BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam sebagai agama yang tidak hanya mengajarkan masalahmasalah eksternal dalam bimbingan manusia untuk mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang bersifat internal dalam sisi-sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah diinterplementasikan oleh pemeluknya dengan berbgai wacana dan pergulatan pemikiran yang sangat beragam. Islam adalah agama yang sangat kental mengajarkan nilai-nilai keadilan dan keseimbangan hidup, karena pada dasarnya Allah menciptakan manusia ini tidak lepas dari unsur jasmani dan rohani. Memang banyak hadist dan ayat al-quran yang juga menjelaskan fadhilah dan keutamaan akhirat dari pada dunia, namun bahwa akhirat itu tidak lepas dari dua unsur tersebut, sehingga tidak tepat kalau kita mengatakan, bahwa akhirat ini identic dengan hati, rohani dan hal-hal yang berhubungan dengan dimensi spiritual. Dalam dunia tasawuf permasalahan seputar perjalanan rohani memiliki variasi walaupun tujuannya sama yaitu, menghambakan dirinya untuk Allah swt. Kesempatan ini akan dipaparkan tokoh spiritual yang sangat terkenal dalam dunia tasawuf, adalah Husein bin Mansur al-Hallaj serta konsep Hululnya.1 B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Hulul? 2. Siapa tokoh yang mengembangkan paham Hulul? 3. Apa ajaran-ajaran dari paham Hulul? 1 http://arveniumofverrender.blogspot.co.id/2014/06/makalah-hulul.html?m=1, diakses pada tanggal 03 05 2017 pukul 15:12. Akhlak Tasawuf Page 1 BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Hulul Secara istilah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat al-luma’ sebagai dikutip Harun Nasution, hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thawasin. Sebelum Tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada zat-Nya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentuk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Ia memuliakan dan mengagumkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian, pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.2 Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari ayat yang berbunyi, “dan ingatlah ketika Kami berkata kepada malaikat: “sujudlah kepada Adam”semuanya 2 Abuddin nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 207-208. Akhlak Tasawuf Page 2 sujud kecuali iblis, yang enggan dan merasa besar. Ia menjadi yang tidak percaya. (QS Al-Baqoroh [2]: 34). Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadis yang berbunyi: “Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.” Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-fana sebagaimana telah disebutkan di atas. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap di mana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad sebagaimana telah disebutkan di atas. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Untuk itu Hamka mengatakan, bahwa al-hulul adalah ketuhanan (lahut) menjelma ke dalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan. 3 2. Tokoh yang mengembangkan paham al-hulul Tokoh yang mengembangkan paham al-hulul adalah al-hallaj. Nama lengkapnya adalah Husaein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir tahun 244 H. (858 M.) di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terkenal di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah belajar pada seorang sufi yang terbesar dan terkenal,bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur dia menunaikan ibadah haji negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada 3 Abuddin nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 208-209. Akhlak Tasawuf Page 3 seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264 H. Ia masuk kota baghdad dan belajara pada al-Junaid yang juga seorang sufi. Selain itu ia juga pernah menunaikan ibadah haji di mekkah selama tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam. Dalam paham al-hulul yang dikemukakan al-Hallaj ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah sebagaimana yng disebutkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini terlihat dari adanya katakata cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution, membedakan kesatuan rohanian yang dialami alHallaj melalui al-Hulul,dengan kesatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam al-ittihad. Dalam ittihad dari Abu Yazid hancur dan yang ada hanya dari Tuhan. Dalam paham al-Hallaj, dirinya tak hancur sebagai mana yang diungkapkan dari syairnya. Perbedaan antara ittihad al-Bustami dengan hulul al-Hallaj adalah, bahwa dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul yang dilihat ada dua wujud, tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan al-Hallaj berikut ini; “ Aku adalah rahasi Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”. Dengan ungkap al-Hallaj yang demikian itu, kita dapat menilai, bahwa pada saat al-Hallaj mengatakan ana al-haqq sebenarnya bukanlah roh al-Hallaj yang mengucapkan demikian, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat (hulul) dalam diri al-Hallaj. Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang ganjil sebagaimana telah dikemukakan menyebabkan seorang ulama Akhlak Tasawuf Page 4 fikih bernama ibn Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas paham tasawuf al-Hallaj.4 3. Ajaran Hulul Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat ketuhanan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat ilahiyat atau lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat ilahiyatnya melalui fana, maka tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul. Al-Hallaj memperhatikan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak bersatu dengan manusia, kecuali dengan menempati tubuh setelah kemanusiannya hilang. Persatuan tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiannya. Setelah kemanusiannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan, saat itulah tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur dan sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Manusia diciptakan tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra tuhan kedalam citranya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan tuhan secara riel.5 4 Abuddin nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 209-213. 5 http://enengsusanti.blogspot.co.id/2014/ittihad-hulul-makalah-akhlaqtasawuf.html?m=1, diakses pada tanggal 06 05 2017 pukul 12:47. Akhlak Tasawuf Page 5 BAB III PENUTUPAN A. Kesimpulan Secara harfiah hulul berarti tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiannya melalui fana. Paham bahwa allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama at-thawasin. Akhlak Tasawuf Page 6 DAFTAR PUSTAKA Nata, Abuddin Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014). http://enengsusanti.blogspot.co.id/2014/ittihad-hulul-makalah-akhlaqtasawuf.html?m=1, http://arveniumofverrender.blogspot.co.id/2014/06/makalah-hulul.html?m=1, Akhlak Tasawuf Page 7