ISLAM DAN LINGKUNGAN Oleh

advertisement
ISLAM DAN LINGKUNGAN
Oleh : Abrar, M. Ag
(Dosen Fakultas Syariah, IAIN Imam Bonjol Padang)
Abstrak
Realitas keberagamaan seringkali dipahami secara parsial dan kaku. Agama
kerap terpinggirkan dalam dinamika perubahan zaman. Kemajuan tekhnologi
seakan menerabas batas-batas etika dan moralitas agama. Bahkan agama dianggap
sebagai anathema terhadap akselerasi ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu.
Ternyata perspektif humanis dalam bangunan peradaban manusia mengalamai
kebuntuan. Pandangan antroposentris, tidak saja terjebak dalam keakuannya,
bahkan seringkali menimbulkan malapetaka terhadap keberlangsungan peradaban
itu sendiri.
Alam sebagai sumber daya ekonomi, digunakan untuk kepentingan manusia
tanpa didasari oleh nilai-nilai dan moral agama. Alam seakan dipahami sebagai
sesuatu yang removable, mampu menetralisir dirinya sendiri, sehingga pengurasan
yang berlebihan terhadap alam untuk kepentingan ekonomi dan teknologi dianggap
sesuatu yang sah dan manusiawi. ٍ◌Pandangan ini sesungguhnya yang menjadi
malapetaka terhadap peristiwa-peristiwa alam yang hingga kini sulit untuk diatasi.
Agaknya penting merekonstruksi pemahaman yang berwawasan
antroposentris terhadap alam dengan pemahaman yang teosentris dengan
meletakkan segala sesuatu sebagai bagian integral dari moralitas agama, sehingga
alam dan ekosistemnya berproses secara seimbang dan tidak menimbulkan
kerusakan terhadap lingkungan. Perspektif ini sebenarnya juga mengacu pada
kepentingan manusia yang dalam Islam disebut al-Maslahah (human welfare), akan
tetapi kepentingan yang didasarkan pada moralitas agama bukan antroposentris.
Kata Kunci: Islam,al-Maslahah dan lingkungan
Pendahuluan
Wacana lingkungan, khususnya di Indonesia menjadi terma penting di samping
demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Gerakan pemikiran tentang lingkungan
ini disadari ketika tingkat kerusakan lingkungan berada pada titik kritis.
Eksploitasi sumber daya alam yang tanpa batas tidak saja berekses pada sumber
daya alam itu sendiri, akan tetapi juga merusak kehidupan manusia, baik secara
individual maupun sosial. Bencana banjir akibat erosi, kabut asap akibat
pembakaran kayu lahan perkebunan, lobang raksasa akibat tambang, lumpur
panas dan termasuk gempa bumi merupakan ekses dari eksploetasi alam.
Gagasan dan regulasi tentang pembangunan ramah lingkungan pada
dasarnya telah memberikan informasi dan sekaligus pengaturan yang sangat jelas.
Misalnya UUD 1945 pasas 33 ayat (3) dan peraturan-peraturan pemerintah
lainnya seperti UU Nomor 32 Tahun 2009). Akan tetapi secara realitas aturanaturan hukum itu tidak berjalan baik dan seringkali diabaikan. Sehingga kerusakan
ekosistem dan lingkungan alam menjadi anathema terhadap keberlangsungan
hidup generasi mendatang.
Antisipasi dan penanggulangan terhadap kerusakan lingkungan banyak
dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan para akademisi, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan masyarakat itu sendiri. Sampai saat ini upaya-upaya yang
dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya memperlihatkan perubahan yang
signifikan bagi pemeliharaan lingkungan. Sebagian akademisi dan kelompok
keagamaan pada khususnya, justru pesimis dengan upaya-upaya itu, karena
bagaimanapun pendekatan penanggulangan kerusakan lingkungan berdasakarkan
aturan-aturan sekuler tidaklah representatif untuk merubah prilaku manusia,
apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan yang bersifat kapital.
Perspektif agama merupakan salah satu solusi alternatif yang rasional dan
positif dalam pemeliharaan lingkungan. Kondisi lingkungan yang semakin parah
dan kritis tidak cukup diatasi dengan paradigma antroposentris ansich tetapi
membutuhkan kesadaran murni dan penghayatan spritual yang dalam bagi setiap
individu dalam bentuk nilai-nilai dan moralitas agama. Dengan mengikuti
paradigma kebudayaan, dimana religi (agama) disebut sebagai cultural core,
diyakini spirit agama memiliki kekuatan yang tinggi dalam mempengaruhi
kerangka berfikir (wordview) dan sekaligus meggerakkan prilaku-prilaku
pemeluknya untuk menjaga dan memelihara lingkungan. Oleh sebab itu penyajian
yang holistik, modern dan ekologis dalam perspektif agama (baca Islam) sangat
dibutuhkan dalam menjawab persoalan realitas lingkungan.
Kajian dalam tulisan ini hendak melihat sebuah konsep alternatif dengan
pendekatan nilai-nilai keagamaan yang berorientasi pada kepentingan kehidupan
manusia yang oleh Kuntowijoyo disebut dengan Humanisme teosentris. Islam
memiliki seperangkat nilai-nilai dan norma-norma tentang pelestarian lingkungan
untuk dijadikan landasan dalam mengkonstruksi pemahaman terhadap kewajiban
memelihara lingkungan dan larangan untuk merusaknya. Fokus tulisan ini
menkankan pada perspektif Islam dalam mengkonstruksi lingkungan sebagai
bahagian yang setara dengan kewajiban-kewajiban lainnya bahkan menjadi dasar
dari kewajiban dan larangan bagi tujuan pokok syari’at islam. Untuk itu, tulisan ini
menguraikan konsepsi islam dalam pemeliharaan lingkungan dengan
menggunakan term al-Maslahah (human welfare) sebagai kerangka acuan
dalam
menterjemahkan
pesan-pesan
ilahiyah
tentang
pelestarian
ekosistem/lingkungan dalam bentuk kewajiban memeliharanya dan larangan atas
pengrusakannya.
Studi Kepustakaan
Persoalan lingkungan yang menjadi tema global dewasa ini seringkali
semakin memperlihatkan tingkat kerusakan yang sangat kritis. Upaya-upaya
rekonstruksi paradigma dalam memahami lingkungan senantiasa ditingkatkan
sebagai bentuk kepedulian terhadap kelestarian ekosistem bagi generasi
mendatang. Kelemahan paradigma sekularistik-anroposentris ternyata belum
memberikan harapan yang menggembirakan terhadap perbaikan ekosistem dan
kerusakan lingkungan yang terjadi. ◌Perspektif
agama kemudian menjadi salah
ِ
satu alternatif yang memungkinkan untuk melakukan perbaikan dan pemeliharaan
terhadap lingkungan, karena agama diyakini sebagai kekuatan internal
kemanusiaan yang mampu menggerakkan pola sikap dan perilaku manusia dalam
beraktifitas.
Mujiyono Abdillah (2001 : 222-223), menegaskan bahwa perspektif tentang
ekologi yang berkembang saat ini cenderung bersifat antroposentris, sekularistik
dan bahkan ateis. Implikasi dari pemikiran antroposentris ini justru menjadi biang
keladi munculnya kerusakan-kerusakan ekosistem. Oleh sebab itu dibutuhkan
paradigm ekologi yang bernuansa rasional dan ekoreligi Islam, yaitu pemahaman
yang holistik integeralistik, yang mensinergikan antara teknologi, ekologi dan
spritul relegius. Menurutnya prilaku ekologi sangat ditentukan oleh bentuk
keyakinan yang dianut oleh masyararakat ekologi itu sendiri. Keyakinan yang
dimaksud adalah keyaninan yang yang holistik dan sempurna sehingga penting
untuk mengkonstruksi konsep ekoteologi Islam.
Teologi lingkungan dalam konsep Islam dikembangkan melalui dasar-dasar
keberimanan yang meliputi tentang: 1) tidak sempurna iman seseorang jika tidak
peduli lingkungan. 2) peduli lingkungan adalah sebagian dari iman, 3) perusak
lingkungan adalah kafir ekologis, 4) Pemboros energi adalah teman syaitan. 5.
Banjir adalah fenomena ekologis bukan fenomena teologis (Abdillah, 2001: 223224).
Dalam perspektif ilmu fikih, Ali Yafi juga merumuskan tentang kewajiban
memelihara lingkungan sebagai bentuk dari teorisasi al-mashlahah (Humanwelfer). Islam adalah agama yang dibangun atas dasar-dasar kemaslahatan. Setiap
doktrin dan nilai-nilai yang diwahyukan berupa teks al-Qur’an selalu berorientasi
pada kemaslahatan manusia. Apakah teks itu berbentuk perintah ataupun
larangan Keduanya mengandung implikasi positif dan bernilai kebajikan untuk
kehidupan manusia (human welfare). Kemaslahatan yang dimaksud menurut Najm
al-Din al-Tufi adalah kemaslahatan yang didasarkan pada tujuan syari’ (Allah) Hal
ini dapat dipastikan karena Allah menciptakan sesuatu adalah untuk
kemaslahatan. Bahkan Amir Syarifuddin menjelaskan antara kebajikan dalam
pandangan manusia paralel dengan kebajikan dalam pandangan Allah, karena
setiap hokum syara’ sejalan dengan akal manusia dan akal manusia selalu sejalan
dengan syara’ (Syarifuddin, 1999:323).
Konstruksi kemaslahatan dalam Islam bertujuan untuk memelihara lima
unsur pokok manusia yang oleh ahli hukum Islam disebut dengan al-dharuriyah alKhamsah. Lima unsur pokok itu adalah; memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara keturunan dan memelihara harta (Abdurrahman, 1998 : 74). Semua
yang berorientasi untuk pemeliharaan lima unsur pokok itu merupakan almaslahah, dan begitu juga sebaliknya, semua yang bertentangan dengannya adalah
lawan dari al-maslahah yang disebut dengan al-Mafsadah (kerusakan).
Kemaslahatan juga menjadi ultimet goal dari ajaran Islam, bahkan al-Thufi
menyebutnya sebagai hukum tertinggi(highest legal) dalam Islam. Pada umumnya
dalam lintasan sejarah umat Islam, perspektif keIslaman selalu berkembang
mengikuti ritme kemaslahatan. Para ulama klasik dan ulama sesudahnya selalu
melakukan scientific research (penelitian ilmiah/ijtihad) terhadap peristiwa sosial
kemasyarakatan yang membutuhkan jawaban untuk kemaslahatan manusia. Tidak
sedikit karya ilmiah hasil dari ijtihad itu, sebut saja dalam bidang teologi, hukum,
filsafat dan sebagainya merupakan hasil pemikiran mereka untuk kepentingan
praktis kemanusiaan. Berdasarkan perspektif kemaslahatan ini, kajian tentang
lingkungan agaknya penting untuk disajikan, sebagai paradigma alternatif dalam
merespon tingginya tingkat pengrusakan lingkungan akhir-akhir ini. Perhatian
intelektual muslim terhadap kajian seputar lingkungan ini, baik dalam kontek
pemeliharaannya, maupun larangan pengrusakannya semakin inten dilakukan.
Islam dan Kemaslahatan Lingkungan
Di zaman klasik kajian lingkungan tidak menjadi ikon penting untuk
dibicarakan, mengingat struktur masyarakat ketika itu belum menghadapi krisis
lingkungan seperti sekarang. sehingga kajian-kajian terhadap kelestarian
lingkungan hanya dibahas dalam bentuk yang generik dan terpisah-pisah. Atas
dasar itulah kemudian para ulama kontemporer merumuskan gagasan tentang
pentingnya merekonstruksi kajian-kajian keIslaman melalui teologi lingkungan,
fikih lingkungan dan lain-lain.
Islam dengan spirit “rahmatan li al-‘alamin (rahmat untuk alam semesta)
harus disadari sebagai kekuatan yang mampu mendorong manusia untuk
membentuk sikap dan prilaku yang peduli terhadap kemaslahatan lingkungan.
Meskipun sebenarnya persoalan pelestarian lingkungan dan larangan
pengrusakannya telah tersaji dalam pesan-pesan al-Qur’an.
Term lingkungan dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk yang variatif,
seperti al-‘alamin (spesies), al-sama’ (ruang waktu), al-ard ( bumi) dan al-bi’ah
(lingkungan). Varian-varian yang disebutkan dalam al-Qur’an ini pada prinsipnya
mengilustrasikan tentang spirit “rahmatan li al-‘alamin”, dimana lingkungan tidak
saja diafiliasikan pada bumi tetapi mencakup semua alam, seperti planet bumi,
ruang angkasa dan angkasa luar. Konsep ini tentunya mengacu pada pentingnya
pemeliharaan keseimbangan ekosistem di bumi dan sekaligus juga memiliki
hubungan dengan ekosistem yang ada di luar bumi. Kewajiban pemeliharaan atas
lingkungan tidak hanya terhadap bumi melainkan juga lingkungan planet lainnya
(Abdillah, 2001: 50). Konsep ini dapat ditelusuri melalui Q.S. 2 : 22:
    
…  
Artinya: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan (lingkungan hidup)
bagimu dan langit (atmosphere) sebagai pelindung..
Kalimat   dalam ayat ini
dapahami bahwa lapisan atmosfir merupakan lapisan pelindung seluruh alam
(spesies) baik biotik maupun abiotik yang berada di lapisan bumi. Eksistensi bumi
berhubungan erat dengan eksistensi atmosfir. Pengrusakan terhadap ekosistem
langit akan berimplikasi langsung terhadap kerusakan spesies yang ada di bumi
dan ekosistemnya (Abdillah, 2001). Terkait dengan itu juga dijelaskan dalam QS.
5:21 : “Tidakkah kamu amati bahwa Tuhan mendaur ulang, air turun dari langit
kemudian bumi menjadi subur menghijau, memang Tuhan sangat lembut dan jeli”
Konsep Keteraturan dan keseimbangan antara pemeliharaan ekosistem bumi dan
langit itu diperintahkan untuk kemashlahatan terhadap kelangsungan hidup
manusia.
Konsep lingkungan versi Islam dalam pengertian luas merupakan upaya
merevitalisasi misi asal ekologi, “back to basic ecology”. Pemahaman ekologi
dikembalikan pada esensinya dimana ekologi dipersepsi sebagai hubungan timbal
balik antara komponen yang ada dalam ekosistem. Dengan kata lain tidak terbatas
hanya komponen manusia dan ekosistemnya, melainkan seluruh komponen dalam
ekosistem (lingkungan yang holistik-integralistik).Seluruh komponen dalam
ekosistem diperhatikan kepentingannya secara proporsional, tidak ada yang
dipentingkan dan tidak ada pula yang diterlantarkan(Abdillah, 2001).
Gambaran holistik-integralistik Islam tentang lingkungan dapat ditelusuri
dari doktrin al-Qur’an berikut:
1. “Dialah, Tuhan, yang menjadikan bumi sebagai hamparan dan jagad
sebagai ruangan bagimu”. (QS.2:22)
2. “…dan air hujan yang menyuburkan bumi sebagai lingkungan tempat
persebaran satwa (QS.2:164)
3. … Bumi merupakan lingkungan hidup dan ruang prosesi bagi manusia
hingga waktu tertentu
4. “Tuhan Menjadikan gunung sebagai penyangga keseimbangan ekosistem
bumi dan manusia” (QS. 16:15)
5. …Kamu perhatikan daur ulang, bumi yang kering disiram air kemudian
menjadi subur dan tumbuhlah yang segar dan indah.(QS. 22: 5)
6. “Kami ciptakan sumber daya alam dan lingkungan dengan cara yang benar
dan dalam keadaan terbatas, sementara itu, orang-orang kafir cenderung
mengabaikan perintahku”.(QS.46:3)
7. Mestinya kamu harus intropeksi, Allah menciptakan sumber daya alam dan
lingkungan dengan cara yang benar dan terbatas. Hanya saja kebanyakan
manusia tidak percaya akan bertemu dengan Tuhan mereka (QS.30:8)
8. “Sumber daya alam dan lingkungan itu bermanfaat bagimu dalam batasbatas tertentu” (QS.22:32)
9. Tidak pernahkah mereka melanglang buana dan memperhatikan akibat
dari tingkah generasi tempo dulu, mereka mengekslpoitasi sumber daya
alam dan lingkungan secara berlebihan. Padahal para rasul berdatangan
pada mereka dengan seperangkat konsep. Allah tidaklah menganiaya
mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.(Q.S.30:9)
10. Jelas, fenomena kerusakan lingkungan baik di darat maupun di laut
merupakan kasus antropogenik, yakni sebagai dampak negatif dari pola
dan tingkah laku manusia. Akibat negatif pencemaran dan kerusakan
lingkungan harus dirasakan sendiri oleh manusia agar mausia sadar.
(QS.30:41)
11. Negeri Saba’ dulu mempunyai taman baik di sebelah kiri maupun di sebelah
kanan dari realested masyarkat. Makanlah rizki dari Tuhanmu dan
bertasyakurlah kepada Allah atas berkah negeri subur makmur karena
restuNya. (QS.al-saba’: 15)
12. “Tetapi mereka berpaling, maka kami datangkan kepada mereka banjir
yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan kedua kebun yang
ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit seperti pohon aksel dan sedikit
dari pohon sidr. (QS.al-saba’: 16)
Memperhatikan ayat-ayat yang menjadi doktrin teologis terhadap
lingkungan ini, maka diakui ataupun tidak, hukum pemeliharaannya adalah wajib
dan merusaknya adalah haram. Apabila doktrin ini dikaitkan dengan metode
hukum Islam yaitu lima konsep pokok (al-Dharuriyah al-Khamsah) seperti
dijelaskan sebelumnya, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,
maka pemeliharaan atas kelima maslah pokok ini terkait langsung dengan
pemeliharaan terhadap lingkungan terhadap lingkungan.
Konsepsi Islam tengtang kewajiban memelihara lingkungan adalah sama
dengan dengan kewajiban memelihara lima tujuan pokok agama. Sederhananya
dapat dikatakan bahwa lingkungan adalah prasyarat untuk mewujudkan tujuan
pokok agama. Menjaga sholat adalah salah satu bentuk perwujudan dari
memelihara agama. Lingkungan yang bersih sebagai infrastruktur untuk
menjalankan sholat juga merupakan salah satu faktor yang menentukan sah atau
tidaknya sholat seseorang. Apabila lingkungan tercemari, baik berupa air untuk
berwudhu’ atau tempat untuk melaksanakan sholat kotor dan sebagainya, maka
secara otomatis pemeliharaan terhadap agama pun sudah terabaikan Dalam
konteks keberadaan lingkungan sebagai pra syarat pemeliharaan tujuan pokok
agama dapat dibaca dari Kaedah fiqih yang menjelaskan “maa la yatimmu al-wajib
illa bihi fahuwa al-wajib” (sesuatu yang wajib tidak sempurna kecuali dengannya,
maka ia juga menjadi wajib) artinya memelihara lingkungan adalah wajib dalam
rangka memelihara agama.
Kewajiban pemeliharaan terhadap jiwa sebagai tujuan pokok agama juga
terkait langsung dengan kewajiban memelihara lingkungan. Tanah longsor, erosi,
lumpur lapindo akibat eksploitasi lingkungan dan sebagainya merupakan bentukbentuk pengrusakan terhadap eksistensi jiwa manusia. Maka kewajiban untuk
memelihara lingkungan pada dasarnya adalah kewajiban untuk memelihara jiwa
manusia. Sehubangan dengan perintah ini, Allah SWT melarang untuk melakukan
pembunuhan dan eksploitasi lingkungan. “Siapa yang membunuh seorang manusia
dan membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh
manusia seluruhnya Dan siapa yang memelihara kehidupan manusia, maka seakanakan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya” (QS. 5:32).
Berkaitan dengan pemeliharaan jiwa, Islam juga memerintahkan untuk
memelihara akal sebagai tujuan pokok agam ketiga. Perhatian agama terhadap
kesehatan akal sangat terkait dengan kondisi tubuh yang sehat (al-aqlu al-salim fi
jism al-salim/akal yang baik terletak pada tubuh yang sehat). Jawaban praktis
adalah lingkungan yang bersih. Kondisi lingkungan yang bersih, baik dan tidak
tercemar adalah faktor utama dalam membentuk kesehatan yang baik. Dengan
begitu kewajiban atas pemeliharaan lingkungan sama halnya dengan kewajiban
pemerliharaan terhadap akal.
Memelihara keturunan sebagai tujuan agma yang keempat adalah syari’at
yang diwajibkan kepada manusia. Kewajiban itu sekaligus dengan bentuk kualitas
yang terjamin. Sebagaimana firman tuhan dalam surat Annisa ayat 9 yang artinya
“dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Generasi yang tidak memiliki iman, tidak memiliki
resourchis ekonomi, tidak memiliki lingkungan yang baik dan sebagainya.
(Sesunngguhnya jika kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan kaya, itu
lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan memintaminta kepada orang lain (HR. Bukhari dan Muslim). Lingkungan dengan segala
sumber daya yang dimilikinya merupakan potensi besar untuk keberlangsungan
hidup manusia. Merusak lingkungan dengan mengeksploitasinya tanpa
perhitungan, akan merusak kehidupan dan penghidupan generasi selanjutnya.
Oleh sebab itu memelihara lingkungan sama wajibnya dengan memelihara
keturuanan.
Eksploitasi alam merupakan salah satu bentuk pengrusakan terhadap harta
sebagai tujuan pokok agama kelima, karena alam adalah karunia Tuhan untuk
kebutuhan dan kelangsungan hidup manusia. Air, pohon-pohonan, mineral bumi
dan segala jenisnya menjadi harta kekayaan yang tak terhingga dan diberikan
untuk kebutuhan makhlukNya. Nabi Nuhammad SAW dalam salah satu Sabdanya
melarang kaum muslimin mencabut rumput pada waktu melaksanakan ibadah
haji. Demikian juga larangannya terhadap tanah yang diterlantarkan: maka orang
yang menggarapnya diperbolehkan mengambil jadi hartanya (konversi tanah).
Demikian perhatian Islam terhadap kemaslahatan manusia dan alam sekitarnya.
Sebagai agama dengan spirit rahmatan li al-‘alamin Islam meletakkan
pemeliharaan lingkungan sebagai basis terhadap pemeliharaan tujuan pokok
agama. Kemashlahatan lingkungan tidak hanya berimplikasi positif terhadap
pemeliharaan kelangsungan hidup manusia tetapi juga untuk lingkungan itu
sendiri. Karena bagaimanapun alam memiliki masa dan kapasitas yang terbatas.
Meskipun ada asumsi bahwa alam itu akan kembali membangun ekosistemnya
kembali menjadi baik, namun harus disadari bahwa alam juga bersifat
nonremovable, yang tidak mungkin tergantikan.
Di Indonesia eksploitasi Sumber Daya Alam dan dampaknya terhadap
tingkat kemiskinan semakin tinggi. Privatisasi SDA yang diasumsikan mampu
menjawab krisis ekonomi, ternyata menciptakan tingkat kemiskinan dan
kerusakan lingkungan yang tidak seimbang. Data Wahana Lingkungan hidup
(WALHI) tahun 2006 misalnya menyebutkan 50% penduduk kabupaten Jaya
Wijaya yang merupakan daerah operasi Freeport hidup di bawah garis
kemiskinan. 35% diantara mereka hidup di daerah pembuangan (tailling) yang
penuh dengan zat berbahaya.
Di dalam ajaran Islam Sumber Daya Alam harus dikelola sesuai dengan
kemaslahatan manusia. Tidak dibenarkan menimbulkan kerusakan (la dharara
wala dhirara). Kekayaan alam yang terkait dengan kebutuhan orang banyak dan
menjadi sumber kehidupan tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok orang
tertentu (privatisasi). Sumber daya alam seperti tambang merupakan kekayaan
yang berkesinambungan, yang seharusnya diberikan untuk kesejahteraan
masyarakat. Secara tegas Nabi menjelaskan bahwa; Kaum Muslimin berserikat
dalam tiga hal, yaitu air, padang dan api” (HR.Abu Daud).
Menurut Taqiyuddin An Nabhani, sesuatu yang merupakan kepentingan
umum dan akan menimbulkan sengketa untuk memperolehnya, maka benda itu
disebut sebagai fasilitas umum seperti sumber-sumber air, kayu-kayu bakar,
padang gembalaan hewan dan sebagainya. Termasuk dalam hal ini bahan tambang
yang jumlahnya tidak terbatas dan tidak mungkin dihabiskan, maka bahan
tambang itu termasuk milik umum (collective property) (Nabhani, 2002:238-239).
Imam at-Tirmizi meriwayatkan hadist dari Abyadh bin Hamal, ia telah
meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya, lalu Rasul
memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majlis tersebut
bertanya: “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan
kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air
mengalir” Rasulullah kemudian bersabda: “Tariklah bambang tersebut darinya”
Hadist ini menjelaskan bahwa terhadap lahan tambang yang tidak terbatas
masanya tidak boleh dimiliki secara pribadi, karena itu merupakan miliki publik.
Keseluruahan dari konsep dan doktrin Islam semuanya diserahkan kepada
manusia sebagai mandataris Tuhan untuk mengelolanya sebaik mungkin seperti
Tuhan mengelola. Kesinambungan alam ini sangat tergantung kepada moralitas
manusia. Kepedulian dan sikap keyakinan ini tentunya tidak muncul begitu saja
tanpa harus didasari oleh keyakinan bahwa alam dan segenap isinya merupakan
amanah yang wajib dipelihara dan dilestarikan. Secara teologis manusia yang
melakukan pengrusakan pada bumi berarti melakukan pengingkaran terhadap
Tuhan, yang di dalam terminology tauhid disebut “Kafir”. Sementara dalam
konteks fiqih, perbuatan pengrusakan itu disebut haram dan konsekwensi
melakukan perbuatan haram adalah dosa. Sebaliknya memelihara kelestarian alam
adalah mashlahat, sebagai wujud dari iman, dan orang yang melakukannya di
sebut mukmin. Perbuatan pemeliharaannya sebagai bentuk kewajiban terhadap
syari’at adalah wajib dan rewardnya berupa pahala.
Memelihara lingkungan pada dasarnya bertujuan untuk mewujudkan
keadilan yang universal. Konsep keadilan universal Islam adalah meletakkan
kemaslahatan sebagai tujuan utama dari aktifitas kemanusiaan. Peduli terhadap
kelestarian lingkungan tidak saja berorientasi pada kemaslahatan lingkungan itu
sendiri, akan tetapi lebih dari itu sebagai jaminan terhadap kelangsungan hidup
manusia. Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengelola alam,
tetapi kebebasan itu adalah kebebasan yang bertanggungjawab dan berkeadilan.
Alam sebagai resorsis ekonomi tidak hanya untuk dieksploitasi dan dijadikan
sumber kekayaan pribadi, Melainkan harus dipelihara dan dijadikan sarana untuk
berbagi dan memberdayakan kelompok-kelompok miskin dan lemah. Karena
konsep keadilan pada prinsipnya merupakan pemberdayaan terhadap kaum
miskin dan kaum tertindas untuk memperbaiki nasib mereka dalam sejarah
manusia. Keadilan terhadap lingkungan juga merupakan manifestasi untuk
keadilan Tuhan. Karena pada dasarnya Tuhan adalah Maha Pemelihara, yang
kemudian otoritas pemeliharaan tersebut didelegasikan kepada manusia untuk
kepentingan manusia itu sendiri.
Memposisikan aspek lingkungan sebagai bahagian dari ajaran Islam yang
utama sebagaimana aspek lainnya, dimungkinkan mampu mempengaruhi dan
merubah mainstream umatnya untuk berprilaku baik terhadap eksistensi
lingkungan. Kewajiban memeliharanya berbanding lurus dengan pemeliharaan
tujuan pokok dari syari’at Islam yang lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta, yang oleh Ali Yafi digabungkan menjadi enam hal pokok
dalam agama (al-dharuriyah al-Sittah)
Kesimpulan
Kajian tentang lingkungan dalam Islam harus dilihat dari berbagai
perspektif, karena lingkungan menjadi kata kunci dalam membangun tatanan
masyarakat yang religius. Betapa tidak, keyakinan terhadap pencipta harus
dimulai dari pengenalan terhadap alam semesta. Begitupun tentang hak dan
kewajiban selalu terkait dengan lingkungan alam sekitar. Sehingga dalam
perumusan hukum pun pertimbangan situasi dan kondisi menjadi faktor utama,
apakah sesuatu itu wajib, sunat, haram, makruh atau mubah/boleh
Mempertimbangkan situasi dan kondisi alam yang semakin kritis, maka
menjaga kelestarian alam secara teologis termasuk dalam bagian dari manifestasi
iman, dan sebaliknya pengrusakan terhadap lingkungan berarti pengingkaran
terhadap iman. Iman pada dasarnya bertujuan untuk membangun sikap dan
prilaku seseorang dalam merespon dinamika alam, kepedulian terhadap
lingkungan dan sebagainya. Maka turunan selanjutnya, iman mewajibkan
seseorang untuk berlaku baik terhadap alam sekitar dan sekaligus sebagai
pencegah terjadinnya pengrusakan.
Kepustakaan
Abdillah, Mujiyono, 2001. Agama Ramah Lingkungan Perspektif Al-Qur’an. Jakarta,
Paramadina.
Syarifuddin, Amir, 1999. Ushul Fiqh. Jakarta, Logos & Wacana Ilmu.
An Nabhani, Taqiyuddin, 2002. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif
Islam, judul asli; An-Nidhlam al-Iqtishadi fil Islam. Surabya:Risalah Gusti.
Abdurrahman, 1998. Konsep al-Mashlahah Menrut al-Thufi. Jakarta: Disertasi
doktoral pada Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah.
Download