328-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 KONSELING SUFISTIK: HARMONISASI PSIKOLOGI DAN TASAWUF DALAM MEWUJUDKAN KESEHATAN MENTAL SUFI COUNSELING: HARMONIZATION BETWEEN PSYCHOLOGY AND SUFISM FOR THE REALIZATION OF MENTAL HEALTH Zamzami Sabiq Institut Ilmu Keislaman Annuqayah [email protected] ABSTRAK ___________________ Kesehatan mental menghasilkan keserasian, ketenangan, kesejahteraan, dan ketenteraman jiwa. Kesehatan mental dapat terwujud jika kita memahami hakikat manusia yang sebenarnya baik sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk religius. Kajian ini mencoba untuk menelaah konseling sufistik sebagai hasil dari harmonisasi antara psikologi dan tasawuf yang berperan cukup kuat bagi terwujudnya kesehatan mental manusia. Perspektif manusia menurut psikologi dan tasawuf juga dipaparkan untuk lebih memahami hakikat manusia secara utuh. Dengan pendekatan library research terhadap literatur-literatur terkait, kajian ini menyimpulkan bahwa konseling sufistik dapat menjadi jembatan harmonisasi antara psikologi dan tasawuf untuk diarahkan pada kesehatan mental individu. Konseling sufistik dapat memberikan corak yang khas bagi perkembangan konseling dan berpeluang besar memberi warna tersendiri bagi tren konseling di era modern. ___________________ Kata Kunci: Konseling Sufistik, Psikologi, Tasawuf, Kesehatan Mental Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 329-352 ABSTRACT ___________________ Mental Health engenders harmony, tranquility, welfare, and peace of the soul. Mental health can be realized if we comprehend the nature of human being as individual, social being, and religious being. This study attempts to examine sufistic counseling as a result of the harmonization between psychology and sufism whose role is strong enough for the realization of mental health. Human being perspective in psychology and sufism were also presented to gain a better and more comprehensive understanding of human nature. Using library research of relevant literature as the method, this study concludes that sufi counseling could be a bridge to harmonize between psychology and sufism. It also could be directed to realize mental health in individual level. In addition, sufism provides a typical pattern for the development of counseling and it has a great opportunity to give its own color for counseling trend in the modern era. ___________________ Keywords: Sufic Counseling, Psychology, Mysticism, Mental Health 330-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 Pendahuluan Manusia dalam pandangan psikologi dianggap sebagai makhluk yang mendasari kajian filsafat merujuk pada paham antroposentris, yaitu pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat segala pengalaman dan relasi-relasinya serta penentu utama terhadap masalah-masalah yang menyangkut manusia. Pandangan tersebut berbeda dengan pandangan manusia menurut tasawuf yang bercorak anthroporeligiosentries, yang berprinsip meskipun mengakui manusia memiliki kehendak bebas, namun menganggap manusia tetap makhluk yang memiliki dimensi rohaniah dari Tuhan. Sebagai ilmu pengetahuan yang berdasar pada kajian psikologi, ilmu konseling modern tentu hanya terbatas pada kajian dimensi lahiriyah manusia. Hal ini berakibat pada asumsi epistimologis terkait eksistensi dan substansi manusia sebagai unit analisis utama ilmu konseling. Pada titik inilah para ahli memandang bahwa posisi epistimologis seperti ini menemukan kelemahan yang amat esensial sehingga berakibat pada kesimpulan yang keliru terhadap keberadaan manusia. Makhluk yang bernama manusia hanya dipandang sebagai organisme psiko-antropo-sosial dan abai terhadap aspek spiritual sebagai yang paling esensial1 Kondisi semacam ini akhirnya mendorong para ahli untuk kembali merumuskan kerangka keilmuan. Dalam rangka mencari cara menutupi kelemahan ilmu pengetahuan modern termasuk di dalamnya psikologi dan konseling. Perlu adanya harmonisasi keilmuan dalam mengisi kelemahan esensial keilmuan yang ada. Salah satu upayanya adalah dengan gagasan Islamisasi sains. Embrio gagasan “Islamisasi” ilmu konseling ini sesungguhnya dapat dilacak melalui “proyek Islamisasi sains” yang digagas oleh Ismail Rozi Alfaruqi.2 Islamisasi sains ini dilandasi oleh keyakinan bahwa sesungguhnya segala yang ada 1 Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta: Darul Fatah, 2006), 32 2 Hamdani Bakram Adz Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islami (Yogyakarta: Pustaka Fajar, 2001), 13 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 331-352 di muka bumi ini adalah ciptaan Allah dan pasti telah termaktub dalam Alquran sebagai kitab Allah dan Hadis.3 Islamisasi sains pada ilmu konseling dan psikologi berkembang cukup pesat seiring perkembangan zaman. Sehingga menghasilkan keilmuan-keilmuan baru yang bermanfaat bagi masalah keummatan. Salah satunya adalah harmonisasi konseling dan psikologi dengan tasawuf yang akan dibahas dalam tulisan ini. Pada dasarnya, tasawuf dan psikologi memiliki perbedaan yang cukup esensial karena adanya perbedaan maksud dan cara pandang terhadap objek kajian keilmuan yang ada. Namun bukan berarti tidak ada titik singgung atau kesamaan diantara keduanya. Terdapat beberapa titik singgung antara tasawuf dan psikologi. Titik singgung ini akan memudahkan terjadinya harmonisasi diantara keduanya. Titik singgung diantara keduanya adalah pertama, tasawuf dan psikologi agama sama-sama berpijak pada kajian kejiwaan manusia. Perbedaannya hanya terletak pada metode pengkajiannya. Tasawuf lebih banyak menggunakan metode intuitif, metode nubuwah, metode ilahiyah, dan metodemetode yang berkaitan dengan qalb. Sedangkan psikologi menggunakan metode pengkajian psikologis-empirik. Kedua, Tasawuf dan psikologi berbicara tentang kondisi keberagamaan seseorang. Tasawuf menggunakan pendekatan rasa, psikologi menggunakan pendekatan positivisme, cara berfikir positif, dan rasional empirik. Ketiga, kedekatan hubungan tasawuf dengan psikologi ditemukan ketika ternyata salah satu kajian psikologi adalah perilaku para sufi. Hal ini juga ditunjukkan dengan adanya kajian psikologi sufi. Titik singgung diantara tasawuf dan psikologi memang tidak bersifat esensial. Karena secara hakiki, kedua bidang kajian tersebut memiliki titik kajian, metode, tujuan, dan pendekatan berbeda. Namun justru hal ini bisa menjadi alasan kuat terjadinya harmonisasi diantara keduanya. M. Toyyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2000), 10 3 332-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 Manusia dalam Perspektif Psikologi Konseling Manusia dalam perspektif psikologi konseling memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Keunikan-keunikan tersebut dijabarkan cukup jelas dalam perspektif manusia yang berdasarkan pada teori-teori konseling. Perbedaan cara pandang terhadap manusia akhirnya menghasilkan praktek konseling yang berbeda. Beberapa konsep manusia berdasarkan tinjauan psikologi konseling dapat dipaparkan sebagai berikut. 1. Konseling Behaviouristik Konsep dasar konseling behavioristik berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu: (1) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku baik atau buruk, tepat atau salah berdasarkan bekal keturunan atau pembawaan dan bakat interaksi antara keturunan dan lingkungan, inilah yang nantinya membentuk pola-pola bertingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya. (2) Manusia mampu merefleksikan tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri. (3) Manusia mampu memperoleh dan membentuk sendiri pola-pola tingkah laku yang baru melalui proses belajar. (4) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain4. Tokoh konseling behaviouristik yaitu John D. Krumbolz, yang awalnya memiliki tujuan untuk melanjutkan kajian bahwa konseling diharapkan dapat mengubah perilaku konseling agar mampu mengatasi masalah yang dihadapi. 2. Konseling Psikoanalisa Psikoanalisa memandang manusia sebagai makhluk yang deterministic. Tokoh utama pada pendekatan ini adalah Sigmund Ekoeswara. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Jakarta, Eresco, 1988), 69 4 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 333-352 Freud. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan irasional, motivasi yang tidak disadari, dorongan biologis serta dorongan naluri dan peristiwa psikoseksual tertentu pada masa enam tahun pertama kehidupan5. Freud juga menganggap kekuatan terbesar yang menggerakkan manusia adalah libido, yaitu energi psikis yang paling mendasar yang mencakup eros (dorongan untuk hidup) dan thanatos sebagai dorongan untuk mati. Psikoanalisa menganggap semua tindakan yang mengarah pada kesenangan termasuk dalam insting hidup. Sedangkan insting maut (dorongan agresif) adalah yang mendorong seseorang untuk berperilaku mencederai diri sendiri dan orang lain secara tidak sadar. Psikoanalisa berprinsip bahwa kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu id, ego dan super-ego. a) Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil (sumber utama energi psikis dan tempat kedudukan insting). Id dikendalikan oleh prinsip kesenangan yang tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan, menghindari penderitaan, dan mendapatkan kesenangan. Id tidak rasional, tidak bermoral dan didorong oleh suatu pertimbangan demi terpenuhinya kepuasan kebutuhan. b)Ego merupakan aspek psikologis yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan dengan dunia luar atau kenyataan. Ego berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan jalan-jalan yang ditempuh id dalam memenuhi kebutuhan. Ego berfungsi pula sebagai penengah antara insting dan lingkungan sekelilingnya, mempersatukan pertentangan antara id dan super-ego dengan dunia objektif. c) Super-ego merupakan sistem sosial yang mencerminkan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat yang ada dan melekat di dalam kepribadian seseorang. Super-ego mengutamakan kesempurnaan daripada kesenangan, melihat tindakan itu baik atau buruk, serta benar atau salah. Fungsinya menghimbau ego agar mengalihkan tujuan yang realistik Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Jasa, 1999), 11 5 334-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 menjadi moralistik (bernilai), merintangi implus-implus id terutama implus seksual dan agresif. 3. Konseling Eksistensial Eksistensial memandang manusia sebagai makhluk yang sadar, mandiri, berperilaku aktif dan mampu melakukan segalanya. Ia mendapat julukan the self determining being yang mampu menentukan tujuan-tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu dianggap paling tepat6. Teori konseling eksistensial berawal dari psikologi humanistic sebagai mazhab ketiga dalam dunia psikologi. Manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu dalam keadaan transisi, berkembang, membentuk diri, dan menjadi sesuatu. Berdasarkan pada asumsi ini, maka dimensi dasar kondisi manusia adalah: 1) kapasitas kesadaran diri, 2) kebebasan dan tanggungjawab, 3) menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain, 4) usaha untuk mencari makna, tujuan, nilai, dan sasaran, 5) kecemasan sebagai kondisi hidup, dan 6) kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan7. Tokoh utama konseling eksistensial adalah Roll May dan Victor Frankl. 4. Client Centered Therapy Teori ini berpusat pada pribadi yang berorientasi konseling pada filosofis humanistik yang memandang manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan pembawaan dasar baik, berkeinginan untuk maju, memiliki kapasitas untuk menilai diri, bertingkah laku sehat dan berusaha mengaktualisasikan diri. Hal ini didasarkan pada kenyataan manusia makhluk rasional dan sadar, Rogers berkeyakinan manusia mampu dan bertanggung jawab mengembangkan kepribadiannya. Ia percaya bahwa individu diarahkan oleh persepsi diri yang disadari serta 6 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 52 7 Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (Bandung: Refika, 2003), 255-266 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 335-352 lingkungan sekelilingnya bukan oleh kekuatan sadar yang tidak terkontrol8. 5. Konseling Gestalt Gestalt berasal dari kata Jerman yang diartikan sebagai bentuk, wujud, atau organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau keparipurnaan. Tokoh utama konseling Gestalt adalah Fedrick Perls. Gestalt Perls ini tidak langsung berasal dari psikologi Gestalt. Perls menerangkan satu-satunya hukum tentang fungsi manusia yang tetap dan universal, yaitu setiap organisme cenderung mengarah kepada kebulatan dan keparipurnaan9. Gestalt memandang bahwa setiap individu dapat menangani sendiri problem hidup mereka secara efektif, terutama apabila mereka memanfaatkan secara tuntas kesadaran mereka terhadap apa yang terjadi dalam diri dan sekitarnya. Untuk mewujudkan kesempurnaan, manusia harus mampu menjelaskan sesuatu yang menghambat pencapaian Gestalt, yaitu yang disebut Perls, situasi yang belum selesai10. Perasaanperasaan yang belum selesai atau yang tak terungkap seperti rasa jengkel, amarah, kebencian, keresahan, rasa bersalah, prasangka dan duka cita yang menyiksa batin harus diterima dan merupakan tanggung jawab sendiri bukan orang lain. Dengan demikian seseorang akan memiliki jalan baru untuk mengambil peran lebih efektif dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan usaha-usaha yang lebih konstruktif. 6. Konseling Analisis transaksional Konseling analisis traksaksional memiliki asumsi dasar bahwa setiap perilaku individu mempunyai dasar menyenangkan dan mempunyai potensi serta keinginan untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri. Tokoh utama pendekatan ini adalah Eric 8 Subandi, Latihan Meditasi Untuk Latihan Psikoterapi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 40-41 9 Ibid, 118 10 Surya, M., Psikologi Konseling (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003), 73 336-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 Berne. Berne menganggap bahwa sumber-sumber tingkah laku, sikap, dan perasaan sebagaimana individu melihat kenyataan, mengolah informasi dan melihat di luar dirinya disebut status ego. Status ego menurut Berne berbeda dengan ego Freud karena bukan construct, akan tetapi status ego di sini dapat diamati dan merupakan suatu kenyataan fenomenologis yang dapat diamati dengan indra. Status ego terbentuk melalui pengalamanpengalaman yang membekas pada dirinya sejak kecil.11 Berne berpendapat bahwa dalam diri individu terdapat tiga status ego, yaitu ego anak, ego dewasa, dan ego tua. Status ego anak dapat berisi perasaan, tingkah laku, dan bagaimana berfikir ketika masih kanak-kanak. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku manja, ingin menang sendiri, ingin diperhatikan, takut, pemberani, sembrono, bebas, dan acuh tak acuh. Perilaku tersebut tampak jelas jika berinteraksi dengan status ego orang tua. Status ego orang dewasa dapat dilihat dari tingkah laku yang bertanggung jawab, tindakan yang rasional dan mandiri. Sifat status ego ini penuh dengan perhitungan dan menggunakan akal. Dalam status ego orang tua, kita mengalami ulang apa yang kita bayangkan sebagai perasaan orang tua kita sendiri dalam situasi atau kita merasa berbuat sesuatu kepada orang lain seperti yang dirasakan orang tua kita terhadap kita. Batas antara ketiga status ego tersebut merupakan membrane permiabel, sehingga dimungkinkan terjadinya aliran dari status ego yang satu ke ego yang lain dalam menanggapi rangsangan dari luar. Batas antara status ego dapat sangat kaku, sehingga individu tidak mampu melakukan perpindahan ke status ego yang lain. Status ego seseorang dapat menjadi kaku yang menyebabkan orang tersebut terkurung dalam status ego tertentu dan menghambat fungsi status ego yang lain. Gejala ini disebut eklusi yaitu situasi konstan pada status ego tertentu. Dalam kondisi seperti itu kepribadian individu agak terganggu (tidak terintegrasi), karena kepribadian yang terintegrasi dengan baik dapat terjadi, jika status ego dewasa dapat menjadi manajer dari ketiga status ego secara efektif dan sehat12. Ibid, 68 Ibid, 75 11 12 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 337-352 7. Konseling Rational Emotif `Konsep dasar konseling rational emotif menekankan pada kebersamaan dan interaksi antara berfikir dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting) dan berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan suatu perubahan yang dalam cara berfikir dan menghasilkan perubahan yang berarti dalam cara berperasaan dan berperilaku. Tokoh utama konseling ini adalah Albert Ellis. Konseling Rational Emotif berpangkal dari keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yaitu: (1) Manusia mempunyai keterbatasan yang dapat mereka atasi sampai taraf tertentu; (2) Perilaku manusia sangat dipengaruhi keturunan, tetapi tergantung juga dengan pilihan-pilihan yang dibuat sendiri; (3) Hidup secara rasional berarti berfikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup bisa dicapai secara efisien dan efektif; (4) Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan tidak rasional. Jika berfikir salah, maka akan menimbulkan kesukaran yang menggejala dalam alam perasaan dan cara bertindak; (5) Orang kerap berpegang pada keyakinan–keyakinan yang sebenarnya kurang masuk akal yang ditanamkan sejak kecil dalam lingkungan dan kebudayaan atau diciptakannya sendiri. (6) Bila seseorang merasa tidak bahagia dan membunuh semangat hidup, pada dasarnya bukan bersumber pada kejadian atau pengalaman yang telah berlangsung, tetapi karena tanggapan yang tidak rasional atas pengalaman tersebut13. 8. Konseling Realitas Konsep dasar konseling realitas adalah manusia memilih perilakunya sendiri dan harus bertanggung jawab tidak hanya atas apa yang ia lakukan, tetapi bagaimana berfikir dan merasakan. Tokoh utama konseling ini adalah William Glasser. Glasser menyebutnya sebagai teori kontrol perilaku manusia W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan (Jakarta: Gramedia, 1991), 365-367 13 338-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 guna memenuhi kebutuhan psikologis (keluasan, kebebasan serta kesenangan) dan kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup. Teori kontrol ini menjelaskan bahwa pemenuhan kebutuhan tersebut didorong dari dalam diri; dan sebagai pengontrolnya adalah otak yang berfungsi untuk menolong kita agar mendapat apa yang kita inginkan. Manakala kebutuhan kita terhalangi, maka perilaku yang kita pilih terasa menyakitkan dan kita tidak puas dengan kehidupan ini. Namun, manakala kita mampu memenuhi kebutuhan dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kita mengembangkan suatu identitas yang bercirikan sukses dan menghargai diri dan perilaku yang kita jalani yang untuk memenuhinya terasa menyenangnkan14. 9. Konseling Trait and Factor Trait and Factor Counselling merupakan corak konseling yang menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan pemahaman itu dalam memecahkan problemproblem yang dihadapi terutama yang menyangkut pilihan program studi atau pekerjaan.15 Hal mendasar bagi konseling trait and factor adalah individu berusaha untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan dirinya sebagai dasar pengembangan potensinya, sehingga tugas konseling ini adalah membantu individu memperbaiki kekurangan, ketidakmampuan dan keterbatasan diri, dan membantu pertumbuhan dan integritas kepribadian. Tokoh utama konseling ini adalah Williamson. Manusia dalam Perspektif Tasawuf Perpesktif tasawuf terhadap manusia sangat berbeda dengan perspektif psikologi pada umumnya. Perbedaan antara tasawuf dan psikologi tersebut didasari atas perbedaan sudut pandang yang digunakan terhadap objek itu sendiri, yaitu “manusia”. Tasawuf meyakini bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu Ibid, 523 Ibid, 5 14 15 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 339-352 unsur jasmani dan unsur rohani. Al-Hallaj berpendapat bahwa manusia memiliki sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut), karena dua unsur yang membentuk manusia itu sendiri. Unsur materi menjadikan manusia memiliki kecenderungan berbuat buruk dan unsur rohani menjadikan manusia kecenderungan ingin selalu dekat dengan Tuhannya16. Ibn Arabi juga memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda dengan pandangan Al Hallaj. Menurut Ibn Arabi manusia terdiri dari aspek batin (al-H}aqq) dan aspek lahir (al-Khalq) yang merupakan manifestasi dari al-H}aqq. Para tokoh tasawuf sepakat bahwa seluruh manusia dilahirkan dalam kondisi suci (fit}rah), yaitu manusia terlahir dalam kondisi tidak memiliki dosa sama sekali dan memiliki potensi dasar taat kepada Allah.17 Kondisi fitrah ini, kemudian mendapat pengaruh secara terus menerus dari lingkungan yang tentunya mempengaruhi perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang. Selain itu manusia juga memiliki kebebasan (free will), sehingga manusia berhak menentukan jalannya sendiri. Selain itu dalam diri manusia juga dilengkapi dimensi rohaniah seperti qalb, ruh}, nafs dan ‘aql.18 a. Qalb Qalb menurut para sufi bukan dalam pengertian sebagai segumpal daging yang berada di dada yang berfungsi mengatur peredaran darah tubuh atau bisa kita sebut jantung, tetapi lebih dimaknai sebagai substansi yang halus. Qalb adalah suatu rahasia halus (lat}ifah) yang bersifat rabbaniyah dan ruhaniyah yang memiliki keterkaitan dengan qalb yang bersifat jasmani.19 Al-Tirmidi membagi konsepsi qalb ini menjadi empat bagian. (1) dada (s}adr) pada posisi ini adalah tempat cahaya Islam atau Muh. Sulthon, Desain Ilmu Dakwah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 16 60 17 Muhammad Hasyim, Dialog Antar Psikologi dan Tasawuf: Telaah Kritis Psikologi Humanistik Abraham Maslow (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 27 18 Fuad Ansori, Potensi-Potensi Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 92 19 Sa’id Hawwa, Pendidikan Spiritual, terj. Abdul Munip (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006), 27 340-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 cahaya amaliyah, (2) Hati (qalb) tempat cahaya Iman, (3) Hati lebih dalam (fu’ad) tempat cahaya makrifat, dan (4) Lubuk hati terdalam (lubb) tempat cahaya tauhid.20 Qalb adalah tempat antara wilayah kesatuan (ruh}) dan daerah keanekaragaman (nafs). Jika hati mampu melepas nafs yang melekat padanya, dia akan berada di bawah pengaruh ruh hati yang bersih. Sebaliknya jika hati dikuasai nafs, maka ia akan menjadi keruh. Menurut Abdul Mujib, qalb ruh}ani> merupakan bagian esensi dari fit}rah nafsani> yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali tingkah laku, sehingga bila ia mampu berfungsi normal, maka kehidupan manusia akan sesuai fitrahnya. Dengan hati yang bersih (memiliki uluhiyyat dan rabbaniyyat) inilah manusia tidak hanya mengenal lingkungan fisik dan sosial tetapi juga mengenal lingkungan spiritual keagamaan dan ketuhanan21 b. Ruh} Ruh} juga merupakan dimensi esensial yang membatu manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Ruh} mempunyai eksistensi sendiri yang berbeda dengan jasad. Jasad berasal dari elemen materi, sedangkan ruh berasal dari alam arwah yang merupakan esensi ketuhanan dalam diri manusia22. Ruh} inilah yang merupakan hal mengagumkan yang bersifat rabbani> yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh kebanyakan akal manusia.23 Ruh} yang ada dalam diri manusia juga merupakan presensi (kehadiran) gerakan uluhiyyah, namun kekhususan pemberian ruh} kepada manusia bukan secara otomatis manusia menjadi makhluk secara baik. Ruh adalah konsep dasar, semua bergantung pada bagaimana manusia hendak memanfaatkannya24. Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh (Jakarta: Zaman, 2014), 64-65 21 Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis (Jakarta: Darul Fatah, 2006), 129 22 Sukanto MM., Nafsiologi Pendekatan Alternatif Atas Psikologi (Jakarta: Integrita Press, 1985), 50 23 Ibid, 29 24 Ibid, 117 20 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 341-352 Robert Frager membagi ruh} dalam tujuh tingkatan dengan sisi positif dari masing-masing tingkatan yang ada. Yaitu. (1) Ruh Mineral, sisi positifnya dukungan batiniah pada diri seseorang (2) Ruh Nabati dengan sisi positif kesehatan, penyembuhan dan pemberian gizi, (3) Ruh Hewani, sisi positif motivasi, (4) Ruh Pribadi, sisi positif kecerdasan, ego yang sehat, (5) Ruh Insani, dengan sisi positif belas kasih dan kreatifitas, (6) Ruh Rahasia, sisi positif kebebasan penuh, kearifan, dan (7) Ruh Maha Rahasia dengan sisi positif kesatuan dengan Tuhan.25 c. Nafs Nafs bisa dimaknai sebagai jiwa26. Makna lain nasf adalah intisari dan napas.27 Mayoritas kaum sufi mengatakan bahwa jiwa merupakan sumber-sumber penyebab timbulnya akhlak tercela dan perilaku yang rendah28. Sikap nafs yang paling menyolok adalah nafsunya, yang tersebar di seluruh tubuh manusia dan semua indra dapat berpengaruh. Berkaitan dengan daya tarik nafsu memiliki bentuk beraneka ragam seperti nafsu seksual dan nafsu akan kemewahan. Nafsu merupakan komponen dalam diri manusia yang memiliki kekuatan untuk mendorong melakukan sesuatu (al-syahwat) dan menghindari diri untuk melakukan sesuatu (al-gad}ab)29. Nafs yang cenderung memiliki sifat buruk ini harus dirubah menuju perilaku-perilaku yang baik. Robert Frager membagi nafs dalam tujuh tingkatan dan tiap tingkatan dihubungkan dengan salah satu nama atau sifat Tuhan. Ada 99 nama Tuhan yang termaktub di dalam Al-Quran. Pengulangan nama-nama ini dan perenungan terhadap maknanya dapat menjadi obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit diri pada setiap tingkatan. Tingkatan Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh (Jakarta: Zaman, 2014), 167 26 Fuad Ansori, Potensi-Potensi Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 108 27 Ibid, 98 28 Amin Annajar, Psikologi Sufistik Dalam Kehidupan Modern (Bandung: Mizan Media Utama, 2004), 6 29 Ibid, 153 25 342-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 nafs tersebut adalah (1) Nafs Tirani, nama tuhan yang dapat dijadikan terapi pada tingkatan ini adalah La> ilaha illa Alla>h. (2) Nasf penuh penyesalan, nama Tuhan Allah, (3) Nafs Terilhami, dengan nama Tuhan Hu (Engkau), (4) Nafs Tenteram, dengan nama Tuhan Haqq (Kebenaran), (5) Nafs Rida, dengan nama Tuhan H}ayy (Maha hidup), (6) Nafs diridai, dengan nama tuhan Qayyum (Maha Kekal), dan (7) Nafs Suci, dengan nama Tuhan Qahhar (Maha Kuasa).30 d. ‘Aql ‘Aql bisa diartikan menahan, ikatan, melarang, dan mencegah sehingga orang dikatakan berakal jika orang tersebut mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya.31 ‘Aql memiliki dua makna yaitu sebagai salah satu organ di kepala atau disebut otak yang mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan secara nalar dan akal ruhani yaitu cahaya ruhani dan daya nafsiah yang disiapkan dan mampu memperoleh pengetahuan (al-ma’rifat) dan kognisi. Pengertian ini sering ditafsirkan berakal merupakan aktivitas kalbu karena hatilah yang mampu menerima pengetahuan supra rasional dengan kekuatan cita rasa (al-zawq). Akal sebagaimana dalam Alquran tidak hanya dimaknai sebagai daya pikir dan daya rasa saja, tetapi ia adalah dorongan moral untuk berfikir untuk memahami persoalan.32 Sa’id Hawwa menjelaskan kadang-kadang antara qalb, nafs, ruh} dan ‘aql memiliki makna dan pengertian yang sama. Perbedaannya hanyalah pada persoalan nama atau istilah karena adanya perbedaan sifat atau karakter yang dimiliki oleh ruh manusia. Jika ruh} dapat mengalahkan syahwatnya, maka dinamakan dengan nafs. Jika ruh} mampu mengalahkan syahwat yang diharamkan, maka dinamakan dengan ‘aql. Jika ruh} menemukan keimanannya, maka dinamakan dengan qalb. Sedangkan jika mampu mengetahui Robert Frager, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh (Jakarta: Zaman, 2014), 99 31 Ibid, 101 32 M. Toyyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2000), 44 30 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 343-352 tentang Allah dengan pengetahuan atau makrifat yang sejati dan mempersembahkan ubudiyah yang sejati pula kepadaNya, maka dinamakan dengan ruh}.33 Kesehatan Mental Kesehatan mental sering disebut juga dengan istilah mental health dan atau mental hygiene. Secara historis, ilmu ini diakui berasal dari kajian psikologi. Usaha para psikolog yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhankeluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu semata, melainkan oleh masyarakat luas.34 Namun demikian para ahli belum ada kesepakatan terhadap batasan atau definisi kesehatan mental (mental health). Hal tersebut disebabkan antara lain karena adanya berbagai sudut pandang dan sistem pendekatan yang berbeda. Dengan tiadanya kesatuan pendapat dan pandangan tersebut, maka menimbulkan adanya perbedaan konsep kesehatan mental. Lebih jauh lagi mengakibatkan terjadinya perbedaan implementasi dalam mencapai dan mengusahakan mental yang sehat. Perbedaan itu wajar dan tidak perlu merisaukan, karena sisi lain adanya perbedaan itu justru memperkaya khasanah dan memperluas pandangan orang mengenai apa dan bagaimana kesehatan mental.35 Marie Jahoda memberikan batasan yang agak luas tentang kesehatan mental. Kesehatan mental tidak hanya terbatas pada absennya seseorang dari gangguan kejiwaan dan penyakitnya. Akan tetapi, orang yang sehat mentalnya memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut: (1) Sikap kepribadian yang baik terhadap diri sendiri dalam arti dapat mengenal diri sendiri dengan baik. (2) Pertumbuhan, perkembangan, dan perwujudan diri yang baik. Ibid, 34 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983), 33 34 10. Thohari Musnamar, et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam (Yogyakarta: UII Press, 1992), XIII. 35 344-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 (3) Integrasi diri yang meliputi keseimbangan mental, kesatuan pandangan, dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang terjadi. (4) Otonomi diri yang mencakup unsur-unsur pengatur kelakuan dari dalam atau kelakuan-kelakuan bebas. (5) Persepsi mengenai realitas, bebas dari penyimpangan kebutuhan, serta memiliki empati dan kepekaan sosial. (6) Kemampuan untuk menguasai lingkungan dan berintegrasi dengannya secara baik.36 Salah satu tokoh yang menjadi pioner dalam merumuskan pengertian kesehatan mental yang mencakup seluruh potensi manusia adalah Zakiah Daradjat. Zakia Daradjat mengemukakan bahwa Kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.37 Definisi ini memasukkan unsur agama yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik dengan sesama manusia. Bila kesehatan mental berbicara tentang integritas kepribadian, realisasi diri, aktualisasi diri, penyesuaian diri, dan pengendalian diri, maka parameternya harus merujuk pada iman dan takwa, akidah dan syariat. Dilibatkannya unsur iman dan takwa dalam teori kesehatan mental itu bertopang pada suatu kenyataan, bahwa tidak sedikit ditemukan orang yang tampaknya hidup sejahtera dan bahagia, kepribadiannya menarik, sosialitasnya sangat baik, hidupnya tampak tenang, akan tetapi sebenarnya jiwanya sakit, hampa dan stress, lantaran kurangnya nilai keagamaannya, atau setidaknya kurang taat dalam beragama. Hal ini tergolong kesehatan mental yang semu. Secara nyata, orang tersebut tampak sehat mentalnya, 36 A.F Jaelani, Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental (Jakarta: Penerbit Amzah, 2000), 75-77 37 Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta, Gunung Agung, 1983), 1113 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 345-352 perilakunya dianggap sesuai dengan norma masyarakat. Namun sebenarnya orang tersebut tidak sehat mental, lantaran gagal dalam berhubungan dengan Tuhannya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakekat kesehatan mental adalah terwujudnya keserasian, keharmonisan, dan integralitas kepribadian yang mencakup seluruh potensi manusia secara optimal dan wajar. Sedangkan Hanna Djumhana Bastaman merangkum pandangan-pandangan tentang kesehatan mental menjadi empat pola wawasan dengan masing-masing orientasinya sebagai berikut: 1. Pola wawasan yang berorientasi simtomatis Pola wawasan yang berorientasi simtomatis menganggap bahwa hadirnya gejala (symptoms) dan keluhan (compliants) merupakan tanda adanya gangguan atau penyakit yang diderita seseorang. Sebaliknya hilang atau berkurangnya gejala dan keluhan-keluhan itu menunjukkan bebasnya seseorang dari gangguan atau penyakit tertentu. Dan ini dianggap sebagai kondisi sehat. Dengan demikian kondisi jiwa yang sehat ditandai oleh bebasnya seseorang dari gejalagejala gangguan kejiwaan tertentu (psikosis) 2. Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri Pola wawasan yang berorientasi penyesuaian diri. Pola ini berpandangan bahwa kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan unsur utama dari kondisi jiwa yang sehat. Dalam hal ini penyesuaian diri diartikan secara luas, yakni secara aktif berupaya memenuhi tuntutan lingkungan tanpa kehilangan harga diri, atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi tanpa melanggar hak-hak orang lain. Penyesuaian diri yang pasif dalam bentuk serba menarik diri atau serba menuruti tuntutan lingkungan adalah penyesuaian diri yang tidak sehat, karena biasanya akan berakhir dengan isolasi diri atau menjadi mudah terombangambing situasi. 3. Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi Pola wawasan yang berorientasi pengembangan potensi pribadi. Bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah 346-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 makhluk bermartabat yang memiliki berbagai potensi dan kualitas yang khas insani (human qualities), seperti kreativitas, rasa humor, rasa tanggungjawab, kecerdasan, kebebasan bersikap, dan sebagainya. Menurut pandangan ini sehat mental terjadi bila potensi-potensi tersebut dikembangkan secara optimal sehingga mendatangkan manfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya. Dalam mengembangkan kualitaskualitas insani ini perlu diperhitungkan norma-norma yang berlaku dan nilai-nilai etis yang dianut, karena potensi dan kualitas-kualitas insani ada yang baik dan ada yang buruk. 4. Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian Pola wawasan yang berorientasi agama/kerohanian. Berpan­ dangan bahwa agama/kerohanian memiliki daya yang dapat menunjang kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa diperoleh sebagai akibat dari keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan, serta menerapkan tuntunan-tuntunan keagamaan dalam hidup. Atas dasar pandangan-pandangan tersebut dapat diajukan secara operasional tolok ukur kesehatan jiwa atau kondisi jiwa yang sehat, yakni: a) Bebas dari gangguan dan penyakit-penyakit kejiwaan. b) Mampu secara luwes menyesuaikan diri dan menciptakan hubungan antar pribadi yang bermanfaat dan menyenangkan. c) Mengembangkan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, sikap, sifat, dan sebagainya) yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan. d)Beriman dan bertakwa kepada Tuhan, dan berupaya mene­ rapkan tuntunan agama dalam kehidupan sehari-hari.38 Konseling Sufi mewujudkan Kesehatan Mental Bimbingan dan konseling sebagaimana disebutkan oleh Sukriadi Sambas sebagai ilmu dakwah terapan (tablig Isla>m).39 38 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 133-135. 39 Muh. Sulthon, Desain Ilmu Dakwah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 95 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 347-352 Memiliki tanggung jawab praktis terhadap terciptanya kesehatan mental pribadi, keluarga dan masyarakat. Bimbingan konseling merupakan dakwah yang lebih bersifat makro dalam membina masyarakat yang sistematis, terus menerus sesuai dengan potensi bakat dan minat yang dimiliki klien/konselee. Perkembangan bimbingan konseling keagamaan merupakan suatu kebutuhan bagi manusia itu sendiri, pada akhirnya agama memiliki corak bimbingan dan konseling yang khas. Kajian bimbingan konseling Islam yang lahir dari pengembangan metode istinbat} dan iqtibas. Secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan nilai keislaman, dan yang dapat bersinggungan langsung dengan bimbingan konseling Islam adalah tasawuf, karena tasawuf adalah unsur spiritualitas (dimensi esoteris) dalam Islam. Persentuhan inilah yang kemudian berpeluang besar memberi warna tersendiri bagi tren konseling di era modern.40 Tasawuf pada masa sekarang mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat daripada masa lalu, karena kondisi dan situasinya lebih kompleks sehingga refleksinya bisa berbeda.41 Tasawuf berpandangan bahwa penyebab utama manusia mengalami gangguan kesehatan mental adalah karena kekosongan spiritual, pola hidup konsumtivisme dan individualisme yang semakin menggejala di banyak dunia modern. Manusia yang mengalami kehampaan spiritual, mengakibatkan munculnya gangguan kejiwaan, seperti galau dan stres. Penyakit ini pada umumnya sukar sekali disembuhkan dengan penyembuhan medis. Tentunya penyakit batin hanya bisa disembuhkan dengan metode rohaniah ataupun dengan pengobatan sufistik.42 Amin Sukur memaparkan bahwa terdapat beberapa alasan tasawuf dapat dijadikan sebagai terapi atas gangguan kesehatan mental, yaitu: 1) Tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari Ibid., 102 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 40 41 111. Amin Syukur, Sufi Healing; Terapi dengan Metode Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2012), 37 42 348-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi indikator dalam agama. 2) Kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan mistik, seperti ma’rifat, ittih} ad, h}ulul, mah}abbah, uns, dan sebagainya mampu menjadi moral force bagi amal-amal saleh. Dan selanjutnya, amal saleh akan membuahkan pengalaman-pengalaman mistis yang lain dengan tinggi kualitasnya. 3) Dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah dijalani atas rasa kecintaan, Allah bagi sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang sempurna, indah, penyayang, pengasih, kekal, al-H}aqq, serta selalu hadir kapanpun dan di manapun. Hubungan mesin antara hamba dengan Allah akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik, menghindarkan diri dari penyimpangan-penyimpangan perbuatan tercela karena hubungan mesra tersebut sebagai moral kontrol.43 Penghayatan dan pengamalan tasawuf berkaitan erat dengan persoalan kesehatan mental. Namun bukan berarti bahwa penghayatan dan pengamalan tasawuf semata-mata bertujuan untuk memperoleh kesehatan mental. Karena tasawuf sudah muncul jauh sebelum adanya ilmu tentang kesehatan mental. Secara hakiki para sufi pun tidak pernah memperdulikan, apakah yang dia lakukan akan memperoleh kesehatan mental atau tidak. Para sufi hanya ingin memperoleh kedekatan dan keridaan Allah. Dekat sedekat-dekatnya dan rida serida-ridaNya. Titik temu antara kesehatan mental dan tasawuf sudah dapat dilihat pada makna kesehatan mental itu sendiri. Ajaran kesehatan mental menurut pandangan Islam sebenarnya ajaran tasawuf itu sendiri. Kesehatan mental yang biasa diartikan sebagai terbentuknya individu yang terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan dapat ditemukan dalam kehidupan kaum sufi. Ketika ajaran tasawuf dimaknai sebagai proses penyucian jiwa.44 Kondisi sehat mental rasanya sulit diwujudkan Ibid., 25-26 Al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf (Bandung: Mizan, 1994), 82 43 44 Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 349-352 jika jiwa seseorang kotor. Seseorang yang ingin memperoleh kesehatan mental, sementara dirinya banyak berlumuran dosa, maka jalan satu-satu untuk itu hanyalah dengan “menyucikan jiwa”. Bersihkan jiwanya dari seluruh dosa dan perbuatan buruk merupakan jalan untuk memperoleh kesehatan mental. Mustafa Zahri mengemukakan bahwa metode dan fasefase yang harus dilalui untuk mencapai pengisian diri menuju jiwa yang sehat yaitu melalui takhalli> (membersihkan diri dari sifat-sifat tercela), tah}alli> (mengisi diri dengan sifat-sifat yang terpuji), dan tajalli> (memperoleh kenyataan Tuhan).45 Pendapat Mustafa Zahri sejalan dengan pandangan Amin Syukur yang menyatakan dalam tasawuf lewat amalan dan latihan kerohanian yang beratlah, maka hawa nafsu manusia akan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun sistem pembinaan dan latihan tersebut adalah melalui jenjang takhalli>, tah}alli> dan tajalli>.46 Proses mulai dari takhalli> berlanjut ke tah}alli> dan berakhir di tajalli> ini bisa menjadi rangkaian metode yang dipergunakan dalam penerapan konseling sufistik. Kesimpulan Psikologi dan tasawuf memiliki perbedaan dalam memandang manusia. Psikologi memandang manusia dalam bentuk fisik dan psikis. Sedangkan tasawuf memandang manusia tidaklah suatu bentuk sederhana yang hanya terdiri dari fisik dan psikis. Begitu juga penderitaan yang diderita oleh klien/ konselee tidak hanya sebatas pada penderitaan fisik dan psikis. Masih terdapat dimensi rohaniah dari Tuhan pada diri manusia. Perbedaan cara pandang ini sebenarnya bukanlah menjadi suatu hal yang perlu untuk diperdepatkan. Namun perbedaan ini bisa menjadi salah satu dasar untuk terjadinya harmonisasi diantara keduanya. Salah satu bentuk harmonisasi psikologi dan tasawuf adalah 45 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), 65 46 Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 156 350-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 konseling sufistik. Menggunakan pendekatan yang berdasar pada pendekatan psikologi dan pendekatan tasawuf. Konseling sufistik hadir sebagai bentuk harmonisasi dengan corak yang khas. Sehingga menghasilkan teknik dan metode konseling yang khas pula dalam pelaksanaannya. Rangkaian metode yang dipergunakan dalam konseling sufistik akan bersumber pada ajaran tasawuf meliputi takhalli>, tah}alli> dan tajalli>. Konsep dan arah konseling sufistik tentunya pada kesehatan mental individu. Kesehatan untuk terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat. Konseling sufistik dapat menjadi solusi dan warna baru bagi terwujudnya kesehatan mental ini. Di samping itu konseling sufistik berpeluang besar menjadi tren konseling di era modern seperti sekarang ini. Zamzami Sabiq, Konseling Sufistik | 351-352 Daftar Pustaka Adz Dzaky. Hamdani Bakram. Konseling dan Psikoterapi Islami. Yogyakarta: Pustaka Fajar, 2001 Al-Hujwiri. Kasyf al-Mahjub, Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Bandung: Mizan, 1994 Annajar, Amin. Psikologi Sufistik Dalam Kehidupan Modern. Bandung: Mizan Media Utama, 2004 Ansori, Fuad. Potensi-Potensi Manusia Pustaka Pelajar. Yogyakarta: 2005, 108 Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Corey, Gerald. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika, 2003 Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1983 Ekoeswara. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Eresco, 1988 Frager, Robert. Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa dan Ruh. Jakarta: Zaman, 2014 Hasyim, Muhammad. Dialog Antar Psikologi dan Tasawuf: Telaah Kritis Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Hawari, Dadang. Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Jasa, 1999 Hawwa, Sa’id. Pendidikan Spiritual, terj. Abdul Munip. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2006 Jaelani, A.F Penyucian Jiwa (Tazkiyat Al-nafs) & Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit Amzah, 2000 Mujib, Abdul. Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis. Jakarta: Darul Fatah, 2006. Musnamar, Thohari. et al, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islam. Yogyakarta: UII Press, 1992 Subandi, Latihan Meditasi Untuk Latihan Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 352-352 | ’Anil Islam Vol. 9. Nomor 2, Desember 2016 Sukanto, Nafsiologi Pendekatan Alternatif Atas Psikologi. Jakarta: Integrita Press, 1985 Sulthon, Muh. Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003 Surya, M., Psikologi Konseling. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003 Syukur, Amin. Zuhud di Abad Moderen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Syukur, Amin. Sufi Healing; Terapi dengan Metode Tasawuf. Jakarta: Erlangga, 2012 Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Toyyibi, M. dan Ngemron, M. Psikologi Islam. Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2000 Winkel, W.S. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia, 1991 Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995