ISLAM DAN LINGKUNGAN Oleh : Abrar, M. Ag (Dosen Fakultas Syariah, IAIN Imam Bonjol Padang) Abstrak Realitas keberagamaan seringkali dipahami secara parsial dan kaku. Agama kerap terpinggirkan dalam dinamika perubahan zaman. Kemajuan tekhnologi seakan menerabas batas-batas etika dan moralitas agama. Bahkan agama dianggap sebagai anathema terhadap akselerasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu. Ternyata perspektif humanis dalam bangunan peradaban manusia mengalamai kebuntuan. Pandangan antroposentris, tidak saja terjebak dalam keakuannya, bahkan seringkali menimbulkan malapetaka terhadap keberlangsungan peradaban itu sendiri. Alam sebagai sumber daya ekonomi, digunakan untuk kepentingan manusia tanpa didasari oleh nilai-nilai dan moral agama. Alam seakan dipahami sebagai sesuatu yang removable, mampu menetralisir dirinya sendiri, sehingga pengurasan yang berlebihan terhadap alam untuk kepentingan ekonomi dan teknologi dianggap sesuatu yang sah dan manusiawi. ٍ◌Pandangan ini sesungguhnya yang menjadi malapetaka terhadap peristiwa-peristiwa alam yang hingga kini sulit untuk diatasi. Agaknya penting merekonstruksi pemahaman yang berwawasan antroposentris terhadap alam dengan pemahaman yang teosentris dengan meletakkan segala sesuatu sebagai bagian integral dari moralitas agama, sehingga alam dan ekosistemnya berproses secara seimbang dan tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan. Perspektif ini sebenarnya juga mengacu pada kepentingan manusia yang dalam Islam disebut al-Maslahah (human welfare), akan tetapi kepentingan yang didasarkan pada moralitas agama bukan antroposentris. Kata Kunci: Islam,al-Maslahah dan lingkungan Pendahuluan Wacana lingkungan, khususnya di Indonesia menjadi terma penting di samping demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Gerakan pemikiran tentang lingkungan ini disadari ketika tingkat kerusakan lingkungan berada pada titik kritis. Eksploitasi sumber daya alam yang tanpa batas tidak saja berekses pada sumber daya alam itu sendiri, akan tetapi juga merusak kehidupan manusia, baik secara individual maupun sosial. Bencana banjir akibat erosi, kabut asap akibat pembakaran kayu lahan perkebunan, lobang raksasa akibat tambang, lumpur panas dan termasuk gempa bumi merupakan ekses dari eksploetasi alam. Gagasan dan regulasi tentang pembangunan ramah lingkungan pada dasarnya telah memberikan informasi dan sekaligus pengaturan yang sangat jelas. Misalnya UUD 1945 pasas 33 ayat (3) dan peraturan-peraturan pemerintah lainnya seperti UU Nomor 32 Tahun 2009). Akan tetapi secara realitas aturanaturan hukum itu tidak berjalan baik dan seringkali diabaikan. Sehingga kerusakan ekosistem dan lingkungan alam menjadi anathema terhadap keberlangsungan hidup generasi mendatang. Antisipasi dan penanggulangan terhadap kerusakan lingkungan banyak dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan para akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat itu sendiri. Sampai saat ini upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya memperlihatkan perubahan yang signifikan bagi pemeliharaan lingkungan. Sebagian akademisi dan kelompok keagamaan pada khususnya, justru pesimis dengan upaya-upaya itu, karena bagaimanapun pendekatan penanggulangan kerusakan lingkungan berdasakarkan aturan-aturan sekuler tidaklah representatif untuk merubah prilaku manusia, apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan yang bersifat kapital. Perspektif agama merupakan salah satu solusi alternatif yang rasional dan positif dalam pemeliharaan lingkungan. Kondisi lingkungan yang semakin parah dan kritis tidak cukup diatasi dengan paradigma antroposentris ansich tetapi membutuhkan kesadaran murni dan penghayatan spritual yang dalam bagi setiap individu dalam bentuk nilai-nilai dan moralitas agama. Dengan mengikuti paradigma kebudayaan, dimana religi (agama) disebut sebagai cultural core, diyakini spirit agama memiliki kekuatan yang tinggi dalam mempengaruhi kerangka berfikir (wordview) dan sekaligus meggerakkan prilaku-prilaku pemeluknya untuk menjaga dan memelihara lingkungan. Oleh sebab itu penyajian yang holistik, modern dan ekologis dalam perspektif agama (baca Islam) sangat dibutuhkan dalam menjawab persoalan realitas lingkungan. Kajian dalam tulisan ini hendak melihat sebuah konsep alternatif dengan pendekatan nilai-nilai keagamaan yang berorientasi pada kepentingan kehidupan manusia yang oleh Kuntowijoyo disebut dengan Humanisme teosentris. Islam memiliki seperangkat nilai-nilai dan norma-norma tentang pelestarian lingkungan untuk dijadikan landasan dalam mengkonstruksi pemahaman terhadap kewajiban memelihara lingkungan dan larangan untuk merusaknya. Fokus tulisan ini menkankan pada perspektif Islam dalam mengkonstruksi lingkungan sebagai bahagian yang setara dengan kewajiban-kewajiban lainnya bahkan menjadi dasar dari kewajiban dan larangan bagi tujuan pokok syari’at islam. Untuk itu, tulisan ini menguraikan konsepsi islam dalam pemeliharaan lingkungan dengan menggunakan term al-Maslahah (human welfare) sebagai kerangka acuan dalam menterjemahkan pesan-pesan ilahiyah tentang pelestarian ekosistem/lingkungan dalam bentuk kewajiban memeliharanya dan larangan atas pengrusakannya. Studi Kepustakaan Persoalan lingkungan yang menjadi tema global dewasa ini seringkali semakin memperlihatkan tingkat kerusakan yang sangat kritis. Upaya-upaya rekonstruksi paradigma dalam memahami lingkungan senantiasa ditingkatkan sebagai bentuk kepedulian terhadap kelestarian ekosistem bagi generasi mendatang. Kelemahan paradigma sekularistik-anroposentris ternyata belum memberikan harapan yang menggembirakan terhadap perbaikan ekosistem dan kerusakan lingkungan yang terjadi. ◌Perspektif agama kemudian menjadi salah ِ satu alternatif yang memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan terhadap lingkungan, karena agama diyakini sebagai kekuatan internal kemanusiaan yang mampu menggerakkan pola sikap dan perilaku manusia dalam beraktifitas. Mujiyono Abdillah (2001 : 222-223), menegaskan bahwa perspektif tentang ekologi yang berkembang saat ini cenderung bersifat antroposentris, sekularistik dan bahkan ateis. Implikasi dari pemikiran antroposentris ini justru menjadi biang keladi munculnya kerusakan-kerusakan ekosistem. Oleh sebab itu dibutuhkan paradigm ekologi yang bernuansa rasional dan ekoreligi Islam, yaitu pemahaman yang holistik integeralistik, yang mensinergikan antara teknologi, ekologi dan spritul relegius. Menurutnya prilaku ekologi sangat ditentukan oleh bentuk keyakinan yang dianut oleh masyararakat ekologi itu sendiri. Keyakinan yang dimaksud adalah keyaninan yang yang holistik dan sempurna sehingga penting untuk mengkonstruksi konsep ekoteologi Islam. Teologi lingkungan dalam konsep Islam dikembangkan melalui dasar-dasar keberimanan yang meliputi tentang: 1) tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. 2) peduli lingkungan adalah sebagian dari iman, 3) perusak lingkungan adalah kafir ekologis, 4) Pemboros energi adalah teman syaitan. 5. Banjir adalah fenomena ekologis bukan fenomena teologis (Abdillah, 2001: 223224). Dalam perspektif ilmu fikih, Ali Yafi juga merumuskan tentang kewajiban memelihara lingkungan sebagai bentuk dari teorisasi al-mashlahah (Humanwelfer). Islam adalah agama yang dibangun atas dasar-dasar kemaslahatan. Setiap doktrin dan nilai-nilai yang diwahyukan berupa teks al-Qur’an selalu berorientasi pada kemaslahatan manusia. Apakah teks itu berbentuk perintah ataupun larangan Keduanya mengandung implikasi positif dan bernilai kebajikan untuk kehidupan manusia (human welfare). Kemaslahatan yang dimaksud menurut Najm al-Din al-Tufi adalah kemaslahatan yang didasarkan pada tujuan syari’ (Allah) Hal ini dapat dipastikan karena Allah menciptakan sesuatu adalah untuk kemaslahatan. Bahkan Amir Syarifuddin menjelaskan antara kebajikan dalam pandangan manusia paralel dengan kebajikan dalam pandangan Allah, karena setiap hokum syara’ sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan dengan syara’ (Syarifuddin, 1999:323). Konstruksi kemaslahatan dalam Islam bertujuan untuk memelihara lima unsur pokok manusia yang oleh ahli hukum Islam disebut dengan al-dharuriyah alKhamsah. Lima unsur pokok itu adalah; memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara keturunan dan memelihara harta (Abdurrahman, 1998 : 74). Semua yang berorientasi untuk pemeliharaan lima unsur pokok itu merupakan almaslahah, dan begitu juga sebaliknya, semua yang bertentangan dengannya adalah lawan dari al-maslahah yang disebut dengan al-Mafsadah (kerusakan). Kemaslahatan juga menjadi ultimet goal dari ajaran Islam, bahkan al-Thufi menyebutnya sebagai hukum tertinggi(highest legal) dalam Islam. Pada umumnya dalam lintasan sejarah umat Islam, perspektif keIslaman selalu berkembang mengikuti ritme kemaslahatan. Para ulama klasik dan ulama sesudahnya selalu melakukan scientific research (penelitian ilmiah/ijtihad) terhadap peristiwa sosial kemasyarakatan yang membutuhkan jawaban untuk kemaslahatan manusia. Tidak sedikit karya ilmiah hasil dari ijtihad itu, sebut saja dalam bidang teologi, hukum, filsafat dan sebagainya merupakan hasil pemikiran mereka untuk kepentingan praktis kemanusiaan. Berdasarkan perspektif kemaslahatan ini, kajian tentang lingkungan agaknya penting untuk disajikan, sebagai paradigma alternatif dalam merespon tingginya tingkat pengrusakan lingkungan akhir-akhir ini. Perhatian intelektual muslim terhadap kajian seputar lingkungan ini, baik dalam kontek pemeliharaannya, maupun larangan pengrusakannya semakin inten dilakukan. Islam dan Kemaslahatan Lingkungan Di zaman klasik kajian lingkungan tidak menjadi ikon penting untuk dibicarakan, mengingat struktur masyarakat ketika itu belum menghadapi krisis lingkungan seperti sekarang. sehingga kajian-kajian terhadap kelestarian lingkungan hanya dibahas dalam bentuk yang generik dan terpisah-pisah. Atas dasar itulah kemudian para ulama kontemporer merumuskan gagasan tentang pentingnya merekonstruksi kajian-kajian keIslaman melalui teologi lingkungan, fikih lingkungan dan lain-lain. Islam dengan spirit “rahmatan li al-‘alamin (rahmat untuk alam semesta) harus disadari sebagai kekuatan yang mampu mendorong manusia untuk membentuk sikap dan prilaku yang peduli terhadap kemaslahatan lingkungan. Meskipun sebenarnya persoalan pelestarian lingkungan dan larangan pengrusakannya telah tersaji dalam pesan-pesan al-Qur’an. Term lingkungan dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk yang variatif, seperti al-‘alamin (spesies), al-sama’ (ruang waktu), al-ard ( bumi) dan al-bi’ah (lingkungan). Varian-varian yang disebutkan dalam al-Qur’an ini pada prinsipnya mengilustrasikan tentang spirit “rahmatan li al-‘alamin”, dimana lingkungan tidak saja diafiliasikan pada bumi tetapi mencakup semua alam, seperti planet bumi, ruang angkasa dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada pentingnya pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki hubungan dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Kewajiban pemeliharaan atas lingkungan tidak hanya terhadap bumi melainkan juga lingkungan planet lainnya (Abdillah, 2001: 50). Konsep ini dapat ditelusuri melalui Q.S. 2 : 22: … Artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan (lingkungan hidup) bagimu dan langit (atmosphere) sebagai pelindung.. Kalimat dalam ayat ini dapahami bahwa lapisan atmosfir merupakan lapisan pelindung seluruh alam (spesies) baik biotik maupun abiotik yang berada di lapisan bumi. Eksistensi bumi berhubungan erat dengan eksistensi atmosfir. Pengrusakan terhadap ekosistem langit akan berimplikasi langsung terhadap kerusakan spesies yang ada di bumi dan ekosistemnya (Abdillah, 2001). Terkait dengan itu juga dijelaskan dalam QS. 5:21 : “Tidakkah kamu amati bahwa Tuhan mendaur ulang, air turun dari langit kemudian bumi menjadi subur menghijau, memang Tuhan sangat lembut dan jeli” Konsep Keteraturan dan keseimbangan antara pemeliharaan ekosistem bumi dan langit itu diperintahkan untuk kemashlahatan terhadap kelangsungan hidup manusia. Konsep lingkungan versi Islam dalam pengertian luas merupakan upaya merevitalisasi misi asal ekologi, “back to basic ecology”. Pemahaman ekologi dikembalikan pada esensinya dimana ekologi dipersepsi sebagai hubungan timbal balik antara komponen yang ada dalam ekosistem. Dengan kata lain tidak terbatas hanya komponen manusia dan ekosistemnya, melainkan seluruh komponen dalam ekosistem (lingkungan yang holistik-integralistik).Seluruh komponen dalam ekosistem diperhatikan kepentingannya secara proporsional, tidak ada yang dipentingkan dan tidak ada pula yang diterlantarkan(Abdillah, 2001). Gambaran holistik-integralistik Islam tentang lingkungan dapat ditelusuri dari doktrin al-Qur’an berikut: 1. “Dialah, Tuhan, yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan jagad sebagai ruangan bagimu”. (QS.2:22) 2. “…dan air hujan yang menyuburkan bumi sebagai lingkungan tempat persebaran satwa (QS.2:164) 3. … Bumi merupakan lingkungan hidup dan ruang prosesi bagi manusia hingga waktu tertentu 4. “Tuhan Menjadikan gunung sebagai penyangga keseimbangan ekosistem bumi dan manusia” (QS. 16:15) 5. …Kamu perhatikan daur ulang, bumi yang kering disiram air kemudian menjadi subur dan tumbuhlah yang segar dan indah.(QS. 22: 5) 6. “Kami ciptakan sumber daya alam dan lingkungan dengan cara yang benar dan dalam keadaan terbatas, sementara itu, orang-orang kafir cenderung mengabaikan perintahku”.(QS.46:3) 7. Mestinya kamu harus intropeksi, Allah menciptakan sumber daya alam dan lingkungan dengan cara yang benar dan terbatas. Hanya saja kebanyakan manusia tidak percaya akan bertemu dengan Tuhan mereka (QS.30:8) 8. “Sumber daya alam dan lingkungan itu bermanfaat bagimu dalam batasbatas tertentu” (QS.22:32) 9. Tidak pernahkah mereka melanglang buana dan memperhatikan akibat dari tingkah generasi tempo dulu, mereka mengekslpoitasi sumber daya alam dan lingkungan secara berlebihan. Padahal para rasul berdatangan pada mereka dengan seperangkat konsep. Allah tidaklah menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.(Q.S.30:9) 10. Jelas, fenomena kerusakan lingkungan baik di darat maupun di laut merupakan kasus antropogenik, yakni sebagai dampak negatif dari pola dan tingkah laku manusia. Akibat negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan harus dirasakan sendiri oleh manusia agar mausia sadar. (QS.30:41) 11. Negeri Saba’ dulu mempunyai taman baik di sebelah kiri maupun di sebelah kanan dari realested masyarkat. Makanlah rizki dari Tuhanmu dan bertasyakurlah kepada Allah atas berkah negeri subur makmur karena restuNya. (QS.al-saba’: 15) 12. “Tetapi mereka berpaling, maka kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan kedua kebun yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit seperti pohon aksel dan sedikit dari pohon sidr. (QS.al-saba’: 16) Memperhatikan ayat-ayat yang menjadi doktrin teologis terhadap lingkungan ini, maka diakui ataupun tidak, hukum pemeliharaannya adalah wajib dan merusaknya adalah haram. Apabila doktrin ini dikaitkan dengan metode hukum Islam yaitu lima konsep pokok (al-Dharuriyah al-Khamsah) seperti dijelaskan sebelumnya, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, maka pemeliharaan atas kelima maslah pokok ini terkait langsung dengan pemeliharaan terhadap lingkungan terhadap lingkungan. Konsepsi Islam tengtang kewajiban memelihara lingkungan adalah sama dengan dengan kewajiban memelihara lima tujuan pokok agama. Sederhananya dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan pokok agama. Menjaga sholat adalah salah satu bentuk perwujudan dari memelihara agama. Lingkungan yang bersih sebagai infrastruktur untuk menjalankan sholat juga merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau tidaknya sholat seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air untuk berwudhu’ atau tempat untuk melaksanakan sholat kotor dan sebagainya, maka secara otomatis pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan Dalam konteks keberadaan lingkungan sebagai pra syarat pemeliharaan tujuan pokok agama dapat dibaca dari Kaedah fiqih yang menjelaskan “maa la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa al-wajib” (sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya, maka ia juga menjadi wajib) artinya memelihara lingkungan adalah wajib dalam rangka memelihara agama. Kewajiban pemeliharaan terhadap jiwa sebagai tujuan pokok agama juga terkait langsung dengan kewajiban memelihara lingkungan. Tanah longsor, erosi, lumpur lapindo akibat eksploitasi lingkungan dan sebagainya merupakan bentukbentuk pengrusakan terhadap eksistensi jiwa manusia. Maka kewajiban untuk memelihara lingkungan pada dasarnya adalah kewajiban untuk memelihara jiwa manusia. Sehubangan dengan perintah ini, Allah SWT melarang untuk melakukan pembunuhan dan eksploitasi lingkungan. “Siapa yang membunuh seorang manusia dan membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Dan siapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakanakan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya” (QS. 5:32). Berkaitan dengan pemeliharaan jiwa, Islam juga memerintahkan untuk memelihara akal sebagai tujuan pokok agam ketiga. Perhatian agama terhadap kesehatan akal sangat terkait dengan kondisi tubuh yang sehat (al-aqlu al-salim fi jism al-salim/akal yang baik terletak pada tubuh yang sehat). Jawaban praktis adalah lingkungan yang bersih. Kondisi lingkungan yang bersih, baik dan tidak tercemar adalah faktor utama dalam membentuk kesehatan yang baik. Dengan begitu kewajiban atas pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan kewajiban pemerliharaan terhadap akal. Memelihara keturunan sebagai tujuan agma yang keempat adalah syari’at yang diwajibkan kepada manusia. Kewajiban itu sekaligus dengan bentuk kualitas yang terjamin. Sebagaimana firman tuhan dalam surat Annisa ayat 9 yang artinya “dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Generasi yang tidak memiliki iman, tidak memiliki resourchis ekonomi, tidak memiliki lingkungan yang baik dan sebagainya. (Sesunngguhnya jika kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya, itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan memintaminta kepada orang lain (HR. Bukhari dan Muslim). Lingkungan dengan segala sumber daya yang dimilikinya merupakan potensi besar untuk keberlangsungan hidup manusia. Merusak lingkungan dengan mengeksploitasinya tanpa perhitungan, akan merusak kehidupan dan penghidupan generasi selanjutnya. Oleh sebab itu memelihara lingkungan sama wajibnya dengan memelihara keturuanan. Eksploitasi alam merupakan salah satu bentuk pengrusakan terhadap harta sebagai tujuan pokok agama kelima, karena alam adalah karunia Tuhan untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Air, pohon-pohonan, mineral bumi dan segala jenisnya menjadi harta kekayaan yang tak terhingga dan diberikan untuk kebutuhan makhlukNya. Nabi Nuhammad SAW dalam salah satu Sabdanya melarang kaum muslimin mencabut rumput pada waktu melaksanakan ibadah haji. Demikian juga larangannya terhadap tanah yang diterlantarkan: maka orang yang menggarapnya diperbolehkan mengambil jadi hartanya (konversi tanah). Demikian perhatian Islam terhadap kemaslahatan manusia dan alam sekitarnya. Sebagai agama dengan spirit rahmatan li al-‘alamin Islam meletakkan pemeliharaan lingkungan sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok agama. Kemashlahatan lingkungan tidak hanya berimplikasi positif terhadap pemeliharaan kelangsungan hidup manusia tetapi juga untuk lingkungan itu sendiri. Karena bagaimanapun alam memiliki masa dan kapasitas yang terbatas. Meskipun ada asumsi bahwa alam itu akan kembali membangun ekosistemnya kembali menjadi baik, namun harus disadari bahwa alam juga bersifat nonremovable, yang tidak mungkin tergantikan. Di Indonesia eksploitasi Sumber Daya Alam dan dampaknya terhadap tingkat kemiskinan semakin tinggi. Privatisasi SDA yang diasumsikan mampu menjawab krisis ekonomi, ternyata menciptakan tingkat kemiskinan dan kerusakan lingkungan yang tidak seimbang. Data Wahana Lingkungan hidup (WALHI) tahun 2006 misalnya menyebutkan 50% penduduk kabupaten Jaya Wijaya yang merupakan daerah operasi Freeport hidup di bawah garis kemiskinan. 35% diantara mereka hidup di daerah pembuangan (tailling) yang penuh dengan zat berbahaya. Di dalam ajaran Islam Sumber Daya Alam harus dikelola sesuai dengan kemaslahatan manusia. Tidak dibenarkan menimbulkan kerusakan (la dharara wala dhirara). Kekayaan alam yang terkait dengan kebutuhan orang banyak dan menjadi sumber kehidupan tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok orang tertentu (privatisasi). Sumber daya alam seperti tambang merupakan kekayaan yang berkesinambungan, yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan masyarakat. Secara tegas Nabi menjelaskan bahwa; Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang dan api” (HR.Abu Daud). Menurut Taqiyuddin An Nabhani, sesuatu yang merupakan kepentingan umum dan akan menimbulkan sengketa untuk memperolehnya, maka benda itu disebut sebagai fasilitas umum seperti sumber-sumber air, kayu-kayu bakar, padang gembalaan hewan dan sebagainya. Termasuk dalam hal ini bahan tambang yang jumlahnya tidak terbatas dan tidak mungkin dihabiskan, maka bahan tambang itu termasuk milik umum (collective property) (Nabhani, 2002:238-239). Imam at-Tirmizi meriwayatkan hadist dari Abyadh bin Hamal, ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya, lalu Rasul memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah bambang tersebut darinya” Hadist ini menjelaskan bahwa terhadap lahan tambang yang tidak terbatas masanya tidak boleh dimiliki secara pribadi, karena itu merupakan miliki publik. Keseluruahan dari konsep dan doktrin Islam semuanya diserahkan kepada manusia sebagai mandataris Tuhan untuk mengelolanya sebaik mungkin seperti Tuhan mengelola. Kesinambungan alam ini sangat tergantung kepada moralitas manusia. Kepedulian dan sikap keyakinan ini tentunya tidak muncul begitu saja tanpa harus didasari oleh keyakinan bahwa alam dan segenap isinya merupakan amanah yang wajib dipelihara dan dilestarikan. Secara teologis manusia yang melakukan pengrusakan pada bumi berarti melakukan pengingkaran terhadap Tuhan, yang di dalam terminology tauhid disebut “Kafir”. Sementara dalam konteks fiqih, perbuatan pengrusakan itu disebut haram dan konsekwensi melakukan perbuatan haram adalah dosa. Sebaliknya memelihara kelestarian alam adalah mashlahat, sebagai wujud dari iman, dan orang yang melakukannya di sebut mukmin. Perbuatan pemeliharaannya sebagai bentuk kewajiban terhadap syari’at adalah wajib dan rewardnya berupa pahala. Memelihara lingkungan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang universal. Konsep keadilan universal Islam adalah meletakkan kemaslahatan sebagai tujuan utama dari aktifitas kemanusiaan. Peduli terhadap kelestarian lingkungan tidak saja berorientasi pada kemaslahatan lingkungan itu sendiri, akan tetapi lebih dari itu sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup manusia. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengelola alam, tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggungjawab dan berkeadilan. Alam sebagai resorsis ekonomi tidak hanya untuk dieksploitasi dan dijadikan sumber kekayaan pribadi, Melainkan harus dipelihara dan dijadikan sarana untuk berbagi dan memberdayakan kelompok-kelompok miskin dan lemah. Karena konsep keadilan pada prinsipnya merupakan pemberdayaan terhadap kaum miskin dan kaum tertindas untuk memperbaiki nasib mereka dalam sejarah manusia. Keadilan terhadap lingkungan juga merupakan manifestasi untuk keadilan Tuhan. Karena pada dasarnya Tuhan adalah Maha Pemelihara, yang kemudian otoritas pemeliharaan tersebut didelegasikan kepada manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri. Memposisikan aspek lingkungan sebagai bahagian dari ajaran Islam yang utama sebagaimana aspek lainnya, dimungkinkan mampu mempengaruhi dan merubah mainstream umatnya untuk berprilaku baik terhadap eksistensi lingkungan. Kewajiban memeliharanya berbanding lurus dengan pemeliharaan tujuan pokok dari syari’at Islam yang lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta, yang oleh Ali Yafi digabungkan menjadi enam hal pokok dalam agama (al-dharuriyah al-Sittah) Kesimpulan Kajian tentang lingkungan dalam Islam harus dilihat dari berbagai perspektif, karena lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan terhadap pencipta harus dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta. Begitupun tentang hak dan kewajiban selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. Sehingga dalam perumusan hukum pun pertimbangan situasi dan kondisi menjadi faktor utama, apakah sesuatu itu wajib, sunat, haram, makruh atau mubah/boleh Mempertimbangkan situasi dan kondisi alam yang semakin kritis, maka menjaga kelestarian alam secara teologis termasuk dalam bagian dari manifestasi iman, dan sebaliknya pengrusakan terhadap lingkungan berarti pengingkaran terhadap iman. Iman pada dasarnya bertujuan untuk membangun sikap dan prilaku seseorang dalam merespon dinamika alam, kepedulian terhadap lingkungan dan sebagainya. Maka turunan selanjutnya, iman mewajibkan seseorang untuk berlaku baik terhadap alam sekitar dan sekaligus sebagai pencegah terjadinnya pengrusakan. Kepustakaan Abdillah, Mujiyono, 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Jakarta, Paramadina. Syarifuddin, Amir, 1999. Ushul Fiqh. Jakarta, Logos & Wacana Ilmu. An Nabhani, Taqiyuddin, 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, judul asli; An-Nidhlam al-Iqtishadi fil Islam. Surabya:Risalah Gusti. Abdurrahman, 1998. Konsep al-Mashlahah Menrut al-Thufi. Jakarta: Disertasi doktoral pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.