Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran

advertisement
OPINI
Pola Pikir Etika dalam Praktik Kedokteran
Yusuf Alam Romadhon
Bagian Kedokteran Keluarga, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah, Surakarta, Indonesia
ABSTRAK
Dalam situasi praktik klinis sehari-hari, dokter sering dihadapkan dengan situasi ketidakpastian untuk membuat keputusan klinis sekaligus
etikolegal. Dibutuhkan kerangka pikir yang membuat dokter mampu membuat keputusan klinis sekaligus ethicolegal yang dapat
dipertanggungjawabkan dan memuaskan. Terdapat enam langkah berpikir etik: (1) pernyataan mengenai permasalahan yang dilihat, (2)
mengumpulkan dan mengorganisasi data, (3) tanya: apakah permasalahan tersebut bersifat etik?, (4) tanya: perlukah informasi dan dialog lebih
lanjut?, (5) membuat langkah kerja dengan mengacu sumber-sumber etik yang relevan, (6) konfirmasi dan adekuasi sebelum diterapkan pada
pasien sebagai keputusan bersama. Sumber etik dalam tulisan ini dibatasi dari bioetika barat dan Islam. Teori etika barat: utilitarian consequent
based, obligation based, right based, community based, relation based, case based. Teori etika Islam terangkum dalam maqashid syariah; hifdh aldin, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al-aql, hifdh al-maal. Kaidah dasar bioetik barat meliputi autonomy, beneficence, non maleficence dan justice;
kaidah dasar bioetik Islam qaidah niyyat, qaidah al-yaqiin, qaidah al-dharar, qaidah al-masyaqqat dan qaidah al-urf.
Kata kunci: pola pikir etik, bioetika barat, bioetika Islam
ABSTRACT
In day-to-day clinical setting, physician frequently deal with the uncertainty in clinical decision making. Conceptual framework is needed to
make valid and satisfying clinical as well as ethico-legal decision. Six steps in conceptual framework for ethical reasoning: (1) state the problem
plainly (2) gather and organize data (3) is the problem ethical? (4) is more information or dialogue needed? (5) determine the best course
of action and support your position with reference to one or more sources of ethical value (6) confirm the adequacy and coherence of the
conclusion. The Western ethical theory is utilitarian consequent based, obligation based, right based, community based, relation based, case
based; the Islamic ethical theory is compiled in maqashid syariah; hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl, hifdh al-aql, hifdh al-maal. The Western
bioethic principle involve autonomy, beneficence, non maleficence and justice; the Islamic bioethic principle involve qaidah niyyat, qaidah alyaqiin, qaidah al-dharar, qaidah al-masyaqqat and qaidah al-urf. Yusuf Alam Romadhon. Ethics Reasoning in Medical Practice.
Key words: ethical reasoning, Western bioethic, Islamic bioethic
PENDAHULUAN
Dalam setting praktik klinis sehari-hari,
dokter sering dihadapkan dengan situasi
ketidakpastian dalam membuat keputusan,
termasuk dalam membuat diagnosis,
menentukan pilihan terapi atau manajemen
untuk menyelesaikan masalah klinis yang
dihadapi pasien.1,2,3,4,5 Pembuatan keputusan
terhadap masalah-masalah klinis yang sensitif
ethico-medicolegal juga dihadapkan pada
masalah yang sama yaitu ketidakpastian.
Dokter harus cakap dalam membuat
keputusan klinis sekaligus ethico-medicolegal
yang bisa dipertanggungjawabkan tanpa
akhirnya merasa bersalah dan berdosa.
Karena itu selain membutuhkan keterampilan
clinical reasoning yang baik, dokter juga
membutuhkan kemampuan ethico and
medicolegal reasoning secara memadai dalam
praktik sehari-hari mereka. 6,7
Alamat korespondensi
Kecakapan seorang dokter dalam hal ethicomedicolegal
reasoning
membutuhkan
penguasaan yang memadai terhadap
konsep-konsep teori bioetika. Sedangkan
untuk
pendekatan
bioetika
sebagai
disiplin ilmu, yang paling mendasar adalah
penelaahan filosofis yang dimaksudkan
untuk mendapatkan alasan yang logis (logical
reasoning), kejelasan konsep, koherensi dan
justifikasi yang rasional.8 Sementara itu dokter
tidak berada dalam tingkat kompetensi yang
setara dengan filsuf ataupun pakar agama,
sebaliknya filsuf dan pakar agama akan
mendapatkan kesulitan teknis memahami
dan membuat keputusan medis yang sensitif
etik. Di samping itu, persoalan medis yang
sensitif etik dalam praktik sehari-hari, bersifat
sering, intensif dan menuntut keputusan
segera yang bisa dipertanggungjawabkan.
Akibatnya, dokter sering ragu saat harus
memutuskan tindakan terbaik atau yang
benar serta dapat dipertanggungjawabkan
untuk diterapkan pada pasien dalam
keadaan tertentu. Pertanyaan ini tidak saja
berkaitan dengan aspek medis, tetapi juga
harus dipahami dalam perspektif etis. Dalam
praktik kedokteran, dokter sering menjumpai
dan sadar mengenai ketidakpastian serta
keterbatasan ilmu kedokteran. Di sisi lain,
dokter mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab untuk berusaha mengurangi terjadinya
kesalahan. Pada saat itu baik posisi dokter
maupun pasien berada dalam keadaan
rentan. Posisi pasien jelas karena kesalahan
bisa berdampak fatal bagi kesehatan bahkan
bagi kehidupannya. Dari sisi dokter, juga
rawan karena selain perasaan bersalah
secara pribadi, juga secara hukum dapat
dipersalahkan karena dianggap lalai dalam
melakukan kewajibannya. 9
email: [email protected]
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
545
OPINI
Tabel 1 Pendekatan klinisi terhadap clinical ethical reasoning (dimodifikasi dari 10)
1.
Pernyataan permasalahan yang terlihat
2.
Mengumpulkan dan mengorganisasi data
a.
Kenyataan secara medis
b.
Tujuan secara medis
c.
Tujuan dari sudut pandang pasien dan kesukaan pasien
d.
Konteks
3.
Pertanyaan: adakah permasalahan etik?
4.
Pertanyaan: adakah informasi atau dialog yang diperlukan?
5.
Tentukan langkah kerja dan dukungan terbaik untuk permasalahan ini dengan satu atau lebih rujukan sumber
nilai etik:
6.
•
Kaidah dasar etik
Beneficence, nonmaleficence, autonomy, justice
•
Teori Etik Islam
Maqosid Syariah
•
Kaidah dasar etik Islam
Niat, yaqin, dharar, masyaqaat, al-urf
•
Hak-hak
Perlindungan kemandirian obligasi profesional
•
Konsekuensi-konsekuensi
Estimasi kebaikan atau hasil-hasil yang diharapkan
•
Kasus-kasus pembanding
Reasoning dengan analogi dari kasus-kasus sebelumnya
•
Pedoman profesi (kode etik)
Contohnya kode etik kedokteran Indonesia
•
Praktik dengan kehati-hatian
Integritas perseorangan dan profesionalitas dari klinisi
Konfirmasi adekuasi dan koherensi dari kesimpulan
Gambar 1 Perbandingan antara clinical reasoning dengan clinical ethical reasoning. 10
546
Dalam konteks Indonesia, dengan kondisi
sebagian besar masyarakat dan dokternya
beragama Islam, perlu pembahasan tersendiri
mengenai
konsep
ethico-medicolegal
reasoning yang diintegrasikan dengan
paradigma Islam. Dalam paradigma Islam,
dengan sumber etik dan hukum berasal
dari Al-qur’an dan Sunnah, agama adalah
wilayah pribadi sekaligus publik (berlawanan
dengan konsep barat). Secara umum, dalam
paradigma Islam ada wilayah akidah dan
ibadah yang berlaku tetap sepanjang masa,
dan ada wilayah muamalah yang fleksibel
memberikan kebebasan berkreasi sepanjang
tidak bertentangan dengan apa yang telah
digariskan oleh syari’at yang bersumber dari
Al-qur’an dan sunah. Aturan ini, mencakup
semua sektor kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan diri sendiri, sekitar
dan alam semesta, termasuk di dalamnya
hubungan muamalah praktik profesional
dokter.
Tulisan ini akan membahas definisi ethico –
medicolegal reasoning, aspek aplikatif ethico
– medicolegal reasoning, serta pembahasan
mengenai sumber etika sebagai rujukan
dalam membuat keputusan etika, berdasarkan
konsep barat dan Islam.
DEFINISI ETHICO–MEDICOLEGAL
REASONING
Eksplorasi
ethico-medicolegal reasoning
merupakan strategi pendekatan yang
memasukkan konsep bioetik yang ada
ke dalam “ruang berpikir” seorang klinisi
dengan situasi clinical ethical reasoning
dalam paradigma clinical reasoning (dapat
dilihat gambar 1 dan 2) .10 Pada prinsipnya
ethico – medicolegal reasoning adalah proses
justifikasi dalam pembentukan keputusan
ethics dan medicolegal. Secara umum
justifikasi dalam etik adalah dengan metode
apa kita mencapainya. Dalam pandangan
teologi, justifikasi adalah menunjukkan
sesuatu dengan benar, sehingga seseorang
bisa terbebas dari rasa bersalah dan berdosa
karena telah melakukan dengan benar.
Dalam pandangan hukum (medicolegal),
justifikasi diartikan, di depan pengadilan,
seseorang telah memberikan alasan yang
cukup untuk menanggapi tuntutan atau
jawaban yang memuaskan. Dalam diskursus
etik, pandangan hukum inilah yang paling
mendekati. Terdapat tiga pendekatan etika,
yaitu etika normatif (dinyatakan dengan
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
OPINI
standar tindakan benar atau baik), kedua
etika deskriptif (melaporkan apa yang
diyakini dan bagaimana orang bertindak)
dan ketiga menganalisis konsep-konsep dan
metode-metode etika.7
ASPEK APLIKATIF ETHICO–
MEDICOLEGAL REASONING
Tabel 1 dan gambar 1 merupakan model
aplikatif logika berpikir etiko-medikolegal
[ethico – medicolegal reasoning]. Secara
umum ada enam langkah berpikir dimulai
dari (1) pernyataan mengenai permasalahan
yang dilihat, kemudian (2) mengumpulkan
dan mengorganisasi data berkaitan dengan
fakta medis, tujuan medis, tujuan dari sudut
pandang pasien, serta konteks berkaitan
dengan permasalahan medis yang dihadapi.
Selanjutnya membuat (3) statement dasar
permasalahan etik yang dihadapi, diteruskan
dengan (4) menggali informasi tambahan
atau dialog tertentu yang diperlukan. Setelah
semua diperoleh secara adekuat baru mulai
(5) membuat langkah kerja dengan mengacu
sumber-sumber etik yang relevan, dilakukan
(6) konfirmasi dan adekuasi sebelum
diterapkan pada pasien sebagai keputusan
bersama.10
Enam langkah ini merupakan model
metode penalaran etiko-medikolegal yang
dimaksudkan untuk (1) mempermudah
standarisasi pola berpikir di antara klinisi,
(2) membantu penyamaan persepsi etikomedikolegal dan konteks antara dokter
dan pasien, (3) memperlihatkan kesesuaian
atau ketidaksesuaian berpikir antara dokter
klinisi dengan pakar etik yang relevan
ketika menghadapi permasalahan medis
yang sensitif etik dan medikolegal, dan (4)
mempermudah pakar etik-medikolegal
dalam memberikan penilaian dan evaluasi
mengenai pemahaman persoalan etikomedikolegal oleh dokter klinisi atau
mahasiswa peserta didik baik di tingkat
dokter umum maupun spesialis.10
Dari model metode penalaran etikomedikolegal dapat dibuat lembar kerja
sebagaimana lembar status perkembangan
penyakit pasien dalam praktik sehari-hari
(tabel 1). Lembar kerja ini lebih praktis
dalam membantu proses berpikir etikomedikolegal yang menyertai kondisi
medis yang dihadapi oleh pasien dan
keluarganya.10
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
SUMBER NILAI ETIKA (PEMBAHASAN
DIBATASI BIOETIKA BARAT DAN ISLAM)
Penjelasan berikut untuk membantu
upaya mendapatkan rujukan yang adekuat
berkenaan dengan sumber-sumber etika
yang ada.
Teori Etika
Etika adalah istilah umum untuk bermacam
cara dalam memahami dan menguji
kehidupan moral. Pendekatan etika meliputi
etika normatif (dinyatakan dengan standar
tindakan benar atau baik), lainnya etika
deskriptif (melaporkan apa yang orang yakini
dan bagaimana orang bertindak) sedangkan
lainnya lagi menganalisis konsep-konsep dan
metode-metode etika7. Terdapat kesenjangan
antara pemahaman dokter berkaitan dengan
filsafat moral [karena dokter bukan filsuf ]
dengan pakar filsafat. Terdapat enam teori
etika besar dalam ranah pemikiran barat 7,11,12
yaitu:
a. Utilitarian consequent based; suatu
perbuatan dinyatakan sebagai suatu kebaikan
atau keburukan berdasarkan keseimbangan
konsekuensi kebaikan atau keburukan yang
diakibatkannya. Utilitarianism (rasio manfaatkerugian) hal positif terbesar dengan halhal negatif paling minimal.7,11,12 Teori ini
membolehkan perbuatan yang immoral
(secara Islam) karena “memiliki kegunaan”.12
b. Obligation – based; didasarkan pada
filosofi Immanuel Kant (1724 – 1804) yang
berpendapat bahwa moralitas merupakan
sesuatu yang murni berdasarkan nalar. Dia
menolak tradisi, intuisi, suara hati nurani, atau
emosi sebagai sumber kebijakan moral. Suatu
alasan bermoral yang valid akan membenarkan
tindakan. Perbuatan didasarkan pada
kewajiban moral.7,11,12 Teori ini, tidak memiliki
solusi terhadap kewajiban-kewajiban yang
berkonflik karena menjadikan aturan-aturan
moral sebagai hal yang mutlak.12
c. Rights – based; didasarkan pada
penghargaan terhadap hak-hak manusia untuk
memiliki, hidup, merdeka dan berekspresi.
Seseorang dianggap memiliki area privat
tempat ia merupakan tuan bagi takdir dirinya
sendiri. Hak-hak yang ada bisa jadi bersifat
mutlak atau relatif. Hak positif adalah hak yang
diberikan kepada seseorang. Sedangkan hak
negatif adalah hak yang menjamin adanya
pencegahan atau perlindungan terhadap
terjadinya sesuatu yang membahayakan. Ada
hubungan inter-relasi yang kompleks antara
hak dan kewajiban. Hak-hak individu dapat
berbenturan dengan hak-hak komunal.7,11,12
Kritik untuk teori ini adalah penekanannya
terhadap hak-hak individu akan menciptakan
atmosfir pertentangan.12
d. Community – based. Pertimbangan etis
dalam teori ini diatur oleh nilai-nilai komunitas
termasuk di antaranya pertimbangan
terhadap kebaikan umum, tujuan-tujuan
sosial dan tradisi.7,11,12 Teori ini berlawanan
dengan teori rights-based yang didasarkan
atas individualisme. Permasalahan yang timbul
dengan teori ini adalah kesulitan mencapai
konsensus dalam komunitas masyarakat
yang kompleks dan beragam seperti saat
sekarang.12
e. Relation – based. Teori ini menekankan
pada hubungan keluarga dan hubungan
dokter – pasien yang khusus. Sebagai
contoh, kebijakan moral dapat didasarkan
pada pemikiran bahwa tidak ada yang boleh
dilakukan yang dapat merusak fungsi normal
suatu unit keluarga.7,11,12 Masalah teori ini
adalah sulitnya menangani dan menganalisis
faktor-faktor emosional dan psikologis yang
berperan dalam suatu hubungan.12
f. Case – based. Suatu pembuatan keputusan
yang praktis pada setiap munculnya kasus.
Teori ini memiliki suatu preasumsi filosofis
yang terfiksir12.
Teori Etika Islam
Dari sudut pandang Teori Etika Islam, secara
umum sumber hukum utama umat Islam
adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selanjutnya
diperluas ijma’ (konsensus) sahabat, ijma’
ulama’ salaf (beberapa generasi setelah nabi
Muhammad SAW, dan ijma’ulama kontemporer
yang diakui sepanjang masih “in line” dengan AlQur’an dan As-Sunnah. Pemahaman teori etika
dalam Islam terwakili dengan pembahasan
maqashid syariah. Secara bahasa, maqashid
syariah terdiri dari dua kata, yakni maqashid
dan syariah. Maqashid merupakan jama’ dari
maqsudun yang berarti kesengajaan atau
tujuan. Sedangkan syariah berarti jalan menuju
sumber air. Jalan menuju sumber air ini dapat
pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber
pokok kehidupan. Secara istilah, syariah adalah
aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah
untuk dipedomani manusia dalam mengatur
hubungan dengan Tuhan, dengan sesama
manusia, alam, dan kehidupan. Dengan
demikian, maqashid syariah adalah tujuan
hukum yang diturunkan Allah SWT. Menurut alSyatibi, hukum-hukum disyariatkan bertujuan
untuk kemaslahatan umat manusia.13
547
OPINI
Gambar 2 Perbandingan teori etik kedokteran barat dengan teori etik maqasid syariah
Gambar 3 Perbandingan kaidah dasar bioetik barat dengan kaidah dasar bioetik Islam
Maqosid Syari’ah Bidang Kedokteran;
ditegakkannya hukum dalam Islam secara
umum, atau secara khusus tujuan dokter
memberikan tindakan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif pada pasien baik
pribadi maupun dalam komunitas adalah
untuk:
a. Hifdh Al din (memberikan perlindungan
terhadap agama). Tujuan sudut pandang
ini adalah memberikan atau meningkatkan
hari-hari produktif secara optimal bagi
pasien-pasiennya (diciptakan manusia untuk
beribadah). Termasuk juga dalam aspek ini
adalah menjaga kelurusan aqidah dokternya
548
sendiri, pasien yang dirawat, dan komunitas
muslim. Dengan orang yang berbeda agama
tetap mengedepankan prinsip toleransi.
b. Hifdh Al nafs (memberikan perlindungan
terhadap kehidupan). Tujuannya adalah
mempertahankan
kehidupan
serta
mengoptimalkan kualitas hidup pasien dan
komunitas. Nafs ini juga diartikan harga diri
atau kehormatan pasien yang dirawat.
c. Hifdh Al nasl (memberikan perlindungan
terhadap keturunan), Tujuannya adalah
mempertahankan keruntutan garis keturunan
dan kualitas keturunan. Perawatan antenatal,
perinatal, dan post natal termasuk dalam
usaha memberikan perlindungan terhadap
kualitas keturunan. Perawatan infertilitas juga
dalam maksud yang sama demikian juga
dengan mendidik remaja agar menjadi orang
tua yang berkualitas.
d. Hifdh Al aql (memberikan perlindungan
terhadap akal sehat). Tujuannya adalah
mengoptimalkan
kualitas
intelektual,
kecerdasan emosional dan aspek-aspek
kecerdasan lainnya bagi setiap penderita
ataupun komunitas yang menjadi tanggung
jawab dokter. Perawatan terhadap kelainan
jiwa, seperti gangguan kecemasan, depresi,
psikotik serta kecanduan obat-obatan dan
alkohol, dengan berusaha mengembalikan
fungsi-fungsi luhur otak pada taraf yang paling
optimal, serta berusaha mengkampanyekan
hidup tanpa obat dan alkohol adalah termasuk
dalam hal ini.
e. Hifdh Al maal (memberikan perlindungan
terhadap kekayaan pribadi). Tujuan sudut
pandang ini adalah dokter ketika bekerja
tidak saja mempertimbangkan efektifitasnya
saja tetapi juga harus mempertimbangkan
efisiensi atau keekonomisan suatu tindakan
diagnosis atau terapi.
KAIDAH DASAR BIOETIKA
Terdapat kesenjangan antara pemahaman
dokter berkaitan dengan filsafat moral [karena
dokter bukan filsuf ] dengan pakar filsafat.
Karena itu diperlukan panduan praktis yang
merupakan hasil pemikiran mendalam dari
filsuf, tetapi dapat langsung diaplikasikan
tanpa membuat dokter merasa bersalah
atau berdosa. Panduan atau pedoman
praktis itu termuat dalam kaidah dasar
bioetika; sebagian filsuf menyebutkannya
dengan istilah principalism.14 Kaidah dasar
bioetik adalah aksioma yang mempermudah
penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus
spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat
dibersamakan dengan prinsip lain. Tetapi pada
beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu
prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk
digunakan dengan mengorbankan prinsip
yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan
prima facie.15
Terdapat 4 kaidah dasar moral (bioetika),
meliputi:
a. Menghormati
martabat
manusia
(respect for person/autonomy). Pertama,
setiap individu (pasien) harus diperlakukan
sebagai manusia yang memiliki otonomi
(hak untuk menentukan nasib diri sendiri),
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
OPINI
Gambar 4 Diagram skematis berbagai aspek non medik penggunaan kontrasepsi.
Keterangan gambar: 1 = jenis kontrasepsi yang menghambat ovulasi, 2 = jenis kontrasepsi vasektomi, 3 = jenis kontrasepsi
kondom atau IUD yang berfungsi sebagai spermisid, 4 = jenis kontrasepsi IUD yang menghambat terjadinya implantasi
dan kedua, setiap manusia yang otonominya
berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan.
b. Berbuat baik (beneficence). Selain
menghormati martabat manusia, dokter
juga harus mengusahakan agar pasien yang
dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya
(patient welfare). Pengertian ”berbuat baik”
diartikan bersikap ramah atau menolong,
lebih dari sekedar memenuhi kewajiban.
c. Tidak berbuat merugikan (non-maleficence).
Praktik kedokteran harus memilih pengobatan
yang paling kecil risikonya dan paling besar
manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm,
tetap berlaku dan harus diikuti.
d. Keadilan (justice). Perbedaan kedudukan
sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama dan faham kepercayaan, kebangsaan
dan kewarganegaraan, status perkawinan,
serta perbedaan jender tidak boleh dan tidak
dapat mengubah sikap dokter terhadap
pasiennya. Tidak ada pertimbangan lain selain
kesehatan pasien yang menjadi perhatian
utama dokter.
Sementara itu Kaidah Dasar Bioetika Islam16
meliputi:
a. Kaidah Niat (Qaidah Niyyat). Prinsip ini
meminta dokter agar berkonsultasi dengan
hati nuraninya. Terdapat banyak masalah
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
mengenai prosedur dan keputusan medis
yang tidak diketahui orang awam. Seorang
dokter dapat saja melakukan suatu prosedur
dengan alasan yang mungkin masuk akal dari
sudut pandang luar, namun sesungguhnya
memiliki niatan berbeda dan tersembunyi.
Contoh praktis: penggunaan morfin sebagai
penghilang rasa sakit pada perawatan kondisi
terminal namun niat yang sesungguhnya
adalah agar terjadi depresi pernafasan yang
akan menyebabkan kematian.
b. Kaidah Kepastian (Qaidah al yaqiin).
Tidak ada yang benar-benar pasti (yaqiin)
dalam ilmu kedokteran, artinya tingkat
kepastian (yaqiin) dalam ilmu kedokteran
tidak mencapai standar yaqiin yang diminta
oleh hukum. Meskipun demikian diharapkan
dokter dalam mengambil keputusan medis,
mengambil keputusan dengan tingkat
probabilitas terbaik dari yang ada (evidencebased medicine). Termasuk pula dalam hal
diagnosis, perawatan medis didasarkan dari
diagnosis yang paling mungkin.
c. Kaidah Kerugian (Qaidah al dharar)
1. Intervensi medis untuk menghilangkan
al dharar (luka, kerugian, kehilangan hari-hari
sehat) pasien.
2. Tidak boleh menghilangkan al dharar
dengan al dharar yang sebanding (al dharar la
yuzaal bi mitslihi)
3. Keseimbangan antara kerugian vs.
keuntungan. Pada situasi intervensi medis
yang diusulkan memiliki efek samping,
diikuti prinsip bahwa pencegahan penyakit
memiliki prioritas yang lebih tinggi ketimbang
keuntungan dengan nilai yang sama, dar’an
mafasid awla min jalbi al mashaalih. Jika
keuntungan memiliki kepentingan yang
jauh lebih tinggi daripada kerugian, maka
mendapatkan keuntungan memiliki prioritas
yang lebih tinggi.
4. Keseimbangan antara yang dilarang vs.
diperbolehkan. Dokter kadang dihadapkan
dengan intervensi medis yang memiliki efek
yang dilarang namun juga memiliki efek
yang diperbolehkan. Petunjuk hukum adalah
bahwa yang dilarang memiliki prioritas lebih
tinggi untuk dikenali jika keduanya muncul
bersamaan dan sebuah keputusan harus
diambil, idza ijtima’a al halaal wa al haram
ghalaba al haraam al halaal.
5. Pilihan antara dua keburukan. Jika
dihadapkan dengan dua situasi medis yang
keduanya akan menyebabkan kerugian
dan tidak ada pilihan selain memilih salah
satu dari keduanya, dipilih yang kurang
merugikan, ikhtiyaar ahwan al syarrain.
Suatu hal yang merugikan dilakukan untuk
mencegah munculnya kerugian yang lebih
besar, al dharar al asyadd yuzaalu bi al dharar
al akhaff. Dengan cara yang sama, intervensi
medis yang memiliki kepentingan umum
diutamakan di atas kepentingan individu,
al mashlahat al aamah muqoddamat ala al
mashlahat al khassat. Individu mungkin harus
mendapatkan kerugian untuk melindungi
kepentingan umum, yatahammalu al dharar al
khaas il dafiu al dharar al aam. Untuk melawan
penyakit menular, pemerintah tidak boleh
melanggar / menghilangkan hak-hak umum
kecuali ada keuntungan umum yang bisa
didapatkan, al tasarruf ala al raiuyat manuutu
bi al mashlahat.
d. Kaidah Kesulitan / Kesukaran (Qoidah al
Masyaqqat)
1. Kebutuhan melegalisir yang dilarang.
Dalam kondisi yang menyebabkan gangguan
serius pada kesehatan fisik dan mental, jika
tidak segera disembuhkan, maka kondisi
tersebut memberikan keringanan dalam
mematuhi dan melaksanakan peraturan dan
kewajiban syari’ah.
2. Batas-batas prinsip kesulitan: dalam
melanggar syari’ah tersebut tidak melewati
batas-batas yang diperlukan (secukupnya
saja).
549
OPINI
3. Aplikasi sementara dari prinsip kesulitan.
Adanya suatu kesulitan tidak menghilangkan
secara permanen hak-hak pasien yang harus
direkompensasi dan dikembalikan pada
keadaan semula seiring dengan waktu;
kesulitan melegalisir sementara dari tindakan
medis yang melanggar, berakhir setelah
kondisi yang menyulitkan tadi berakhir.
Dengan kata lain, jika hambatan telah dilewati,
tindakan medis yang dilarang kembali menjadi
terlarang.
4. Kaidah Kebiasaan (Qoidah al urf); Dalam
prinsip ini, standar yang diterima secara
umum, seperti standard operational procedure
(SOP/Protap) untuk perawatan klinis dianggap
sebagai hukum dan diperkuat oleh syari’ah.
CONTOH KASUS PENGGUNAAN
KONTRASEPSI
Pada kasus penggunaan kontrasepsi,
muncul permasalahan di masyarakat ada
kelompok yang setuju dan ada kelompok
yang menentang penggunaan kontrasepsi
(langkah 1 yaitu pernyataan permasalahan
[lihat gambar 1]).
Untuk kepentingan membantu melihat peta
permasalahan yang lebih sistematis, penulis
memaparkan peta permasalahan penggunaan
kontrasepsi dalam masyarakat pada gambar
4 (sebagai wujud realisasi langkah 2 yaitu
mengumpulkan dan mengorganisasikan
data secara medis dan aspek sosial yang
menyertainya). Pada gambar 4 tersebut
dapat dilihat berbagai aspek penggunaan
kontrasepsi dalam praktik kedokteran modern.
Penggunaan kontrasepsi di masyarakat telah
membuat revolusi dalam perilaku seksual
dan reproduksi mereka (hubungan seks
tanpa reproduksi; seks untuk kesenangan).17,18
Kontrasepsi (diuraikan di gambar 4), seperti
kondom mempunyai fungsi ganda, yaitu
selain menghalangi secara fisik pertemuan
sperma dengan ovum, juga mencegah
penularan penyakit menular seksual dan HIV/
AIDS.19,20,21 Lebih lanjut, pencegahan penyakit
menular seksual terutama human papiloma
virus, dapat mencegah terjadinya kanker
leher rahim.21 Pengguna kontrasepsi meliputi
mereka yang menikah secara formal (tercatat)
dan tidak formal (tidak tercatat atau nikah
siri), pasangan seks tanpa nikah baik remaja
di bawah umur maupun yang sudah dewasa.
Secara umum penggunaan kontrasepsi untuk
tujuan menghalangi terjadinya konsepsi,
mempunyai dampak menurunkan jumlah
550
kehamilan tak diinginkan maupun anak yang
tak diinginkan pada remaja,22 menurunkan
jumlah abortus (oleh dokter; sebagai dampak
unwanted pregnancy)23 yang merupakan
masalah kesehatan masyarakat utama di
kalangan remaja di negara maju.
Pertanyaan kritis praktik penggunaan
kontrasepsi yang sensitif etik (wujud
realisasi langkah 3 yaitu memformulasikan
permasalahan etik berkaitan dengan
kontrasepsi) meliputi:
1. Secara
umum
diperbolehkannya/
dilarangya penggunaan kontrasepsi apakah
bersifat absolut ataukah bersifat fakultatif
(tergantung tujuan)?
2. Bolehkah
penggunaan
kontrasepsi
pada pasangan seksual yang tidak dilandasi
pernikahan (termasuk pada kasus remaja dan
remaja cacat mental)?
3. Pada kasus yang diperbolehkan,
permasalahan sensitif apa lagi yang dijumpai
dalam pelayanan maupun riset mengenai
kontrasepsi, termasuk pula penggunaan
kontrasepsi emergensi?
Tidak ada jawaban universal untuk pertanyaan
1 dan 2. Tergantung teori etika yang
digunakan, jawaban bisa jadi bertentangan
satu sama lain. Untuk menjawab pertanyaan
3, lebih berkaitan dengan masalah penerapan
kaidah dasar bioetika.
Selanjutnya,
penulis
mengintegrasikan
langkah 4 dan langkah 5 [gambar 3] dengan
mencoba menjawab pertanyaan 1 dan 2,
persamaan antara bioetika barat dan Islam
sama-sama tidak ada larangan absolut dalam
hal penggunaan kontrasepsi. Perbedaan mulai
terlihat pada siapa yang boleh menggunakan
dan siapa yang dilarang. Dalam pandangan
barat, dengan pendekatan teori right based,
asalkan merupakan pilihan pribadi, tidak
masalah bagi siapa saja yang menginginkan
menggunakan kontrasepsi (termasuk remaja,
bilamana orang tua remaja menghendaki).
Dalam konteks pandangan barat, dengan
pendekatan teori obligation based, sepanjang
tidak bertentangan dengan moral, dokter
harus membantu klien mewujudkan apa
yang diinginkan klien. Ketika dikaitkan
untuk mengatasi permasalahan kesehatan
masyarakat, dengan pendekatan teori
community based, masyarakat menghendaki
kontrasepsi sebagai solusi untuk mengatasinya,
dokter pun harus membantu mengupayakan
pelayanan kontrasepsi.
Dalam pandangan Islam, penggunaan
kontrasepsi merupakan masalah ikhtilaf
(diperdebatkan) boleh dan tidaknya.
Pada kasus dengan pertimbangan hasil
justifikasi diperbolehkan24, penggunaan
kontrasepsi harus dalam konteks pernikahan
yang sah (tercatat dalam administrasi
negara), pemakaian kontrasepsi benarbenar atas keinginan istri diikuti izin atau
permufakatan dengan suami25. Ada dua
kriteria dalam penggunaan kontrasepsi yaitu
tidak menyebabkan kerusakan permanen
dan mencegah kesuburan. Penggunaan
kondom, krim spermisid, IUD, kontrasepsi
oral, ligasi tuba, dan vasektomi semuanya
diperbolehkan.24 Dengan mengaplikasikan
maqasid syariah, merupakan bagian dari hifdh
al-diin dan hifdh al-nasl.
Menjawab pertanyaan 3, prinsip-prinsip yang
harus diperhatikan dalam mengaplikasikan
kaidah dasar bioetika barat yakni; pada kaidah
autonomi, memperhatikan preferensi klien,
nilai-nilai yang diyakini klien dan autorisasi
dalam memberikan persetujuan; kaidah non
maleficence, pemberian kontrasepsi haruslah
tidak membahayakan klien, dilakukan dengan
standar safety medicine. Sedangkan dalam
mengaplikasikan kaidah dasar bioetika Islam,
seorang profesional kesehatan haruslah
melandaskan pada niat (qaidah niat) yang
benar (tanpa motif apa pun yang merugikan
klien), memilih kontrasepsi harus menerapkan
prinsip-prinsip evidence based medicine
(qaidah yaqin), pemilihan kontrasepsi untuk
menghilangkan problem dan menerapkan
safety medicine (qaidah al-dharar) dan
dilakukan dalam prosedur yang disepakati
ahli setempat di rumah sakit (qaidah al-urf ).
Sedangkan pada langkah 6, penerapannya
bersifat individual, berkaitan dengan
preferensi pasien, mendiskusikan bersama,
sebelum mengeksekusi hasil keputusan
bersama tersebut.
SIMPULAN
Penerapan ilmu dan teknologi kedokteran
tidak dapat dilepaskan dari aspek sosial
dan etika. Dokter yang kurang mendalami
pemahaman etika memerlukan alat bantu
yang sistematis agar mampu membuat
keputusan klinis yang benar secara medis dan
tepat secara etika.
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
OPINI
DAFTAR PUSTAKA
1.
Gandes RR , McAleer S. Clinical reasoning of Indonesian medical students as measured by diagnostic thinking inventory. South East Asian J Med Education. 2008;2(1):42-7.
2.
Gandes RR. Metode penilaian penalaran klinis. Presented at Workshop Rumah Sakit Pendidikan, Yogyakarta, 25 – 28 November 2008.
3.
Suryadi. Clinical reasoning. Presented ar Workshop Rumah Sakit Pendidikan, Yogyakarta, 25 – 28 November 2008.
4.
Fournier JP, Demeester A, Charlin B. Script Concordance Test: Guidelines for Construction; BMC Medical Informatics and Decision Making 2008; 8: 18; http://www.biomedcentral.com/14726947/8/18
5.
Sibert L, Darmoni SJ, Dahamma B, Hellot MF, Weber J, Charlin B. On line clinical reasoning assessment with Script Concordance Test in Urology: results of a Frenceh pilot study, BMC
Medical Education 2006, 6:45; http://www.biomedcentral.com/1472-6920/6/45
6.
Stefan Bremberg, Tore Nilstum. Patients’ autonomy and medical benefit ethical reasoning among GPs, Family Practice Vol 17 No 2 Oxford University Press, 2000
7.
Beauchamp TL, Childress J. Principles of Biomedical Ethics 4th ed, Oxford University Press, 1994
8.
Ebbesen M, Pedersen BD. Empirical investigation of the ethical reasoning of physicians and molecular biologists – the importance of the four principles of biomedical ethics; Philosophy,
9.
Torjuul K, Nordam A, Sorlie S., Ethical challenges in surgery as narrated by practicing surgeon in BMC Medical Ethics, 28 February 2005, dol:10.1186/1472-6939-6-2: http://www.
Ethics, and Humanities in Medicine 2007. 2.23
biomedcentral.com
10. Kaldjian LC, Weir RF, Duffy TP, A Clinician’s Approach to Clinical Ethical Reasoning, J. General Internal Medicine 2005; 20;306 – 311
11. Tony Hope et al. Medical Ethics and Law The Core Curriculum; Churchil Livingstone, 2003
12. Kasule OH. Aplikasi Nilai-nilai Islam pada Pengajaran Klinis; dipresentasikan di Seminar dan Lokakarya Implementasi Nilai-nilai Islam di dalam Pendidikan Kedokteran di Indonesia
FKUNISMA 8 – 9 September 2007
13. Huda. Kuliah Maqasid Syariah Blok Bioetik, Hukum Kedokteran dan HAM bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2009,
14. Gillon R. Medical ethics: four principles plus attention to scope, BMJ 1994;309:184 – 8
15. Purwadianto A. 2007, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik, dalam bahan bacaan Program Non Gelar Blok II FKUI Juni 2007
16. Kasule OH, Aplikasi Nilai-nilai Islam pada Pengajaran Klinis; dipresentasikan di Seminar dan Lokakarya Implementasi Nilai-nilai Islam di dalam Pendidikan Kedokteran di Indonesia
FKUNISMA 8 – 9 September 2007
17. Calman KC. Evolutionary ethics: can values change, J Med Ethics 2004;30:366 – 370.doi: 10.1136/jme.2002.003582
18. Benagiano G, Carrara S, Filippi V. Sex and Reproduction: an evolving relationship, Human Reproduction Update, 2010;16(1 ): 96 – 107.
19. Walker D, Gutierrez JP, Torres P., Betozzi SM. HIV prevention in Mexican school: prospective randomized evaluation of intervention; British Medical Journal, dol:10.1136/bmj.38796.457407.80
8 May 2006
20. Martiniuk ALC, O’Connor KS, King WD. A cluster randomized trial of a sex education programme in Belize, Central America. Internat. J. Epidemiol. 2003; 32: 131 – 6.
21. Steiner MJ, Cates Jr. W. Condoms and Sexually-Transmitted Infections, NEJM 2006;354;25 june 22, www.nejm.org.
22. Schenk KD. Emergency contraception: lessons learned from the UK, J Family Planning and Reproductive Health Care 2003: 29(2).
23. Calman KC. Evolutionary ethics: can values change. J Med Ethics 2004;30:366 – 370.doi: 10.1136/jme.2002.003582
24. Hedayat KM, Pirzadeh R. Issues in Islamic Biomedical Ethics: A Primer for the Pediatrician. Pediatrics, Oct 2001; 108: 965 – 71.
25. Aminah S. Implementasi Hak-Hak Reproduksi Isteri; Studi Kasus Terhadap Penggunaan Alat Kontrasepsi Tanpa Izin Suami di Kecamatan Wonocolo Kota Surabaya, Thesis, IAIN Sunan
Ampel Surabaya, 2010.
CDK-206/ vol. 40 no. 7, th. 2013
551
Download