggal yaitu satu orang, dan keduanya menyatakan orang lain (bukan diri
sendiri). Pemaknaan totalitas manusia dalam ayat ini didasari pada kata ‫ﻗﺘل‬
(membunuh), karena “membunuh” sesuatu yang dapat dilakukan manusia. Secara
gramatikal kata ‫ ﻗﺘل‬tergolong dalam verba perfektif (fi’il mâdi), sedangkan ‫ ﻨﻔﺱ‬di
sini tergolong dalam partisip pasif (objek).
Hamka berpendapat, kata nafs digunakan al-Qur’an untuk menyebut
manusia sebagai totalitas, baik manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia
maupun manusia yang hidup di alam akhirat. Misalnya menggunakan nafs untuk
menyebut totalitas manusia di dunia, yakni manusia hidup yang bisa membunuh,
dibunuh, merusak, dan lain-lainnya. Hal inilah yang dimaksud dengan totalitas
manusia.66
66
Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 14, h.105
52
Manusia bukan boneka yang digerakkan dari luar dirinya, tetapi di
dalam dirinya ada kekuatan yang menggerakkan sehingga seseorang mengerjakan
suatu perbuatan tertentu. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkah laku manusia
itulah yang dalam ilmu jiwa (psikologi) disebut sebagai motif. Menurut istilah
psikologi mengandung pengertian penyebab yang diduga untuk suatu tindakan;
suatu aktivitas yang sedang berkembang, dan suatu kebutuhan. Dalam bahasa
Arab, faktor-faktor penggerak tingkah laku itu disebut ‫ ﺍﻝﺩﻭﺍﻓﻊ ﺍﻝﻨﻔﺴﻴﺔ‬yang artinya
dorongan-dorongan yang bersifat psikologis.
b) Surah Yusuf ayat 53
‫ﺑﹺّﻲ‬‫ ﺭ‬‫ﻢ‬‫ﺣ‬‫ﺎ ﺭ‬‫ّﻮﺀِ ﺇﹺﻻ ﻣ‬‫ﺓﹲ ﺑﹺﺎﻟﺴ‬‫ّﺎﺭ‬‫ ﻷﻣ‬‫ّﻔﹾﺲ‬‫ﻔﹾﺴِﻲ ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﻨ‬‫ ﻧ‬‫ﺮﹺّﺉ‬‫ﺎ ﺃﹸﺑ‬‫ﻣ‬‫ﻭ‬
”dan tidaklah hendak aku membersihkan diriku, karena sesungguhnya nafsu itu
membawa kepada kejahatan, kecuali orang-orang yang dikasihi tuhanku.”
- ‫( ﻨﻔﺴﻲ‬i) ’diriku’
- ‫( ﺍﻝﻨﻔﺱ‬ii) ’nafsu’
‫ ﻨﻔﺴﻲ‬dan ‫ ﺍﻝﻨﻔﺱ‬merupakan satu leksem yang berasal dari leksem ‫ﻨﻔﺱ‬,
namun dari kedua leksem tersebut berbeda maknanya, dikarenakan leksem
tersebut telah mengalami proses derivasi. Leksem ‫( ﻨﻔﺴﻲ‬i) ’diriku’ (partisif pasif)
dan secara derivatif berubah menjadi leksem partisif aktif, yakni ‫( ﺍﻝﻨﻔﺱ‬ii) ’nafsu’
sehingga kedua leksem tersebut mengalami perbedaan makna. Leksem ‫ﻨﻔﺱ‬
53
berupa ‫( ﻨﻔﺴﻲ‬i) ’diriku’ dan ‫( ﺍﻝﻨﻔﺱ‬ii) ’nafsu’ merupakan homonimi sebagian
karena proses derivasi.
Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata
bahasa Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat
pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu
sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita
mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap
manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika
seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk
bertindak dan memuaskan batinnya.
Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki
kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada
manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga
mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.
Walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan
negatif, namun Hamka mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya potensi positif
manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih
kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara
kesucian nafs, dan tidak mengotorinya.
Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua kata yang sama-sama
diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa dan ahwa berarti hasrat
(desire), hawa nafsu (lust). Dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna
54
kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati kepada
kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada syahwat
disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia ini ke
dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka.
Penulis melihat dari ayat di atas, Hamka menerjemahkan ‫ ﻨﻔﺱ‬hanya
dengan kata nafsu, tidak ada tambahan kata lain sepert hawa atau syahwat
(contoh: hawa nafsu, nafsu syahwat). Dikarenakan Hamka membedakan kata nafs
(yang berarti nafsu) dengan kata hawa atau ahwa (yang juga berarti nafsu). Nafs
(nafsu) bersifat netral, bisa baik atau buruk, sedangkan kata al-Hawa (nafsu) itu
selalu bermakna menyimpang dari kebenaran. Biasanya kata al-Hawa dalam alQur’an, penerjemah-penerjemah al-Qur’an menggunakan kata “hawa nafsu”. Jadi,
terjemahan kata ‫ ﻨﻔﺱ‬oleh Hamka sudah tepat.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan homonimi nafs dalam kajian alQur’an, kita harus melihat konteks ayat itu sepenuhnya . Dari ayat tersebut atau
kata yang mengiringinya maka dapat disimpulkan makna dari kata tersebut
berhomonim. Karena sampai saat ini belum ditemukan konsep homonimi dalam
bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus arab mencampuradukan dalam satu entri atau lema, antara homonimi, polisemi, dan sinonimi.
Pada kasus penerjemahan kata homonim ini, diperlukan adanya latar
belakang turunnya ayat, atau kronologis turunya sebuah ayat, dan pengetahuan
kajian tentang nafs dalam tasawuf maupun penerjemahan al-Qur’an sebelumnya.
Inilah keagungan yang di miliki al-Qur’an di mana ia menyimpan rahasia atau ke
dalaman kandungannya.
Dari hasil analisis sebelumnya, penulis dapat menyatakan bahwa dari
kajian tentang nafs karya Hamka dalam al-Qur’an terjemahannya merupakan
bagian dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Dalam pengkajian nafs,
Hamka membagi tiga wadah yang terdapat di dalam nafs, yakni Qolb, Ruh,
dan ’Aql. Kehomonimian dari kata nafs tersebut memang maknanya beresensi
56
kepada manusia, baik dalam maupun luar. Dalam memahaminya dengan melihat
konteks ayat sepenuhnya.
B. Saran
Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan besar
bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur’an
dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian.
Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks
budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan dan dimensi waktu pada saat alQur’an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur’an berlaku secara universal, di
semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang
bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman,
selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku.
57
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Fachri. Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan dan
Riwayat Perjuangannya Dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka.
Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1983.
Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulum al-Din : Kitab al-Syu’ab. Vol.II.
Bastaman, Hanna. Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995.
Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Cet ke-2. Jakarta: Rineka
Cipta. 2002.
Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-3. Jakarta: Balai Pastaka. 1994.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtar baru Van
Hoeve. 1993.
Hadi, Sutrisno. Bimbingan Menulis Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. 1984.
Hamka. Ayahku, Cet. Ke-4. Jakarta: Umminda. 1982.
Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz 1-30. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2005.
J.W.M, Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. 1996.
Lyons, John. Linguistic Semantics. Cet. ke-2. Cambridge: Cambridge University
Press. 1996
Madjid, Nurcholis. Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. 1995.
Majalah Amanah. Seandainya Hamka masih ada. Jakarta: 2000.
Munawir, Warson. al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Progressif. 1984.
Raharjo, Dawan. Ensiklopedi Al-Quran; tafsir sosial berdasarkan konsep-konsep
kunci. Cet. Ke-1. Jakarta; Paramadina. 1996.
Salim, Muin. Konsepsi Politik dalam al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
1994.
Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan
Bintang. 1980.
‘Umar, Mukhtar Ahmad. Ilmu Dilalah, Cet.1. Kuwait: Jamiaatul Kuwait. 1982.
Wastono, Tarhik Afdol. Kajian Semantis Makna Homonimi Bahasa Arab. Jakarta:
FIB-UI. 2000.
Yusa, Yustian. Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis
Hermeneutik Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The
Holy Quran. (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora. Universitas Islam
Negri Jakarta. 2009).
Yusuf, M. Yunan. Corak penafsiran Kalam Tafsir Al-Azha. Jakarta: Perpustakaan
IAIN. 1982.
http://www.scribd.com/doc/4634605, Pengertian-Semantik.
http://www.id.wikipedia.org/semantik. Data diakses pada tanggal 19 Februari 2010.
Download