AJARAN DASAR ILMU NAFAS “Dirangkum dari status-status tentang Nafas” Adapun Nafas yang keluar masuk, dinamakan Muhammad = Nabi kepada kita. Kemudian yang dinamakan Muhammad itu adalah Pujian, Ilmu Nafas itu dinamakan : 1. Bila diluar = Ilmu Gaibul Guyub. 2. Bila didalam = Ilmu Sirrul Asrar. Dari Nafas itulah munculnya ibadah Muhammad. Dari Jasad itulah munculnya ibadah Adam. Sebagaimana yang ada di dalam Rukun Islam bahwa ibadah Muhammad itu adalah Sholahud Da’im = Sholat yang terus-menerus tanpa henti. . Wahdah Fil Kasrah = Pandang satu kepada yang banyak, . Nafas itu yang keluar masuk dari mulut. Nufus itu yang keluar masuk dari hidung. Tanafas itu yang keluar masuk dari telinga. Amfas itu yang keluar masuk dari mata . Maka Nafas itulah yang menuju kepada “ARASHTUL MAJID” karena itu hendaklah kita ketahui Ilmu Nafas, yaitu Ilmu Gaibul Guyub, karena termasuk dari ibadah Muhammad. Ilmu Nafas harus disertai dengan ibadah praktek, akan sulit jadinya bila hanya dengan teori. Pahami dulu hal ini : 1. Nafas yang keluar dari lubang hidung kiri itu dinamakan Jibrill, maka ucapannya “ALLAH”. 2. Nafas yang masuk melalui lubang hidung kanan itu dinamakan Izraill, maka ucapannya “HU”. Zikirullah yang 2 diatas dinamakan NUR. Maka jadilah 2 Nur = “ALLAH” + “HU” , 2 Nur ini bertemu di atas bibir, tidak masuk ke dalam tubuh, amalan ini sampailah ke derajatnya yang dinamakan “Nurul Hadi”, maka ke arah itulah yang dicapai. setelah itu Nafas naik di dalam badan dan dinamakan AHMAD, 1. Nafas yang turun dari ubun-ubun sampai kepada Jantung Nurani itu dinamakan Izraill, ucapanya “ALLAH”. 2. Nafas yang dari jantung naik sampai ke ubun-ubun itu dinamakan Jibrill, maka ucapannya “HU”. Maka amalan inilah yang dinamakan : “Syuhudul Wahdah Fil Kasrah, Syuhudul Kasrah Fil Wahdah” = Amalan Sholeh = Pintu Makrifat Kedua perkara diatas itu hendaklah diamalkan walau tanpa wudhu dan jangan dikencangkan suaranya hanya kita yang dengar semata-mata “Khafi” (lafadz di dalam hati). Sesungguhnya yang dinamakan HATI (Qalbu) itu adalah Nur yang memancar dari bagian bawah jantung (bagian Muhammad) ke arah bagian atas jantung (bagian Allah). Adapun zikir NAFAS itu adalah ketika keluar ALLAH dinamakan ABU BAKAR, zikirnya ketika masuk adalah HU dinamakan UMAR, letaknya NAFAS adalah di mulut. Adapun zikir ANFAS itu adalah ketika keluar adalah ALLAH dan ketika masuk adalah HU, letaknya ANFAS pada hidung, dinamakan MIKAIL dan JIBRIL. Adapun zikir TANAFAS itu adalah tetap diam dengan “ALLAH HU” letaknya di tengah-tengah antara dua telinga, dinamakan HAKEKAT ISRAFIL. Adapun zikir NUFUS adalah ketika naik HU dan ketika turun adalah “ALLAH” letaknya di dalam jantung, Diri Nufus ini dikenal dengan USMAN dan perkerjaanya dikenal sebagai ALI. Sabda Nabi saw : “Barangsiapa keluar masuk nafas dengan tiada zikir, maka sia-sialah ia” . Awalnya Nafas itu atas dua langkah, satu Naik dan kedua Turun. Ketika naiknya itu sampai kepada 7 tingkat langit maka berkata : “Wan Nuzuulu Yajrii Ilal Ardhi Fa Qoola HUWALLOH”. Ketika turun kepada 7 lapis bumi maka nafas Nabi itu bunyinya ALLAH. Ketika masuk pujinya HUWA. Ketika terhenti seketika antara keluar masuk namanya Tanafas, pujinya AH.. AH. Ketika tidur “mati” namanya Nufus “Haqqul Da’im” . Ingatlah olehmu dalam memelihara Nafas-mu itu, dengan menghadirkan makna-makna diatas ini senantiasa, di dalam berdiri dan duduk dan diatas segala aktivitas yang diperbuat hingga memberi “tanda” kepada sekalian badan dan segala cahaya Nurul Alam atas segalanya. . Tetaplah “tilik” hatimu, jadilah engkau hidup di dalam Dua Negeri yakni Dunia dan Akhirat, semoga dianugrahkan Allah bagimu pintu selamat sejahterah Dunia dan Akhirat. . Semoga pula dianugerahi Allah Ta’ala bagimu sampai kepada martabat segala Nabi dan diharamkan Allah Ta’ala tubuhmu dimakan api neraka dan badanmu pun tiada dimakan tanah di dalam kubur. . Tetaplah dengan hatimu wahai saudaraku.., janganlah engkau menjadi orang yang lupa dan lalai, Semoga dibahagiakan Allah Ta’ala atas mu dengan “berhadapan senantiasa”, sampai ajal menjemputmu. . Bahwa : Nafas kita keluar masuk sehari semalam yaitu pada siang 12.000X dan pada malam 12.000X karena inilah jumlah jam sehari semalam 24jam, pada siang 12jam dan malam 12jam, demikianlah seperti huruf “Laa Ilaaha Illallah Muhammadur Rasulullah”, masing-masing mempunyai 12 huruf berjumlah 24 huruf semuanya. . Barang siapa ‘mengucap’ dengan sempurna yang 7 kalimah itu, niscaya ditutupkan Allah Ta’ala Pintu Neraka yang 7. Barang siapa ‘mengucap’ yang 24huruf ini dengan sempurna, niscaya diampuni Allah Ta’ala yang 24jam. Inilah persembahan kita kepada Tuhan kita, yang tiada putus-putusnya, yang dinamai Sholahud Da’im = Puasa melakukan nafsu dzahir dan batin. . Sabda Nabi saw : “Ana Min Nuurillah Wal ‘Aalami Nuurii” Artinya : “Aku dari Cahaya Allah dan sekalian alam dari Cahayaku” . Sebab itulah dikatakan “Ahmadun Nuurul Arwah” artinya “Muhammad itu bapak sekalian nyawa” dan dikatakan “Adam Abu Basyar” artinya “Adam bapak sekalian tubuh”. . Adapun yang dikatakan Fardhu itu Nyawa, karena Nyawa badan kita dapat bergerak . Awal Muhammad Nurani Akhir Muhammad Rohani. Dzahir Muhammad Insani Batin Muhammad Robbani. . Awal Muhammad Nyawa kepada kita Akhir Muhammad Rupa kepada kita, . Yang bernama Allah Sifatnya, sedangkan sebenar-benarnya Allah itu “Dzat Wajibal Wujud” Yang sebenar-benar Insan adalah manusia yang dapat berkata-kata adanya. . Kita telah mendengar bahwa barang siapa yang tidak mengenal Ilmu zikir nafas maka sudah tentu orang tersebut tidak dapat menyelami alam hakekat Sholahud Da’im. . Perhatikan kembali bab-bab yang lalu, telah banyak diterangkan dengan jelas tentang sholat, dimana pengertian sholat tersebut adalah berdiri menyaksikan diri sendiri yaitu penyaksian kita terhadap diri dzahir dan diri batin kita yang menjadi rahasia Allah Taala. Pada kesempatan kali ini kita akan melanjutkan pembicaraan takrif dan cara-cara untuk mencapai martabat atau maqam sholat da’im.. . Sholat Daim boleh ditakrifkan sebagai sholat yang berkekalan tanpa putus walaupun sesaat selama hidupnya, yaitu penyaksian diri sendiri (diri batin dan diri dzahir). . YANG MEREKA ITU TETAP MENGERJAKAN SHOLAT (AlMakrij:23). Di dalam sholat tugas kita adalah menumpukan sepenuh perhatian dengan mata batin kita menilik diri batin kita dan telinga batin menumpukan sepenuh perhatian kepada setiap bacaan oleh angota dzahir dan batin kita disepanjang “acara” sholat tanpa menolehkan perhatian kearah lain. Sholat adalah merupakan latihan diperingkat awal untuk melatih diri kita supaya menyaksikan diri batin kita yang menjadi rahasia Allah Taala … tetapi setelah berhasil membuat penyaksian diri diwaktu kita menunaikan sholat, maka haruslah pula melatih diri kita supaya dapat menyaksikan diri batin kita pada setiap saat dalam waktu 24 jam, sebab itulah kita mengucapkan syahadah: . “Asyhaduanlla Ilaaha Illallah Wa Asyahadu Anna Muhammadar Rasulullah” Maka berarti kita berikrar dengan diri kita sendiri untuk menyaksikan diri rahasia Allah itu pada setiap saat di dalam 24jam sehari semalam. Oleh karena itu untuk mempraktekkan penyaksian tersebut, maka kita haruslah mengamalkan Sholatul Da’im dalam kehidupan kita sehari-hari sebagaiimana yang pernah dikerjakan dan diamalkan oleh Rasulullah saw, . Nabi-nabi dan Wali-wali Allah yang Agung. Syarat mendapatkan Maqam Sholahudda’im : . 1. Hendaklah memahami betul dan berpegang teguh dengan hakekat ZIKIR NAFAS 2. Haruslah terlebih dahulu mampu mendapatkan pancaran NUR QALBU. lihat disini : http://ilmuhakekat.wordpress.com/2011/11/15/pergerakannur-kalbu/ 3. Telah mengalami proses pemecahan wajah KHAWAS FI AL KHAWAS. Lihat di sini : http://ilmuhakekat.wordpress.com/2012/06/21/prosespemecahan-wajah-khawasul-qhawas/ 4. Memahami dan berpegang dengan penyaksian sebenarnya SYUHUD AL-HAQ. Lihat di sini https://hukumalam.wordpress.com/2012/08/27/sholathakiki-ku/ Untuk mengamalkan dan mendapatkan maqam sholat da’im maka sesorang itu haruslah memahami pada peringkat awalnya tentang hakekat perlakuan zikir nafas yaitu tentang gerak-geriknya.. zikirnya.. lafadz zikirnya…letaknya.. dan sebagainya, hal ini telah di-urai dalam bab-bab yang lalu, oleh karena itu amalkanlah zikir nafas itu bersungguh sungguh supaya kita mendapat QALBU yaitu pancaran Nur di dalam jantung kita yang menjadi kuasa pemancar kepada makrifat untuk makrifat diri kita dengan Allah Taala. . Sesungguhnya dengan zikir nafas sajalah gumpalan darah hitam yang menjadi istana iblis di dalam jantung kita akan hancur dan terpancarlah “NUR QALBU” dan kemudian terpancar pula makrifah yang membolehkan seseorang itu memakrifatkan dirinya dengan Allah Ta’ala dan dapatlah diri rahasia Allah yang menjadi diri batin kita membuat hubungan dengan diri “DZATUL HAQ” Tuhan semesta alam. . Latihan untuk menyaksikan diri ini hendaklah dikerjakan secara bertahap, tahap awal yaitu melalui “acara” sholat sebagaimana yang diterangkan di dalam bab yang lalu.. selama proses penyaksian diri berlangsung maka orang itu akan mengalami satu proses membebaskan diri batin “KHAWAS FI KHAWAS” dari jasad dan dengan itu maka seseorang akan dapat melihat wajah kesatu wajah kedua seterusnya sampailah kepada wajah kesembilan yaitu martabat yang paling tinggi di dalam ilmu gaib… dengan mendapat pecahan wajah maka akan dapatlah orang itu membuat suatu penyaksian yang sebenar pada setiap saat dimasa hidupnya pada waktu “acara” ibadah ataupun keadaan biasa. . Pada tahapan seperti ini dinamakan martabat “BAQA BILLAH” yaitu suatu keadaan yang kekal pada setiap pendengaran, penglihatan, perasaan dan sebagainya, dan pada tahap ini ia adalah seperti orang awam biasa-biasa saja, tidak nampak dan sulit untuk mengetahui derajat dirinya disisi Allah Ta’ala.. . Biasanya orang yang berhasil mencapai maqam Sholahud Da’im maka dapatlah ia kembali kehadrat Allah Ta’ala dengan diri batin dan diri dzahir tanpa terpisahkan diantara satu sama lain, ia dapat memilih hendak mati atau hendak gaib. KITAB “ FATIHATUL KITAB “ Surah Al-Fatihah dinamakan “Sab’ul Mathani” yaitu 7 ayat yang diulang-ulang bacaannya, banyak rahasia yang terdapat di dalamnya.diantaranya dalam surah tersebut tidak ada tujuh huruf hijaiyah, hal ini menggambarkan keadaan manusia di dalam neraka. 1) Tha – yang mempunyai tiga titik artinya tiada yang wujud, sifat dan af’al melainkan wujud Allah, sifat Allah dan af’al Allah. Barangsiapa yang mengaku bahwa mereka yang wujud serta mengaku dirinya yang hidup, tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat dan berkata-kata, maka masuklah mereka ke pintu neraka yang pertama yaitu neraka Thawiah. 2) Jim – maksudnya Allah ta’ala menjadikan manusia beserta dengan hidupnya, adalah semata-mata untuk menyatakan sifat jalal dan jamal dzatullah yang Maha Esa. Setitik pada Jim itu ibarat tandanya hidup yang ada pada diriNya, adalah nyata bagi ke-dzahiran sifat kebesaran dan kesempurnaanNya. Barangsiapa yang tidak mengenal Allah dan tunduk pada diriNya, maka masuklah ke dalam neraka Jahannam.. 3) Kha – yang diartikan khaliq atau Maha Pencipta. Allah ta’ala men-dzahirkan sifat-sifat hidupNya, tahuNya, kuasaNya dan kehendakNya yang tajalli kepada semua makhlukNya itu adalah semata-mata dzatullah hendak menyatakan kekuasaanNya. Dia Maha Pencipta, janganlah kemudian tiba-tiba mengaku kita berkuasa dengan mempunyai ikhtiar dan usaha, dan mengaku kita yang hidup, tahu, berkehendak, mendengar, melihat dan berkatakata, jika demikian maka masuklah mereka menerusi pintu neraka Khalidin. 4) Zai – yang diartikan zakat atau suci yaitu sifat-sifat hidup, tahu, berkuasa, berkehendak itu adalah sifat yang suci bagi Dzatullah, yang tidak boleh dinodai dengan kekotoran. Kemudian daripada sifat-sifat tersebut Allah menyatakan zakat, dan sifat rahmanNya pada diri manusia. Jangan Lantaran kita tidak dapat mengenaliNya dan mengaku segala amalan kita yang punya, sehingga beramal karena pahala, bukan karena Allah, maka masuklah mereka ke dalam neraka Zabaniyah. 5) Syin – yang diartikan syahadah atau alam kenyataan. Dengan maksud tiga titik itu ialah tanda ibarat Dzatullah hendak menyatakan wujudNya, sifatNya dan af’alNya yang ada pada langit, bumi dan di antara langit dan bumi, maka semuanya itu menjadi syahadah wajah zat wajibal wujud. Kemudian, barang siapa yang menafikannya atau tidak mengenal alam syahadah’ dan tidak dapat bermusyahadah di dalamnya, masuklah mereka ke dalam neraka Syaqawah. 6) Dza – yang diartikan dzahir, dengan maksud wujudNya, sifatNya, asmaNya dan af’alNya itu dzahir, dapat dilihat menerusi ‘ainul basirah’ atau ‘haqqul basirah’ atau dengan hidup, tahu, berkuasa dan berkehendak yang ada pada diriNya. Kemudian, dengan sifat-sifat kemuliaan ini juga, maka dzahirlah segala kekuasaanNya dan sifat keagunganNya di dalam alam sejagat ini. Barang siapa yang menafikan atau tidak mau mengenalNya, maka masuklah mereka ke dalam neraka Dzulmah, yaitu senantiasa di dalam hal kegelapan. 7) Fa – yang diartikan dengan fana atau binasa, dengan maksud hendaklah diri kita senantiasa di dalam keadaan fana atau yang dikatakan ‘fana bisifatillah’ yaitu binasakan hidup kita di dalam hidup Allah, dengan ilmu, kehendak, kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata yang ada pada diri kita ini, binasakanlah ia di dalam ‘ilmullah, qudratullah, iradatullah, sam’ullah, basrullah dan kalamullah. Maka barang siapa yang tidak mengenal dan tidak dapat memfanakan dirinya sebagaimana yang telah diterangkan tadi, masuklah mereka ke dalam neraka Firqah, yaitu ‘terpisah’ dirinya dengan Allah. Bahwa mengenal Allah adalah mengenal diri,.oleh karena itu, diri kitalah yang utama yang menjadi dalil akan wujud Allah, bahwa diri kita (jasad) dijadikan oleh Allah, asalnya dari alam yang tiada, kemudian diadakan dan ditiupkan Ruhullah ke dalamnya beserta dengan sifat hidupNya, ilmu, iradah, qudrah, termasuk juga sama’, basar dan kalamNya. Hikmahnya adalah semata-mata Allah hendak menyatakan kekuasaanNya. kekayaanNya, kemurahanNya dan 1 ITTIHAD Sketsa Biografi . Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa Surusyan, juga dikenal dengan Bayazid. Beliau dikenal sebagai salah seorang sufi kenamaan Persia abad ke-III dari Bistam wilayah Qum,lahir pada tahun 874 M dan wafat pada usia 73 tahun.Ayahnya seorang pemimpin di Bistam dan ibunya seorang yang zahid, sedangkan kakeknya seorang Majusi yang memeluk Islam dan menganut madzhab Hanafi Abu Yazid mengatakan “Dua belas tahun lamanya aku menjadi penempa besi bagiku. Kulempar diriku dalam tungku riyadhah. Kubakar dengan api mujahadah. Kuletakkan diatas alas penyesalan diri sehingga dapatlah kujumpai sebuah cermin diriku sendiri. Lima tahun lamanya aku menjadi cermin diriku yang selalu kukilapkan dengan bermacammacam ibadah dan ketaqwaan. Setahun lamanya aku memandang cermin diriku dengan penuh perhatian, ternyata diriku kulihat terlilit sabuk takabbur, kecongkaan, ujub, riya’, ketergantungan kepada ketaatan dan membanggakan amal. Kemudian aku beramal selama lima tahun sehingga sabuk itu putus dan aku merasa memeluk Islam kembali. Kupandang para makhluk dan aku lihat mereka semua mati, sehingga aku kembali dari janazah mereka semua. Aku sampai kepada Allah dengan pertolongan-Nya tanpa perantara makhluk. . Konsep al-Ittihad Abu Yazid al-Bustamia. Al-Fana’ dan al-Baqa’ . Keadaan fana’-baqa’ dan ittihad sebagaimana yang dialami oleh Abu Yazid dalam pengalaman tasawwufnya, merupakan tiga aspek dalam suatu pengalaman sufi yang tejadi setelah tercapainya makam ma’rifat. Dan hal ini tidak banyak sufi yang mencapai tataran demikian, bahkan kalaupun ada maka tidak akan pernah lepas dari dijumpainya prokontradari kalangan umat Islam sendiri, terutama dari kalangan mutakallimun, karena perjalanan para sufi pada maqam yang setelah mencapai tingkatan ma’rifat hampir selalu dinyatakan sebagai bertentangan dengan ajaran islam, meskipun upaya demikian dilakukan dalam rangka mendekatkan diri sedekat mungkin pada Sang Pencipta. Dalam perspektif sufi hal ini sangat penting, karena salah satu inti tasawuf adalah perasaan hilangnya seluruh sifat kemanusiaan yang kmudian diganti dengan sifat-sifat ketuhanan. Kondisi ini tercapai dengan sebuah keyakinan bahwa seluruh sifat kemakhlukan manusia merupakan baying semu yang tidak tetap, sedangkan sifat-sifat tuhan adalah permanen, yang diproses melalui penghilangan kepribadian dan perasaan terhadap semua yang ada disekitarnya terlebih dahulu. Dengan hilangnya semua perasaan dan kehendak pada sesuatu itu, akan hilang pula berbagai keinginan untuk memiliki benda duniawi. Seorang sufi yang hendak bersatu dengan tuhan;ittihad terlebih dahulu harus melalui dengan dua keadaan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu keadaan fana’, yakni, kesirnaan-peleburan; penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan makhluk lain disekitarnya, dan baqa’, tetap, kekal, yakni tetap dalam kebajikan dan kekal dalam sifat ketuhanan. Fana’-baqa’ merupakan pengetahuan atau pengalaman yang tidak bisa diperoleh melalui pemikiran, tetapi diberikan oleh Tuhan melalaui penerangan yang merupakan rahasia tuhan. Dikatakan demikian karena perjalanan ini diidentikan dengan hancurnya sifat jiwa, atau sirnanya sifatsifat tercela, maka barang siapa fana’ dari sifat tercela, maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat terpuji Fana’ dan baqa’ merupkn sesuatu yang kembar, karena ia terjadi dldm waktu yang bersamaan, sehingga jika terjadi fana’, dimana pada waktu kesadaran dengan diri dan alam sekelilingnya telah hilang maka bersamaan dengan itu ia mengalami baqa’, yaitu munculnya kesadaran akan kehadirannya disisi Tuhan. Abu Yazid mendapatkan pengalaman ini setelah melalui perjalanan yang sangat berat yaitu ketika beliau melakukan ibadah haji; Aku pergi ke Makkah dan melihat sebuah rumah berdiri tersendiri, aku berkata; hajiku tidak diterima karena aku melihat banyak batu semacam ini, aku pergi lagi dan melihat rumah itu dan juga Tuhan rumah itu. Aku berkata, ini masih bukan pengesahan yang hakiki. Aku pergi untuk ketiga kalinya dan aku hanya melihat Tuhan rumah itu, kemudian suara dalam batinku berbisik; wahai bayazid, jika engkau tidak melihat dirimu sendiri engkau tidak akan menjadi seorang musyrik walau emgkau melihat seluruh jagad raya. Karena engkau masih melihat dirimu sendiri, engkau adalah seorang yang musyrik walaupun engkau buta terhadap seluruh jagad raya. Maka aku bertobat lagi, dan tobatku kali ini adalah tobat dari memandang wujudku sendiri Fana’ di kalangan sufi merupakan kejadian yang temporal, tidak berlangsung secara terus menerus, seandainya kejadian ini berlangsung secara terus-menerus niscaya akan merusak ibadah lain yang justru merupakan hal yang dapat mengantar keadaannya kepada tingkatan demikian, maka dapat dikatakan bahwa hal ini akan bertentangan dengan ajaran syar’i yang merupakan pantangan pula bagi pelaku sufi. Abu Yazid dikenal sebagai seorang sufi yang sangat memperhatikan syariat dan ajaran agama, meskipun beliau hampir selalu dalam keadaan “mabuk”hingga saat shalat tiba, ketika waktu shalat telah tiba, beliau kembali kepada kesadaran, seusai melaksanakan shalatnya, apabila di kehendaki ia kembali kepada fana’ Dengan demikian seorang sufi tidak meninggalkan syariat agama, bahkan ketaatan menjalankan seluruh ajaran akan senantiasa di upayakan semaksimal mungkin dalam rangka memenuhi standar untuk menjaga kesucian jiwanya dari sifat-sifat tercela yang akan mengganggu kebersihan jiwanya. . Al-Ittihad . Keadaan ini merupakan suatu tingkatan dalam tasawuf, dimana seorang sufi merasakan dirinya telah bersatu dengan Tuhan, saat yang mencintai dan yang dicintai telah menyatu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang lain dengan kata “hai aku”. Ittihad tidak muncul dengan begitu saja, tetapi harus setelah menenpuh tingkatan fana’-baqa’ yang dapat ditempuh dengan menyadari keadaan dirinya sebagai individu yang terpisah dari Tuhannya, dilanjutkan dengan memperjuangkan tersingkapnya pembatas yang menghalangi pandangan mata hatinya, dengan mengikis sifat-sifat tercela, yang dilakukan secara terus manerus. Setelah Abu Yazid mengalami ke-fana’an, dengan sirnanya segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, saat itu dia tidak lagi menyaksikan selain hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya telah terlebur dalam Dia yang disaksikannya. Dalam keadaan yang seperti ini terjadi penyatuan dengan Yang Maha Benar. Kondisi seperti itu telah menghilangkan batas antara sufi dengan Tuhan, antara yang mencintai dan yang dicintai. Pada saat seperti ini sufi dapat melihat dan merasakan rahasia Tuhan. Ketika sufi telah menyatu dengan Tuhan, sering terjadi pertukaran peran antara sufi dengan Tuhan. Saat itu sufi tidak lagi berbicara atas namanya, melainkan atas nama Tuhan, atau Tuhan berbicara melalui mulut sufi, yang keluar dari mulutnya ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil, sebagaimana yang pernah diungkapkan Abu Yazid; pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan ia berkata “Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau”, aku menjawab “kekasihku aku tidak ingin melihat mereka, tetapi jika itu kehendak-Mu, hiaslah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata ‘telah kami lihat engkau’, tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau, karena ketika itu aku tidak ada disana Ketika terjadi ittihad secara utuh, Abu Yazid mengatakan dalam syatahatnya : “Tuhan berkata ; semua mereka kecuali engakau adalah makhluk-Ku”, akupun berkata, “Aku adalah Engkau, Engaku adalah aku adalah Engkau”, maka pemilahanpun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Dia berkata, “Hai engkau”, aku dengan perantara-Nya menjawab, “Hai aku”. Dia berkata, “Engkau yang satu”. Aku menjawab, “Akulah yang satu”. Dia selanjutnya berkata, “Engkau adalah engaku”. Aku menjawab, “Aku adalah aku”. Kata aku yang diucapkan Abu Yazid bukanlah sebagai gambaran diri Abu Yazid tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena saat itu Abu Yazid telah bersatu dengan Tuhan, dengan kata lain, dalam ittihad Abu Yazid berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat lagi, Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid. Dalam peristiwa lain, Abu Yazid dikunjungi seseorang, kemudian ia bertanya: “Siapa yang engkau cari ?”, jawabnya, jawabnya, “Abu Yazid”, Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, di rumah ini tak ada kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”. Dengan ucapan-ucapan yang telah dikemukakan, Abu Yazid terlihat telah bersatu dengan Tuhan. Sehingga dia tidak sadar akan diri dan lingkungannya karena yang ada saat itu hanya Allah semata. Sebenarnya Abu Yazid tetap mengakui adanya wujud, Tuhan dan Makhluk, hanya saja dia merasakan kebersatuan antara keduanya, sedangkan masing-masing masih tetap dalam esensinya, Tuhan tetap Tuhan, makhluk tetap makhluk. Ketika terjadinya ittihad, yang dimaksud bersatu adalah dalam arti ruhani, bukan hakekat jazad. Ittihad terjadi dengan perantara fana’-baqa’ sebagaimana telah dikemukakan, digambarkan sebagai jiwa yang kehilangan semua hasrat, perhatian dan menjadikan diri sebagai obyek Tuhan, dengan cinta di dalam batin, pikiran sifat-sifat kebaikan yang menimbulkan kekaguman dalam dirinya. Sebagaimana diceritakan bahwa Abu Yazid pernah mengatakan “Aku tidak heran terhadap cintaku pada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku, karena Engkau Raya Yang Maha Kuasa”. Dia juga menyatakan, “Manusia bertaubat dari dosa-dosa mereka, tetapi aku taubat dari ucapanku “Tidak ada Tuhan selain Allah”, karena dalam hal ini aku memakai alat dan huruf, sedangkan Tuhan tidak dapat dijangkau dengan alat dan huruf” Semakin larutnya dalam ittihad, di suatu pagi setelah shalat shubuh, Abu Yazid pernah melafalkan kalimat sampai orang lain menganggapnya orang gila dan menjauhinya dengan kalimat, “Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku, maha suci aku, maha suci aku, maha besar aku” Ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh Abu Yazid diatas tidak dapat dilihat secara harfiah, tetapi harus dipandang sebagai ungkapan seorang sufi yang sedang dalam keadaan fana’, seluruh pikiran, kehendak dan tindakannya telah baqa’ dalam Tuhan. Pada dasarnya semua wujud, selain wujud Tuhan adalah fana’, atau segala sesuatu selain Tuhan, dipandang dari keberadaan dirinya, sudah tidak ada fana’. Dengan demikian satu-satunya wujud yang ada hanyalah wujud Tuhan. Dalam pengalaman tasawuf, keadaan fana’ para sufi berbeda antara satu dengan yang lain. Ada yang kembali kepada keadaan normal sehingga dia tetap menganggap dualitas antara Tuhan dan alam, tetapi ada pula yang betul-betul merasakan fana’ yang kemudian mengantarkan bersatu dengan Tuhan, sehingga tidak ada perbedaan antara Tuhan, dengan alam, atau sebaliknya. Meskipun Abu Yazid di pandang sebagai tokoh terpandang dalam bidangnya, ternyata juga mendapat kritik, sebagai contoh adalah alThusi, yang memaparkan bahwa ittihad sebagaimana yang di lakukan oleh Abu Yazid, yang diawali oleh keadaan fana’, patut diwaspadai bahaya-bahaya yang akan di timbulkannya, karena menurutnya, sifatsifat kemanusiaan tidak mungkin sirna dari manusia. Oleh karena itu persangkaan bahwa manusia bisa fana’, sehingga ia bersifat sebagaimana sifat ketuhanan, adalah keliru. Akibat ketidak tahuannya, pendapat itu hanya akan mengantar mereka kepada hulul atau pendapat orang nasrani tentang Isa al-Masih. Namun juga tidak kurang dari tokoh sufi lain yang memberikan dukungan, sebagaimana di sampaikan oleh Al-Junaidi, yang menyatakan dapat memahami ungkapan yang di keluarkan Abu Yazid. Bahkan Abd alQadir al-Jailani memberikan komentar, “Terhadap apa yang di ucapkan para sufi, tidak bisa dijatuhkan hukum, kecuali apa yang di ungkapkannya dalam keadaan sadar karena persoalannya tidak lebih dari psikis yang sedang dialami oleh masing-masing pelaku sufi yang sedang melangsungkan tawajjuh dengan Allah sehingga keadaan alam dan seisinya benar-benar tertutup dari jangkauan akal mereka. RIWAYAT + INTI AJARAN ABU YAZID AL-BUSTAMI Nama kecilnya ialah Thallur Pernah beliau berkata yang ‘ganjil’ dan dalam, yang masih sangat hati hati memahamkannya, sebab dari mulut Beliau kerap kali keluar kata kata yang berisi kepercayaan bahwasanya : “HAMBA dan TUHAN sewaktu waktu BISA BERPADU MENJADI SATU (Hulul)”. Sampai oleh ahli Sufi yang datang dibelakang diberi misal bahwasanya “Hulul” itu adalah seumpama Perpaduan diantara Api dengan Besi, Sebagian dari perkataan beliau : Tidak Ada Tuhan Melainkan Saya Sembahlah Saya Amat Sucilah Saya Alangkah Besar KuasaKu Salah satu perkataan beliau : Pernah Tuhan mengangkat Daku, dan diletakkannya Aku dihadapannya sendiri, Maka berkatalah Dia kepadaku “ABU YAZID” Makhlukku ingin melihat Engkau. Lalu Aku berkata “Hiasilah Aku dengan Wahdaniatmu, Pakaikanlah Kepadaku Keakuanmu, Angkatlah Aku kedalam Kesatunmu, sehingga apabila Makhluk Melihat Daku mereka akan berkata “ Kami telah melihat Engkau, maka Engkaulah itu, Dan Aku Tidak Ada disana. Pada akhirnya Beliau berkata : Demi Sadarlah Aku, dan Tahulah Aku Bahwa Sesungguhnya/bahwasanya sama sekali Itu hanyalah Khayalan Belaka. Kata kata yang demikian dinamai orang SYATHATHAT artinya ialah kata kata yang penuh khayal yang tidak dapat dipegangi, dan dikenakan hukum, karena orang yang berkata kata waktu itu sedang Mabuk, bukan Mabuk Alkohol, Mabuk oleh tiada sadar akan dirinya lagi, sebab tenggelam kedalam lautan tafakur, sebab itu menurut pengamatan beliaulah yang mula mula sekali menciptakan suatu istilah Paham Tasawuf yang bernama “ASSAKAR” artinya Mabuk, “ AL ‘ISYQ” artinya Rindu Dendam. YAHYA BIN MA’AZ, Pernah mengirim surat kepada Abu Yazid Bustami, bahwasanya Dia sudah mabuk, oleh karena terlalu banyak meminum Khamar Cinta. Maka Abu Yazid membalas. Orang lainpun telah meminum Air demikian, sepenuh Lautan dan Bumi, tetapi Dia belum juga merasa puas, Dia masih tetap mengulurkan lidahnya meminta tambah lagi. Tentu yang beliau maksud dengan orang lain itu ialah Dirinya sendiri. Disinilah masuknya pelajaran RABI’ATUL ADAWIYAH. Cinta sejati tidak mengenal hitung-hitungan, kalau masih ada rasa bahwa Aku adalah Aku, dan Engkau adalah Engkau, belumlah sampai kepada inti Cinta. Kadang kadang tak tahulah dia, apa yang akan dibicarakannya lagi, “tersesat” mulutya, sehingga Cintanya “ANA AL-HAQ” Dia berkata karena saking Kadang kadang kemana saja dia memandang, kekasih itu saja yang kelihatan, ke Matahari ke Bulan Purnama Allah, ke Ombak bergulung, ke Angin sepoi sepoi Allah, ke Tangis Anak yang baru lahir Allah, ke Kuburan yang sunyi sepi Allah. Kadang kadang memuncaklah Cinta itu, sehingga merasa ingin mati saja mati saja dalam Cinta”. “LAA ANA ILLA HUWA “ Tidak ada saya selain Dia. 1 HULUL A. Prolog . Manusia adalah makhluk yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lain. Sejak lahir, manusia telah dibekali dengan berbagai kemampuan. Kemampuan untuk mendengarkan, melihat dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indera yang sempurna. Bahkan dalam kronologi penciptaannya, sengaja Allah memilihkan dengan prosedur (cara) yang berbeda. Secara umum, dalam diri manusia terdapat dua dimensi yang antara keduanya saling mendukung. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi penciptaannya berasal dari tanah. Fenomena ini membangun sebuah argumentsi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun, jasad dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi ruhani (ruh) yang berasal dari Allah. Konsekuensi logisnya, bahwa ruh berasal dari Allah dan yang bisa memuaskannya juga sesuatu yang berasal dari Allah serta ketika manusia dinyatakan mati, maka ruh kembali kepada Allah. Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah insting keberagaman 3, yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh dalam diri manusia. Perspektif manusia seperti ini memberikan pilihan yang bersifat probability bahwa manusia bisa terjerumus ke dalam jurang kenistaan yang jauh dari perikemanusiaan atau bahkan mampu memahami secara komprehensif dan mengantarkannya mendapat derajat yang tinggi baik dihadapan Allah maupun dihadapan sesama manusia. Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri, maka sungguh ia telah mengetahui dan mengenal Tuhannya. Pada tataran ini, tidak ada batas dan tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Menurut Harun Nasution “Intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhannya dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad bersatu dengan Tuhan. 6 Manshur al-Hallaj dalam pengalaman spiritualnya, menemukan sebuah formulasi komunikasi ideal antara manusia dengan Tuhannya. Formulasi ini dibangun berdasarkan persepsinya yang utuh bahwa antara manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama, yaitu al-Lahut dan al-Nasut. Apabila kedua sifat ini melebur jadi satu, maka berarti antar manusia dengan Allah sebagai Tuhannya bisa menyatu. Momentum menyatunya antara al-Lahut dan al-Nusut ini dalam teori tasawufnya Mansur al-Hallaj disebut al-Hullul. Abu Yazid al-Bustami dalam pengalaman spiritualnya menemukan sebuah formulasi yang dikenal dengan istilah fana’, baqa’, dan ittihad, istilah ini lahir setelah beliau mengungkapkan perkataan ganjilnya yang seolah-olah bertentangan dengan kebiasaan sehari-hari pada pengalaman banyak orang . B. Konsep al-Hulul dalam teorinya Mansur al-Hallaj . 1. Sketsa Biografi dan Bangunan Pemikiran Keagamaan Mansur alHallaj. Manshur al-Hallaj lahir di Persia (Iran) pada tahun 224 H/858 M. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughist al-Husain ibn Mansur ibn Mahma al-Baidlawi al-Hallaj.7 Ayahnya bekerja sebagai pemital kapas. Kakeknya yang bernama Mahma adalah seorang Majusi.8 Ketika masih kecil, ayahnya pindah ke Tustar, kota kecil dikawasan Wasith, dekat Baghdad. Masa kecilnya banyak dihabiskan untuk belajar ilmu keagamaan. Sejak kecil, al-Hallaj mulai belajar membaca al-Qur’an, sehingga berhasil menjadi penghafal al-Qur’an (hafidz). Pemahaman tasawuf pertama kali ia kenal dan pelajari dari seorang sufi yang bernama Sahl al-Tustari. Karena pengembaraannya yang intens, maka ia dikenal sebagai seorang sufi yang berkelana ke berbagai daerah. Berkelananya ke berbagai daerah, mengantarkan ia dapat berkelana, bertmu, berteman dan bahkan berguru kepada para sufi kenamaan pada masa itu. Menginjak usia 20 tahun, al-Hallaj meninggalkan Tustar menuju kota Basra dan berguru kepada Amr Makki. Untuk memperdalam keilmuannya, seterusnya pindah ke kota Bagdad untuk menemui sekaligus berguru kepada tokoh sufi modern yang termasyhur, yaitu alJunaid alBaghdadi. Ia digelari al-Hallaj karena penghidupannya yang dia peroleh dari memintal wol. Dalam sumber lain dijelaskan, bahwa disebut alHallaj karena dapat membaca pikiran-pikiran manusia yang rahasia, maka terkenal dengan Hallaj al-Asror, penenun ilmu ghaib Selanjutnya, al-Hallaj muda pergi ke kota Makkah. Di kota suci ini, ia menetap selama kurang lebih satu tahun. Selama di kota suci ini ia tinggal dan bermukim di pelataran Masjid al-Haram sambil melakukan praktek kesufiannya. Pada situasi dan kondisi seperti inilah, ia mengalami dan merasakan sebuah pengalaman spiritual yang tiada tara bandingannya. Dalam sebuah pengakuannya, ia telah mengalami pengalaman mistik yang luar biasa, yang pada wacana berikutnya kemudian terkenal dengan istilah hulul.12 Pada ujung proses merasakan dan mengalami pengalaman spiritual yang luar bisa tersebut, al-Hallaj memutuskan untuk kembali ke kota Baghdad dan menetap di kota ini sambil terus menyebarkan ajaran tasawufnya. Namun demikian, keadaan menentukan lain dan memaksanya menjadi rakyat yang tertindas dari kekejaman penguasa saat itu. Pada tanggal 18 Dzulkaidah 309 H / 922 M ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh pengusa Dinasti Abbasiyah (Khalifah AlMuktadir Billah). Motive dan latar belakang penangkapan dan vonis hukuman mati ini adalah bermuara dari tuduhan membawa paham hulul yang dianggap menyesatkan ummat. Sisi lain, al-Hallaj juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syiah Qaramitah. . 2. Konsep al-Hullul Mansur al-Hallaj . Konsep yang diusung oleh Mansur al-Hallaj dalam praktek pengalaman tasawufnya sebenarnya berpijak dari kedekatannya dengan Tuhan. Kedekatan berikut dengan segala atribut nuansa spiritualnya bertumpu pada konsep teologi yang masih dalam koridor spiritualitas Islam (Islamic Spirituality). Spiritualitas Islam14 yang senantiasa identik dengan upaya menyaksikan Yang Satu, mengungkap Yang Satu, dan mengenali Yang Satu, Tuhan dalam kemutlakan Realitas-Nya yang melampaui segala manifestasi dan determinasi, Sang Tunggal yang ditegaskan dalam al-Qur’an dengan nama Allah. Ajaran tasawuf al-Hallaj yang terkenal adalah konsep hulul. Tuhan dipahami mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah manusia tersebut betul-betul berhasil melenyapkan sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuhnya. Menurut al-Hallaj bahwa Tuhan mempunyai dua sifat dasar, yaitu allahut (sifat ketuhanan) dan al-nasut (sifat kemanusiaan). Demikian juga manusia juga memiliki dua sifat dasar yang sama. Oleh karena itu, antara Tuhan dan manusia terdapat kesamaan sifat. Argumentasi pemahaman ini dibangun berdasarkan kandungan makna dari sebuah hadits yang mengatakan bahwa: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentukNya” sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Ahamad bin Hambal atau Imam Hambali. Hadits ini memberikan wawasan bahwa di dalam diri Adam as terdapat bentuk Tuhan yang disebut al-lahut. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk manusia yang disebut al-nasut. Berdasarkan pemahaman adanya sifat antara Tuhan dan manusia tersebut, maka integrasi atau persatuan antara Tuhan dan manusia sangat mungkin terjadi. Proses bersatunya antara Tuhan dn manusia dalam pemahaman ini adalah dalam bentuk hulul. Bersatunya antara Tuhan dan manusia harus melalui proses bersyarat, dimana manakala manusia berkeinginan menyatu dengan Tuhannya, maka ia harus mampu melenyapkan sifat al-nasutnya. Lenyapnya sifat al-nasut, maka secara otomatis akan dibarengi dengan munculnya sifat al-lahut dan dalam keadaan seperti inilah terjadi pengalaman hulul. Untuk melenyapkan sifat al-nasut, seorang hamba harus memperbanyak ibadah. Dengan membersihkan diri melalui ibadah dan berhasil usahanya melenyapkan sifat ini, maka yang tinggal dalam dirinya hanya sifat al-lahut. Pada saat itulah sifat al-nasut Tuhan turun dan masuk ke dalam tubuh seorang Sufi, sehingga terjadilah hulul 19, dan peristiwa ini terjadi hanya sesaat. Pernyataan al-Hallaj bahwa dirinya tetap ada, yang terjadi adalah bersatunya sifat Tuhan di dalam dirinya, sebagaimana ungkapan syairnya : “aha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang. Kemudian kelihatan bagi makhluknya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum”. Dalam syair di atas tampak Tuhan mempunyai dua sifat dasar keTuhanan, yaitu “Lahut” dan “Nasut”. Dua istilah ini oleh al-Hallaj diambil dari falsafah Kristen yang mengatakan bahwa Nasut Allah mengandung tabiat kemanusiaan di dalamnya. Dalam konsep hulul al-Hallaj dimana Tuhan dengan sifat ketuhanan menyatu dalam dirinya, berbaur sifat Tuhan itu dengan sifat kemanusiaan. Penyatuan antara roh Tuhan dengan roh manusia dilukiskan oleh alHallaj didalam syairnya sebagai berikut : “JiwaMu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur dicampur dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika itu dalam setiap keadaaan Engkau adalah aku” Bahkan didalam syairnya yang lain, al-Hallaj melukiskan dengan sangat jelas bahwa : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucinta adalah aku. Kami adalah dua roh yang bersatu dalam satu tubuh. Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia, dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”. Tatkala peristiwa hulul sedang berlangsung, keluarlah syatahat (katakata aneh) dari lidah al-Hallaj yang berbunyi Ana al-Haqq (Aku adalah Yang Maha Benar). Kata al-Haq dalam istilah tasawuf, berarti Tuhan. Sebagian masyarakat saat itu menganggap al-Hallaj telah kafir, karena ia mengaku dirinya sebagai Tuhan. Padahal yang sebenarnya, dengan segala kearifan dan kerendahan hati spiritualnya, al-Hallaj tidak mengaku demikian. Perspektif ini dibangun berdasarkan ungkapan syairnya yang lain dengan mengatakan bahwa : “Aku adalah Rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku, aku hanya satu dari yang benar, dibedakanlah antara kami atau aku dan Dia Yang Maha Benar”. Dalam pengertian lain dapat diungkapkan bahwa syatahat yang keluar dari mulut al-Hallaj tidak lain adalah ucapan Tuhan melalui lidahnya. Dengan ungkapan ini, semakin tidak mungkin untuk memahami bahwa maksud al-Hallaj dengan hululnya dalam berbagai syairnya adalah dirinya al-Haq. Jadi karena sangat cintanya kepada Allah menjadikan tidak ada pemisah antara dirinya dengan kehendak Allah, seolah-olah dirinya dan Tuhan adalah satu. Sebagaimana diungkapkan dalam syairnya : “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku”. Seandainya apa yang dikemukakan oleh Harun Nasution, tentang tafsiran al-Hallaj mengenai perintah Tuhan agar sujud kepada Adam (QS. 2 : 34) adalah pendapat yang sebenarnya yang dimaksud oleh alHallaj, tentu ini pandangan yang sesat. Karena apabila masuk ke jiwa seseorang misalnya Isa, maka jadilah Tuhan semisal Isa, ini bertentangan dengan firman Allah “Laisa kamitslihi syaiun”. Apabila dengan masuknya Tuhan ke dalam diri manusia tidak dengan tidak mengurangi keberadaan Tuhan, maka berarti ada dua Tuhan atau sekurang-kurangnya belahan Tuhan yang dapat dinamakan dengan anak Tuhan sebagaimana yang disebut penganut Kristen sekarang, tentu ini sangat bertentangan dengan Al-Qur’an Surat Al-Ikhlash. Namun pendapat al-Hallaj bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan itu akan masuk ke dalam diri manusia dengan jalan fana’ yaitu dengan menghilangkan sifat kemanusiaan, hal ini dapat diterima. Sebagaimana menurut al-Hallaj ia bukanlah Yang Maha Benar, tetapi hanyalah satu dari yang benar. Jadi menurutnya, ia bukan Tuhan. Oleh karena itu yang lebih tepat dalam manafsirkan atau memahami ajaran alHallaj adalah bahwa menurutnya, Tuhan mengisi diri manusiamanusia tertentu dengan sifat ketuhanan, maka jadilah manusia itu satu dari yang benar, dialah manusia yang memiliki / dikaruniai sifat Tuhan NUR MUHAMMAD NUR MUHAMAD Beliaulah yang mula mula sekali menyatakan bahwasanya kejadian Alam ini pada mulanya ialah dari pada “HAKIKATUL MUHAMMADIYAH” atau Nur Muhammad. Nur Muhammad itulah asal segala kejadian. Hampir samalah perjalanan persamaannya itu dengan renungan Ahli Filsafat yang mengatakan bahwa mulai terjadi ialah “AKAL PERTAMA”. Menurut katanya Nabi Muhammad itu terjadinya dua rupa. Rupa yang Qadim dan Rupa yang Azali. Dia telah terjadi sebelum terjadinya seluruh yang ada, Dari padanya diserah Ilmu dan dirfan. Kedua ialah rupanya sebagai manusia, sebagai seorang rasul dan Nabi diutus Tuhan. Rupa yang sebagai Manusia itu menempuh Maut, tetapi rupanya yang Qadim tetap ada meliputi Alam. Maka dari Nur rupanya yang Qadim itulah diambil segala Nur buat menciptakan segala Nabi nabi dan Rasul rasul dan Aulia. Cahaya segala Kenabian dari pada Nur lah menyata dan Cahaya mereka dari pada Cahayanyalah mengambil, tidaklah ada suatu cahaya yang bercahaya, dan lebihnya yang lebih Qadim dari cahaya yang Qadim itu yang mendahului Cahaya Beliau yang mulia. Kehendaknya mendahului segala kehendak, Ujudnya mendahului segala yang Adam. Namanya mendahului akan Kalampun sendiri. Karena dia telah terjadi sebelum terjadi apa yang terjadi. Lautan Ilmunya diatas megah mengguruh, dibawah kilat menyinar dan memancar, menurunkan hujan dan memberikan subur, Segala Ilmu adalah setetes dari air lautan. Segala Hikmat hanyalah satu piala dari Sungainya, Seluruh Zaman hanyalah satu sa’at Kecil dari Masanya yang jauh. Dalam hal kejadian Dialah yang Awal, Dalam Kenabian dialah yang Akhir “ALHAK” adalah dengan dia, dan dengan dialah HAKIKAT, Dia yang pertama dalam hubungan, Dia yang Akhir dalam Kenabian, Dan Dia yang Bathin dalam HAKIKAT, dan Dialah yang lahir dalam MA’RIFAT. Pendeknya Nur Muhammad itulah pusat kesatuan Alam, dan Pusat Kesatuan Nubuat segala Nabi. Dan Nabi Nabi itu Nubuatnya, ataupun Dirinya hanyalah sebagian saja dari pada Cahayanya “NUR MUHAMMAD” itu. Segala macam Ilmu Hikmat dan Nubuat adalah Pancaran belaka dari Sinarnya.\ AL- HAKIKATUL MUHAMMADIYAH Tuhan Allah adalah suatu dan satu, Dialah wujud yang Mutlak. Maka Nur (cahaya) Allah itu sebagian dari pada Dirinya. Itulah Dia Hakikat “MUHAMMADIYAH” itulah kenyataan yang pertama dalam ULUBIYAH. Dari padanyalah terjadi segala Alam dalam setiap tingkatannya. Seumpama Alam Jabarut, Alam Malakut, Alam Misal, Alam Ajsam, Alam Arwah, Dia segenap kesempurnaan Ilmu dan Amal. Yang ternyata pada Nabi, sejak Adam sampai Muhammad, dan sampai kepada Wali wali dan segala Tubuh Insan yang Kamil. Nur Muhammad atau Hakikat Muhammadiyah itu Qadim pula, sebab Dia sebagian dari pada AHADIYAH. Sebagian dari suatu dan satu, Dia tetap ada, Hakikat Muhammadiyah itulah memenuhi Tubuh Adam dan tubuh Muhammad. Dan apa bila Muhammad telah Mati sebagai tubuh, namun Nur Muhammad atau Hakikat Muhammadiyah itu tetaplah ada, sebab dia sebagian dari Tuhan. Jadi Allah, Adam, Muhammad adalah satu, dan Insan Kamilpun adalah Allah dan Adam juga pada Hakikatnya. PASAL KEJADIAN NUR MUHAMMAD Ini asalnya kejadian Nur yang bermula mengambil keterangan yang aglir dari pada : Pertama : Didalam Kitab yang bernama Hadis Qudsy BAYANULLAH. Kedua : Bernama Kitab Hadis Qudsy BAYANU INSAAN Ketiga : Bernama Kitab Hadis Qudsy BAYANULLAH KURRU BIYIN. Untuk menyempurnakan asal kejadian diri kita, atau asal kejadian dari pada agama Nabi kita Muhammad SAW. Dan asal kejadian dari pada mengenal diri/mengenal Allah. Maka barang siapa tidak mengetahui asalnya kejadian diri, tidaklah syah sekalian Amal Ibadahnya, dan sia sia belaka perbuatannya, maka sabda Nabi Muhammad SAW “ WUJUDUKA ZUMBUN’ADJIM” artinya Diri Anak Adam itu Dosa yang Besar, melainkan mereka yang mengetahui. Dengan adanya inilah yang diwajibkan untuk mengetahui asal kejadian Diri. Wahai sekalian Saudaraku, tuntutlah benar benar dan bersungguh sungguh Ilmu kesempurnaan ini, supaya Amal Ibadahnya sempurna. Barang siapa menyembah Allah dan ia tidak mengetahui yang empunya nama Allah maka hukumlah bagi merekan itu, seperti menyembah nama saja, adalah terburu buru “BAYA TULLAH” artinya menyembah tempat dan menyembah nama saja, bukan menyembah yang empunya nama, karena inilah sabda Nabi kita Muhammad SAW “MAN’ABDA ISMA’U’NAL MA’NA FAHUWA KAFIRUN” artinya Barang siapa menyembah nama, tiada mengetahui yang empunya nama, maka orang itu kafir lagi jahil. Dan “MAN ZAKARAL ISMA’U’ NAL MA’NA FAHUWA BATHILUN” artinya Barang siapa menyembah nyembah nama Allah tetapi tiada mengetahui yang Empunya nama, maka yaitu dihukumkan bathal perkataan, yaitu sia sia sahaja. Dengan keterangan ini bukannya mengenal Agama saja, atau namanya melainkan yang lebih perlu adalah empunya nama, artinya : Barang siapa tidak mengenal Allah dari awalnya dan barng siapa tidak mengenal Allah dari akhirnya, dan barang siapa tidak mengenal Allah dari Dunia dan barang siapa tiada mengenal Akhirat dari hidupnya …………… ? Bermula ini kami mulailah asal kejadian NUR MUHAMMAD itu di dalam Kosong : “NUR QUN HU DZULLLAH” artinya Didalam Kandungan Qun Nur Muhammad dari pada Zatnya. Dan menurut keterangan Allah didalam Hadis Qudsy “ WAMA KHALAK TUKA ILA JALIKA FII SYAIAN KABLAHU NUR MUHAMMADIN FII ZADTULLAH” artinya Sebelumnya ada yang terlebih dahulu dijadikan dari pada sesuatu juapun, maka Nur Muhammad dijadikan dari pada Zat Allah. Maka sewaktu Allah menjadikan Nur Muhammad dari pada Nur Zatnya didalam Alam SATIYAARILGOIB – SATIYAULBUHTI artinya Pada sesuatu itu dizahirkan Nur Muhammad didalam Alam dihari Ghaib, dan Alam hari Zat “DZATTUL BUHTI” artinya pada waktu itu Nur Muhammad dizahirkan bukannya di Alam bumi ini, melainkan di Alam yang bernama “NUURUL BUHTI MU’ALLATI” dan artinya dizahirkan Nur Muhammad di Alam sebelum adanya Nama : “ALLAH ZAT WAJIBAL WUJUD”. Demikianlah sesudahnya Nur Muhammad dizahirkan di RAHSIAN : “NUU RUL BUHTI MU’ALLATI”. Dan diturunkan lagi di Alam SIR ZATTULBUHTI adanya, artinya di Alam RAHASIA dibahagian bagi DIRINYA, sebelum bernama Allah. Dan untuk namanya itu masih tersembunyi, sebahagian lagi lagi NurMuhammad diturunkan kepada Alam Ilmu artinya di Alam pengetahuan. Dan sesudah itu diturunkan lagi Nur Muhammad di Alam Nur duniaartinya merupakan : NUR MUHAMMAD adanya. Cahaya dunia berupa Zat (Zat Wajibal Wujud), diturunkan Nur Muhammad di cahaya dunia itu, diturunkan seperti burung TA’US maka pada suatu Nur Muhammad hanya sendirian saja, tiada yang lain, maka Nur Muhammad pada waktu itu mengenal suatu kalimah yang bunyinya “HU ZAATULLAH” Ini syahadat Nur Muhammad di Alam ZATUL BUHTI: “ASYHADU ALLA ILAHA IL LALLAH” Maka sesudah Nur Muhammad mengata sesuatu kalimah perkataan tersebut diatas, maka Nur Muhammad berkata pula “Hai segala pohon kayu dan batu, langit dan bumi, maka dari pada sekalian sedang berada pada waktu itu, berkatalah Nur Muhammad “Tunduklah engkau sekalian pohon kayu, batu dan langit ber A’jdinlah Ia dan pada saat itulah Zat Wajibal Wujud berkata dan menyatakan Nur Muhammad itu bahwa dijadikan dari pada NUR ZATNYA maka menyahut Zat Wajibal Wujud dengan satu kalimah menyatakan pada Nur Muhammad “WA ASYHADU ANNA MUHAMMADDARASULULLAH” artinya Syahadat Zat Wajibal Wujud dan sesudahnya itu Zat Allah menyebut dengan satu kalimah Rasul. Maka firman Allah kepada Nur Muhammad “YA MUHAMMAD ENGKAU ITU KU JADIKAN DARI PADA ZATKU, DAN SEMESTA SEKALIAN JADI DARI PADA ENGKAU NUR HAKMU. Maka terkejutlah Nur Muhammad setelah mendengar perkataan Zat Allah dan Nur Muhammad telah berkata : Bahwasanya adalah yang terlebih dahulu dari pada Diriku. Sesudah itu Nur Muhammad mencita citakan/ munajad kepada Zat Allah, lalu ia mengata Zikir Awal namanya Nur Muhammad dan Salawat Awal Nur Muhammad, maka Nur Muhammad sebagai meminta Do’a kepada Zat Allah “LAA ILAHA ILLALLAHU MUHAMMAD WUJUDULLAH” artinya Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, Hai Tuhanku bahwasanya Diriku ini dari pada Ujud DiriMu. “LA ILAHA ILLALLAH …. NURIHAQQULLAH “ artinya Tiada yang disembah melainkan Allah, Hai Tuhanku bahwasanya Diriku ini dari pada Air Noktah Cahaya Dirimu. “LA ILAHA ILLALLAHU MUHAMMAD ASTAGFIRULLAH” artinya Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah, Hai Tuhanku bahwasanya Aku meminta ampun, bertaubatlah kepada Engkau yang tlah Engkau terima. “KUN SALLI’ALA MUHAMMAD” Jadi Kun Jadilah. Hai Tuhanku Engkau jadikan Diriku olehmu yang Engkau kehendaki serta engkau jadikan pada dari kami. Maka Firman Zal Allah kepada Nur Muhammad “Engkau ketahuilah bahwasanya Aku jadikan Zatku menjadi Nyawa kepada Engkau, dan Aku jadikan SifatKu kepada Engkau menjadi Tubuh Engkau, dan Aku jadikan Af’alku ini menjadi Kelakuan Engkau. Maka berfirman lagi Zat Allah kepada Nur Muhammad : Ya Muhammad, asalnya Kujadikan Dirimu itu dari pada ZatKU, dan asal kejadian Dirimu itu dijadikan segala umat Engkau, dan daripada hak Engkau. Maka berfirman lagi Zat Allah kepada Nur Muhammad : “ Ya Muhammad Aku bepesan kepada Engkau, dan bahwasanya Engkau jadikan Nyawa Engkau menjadi Rahasia kepada Umat Engkau, dan Tubuh Engkau itu menjadi Ruh kepada kepada umat Engkau, dan Aku jadikan Ilmu Engkau itu adalah menjadi Iman kepada Umat Engkau dan engkau jadikanlah Kelakukan engkau itu menjadi hati kepada Umat Engkau, dan apa bila Aku Muliakan atas Diri Engkau melainkan Aku Muliakan juga atas Umat Engkau, dan Apa bila Aku kehendaki Diri Engkau buat mengenal IA akan Dikau muliakan , Aku kehendaki jika atas mengenal IA akan Dikau serta Umat Engkau. Maka berfirman lagi Zat Allah kepada Nur Muhammad : “ Ya Muhammad Aku wajibkan Umat Engkau itu mengenal IA dari pada asal kejadian dirinya, dan Aku wajibkan kepada Umat Engkau mengenal IA dari pada AgamaKU, dan Aku wajibkan kepada Umat Engkau itu mengenal diri bersungguh-sungguh, niscaya mengenal ia pada awalnya dan barang siapa tiada mengenal IA pada akhirnya, dan barang siapa tiada mengenal pada Dunianya, dan barang siapa tiada mengenal IA pada zahirnya, dan barang siapa tiada mengenal IA pada bathinnya, dan barang siapa tiada mengenal akhirn Kalamnya, maka tidaklah mengenal kepada Negeri Akhirat. Sesudah itu Zat Allah menerangkan kepada Nur Muhammad dengan beberapa keterangan yang tiada kekurangan. Maka berfirman lagi Zat Allah : “ Ya Muhammad Engkau titikkan Air Nuktah Engkau buat menjadi Malaikat yang empat, maka apabila Engkau menitikkan yang pertama bernama Nur Mada, dan apabila Engkau menitikkan yang kedua bernama Nur Madi, dan apabila Engkau menitikkan yang ketiga bernama Nur Mani, dan apabila Engkau menitikkan yang keempat yaitu bernama Nur Manikam, dan apabila Engkau mengata IYAKUN KUN JADI JIBROIL, maka jadilah JIBROIL, dan apabila Engkau mengata IYAKUN PAYAKUN JADILAH MIKAIL, maka jadilah MIKAIL, dan apabila Engkau mengata IYAKUN PAYAKUN JADILAH ISROPIL, maka jadilah ISRAPIL , dan apabila Engkau mengata IYAKUN PAYAKUN JADILAH IZROIL maka jadilah IZROIL. Dan berfirman lagi Zat Allah kepada Nur Muhammad : “Engkau perintahkan kepada malaikat Jibroil dan Engkau jadikan dari pada Anasarnya Jibroil yaitu Bumi, dan Engkau jadikan daripada Anasarnya Mikail yaitu Air, dan Engkau jadikan daripada Anasarnya Isropil yaitu Angin, dan Engkau jadikan dari pada Anasarnya Izroil Api, dan Engkau perintahkan Ya Muhammad Jiboil buat mengambil tanah ditempat di Alam Akbar, dan supaya memperbuat lembangan Adam dan Engkau perintah Mikail supaya mengambil Air di Alam Mualam, dan supaya memperbuat lembangan Adam, dan engkau perintahkan kepada Isropil supaya mengambil Angin di Alam Izzati supaya memperbuat lembangan Adam, dan Engkau perintahkan kepada Izroil supaya mengambil Api di Alam Amarah dan supaya memperbuat lembangan Adam. Maka sesudah itu berfirman lagi Zat Allah kepada Nur Muhammad : “ Ya Muhammad, Aku ghaibkanlah Diriku ini dengan kehendaKU ini, dan sesudah itu ghaiblah Nur Muhammad kepada Alam Sir, dan kepada Alam Ruh, dan kepada Alam Nur. Maka sesudah itu lalu dijadikan Dunia ini dan masih belum ada isinya, dan sesudah itu dijadikanlah Jasad Adam di Alam Dunia ini dengan hidup menunduk sendirinya saja, dan tiadalah mahluk yang lainnya. Lalu dinamai Dunia ini Alam Jisim dan Alam Insan dan Alam Ruh dan terhimpunlah namanya kepada Alam Anasarnya Adam dan dinamai Dunia ini Tubuh Anasarnya Adam. PASAL TENTANG ANASIR ANASIR Anasir ALLAH Anasir MUHAMMAD : Dzat, Sifat, Asma, Af’’al : Awal, Akhir, Dzahir, Batin Anasir HAMBA : Rahasia, Nyawa, Hati, Tubuh Anasir ADAM : Api, Angin, Air, Tanah Anasir BAPAK : Urat, Tulang, Otak, Sumsum Anasir IBU : Bulu, Kulit, Darah, Daging MENG-ESA-KAN ALLAH DALAM RAGAM DIRI Awal Muhammad itu Nurnya Akhir Muhammad itu Ruhaninya Dzahir Muhammad itu Rupanya Batin Muhammad itu Dzatnya URAIAN Rahasia hamba itu Batin Muhammad Batin Muhammad itu Dzat Allah Dzat Allah itu Rahasia hamba Nyawa hamba itu Awal Muhammad Awal Muhammad itu Sifat Allah Sifat Allah itu Nyawa hamba Hati hamba itu Akhir Muhammad Akhir Muhammad itu Asma Allah Asma Allah itu Hati hamba Tubuh hamba itu Dzahir Muhammad Dzahir Muhammad itu Af’’al Allah Af’’al Allah itu Tubuh hamba Dengan kaitkata rahasia 29 AGUSTUS 2012 BERLAYAR Bila takut gelombang, mengapa berlayar …..? bila takut berkata cinta mengapa berikrar.. yakin, sebelum datang ragu, sebagaimana engkau berikrar padaNya, sesungguhnya shalat, milikMu… yaa Allah.. ibadah, hidup dan matiku adalah inilah cinta yang sesungguhnya, yang sanggup arungi gelombang kehidupan menuju pantai kedamaian. yang tiada panas tiada pula dingin.. Perahu adalah jasadmu, layar adalah iktiarmu, kuatkan tiang layarmu. mohon padaNya kekuatan, tuk arungi lautan kehidupan ini. Jangan… perahumu tenggelam, menabrak karang nafsumu, berupa angan-angan dalam akal khayalmu, penyesalanpun tiada arti lagi. Yakinlah padaNya, sesungguhnya hidup dan mati ada dalam genggamannya, bersujud kening cium bumi ketulusan, senantiasa bumi memberi meski dihina dan dicaci, ibu bagi ragaku karena tanah asal daripadaNya. Innalillahi wainnaillaihi rojiun DariMu aku berasal , dariMu aku kembali