PENTINGNYA NILAI-NILAI SPIRITUAL Musdah Mulia Semua agama, tak terkecuali Islam, datang ke bumi dengan tujuan untuk menguatkan aspek spiritual manusia. Diharapkan dengan semakin menguatnya sisi spiritual tersebut manusia menjadi semakin manusiawi yang dalam term Islam disebut berakhlak mulia. Manusia adalah karya terbaik Tuhan dan Dia bangga dengan ciptaan-Nya itu. Manusia diciptakan dengan dua unsur yang saling kontradiksi dalam dirinya, yakni unsur lahut (unsur keilahian atau spirit) dan (unsur kebinatangan atau materi). Unsur lahut selalu mengajak manusia kepada kebaikan dan mengembangkan nilai-nilai spiritual sehingga manusia menjadi sangat dekat dengan Tuhan, bahkan dalam sufisme disebut manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Sebaliknya, unsur nasut selalu menjebak manusia agar melupakan Tuhan dan senantiasa mengingat kepada hal-hal yang bersifat material. Tidak heran jika manusia yang dikuasai unsur nasut akan mengadopsi sikap dan perilaku kebinatangan, penuh amarah, benci dan dendam, bahkan lebih dari itu manusia akan tergoda menjadi hedonis, individualis, dan sadis. Manusia berbeda dengan malaikat. Malaikat diciptakan hanya dari satu unsur, yaitu unsur lahut sehingga tidak heran jika malaikat tidak perlu berjuang melawan kejahatan. Malaikat tidak tergoda pada hal-hal yang bersifat material, hidupnya sepenuhnya mengarah kepada kebaktian kepada Tuhan. Manusia juga berbeda dengan binatang yang hanya diciptakan dari unsur nasut sehingga jangan berharap ada nilai-nilai spiritual dalam dirinya. Sepanjang hidup manusia adalah suatu perjuangan memenangkan unsur lahut. Tentu tidak ada manusia yang dapat membebaskan diri sepenuhnya dari unsur nasut karena manusia bukan malaikat yang tidak memiliki unsur tersebut dalam dirinya. Namun, setidaknya manusia harus berusaha dan berikhtiar sedemikian rupa agar dapat menjadikan unsur lahut menjadi dominan dalam dirinya sehingga dapat mengarahkan seluruh aspek kehidupannya ke arah kebaikan yang diajarkan agama. Manusia harus berjuang agar unsur nasut tidak mendominasi kehidupannya. Tuhan Sang Pencipta sangat menginginkan kebaikan bagi manusia, karena itu Dia membekali manusia seperangkat peralatan yang dapat digunakannya untuk memenangkan unsur lahut dalam dirinya. Seperangkat peralatan dimaksud adalah panca indera, intuisi, akal sehat, dan agama. Dengan seperangkat peralatan tersebut diharapkan manusia dapat memenangkan unsur lahut, dan mengalahkan unsur nasut. Jika manusia dapat mengontrol unsur nasut dalam dirinya dia akan selalu cenderung kepada kebaikan, selalu mengedepankan aspek keilahian yang penuh nilai-nilai spiritual berupa cinta kasih, adil, jujur, empati, respek, berani membela yang benar, berpihak pada mereka yang tertindas, bersih, tanggung jawab, sabar, senang bekerja sama dan seterusnya. Islam adalah agama yang diturunkan Allah untuk menebar rahmat (nilai-nilai spiritual) bagi alam semesta. Pesan kerahmatan yang penuh dengan nilai-nilai spiritual tersebut melimpah dalam teks-teks suci, baik dalam Qur’an maupun Hadits. Kata rahmah, rahmân, rahîm, dan derivasinya disebut berulang-ulang dalam jumlah yang begitu besar. Jumlahnya lebih dari 90 ayat. Makna genuine kata itu adalah 1 kasih sayang atau cinta kasih. Dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah menyatakan: “Anâ arrahmân. Anâ ar-rahîm” (Aku Sang Maha Sayang, Aku Sang Maha Kasih). Sumber Islam paling otoritatif, Qur’an, dengan sangat tegas menyebutkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama “rahmatan li al‘âlamîn,” yakni: Aku tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai (penyebar) kasih sayang bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ [21]:107). Fungsi kerahmatan ini dielaborasi oleh Nabi Muhammad SAW dengan pernyataannya yang terang benderang:”Inni bu’itstu li utammima makârim al-akhlâq.” Artinya, aku diutus Tuhan untuk membentuk moralitas kemanusiaan yang luhur. Manusia yang berakhlak mulia adalah manusia yang mengedepankan nilai-nilai spiritual, manusia yang menjadikan unsur lahut mendominasi kehidupannya. Atas dasar inilah, Nabi Muhammad SAW selalu menolak secara tegas semua perilaku yang menegasikan nilai-nilai spiritual, seperti cara-cara kekerasan, pemaksaan, diskriminatif, dan eksploitatif sekaligus Nabi SAW tidak pernah melakukannya. Nabi Muhammad SAW menegaskan misinya ini dengan mengatakan: “ ما بعثت لعانا وانما بعثت رحمةAku tidak diutus sebagai pengutuk, melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” Allah telah memberikan kesaksian sekaligus merestui cara-cara atau metode penyebaran Islam yang dijalankan Nabi SAW tersebut sambil menganjurkan agar dia meneruskannya: فبما رحمة من ﷲ لنت لھم ولو كنت فظا غليظ القلب ال نفضوا من حولك فاعف عنھم واستغفر لھم وشاورھم فى االمر “Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekitarmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam segala urusan.” (Q.S. Âli ‘Imrân [3]:159). Pernyataan ini seharusnya menginspirasi setiap Muslim untuk melakukan langkah-langkah kemanusiaan yang tegas dalam menegakkan nilai-nilai spiritual yang menjadi esensi ajaran Islam. Hal itu dapat diimplementasikan dalam bentuk upaya konkret mewujudkan suatu tatanan kehidupan manusia yang didasarkan pada pengakuan atas kesederajatan manusia di hadapan hukum (al-musâwah amâma al-hukm), penghormatan atas martabat manusia (hifdh al-‘irdl), persaudaraan (al-ukhuwwah), penegakan keadilan (iqâmat al-‘adl), pengakuan atas hak kebebasan orang lain, dialog secara santun, serta kerjasama saling mendukung untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Ini adalah pilar-pilar kehidupan yang seharusnya ditegakkan oleh setiap umat Islam, tanpa harus mempertimbangkan asal usul tempat kelahiran, etnis, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, orientasi seksual, gender, keturunan, keyakinan agama, dan sebagainya. Tujuan Islam: Memanusiakan Manusia Islam sebagai agama, pada hakikatnya terlihat pada aspek nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu 2 adalah pengakuan tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwa manusia. Soal takwa, Tuhan semata berhak melakukan penilaian, bukan manusia. Tujuan hakiki Islam adalah memanusiakan manusia; membina manusia agar menjadi baik dalam semua aspek: fisik, mental, moral, spiritual, dan aspek sosialnya. Intisari dari semua ajaran Islam berkisar pada penjelasan tentang masalah baik dan buruk. Yakni menjelaskan mana perbuatan yang masuk dalam kategori perbuatan baik yang membawa kepada kebahagiaan, dan mana perbuatan buruk yang membawa kepada bencana dan kesengsaraan. Ajaran Islam memberikan seperangkat tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan dan ketenteraman manusia itu sendiri. Tuhan, Sang Pencipta, sama sekali tidak merasa untung jika manusia mengikuti aturan yang diwahyukan, sebaliknya juga tidak merasa rugi jika manusia mengabaikan tuntunan-Nya. Manusia diciptakan dengan misi yang jelas, yaitu sebagai khalifah fil ardh (pemimpin atau pengelola dalam kehidupan di muka bumi). Tugas manusia adalah membawa kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kemuliaan di alam semesta (rahmatan lil-‘âlamîn). Satu hal paling penting untuk menuju ke sana adalah adanya kesadaran menegakkan kebenaran, mendorong terwujudnya hal-hal yang baik dan mencegah terjadinya hal-hal yang buruk dan tidak terpuji (amar ma’rûf nahi munkar). Salah satu tuntunan Islam yang mendasar adalah keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin biologis, jenis kelamin sosial (gender), ras, suku bangsa, dan berbagai ikatan primordial lain. Karena itu, Islam mempunyai dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan. Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitar. Pesan-pesan kemanusiaan Islam dielaborasi secara sangat mengesankan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111 M) dan dikembangkan lebih lanjut antara lain oleh Abu Ishaq al-Syathiby (w.790 H) dengan konsep al-dlarûriyât al-khams. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan utama syariat Islam (maqâshid alsyarî’at) pada dasarnya adalah menciptakan kesejahteraan sosial atau kemaslahatan bagi semua manusia. Lebih jauh, Imam al-Ghazali menyatakan: “Kemaslahatan menurut saya adalah mewujudkan tujuan-tujuan agama yang memuat lima bentuk perlindungan (al-dlarûriyât al-khams). Yaitu [1] perlindungan hak berkeyakinan atau beragama (hifdh al-dîn); [2] perlindungan jiwa atau hak hidup (hifdh al-nafs); [3] perlindungan akal, hak kebebasan berpikir dan berpendapat (hifdh al-‘aql); [4] perlindungan hak kesehatan reproduksi (hifdh an-nasl); dan [5] perlindungan kekayaan (property), hak milik (hifdh al-mâl). Segala cara yang dapat menjamin perlindungan terhadap lima prinsip ini disebut kemaslahatan; dan mengabaikan kemaslahatan adalah kerusakan (mafsadah); menolak kerusakan adalah kemaslahatan.” 1 Dalam pendekatan kontekstual, konsep maqâshid al-syarî’at dapat dikembangkan pemikiran sebagai berikut: Pertama, hifdh al-dîn (perlindungan terhadap 1 Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfâ min’ Ilm al-Ushûl, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 286. 3 keyakinan agama dan kepercayaan), mengandung pengertian bahwa perlindungan bukan hanya terhadap agama dan keyakinan diri sendiri, melainkan juga terhadap agama dan keyakinan orang lain. Karena itu, Islam melarang siapa pun untuk menganiaya atau menindas orang lain hanya karena keyakinan atau agamanya berbeda. Tidak ada paksaan dalam agama, itulah prinsip Islam. Kedua, hifdh al-nafs (perlindungan terhadap jiwa), mengandung arti perlindungan terhadap nyawa dan tubuh siapa pun. Karena itu, Islam melarang siapa pun untuk menyakiti, melukai, melecehkan, membunuh, atau melakukan kekerasan terhadap orang lain atas dasar apapun, baik agama, etnik, ras, warna kulit, jenis gender, jenis kelamin, maupun atas dasar orientasi seksual. Ketiga, hifdh al-‘aql (perlindungan terhadap akal pikiran), mengandung makna penyediaan ruang yang bebas untuk mengekspresikan pendapat, pikiran, gagasan, dan kehendak-kehendak yang lain. Karena itu, tidak seorangpun boleh melakukan pemasungan, pelarangan, dan pembredelan terhadap pikiran dan pendapat orang lain. Keempat, hifdh an-nasl (perlindungan terhadap kehormatan keluarga dan keturunan), membawa konsekuensi perlindungan dan penghormatan terhadap alat-alat, fungsi, dan sistem reproduksi dalam rangka menjaga kesehatan reproduksi manusia. Karena itu, tidak seorangpun boleh melakukan pemerkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan seksual, pelecehan seksual, dan pemaksaan kehamilan, rentang masa kehamilan, atau berketurunan dan jumlah keturunan, Kelima, hifdh al-mâl perlindungan terhadap hak properti atau milik pribadi maupun masyarakat. Hal ini mengandung implikasi adanya jaminan atas pilihan-pilihan pekerjaan, profesi, hak-hak atas upah sekaligus jaminan keamaanan atas hak milik tersebut. Karena itu, Islam menolak segala bentuk larangan terhadap akses pekerjaan, perampasan hak milik pribadi, korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan, penggelapan, penggusuran, perusakan lingkungan hidup dan alam, serta eksploitasi-eksploitasi haram lainnya oleh siapapun; individu, masyarakat, institusi keagamaan, sosial, maupun institusi negara. Kesimpulannya, tujuan akhir agama adalah memanusiakan manusia. Melalui serangkaian ritual ibadah yang diajarkan dalam agama diharapkan manusia menjadi berakhlak karimah sehingga dapat mewujudkan kemashlahatan, bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi anggota keluarga, bahkan bagi masyarakat dan seluruh makhluk di alam semesta. Kemashlahatan hanya dapat terwujud manakala manusia lebih mengedepankan unsur lahut yang selalu berpihak pada nilai-nilai keilahian atau nilainilai spiritual dan itulah yang menjadi esensi dalam ajaran agama. Wallahu a’lam bi as-shawab. 4