ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S). Oleh Ahmad Fauzi NIM:105024000860 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 12 Maret 2011 Ahmad Fauzi NIM: 105024000860 ii ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM AL-QUR’AN TERJEMAHAN HAMKA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S). Oleh Ahmad Fauzi NIM:105024000860 Pembimbing Dr. Abdullah, M.Ag. NIP: 19610825 199303 1 002 JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS ( ) DALAM ALQUR’AN TERJEMAHAN HAMKA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 10 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah. Jakarta, 10 Maret 2011 Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag. NIP: 19700505 200003 1001 Anggota, Drs. Ikhwan Azizi, MA. NIP: 19570816 199403 1001 Sekretaris Merangkap Anggota, Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum. NIP: 1979 1229 200511004 Anggota, Dr. Abdullah, M.Ag. NIP: 19610825 199303 1 002 iv PRAKATA Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senantiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita mendapatkan “curahan syafa’atnya” di hari akhir nanti. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Dr. Ahmad Saekhuddin, M.Ag., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum. Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Abdullah, M.Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak. Kepada Jajaran Dosen Tarjamah: Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bpk.Syukron Kamil, MA., Bpk. Irfan Abubakar, MA., Bpk. Drs. A. Syatibi, M.Ag, dan lainnya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari. Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda H. No’an dan Ibunda Hj. Uliyah. Kepada Kakak-kakak Penulis yaitu Suryanih, Abdul Hakim dan Nurhasan yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. Dan tak lupa kepada Peri Kecil Penulis Nur Ainih yang telah membimbing sekaligus memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah Angkatan 2005, kepada Aida, Hairiyah, Dwi Mulyani, Hasbullah, Lina Lathifah, Zaenab dan Yupi yang telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan serta memberikan dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. v Kemudian kepada Yudi, Hilman, Asep, Deni, Rachmad, Doli, dan Agus yang telah memberikan semangat, hiburan dan berbagai candaan di basecamp Tarjamah. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak kelas dan adik kelas sehingga Penulis bangga menjadi salah satu mahasiswa Tarjamah.. Penulis menghaturkan beribu terima kasih kepada seluruh temanteman atas pinjaman referensinya yang begitu berharga. yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis. Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi. Jakarta, 09 Maret 2011 Penulis vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................. i PERNYATAAN ..................................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... iii PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iv PRAKATA ............................................................................................. v DAFTAR ISI .......................................................................................... vii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ..................................... ix ABSTRAK ............................................................................................. xii BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................. 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................ 7 D. Tinjauan Pustaka ............................................................. 8 E. Metodologi Penelitian ..................................................... 9 F. Sistematika Penulisan ..................................................... 9 KERANGKA TEORI A. Konsep Umum Penerjemahan Al-Qur’an ......................... 11 1. Pengertian Terjemahan Al-Qur’an.............................. 11 2. Macam-macam Terjemahan Al-Qur’an ...................... 12 3. Syarat-syarat Terjemahan Al-Qur’an ........................ 13 B. Homonimi ....................................................................... 17 1. Pengertian Homonimi ............................................... 17 2. Konsep Homonimi .................................................... 20 3. Homonimi dalam Bahasa Arab ................................... 22 4. Homonimi dalam Bahasa Indonesia .......................... 24 C. Sekilas Tentang Nafs ....................................................... 25 vii BAB III BAB IV BIOGRAFI HAMKA A. Riwayat Hidup Hamka .................................................... 30 B. Pendidikan dan Karir Hamka ......................................... 33 C. Karya-karya Hamka ........................................................ 40 ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS () DALAM ALQUR’AN TERJEMAHAN HAMKA A. Homonimi Mutlak ........................................................... 1. Kelas nomina ............................................................... 43 2. Kelas Partikel ........................................................... 49 B. Homonimi Sebagian ....................................................... 51 1. BAB V 43 Berdasarkan Perbedaan Derivasi .............................. 51 PENUTUP A. Kesimpulan ..................................................................... 56 B. Saran .............................................................................. 57 DAFTAR PUSTAKA viii PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab ا Huruf Latin ط t ب b ظ z ت t ع ‘ ث ts غ gh ج j ف f ح h ق q خ kh ك k د d ل l ذ dz م m ر r ن n ز z و w س s ة h ش sy ء ` ص s ي y ض d 2. Vokal Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. A. Vokal tunggal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan َ---- a Fathah ----ِ i Kasrah -----ُ u Dammah ix B. Vokal rangkap Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي---َ ai a dan i و---َ au a dan u C. Vokal Panjang Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu : Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ي/ا----َ â a dengan topi di atas ِي---- î i dengan topi di atas ُو--- û u dengan topi di atas 3. Kata Sandang Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan arrijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân. 4. Syaddah (Tasydîd) Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda---ّ dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ورة.ّ/0 اtidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya. 5. Ta Marbûtah Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata x sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3) No. Kata Arab Alih Aksara 1 123.4 tarîqah 2 156789 ا1:6;<0ا al-jâmi’ah al-islâmiyah 3 =ﺝ=د0و@?ة ا wihdat al-wujûd 6. Huruf kapital Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kapital. xi ABSTRAK Ahmad Fauzi “Analisis Homonimi Kata Nafs ( )ﻨﻔﺱdalam al-Qur’an Terjemahan Hamka”. Di bawah bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag. Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pengalihan makna dari bahasa sumber (Bsu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benarbenar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Proses menerjemahkan sangat membutuhkan peran semantic sebagai alat untuk aktualisasi makna sehingga penerjemahan dirasakan lebih fleksibel Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat homonimi. Homonimi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata yang sama. Dalam segi penulisan juga sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Konsekuensi logis munculnya gejala kehomonimian adalah ketaksaan ujaran atau kalimat yang disampaikan oleh pembicara kepada pendengar/lawan bicara. Dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan kajian homonimi secara khusus. Misal; kata nafs dalam alQur’an yang mempunyai banyak makna (kehomonimian), namun makna-makna tersebut tidak terdapat di dalam kamus-kamus Arab. Pemahaman terhadap kehomonimian dapat menghindari ketaksaan dalam ujaran atau kalimat yang disampaikan. Penulis menemukan bahwa kata nafs dalam al-Qur’an memiliki makna yang bervariatif, meskipun pada dasarnya secara harfiah maknanya berbeda dengan yang tercantum di dalam kamus, untuk itu butuh kehati-hatian bagi para penerjemah al-Qur’an dalam menerjemahkannya. Dengan memakai pembahasan homonimi dalam bahasa Arab yang disebut musytarak al-lafzi dan dengan pendekatan teori lyons yang membagi kehomonimian menjadi dua, yakni homonimi mutlak dan homonimi sebagian, penulis mengemukakan konsep nafs dalam al-Qur’an. Penulis menarik kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan homonimi nafs dalam kajian al-Qur’an, kita harus melihat konteks ayat sepenuhnya. Dari kata yang mengirinya dalam ayat tersebut maka dapat disimpulkan makna dari kata tersebut berhomonim. xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semantik berasal dari bahasa Yunani: semantikos yang berarti, tanda atau memberikan tanda. Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode atau jenis representasi lain. 1 Semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti dan merupakan satu dari tiga jenis analisis bahasa: fonologi, gramatika dan semantik. 2 Dalam menganalisis semantik, seseorang harus menyadari bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya.3 Maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja dan tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Itu semua karena bahasa adalah sebuah produk budaya. Jadi makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Teks adalah objek utama dalam kajian semantik. Ketika kita berhadapan dengan teks, maka kita akan menemukan dua unsur pembangun, yaitu penulis dan pembaca. Suatu teks tidak ada artinya, jika tidak ada penulis sebagai pengirim makna (sender) dan pembaca sebagai penerima makna (receiver) dari sang 1 2 www.id.wikipedia.org/semantik. Data diakses pada tanggal 19 Februari 2010. Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet ke- 2, h. 2. 3 Siti Kurrotulaini, Analisis Semantik Terhadap Terjemahan al-Qur’an Juz 30 (Surat al-Qadr, al-Alaq dan al-Ikhlash) Studi Komparatif antara Terjemahan Hamka dengan Terjemahan Mahmud Yunus, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2008), h. 5 1 penulis. Di samping itu juga, sebagai penerima makna, “pembaca juga memberi makna kedua” bagi teks. Di dalam posisi ini, pembaca diartikan sebagai penafsir makna.4 Dalam kajian semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi. Homonimi adalah beberapa kata yang mempunyai kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Secara semantic, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.5 Homonimi adalah relasi makna antar kata yang ditulis sama, tetapi maknanya berbeda. Menurut Moeliono, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonim muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata tahu dalam kamus besar bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema: Ta.hu v mengerti sesudah melihat (menyaksikan, mengalami) Ta.hu n makanan dari kedelai putih yang digiling halus-halus, direbus. Homonin dalam bahasa Arab pun banyak sekali dapat ditemukan. Berikut salah satu contoh homonim dalam bahasa Arab: 4 Yustian Yusa, Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis Hermeneutik Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran , (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negri Jakarta, 2009), h. 2. 5 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) h. 93 2 Kata daraba ( )بmempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata daraba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. Homonim merupakan salah satu objek kajian dalam Al-Qur’an. 6 Sebagai teks, al-Qur’an telah termasuk dalam kajian semantik. Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat berbahasa Arab yang sastrawi dan indah, tetapi juga telah menjadi pedoman hidup kaum muslimin. Agar menjadi pegangan hidup maka kaum muslimin perlu menafsirkan al-Qur’an agar senantiasa aplikatif di dalam kehidupan. Dalam kajian studi al-Quran, persoalan terjemahan al-Quran merupakan salah satu yang dipersoalkan di kalangan ulama. Mereka pada umumnya menganggap terjemahan al-Quran tanpa menyertakan teks Arab (ayat) sebagai sesuatu yang dilarang. Sehingga, andai kata al-Quran harus diterjemahkan, teks aslinya harus disertakan agar makna sesungguhnya yang diinginkan ayat tidak tereduksi atau tidak menimbulkan pengertian yang justru berlawanan dengan maksud al-Quran. Oleh sebab itu, dapat dipahami jika dalam penulisan karya ilmiah ada pedoman bahwa jika seseorang ingin memaknai sebuah kata-kata tertentu yang padanannya dalam bahasa lain tidak ditemukan atau ditemukan, 6 Beberapa tahun terakhir Al-Qur’an telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa atas bantuan rabithah al alam al Islami dan dar al ifta wa al irsyad yang bermarkas di Saudi Arabia. Mujamma’ khadim al haramain al syarifain al malik fahd untuk pencetakkan mushaf, telah mencetak terjemahan Al-Qur’an dalam berbagai bahasa seperti Inggris, Perancis, Turki, Urdu, China, Hausa, dan Indonesia. Departemen agama, Al-Qur’an dan terjemahannya (semarang: PT. Karya Toha Putra, 1990) h. 30 3 namun mempunyai kemungkinan banyak arti harus menyertakan teks aslinya agar pembaca bisa memahami konteks yang diinginkan. Atau, dalam rangka mengarahkan bahwa maksud yang diinginkan dari teks Arab atau lainnya adalah makna yang diungkapkan penulis. Hal itu dianggap penting agar pembaca tidak menimbulkan persepsi lain selain yang diinginkan penulis. Salah satu bentuk variasi makna terjemahan yang terdapat dalam alQur’an yaitu kata nafs’. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jama’nya nufûs dan anfus) berarti rûh (roh) dan ‘ain (diri sendiri). 7 Sedangkan dalam kamus al-Munawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufûs) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), al-syakhsu (orang), al-syakhsu al-insân (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri) 8 . Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jama’nya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya. 9 Dawan Raharjo menyimpulkan dalam Ensiklopedi al-Qur’an, kata nafs’ lebih identik dengan jiwa (soul). Pengertian tentang ”jiwa” dalam kata nafs memang cukup tampak didalam al-Qur’an dan ternyata dalam sejarah kebudayaan, makna kata itu tertangkap oleh pembacanya dan dikembangkan lebih lanjut dalam tasawuf. Dalam al-Qur’an Q.S. alAnbiya(21) ayat 53 dan diulang dalam al-Qur’an Q.S. al-’Ankabût(29) ayat 57 7 Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), 826. Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), 1545. 9 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), 250 8 4 disebut bahwa: ”Tiap-tiap jiwa itu pasti akan merasakan kematian”. Kata ”kullu nafs” dalam kedua ayat itu dapat pula diterjemahkan dengan ”tiap-tiap yang berjiwa”. Pada terjemahan itu, seorang dilihat esensinya pada jiwanya, sedangkan pada ayat yang kedua, jiwa dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dan terdapat pada sesuatu yang tak lain pada wadah atau badannya. Jamridafrizal, S.Ag.,M.HUM dalam tesis Nafs (jiwa) menurut konsep alQur’an, menjelaskan sisi dalam nafs. Kajian tentang nafs merupakan bagian dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa menempatkan dirinya menjadi subyek dan obyek sekaligus. Nafs juga sebagai penggerak tingkah laku seperti berbuat baik ataupun yang buruk. Kata nafs juga menjadi bahan perbincangan para sufi, terutama dalam kajian tasawwuf. Sebagaimana terminologi kaum sufi (ahli tasawuf), yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya dinyatakan bahwa, ”Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk”. Al-Ghazali pun menyatakan dalam hadist yang berbunyi ﺃَﻋﺩﻯ ﻋﺩﻭﻙ ﻨﻔﺴﻙ ﺍﻝﺘﻰ ﺒﻴﻥ ﺠﻨﺒﻴﻙ yang artinya “musuhmu yang paling berat adalah nafsumu yang ada di dua sisimu”. 10 Sama halnya yang terdapat dalam Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nafs (nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik, padahal dalam alQur’an nafs tidak selalu berkonotasi negatif. 10 Imam al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, (tt; Kitab al-Syu’ab, tth), Vol.II, h.1345 5 Dalam penelitian ini, penulis ingin menganalisis dan mengklasifikasikan homonimi terhadap terjemahan kata nafs dalam al-Qur’an, berdasarkan fitur dan perilaku semantis dalam pemakaian bahasa tulis. Sebagaimana contoh nafs yang diartikan ”jiwa” atau ”diri”, sebenarnya kedua istilah tersebut hanyalah soal pilihan kata terjemahan. Dalam al-Qur’an Q.S. alHasyr(59) ayat 9, umpamanya dijumpai kalimat: ”Dan barang siapa diselamatkan dari kekikiran jiwanya, mereka adalah orang yang beruntung”. Disini kata ”jiwa” dapat diganti dengan ”diri”. Pokoknya nafs menunjuk kepada orang. Namun, jika seorang penterjemah memilih kata ”jiwa”, maka ia tentu mempunyai maksud tertentu. Misalnya, penterjemah melihat bahwa esensi manusia adalah jiwanya. Jika seseorang itu kikir, maka yang memiliki predikat kikir adalah jiwanya.11 Atas dasar inilah penulis tertarik dengan karya-karya terjemahan al Qur’an, terutama yang berkaitan dengan kata nafs dalam al-Qur’an. Dengan memakai pendekatan teori Lyons, 12 penelitian ini mengacu kepada klasifikasi homonimi bahasa Arab yang terdiri atas: (i) homonimi mutlak (absolute homonymy), dan (ii) homonimi sebagian (partial homonymy). Dalam pembahasan kali ini Penulis mengangkat seorang profil ulama Indonesia yang sudah diakui karya-karya terjemahannya, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan HAMKA sebagai objek penelitian. Dari sekian banyak bentuk 11 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 254 12 John Lyon, Linguistic Semantics, (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), Cet. Ke-2, h. 55-57 6 dan makna kata nafs, penulis hanya membatasi penulisan ini dengan menggunakan teori Achmad Mubarok dengan metode temantiknya, menyebutkan 8 makna nafs dalam al-Quran. Dengan dilatarbelakangi variasi makna tersebut, penulis mengambil skripsi yang berjudul ”ANALISIS HOMONIMI KATA NAFS’ DALAM ALQUR’AN TERJEMAHAN HAMKA”. B. Perumusan dan Pembatasan Masalah Setelah memaparkan latar belakang masalah, penulis hanya membatasi penulisan hanya pada kata nafs dalam Al-quran terjemahan HAMKA. Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas, yaitu: 1. Apakah terjemahan kata nafs dalam Al-quran terjemahan HAMKA sudah tepat? 2. Bagaimana kehomonimian kata nafs karya Hamka dalam penerjemahan al-Qur’annya? C. Tujuan dan Manfaat penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui ketepatan terjemahan kata nafs dalam Al-Qur’an terjemahan HAMKA. 2. Mengetahui faktor kehomonimian terhadap kata nafs karya Hamka dalam penerjemahan al-Qur’annya . 7 Adapun manfaatnya adalah : 1. Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari bahasa Arab terutama penerjemahan dan dapat memberikan informasi tambahan pengetahuan tentang variasi makna. 2. Untuk para peneliti lainnya agar dapat memberikan sumbangan dalam mengadakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan semantik yang berkaitan dengan variasi makna. D. Tinjauan Pustaka Pada skripsi ini, penulis menggunakan terjemahan al-Qur’an terhadap kata nafs yang diterjemahkan oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) sebagai objek utama dalam penelitian ini. Adapun judul skripsi ini terinspirasi dari penelitian oleh Jamridafrizal, S.Ag.,M.HUM yang mengangkat analisa Nafs menurut konsep al-Qur’an. Sedangkan analisis Homonimi kata nafs dalam alQur’an terjemahan HAMKA hanya pada skripsi ini. Dalam penelitian Jamridafrizal tersebut, penulis menemukan adanya variasi makna yang terdapat pada kata nafs. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian tersebut sebagai pustaka utama, yang kemudian membandingkan dengan terjemahan HAMKA dalam terjemahan al-Qur’annya. Untuk melengkapi pembahasan ini, penulis menggunakan buku-buku, artikel-artikel ataupun referensi lain yang dapat dijadikan acuan yang terkait dengan analisis yang Penulis teliti. 8 E. Metode Penelitian Pada penelitian ini, Sumber data yang diperoleh adalah melalui sumber literer (library reaserch) yaitu dari kepustakaan, sedangkan metode penilitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari Al Qur’an yang diterjemahkan oleh HAMKA sebagai bahan primer, seperti yang diutarakan Sutrisno Hadi: “Penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian dimana peneliti hanya mengumpulkan data, menganalisa data, dan kemudian menyimpulkan tanpa menarik kesimpulan yang berlaku secara umum.” 13 Analitis yaitu penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelahaan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Sedangkan untuk bahan sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literature yang relevan dengan pokok permasalahan baik dari artikel, majalah, internet, maupun dari buku-buku lain yang berkaitan. Adapun pedoman penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang disusun oleh tim UIN Syarif Hidayatullah dan diterbitkan oleh UIN Jakarta press 2002. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari V bab, yaitu : 13 Sutrisno Hadi, Bimbingan Menulis Skripsi, Thesis dan Disertasi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), h. 3 9 Bab I Pendahuluan : terdiri dari 6 Sub Bab, yaitu : Pertama, Latar Belakang Masalah, Kedua, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Ketiga, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keempat, Tinjauan Pustaka, Kelima, Metodologi Penelitian, dan Keenam, Sistematika Penulisan. Bab II Kerangka Teori : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama, Gambaran Mengenai Penerjemahan al-Qur’an; Pengertian, Macam-macam dan Syarat-syarat Terjemahan al-Qur’an. Kedua, Homonimi Secara Umum; Pengertian, Konsep, Homonimi dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia. Ketiga, Gambaran umum tentang Nafs Bab III Sekilas Biografi Hamka : terdiri dari 3 Sub Bab, yaitu : Pertama, Riwayat Hidup Hamka. Kedua, Pendidikan dan Karir Hamka. Ketiga, Karyakarya Hamka. Bab IV Analisis variasi makna kata nafs dalam Al-Qur’an terjemahan Hamka : terdiri dari 2 sub bab, yaitu: Pertama, analisis homonimi mutlak, yang terdapat 2 bagian, yaitu: kelas nomina dan kelas partikel. Kedua, analisis homonimi sebagian berdasarkan perbedaan derivasi. Bab V Penutup : terdiri dari 2 Sub Bab : Pertama, Kesimpulan. Dan Kedua, Saran. 10 BAB II KERANGKA TEORI A. Konsep Umum Penerjemahan al-Qur’an 1. Pengertian Terjemah Al-Qur’an Secara harfiah, terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau singkatnya mengalihbahasakan. Sedangkan terjemahan, berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain.14 Secara etimologis kata ” ”ﺘﺭﺠﻤﺔatau translation berarti menerangkan atau menjelaskan, seperti dalam ungkapan tarjamtu al-kalam maksudnya bayyantuhu wa waddahtuhu “menerangkan suatu pembicaraan dan menjelaskan maksudnya. 15 Maka, menafsirkan atau menjelaskan al-Qur’an ke dalam berbagai bahasa selain bahasa Arab, termasuk menerjemahkan al-Qur’an. Dalam hubungan ini, Ibnu Katsir dan alBaghawi menyatakan: kata terjemah itu dalam tuturan bahasa Arab digunakan secara mutlak dengan arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa maupun dalam bahasa yang berbeda.16 Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan kata tarjamah bermakna penjelasan dan kata terjemah dapat diperluas untuk setiap ungkapan yang membutuhkan penjelasan. 14 Tim PrimaPena, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Terbaru), (Jakarta: Gita Media Press), h. 754 15 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1): bersumber dari kitab at-tafsiru wal mufassirûn karya Dr.Moch.Husein az-Zahabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h. 129. 16 M. Ali Hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 170. 11 2. Macam-Macam Terjemah Al-Qur’an Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang progresif mendorong umat Islam untuk mencurahkan perhatian yang besar dalam menjawab problematika kontemporer yang semakin kompleks dari masa ke masa. 17 Untuk itu Penulis akan menjelaskan beberapa model dalam penerjemahan al-Qur’an sebagai berikut: a. Terjemahan secara harfiyah (lafziyah) yaitu menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa sasaran di mana kalimat dan susunan kata disesuaikan dengan bahasa aslinya. Contoh, kalimat bismillah diartikan dengan “dengan menyebut nama Allah” yang secara harfiyah adalah dua kata yang diterjemahkan ke dalam bahasa pemakai yang sudah beredar di masyarakat contohnya adalah terjemahan al-Qur’an Depag RI dari tiap edisi. Dalam terjemahan harfiyah selain beberapa pemahaman di atas ada dua hal yang harus diikuti jika menerjemahkan al-Qur’an. • Adanya kosakata-kosakata yang sempurna dalam bahasa terjemah sama dengan kosakata-kosakata bahasa asli. • Harus adanya penyesuaian kedua bahasa mengenai kata ganti dan kalimat penghubung yang menghubungkan antara satu frasa dengan frasa yang lain untuk menyusun kalimat. 17 Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (1), (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) h. 132 12 b. Terjemahan tafsiriyah (ma’nawiyah) yaitu menerjemahkan dari ayat-ayat al-Qur’an di mana si penerjemah memusatkan perhatiannya pada arti alQur’an yang diterjemahkan dengan lafaz-lafaz yang tidak terikat oleh kata-kata dan susunan kalimat dalam bahasa dalam bahasa asli. Model terjemahan tafsiriyah seperti ini juga sudah banyak beredar di masyarakat.18 3. Syarat-Syarat Terjemah Al-Qur’an Penerjemahan al-Qur’an adalah mengalihkan pesan al-Qur’an, ke bahasa asing selain bahasa Arab, dan terjemahan tersebut dicetak dengan tujuan agar dapat dikaji oleh mereka yang tidak menguasai bahasa Arab sehingga dapat dimengerti maksud dari firman Allah tersebut dengan bantuan terjemahan. Seorang penerjemah al-Qur’an harus memenuhi syarat-syarat berikut: • Penerjemah haruslah seorang muslim, sehingga tanggung jawab keislamannya dapat dipercaya. • Penerjemah haruslah seorang yang adil dan tsiqah. Karenanya, seorang fasik tidak diperkenankan menerjemahkan al-Qur’an. • Menguasai bahasa sasaran dengan teknik penyusunan kata. Ia harus mampu menulis dalam bahasa sasaran dengan baik. 18 M. Ali Hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 181 13 • Berpegang teguh pada prinsip-prinsip penafsiran al-Qur’an dan memenuhi kriteria sebagai mufasir, karena penerjemah pada hakikatnya adalah seorang mufasir. Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy ada beberapa ilmu yang harus dimengerti dan dikuasai oleh seorang mufassir sebagai berikut: • Lughah Arabiyah: dengan ilmu ini seorang muafassir akan mengetahui syarah kata tunggal. • Undang-undang bahasa Arab: aturan-aturan yang terdapat dalam bahasa Arab atau jelasnya mengerti ilmu sharaf dan nahwu. • Ilmu Ma’ani, Bayan dan Badi’: dari ketiga ilmu ini seorang mufassir akan mengerti susunan pembicaraan dan penjelasan dari setiap kalimat dan memahami letak keindahan bahasa alQur’an. • Mengetahui asababun nuzul dan nasakh serta mengerti antara mubham dan mujmal. • Mengetahui ijmal, tabyin, umum, khusus, itlaq, taqyid, petunjuk suruhan, petunjuk larangan. Ini diambil dari ilmu ushul fiqh. • Ilmu Kalam • Ilmu Qira’at.19 19 T. M. Hasbi ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang 1980), h. 207 14 Pada saat melakukan kerja penerjemahan al-Qur’an, seseorang harus memenuhi syarat-syarat berikut: • Dalam menerjemahkan seorang penerjemah harus berpedoman pada syarat-syarat penafsiran rasional ()ﺍﻝﺘﻔﺴﻴﺭﺍﻝﻌﻘﻠﻲ. • Penerjemah harus memperhatikan ketepatan terjemah dengan melihat tingkat penerjemah sebagai berikut: (1) terjemah kata per kata dengan melihat padanannya; (2) terjemah makna dan penjelasannya dengan menggambarkan makna tersebut dan memberi beberapa penjelas tambahan atas makna kata; (3) menjelaskan kebenaran pemilihan makna terjemahan dan berusaha menjelaskan dengan dalil. • Dalam menerjemahkan haruslah terkonsentrasi pada redaksi ( )ﺍﻷﻝﻔﺎﻅdan makna al-Qur’an, bukan pada bentuk susunan alQur’an, karena sistem susunan tersebut merupakan mukjizat yang tak terjemahkan. • Hendaknya menerjemahkan makna al-Qur’an dengan metode terjemah yang benar dengan kriteria: (1) gaya penerjemahan dengan bahasa yang mudah dicerna, dan sesuai dengan kemampuan umum pembaca; (2) hati-hati dalam mencarikan padanan yang tepat dari kalimat-kalimat yang ada dalam alQur’an; (3) menuliskan makna ayat dengan sempurna; (4) memohon bantuan pada ahli Bsa untuk mendapatkan koreksi. 15 • Menjadikan tafsir sebagai rujukan dalam penerjemahan. • Harus memberikan keterangan pendahuluan yang menyatakan bahwa terjemah al-Qur’an tersebut bukanlah al-Qur’an, melainkan tafsir al-Qur’an. Selain strategi di atas, ada teknik umum yang harus pula diketahui seorang yang hendak menerjemahkan al-Qur’an, seperti berikut: • Penerjemahan ayat sebaiknya ditulis miring. • Penerjemahan informasi ayat dituliskan sesuai dengan kelaziman yang dipakai, seperti (QS Al-Baqarah [2]: 33). Namun demikian, penulisan ini bisa disesuaikan dengan gaya selingkung yang berlaku. • Penerjemahan ayat sebaiknya diapit oleh tanda petik ganda. • Penerjemahan harus mengacu pada penerjemahan lain yang telah disepakati keakuratannya oleh banyak kalangan, meskipun tetap dibenarkan melakukan penyuntingan bahasa, bukan isi terjemahan. • Penerjemahan al-Qur’an di dalam teks lain, biasanya didahului dengan klausa Allah Swt. berfirman. Ini bukan merupakan keharusan. Penerjemah bisa memodifikasinya. 20 20 www.kampusislam.com, ditulis oleh: Moch. Syarif Hidyatullah. Diakses pada tanggal 19 februari 2010 16 B. Homonimi 1. Pengertian Hominimi Homonimi berasal dari bahasa yunani kuno, onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, verhaar memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.21 Umpamanya kata pacar yang berarti ‘inai’ dengan pacar yang berarti ‘kekasih’, antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup, dapat’. Contoh lain, antara kata baku yang berarti ’standar’ dengan baku yang berarti ’saling’, atau antara kata Bandar yang berarti ’pelabuhan’ dengan Bandar yang berarti ’parit’ dan Bandar yang berarti ’pemegang uang dalam perjudian’. Hubungan antara kata pacar dengan arti ’inai’ dan kata pacar dengan arti ’kekasih’ inilah yang disebut Homonim. Jadi kata pacar yang pertama berhomonim dengan kata pacar yang kedua. Begitu juga sebaliknya karena hubungan homonimi ini bersifat dua arah. Dalam kasus Bandar yang menjadi contoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata. Dalam bahasa Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri dari tiga buah kata. 21 Verhaar, J. W. M, Asas-Asas Linguistik Umum, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), h. 124 17 Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti ’racun ular’ homonim dengan kata bisa yang berarti ’sanggup’, maka kata bisa yang berarti ’sanggup’ juga homonim dengan kata bisa yang berarti ’racun ular’. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi. Pertama, bentuk-bentuk homonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti ’racun ular’ berasal dari bahasa melayu, sedangkan bisa yang berarti ’sanggup’ berasal dari bahasa jawa. Contoh lain kata bang yang berarti ’adzan’ berasal dari bahasa jawa, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti ’kakak laki-laki berasal’ dari bahasa melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti ’pangkal permulaan’ berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti ’kalau’ berasal dari dialek Jakarta. Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ’ibu sedang mengukur kelapa di dapur’ adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat ’petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami’. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur). 18 Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Misalnya, antara morfem -nya pada kalimat: ini buku saya, itu bukumu, dan yang di sana bukunya’ berhomonimi dengan – nya pada kalimat “mau belajar tetapi bukunya belum ada.” Morfem –nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem –nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu. Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti ’racun ular’ dan kata bisa yang berarti ’sanggup atau dapat’ seperti sudah disebutkan di muka. Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ’perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ’cinta kepada anak dari seornag ibu’. Contoh lain, orang tua yang berarti ’ayah ibu’ dan frase orang tua yang berarti ’orang yang sudah tua’. Juga antara frase lukisan yusuf yang berarti ’lukisan milik yusuf’ dan lukisan yusuf yang berarti ’lukisan hasil karya yusuf’, serta lukisan yusuf yang berarti ’lukisan wajah yusuf’. Homonimi antar kalimat, misalnya antara istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik, 19 dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik.22 2. Konsep Homonimi Para ahli bahasa sepakat bahwa konsep homonimi merupakan bagian dari ketaksaan (ambiguity) yang secara definitif diartikan sebagai hubungan pertalian dari dua atau lebih leksem-leksem yang berbeda, dan kebetulan mempunyai bentuk sama. Rasional dikemukakannya teori homonimi adalah kenyataan bahwa kosakata, yang di dalam kamus merupakan lema-lema, dapat mempunyai implikasi sama bentuk lain makna. Lyons (Linguistic Semantics, Cet. Ke-2: 1996) membagi homonimi ke dalam dua kelas besar, yakni: Homonimi mutlak (absolute homonymy), dan Homonimi sebagian (partikal homonymy). Homonimi mutlak mempunyai ciri formal sebagai berikut: (i) makna masing-masing leksem anggota homonimi tidak berhubungan; (ii) semua leksem yang homonim dapat teridentifikasi; (iii) bentuk leksem yang identik itu secara gramatikal equivalen. Homonimi mutlak, misalnya bank1 ’lembaga keuangan’ dan bank2 ’tepi sungai’, bisa1 ’racun ular’ dan bisa2 ’dapat melakukan’. Hasil analisis mutlak ini akan dipilah berdasarkan 3 (tiga) kategori kelas kata (kategori primer) yang berlaku dalam tradisi linguistik arab, yakni (1) nomina (al-ism), (2) verba (al-fi’il), dan (3) partikel (al-harf). Kelas 22 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta,1994) h. 93-96 20 nomina (al-ism) mencakup subkelas: adjektiva (al-sifat), partisip aktif (isim fâil), partisip pasif (isim maf’ul), infinitif (masdar), dan pronomina persona. Kelas verba (al-fi’il) mencakup verba perfektif (fi’il mâdi), verba imperfektif (fi’il mudâri), dan verba imperatif (fi’il amr). Kelas partikel (al-haf) mencakup preposisi (harf jarr), adverbia lokatif (zaraf makân), adverbia waktu (zaraf zamân), interjeksi (munadâ’), partikel negasi (huruf manfi), konjungsi (al-atf), interogativa (huruf istifhâm), dan fatis (al-isti’nâf). Homonimi sebagian apabila ditemukan identitas (i), atau (i) dan (ii) dari klasifikasi homonimi mutlak, tetapi tidak ditemukan identitas (iii). Misalnya, verba find ’menemukan’ dan found ’mendirikan’ sama-sama memiliki bentuk found; dan found sebagai bentuk dari find ’menemukan’ secara gramatikal tidak equivalen dengan bentuk found sebagai bentuk dari found ’mendirikan’. Termasuk juga ke dalam homonimi sebagian apabila leksem homonimis itu tidak berasal dari lingkungan gramatikal yang sama, seperti adjektifa last1 dalam last week ’minggu yang lalu’ dan verba last2 dalam Bricks last a long time ’Bricks tahan lama’. 23 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa leksem-leksem itu homonimi mutlak apabila memenuhi syarat dan bentuknya sama, baik dalam medium fonik atau grafik. Homonimi sebagian cenderung mengakibatkan ketaksaan dalam konteks tertentu, sehingga dapat dijelaskan dengan tata bahasa yang 23 Afdol Tarhik Wastono, Kajian Semantis Makna Homonimi Bahasa Arab (Jakarta: FIB-UI, 2000) 21 menurunkannya. Apabila homonimi sebagian mengakibatkan ketaksaan dalam kalimat, maka itu merupakan kataksaan leksikal dan gramatikal. 3. Homonim dalam Bahasa Arab Homonimi (Al-Musytarak Al-Lafzi) dalam bahasa Arab sama dengan polisemi dalam bahasa Indonesia, yaitu kata atau frasa yang memiliki makna lebih dari satu, atau memiliki makna yang berbeda-beda. Pengertian homonimi Musytarak Lafzi di dalam buku ’Inda al-Arab dibagi menjadi dua bagian yaitu polisemi dan homonimi, sedangkan di dalam buku Ilmu ad-Dilalah, musytarak Lafzi banyak dipelajari di dalam al-Qur’an, hadist nabi dan di dalam bahasa Arab. Menurut salah satu ahli bahasa, musytarak Lafzi adalah satu kata yang mempunyai makna lebih dari satu, pengertian ini sama dengan definisi polisemi dalam bahasa Indonesia. 24 Berbeda pengertian musytarak Lafzi di dalam kitab Mulakhas Qowâidul al-Lughah al-Arabiyah bahwa homonimi adalah lawan kata dari sinonim. Homonimi adalah setiap kata yang memiliki beberapa makna, baik makna yang sebenarnya atau makna kiasan. Para ahli bahasa berbeda pendapat tentang definisi musytarak Lafzi tersebut, ada yang menolaknya dan ada juga yang mengakui keberadaannya, dengan menunjukkan berbagai fakta yang ada dan tidak dapat diragukan lagi. Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya homonim musytarak Lafzi di antaranya: 24 Ahmad Mukhtar ‘Umar, Ilmu Dilalah (Kuwait: Jamiaatul Kuwait, 1982), Cet.1, h.147 22 a. Perbedaan dialek-dialek Arab klasik, maka adanya homonim menampakkan implikasi dari perbedaan penggunaan kata dari berbagai suku. b. Bergesernya beberapa kata dari makna yang asli pada makna kiasan, dengan adanya hubungan tertentu, seringnya kata-kata itu digunakan, sehingga kata kiasan menjadi sekuat kata yang sebenarnya. c. Adanya dua kata yang hampir sama, sighatnya juga sama. Dari situ muncullah beraneka ragam makna. Pengaruh bahasa (kata) asing ke dalam bahasa Indonesia ternyata mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Homonin dalam bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab: a. Kata daraba ( ) بmempunyai artî (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. b. Kata tawallâ ( ) mempunyai artî (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawallâ yang mempunyai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. c. Kata rusyd ( ) رmempunyai artî (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. 23 d. Kata qabadha ( ) mempunyai artî (1) menekan; (2) mengembalikan; (3) mengerutkan: (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama. e. Tahlil n Puji-pujian kepada tuhan dengan menyebut la ila ha illallah. Tahlil n Pengesahan perkawinan antara suami istri yang telah bercerai tiga kali dengan perantaraan muhalil. f. Sirat n Mata jala (jarring, rajut), Sirat n Celah, sela (antara gigi dan gigi), Sirat n Jembatan. 4. Homonimi dalam Bahasa Indonesia Saeed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak berbeda dengan definisi dari Matthews (1997:164) yang menyebut homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi hominimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf. Homonimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan. 25 Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia: Rapat (berdempet-dempetan) dengan kata Rapat (meeting) Beruang (hewan) dengan kata Beruang (punya uang) 25 http//google.com diakses selasa, 15 juni 2010 24 Bisa (dapat) dengan kata Bisa (racun ular) Pacar (inai) dengan kata Pacar (kekasih) Bandar (pelabuhan), Bandar (parit), Bandar (pemegang uang dalam perjudian) C. Sekilas Tentang Nafs’ Istilah nafs yang dimaksud di sini adalah istilah bahasa Arab yang dipakai dalam al-Qur’an. Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, nafs (jamaknya nufus dan anfus) berarti ruh (roh) dan ‘ain (diri sendiri).26 Sedangkan dalam kamus alMunawir disebutkan bahwa kata nafs (jamaknya anfus dan nufus) itu berarti roh dan jiwa, juga berarti al-jasad (badan, tubuh), as-syakhs (orang), as-syahks alinsan (diri orang), al-dzat atau al’ain (diri sendiri).27 Sedangkan menurut Dawan Raharjo dalam Ensiklopedia al-Qur’an disebutkan bahwa dalam al-Qur’an nafs yang jamaknya anfus dan nufus diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping juga dipakai untuk beberapa arti lainnya.28 Dalam pembahasan ini yang dimaksud nafs adalah makhluk ciptaan Allah 29 yang termasuk makhluk hidup, dan karena itu nafs juga dimatikan (QS:21;35), ciri khusus nafs adalah bernafas, sebagai tanda dari kehidupan dan keberadaannya menyatu dengan unsur fisika kimiawi, dan dari unsur tanah dan air 26 Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), h.826. Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), h.1545. 28 M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep kunci, (Jakarta: Paramadina, 1996), h.250. 29 Sebab ada kata nafs dalam al-Qur’an yang digunakan juga untuk menunjuk kepada diri Tuhan, yaitu dalam surat al-An’am (6) ayat 12. 27 25 (QS:6;2). Nafs sebagai makhluk Allah diciptakan atau berasal dari nafs wahidah (QS:7;189). Para mufassir umumnya menafsirkan nafs wahidah itu identik dengan Nabi Adam. Menurut Ibnu Katsir, bahwa semua manusia itu berasal dari Adam dan Allah menjadikan istri Adam yaitu Hawa’ darinya, kemudian Allah membuat keturunannya sehingga terbesar semua manusia lakilaki perempuan sebanyak penduduk dunia sekarang ini dan seterusnya sehingga hari kiamat nanti. Ayat pertama turun yang mengandung kata nafs dalam bentuk jama’nya nufus terdapat pada surat al-Muzammil (73) ayat 20 surat paling awal ke tiga sesudah al-‘Alaq dan al-Qalam, yang menjelaskan sesuatu perbuatan manusia yang efeknya hanyalah kepada diri manusia sendiri (anfus), bahwa apapun yang dikerjakan oleh nafs di dunia ini berupa perbuatan baik dan buruk akan ditemui balasannya di hari kiamat 30. Ayat kedua yang turun bersama dengan kata nafs terdapat pada surat al-Mudatsir (74) ayat 38, yang menjelaskan bahwa setiap jiwa itu tergadai dengan amalnya di sisi Allah dari terikat denganNya, maka jiwa itulah sebagai jaminan (rahinah) baik jiwa itu kafir maupun mukmin, durhaka atau taat31. Nafs di sini diartikan sebagai jiwa yang memiliki jaminan bahwa yang diusahakan seseorang akan memberi pengaruh terhadap jiwa orang tersebut. Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu 30 Al-Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Juz VIII, (Cairo: Musthafa al-Babi alHalabi, 1974), h.267. 31 Lihat al-Maraghi, Juz VIII, h.269. 26 sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk 32. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk bertindak dan memuaskan batinya. Nafsu ini disebut juga nafsu syahwat(libido). Tetapi bernafsu tidak hanya identik dengan seks, bernafsu bisa digunakan untuk sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa syahwat adalah merupakan anugerah dari Tuhan (QS:31;14). Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi.33 Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua kata yang sama-sama diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa berarti hasrat (desire), hawa nafsu (lust). Kata hawa atau ahwa disebut 17 kali dalam al-Qur’an. Secara etimologis, kata hawa bermakna kosong, jauh, sedangkan dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati kepada kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada 32 Hal ini sangat dipengaruhi oleh teorinya Sigmund Freud, yang mengatakan bahwa nafsu (libido) adalah energi psikis yang mengendalikan manusia. 33 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), 180. 27 syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia ini ke dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka.34 Dalam al-Qur’an dibedakan antara ruh dan nafs, pada kedua kata itu bukanlah sinonim. Kata ruh disebutkan sebanyak 21 kali, antara lain menunjuk arti pembawa wahyu (QS:26;192-195), dan ruh yang membuat hidup manusia (QS:15;126). Sedangkan kata nafs dalam al-Qur’an semua memiliki pengertian dzat secara umum terdiri dari dua unsur material dan immatrial, yang akan mati dan terbunuh (QS: 32;9). Dengan kemutlakan seperti ini, maka kata nafs bukanlah sinonim dari kata al-ruh. Fazlur Rahman menjelaskan mengenai nafs dalam al-Qur’an, kata ini dalam filsafat dan tasawuf Islam telah menjadi konsep tentang jiwa dengan pengertian bahwa ia adalah substansi yang terpisah dari jasmani. Jiwa yang dikatakan juga sebagai diri atau batin manusia memang dinyatakan oleh alQur’an dengan realitas pada manusia, tetapi ia tidak terpisah secara eklusif dari raga. Dengan kata lain, menurut Fazlur Rahman, al-Qur’an tidak mendukung doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga. Menurut penafsirannya nafs yang sering diterjemahkan menjadi jiwa (soul), sebenarnya berarti pribadi, perasaan, atau aku. Adapun predikat yang beberapa kali disebut dalam al-Qur’an hanyalah dan seharusnya dipahami sebagai kaidah-kaidah, aspek-aspek, watakwatak, dan kecenderungan-kecenderungan yang ada pada pribadi manusia. Hal ini 34 Abdul Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h.117. 28 seharusnya dipahami sebagai aspek mental, sebagai lawan dari aspek phisik, tetapi tidak sebagai substansi yang terpisah.35 Sedangkan diskursus menganai jiwa oleh para pemikir muslim seperti alGhazali yang mengkaji konsep nafs secara mendalam. Menurut al-Ghazali nafsitu mempunyai dua arti, arti nafs yang pertama adalah nafsu-nafsu rendah yang kaitannya dengan raga dan kejiwaan, seperti dorongan agresif (al-ghadlab), dan dorongan erotik (al-syahwat), yang keduanya dimiliki oleh hewan dan manusia.Adapun nafs yang kedua adalah nafs muthmainah yang lembut, halus, suci dan tenang yang diundang oleh Tuhan sendiri dengan lembutnya untuk masuk ke dalam surga-Nya (QS:al-Fajr;27-28).36 35 Fazlur Rahman, dalam M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia... h.260. Hanna Djumhana Bastaman, Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.78. 36 29 BAB III BIOGRAFI HAMKA A. Riwayat Hidup Hamka Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Panggilan kecilnya ialah Abdul Malik. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Februari 1908 di Manijuratau lebih tepatnya lahir pada tanggal 13 Muharram 1362, di sebuah desa tanah Sirah, di tepi danau Maninjau Sumatra Barat. Ayahnya bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul. Dia adalah adalah seorang tokoh pelopor gerakan pemuda Minangkabau. 37 Berbicara tentang Hamka, maka tidak lepas pembicaraan kita tentang latar belakang dimana tokoh tersebut dilahirkan, baik dari kondisi sosial masyarakat ataupun letak geografisnya. Kalau diperhatikan keberhasilan Hamka sebagai seorang yang pandai dan terkenal tidaklah mengherankan, seperti kata pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Seperti itulah kiranya Hamka dikenal, Hamka dilahirkan dari keluarga yang memiliki pengetahuan keagamaan yang kuat serta disegani dalam lingkungannya. Kakeknya seorang ulama dan tokoh masyarakat yang dihormati, begitu juga ayahnya yang juga seorang ulama dan 37 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve, 1993), h.75 30 tokoh masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pemikiran yang luas. Ini dapat dilihat dari aktifitasnya dalam berbagai organisasi yang diikutinya.38 Pada akhir abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20 Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dan ketiga tokoh lainnya yaitu Syekh Taher Jalaluddin, Syekh Muhammad Jamil Djambek, dan Haji Abdullah Ahmad mempelopori sebuah gerakan kebangkitan yang dikenal dengan sebutan kaum muda. Gerakan ini ditandai dengan munculnya berbagai publikasi, sekolah serta organisasi yang dikelola secara modern.39 Organisasi ini dikatakan organisasi pemuda, karena alasannya adalah bahwa pendirinya adalah kaum muda. Usia para pendiri ini belum sampai pada usia 40 tahun. Ayah Hamka sendiri, Tuan Rasul, usianya waktu itu kira-kira baru 30 tahun. Sedangkan ulama-ulama yang mempertahankan tarikat di tanah tersebut, kebanyakan mereka berusia 40-50 tahun dan relatif dibilang para golongan tua.40 Syekh Taher Jalaluddin, meskipun menetap di Singapura dan hanya dua kali singgah ke tanah Minang, akan tetapi pemikiran beliau sangat berpengaruh terhadap tokoh-tokoh tanah Minang tersebut, terutama ketiga tokoh angkatan muda tersebut. Ketiga tokoh kaum muda tersebut adalah teman sekaligus murid dari syekh Taher Jalaluddin. Pengaruh tersebut disalurkan melalui majalah alImam dan sekolah-sekolah yang didirikan oleh Syekh Taher bersama Raja Ali di Singapura pada tahun 1908 yang diberi nama Al-Iqbal Al-Islami. Majalah Al38 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve, 1993), h.78 39 M. Yunan Yusuf, Corak penafsiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Perpustakaan IAIN, 1982), h.32 40 Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.79 31 Imam berisi tentang artikel-artikel tentang masalah keagamaan dan laporan peristiwa yang terjadi pada dunia islam. Melalui majalah inilah pemikiranpemikiran Muhammad Abduh disebar luaskan, yang dikutib dari majalah alManar. Dengan semangat yang diberikan oleh Syekh Taher melalui majalah alImam dan dasar intelekstual yang sudah bersentuhan dengan pemikiran Saudi Arabia dan Mesir, ketiga tokoh tersebut melancarkan serangan-serangan terhadap kaum adat yang memegang teguh adat dan tradisi yang dipengaruhi kebiasaan Belanda.41 Syekh Abdul Karim menentang keras Rabithah dan Wasilah dengan menulis buku Qati’u Razbi al-Mulhidin (pemotong tusukan oarang-orang ilhad). Buku untuk memperkuat argumen Syekh Ahmad Khatib dalam menjawab Syekh Sa’ad Munka, tokoh kaum tua. Setelah beberapa tahun majalah al-Imam tidak terbit, Haji Abdullah Ahmad menerbitkan majalah baru yang diberi nama alMunir, yang memuat berbagai artikel tentang agama, biografi nabi, peristiwaperistiwa luar negeri, serta mengambil berbagai artikel dari al-Manar. Tujuan majalah al-Munir adalah untuk memajukan putra-putra muslim supaya mempunyai pengetahuan yang luas dalam masalah islam dan juga pengetahuan yang memadai.42 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan Syekh Abdul Karim Amrullah beserta kawan-kawannya mendapat tantangan keras dari masyarakat setempat, terutama dari kaum tua. Mereka dituduh keluar dari Majhab Ahli Sunnah, dan mereka juga 41 42 Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.105 Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.106 32 dituduh menganut paham Mu’tazilah, Wahabi dan Khawarij, bahkan dikatakan telah zindiq, sesat dan menyesatkan. Minangkabau saat itu terbagi atas dua bagian, kaum muda yang dipimpi oleh Syekh Abdul Kasim Amrullah dan kawankawannya sementara kaum tua yang dipimpin oleh Syekh Sa’ad Munka. Puncaknya perselisihan ini terjadi pada tahun 1918. Ditengah potret latar belakang seperti itulah seorang Hamka dilahirkan, dari salah satu dari ketiga tokoh pemuda tersebut. Yaitu Syekh Rasul (Syekh Abdul Kasim Amrullah), yang berharap agar anaknya kelak mengikuti jejak ayahnya sebagai tokoh yang revolusioner dalam merubah kebekuan tradisi yang menghambat kemajuan umat dan bangsa.43 B. Pendidikan dan Karir Hamka Hamka atau pada waktu kecilnya dengan sebutan Abdul Malik memulai pendidikannya dengan membaca al-Qur’an dirumah orang tuanya, dan gurunya adalah ayahnya sendiri. Baru pada usia tujuh tahun, Hamka disekolahkan di sekolah yang ada di desa dimana Hamka tinggal. Mereka pindah dari Maninjau ke Padang Panjang pada tahun 1914.44 Pada tahun 1916 ketika Zainuddin Labai al-Yunusi mendirikan sekolah diniyah petang hari, di Padang Panjang (pasar usang), Hamka dimasukkan ke 43 44 Hamka, Ayahku, (Jakarta: Umminda, 1982), Cet. Ke-4, h.107 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.48 33 sekolah tersebut. Sore hari aktifitas Hamka di sekolah, sementara malam harinya beliau di surau belajar mengaji bersama teman-teman sebayanya.45 Kegiatan-kegiatan ini dilakukan Hamka setiap hari. Keadaan yang demikian membuat Hamka merasa jenuh, ditambah lagi sikap ayahnya yang keras dan otoriter, membuat Hamka merasa terkekang dan kehilangan kebebasan di masa kanak-kanaknya, sehingga sikap yang menyimpang dari Hamka adalah ia dikenal sebagai anak yang nakal.46 Pada tahun 1928 saat ayahnya kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah jawa, suarau jembatan besi, tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, yang kemudian diubah menjadi sebuah madrasah yang dikenal dengan nama Thawalib School. Dengan harapan dari sekolah ini agar anaknya kelak menjadi ulama’ seperti dia juga. Setelah selesai dari sekolah desa, Hamka di masukkan ke sekolah Thawalib School tersebut. Namun sistem belajar klasikal Thawalib School yang masih menggunakan kurikulum dan materi pelajaran lama, membuat Hamka cepat bosan. Keadaan seperti itu membuat Hamka lebih senang berada di dalam perpustakaan untuk membaca buku-buku cerita dan sejarah. Imajinasinya sebagai anak-anak mulai muncul, walaupun sesekali mendapat hambatan dari ayahnya yang lebih menginginkan Hamka menjadi seorang alim.47 45 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.49 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.50 47 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.50-51 46 34 Pada tahun 1924 Hamka merantau ke tanah jawa, Yogyakarta adalah tempat pertama dia merantau. Di tempat ini, Hamka menemukan semangat baru dalam mempelajari islam. Lewat pamannya yang bernama Ja’far Amrullah, Hamka mengikuti kursus yang diadakan oleh Muhammadiyah dan Sarikat Islam. 48 Pada kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Agus Hadikusuma, dari pertemuan ini Hamka mendapat pelajaran tentang tafsir Al-Qur’an. Ia juga bertemu dengan HOS Cokrominoto. Dan sering mendengarkan ceramahnya tentang islam dan sosialisme. Disamping itu, ia juga sering bertukar pikiran dengan tokoh penting lainnya, seperti Haji Fachruddin dan Samsul Rijal (tokoh jong islamited bond). Keberadaan Hamka di tanah jawa yang menumbuhkan semangat baru dan kesadaran dalam melihat islam. Hal ini membuat ia membandingkan dengan tanah kelahirannya, sebagaimana disinggung oleh para ahli islam, islam di minangkabau lebih banyak berhadapan dengan adat praktek ninang yang dipandang berbau Jahiliyah. Sebaliknya citra pembaharuan Islam di jawa kelihatannya lebih berorentasi kepada upaya memerangi keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan serta kristenisasi yang dapat sokongan dari kolonial. 49 Setelah beberapa lama di tanah jawa, Hamka pun kembali ke Minangkabau dalam usia tujuh belas tahun. Hamka telah tumbuh menjadi pemimpin ditengah-tengah lingkungannya. Ia sering berpidato ditengah-tengah masyarakat Minangkabau yang telah melahirkan dan membesarkannya itu. Ia juga 48 49 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.52 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.52-54 35 membuka kursus pidato bagi teman-teman sebayanya di suarau jembatan besi. Kemudian hasil pidato teman-temannya dia kumpulkan dan terbitkan dalam majalah yang diberi nama Khatibul Ummah.50 Pada bulan Februari Hamka berangkat ke Makkah. Semangat pergerakan yang tertanam sejak tinggal di tanah jawa, tidak membuat Hamka tinggal diam di tanah suci. Menjelang ibadah Haji berlangsung, Hamka bersama beberapa jamaah haji lainnya mendirikan organisasi persatuan Hindia Timur yang bertujuan untuk memberikan pelajaran agama, terutama manasik haji kepada calon jamaah haji asal Indonesia. Sepulangnya dari Tanah Suci, Hamka telah menjadi seorang yang menggantikan ayahnya Syekh Abdul Karim Amrullah sebagai ulama yang menjadi panutan masyarakat Minangkabau. Semangat pergerakan tetap tertanam dalam jiwanya, karena itulah beberapa waktu setelah itu ia aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang, bahkan ia diserahi untuk memimpin sekolah yang diberi nama Tabligh School.51 Demikianlah Hamka dalam menempuh hidupnya dengan pasti. Pengukuhan diri sebagai seorang tokoh dan pengajar islam telah ia guratkan dengan yakin dalam jiwanya. Setiap muktamar Muhammadiyah berlangsung Hamka selalu tampil sebagai pembicara atau pemberi ceramah. 52 Atas kepercayaan pimpinan pusat Muhammadiyah, Hamka diutus untuk menjadi Muballiqh di Makasar. Pada tahun 50 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), jilid. 1, h.63. M. Yunan Yusuf, Op. Cit, h.63 52 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.64 51 36 1933, ia menghadiri muktamar Muhammadiyah semarang, dan setahun kemudian dia diangkat menjadi anggota majlis konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah.53 Sekembalinya dari Makasar Hamka mendirikan Kullyatul Mabilghien di Padang Panjang. Kemudian pada tahun 1936 di kota Medan, Hamka bersama M.Yunan Nasution menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat, majalah yang menurut Yunan Nasution memberikan andil besar bagi kepengarangan dan kepujanggaan Hamka di masa depan. Ketika Jepang mendarat di kota Medan pada tahun 1924, segala bentuk perkumpulan dan perserikatan dilarang. Hampir semua masyarakat kecewa dengan keadaan ini, namun Hamka ditempatkan sebagai ”anak emas” oleh Jepang. Sebagai tokoh Muhammadiyah dan pemuka masyarakat, Hamka diangkat sebagai anggota Syusang Kai, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun 1944.54 Pada tahun 1946, Hamka dipilih sebagai ketua Muhammadiyah melalui konferensi yang berlangsung di Padang Panjang. Dan pada tahun 1947, Hamka dipercaya untuk menjadi ketua dari sekretaris FPN (Front Pertahanan Nasional), sebuah badan yang dibentuk untuk membangkitkan semangat rakyat Sumatra Barat dalam perjuangan bersenjata menghalau pejabat ketika terjadi agresi Belanda yang pertama. Dan dalam waktu yang sama, Hamka menerbitkan majalah yang diberi nama Menara. 53 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.65 Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan dan Riwayat Perjuangannya Dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983), h.475 54 37 Hamka hijrah ke Jakarta pada tanggal 18 Desember 1949. Jakarta ternyata menawarkan sejuta kemungkinan buat Hamka. Beberapa lama kemudian, ia diterima sebagai anggota koresponden surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. Dimasa ini juga Hamka terjun dalam politik praktis yaitu menjadi anggota Partai Islam Masyumi.55 Pada tahun 1955, Hamka terpilih sebagai anggota konstituante Partai Masyumi. Lewat konstituante, Hamka gigih memperjuangkan kepentingan islam. Hamka pernah mengusulkan untuk mendirikan negara berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Usulannya memang tidak diterima, namun ia telah menunjukan dengan gigih upayanya untuk berjuang demi Islam. Ketika menjadi pejabat tinggi dan Penasehat Departemen Agama, Hamka diundang pemerintah Amerika Serikat untuk menetap selama empat bulan di Amerika. Setelah itu, berturut-turut menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangthai (1953), mewakili Departemen Agama beliau menghadiri peringatan mangkatnya Budha ke 2500 di Myanmar (ketika itu Burma, 1945), ia juga diundang menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958), dan oleh Universitas Al-Azhar Kairo Hamka diminta untuk memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Ceramah tersebut menghasilkan gelar Doctor Honoris Causa bagi Hamka. 56 Ketika perkembangan polotik di Indonesia kian buruk akibat pengaruh Partai Komunis Indonesia ( PKI ), Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan 55 Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Op. Cit, h.292 Ceramah tersebut kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961) 56 38 semboyan belaka dan diganti dengan Nasakom (Nasional Agama Komunis). Kemudian Partai Masyumi pun dibubarkan oleh Soekarno, namun Hamka sebagai tokoh masyarakat dan ulama tidak luput dari hasutan, yaitu dituduh mengadakan rapat gelap menyusun rencana membunuh Presiden Soekarno. Ia juga dituduh melakukan plagiat karya Mustafa Lutfi al-Manfaluti. Atas tuduhan perencanaan pembunuhan itu, Hamka dijebloskan ke dalam tahanan. Namun ketika Orde Baru bangkit, orang-orang yang ditahan atas hasutan PKI dibebaskan termasuk Hamka.57 Hamka kemudian memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah islam. Ia memimpin majalah Panji Msyarakat dan menjadi imam besar masjid Al-azhar. Hamka juga sering dipercaya mewakili Pemerintah Indonesia menghadiri pertemuan-pertemuan Islam Internasional, seperti Konferensi Negara-negara Islam di Rabat (1968), Muktamar Masjid di Mekah (1976), seminar tentang Islam dan peradaban di Kuala Lumpur, Upacara Peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977).58 Dengan usia yang semakin menua, kesehatan Hamka terganggu. Hamka pun tidak lagi banyak melakukan kegiatan ke luar negeri. Ia lebih banyak menunggu orang-orang yang datang kerumahnya untuk berkonsultasi tentang masalah-masalah agama dan persoalan kehidupan. Karir Hamka menjelang akhir hayatnya adalah sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia ( MUI ). Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka 57 58 Ibid, h.59 Ibid, h.60 39 mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pengunduran diri ini disebabkan adanya kontroversi dengan Mentri Agama Alamsyah Ratu Prawira Negara tentang menghadiri perayaan Natal bersama umat Islam. Saat itu Hamka dengan kapasitas sebagai Ketua MUI, memfatwakan haram hukumnya seorang muslim menghadiri perayaan Natal. Agaknya keputusan pengunduran diri tesebut merupakan sinyal bagi semua pihak untuk intropeksi diri, juga patanda bagi Hamka pamit untuk selamalamanya dari dunia ini, karena dua bulan setelah itu Hamka berpulang ke Rahmatullah (meninggal dunia), yang bertepatan pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun. 59 Hamka menutup mata dalam satu penyelesaian tugas, dengan predikat sebagai seorang Ulama. C. Karya-Karya Hamka Hamka di masa hidupnya telah melahirkan banyak karya. Di bawah ini adalah hasil karya-karya yang ditorehkan lewat tangan Hamka. 60 A. Karya Hamka dalam bentuk roman dan fiksi agama. 1. Di bawah Lindungan Ka’bah 2. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk 3. Merantau ke Deli 4. Tuan Direktur 5. Keadilan Illahi 59 60 Majalah Amanah, Seandainya Hamka masih ada, (Jakarta: 2000), h.45 M.Yunan Yusuf, Op.Cit, h.65-68 40 6. Angkatan Baru 7. Terusir 8. Di dalam Lembah Kehidupan 9. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao 10. Ayahku 11. Filsafat Hidup 12. Tasawwuf Moderen 13. Lembagu Budi B. Dalam bentuk Buku 1. Islam dan Demokrasi 2. Revolusi Pikiran 3. Negara Islam 4. Revolusi Agama 5. Adat Minagkabau Menghadapi Revolusi 41 BAB IV Analisis Homonimi Kata Nafs ( ) ﻨﻔﺱdalam Al-Qur’an Terjemahan Hamka Homonimi sebagai gejala semesta bahasa (language universal), tentu saja dimiliki oleh bahasa Arab. Namun demikian, sampai saat ini belum ditemukan konsep homonimi bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus Arab mencampur adukan, dalam satu entri atau lema, antara homonimi, sinonimi maupun polisemi. Dan kebanyakan dari orang Indonesia pun hanya mengetahui bahwa kata nafs itu hanya dengan kata ‘diri’ Pada kesempatan kali ini, penulis ingin memaparkan tentang kehonimian terhadap kata nafs dalam al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan teori Lyon, yang memberikan klasifikasi homonimi atas homonimi mutlak dan homonimi sebagian. Adapun pembagian makna yang terkandung dalam kata nafs berdasarkan teori Achmad Mubarok dengan metode temantiknya, menyebutkan 7 makna nafs dalam al-Quran, yaitu: • Nafs, sebagai Diri atau seseorang. • Nafs, sebagai diri tuhan. • Nafs, sebagai person sesuatu.. • Nafs, sebagai roh. • Nafs, sebagai jiwa. • Nafs, sebagai totalitas manusia. 42 • Nafs sebagai sisi dalam manusia yang melahirkan tingkah laku. A. Homonimi Mutlak 1. Kelas Nomina (al-ism). Berikut ini merupakan leksem-leksem yang berkategori nomina (al-ism). a) - ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (1)/ ’ruh” - ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’ - ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu) Leksem ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (1)/ ’ruh” secara relasional mengacu kepada medan makna sesuatu yang ghaib (tak terlihat), sedangkan leksem ﺃَﻨﻔﺱ/anfus dan ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (3)/ (2)/ ‘diri’ ‘diri’ (person sesuatu) secara relasional mengacu kepada medan makna sesuatu yang tampak oleh mata (jasad). Dengan demikian relasi komponen makna leksem ﺃَﻨﻔﺱ/anfus /anfus (3)/ (1)/ ’ruh”, ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’ dan ﺃَﻨﻔﺱ ‘diri’ (person sesuatu) berhubungan dan secara gramatikal equivalen karena ketiganya berasal dari kategori yang sama yakni nomina (al-ism), Sebagai contoh dari kedua leksem tersebut yang diterjemahkan oleh Hamka: (i) surat al-An’am ayat 93: ﻜﹸﻢﻔﹸﺴﻮﺍ ﺃﹶﻧﺮﹺﺟ ﺃﹶﺧﻳﻬﹺﻢﻳﺪﻄﹸﻮ ﺃﹶﺎﺳﻜﹶﺔﹸ ﺑﻠﹶﺎﺋﺍﻟﹾﻤﻭ “sedangkan malaikat menurunkan tangan mereka. Keluarkanlah nyawa-nyawa kamu!” (ii) Surah al-Imran ayat 61 43 ﻜﹸﻢﻔﹸﺴﺃﹶﻧﺎ ﻭﻨﻔﹸﺴﺃﹶﻧ ﻭﺎﺀَﻛﹸﻢﻧﹺﺴﺎ ﻭﺎﺀَﻧﻧﹺﺴ ﻭﺎﺀَﻛﹸﻢﻨﺃﹶﺑﺎ ﻭﺎﺀَﻧﻨ ﺃﹶﺑﻉﺪﺍ ﻧﺎﹶﻟﻮﻌﺗ “Marilah kemari! Kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, dan diri-diri kami dan diri-diri kamu” (iii) Surah an-Nahl ayat 33 ﻮﻥﹶﻤﻳﻈﹾﻠ ﻢﻬﻔﹸﺴﻮﺍ ﺃﹶﻧ ﻛﹶﺎﻧﻦﻟﹶﻜ ﻭ ﺍﻟﻠﱠﻪﻢﻬﺎ ﻇﹶﻠﹶﻤﻣﻭ “Dan Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri” Contoh (i) ﺃَﻨﻔﺱbentuk jamak dari ﻨﻔﺱ, Hamka menerjemahkan menggunakan kata ”nyawa”, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nyawa berdefinisi pemberi hidup kepada badan wadak (organisme fisik) yang menyebabkan hidup (pada manusia, binatang, dan sebagainya). Namun dalam penerjemahan ayat ayat ini, penulis menemukan keganjalan dalam penerjemahan Hamka. Kata ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔditerjemahkan dalam bentuk tunggal ‘malaikat’, sedangkan dalam teks aslinya kata ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔtergolong bentuk jamak yang berarti lebih dari satu. Dan juga pada kata setelahnya ﺃَﻴﺩﻴﻬﻡditerjemahkan ‘tangan mereka’, padahal pronomina ﻫﻡdi sini menyatakan kepada kata ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔ, akan tetapi ﻫﻡdiartikan ‘mereka’ dan ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔdiartikan ‘malaikat’ jadi tidak sepadan dalam perpaduan penerjemahannya, bentuk tunggal dipadukan dengan bentuk jamak. Sepatutnya bentuk tunggal dipadukan dengan tunggal dan bentuk jamak dengan jamak pula. Penulis menyatakan, kata ﺍﻝﻤﻼﺌﻜﺔlebih tepat diterjemahkan dengan kata ‘para malaikat’ sehingga dalam pemaknaanya pun lebih sepadan. 44 Pada masa awal turunnya al-Qur’an, kata nafs digunakan untuk menyebut jiwa atau sisi dalam manusia, sementara ruh digunakan untuk menyebut malaikat Jibril atau anugerah ketuhanan yang istimewa. Baru pada periode sesudah al-Qur’an secara keseluruhan masyarakat di dunia Islam, kata nafs digunakan oleh literatur Arab untuk menyebut jiwa dan ruh secara silang, dan keduanya digunakan untuk menyebut rohani, malaikat dan jin. Namun kata ruh dalam pengertian ini berbeda dengan kata ( ﺭﻭﺡruh). Para sufi mendefinisikan ( ﺭﻭﺡruh) dalam al-Qur’an sebagai Malaikat Jibril atau malaikat lain, Rahmat Allah kepada kaum mukminin, dan Kitab suci al-Qur'an.61 Ruh dari pengertian kata nafs disini didefinisikan sesuatu zat yang tuhan tiupkan kedalam tubuh manusia, sehingga manusia mendapat kehidupan. Tentang bagaimana hubungan ruh itu sendiri dengan nafs, para ulama berbeda pendapat mengenai hal itu. Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibn Taimiyah menjelaskan: "Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa".62 61 Achmad Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur'an (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 128 M. Amin Damej, Majmu'ah al-Rasail al-Muniriyah, juz 2, 1970, 39-41 dimuat dalam Dirasah...,h. 47-48. 62 45 Dalam hal ini, Hamka menerangkan makna ruh itu sendiri sama halnya dengan penjelasan di atas bahwa ruh adalah zat yang tuhan hembuskan ke dalam jasad manusia sehingga manusia tersebut mendapat kehidupan. Ruh salah satu alat proses penciptaan manusia, awal mulanya diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya ruh.63 Contoh (ii) ﺃَﻨﻔﺱbentuk jamak dari ﻨﻔﺱHamka menerjemahkan menggunakan kata ‘diri’. Penulis melihat Makna ‘diri’ di sini menyatakan kepada orang atau manusia. Di dalam kamus al-Munawir, terjemahan kata ﻨﻔﺱ mempunyai banyak pengertian yang menyatakan diri, namun dua kata yang penulis lihat dari kamus tersebut yang menyangkut ke dalam pembahasan ini, yakni al-syakhs (orang) dan al-syakhs bima’na al-insân (diri orang). Pemaknaan ‘diri’ dalam ayat ini menyatakan sisi luar yang terdapat pada manusia. Contoh (iii) Hamka menerjemahkan ﺃَﻨﻔﺱjamak ﻨﻔﺱdari homonim yang bermakna person sesuatu dengan kata diri pula, namun sebagaimana penjelasan di atas bahwa nafs di sini murni menyatakan kepada diri pribadi (person sesuatu). Pemaknaan nafs di sini hampir sama dengan pemaknaan ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’, namun ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (3)/ ‘diri’ (peson sesuatu) lebih menyatakan mendalam kepada diri sendiri, dalam kamus al-Munawir pengertian yang menyatakan diri dalam pembahasan ini, yakni al-dzat atau al’ain (diri sendiri). ﺃَﻨﻔﺱ/anfus (2)/ ‘diri’ terlihat seperti kata ganti atau pengganti kata ganti dari sesuatu, sedangkan ﺃَﻨﻔﺱ 63 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.57 46 /anfus (3)/ ‘diri’ (person sesuatu) menyatakan murni kepada diri dan tidak adanya pengganti dari sesuatu yang dinyatakannya. b) - Dalam surah asy-syams ayat 7 ﺎﺍﻫﻮﺎ ﺳﻣﻔﹾﺲﹴ ﻭﻧﻭ “Dan jiwa serta penyempurnaanya (ciptaannya)” - Serta surah al-fajr ayat 27 ﺔﹸﻨﺌﻄﹾﻤ ﺍﻟﹾﻤﻔﹾﺲﺎ ﺍﻟﻨﻬﻳﺘﺎﺃﹶﻳ “Hai jiwa yang tenang” Dari kedua ayat tersebut, Hamka nenerjemahkan ﻨﻔﺱdengan kata ‘jiwa”. Penulis melihat tidak ada perbedaan kata dan makna dalam penejemahannya. Terjemahan ini bermakna “sisi manusia”. Secara gramatikal kedua kata tersebut berasal dari kategori yang sama yakni kategori nomina (ism). Dalam hal ini, Filusuf Belanda Dr. C.A. van Puersen dalam bukunya Tubuh, Jiwa, Roh (1981) menyatakan bahwa pada umumnya orang dulu menyangka bahwa jiwa ini adalah sejenis daya yang bertempat di dalam tubuh, misalnya dalam darah atau semacam darah itu sendiri, sehingga bagi Bani Israil, sebagaimana terdapat juga dalam ajaran islam, darah itu haram untuk diminum atau dimakan. Padahal sebenarnya pengertian jiwa ini jauh melebihi daya kehidupan organisme (seperti energi), karena jiwa adalah tempat tinggal bagi perasaan-perasaan, seperti: benci, gembira, rindu, cinta, dan bisa merasakan kekosongan. 47 Sering terjadi perdebatan antara jiwa dan ruh. Pertanyan yang timbul adalah apakah ruh itulah yang disebut jiwa dan sebaliknya? Agaknya, ruh memang sama dengan jiwa. Bedanya, jiwa adalah ruh yang telah mempribadi, setelah masuk ke dalam tubuh (yang akan menjadi) manusia. Karena ruh dan jiwa itulah yang menjadikan segumpal daging itu menjadi manusia, maka timbul pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Itulah sebabnya, maka dalam alQur’an manusia yang seluruhnya itu disebut juga sebagai jiwa. Hamka memandang bahwa memang ruh yang berperan penting dalam kehidupan manusia, seperti pengertian: tidak ada ruh, tidak ada manusia. Namun disisi lain, Hamka menyatakan untuk dihidupkan ruh itu harus memiliki wadah ‘organisme fisik’ (dalam konteks manusia) sehingga manusia tersebut dapat melihat, mendengar, berbicara, dll. Dengan melihat penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Hamka menyebut manusia keseluruhannya juga sebagai jiwa.64 c) Surah al-An’am ayat 12 ﺔﹶﻤﺣ ﺍﻟﺮﻔﹾﺴِﻪﻠﹶﻰ ﻧ ﻋﺐﻛﹶﺘ “Dia telah mewajibkan atas diri-Nya akan memberi rahmat” Leksem ﻨﻔﺱmengacu kepada medan makna tuhan, karena terdapat huruf ( ﻩpronomina persona) dibelakangnya, yang menyatakan bahwa leksem ﻨﻔﺱ 64 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 16, h.59 48 menyebutkan diri tuhan. Leksem ‘ ﻨﻔﺴﻪdiriNya’ tergolong homonimi mutlak, dan keduanya dari kelas nomina. Dalam ayat di atas kata ﻨﻔﺱyang menyatakan tuhan, Hamka menerjemahkannya dengan kata ‘diri’. Tetapi bukan berarti ‘diri’ yang dimaksud sama dengan diri yang terdapat pada manusia. Dalam tasawuf, nafs di sini disebut nafs ilahiyyah, yaitu jiwa ilahi: diarahkan bahwa Allah bersama dengan segenap sifatNya, yakni maha hidup, maha pemberi, dan sebagainya. Mengapa Hamka menerjemahkan ﻨﻔﺱmenggunakan kata ‘diri’ bukan dengan kata ‘jiwa’? Penulis melihat bahwa ayat ini diawali dengan ﻜﺘﺏ ﻋﻠﻰ, secara gramatikal tergolong verba perfektif (fi’il mâdi), sehingga bermakna diri tuhan terlihat seperti bekerja. Oleh karena itu, kata diri lebih tepat digunakan daripada kata jiwa, dikarenakan kata diri menegaskan dari sisi luar sedangkan jiwa lebih condong menyatakan sisi dalamnya. Misal, makna jiwa itu menyangkut sifat-sifat tuhan sebagaimana yang disebut asmaul husna, dan makna diri di sini menyatakan tuhan itu juga melakukan suatu hal. Jadi, penggunaan kata diri lebih tepat. 2. Kelas Partikel (al-huruf) Berikut ini merupakan leksem homonimis yang kehomonimiannya sangat dipengaruhi oleh partikel (al-huruf), sehingga pemaknaan yang terkandung dalam leksem adalah Sisi Dalam Manusia yang Melahirkan Sesuatu. Surah Al-rad ayat 11 49 ﻔﹸﺴِﻬﹺﻢﺎ ﺑﹺﺄﹶﻧﻭﺍ ﻣﺮﻴﻳﻐ ﻰﺘﻡﹴ ﺣﺎ ﺑﹺﻘﹶﻮ ﻣﺮﻴﻳﻐ ﻟﹶﺎﺇﹺﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪ “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada nafs mereka sendiri.” Dalam ayat diatas, ﺃﻨﻔﺴﻬﻡditerjemahkan Hamka dengan ‘nafs mereka sendiri’, memang agak terlihat rancu dari penerjemahan Hamka tersebut, leksem ﻨﻔﺱditerjemahkan dengan nafs, seakan Hamka hanya menyerap kata ﻨﻔﺱdari Bsu ke Bsa. Tidak adanya penggunaan kata lain dalam menerjemahkan kata tersebut. Penulis melihat dalam ayat ini, kata ﻨﻔﺱlebih tepat diterjemahkan dengan kata ‘diri’ dikarenakan dalam pemaknaan kata ﻨﻔﺱdi sini sebagai sesuatu yang dapat melahirkan sesuatu. Oleh sebab itu, kata ‘diri’ lebih tepat digunakan karena pemaknaan kata diri itu merupakan wadah yang dapat melakukan/melahirkan sesuatu. Kalimat ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡsecara gramatikal tergolong dalam partikel (al-harf) dan secara relasional mengacu pada medan makna pronomina relatif karena terdapat leksem ﻤﺎyang menunjukan ‘sesuatu’ atau ‘apa’ dan leksem ﺏmasuk dalam golongan partikel preposisi (harf jarr), yang berfungsi sebagai penegas dari leksem ﻨﻔﺱsehingga leksem ﻨﻔﺱberperan penting dalam kalimat ini, yang menyatakan ﻨﻔﺱitu sebagai pelaku utama dalam melahirkan atau menghasilkan sesuatu. Jamridafrizal menegaskan bahwa dalam ayat ini terdapat dua kalimat yang menunjukan sesuatu pada kaum, yaitu kalimat ﻤﺎ ﺒﻘﻭﻡdan ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡdalam 50 kaidah bahasa Arab, huruf pada kalimat ﻤﺎ ﺒﻘﻭﻡdan ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡmengandung arti berita ( ) ﻤﺎ ﺨﺒﺭﻴﺔ. Jadi, ﻤﺎ ﺒﺄﻨﻔﺴﻬﻡartinya apa yang ada pada nafs atau sisi dalam mereka. Kandungan huruf dilihat pada konteks ayat tersebut berhubungan dari ayat sebelum dan sesudahnya.65 B. Homonimi Sebagian. 1. Berdasarkan perbedaan derivasi. Pada proses ini, derivasi nomina menghasilkan leksem-leksem baru yang secara historis tidak diramalkan atau berbeda secara semantis. Seperti pada contoh berikut ini: a) Surah al-Maidah ayat 32 ﺽﹺﻲ ﺍﻟﹾﺄﹶﺭ ﻓﺎﺩ ﻓﹶﺴﻔﹾﺲﹴ ﺃﹶﻭﺮﹺ ﻧﻴﺎ ﺑﹺﻐﻔﹾﺴﻞﹶ ﻧ ﻗﹶﺘﻦﻣ “bahwa barang siapa membunuh seseorang, bukan karena (membunuh) orang lain, atau berbuat kerusakan di bumi” - ( ﻨﻔﺱi) ‘ ﻨﻔﺴﺎseseorang’ - ( ﻨﻔﺱii) ‘orang lain’ 65 Jamridafrizal, tesis Nafs (jiwa) menurut konsep al-Qur’an, h. 9 51 Leksem ( ﻨﻔﺱi) secara derivatif menghasilkan leksem infinitif ﻨﻔﺴﺎ ‘seseorang’ merupakan homonimi sebagian berdasarkan derivasi. Sedangkan leksem ( ﻨﻔﺱii) ‘orang lain’ bukan tergolong homonimi sebagian karena tidak mengalami derivasi. Kata ( ﻨﻔﺴﺎi) diterjemahkan ‘seseorang’, dan kata ( ﻨﻔﺱii) diterjemahkan ‘orang lain’, terlihat dalam tulisan seperti dua kata yang memiliki makna yang berbeda, namun secara relasional keduanya mengacu kepada komponen makna objek tunggal yaitu satu orang, dan keduanya menyatakan orang lain (bukan diri sendiri). Pemaknaan totalitas manusia dalam ayat ini didasari pada kata ﻗﺘل (membunuh), karena “membunuh” sesuatu yang dapat dilakukan manusia. Secara gramatikal kata ﻗﺘلtergolong dalam verba perfektif (fi’il mâdi), sedangkan ﻨﻔﺱdi sini tergolong dalam partisip pasif (objek). Hamka berpendapat, kata nafs digunakan al-Qur’an untuk menyebut manusia sebagai totalitas, baik manusia sebagai makhluk yang hidup di dunia maupun manusia yang hidup di alam akhirat. Misalnya menggunakan nafs untuk menyebut totalitas manusia di dunia, yakni manusia hidup yang bisa membunuh, dibunuh, merusak, dan lain-lainnya. Hal inilah yang dimaksud dengan totalitas manusia.66 66 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 14, h.105 52 Manusia bukan boneka yang digerakkan dari luar dirinya, tetapi di dalam dirinya ada kekuatan yang menggerakkan sehingga seseorang mengerjakan suatu perbuatan tertentu. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkah laku manusia itulah yang dalam ilmu jiwa (psikologi) disebut sebagai motif. Menurut istilah psikologi mengandung pengertian penyebab yang diduga untuk suatu tindakan; suatu aktivitas yang sedang berkembang, dan suatu kebutuhan. Dalam bahasa Arab, faktor-faktor penggerak tingkah laku itu disebut ﺍﻝﺩﻭﺍﻓﻊ ﺍﻝﻨﻔﺴﻴﺔyang artinya dorongan-dorongan yang bersifat psikologis. b) Surah Yusuf ayat 53 ﺑﹺّﻲ ﺭﻢﺣﺎ ﺭّﻮﺀِ ﺇﹺﻻ ﻣﺓﹲ ﺑﹺﺎﻟﺴّﺎﺭ ﻷﻣّﻔﹾﺲﻔﹾﺴِﻲ ﺇﹺﻥﹶّ ﺍﻟﻨ ﻧﺮﹺّﺉﺎ ﺃﹸﺑﻣﻭ ”dan tidaklah hendak aku membersihkan diriku, karena sesungguhnya nafsu itu membawa kepada kejahatan, kecuali orang-orang yang dikasihi tuhanku.” - ( ﻨﻔﺴﻲi) ’diriku’ - ( ﺍﻝﻨﻔﺱii) ’nafsu’ ﻨﻔﺴﻲdan ﺍﻝﻨﻔﺱmerupakan satu leksem yang berasal dari leksem ﻨﻔﺱ, namun dari kedua leksem tersebut berbeda maknanya, dikarenakan leksem tersebut telah mengalami proses derivasi. Leksem ( ﻨﻔﺴﻲi) ’diriku’ (partisif pasif) dan secara derivatif berubah menjadi leksem partisif aktif, yakni ( ﺍﻝﻨﻔﺱii) ’nafsu’ sehingga kedua leksem tersebut mengalami perbedaan makna. Leksem ﻨﻔﺱ 53 berupa ( ﻨﻔﺴﻲi) ’diriku’ dan ( ﺍﻝﻨﻔﺱii) ’nafsu’ merupakan homonimi sebagian karena proses derivasi. Dari kata nafs dalam al-Qur’an, timbul kata nafsu yang dalam kata bahasa Indonesia telah berubah sama sekali artinya yang artinya syahwat, bersifat pejoratif, berkonotasi seksual. Pada hal kata nafs yang bermakna nafsu sendiri itu sendiri bersifat netral, bisa baik dan buruk. Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal kata nafsu yang dipahami sebagai daya yang terdapat dalam diri setiap manusia. Nafsu ini walaupun tidak tampak dirasakan kehadirannya ketika seseorang terdorong dengan dukungan emosi atau perasaan yang kental, untuk bertindak dan memuaskan batinnya. Nurcholis Madjid menjelaskan bahwa nafs atau nafsu, emosi, memiliki kecenderungan terhadap kejelekan. Namun demikian emosi yang ada pada manusia ibarat pisau bermata dua, emosi dapat membawa bencana, tetapi juga mendorong manusia mencapai puncak keilmuan yang sangat tinggi. Walaupun al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun Hamka mengisyaratkan bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya. Sebenarnya dalam al-Qur’an terdapat dua kata yang sama-sama diartikan nafsu yaitu kata nafs itu sendiri dan hawa dan ahwa berarti hasrat (desire), hawa nafsu (lust). Dari sudut leksiologis kata tersebut bermakna 54 kecenderungan atau kecintaan kepada yang jelek, kecenderungan hati kepada kejelekan. Al-Raghib menambahkan bahwa kecenderungan jiwa pada syahwat disebut al-hawa, karena ia menjatuhkan seseorang akan kehidupan dunia ini ke dalam kecelakaan dan dalam kehidupan akhirat ke dalam neraka. Penulis melihat dari ayat di atas, Hamka menerjemahkan ﻨﻔﺱhanya dengan kata nafsu, tidak ada tambahan kata lain sepert hawa atau syahwat (contoh: hawa nafsu, nafsu syahwat). Dikarenakan Hamka membedakan kata nafs (yang berarti nafsu) dengan kata hawa atau ahwa (yang juga berarti nafsu). Nafs (nafsu) bersifat netral, bisa baik atau buruk, sedangkan kata al-Hawa (nafsu) itu selalu bermakna menyimpang dari kebenaran. Biasanya kata al-Hawa dalam alQur’an, penerjemah-penerjemah al-Qur’an menggunakan kata “hawa nafsu”. Jadi, terjemahan kata ﻨﻔﺱoleh Hamka sudah tepat. 55 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa dalam kasus penerjemahan homonimi nafs dalam kajian alQur’an, kita harus melihat konteks ayat itu sepenuhnya . Dari ayat tersebut atau kata yang mengiringinya maka dapat disimpulkan makna dari kata tersebut berhomonim. Karena sampai saat ini belum ditemukan konsep homonimi dalam bahasa Arab yang sistematis dan teoritis, bahkan kamus-kamus arab mencampuradukan dalam satu entri atau lema, antara homonimi, polisemi, dan sinonimi. Pada kasus penerjemahan kata homonim ini, diperlukan adanya latar belakang turunnya ayat, atau kronologis turunya sebuah ayat, dan pengetahuan kajian tentang nafs dalam tasawuf maupun penerjemahan al-Qur’an sebelumnya. Inilah keagungan yang di miliki al-Qur’an di mana ia menyimpan rahasia atau ke dalaman kandungannya. Dari hasil analisis sebelumnya, penulis dapat menyatakan bahwa dari kajian tentang nafs karya Hamka dalam al-Qur’an terjemahannya merupakan bagian dari kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Dalam pengkajian nafs, Hamka membagi tiga wadah yang terdapat di dalam nafs, yakni Qolb, Ruh, dan ’Aql. Kehomonimian dari kata nafs tersebut memang maknanya beresensi 56 kepada manusia, baik dalam maupun luar. Dalam memahaminya dengan melihat konteks ayat sepenuhnya. B. Saran Melihat dari hasil kesimpulan di atas, agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur’an dengan menyelaraskan budaya bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya Timur Tengah di mana al-Qur’an diturunkan dan dimensi waktu pada saat alQur’an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur’an berlaku secara universal, di semua tempat di seluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. 57 DAFTAR PUSTAKA Ali, Fachri. Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: Catatan Pendahuluan dan Riwayat Perjuangannya Dalam Kenang-kenangan 70 Tahun Hamka. Jakarta: Pustaka Panji Mas. 1983. Al-Ghazali, Imam. Ihya Ulum al-Din : Kitab al-Syu’ab. Vol.II. Bastaman, Hanna. Integritas Psikologi dengan Islam: menuju Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995. Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Cet ke-2. Jakarta: Rineka Cipta. 2002. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. Ke-3. Jakarta: Balai Pastaka. 1994. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtar baru Van Hoeve. 1993. Hadi, Sutrisno. Bimbingan Menulis Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1984. Hamka. Ayahku, Cet. Ke-4. Jakarta: Umminda. 1982. Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz 1-30. Jakarta: Pustaka Panjimas. 2005. J.W.M, Verhaar. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1996. Lyons, John. Linguistic Semantics. Cet. ke-2. Cambridge: Cambridge University Press. 1996 Madjid, Nurcholis. Islam Agama Peradapan Membangun Makna Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. 1995. Majalah Amanah. Seandainya Hamka masih ada. Jakarta: 2000. Munawir, Warson. al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progressif. 1984. Raharjo, Dawan. Ensiklopedi Al-Quran; tafsir sosial berdasarkan konsep-konsep kunci. Cet. Ke-1. Jakarta; Paramadina. 1996. Salim, Muin. Konsepsi Politik dalam al-Qur’an. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1994. Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 1980. ‘Umar, Mukhtar Ahmad. Ilmu Dilalah, Cet.1. Kuwait: Jamiaatul Kuwait. 1982. Wastono, Tarhik Afdol. Kajian Semantis Makna Homonimi Bahasa Arab. Jakarta: FIB-UI. 2000. Yusa, Yustian. Terjemahan Ayat-Ayat Ttentang Eksklusivitas Islam: Analisis Hermeneutik Terhadap Terjemahan Versi Departemen Agama dan The Holy Quran. (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora. Universitas Islam Negri Jakarta. 2009). Yusuf, M. Yunan. Corak penafsiran Kalam Tafsir Al-Azha. Jakarta: Perpustakaan IAIN. 1982. http://www.scribd.com/doc/4634605, Pengertian-Semantik. http://www.id.wikipedia.org/semantik. Data diakses pada tanggal 19 Februari 2010.