Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 Pasar Politik, Platform Partai, dan Demokrasi Ekonomi Satu proses politik yang bernilai triliunan rupiah telah dimulai. Proses ini adalah proses pemilihan umum nasional (pemilu) yang akan membentuk pemerintahan baru, yang nantinya akan berkulminasi pada pemilihan Presiden pada 2009. Besar harapan masyarakat bahwa proses ini nantinya akan juga membawa perubahan dan perbaikan pada perekonomian. Kesadaran akan perlunya perubahan, ide yang kuat dan rasional, serta keberanian untuk mengambil kebijakan dan berkata tidak adalah beberapa hal yang kita semua harapkan akan muncul dari pemerintahan yang nanti terpilih dari proses yang mahal ini. Definisi pemerintah di sini tidak terbatas pada eksekutif, akan tetapi juga legislatif dan yudikatif. Dalam hal ini, sebuah proses politik tidak jauh berbeda dengan dengan pasar atau industri lainnya, baik itu Industri Manufaktur, Industri Agro atau bahkan Pasar Tenaga Kerja. Di dalamnya ada pelaku, sistem serta interaksi, di mana kualitas dari berbagai aspek ini akan menentukan tingkat produktivitas dan efisiensi dari output yang dihasilkan. Untuk konteks industri dan pasar politik, kualitas individu, sistem yang terbentuk dan proses interaksi yang terjadi menentukan sampai di mana kualitas keberpihakan satu kebijakan, efisiensi pengambilan putusan dan efektivitas implementasi kebijakan dalam satu periode politik di Indonesia. Dengan adanya kesamaan ini, maka menarik bila sebuah kerangka pikir ekonomi digunakan untuk menganalisis design industri dan pasar politik nasional yang cetak birunya sudah bisa terlihat saat ini. Dalam hal ini, satu analisis structure-conduct-performance (struktur-perilaku-kinerja) yang biasa digunakan dalam ekonomi industri akan kami gunakan. Kerangka ini pada dasarnya menjelaskan bahwa kinerja (performance) sebuah industri akan tergantung pada perilaku (conduct) dari pelaku pasar, yang pada gilirannya 1 Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 ditentukan oleh struktur (structure) kompetisi yang ada. Dari sisi struktur yang ada, industri politik dan pasar politik nasional dewasa ini diwarnai dengan tingkat persaingan yang ketat, bahkan terlampau ketat. Untuk 2009, pemerintah sudah menetapkan terdapat 38 partai peserta pemilu. Sehingga bisa dibayangkan betapa kompleksnya proses interaksi dan kompetisi yang ada, terutama bila dikontraskan dengan industri politik yang bersifat duopoli (dua partai) atau oligopoli (tiga-empat partai) di negara-negara maju. Padahal, secara teoritis yang dinisbahkan bukan sebuah persaingan yang ketat, akan tetapi persaingan yang sehat dari sebuah pasar atau industri untuk menghasilkan kesejahteraan optimal. Sebuah persaingan yang sekadar ketat, tapi tidak sehat, hanya akan menghasilkan perilaku menghalalkan segala cara, dan kekurangfokusan pada kebijakan. Lebih jauh, jumlah partai yang besar ini juga tidak diikuti dengan ragam tawaran ideologi dan program dalam jumlah yang sama. Sebab, bila ditelisik lebih jauh, sesungguhnya banyak partai memiliki kesamaan platform ideologi dan program kerja, atau bahkan tidak memiliki sama sekali. Dengan kata lain, produk yang mereka hasilkan adalah homogenous atau sejenis, dan merupakan pengganti (substitute) satu dengan yang lainnya. Miskinnya tawaran ini berarti juga rendahnya kesejahteraan yang bakal dihasilkan. Sebab, besarnya jumlah penawaran berarti juga besarnya pilihan yang identik dengan tingkat utilitas dan kesejahteraan. Struktur yang ada akan membawa implikasi pada proses rekruitmen yang terjadi dalam satu pasar dan industri. Dengan kata lain, struktur yang terbentuk akan mewarnai corak dan conduct (perilaku) pada industri politik nasional. Dalam konteks inilah, bisa kemudian dipahami bermunculannya tokoh populis dalam penjaringan calon legislatif, atau kepala daerah di beberapa tempat. Sebab, dengan minimnya perbedaan platform atau program, disertai kompetisi yang sangat ketat, maka partai berlomba untuk menarik massa pemilih bukan dengan menawarkan ide dan program. Akan tetapi dalam hal trivial seperti baliho, iklan, serta rekruitmen caleg dari kalangan populis, seperti halnya para artis. Memang, satu proses rekruitmen menyaratkan perlunya satu akses keluar masuk yang terbuka luas agar berjalan secara 2 Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 efisien dan produktif. Maka, Industri Politik yang efektif pun harus membuka seluas-luasnya kesempatan bagi setiap warga negara dan institusi yang ada untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Dengan ini, segenap keputusan yang diambil adalah benar merefleksikan keinginan dari warga, yang diambil dalam suatu proses yang demokratis. Tetapi, corak kompetisi dan pemain yang berkecimpung harus memiliki kesetaraan level of play. Sebab bila tidak akan terjadi ketimpangan dalam berkompetisi dan information assymetric, yang berdampak pada kurang optimalnya kesejahteraaan yang akan dihantarkan. Untuk itu, rekruitmen politik yang sehat seharusnya mengutamakan penjaringan mereka yang berpengalaman dalam menggeluguti, baik dalam pemikiran atau pekerjaan, berbagai persoalan dan isu yang ada. Rekam jejak pemikiran atau sepak terjang seorang pemimpin politik harus jelas tercatat pada publik. Dan bukan sekadar rekam jejak kehidupan pribadi seperti perkawinan, perceraian atau kehidupan romantik lain. Indikasi awal ini sudah menandakan tidak sehatnya industri dan pasar politik yang ada dan akan terbentuk. Satu industri yang sehat dan produktif hanya akan mempertahankan pemain lama serta mengundang pemain baru yang juga sehat dan produktif. Sebab bila tidak, maka mereka akan terpental atau tidak mampu bersaing. Sementara itu, industri dengan struktur tidak sehat akan memiliki satu proses rekruitmen tidak sehat pula, yang mempertahankan pemain lama dan mengundang pemain baru yang tidak produktif. Alhasil, dari struktur dan perilaku yang ada, hampir bisa dipastikan bahwa performance Industri Politik nasional ke depan akan kembali berjalan di tempat. Perbaikan tata kelola pemerintahan sekadar angan-angan panjang dari bangsa ini yang sulit berubah. Seperti yang sudah-sudah, para tokoh pupulis cuma akan berfungsi sebagai wahana vote gathering pada saat pemilihan, dan selanjutnya sekadar menjadi penghias ruang sidang atau penahan rasa kantuk pada rapat di tengah malam. Para pemimpin partai berdalih bahwa fenomena itu tidak lebih dari sebuah hukum ekonomi, yang menisbahkan bahwa setiap terdapat permintaan, pasti ada penawaran. Penisbahan ini adalah tidak tepat. Sebab dengan logika yang sama, pasar dan 3 Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 permintaan untuk narkotika dan obat-obatan terlarang pun ada dan menawarkan prospek keuntungan yang menggiurkan, tapi apakah lantas kita akan memasoknya? Sesungguhnya, perilaku ini tidak lain hanya sebuah pragmatisme politik dari para elite dan pemimpin partai. Satu langkah awal yang tentu saja buram dan sekadar merefleksikan ketidaksadaran sementara mereka dalam mengindentifikasi persoalan. Ia juga cerminan ketidakmampuan melahirkan pemikiran dan terobosan baru bagi pasar yang semakin lama semakin menjemukan. **** Lebih dari itu, industri partai dalam sistem politik demokratis mestinya juga kompatibel dengan lahirnya demokrasi ekonomi. Sebab, seperti halnya kebutuhan terhadap demokrasi politik, demokrasi ekonomi diharapkan hadir dalam penyelenggaraan kegiatan ekonomi di setiap negara dengan tujuan memberikan kesetaraan kepada setiap individu untuk memanfaatkan akses sumber daya ekonomi. Jika dalam demokrasi politik akses sumber daya tersebut berbentuk kesempatan setiap individu untuk menyalurkan kepentingannya secara bebas, maka dalam demokrasi ekonomi akses sumber daya tersebut mewujud dalam kesetaraan setiap individu untuk mendapatkan hak kehidupan ekonomi. Dari perspektif inilah keberadaan demokrasi ekonomi penting untuk diperjuangkan, karena dalam realitasnya kemampuan setiap individu untuk mendapatkan akses sumber daya ekonomi tidaklah sepadan. Demokrasi ekonomi sendiri dalam lintasan sejarah mendapatkan tempat yang penting dalam bahasan ilmu ekonomi karena terdapat dua perkembangan yang saling berkaitan. Pertama, pengalaman historis para buruh dalam mengajukan tuntutan lebih sering hanya mendapatkan janji-janji mengenai kondisi kerja dan keputusan yang memengaruhi mereka. Ini terjadi mula-mula di tempat kerja atau perusahaan dan biasanya dikaitkan dengan demokrasi industrial dan/atau partisipasi buruh dalam manajemen. Kedua, ada kesadaran yang meningkat di antara para teoritisi bahwa demokrasi politik 4 Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 tidak sejalan dengan kapitalisme (Devine, 1995). Demokrasi politik yang menyertakan setiap individu dalam proses pengambilan keputusan ternyata tidak selalu mendapatkan tempat yang laik dalam kapitalisme, karena sistem yang terakhir ini mengandaikan adanya pemusatan pengambilan keputusan cuma pada segelintir pemilik kapital. Hampir bisa dipastikan bahwa proyek demokrasi ekonomi yang digagas di suatu negara selalu mendapatkan perlawanan dari pelaku ekonomi yang dirugikan oleh proyek tersebut, atau bisa pula penolakan tersebut datang dari lembaga kekuasaan politik yang dikikis pendapatannya akibat diberlakukannya demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, tantangan penerapan demokrasi ekonomi bukan cuma datang dari sistem ekonomi kapitalis, tapi juga sosialis. Dalam sistem ekonomi kapitalis, ide demokrasi ekonomi pasti meresahkan pemilik kapital karena kepemilikannya dengan harus penerapan dibagi demokrasi dengan buruh, ekonomi misalnya sebagian dalam dari bentuk kepemilikan saham. Jika ini yang terjadi, maka kewenangan pemilik modal untuk menentukan seluruh keputusan perusahaan menjadi sangat berkurang. Sebaliknya, dalam sistem ekonomi sosialis, meskipun secara eksplisit negara menghendaki adanya pemerataan ekonomi dalam masyarakat, tetapi tetap saja demokrasi ekonomi masih sangat merisaukan bagi penguasa karena harus menyerahkan sebagian faktor produksi kepada rakyatnya. Dengan gambaran seperti itu, hal pertama yang bakal terjadi jika demokrasi ekonomi hendak diwujudkan dalam suatu negara, adalah adanya perlawanan dari pelaku ekonomi domestik. Pemilik modal akan terus berupaya untuk menggagalkan munculnya kebijakan redistributif yang dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan redistribusi kepemilikan faktor produksi, misalnya penataan ulang kepemilikan tanah (land reform), banyak yang gagal diwujudkan karena intervensi yang sangat dalam dari pemilik modal. Demikian halnya dengan pembagian saham perusahaan, pemilik modal selalu bergeming dengan sikapnya bahwa tenaga kerja tidak layak mendapatkan hal itu karena mereka telah mendapatkan gaji yang pantas. Ancaman domestik lainnya yang bisa menghambat demokrasi ekonomi adalah munculnya kebijakan-kebijakan “s i l uman” y ang di ni kmat i ol eh kel ompok mas y ar akat t er t ent u, s eper t i 5 Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 monopoli, tata niaga, kartel, dan fasilitas ekspor/impor. Biasanya yang mendapatkan previlege semacam itu adalah pemilik modal yang bisa membeli kebijakan pemerintah dan segmen masyarakat yang memiliki koneksi dengan kekuasaan, entah karena jalinan kekerabatan maupun pertemanan. Dengan mencermati kondisi semacam ini, proyek demokrasi ekonomi dari perspektif domestik bisa diagendakan melalui dua jalur. Pertama, ketimpangan kepemilikan aset ekonomi telah menyebabkan tersumbatnya aliran keuntungan ekonomi secara proporsional terhadap masing-masing pelaku ekonomi. Sederhananya, buruh hampir tidak memiliki kekuatan apapun untuk menentukan berapa besar bagian keuntungan ekonomi yang harus jatuh kepadanya, sebaliknya pemilik modal mengontrol seluruh pembagian laba ekonomi tersebut. Terhadap masalah ini terdapat dua rekomendasi yang disarankan kelompok Marxian, yakni buruh mengorganisasi diri dan membentuk partai politik agar kepentingannya bisa disuarakan di parlemen; dan menuntut pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan redistribusi ekonomi, baik lewat instrumen pajak, upah minimum, maupun land reform. Strategi ini diharapkan bisa mengembalikan kekuatan buruh untuk melakukan tawar-menawar secara sepadan dengan pemilik modal. Kedua, harus dimengerti bahwa tidak akan pernah tercipta demokrasi ekonomi tanpa adanya persyaratan demokrasi politik. Demokrasi politik diperlukan karena dengan begitu setiap kebijakan (ekonomi) pemerintah benar-benar merupakan resultan dari aspirasi seluruh rakyat, dan bukan hanya merupakan suara dari pemilik modal yang kebetulan mampu membeli kebijakan pemerintah. Di luar itu, demokrasi politik dibutuhkan agar setiap kebijakan redistribusi ekonomi yang ditawarkan oleh pemerintah tidak dipenggal di tengah jalan oleh kaum pemilik modal (karena mereka akan dirugikan apabila kebijakan redistributif itu lolos). Pada akhirnya demokrasi politik diharapkan bisa menjamin setiap individu mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengerjakan kegiatan ekonomi, tidak seperti dalam pemerintahan otoritarian yang cuma memfasilitasi kepada pelaku ekonomi yang mampu memberikan keuntungan paling besar terhadap dirinya. 6 Press Conference INDEF - Bebek Bali, 26 Agustus 2008 Dengan karakteristik semacam itu, perjuangan proyek demokrasi ekonomi di negara berkembang merupakan suatu keniscayaan. Dalam konteks ini terdapat beberapa kebijakan yang harus dilakukan negara berkembang (lebih khusus lagi Indonesia) untuk dapat mewujudkan demokrasi ekonomi. Pertama, melakukan restrukturisasi kepemilikan aset-aset ekonomi nasional sehingga lebih menggambarkan adanya pembagian faktor produksi yang adil. Kedua, mencegah munculnya praktik ekonomi monopoli yang menyebabkan tersumbatnya peluang bagi mayarakat untuk bersaing secara sehat dalam kegiatan ekonomi. Ketiga, menciptakan strategi pembangunan nasional yang mengarah kepada upaya kemandirian ekonomi sehingga tidak tergantung kepada negara maju. Keempat, negara harus hadir untuk melindungi pelaku ekonomi yang tersisih akibat persaingan ekonomi karena secara alamiah kemampuan setiap individu memang berbeda, misalnya lewat subsidi, pajak progresif, maupun program social security. Kurang lebih poin-poin itulah yang seharusnya diusung partai dalam bentuk platform (demokrasi) ekonomi karena sebagian besar sumber persoalan ekonomi bermuasal dari sana. Sayangnya, pasar politik Indonesia masih jauh ke arah sana. Sampai saat ini sangat sedikit, bahkan nyaris tidak ada, partai atau calon kandidat presiden yang mencoba menyampaikan gagasan tersebut melalui pasar politik (political market) secara eksplisit dan jernih, sehingga yang muncul adalah program-program klise dan seragam. Tradisi tersebut nampaknya belum melembaga dalam tradisi partai politik di Indonesia sehingga rakyat juga tidak tercerdaskan dalam hiruk pikuk politik yang berlangsung. Alih-alih, proses politik itu malah menjadi siklus pembodohan yang terjadi berulang-ulang, setidaknya 5 tahun sekali. **** 7