Laporan Studi Pustaka (KPM 403) STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PEDESAAN (KASUS PENAMBANG PASIR DI KABUPATEN LEBAK) DEANISA RAHMANI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Strategi Nafkah Rumahtangga Pedesaan (Kasus penambang emas di Kabupaten Lebak”, benarbenar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataa ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Mei 2015 Deanisa Rahmani NIM 134120056 iii ABSTRAK DEANISA RAHMANI. Strategi Nafkah Rumahtangga Pedesaan (Kasus Penambang Pasir di Kabupaten Lebak). Dibawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO Kemiskinan masih menjadi isu sosial di masyarakat.Tidak adanya akses bagi masyarakat dan lemahnya regulasi menjadikan lingkaran kemiskinan masih terus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Lemahnya regulasi juga menjadikan kepemilikan sumberdaya menjadi akses terbuka. Keadaan ini menjadi strategi nafkah sebagai sarana bertahan hidup masyarakat sekitar. Pertambangan sebagai salah satu sektor industri berdampak positif dan negatif bagi masyarakat sekitar kawasan. Sektor ini berdampak sebagai lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat dan sebagai penambah pendapatan daerah. Akses terbuka kawasan pertambangan dan kemiskinan yang dialami masyarakat sekitar kawasan mempengaruhi cara mereka bertahan hidup. Kemiskinan yang dialami masyarakat membuat mereka mencari berbagai cara dalam bertahan hidup termasuk menjadi gurandil (penambang liar) yang bekerja tanpa pengamanan yang jelas. Kehadiran kawasan potensi tambang yang berstatus akses terbuka pun menjadi daya tarik masyarakat mencari lahan pekerjaan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh akses terbuka dan kemiskinan terhadap keberlanjutan strategi nafkah penambang pasir (gurandil). Kata Kunci: Strategi Nafkah, Kemiskinan, Pertambangan, Akses Terbuka ABSTRACT DEANISA RAHMANI. The Strategy of Rural Household Livelihood (Cases Sand Miners in Kabupaten Lebak) Supervised by SOERYO ADIWIBOWO Poverty is still a social issues in society. The absence of access for the community, and the weak regulations make poverty circle are still passed on the next generation. The weakness of the regulation also makes resources ownership become open access. This situation becomes strategy a living as a means of survival of the society. Mining as one of the industrial sector impact of positive and negative for the people around the area. This sector had an impact as new job for the community and addition regional income. Open access mining area and poverty suffered by the area of the community affected the way they survive. Poverty suffered by the community make them find different ways in survive including as gurandil (individual miners) who worked without a clear security. The presence of the potential mine area is open access also be an attraction the community land looking for work. Therefore, this paper will analyze the influence of open access and poverty to sustainability strategy against a living miners sand (gurandil). Keywords: Livelihood, Poverty, Mining, Open access iv STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PEDESAAAN (Kasus Penambang Pasir di kabupaten Lebak) Oleh DEANISA RAHMANI I34120056 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa Nomor Pokok Judul : : : Deanisa Rahmani I34120056 Strategi Nafkah Rumahtangga Pedesaan penambang pasir di Kabupaten Lebak) (Kasus dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui Dosen Pembimbing Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Dosen Pembimbing Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal pengesahan : vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Strategi Nafkah Rumahtangga Pedesaan (Kasus Penambang Pasir di Kabupaten Lebak)” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Soeryo Adiwibowo sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan selama proses penulisan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tercinta, Ibu Ratna Sari dan Bapak Bambang Wiratmo serta Dwita Indah Sari dan Rizki Gencar Prakarsa, adik-adik tersayang, yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa bagi kelancaran penulisan Studi Pustaka ini. Penulis juga sampaikan terima kasih kepada Naufal Rahardi yang telah memberikan dukungan dan motivasi selama penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini, keluarga besar SKPM terutama teman-teman SKPM 49, teman-teman akselerasi 49 dan temanteman yang namanya tidak bisa disebutkan satu per satu sebagai teman berdiskusi, saling bertukar pikiran, membantu dan memotivasi penulis dalam penulisan dan penyelesaian Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Mei 2015 Deanisa Rahmani NIM. I34110056 vii DAFTAR ISI PERNYATAAN ............................................................................................................... ii ABSTRAK ....................................................................................................................... iii HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... iv LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................................. v PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 3 Metode Penulisan .......................................................................................................... 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ................................................................... 4 1. Judul : Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor .......................................... 4 2. Judul : Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan6 3. Judul : Latar Belakang Masyarakat Desa Songan, Kintamani, Bangli Bali Memilih Pekerjaan Sebagai Penggali Pasir................................................................... 8 4. Judul : Interaksi Sosial Antar Penambang Pasir di Situbondo.......................... 10 5. Judul : Menuju Pembangunan Berkelanjutan: Pertambangan Sebagai Aset bangsa .......................................................................................................................... 11 6. Judul : Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi jawa Tengah) ............................................................................................................... 13 7. Judul : Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumahtangga Miskin di Daerah Pesisir...........................................................................................................................15 8. Judul : Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing : Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung ............................................................................................. 17 9. Judul : Model Nafkah dan Pemenuhan Kebutuhan Pangan Keluarga Petani Miskin di Hutan Jati (Kasus: Enam Desa di Kabupaten Blora) ................................. 19 10. Judul : Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Berapi ......................................... 21 11. Judul : Menengok Kriteria Kemiskinan di Indonesia: Menimbang Indikator Kemiskinan Berbasis hak ............................................................................................ 22 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 24 viii Kemiskinan ................................................................................................................. 24 Konsep Strategi Nafkah .............................................................................................. 26 Pertambangan dan Fenomena Akses Terbuka ............................................................ 28 SIMPULAN .................................................................................................................... 29 Usulan Kerangka Analisis Baru .................................................................................. 30 Pertanyaan Penelitian .................................................................................................. 32 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 32 LAMPIRAN.................................................................................................................... 34 Riwayat Hidup ............................................................................................................ 34 ix DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Mobilisasi Modal dan Sumberdaya Manusia (SDM) Pedesaan di Dua Basis Nafkah pada Mahzab Bogor............................................................................................26 Gambar 2. Kerangka Pemikiran......................................................................................32 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan isu yang sampai saat ini menjadi sorotan dalam pembangunan Indonesia. Sumarti (2007) menjelaskan bahwa kemiskinan dianggap sebagai ketiadaan akses pada masyarakat petani akibat intervensi kelembagaan. Dharmawan (2007) mengungkapkan kemiskinan dalam sosiologi nafkah mazhab Bogor disebut “jebakan kemiskinan” (poverty trap) dan sulitnya kaum miskin untuk melepaskan diri dari perangkap-perangkap struktural. Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat merupakan akibat dari norma yang tidak memihak kepada masyarakat marginal. Sehingga mereka berputar pada lingkaran kemiskinan yang diwariskan kepada anak cucu mereka. Hal ini berkorelasi dengan pengadaan dan strategi nafkah masyarakat miskin untuk dapat survive di lingkungannya. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya mineral. Salah satu diantaranya adalah pasir. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Pada ayat 6 dijelaskan bahwa Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni: Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital). Bahan Golongan A merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan plutonium. Sementara, Bahan Golongan B dapat menjamin hidup orang banyak, contohnya emas, perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir, marmer, batu kapur, tanah liat dan asbes. Sehingga pasir adalah termasuk bahan golongan C. Sembiring (2006) menyatakan bahwa Kekayaan sumber daya mineral menyebabkan industri pertambangan menjadi salah satu sektor yang mempunyai peranan penting bagi Indonesia. Industri ini merupakan penyedia pendapatan ekspor, kegiatan perekonomian dan lapangan kerja yang substabsial serta mendukung pembangunan daerah. Hasil pertambangan menyumbang sekitar tiga persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Yudhistira (2011) mengatakan bahwa Kegiatan pertambangan pasir menimbulkan berbagai dampak bagi lingkungan sekitar, baik lingkungan sosial, ekonomi, maupun ekologi. Kegiatan Sektor pertambangan selain sebagai sumber devisa, juga dapat 2 menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar sehingga akan berdampak positif dalam pembukaan lapangan kerja untuk masyarakat. Dharmawan (2007) menjelaskan dalam sosiologi nafkah, konsep strategi nafkah lebih mengarah kepada livelihood strategy. Pengertian livelihood strategy yang disamakan menjadi strategi nafkah (dalam bahasa indonesia) memiliki makna yang lebih besar dari sekedar aktivitas mencari nafkah belaka, namun ada keterkaitan sistem sosial dan sumberdaya dalam proses aktivitasnya. Proses ini dapat dilihat melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif sebagai jejaring strategi nafkah yang dibangun oleh setiap individu ataupun rumahtangga ketika membangun strategi bertahan hidup. Sebagai strategi untuk membangun sistem penghidupan, strategi nafkah merupakan taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Pada Mazhab Bogor, strategi nafkah selalu merujuk pada pertanian dalam arti luas. Dalam posisi sistem nafkah tersebut, basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non pertanian. Data BPS menunjukan, pada tahun 2012, jumlah pekerja tambang mencapai 1.615.563 jiwa pada bulan februari, dan 1.602.706 jiwa pada bulan agustus. Pada tahun 2014, jumlah pekerja tambang menjadi 1.623.109 jiwa pada bulan februari dan 1.436.370 jiwa pada bulan agustus . Angka ini merupakan jumlah mata pencaharian utama masyarakat diatas umur 15 tahun pada sektor pertambangan. Dan pada tahun 2012 produksi pasir besi Indonesia mencapai 11.245.752 ton. Dharmawan (2001) juga menambahkan dalam Wasito (2011) ada dua jenis strategi nafkah keluarga petani, yaitu, (a) normatif, kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial ekonomi, seperti kegiatan produksi, migrasi, strategi subtitusi, disebut juga “peacefull ways” karena sesuai dengan norma yang berlaku; dan (b) ilegal, kategori tindakan negatif yang melanggar hukum, disebut juga “non-peacefull ways” karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Sehingga Pertambangan ilegal adalah pertambangan yang dilakukan karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Zulkarnain, (2013)1 Mengatakan bahwa pertambangan ilegal adalah penambangan atau penggalian yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin dan tidak menggunakan prinsip-prinsip penambangan yang baik dan benar (Good Mining Practice) Pertambangan ilegal, lebih tepatnya penggalian ilegal pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan peralatan yang sederhana, tidak berizin, tidak berwawasan lingkungan dan keselamatan serta melibatkan pemodal dan pedagang. Pada 1 Disampaikan pada diskusi: Pertambangan Ilegal di Indonesia dan Tantangannya Menuju Ekonomi ASEAN oleh Iskandar Zulkarnain, PhD. (Peneliti senior di LIPI) pada tanggal 19 Agustus 2013 di Jakarta. Di publikasikan oleh IESR (Institute for Essential Services Reform): http://www.iesr.or.id/2013/08/diskusipertambangan-ilegal-di-indonesia-dan-tantangannya-menuju-ekonomi-asean/ 3 kasus tertentu terdapat juga pertambangan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan 2. Padahal, menurut UU No.4 Tahun 2009 pasal 10 menjelaskan mengenai Izin Penambangan Rakyat (IPR) yang berbunyi, Izin Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut IPR adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat yang luas wilayah dan investasi terbatas. Kabupaten Lebak merupakan salah satu wilayah dengan potensi pertambangan yang siaga penambangan ilegal didasarkan atas adanya akses terbuka sumberdaya. Akses terbuka adalah Sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun. Properti bebas diakses oleh siapapun (non-excludable) dan diperoleh dengan bersaing. Tidak ada regulasi yang mengatur, atau regulasi tidak efektif mengatur, atau hak-hak kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas. Hak akses menurut Schlager dan Ostrom (1992) merujuk pada hak untuk memasuki kawasan tertentu. Pemakaian, atau pemanfaatan, berarti hak untuk memperoleh sumberdaya seperti kayu, kayu bakar, atau hasil hutan lainnya, dan mengambilnya dari hutan; termasuk menggembalakkan ternak. Fenomena-fenomena akses terbuka di kabupaten lebak menajdikan penggambaran kemiskinan dan adanya akses terbuka menarik masyarakat untuk melakukan strategi nafkah sebagai gurandil. Sehingga berdasarkan pemaparan tersebut, menjadi penting bagi penulis untuk menganalisis pengaruh akses terbuka dan kemiskinan terhadap keberlanjutan strategi nafkah penambang pasir (gurandil). Tujuan Penulisan Penulisan laporan Studi Pustaka dengan judul “Strategi Nafkah Rumahtangga Pedesaan (Kasus Penambang Pasir Liar di Kabupaten Lebak)” memiliki tujuan untuk : (1) Mengidentifikasi seberapa jauh pengaruh fenomena akses terbuka bahan tambang dan kemiskinan mempengaruhi strategi nafkah? ; (2) Menganalisis strategi nafkah penambang pasir di Kabupaten Lebak. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan Studi Pustaka ini adalah metode pengumpulan data dan literatur sekunder. Data dan literatur ini berasal dari buku, artikel ilmiah, jurnal ilmiah, tesis dan disertasi. Data dan literatur yang didapatkan selanjutnya diringkas dan dianalisis sehingga yang disajikan dalam laporan ini adalah esensi dari tulisan-tulisan data dan literatur sekunder. Selanjutnya penulis akan melakukan sintesis terhadap hasil temuan data dan literatur sekunder yang relevan terhadap topik kajian yang penulis teliti, kemudian disusun dan disajikan dalam bentuk tulisan ilmiah. 2 Materi Diskusi Pertambangan Ilegal di Indonesia dan Tantangannya Menuju Ekonomi ASEAN oleh Iskandar Zulkarnain, PhD; link: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&uact=8&ved=0CE0Q FjAI&url=http%3A%2F%2Fiesr.or.id%2Ffiles%2FPertambangan%2520Ilegal%2520di%2520Indonesia. pdf&ei=NkxNVaqHLMzc8AX44oFY&usg=AFQjCNG5KPWQ4htBJlkd4Ux8dP9_I8fPg&sig2=wtEVeiSYqsl3vKZc42jXEA&bvm=bv.92885102,d.dGc 4 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul Tahun : Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor : 2007 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Arya Hadi Dharmawan Nama Jurnal : Jurnal Sodality Volume (edisi) : Volume 1 No.2 Alamat URL : https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5932/4 609 Tanggal diunduh : 05 Mei 2015 Ringkasan: Kajian Sajogyo dan para muridnya selalu mengungkapkan gambaran nafkah yang senantiasa berakhir dengan kesimpulan yang serupa yaitu, sistem nafkah yang pekat dengan dimensi keterbelengguan struktural serta ketidakberdayaan lapisan miskin serta faktor-faktor kelembagaan modern yang tidak mendukung. Dalam kondisi yang demikian, betapapun sophisticated-nya sebuah strategi-adaptif nafkah yang telah dibangun oleh petani, pada akhirnya rumahtangga mereka seringkali kembali terjebak pada “kubangan kemiskinan” yang sama dan berulang. Berbeda dengan mazhab Barat, Sajogyo dan para muridnya, sejauh ini menawarkan pembelaan terhadap ekonomi kecil dan akses terhadap livelihood resources (terutama tanah dan modal) yang adil sebagai solusinya. Artinya, sistem penghidupan pedesaan dikembangkan dengan tetap bertumpu pada sistem ekonomi konvensional Pada mazhab Bogor, sosiologi penghidupan atau sosiologi nafkah (livelihood sociology) didefinisikan secara sederhana sebagai “studi tentang keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial dengan sistem penghidupannya (livelihood, social system and source of living)”. Sebagai sebuah disiplin, sosiologi nafkah dimaknai sebagai “suatu pendekatan yang memungkinkan seseorang dapat memahami cara-cara atau mekanisme yang dibangun oleh individu, rumahtangga ataupun komunitas dalam mempertahankan eksistensi kehidupannya sesuai dengan setting sosial, ekonomi, ekologi, budaya, dan konstelasi politik khas di suatu kawasan”. Dinamika hubungan sosial pedesaan terbangun menjadi struktur sosial yang mantap sebagai akibat terbentuknya jejaring strategi nafkah yang diterapkan oleh setiap individu ataupun rumahtangga ketika mereka membangun strategi bertahan hidup. 5 Pada mazhab ini juga, strategi penghidupan dan nafkah pedesaan dibangun selalu menunjuk ke sektor pertanian (dalam arti luas). Dalam posisi sistem nafkah yang demikian basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan non-pertanian. Karakteristik ini dicirikan dengan bekerjanya kedua sektor ekonomi tersebut, juga ditentukan oleh sosial-budaya setempat. Terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh petani kecil dan rumahtangganya. Ketiga elemen tersebut adalah: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma sosial yang berlaku), (2) struktur sosial (setting lapisan sosial, struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), (3) Supra-struktur sosial (setting ideologi, etikamoral ekonomi, dan sistem nilai yang berlaku). Dua basis nafkah tersebut menyebabkan keterlekatan yang khas. Setiap lapisan menggandakan kegiatan ekonominya di kedua sektor tersebut. Dalam memanfaatkan peluang nafkah, setiap individu atau rumahtangga “memainkan” kombinasi “modal-keras” (tanah, finansial dan fisik) dan “modal-lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan suberdaya manusia (SDM) yang tersedia, untuk menghasilkan sejumlah strategi penghidupan (livelihood strategies). Posisi mazhab Bogor sangatlah jelas, yaitu bahwa penghidupan dan kemiskinan sangat pekat diwarnai oleh bekerjanya struktur-struktur sosial yang membelenggu petani. Keterlibatan pemikiran akademik mazhab Bogor yang mendalam pada pemahaman struktural atas persoalan nafkah dan kemiskinan, telah mengantarkannya pada tawaran-tawaran penyelesaian sosial-ekonomi yang unconventional. Sajogyo dan para muridnya tidak larut dalam pemikiran arus-utama modernisasi model struktural-fungsionalisme dan incentive behaviorism, yang mengisolasi solusi pembaharuan sikap-perilaku, kelembagaan, tata-aturan, dan insentif ekonomi (ala penganut neo-classical economics), serta stimulan-ekonomi untuk keluar dari kemiskinan sebagai solusi tunggal. Namun, mazhab Bogor lebih memilih cara penataan ulang dan pemaknaan keberadaan kelembagaan, dekonstruksi struktur-struktur yang membelenggu petani kecil, serta penyediaan platform yang memadai bagi orangmiskin unruk keluar dari masalah yang dihadapinya melalui kekuatan asli-lokal. pendekatan advokasional (bukan coercion) serta penyadaran terhadap peta-masalah, menjadi cara yang dipilih untuk menemani petani-miskin menapak keluar dari jebakan kemiskinan struktural itu. Mazhab bogor lebih memahami sistem nafkah (kumpulan strategi nafkah) sebagai respon adaptif-reaktif masyarakat atas tekanan perubahan struktur ekonomi dan institusional yang membelenggu sistem penghidupan mereka. Sementara itu, mazhab barat memandang sistem penghidupan dan nafkah pedesaan dalam setting dinamika sosio-ekologis suatu ekosistem. Dalam setting tersebut sub-sistem sosial dan sub-sistem ekologis suatu ekosistem memungkinkan tersedianya pilihan-pilihan strategi nafkah bagi petani. Sehingga strategi nafkah yang terbangun akan sangat ditentukan oleh bagaimana petani dan rumahtangganya “memainkan” kombinasi-kombinasi sumberdaya nafkah (livelihood resourcesss) yang tersedia bagi mereka. Terdapat lima jenis livelihood resources yang bisa dimanfaatkan untuk bertahan hidup atau sekedar untuk menghadapi krisis ekonomi serta mengembangkan derajat kesejahteraan rumahtangga petani, yaitu: (1) financial capital, (2) physical capital, (3) natural capital, (4) human capital, (5) social capital. Interaksi antara sistem sosial dan sistem ekologi sangat menentukan sumber nafkah yang tersedia bagi petani dan rumahtangganya pada suatu kawasan. Perubahan sosial dan 6 perubahan ekologi yang terjadi pada kedua sistem akan menentukan kombinasi pilihan pemanfaatan jenis kapital yang tersedia pada masing-masing petani dan rumahtangganya. Sebuah sistem nafkah yang lestari dalam pandangan mazhab barat bukan berarti statis, namun tetap dalam batasan toleransi yang memungkinkan individu dan kelompok masyarakat menjalankan sistem kehidupannya hingga melintas generasi. Pemilihan strategi nafkah sangat ditentukan oleh rasionalisme yang dianut oleh aktornafkah dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Analisis: Tujuan penulisan jurnal ini adalah untuk membandingkan antara mazhab bogor yaitu berpegang kepada gagasan Prof. Sajogyo dan para muridnya dan mazhab barat, berpegang pada Sussex (Chambers and Conyway, de Haan, Bebbington and Batterbury, Scoones, Elis) dalam hal sosiologi nafkah atau livelihood strategie. Mazhab Bogor melihat sosiologi nafkah sebagai hubungan antara manusia, sistem sosial dengan sistem penghidupannya atau sumberdaya, sehingga membentuk jejaring nafkah yang terstruktur. Sementara mazhab barat melihat strategi nafkah sebagai hubungan antara ketersediaan sumberdaya dan rasionalitas aktor. Mazhab Bogor melihat diversifikasi pekerjaan terjadi karena perubahan sosial lewat perubahan struktur agraria, sedangkan Mazhab Barat melihat diversifikasi pekerjaan karena perubahan ekosistem yang memaksa masyarakat lokal untuk melakukan adaptasi cara hidup secara radikal. Basis teori yang digunakan Mazhab Bogor adalah Teori Konflik, dan basis teori pada Mazhab Barat adalah Teori Pilihan Rasional. Tulisan ini dijelaskan dengan sangat rinci berikut tabel dan gambar yang dapat memudahkan pembaca untuk memahami maksud tulisan. 2. Judul Tahun : Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan : 2007 Jenis Pustaka : Jurnal Bentuk Pustaka : Elektronik Nama Penulis : Titik Sumarti Nama Jurnal : Jurnal Sodality Volume (edisi) halaman : Volume 1 No.2 Alamat URL Tanggal diunduh : http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/vie wArticle/5930 : 10 Mei 2015 7 Ringkasan: Dampak ekonomi akibat krisis moneter yang diikuti dengan krisis ekonomi dan politik (kepercayaan) telah membawa Indonesia pada ledakan pengangguran, daya beli untuk memenuhi kebutuhan hidup (pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan) menurun, jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan meningkat tajam. Begitu pula dengan Dampak sosial yang terjadi akibat krisis tersebut. Bersumber pada krisis moral dan nilai-nilai luhur bangsa, adanya disintegrasi sosial, terlihat dari adanya peningkatan kesenjangan sosial antara golongan kaya dan golongan miskin, serta peningkatan kriminalitas. Dampak ekologi yang terjadi pada perkebunan rakyat pasca krisis moneter adalah semakin terlantarnya pengelolaan sumberdaya alam (lahan) oleh petani. Hal ini sebagai hasil interaksi dengan kekuatan “supra desa” yang bekerja atas dasar kekuatan pasar, dimana sebagian petani lapisan atas dan pedagang kemudian mendapat keuntungan dan disisi lain sebagian besar lainnya (terutama petani kecil dan buruh petani) menjadi semakin miskin. Pada kasus perkebunan kelapa rakyat di wilayah Indragiri Hilir (inhil) dan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kampar, Kemiskinan dianggap sebagai ketiadaan akses pada masyarakat petani akibat berlakunya sistem pasar pasca krisis moneter. Masuknya pabrik minyak sebagai kelembagaan disana, yang pada akhirnya bekerja sama dengan para tauke (pengumpul) yang menjadi kelembagaan lokal, menjadikan sistem pasar yang berlaku adalah sistem monopoli dan ketergantungan petani terhadap tauke dan pabrik minyak. Kelembagaan formal dan lokal tersebut melakukan intervensi pasar, dan sistem patronase yang telah mengakar, sementara tidak ada kontrol yang signifikan dari pemerintah, mengkondisikan keadaan petani yang semakin tidak berdaya. Hal ini diperparah dengan fluktuasi harga kopra di tingkat petani memperburuk kondisi pengelolaan perkebunan rakyat. Hal ini lah yang mendorong petani untuk mengembangkan strategi nafkah rumahtangga agar dapat bertahan hidup. Kelembagaan patron-klien (hubungan dengan tauke) lebih mendominasi dibandingkan dengan kelembagaan lokal seperti koperasi. Masyarakat lebih percaya untuk meminjam uang, melakukan kredit, dll pada tauke, sehingga kelembagaan lokal belum berjalan secara signifikan untuk meningkatkan taraf hidup petani. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan sosial-budaya diantara mereka sehingga banyak petani yang terikat secara sosial terhadap tauke tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, terdapat keadaaan dimana ketika petani telah melunasi hutangnya kepada tauke, tauke tersebut tidak mau membeli hasil perkebunan petani lagi dan tidak mau memberikan pinjaman lagi. Ikatan antara petani-tauke lebih mengarah kepada ikatan sosial saja, yaitu perasaan aman bagi petani untuk memasarkan hasil produksinya. Sementara kelembagaan formal seperti pabrik minyak, tidak dapat banyak membantu dan malah melakukan intervensi pasar sehingga terjadi monopoli harga. Hal ini membuat para petani semakin ketergantungan terhadap kelembagaan tauke dan pabrik minyak. 8 Strategi adaptasi pada kedua kasus perkebunan kelapa rakyat di wilayah Inhil dan Kampar merupakan strategi nafkah ganda. Masyarakat memiliki alternatif pekerjaan lain selain pada sektor perkebunan. Namun, pola nafkah ganda ini dibedakan antar golongan, yaitu golongan atas, dan golongan bawah. Pada golongan atas di Indragiri Hilir, optimalisasi tenaga kerja: pola nafkah ganda masyarakat dilakukan dalam rangka akumulasi modal. Sedangkan pada lapisan bawahnya, beragam pekerjaan yang dilakukan semata untuk bertahan hidup. Cara pengembangan jaringan dan partisipasi kelembagaan pada kausus perkebunan rakyat Indtagiri Hilir, pada lapisan atas yaitu dengan menanam modal di Tauke, semetara untuk lapisan bawah, dengan memperkuat hubungan patron-client dengan tauke; atau mencari patron client baru. Pada kasus perkebunan rakyat di Kampar, strategi nafkah ganda pada lapisan atas dilakukan dalam rangka akumulasi modal, dan pada lapisan bawah dilakukan untuk bertahan hidup. Cara pengembangan jaringan dan partisipasi kelembagaannya yaitu dengan memperkuat hubungan dalam kelompok tani pada lapisan atas, dan memperkuat hubungan kontraktual dengan petani pemilik (majikan). di kedua tempat tersebut untuk lapisan bawah, pola nafkah ganda juga dilakukan oleh para wanita untuk membantu perekonomian keluarga. Meskipun banyak pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh masyarakat golongan rendah, perkebunan sawit tetap dianggap sebagai pekerjaan pokok karena usaha ini sifatnya menetap dengan gaji tiap bulan. Analisis: Penelitian ini dilakukan di dua wilayah kajian di Provinsi Riau, yaitu di wilayah Inhilir dan Kampar. Dua wilayah dengan komoditi berbeda dan kelembagaan yang berebeda. Pada Inhilir, komoditinya adalah kelapa kopra, sementara pada wilayah Kampar, komoditinya adalah kelapa sawit. Kelembagaannya pun berbeda. Pada wilayah Inhilir, kelembagaan yang ada bersifat patronas (kelembagaan ekonomi lokal), sedangkan pada wilayah Kampar, kelembahaan yang ada yaitu KUD (Koperasi Unit Desa) dan perusahaan ini. Penelitian ini melihat fenomena yang terjadi pada masyarakat yang bekerja di sektor perkebunan manakala intervensi pasar menguat akibat perubahan kelembagaan yang ada. Hal ini menyebabkan menurunnya kesejahteraan ekonomi petani dan meningkatnya kesenjangan lapisan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan beragam teknik mencakup diskusi, dan wawancara mendalam. Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi melalui beragam subyek dan informan, teknik wawancara dan pengamatan. Secara isi, penelitian ini telah rinci menggambarkan bentuk strategi nafkah ganda akibat intervensi pasar pada tiap golongan di masyarakat. Kelembagaan yang berperan juga sudah dijelaskan dengan baik dan rinci terutama kelembagaan patronas (tauke) dan perusahaan, sementara kelembagaan koperasi tidak dijelaskan secara detail bagaimana kinerjanya. 3. Judul Tahun : Latar Belakang Masyarakat Desa Songan, Kintamani, Bangli Bali Memilih Pekerjaan Sebagai Penggali Pasir : 2013 9 Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Jurnal : Elektronik : I Kadek Wira Mahayuna : Jurnal Candra Sangkala : Volume 1 No.1 : http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JCS/article/view/295 : 07 Mei 2015 Ringkasan: Bali adalah daerah agraris. Sistem pertaniannya terkenal dengan sistem subak. Namun, potensi pertambangan menjadi salah satu potensi mata pencaharian dimulai ketika gunung batur mengalami letusan berulang-ulang dari tahun 1804 sampai tahun 2000 sehingga menghasilkan debu-debu vulkanik yang menjadi berkah bagi masyarakat songan karena telah menghasilkan material pasir yang melimpah. Material pasir tersebut digunakan masyarakat untuk membangun rumah dan lain sebagainya, hingga muncul dan berkembangnya usaha penggalian pasir di Desa Songan. Pembukaan lahan galian C di Desa Songan ini di pelopori oleh Bapak Jero Pugeg pada tahun 1990 dan telah memunculkan pekerjaan baru dalam sistem mata pencaharian masyarakat setempat. Usaha pertambangan ini berkembang semakin pesat karena dianggap dengan cepat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Desa Songan, sehingga berdampak pada bergesernya mata pencaharian masyarakat. Menurut hasil penelitian, hal yang melatarbelakangi masyarakat Desa Songan memilih pekerjaan sebagai penambang pasir adalah karena (a) Pertambahan penduduk yang menyebabkan sempitnya lahan pertanian dan tidak memadainya hasil pertanian, jarak waktu yang terlalu jauh antara produksi dengan penerimaan hasil pertanian, hasil penjulan produk pertanian yang tidak sesuai dengan biaya produksi. (b) Tersedianya material pasir yang melimpah dari letusan Gunung Batur. (c) Keadaan ekonomi masyarakat petani Desa Songan tergolong rendah sehingga tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok/kebutuhan sehari-hari. (d) Permintaan pasir untuk pembangunan infrastruktur semakin meningkat. Adapun faktor-faktor yang mendasari pemilihan pekerjaan sebagai penggali pasir yaitu : faktor ekonomi, faktor geografis, faktor pendidikan, dan faktor budaya. Analisis: Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Desa Songan, dengan metode yang digunakan yaitu penelitian pendidikan sejarah. langkah-langkah metode penelitian sejarah di antaranya (1) Heuristik/ (pengumpulan data), meliputi a) Teknik observasi dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap areal penggalian pasir, cara kerja, dan produksi, b) Teknik wawancara dilakukan dengan penggali pasir serta pemilik lahan galian yaitu bapak Jero pugeg, c) Teknik studi pustaka atau dokumen. (2) Kritik Sumber/Verifikasi. (3) Interpretasi/Analisis (4) Historiografi/ penulisan sejarah. Penelitian ini telah mendeskripsikan faktor-faktor yang mendasari pemilihan pekerjaan 10 sebagai penambang pasir, namun tidak dijelaskan secara rinci alasannya. Strategi nafkah penambang pasir pun tidak dijelaskan dengan detail. 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Interaksi Sosial Antar Penambang Pasir di Situbondo : 2013 : Artikel Ilmiah : Elektronik : Siti fatimah, Drs. Sulomo, SU : Artikel Ilmiah Mahasiswa FISIP : : http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/58821 : 03 Mei 2015 Ringkasan: Kawasan pertambangan di Dusun Mandagin, Desa Ketah, Kecamatan Suboh, Kabupaten Situbondo terbentuk akibat banjir yang melanda kawasan pemukiman dan persawahan warga yang terletak dipinggir sungai. Banjir tersebut menghasilkan material pasir, batu pasang, batu kerikil, sehingga oleh masyarakat sekitar, lokasi ini dijadikan sebagai area penambangan pasir. Penambang pasir di Dusun mandagin merupakan penambang laki-laki dan perempuan. Proses pengerjaannya (menambang) digolongkan menjadi 2 bagian yaitu bekerja secara individu dan bekerja secara berkelompok. Adapun di Dusun Mandagin, kelompok penambang dibagi menjadi 3 kelompok. Pertama, terdiri dari antar sesama penambang pasir laki-laki yang jumlah anggotanya antara 2—4 orang. Kedua, antar penambang pasir perempuan jumlah anggota 2 orang. Ketiga, penambang pasir laki-laki dan perempuan jumlah anggota 2 orang. Interaksi antar penambang pasir dicirikan dengan adanya kerjasama antar penambang pasir. Bentuk kerjasama dengan patner kerja, seperti: (a) Memberi pinjaman uang. (b) Pada proses penjualan misalnya adalah: Sopir pengangkut pasir turut andil dalam mempromosikan penjualan pasir warga yang diangkutnya. Kerjasama juga terjadi dalam pemberian informasi, dan pembagian tugas. Penambangan pasir yang dilakukan oleh masyarakat Mandagin ini dilakukan secara berkelompok dan pembagian kerja dibedakan berdasarkan usia, dan modal. Penambang muda mengerjakan pekerjaan yang lebih berat daripada penambang tua. Besarnya modal yang dikeluarkan juga tergantung dari berapa orang yang menggunakan lokasi tersebut, dan biasanya dibayar dengan cara patungan perkelompok. Selain kerjasama, bentuk interaksi antar penambang pasir juga adalah persaingan. Adanya persaingan dalam menarik pelanggan sehingga tiap-tiap penambang berlomba-lomba memberikan potongan harga. Persaingan juga dilakukan ketika mencari konsumen. Para penambang biasanya memberikan uang tips kepada pelanggan untuk mencarikan calon penambang baru, atau meminta supir yang mengangkut pasir untuk sekalian mempromosikan pasir mereka. 11 Konflik yang terjadi pada masyarakat penambang ini sebatas konflik non fisik saja. Seperti tidak saling tegur sapa, saling sindir menyindir. Untuk konflik fisik, biasanya disebabkan oleh penggunaan lahan warga lain tanpa izin. Penyelesaian masalah diusahakan melalui jalur kekeluargaan antara orang-orang yang berkonflik. Namun, jika tetap tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, penyelesaiannya dengan menggunakan bantuan pihak ketiga, yaitu Kepala Desa. Analisis: Tulisan ini merupakan artikel ilmiah yang membahas tentang interaksi antar penambang pasir dalam melakukan pekerjaannya. Dilakukan di Dusun Mandagin dengan metode pengambilan data observasi dan wawancara. Tulisan ini sudah membahas dengan jelas interaksi apa saja yang terjallin antar para penambang ketika mereka bekerja serta konflik dan pemecahan masalahnya. Namun, penulis tidak menjelaskan bentuk dari kawasan pertambangan tersebut. Apakah pertambangan tersebut milik masyarakat yang sah dimata hukum ataukan merupakan penambangan liar. Karena, dari penuturan penulis, kawasan pertambangan tersebut tadinya memang rumah dan sawah penduduk, namun untuk dijadikan kawasan penambangan pasir membutuhkan izin tertulis dari daerah, dalam hal ini kabupaten. 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Menuju Pembangunan Berkelanjutan: Pertambangan Sebagai Aset bangsa : 2006 : Jurnal : Cetak : Simon F. Sembiring : Indonesian Journal for Sustainable Future : Volume 02 No.03 :: 12 Mei 2015 Ringkasan: Kekayaan sumber daya mineral menyebabkan industri pertambangan menjadi salah satu sektor yang mempunyai peranan penting bagi Indonesia. Industri ini merupakan penyedia pendapatan ekspor, kegiatan perekonomian dan lapangan kerja yang substabsial serta mendukung pembangunan daerah. hasil pertambangan menyumbang sekitar tiga persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Namun, sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 dan diberlakukannya kebijakan ekonomi daerah pada tahun 2001, terjadi apa yang dirasakan oleh para pertambangan sebagai suatu ketidakpastian hukum sehingga sanat mempengaruhi iklim investasi di bidang mineral dan batubara. Hal ini antara lain ditandai dengan semakin sedikitnya kegiatan eksplorasi pertambangan disamping makin menurunnya indek kepercayaan berinvestasi dari berbagai badan dunia. Padahal tanpa adanya eksplorasi akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mempertahankan keberlanjutan sektor ini sebagai salah satu 12 sumber daya nasional. Investasi di bidang pertambangan secara umum terkendala oleh beberapa hal, antara lain belum kondusifnya situasi politik dan keamanan, belum pulihnya perekonomian nasional serta masih banyaknya kebijakan-kebijakan yang bersifat sektoral (seperti fiskal, kehutanan maupun kelautan). Dewasa ini, kesan umum yang berkembang di tengah masyarakat tentang pertambangan sangat beragam. Sebagian besar masyarakat belum mengenal pertambangan secara utuh, sehingga persepsi umum masyarakat lebih banyak terbawa dan dipengaruhi oleh pendapat orang atau kalangan dalam masyarakat yang sering menunjukkan sikap penolakan terhadap pertambangan. Ditengah illegal logging (penebangan liar) dan kerusakan lingkungan yang serius, keberadaan pertambangan cenderung di persespsikan secara tidak berimbang sebagai sumber pencemar lingkungan dan pengganggu kelestarian hutan. Pertambangan tidak lagi dilihat secara jernih baik sebagai kebutuhan yang inheren dalam seluruh kehidupan manusia maupun sebagai sumber devisa untuk memelihara keberlanjutan pembangunan. Dari dimensi sosial budaya, kegiatan pertambangan memberikan dampak bagi masyarakat baik secara langsung, maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari keberadaan pertambangan adalah penambahan tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan. Dampak tidak langsung pertambangan dapat dilihat, misalnya di daerah yang telah ada penduduknya terjadi interaksi antara perusahaan dengan masyarakat dalam berbagai bentuk persoalannya. Masyarakat yang telah berada dalam wilayah tersebut lebih dahulu dari industri pertambangan, akan berharap mendapatkan berbagai keuntungan dari keberadaan perusahaan di wilayahnya. Sebaliknya, bila wilayah itu belum didiami penduduk, maka akan terjadi pertumbuhan penduduk di sekitar kawasan tambang tersebut karena munculnya kegiatan ekonomi yang terkait dengan usaha pertambangan. Interaksi ini akan melahirkan berbagai persoalan ekonomi, sosial dan budaya kepada masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitar kegiatan operasinya. Di dalam sektor pertambangan sendiri, keberlanjutan lingkungan dilakukan melalui implementasi good mining practices (praktek penambangan yang baik) dan pollution prevention principle (prinsip pencegahan polusi). Oleh karena itu, ekspolitasi sumberdaya mineral haruslah difokuskan untuk membangun human capital (modal manusia), build capital (modal pembangunan) dan social capital (modal sosial) secara berimbang sehingga modal ini kemudian dapat dikonversi kedalam bentuk penciptaan atau penguasaan teknologi. Pemanfaatan hasil tambang juga hendaknya dilakukan secara transparan untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Birokrasi pemerintahan juga turut andil dalam meningkatkan citra positif investasi tambang. Birokrasi pemerintahan ini mempunyai kaitan dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, dan bertanggung jawab. Selain itu, menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan membuat tarif pajak yang bersaing dengan negara lain juga menjadi hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan citra posistif investasi tambang. Hal ini disempurnakan dengan disempurnakannya peraturan perundang-undangan 13 tentang pertambangan mineral dan batubara agar meminimalisir tumpang tindih kewenangan dari tiap-tiap sektor yang mengurusi pengelolaan sumberdaya alam. Analisis: Tulisan ini merupakan pemikiran yang dituangkan penulis mengenai kondisi pertambangan di Indonesia. Persepsi masyarakat atau sebagian mengenai kawasan dan izin pertambangan yang “dianggap” merusak akibat maraknya illegal logging yang terjadi menurut penulis perlu ditinjau ulang. Pertambangan untuk pembangunan indonesia perlu untuk tetap dilaksanakan namun dalam batas koridor good mining practices (praktek penambangan yang baik) dan pollution prevention principle (prinsip pencegahan polusi) yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan. Eksploitasi sumberdaya mineral harus difokuskan untuk membangun human capital (modal manusia), build capital (modal pembangunan), dan social capital (modal sosial) secara seimbang. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi jawa Tengah) : 2012 : Jurnal : Cetak : Turasih dan Soeryo Adiwibowo : Sodality : Volume 06 No.02 ::- Ringkasan: Penelitian ini dilakukan di dataran tinggi Dieng. Suatu wilayah dengan produksi pertanian kentang terluas se-Jawa Tengah. Rumahtangga petani kentang menerapkan strategi nafkah yang berbeda antara satu dengan lainnya tergantung dari sumberdaya yang dimiliki. Selain itu, penerapan strategi nafkah tersebut juga tergantung dari seberapa besar kendala yang dihadapi oleh petani. Kentang telah membuat perekonomian masyarakat terangkat. Tidak hanya yang memiliki lahan, warga yang tidak mempunyai lahan pun bisa menikmati hasil umbi-umbian itu sebagai penggarap lahan. Petani juga tidak perlu menjual kentangnya ke kota secara langsung, karena terdapat rantai jejaring nafkah untuk dikumpulkan kepada pengumpul. Bentuk-bentuk strategi nafkah pada rumahtangga petani kentang diantaranya adalah: (1) Strategi intensifikasi lahan. Pertanian kentang di lokasi dataran tinggi Dieng dilakukan secara komersial. Selain kentang, ada juga petani yang menanam komoditas lain seperti kobis, koncang (bawang daun), cabe bandung, dan sebagian menanam kacang dieng. Namun kentang tetap menjadi primadona dalam strategi bertahan hidup 14 petani. (2) Strategi diversivikasi sumber nafkah. Pilihan nafkah di sektor non pertanian ini dilakukan sebagai cara memperoleh penghasilan tambahan di luar usahatani kentang. Strategi nafkah yang diandalkan adalah sebagai pedagang pulsa, pedagang makanan, pedagan pakaian, kusir dokar, menjadi makelar kentang dan pedagang sayur borongan, serta membuka warung untuk kebutuhan sehari-hari. Strategi nafkah non-farm ini dilakukan baik oleh anggota rumahtangga laki-laki maupun perempuan. Pada saat krisis, beberapa dari rumahtangga petani kentang akan melakukan hutang untuk modal pertanian dari petani kaya. Berdasarkan penguasaan lahan, petani dengan lahan garapan sempit memiliki kecenderungan untuk menerapkan strategi nafkah di luar sektor pertanian guna mendapatkan penghasilan tambahan. Hal ini biasanya dilakukan oleh para perempuan atau istri. Penguasaan lahan yang diakui juga bukan hanya kepemilikan lahan saja, tetapi juga bisa sewa lahan. Pendapatan yang diperoleh petani dari pertanian kentang tergantung dari luas lahan yang digarapnya. Semakin luas lahan yang digarapnya, maka pendapatan semakin tinggi jika tidak terjadi gagal panen. Semakin luas lahan pertanian yang digarap oleh petani juga akan menyebablan kontribusi pendapatan dari sektor lain semakin sedikit. Sebaliknya, dengan lahan garapan yang semakin sempit makan petani berusaha untuk mendapatkan penghasilan dari sektor lain. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa semakin miskin kehidupan petani, maka strategi nafkah yang dipilih akan semakin rumit. Aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat membentuk pola kebudayaan tersendiri yang tidak sekedar menjadi rutinitas namun berpengaruh terhadap banyak aspek bagi kehidupan petani. Terutama di aspek ekonomi, sektor ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja dan memperoleh penghasilan. Namun demikian, jika menitikberatkan pada aspek ekonomi saja, makan akan ada yang dikorbankan seperti keberlanjutan lingkungan, hubungan sosial, serta kelembagaan. Sedangkan sistem nafkah berkelanjutan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh beberapa aspek sekaligus. Berdasarkan Cambell et al. (2003) dan Shivakoti dan Shrestha dalam Mahdi et al. (2009) menjelaskan bahwa terdapat 4 aspek yang bisa dijadikan sebagai indikator sistem nafkah yang berkelanjutan taitu aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Analisis: Penelitian ini bertujuan untuk melihat strategi nafkah petani kentang, dna mengetahui sejauh mana pertanian kentang dapat membangun sistem nafkah yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitaif yang dikombinasikan dengan penelitian kualitatif. Penelitian ini juga mengambil sampel secara acak karena unit analisisnya adalah rumahtangga yang homogen bermata pencaharian sebagai petani kentang. Secara umum, penelitian ini sudah menjabarkan kehidupan dan strategi nafkah petani kentang dan sudah dapat menjelaskan aspek-aspek indikator sistem nafkah yang berkelanjutan dari berbagai aspek di masyarakat selain aspek ekonomi semata. 15 7. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Strategi Nafkah Berkelanjutan Bagi Rumahtangga Miskin di Daerah Pesisir : 2011 : Jurnal : Elektronik : Slamet Widodo : Sosial Humaniora : Volume 15 No.1 : http://journal.ui.ac.id/humanities/article/view/890 : 12 Mei 2015 Ringkasan: Penelitian ini dilakukan di Desa Kwanyar Barat termasuk dalam wilayah Desa Kwanyar, Kecamatan Kwanyar, Kabupaten Bangkalan, Provinsi jawa Timur. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Kwanyar adalah sebagai nelayan. Nelayan Kwanyar Barat masih menggunakan teknik penangkapan ikan secara tradisional, dan dalam pengamatan lapang menunjukkan masih sederhananya armada tangkap dan alat tangkap yang digunakan. Secara geografis, wilayah tangkap nelayan Kwanyar Barat berada di selat Madura yang relatif sempit karena berhadapan dengan perkampungan nelayan daerah lain. Persinggungan wilayah tangkap ini menyebabkan persaingan dalam penangkapan ikan sangat tinggi bahlan sering menimbulkan konflik. Hasil tangkapan ikan biasanya dijual langsung kepada para pedagang lokal (bakol). Mereka juga biasanya menjual kembali ikan hasil tangkapan mereka pada beberapa pasar di sekitar Kwanyar Barat. Selain itu, ikan-ikan tersebut juga diawetkan dalam bentuk ikan asin, dan beberapa dari ikan hasil tangkapan tersebut mereka konsumsi sendiri. Usaha pengawetan ikan asin ini dilakukan secara berkelompok. Selain itu, pada masyarakat Desa Kwanyar juga terdapat usaha-usaha lain yang bergerak dibidang jasa seperti bengkel, sablon, konveksi dan lain sebagainya. hampir semua usaha produktif di Kwanyar Barat merupakan usaha mikro dengan jumlah tenaga kerja tidak lebih dari 10 orang. Faktor-faktor penyebab kemiskinan di Kwanyar Barat adalah rendahnya akses terhadap modal terutama modal finansial, yang dicirikan oleh rendahnya pendapatan dan cenderung tidak menentu setiap saat. Rendahnya pendapatan ini berujung pada sulitnya mengakses pendidikan dan kesehatan yang layak. Rendahnya pendidikan juga menyebabkan lemahnya daya saing rumahtangga miskin dalam memperebutkan peluang pekerjaan yang lebih layak secara ekonomi. Selain itu, tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan kemampuan untuk melakukan akumulasi modal menjadi sangat terbatas. Akses terhadap modal bagi rumahtangga miskin di Kwanyar Barat juga rendah. Akses pendapatan seluruhnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga. Rendahnya tingkat pendapatan ini mengakibatkan rendahnya peluang untuk melakukan investasi. Meskipun terdapat lembaga pengkreditan yang memungkinkan rumahtangga miskin memperoleh kesempatan meangkses modal, 16 namun tidak digunakan dengan baik karena sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi. Akses mendapatkan modal dilakukan dengan memanfaatkan kekerabatan yang ada. Kualitas modal manusia di Kwanyar barat juga masih rendah. Mengingat tingkat pendidikan yang masih terbatas serta tidak dimilikinya keterampilan kerja yang memadai menyebabkan tenaga kerja tidak bisa mengakses peluang kerja yang lebih layak. Secara kuantitas, modal manusia yang tersedia sangat besar. Keadaan ini membuat rumahtangga mengambil strategi nafkah dengan memanfaatkan tenaga kerja dalam rumahtangganya. Modal fisik yang tersedia tidak efisien untuk diusahakan sehingga banyak nelayan miskin yang menjual modal fisiknya seperti perahu dengan harga yang murah. Srategi nafkah yang diterapkan oleh rumahtangga nelayan miskin di Kwanyar Barat dibedakan menjadi dua macam, yaitu strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi yang digunakan berupa pola nafkah ganda, optimalisasi tenaga kerja rumahtangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial berupa pemanfaatan lembaga kesejahteraan lokal dan jejaring sosial seperti kekerabatan, pertetanggaan dan perkawinan. Pemanfaatan tenaga kerja dalam rumahtangga menjadi salah satu strategi ekonomi yang dilakukan oleh rumahtangga miskin. Anggota rumahtangga berjenis kelamin laki-laki, utanmanya mereka yang sudah dewasa cenderung terlibat dalam kegiatan penangkapan. Sedangkan yang masih anak-anak keterlibatannya terbatas pada memilih ikan hasil tangkapan, menarik perahu hingga memperbaiki jaring. Anggota rumahtangga perempuan terlibat dalam penjualan hasil tangkapan ikan. Strategi nafkah yang dominan dilaksanakan adalah migrasi. Rendahnya pendapatan sebagai nelayan membuat masyarakat nelayan miskin khususnya pemuda untuk bermigrasi ke kota-kota besar. Selain itu daya tarik kehidupan kota kiga masih menjadi salah satu pendorong terjadinya migrasi. Migrasi ini dilakukan secara berkelompok berdasarkan kekerabatan atau hubungan sosial yang lain. Migrasi internasional tidak lagi menjadi pilihan bagi rumahtangga miskin akibat dari cerita kegagalan dan penderitaan yang dialami oleh TKI/TKW di luar negeri menyebabkan mereka lebih senang bermigrasi ke kora-kota besar karena relatif lebih aman dan lebih dekat dari tanah kelahiran. Strategi sosial dengan menggunakan kelembagaan tradisional tampak pada saat rumahtangga miskin melangsungkan hajatan. Hajatan yang dilakukan seperti pernikahan dan khitanan. Walaupun harus mengeluarkan biaya yang besar, hal ini tidak menimbulkan masalah bagi rumahtangga miskin karena semua buaya yang dikeluarkan dapat dipastikan kembali dari hasil uang sumbangan dari para undangan, bahlan tak jarang terdapat sisa uang. Hal ini bisa terjadi karena telah melembaga sebuah nilai untuk saling membantu dalam pelaksanaan hajaran. Setiap warga berkewajiban untuk menyumbangkan uang atau barang apabila ada warga yang akan melaksanakan hajatan. Strategi sosial yang dilakukan juga berupa tukar menukar tenaga kerja, saling tukar menukar informasi tentang peluang pekerjaan, sepertiinformasi peluang atau ajakan bermigrasi yang biasanya datang dari kerabat. Berhutang juga merupakan salah satu strategi nafkah sosial yang dilakukan masyarakat. Sistem hutang ini dikontrol dengan kelembagaan yang ada di Desa, seperti dikucilkan 17 dan dijadikan pergunjingan, serta tidak diberi kepercayaan lagi untuk menghutang di kemudian hari. Strategi nafkah berkelanjutan dilakukan dengan pemanfaatan modal sosial. Modal sosial dapat dirupakan dalam bentuk pemanfaatan ikatan sosial, lembaga kesejahteraan tradisional maupun pila-pola transaksi sosial yang telah melembaga di masyarakat. Kunci utama dari modal sosial adalah adanya rasa percaya (trust) yang tinggi antar warga. Stratefi nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga miskin di Kwanyar Barat sangat kental sekali dengan pemanfaatan modal sosial sehingga kekuatan ini perlu dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan akses terhadap modal lainnya, seperti modal finansial, modal fisik, modal alam dan modal manusia. Pembentukan lembaga keuangan mikro juga merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan warga dalam catatan terdap rasa saling percaya diantara mereka. Peran perempuan juga mejadi salah satu harapan dalam pengembangan strategi nafkah berkelanjutan. Analisis: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab kemiskinan, strategi nafkah yang dijalankan oleh rumahtangga miskin serta menyususn strategi nafkah berkelanjutan berdasarkan kondisi yang ada di masyarakat. Metode pengambilan datanya dengan wawancara, PRA, FGD, dan pengamatan berpartisipasi dengan melibatkan rumahtangga pertanian. Kemudian data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli-November tahun 2010 ini mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan yang terjadi di Desa Kwaran Barat disebabkan oleh akses yang terbatas terhadap modal dinansial yang menyebabkan nelayan tidak dapat mengakses modal fisik. Penulisan penelitian ini dilakukan dengan runut sehingga memudahkan pembaca. Namun, penulis tidak mencantumkan jumlah responden yang diambil dalam penelitiannya. 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing : Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung : 2010 : Jurnal : Elektronik : W Widiyanto, Arya Hadi Dharmawan, Nuraini W : Sosiologi Pedesaan : Volume 04 No.1 : http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view /5851/4516 : 12 Mei 2015 18 Ringkasan: Secara historis, tembakau sudah memperoleh perhatian yang besar sebagai komoditi komersial (high value commodity), tembakau juga menjadi komoditas ekspor sehingga menjadi tanaman komersial dan berbasis pasar. Pertanian tembakau masih menjadi tumpuan kehidupan bagi sebagian besar petani. Pada petani tembakau berhadapan dengan beberapa resiko, yaitu: pertama, karena tembakau merupakan tanaman bebas yang diusahakan dan diperdagangkan tanpa campur tangan desa, sehingga petani berhubungan langsung dengan pasar, akibatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga yang juga dipengaruhi oleh beberapa aktor mulai dari tengkulak/juragan, grader, hingga pabrik. Kedua, pertanian tembakau juga sangat rentan terhadap perubahan cuaca dan musim. Pada sisi yang lain, luas lahan pertanian sebagai basis kehidupan utama semakin terfragmentasi karena diwariskan kepada generasi berikutnya. Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai resiko tersebut, rumahtangga petani akan mengelola struktur nafkah sehingga meminimalkan resiko, tergantung kepada sumberdaya yang dimiliki. Berbagai sumberdaya akan dikombinasikan sehingga akan membentuk strategi nafkah tertentu. Strategi tersebut dilandasi oleh berbagai etika moral ekonomi nafkah baik pada level inididu, rumahtangga, hingga komunitas. Apabila etika sosial-kolektif merupakan landasan moralnya maka lebih banyak rumahtangga petani akan memanfaatkan modal sosial sebagai faktor penting dalam membangun sistem nafkahnya. Strategi nafkah tersebut diimplementasikan dalam bentuk aktifitas dan kelembagaan nafkah. Aktifitas nafkah tersebut dapat berupa pekerjaan pertanian dan non pertanian. Dalam melakukan aktifitas pertanian dan non pertanian terdapat norma bak tertulis maupun tidak tertulis. Norma yang tidak tertulis sering disebut sebagai kelembagaan. Melalui kelembagaan nafkah inilah berbagai sumberdaya mampu diakses petani yang pada gilirannya akan digunakan sebagai sumber penghidupan. Berbagai sistem nafkah yang dibangun diharapkan mampu memberikan keberlanjutan penghidupan petani (sustainable livelihood). Pada petani di Desa Campursari dan Wonotirto, strategi nafkah disesuaikan dengan kondisi lahan di wilayahnya, salah satunya adalah tanaman tembakau. Petani juga melakukan sistem nafkah ganda pada sektor non pertanian karena lahan pertanian tidak lagi mampu menyangga seluruh kebutuhan hidup masyarakatnya. Tindakan ekonomi dalam menyusun nafkah rumahtangga petani dibentuk atas dasar etika dan moral. pada petani tembakau, etika sosial-kolektif masih tampak pada beberapa aktifitas ekonomi. Namun, arus komersialisasi telah membentuk etika material-individu. Dua etika ini melandasi dan memberi spirit dalam aktifitas nafkah petani baik pada level rumahtangga maupun komunitas. Etika materialisme tercermin pada aktifitas market-sphere, yaitu petani berusaha mencampur tembakau Temanggung yang relatif lebih bagus kualitasnya dengan tembakau dari daerah lain, yangmereka sebut dengan ‘impor’. “Pertarungan antara etika 19 sosial-kolektif dan individual-materialisme membawa dampak pada melemahnya salah satu etika tersebut atau sama-sama kuat sehingga berjalan beriringan tanpa ada yang dikalahkan. Etika sosial-kolektif yang menjadi ciri petani tidak sepenuhnya tergeser oleh gejala perilaku matrealistis. Namun demikian, diakui bahwa beberapa perilaku ekonomi yang berbasis etika resiprositas perlahan melemah, seperti sistem “royongan” ke sistem upah. Namun, pada fakta yang ditemukan ketika penelitian, Etika yang menjadi perdebatan mana yang lebih dominan menjadi saling komplementer dibandingkan berlawanan. Pada satu sisi masih adanya kesadaran tentang arti pentingnya nilai sosial dan budaya, pada sisi lain petani berusaha memaksimalkan keuntungan. Analisis: Penelitian ini melihat strategi nafkah rumahtangga petani dari segi etika moral yang menjadi landasan mereka. Modal sosial dan komersialisme yang sama-sama tumbuh dalam tatanan masyarakat tidak serta merta “membunuh” satu sama lain. Kedua etika tersebut malah saling komplementer tergantung pada situasi, kondisi, juga keadaan aset yang dimiliki rumahtangga petani. Penelitian ini dengan jelas menggambarkan keadaan petani masa kini, yang terbentur antara etika sosial-kolektif dari budaya dan juga matrealisme yang datang akibat komersialisme dan sistem pasar yang terjadi, serta keinginan memaksimalkan keuntungan. 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Model Nafkah dan Pemenuhan Kebutuhan Pangan Keluarga Petani Miskin di Hutan Jati (Kasus: Enam Desa di Kabupaten Blora) : 2011 : Jurnal : Elektronik : Wasito, Ujang Sumarwan¹, E. Eko Ananto, Dan Arya H. Dharmawan : Jurnal Penelitian Hutan Tanaman : Volume 08 No.2 :http://ejournal.forda-mof.org/ejournallitbang/index.php/JPHT/article/view/140 : 12 Mei 2015 Ringkasan: Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Blora yang hidup di sekitar hutan dilihat dari pemenuhan kebutuhan pangannya. Model nafkah yang dilakukan terbagi menjadi 2 yaitu yang bersifat (a) Simbiosis mutualisme, tidak merugikan pihak perhutani sebagai pengelola lahan dan (b) simbiosis parasitisme, yaitu menimbulkan kerugian di pihak perhutani. Dharmawan (2001) menjelaskan, bahwa terdapat dua jenis strategi nafkah keluarga petani, yaitu (a) normatif, kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial ekonomi, seperti kegiatan proguski, migrasi, strategi situasi, 20 disebut juga “peacefull ways” karena sesuai dengan norma-norma yang berlaku; dan (b) ilegal, kategori tindakan negatif yang melanggar hukum, seperti mencuri, membakar pohon jati, disebut juga “non-peacefull ways” karena tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Hutan jati memberikan kontribusi penyerapan tenaga kerja masyarakat, terutama di pinggiran hutan. Penyerapan tenaga kerja hutan jati cenderung berkorelasi dengan lias lahan hutan jadi di KPH dan PHBM setempat. Model nafkah simbiosis mutualisme yang dilakukan keluarga petani miskin di lahan hutan jati meliputi pencarian daun jati untuk dijual ke pasar, tunggul, akar kayu jati untuk bahan kerajinan sebagai penambah pendapatan. Pencarian kepompong/ulat daun jati, atau belalang untuk menambah pendapatan atau untuk langsung di konsumsi. Pencarian ranting, tunggul, akar, dan rencekan kayu jati sebagian untuk kayu bakar memasak, dan sebagian dijual guna menambah pendapatan. Namun, pemanfaatan hutan jati untuk model nafkah simbiosis mutualisme belum optimal. Hal ini diduga akibat perbedaan rasio sumber nafkah di hutan jati dibanding pemanfaatannya. Perempuan juga berperan dalam strategi nafkah keluarga pada masyarakat Blora. Kecenderungan aktivitas pada keluarga petani miskin memungkinkan peran seluruh keluarga dalam pencarian nafkah termasuk lakilaki dan perempuan. Nafkah simbiosis parasitisme terdiri dari pencurian kayu jati, gangguan akibat pencurian kayu jati dan dampaknya, gangguan akibat kebakaran hutan jati dan dampaknya. Pencuri kayu jati sebagai nafkah yang bersifat simbiosis parasitisme sangat merugikan baik dari sisi fisik/material berupa jumlah pohon/tunggak yang hilang/rusak, dan finansial yang dihitung dengan uang. Dampak kerugian yang ditimbulkan sangat besar akibar nafkah simbiosis parasitisme kontradiktif dengan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan daerah kajian. Keuntungan yang cukup kecil tersebut tidak akan dapat merubah ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need), melakukan kegiatan usaha produktif, serta menjangkau akses sumberdaya sosial dan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan pangan keluarga petani miskin bersumber dari nafkah simbiosis mutualisme ddan parasitisme di hutan jati. berdasarkan kajian kerawanan pangan pada tiap-tiap desa, tidak ada desa yang masuk kedalam kategori kerawanan pangan. Tingkat ketahanan pangan tersebut dipengaruhi luasan hutan jati pada desa, kecamatan kajian. Analisis: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hutan jati di Kabupaten Blora sebagai sumber nafkah keluarga petani miskin guna memenuhi kebutuhan pangan. Dilakukan dengan pengkajian data primer secara cross-sectional. Lokasi kajiannya adalah di Desa Bodeh dan Ngeliron (kecamatan Randublatung), Sumberejo dan Ngiyono (Kecamatan japah), Bleboh dan Nglebur (Kecamatan Jiken). Secara isi sudah dengan detail menggambarkan keadaan dan hasil penelitiannya. Namun, penulisannya 21 masih membingungkan karena banyak sekali perhitungan-perhitungan yang ditulis dengan kalimat yang membingungkan sehingga tidak mudah dipahami. 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Berapi : 2011 : Jurnal : Elektronik : Yudhistira, Wahyu Krisna Hidayat, Agus Hadiyarto : Jurnal Ilmu Lingkungan : Volume 9 No.2 : http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/artic le/view/4072/pdf : 03 April 2015 Ringkasan: Penelitian ini dilakukan di wilayah pertambangan milik CV Mitra Desa Keningar Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, yang berlokasi di daerah kawasan gunung merapi. Meskipun lokasi penambangan pasir ini menjadi salah satu penyumbang terbesar untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), dampak yang ditimbulkan juga berupa kerusakan lingkungan fisik dan kerugian kepada masyarakat. Dampak lingkungan fisik yang diakibatkan oleh adanya pertambangan ini diantaranya adalah: berpotensi terjadinya longsor, berubahanya struktur tanah, berkurangnya ketersediaan air, penurunan kapasitas infiltrasi dan penyerapan air tanah, dan hilangnya bahan-bahan organik dalam tanah. Dampak sosial ekonomi pada masyarakat diantaranya adalah pengurangan jumlah pengangguran, adanya penambahan pemasukan bagi pemilik tanah yang menjual tanahnya atau menyewakan tanahnya untuk diambil pasirnya dengan harga tinggi, banyaknya pendatang yang datang menambang sehingga memicu konflik, adanya ketakutan masyarakat akan resiko longsor. Sebenarnya, masyarakat juga memiliki persepsi bahwa lingkungan harus dijaga kelestariannya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan penulis, masyarakat memiliki pengetahuan tentang lingkungan hidup, dan mempersepsikan bahwa memang lingkungan harus dijaga kelestarianya. Hal ini diindikasikan karena masyarakat pedesaan akrab dengan lingkungannya terutama karena kebutuhan mereka akan lahan sebagai sumber kehidupan mereka yang sebagian besar petani/ buruh tani. Namun disisi lain, masyarakat juga mempersepsikan bahwa kawasan pertambangan memberikan dampak bagi peningkatan ekonomi mereka, dan membuka lapangan pekerjaan bagi warga. Sehingga, mereka menerima adanya kawasan pertambangan meskipun memiliki dampak lingkungan yang mengkhawatirkan seperti terjadinya longsor. 22 Untuk itu, penulis memberikan model rencana pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan pasir dengan metode tujuh langkah perencanaan dengan tujuan untuk mengatasi persoalan yang ada dengan analisis SWOT. Berdasarkan analisis tersebut maka diperoleh lima alternatif kebijakan, yaitu: (1) Upaya kontrol secara terus menerus dari pemerintah terhadap setiap kegiatan penambangan pasir dan batu, (2) Kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan disertai pengawasan dan pengendalian bersama antar berbagai pihak yang terkait diharapkan dapat terpadu dan berkelanjutan, (3) Strategi pengaturan kebijakan pemerintah terhadap penambangan pasir yang utama adalah penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku secara konsekuen dan memberdayakan masyarakat, (4) Tugas pokok dan fungsi lembaga teknis yang bertanggung jawab dalam hal pertambangan dilaksanakan secara profesional, transparan dan akuntabel , (5) Mengupayakan suatu sistem pengelolaan penambangan yang berwawasan lingkungan dan menjaga keseimbangan material yang terambil di bagian hulu sampai hilir agar tidak merusak ekosistem Gunung Merapi. Selanjutnya, diambil keputusan dengan prinsip pengembangan masyarakat bersifat partisipatif dan koloboratif transparansi dalam operasional pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, akuntabilitas dalam peraturan penambangan bagi semua stakeholders, pengembangan masyarakat merupakan bagian dari responsibilitas. Analisis: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari pertambangan kawasan gunung merapi di Kabupaten Magelang. Dalam penelitiannya, penulis menggunakan metode kuantitaif, dan menggunakan analisis USLE untuk mengetahui tingkat erosi dari lokasi pertambangan tersebut. Pengolahan dilakukan dengan data primer dan sekunder berdasarkan wawancara, obeservasi, dan studi pustaka literatur. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan metode purposive sample, yaitu pemilihan sampel secara sengaja dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Penelitian ini ditulis secara rinci dan mudah dimengerti. 11. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Jurnal Volume (edisi) halaman Alamat URL Tanggal diunduh : Menengok Kriteria Kemiskinan di Indonesia: Menimbang Indikator Kemiskinan Berbasis hak : 2009 : Jurnal : Cetak : Edi Suharto : Analisis Sosial : Volume 14 No.02 ::- Ringkasan: Masalah kemiskinan merupakan isu krusial di Indonesia sejak dahulu. Pengukuran kemiskinan perlu memperhatikan kondisi kehidupan masa depan (future 23 well-becoming). perspektif inilah yang mendasari kriteria dan indikator kemiskinan yang berpijak pada pendekatan berbasis hak. Pendekatan dalam menentukan kriteria dan indikator kemiskinan yang digunakan selama ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pendekatan berbasis hak ini memperhatikan hubungan antara proses-proses makro ekonomi dan strategi-strategi pengurangan kemiskinan yang menekankan pentingnya investasi sosial dalam mencegah dan mengurangi kemiskinan, serta mencaapai tujuan-tujuan pembangunan dan keadilan sosial dalam arti luas. Pendekatan ini mencoba mengintegrasikan hak-hak orang miskin (right holders) dengan tanggung jawab para pemangku kepentingan (duty bearers) Perhatian kemiskinan bukan saja kepada manusia yang memiliki berbagai hak, melainkan pula kepada pihak-pihak yang memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa hak-hak tersebut dapat dipenuhi. pengukuran tingkat kemiskinan tidak hanya dilihat dari status orang miskin berdasarkan lensa sosial dan ekonomi, melainkan pula perlu menyentuh hak-hak mereka dan pemangku kewajiban yang memiliki tanggung jawab memenuhi hak-hak orang miskin. Kemiskinan hendaknya diarahkan bukan saja pada orang-orang miskinnya, melainkan pula pada faktor-faktor luar yang mempengaruhi kehidupan orang miskin. Menurutnya, indikator-indikator pengukuran kemiskinan berbasis hak terbagi menjadi 5 tipe, yaitu: (1) Status kehidupan orang miskin. Indikator ini mengukur kondisi kehidupan orang miskin yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Tujuannya hanya sekedar mata pencaharian, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. (2) Lingkungan keluarga dan rumahtangga. Indikator ini mengukur kualitas setting rumah (akses air bersih, sanitasi) maupun relasi sosial antar anggota keluarga. (3) Lingkungan ketetanggaan sekitar. Mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan orang miskin dalam konteks lingkungan sekitar yang terdekat. Ide dasarnya adalah menunjukkan kualitas dan keamanan wilayah tertentu tempat orang miskin tinggal. (4) Akses pelayanan dasar. Mencakup akses kepada berbagai pelayanan publik (dengan apa orang miskin seharusnya memiliki hak mengaksesnya), dan yang mendukung kesejahteraan dan perkembang an kehidupan orang miskin. Misalnya, akses terhadap fasilitas kesehatan. (5) Alokasi sumber publik pro-poor. Mencakup anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan yang utamanya ditujukan bagi kelompok miskin. Namun perlu digaris bawahi, tipe-tipe ini masih bersifat tentatif dan belum memberikan gambaran kasar mengenai fokus pendekatan berbasis hak. Tantangan pendekatan ini adalah (1) Analisis status atau kondisi kehidupan orang miskin memerlukan pengukuran fenomena yang konkret dan dapat diobservasi untuk mengidentifikasi apakah standar minimum dapat dipenuhi; (2) Indetifikasi pemangku kewajiban; (3) Spesifikasi hak-hak orang miskin dan penyediaan pelayanan untuk memenuhi hak-hak tersebut: kebjiakan mengalokasikan sumber-sumber perlindungan Analisis: 24 Makalah ini menjelaskan kriteria kemiskinan sebagai basis untuk menggagas indikator kemiskinan yang bisa di kembangkan di Indonesia. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan hak orang miskin dan orang yang berkewajiban menanggulangi kemiskinan. Penulis menganggap bahwa kemiskinan juga seharusnya diukur dari pemangku kewajiban juga. Tulisan ini dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Kemiskinan Kemiskinan merupakan isu yang sampai saat ini menjadi sorotan dalam pembangunan Indonesia. Berbagai penjelasan mengenai kemiskinan itu sendiri dijelaskan oleh banyak ahli menurut paradigmanya masing-masing. Kemiskinan menurut BPS dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.3 Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.4 Berbeda dengan penjelasan diatas, Dharmawan (2007) mengungkapkan kemiskinan dalam sosiologi nafkah mazhab Bogor disebut “jebakan kemiskinan” (poverty trap) dan sulitnya kaum miskin untuk melepaskan diri dari perangkapperangkap struktural. Fakta kemiskinan yang memarginalkan masyarakat akibat modernisasi juga merupakan asumsi dasar munculnya pemahaman sosiologi nafkah. Sumarti (2007) juga menjelaskan bahwa kemiskinan dianggap sebagai ketiadaan akses pada masyarakat petani akibat intervensi kelembagaan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Quibra M.G (1996) dalam Sumarti (2007) yang menjelaskan konsep kemiskinan sebagai kondisi yang bersifat multidimensional, tidak hanya mencakup tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga (a) kurangnya kesempatan/akses. Pendapatan yang rendah terkait erat dengan distribusi asset fisik (lahan), sumberdaya manusia, dan asset sosial, serta kesempatan usaha/kerja; (b) Rendahnya kemampuan 3 4 http://bps.go.id/Subjek/view/id/23#subjekViewTab1|accordion-daftar-subjek1 ibid. 25 (pendidikan dan kesehatan); (c) Rendahnya tingkat keamanan (jaminan terhadap resiko dan tekanan ekonomi) baik di tingkat nasional, lokal maupun rumahtangga (individu); (d) Pemberdayaan (kapasitas golongan miskin untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan dan proses sosial yang membentuk alokasi sumberdaya. Chambers (1995) dalam Widiyanto,dkk (2010) mengatakan bahwa banyak dimensi penting yang perlu mendapat perhatian dalam menjelaskan kemiskinan masyarakat lokal, yaitu: Inferioritas, pengasingan, kerentanan, perampasan, ketidakberdayaan, dan penghinaan. Suharto (2009) juga menjelaskan bahwa pengukuran tingkat kemiskinan tidak hanya dilihat dari status orang miskin berdasarkan lensa sosial dan ekonomi, melainkan pula perlu menyentuh hak-hak mereka dan pemangku kewajiban yang memiliki tanggung jawab memenuhi hak-hak orang miskin. Kemiskinan hendaknya diarahkan bukan saja pada orang-orang miskinnya, melainkan pula pada faktor-faktor luar yang mempengaruhi kehidupan orang miskin. Menurutnya, indikator-indikator pengukuran kemiskinan berbasis hak terbagi menjadi 5 tipe, yaitu: (1) Status kehidupan orang miskin. Indikator ini mengukur kondisi kehidupan orang miskin yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Tujuannya hanya sekedar mata pencaharian, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. (2) Lingkungan keluarga dan rumahtangga. Indikator ini mengukur kualitas setting rumah (akses air bersih, sanitasi) maupun relasi sosial antar anggota keluarga. (3) Lingkungan ketetanggaan sekitar. Mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan orang miskin dalam konteks lingkungan sekitar yang terdekat. Ide dasarnya adalah menunjukkan kualitas dan keamanan wilayah tertentu tempat orang miskin tinggal. (4) Akses pelayanan dasar. Mencakup akses kepada berbagai pelayanan publik (dengan apa orang miskin seharusnya memiliki hak mengaksesnya), dan yang mendukung kesejahteraan dan perkembang an kehidupan orang miskin. Misalnya, akses terhadap fasilitas kesehatan. (5) Alokasi sumber publik pro-poor. Mencakup anggaran pemerintah pusat dan daerah untuk jaminan sosial, pendidikan dan kesehatan yang utamanya ditujukan bagi kelompok miskin. Seperti pada penelitian Widodo (2011) faktor-faktor penyebab kemiskinan yang terjadi pada Nelayan di Desa Kwanyar adalah (1) Rendahnya pendapatan dan tidak menentu setiap saat. Hal ini didasari salah satunya oleh akses terhadap modal bagi rumahtangga miskin di Desa Kwanyar juga rendah. Meskipun, di Desa tersebut terdapat lembaga pengkreditan yang dapat memfasilitasi kebutuhan modal bagi rumahtangga miskin. Namun, lembaga pengkreditan yang ada tidak berjalan secara baik karena persyaratan yang harus dipenuhi dirasa sulit bagi masyarakat. (2) Kualitas modal manusia di Kwanyar Barat yang masih rendah. Dilihat dari tingkat pendidikan yang rendah dan tidak dimilikinya keterampilan kerja yang memadai menyebabkan tenaga kerja tidak bisa mengakses peluang kerja yang lebih layak. (3) Modal fisik yang tersedia tidak efisien. Modal fisik yang dimiliki oleh nelayan, misalnya perahu hanya satu dan tidak mencukupi kebutuhan nelayan miskin, sehingga banyak dari mereka yang menjual modal fisiknya dengan harga murah. 26 Penelitian Wasito (2011) menunjukkan, rendahnya akses masyarakat miskin akan sumberdaya dan pemanfaatan hutan membawa mereka pada tindakan mencuri dan kegiatan nafkah bersifat simbiosis parasitisme. Konsep Strategi Nafkah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan nafkah sebagai cara hidup.5 Dharmawan (2007) menjelaskan dalam sosiologi nafkah, konsep strategi nafkah lebih mengarah kepada livelihood strategy. Pengertian livelihood strategy yang disamakan menjadi strategi nafkah (dalam bahasa indonesia) memiliki makna yang lebih besar dari sekedar aktivitas mencari nafkah belaka, namun ada keterkaitan sistem sosial dan sumberdaya dalam proses aktivitasnya. Proses ini dapat dilihat melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif sebagai jejaring strategi nafkah yang dibangun oleh setiap individu ataupun rumahtangga ketika membangun strategi bertahan hidup. Sebagai strategi untuk membangun sistem penghidupan, strategi nafkah merupakan taktik dan aksi yang dibangun oleh individu ataupun kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial dan sistem nilai budaya yang berlaku. Pada Mazhab Bogor, strategi nafkah selalu merujuk pada pertanian dalam arti luas. Dalam posisi sistem nafkah tersebut, basis nafkah rumahtangga petani adalah segala aktivitas ekonomi pertanian dan ekonomi non pertanian. Gambar 1. Mobilisasi Modal dan Sumberdaya Manusia (SDM) Pedesaan di Dua Basis Nafkah pada Mahzab Bogor (Sumber: Dharmawan 2007) Basis Nafkah Basis Nafkah Modal & SDM di Sektor Pertanian Modal SDM Strategi nafkah Ekstensifikasi,Intensifikasi, buruh-tani, shortcropping, pekerja anak dan wanita di pertanian Strategi nafkah ganda dan migrasi Sektor NonPertanian Strategi nafkah sektor informal, perdagangan kecil-menengah, industri pedesaan, industri hasil pertanian, kerajinan, buruh Hal ini sejalan dengan pendapat Scoones (1998) dalam Sumarti (2007), terdapat tiga strategi nafkah yang berbeda yang dilakukan oleh penduduk pedesaan, yaitu: (1) 5 http://kbbi.web.id/nafkah 27 intensifikasi atau ekstensifikasi pertanian, (2) diversifikasi nafkah, dan (3) migrasi (keluar) berupa perpindahan dengan sukarela/sengaja atau tidak. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2011) menjelaskan bahwa strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan terdiri atas strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Pola nafkah ganda oleh Sumarti (2007) didefinisikan sebagai “proses-proses dimana rumahtangga membangun suatu kegiatan dan kapabilitas dukungan sosial yang beragam untuk survival/bertahan hidup dan untuk meningkatkan taraf hidupnya. Wasito et.al (2011) dalam penelitiannya membagi model nafkah kedalam dua kategori, yaitu, model nafkah simbiosis mutualisme dan model nafkah simbiosis parasitisme. Model nafkah simbiosis mutualisme adalah model nafkah yang tidak merugikan pihak pengelola sumberdaya alam (dalam hal ini perhutani). Model nafkah simbiosis parasitisme adalah model nafkah yang menimbulkan kerugian di pihak pengelola. Hal ini sejalan dengan pembagian mencari nafkah menurut norma yang dikemukakan oleh Dharmawan (2001) dalam Wasito (2011), ada dua jenis strategi nafkah keluarga petani, yaitu, (a) normatif, kategori tindakan positif dengan basis kegiatan sosial ekonomi, seperti kegiatan produksi, migrasi, strategi subtitusi, disebut juga “peacefull ways” karena sesuai dengan norma yang berlaku; dan (b) ilegal, kategori tindakan negatif yang melanggar hukum, disebut juga “non-peacefull ways” karena tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Sedangkan Widiyanto et.al (2010) melihat strategi nafkah masyrakat dibentuk atas dasar etika moral ekonomi nafkah. Etika moral ini dibagi menjadi dua, yaitu etika moral sosial-kolektif dan individual-matrealisme. Jika pada suatu daerah etika moral sosial-kolektifnya lebih kental, maka masyarakat setempat lebih menerapkan modal sosial dalam strategi nafkahnya. Sedangkan, apabila yang lebih kental adalah etika moral individualisme-materialisme, strategi nafkah masyarakatnya dengan memaksimalkan keuntungan. Dalam penelitiannya, pada masyarakat petani tembakau di Lereng Gunung Sumbing, Kabupaten Temanggung, kedua etika moral ini saling komplementer. Pada satu sisi masih adanya kesadaran tentang arti pentingnya nilai sosial dan budaya, pada sisi lain petani berusaha memaksimalkan keuntungan. Strategi nafkah berkelanjutan (sustainable livelihood) menurut Ellis (2000) dalam Widodo (2011) adalah sebuah pendekatan yang berusaha mencapai derajat pemenuhan kebutuhan sosial, ekonomi, dan ekologi secara adil dan seimbang. Pencapaian derajat kesejahteraan sosial didekati melalui kombinasi aktivitas dan utilisasi modal-modal yang ada dalam tata nafkah. Dalam penelitiannya Widodo (2011) menerangkan bahwa modal sosial merupakan satu pokok perhatian dalam upaya penyusunan strategi nafkah berkelanjutan. 28 Pertambangan dan Fenomena Akses Terbuka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dalam Pasal 1 ayat 1 menjelaskan bahwa pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Menurut UU No.11 Tahun 1967, bahan tambang tergolong menjadi 3 jenis, yakni: Golongan A (yang disebut sebagai bahan strategis), Golongan B (bahan vital), dan Golongan C (bahan tidak strategis dan tidak vital). Bahan Golongan A merupakan barang yang penting bagi pertahanan, keamanan dan strategis untuk menjamin perekonomian negara dan sebagian besar hanya diizinkan untuk dimiliki oleh pihak pemerintah, contohnya minyak, uranium dan plutonium. Sementara, Bahan Golongan B dapat menjamin hidup orang banyak, contohnya emas, perak, besi dan tembaga. Bahan Golongan C adalah bahan yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hayat hidup orang banyak, contohnya garam, pasir, marmer, batu kapur, tanah liat dan asbes. Sehingga emas adalah termasuk bahan golongan B. Berdasarkan UU No.4 tahun 2009 pasal 1 ayat 6 Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang. Pada pasal 37 dan 38, usaha pertambangan dilakukan berdasarkan izin dari pemerintah daerah atau pusat tergantung lokasi kawasan pertambangan yang akan digunakan. Sehingga Definisi penambangan liar adalah bentuk usaha pertambangan yang tidak memiliki izin sesuai undang-undang yang berlaku. Zulkarnain (2013) menyatakan bahwa pertambangan liar kebanyakan adalah pertambangan yang dilakukan oleh warga. Hal ini berbanding terbalik dengan keputusan undang-undang yang memasukan Izin Pertambangan Rakyat (IPR)6 dalam perundangan-undangannya. Hak akses menurut Schlager dan Ostrom (1992) merujuk pada hak untuk memasuki kawasan tertentu. Pemakaian, atau pemanfaatan, berarti hak untuk memperoleh sumberdaya seperti kayu, kayu bakar, atau hasil hutan lainnya, dan mengambilnya dari hutan; termasuk menggembalakkan ternak. Hanna et al (1996) dalam satria (2009) membagi 4 tipe hak kepemilikan dalam sistem sumberdaya alam, yaitu (a) Kepemilikan oleh pribadi (private property) yaitu memberikan hak kepada individu atau korporasi untuk melakukan pengelolaan terhadap suatu sumberdaya, (b) kepemilikan oleh negara (state property) yaitu pemerintah menjadi pemilik hak tunggal dari sumberdaya, (c) Kepemilikan oleh komunal atau adat yang bersifat tertulis ataupun tidak yang bersifat lokal dan spesifik, (d) akses terbuka (open access property), dimana tidak ada aturan apapun tentang apa, kapan, dimana, dan siapa serta bagaimana sumberdaya dimanfaatkan. Akses terbuka adalah Sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun. Properti bebas diakses oleh siapapun (non-excludable) dan diperoleh dengan 6 UU No. 4 tahun 2009 pasal 1 ayat 10 29 bersaing. Tidak ada regulasi yang mengatur, atau regulasi tidak efektif mengarur, atau hak-hak kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas. Beberapa contoh fenomena akses terbuka bahan tambang pasir diantaranya adalah pada praktek galian pasir di pesisir pantai Kecamatan Cihara, atau di kawasan hutan Cibobos. Aktivitas galian pasir ini sudah berlangsung lama dan mengakibatkan abrasi pantai yang parah. Menurut Endin, aktivis forum Komunikasi LSM se-Lebak Selatan, praktir pendulang pasir pantai ini masih bersifat tradisional dan semuanya tidak memiliki izin yang jelas. Endin Mengkhawatirkan dampak ekologis yang akan ditimbulkan jika penambangan ini terus berlarut abrasi pantai yang terjadi akan semakin parah. Camat setempat A.Ruyani membenarkan adanya penambangan pasir di wilayahnya, namun beliau mengatakan bahwa rata-rata dari penambang tersebut sudah mengantongi izin dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Lebak.7 Hal yang sama juga terjadi di wilayah sekitar pesisir pantai sawarna. Penambangan pasir yang dilakukan di kawasan tersebut diduga tidak mengantongi izin dan menimbulkan abrasi pantai. Kantib Kecamatan Bayah, bapak Enjat pun menjelaskan bahwa tindakan yang baru dilakukan adalah menegur para penambang tersebut.8 Penambangan pasir yang dilakukan pada kawasan sungai pun mengalami hal serupa. Seperti yang terjadi pada sungai Cisimeut, dampak yang ditimbulkan akibat penambangan pasir yang tidak mengantongi izin ini menyebabkan warga kekurangan air dan tidak berani menggunakan air sungai. Lemahnya penegakan peraturan mengenai izin pertambangan menyebabkan penambangan liar semakin marak dan rusaknya sumberdaya alam. Masyarakat yang terkena imbasnya pun tidak diberikan kompensasi dari pertambangan tersebut karena tidak berizinnya penambangan mereka.9 SIMPULAN Kemiskinan merupakan isu yang sampai saat ini menjadi sorotan dalam pembangunan Indonesia. Dharmawan (2007) mengungkapkan kemiskinan dalam sosiologi nafkah mazhab Bogor disebut “jebakan kemiskinan” (poverty trap) dan sulitnya kaum miskin untuk melepaskan diri dari perangkap-perangkap struktural. Fakta kemiskinan yang memarginalkan masyarakat akibat modernisasi juga merupakan asumsi dasar munculnya pemahaman sosiologi nafkah. Sumarti (2007) juga menjelaskan bahwa kemiskinan dianggap sebagai ketiadaan akses pada masyarakat petani akibat intervensi kelembagaan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Quibra M.G (1996) dalam Sumarti (2007) yang menjelaskan konsep kemiskinan sebagai kondisi yang bersifat multidimensional, tidak hanya mencakup tingkat pendapatan yang rendah, tetapi juga (a) kurangnya kesempatan/akses. Pendapatan yang rendah terkait erat dengan 7 http://polreslebak.com/berita/read/1250/galian-pasir-ancam-abrasi-pantai http://www.harianterbit.com/hanterhumaniora/read/2015/02/15/19519/40/40/Penambangan-PasirLiar-di-Pantai-Sawarna-Harus-Ditertibkan 9 http://mediabanten.com/content/sungai-cisimeut-tercemar-limbah-penambangan-pasir 8 30 distribusi asset fisik (lahan), sumberdaya manusia, dan asset sosial, serta kesempatan usaha/kerja; (b) Rendahnya kemampuan (pendidikan dan kesehatan); (c) Rendahnya tingkat keamanan (jaminan terhadap resiko dan tekanan ekonomi) baik di tingkat nasional, lokal maupun rumahtangga (individu); (d) Pemberdayaan (kapasitas golongan miskin untuk mengakses dan mempengaruhi kelembagaan dan proses sosial yang membentuk alokasi sumberdaya. Hak akses menurut Schlager dan Ostrom (1992) Akses merujuk pada hak untuk memasuki kawasan tertentu. Pemakaian, atau pemanfaatan, berarti hak untuk memperoleh sumberdaya seperti kayu, kayu bakar, atau hasil hutan lainnya, dan mengambilnya dari hutan; termasuk menggembalakkan ternak. Hanna et al (1996) dalam satria (2009) membagi 4 tipe hak kepemilikan dalam sistem sumberdaya alam, yaitu (a) Kepemilikan oleh pribadi (private property) yaitu memberikan hak kepada individu atau korporasi untuk melakukan pengelolaan terhadap suatu sumberdaya, (b) kepemilikan oleh negara (state property) yaitu pemerintah menjadi pemilik hak tunggal dari sumberdaya, (c) Kepemilikan oleh komunal atau adat yang bersifat tertulis ataupun tidak yang bersifat lokal dan spesifik, (d) akses terbuka (open access property), dimana tidak ada aturan apapun tentang apa, kapan, dimana, dan siapa serta bagaimana sumberdaya dimanfaatkan. Akses terbuka adalah Sumberdaya yang tidak dimiliki oleh siapapun. Properti bebas diakses oleh siapapun (non-excludable) dan diperoleh dengan bersaing. Tidak ada regulasi yang mengatur, atau regulasi tidak efektif mengatur, atau hak-hak kepemilikan (property right) tidak didefinisikan dengan jelas. Kemiskinan dan akses terbuka mendorong difersifikasi strategi nafkah masyarakat. Dharmawan (2007) menjelaskan dalam sosiologi nafkah, konsep strategi nafkah lebih mengarah kepada livelihood strategy. Pengertian livelihood strategy yang disamakan menjadi strategi nafkah (dalam bahasa indonesia) memiliki makna yang lebih besar dari sekedar aktivitas mencari nafkah belaka, namun ada keterkaitan sistem sosial dan sumberdaya dalam proses aktivitasnya. Proses ini dapat dilihat melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual maupun kolektif sebagai jejaring strategi nafkah yang dibangun oleh setiap individu ataupun rumahtangga ketika membangun strategi bertahan hidup. Penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2011) menjelaskan bahwa strategi nafkah yang dilakukan oleh rumahtangga nelayan terdiri atas strategi ekonomi dan strategi sosial. Strategi ekonomi dilakukan dengan cara melakukan pola nafkah ganda, pemanfaatan tenaga kerja rumah tangga dan migrasi. Sedangkan strategi sosial dilakukan dengan memanfaatkan ikatan kekerabatan yang ada. Fenomena gurandil pada pertambangan di Kabupaten Lebak juga menjadi contoh keadaan regulasi Indonesia saat ini. Tumpang tindih kepemilikan sumberdaya yang menjadikan status kawasan menjadi open akses dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai strategi nafkah mereka. 31 Usulan Kerangka Analisis Baru Peraturan Perundangan Lemahnya Pengaturan hukum Akses Terbuka (open access) Bahan Tambang Strategi Nafkah Kemiskinan Strategi Ekonomi Strategi Sosial Keberlanjutan Strategi Nafkah Gambar 2. Kerangka Pemikiran Keterangan : Mempengaruhi 32 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kerangka analisis baru yang dipaparkan diatas, maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan adalah : 1. Seberapa jauh pengaruh fenomena akses terbuka bahan tambang dan kemiskinan mempengaruhi strategi nafkah? 2. Apa dan bagaimana strategi nafkah penambang pasir di Kabupaten Lebak? DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Penduduk 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama 2004-2014. [Internet]. [dikutip 5 Maret 2015]. Dapat diunduh dari: http://bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/970 Dharmawan, AH. 2007. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan: Pandangan Sosiologi Nafkah (Livelihood Sociology) Mazhab Barat dan Mazhab Bogor .[Internet]. [Dikutip 05 Mei 2015]. Jurnal Sodality.Vol. 01 No. 02. Dapat diunduh dari : https://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5932/4609 Fatimah, Siti dan Drs. Sulomo, SU. 2013. Interaksi Sosial Antar Penambang Pasir di Situbondo. [Internet]. [Dikutip 03 Mei 2015]. Artikel Ilmiah Mahasiswa FISIP. Dapat diunduh dari : http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/58821 Sumarti, Titik. 2007. Kemiskinan Petani dan Strategi Nafkah Ganda Rumahtangga Pedesaan. [Internet]. [Dikutip 10 Mei 2015]. Jurnal Sodality.Vol. 01 No. 02. Dapat diunduh dari : http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/viewArticle/5930 Ostorm E, and Hess C. 2008. Private and common Property Right. Encyclopedia of Law and Economic. Northampton, MA: Edward Ergar. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1304699 Mahayuna, I Kadek Wira. 2013. Latar Belakang Masyarakat Desa Songan, Kintamani, Bangli Bali Memilih Pekerjaan Sebagai Penggali Pasir. [Internet]. [Dikutip 07 Mei 2015]. Jurnal Candra Sangkala.Vol. 01 No. 01. Dapat diunduh dari : http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JCS/article/view/295 Sembiring, SF. 2006. Menuju Pembangunan Berkelanjutan: Pertambangan Sebagai Aset Bangsa. Indonesian Journal for Sustainable Future. 02 (03): 9 hal. Turasih, dan Soeryo Adiwibowo. 2012. Sistem Nafkah Rumahtangga Petani Kentang di Dataran Tinggi Dieng (Kasus Desa Karangtengah, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Sodality. 06 (02): 13 hal. [UU] Undang Undang No. 04 Tahun 2009 Tentang Pertambangan. 33 [UU] Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Dapat diunduh dari: http://www.bpn.go.id/Publikasi/PeraturanPerundangan/Undang-Undang/undang-undang-nomor-11-tahun-1967-917 Wasito, Sumarwan AU, Ananto EE, Dharmawan AH. 2011. Model nafkah dan Pemenuhan Kebutuhan Pangan Keluarga Petani Miskin di Hutan jati (Kasus Enam Desa di Kabupaten Blora). [Internet]. [Dikutip 12 Mei 2015]. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Volume 08 No.02. Dapat diunduh dari: http://ejournal.fordamof.org/ejournal-litbang/index.php/JPHT/article/view/140 Widodo, Slamet. 2011. Strategi nafkah Berkelanjutan bagi Rumahtangga Miskin di Daerah Pesisir. [Internet]. [Dikutip 12 Mei 2015]. Jurnal Sosial Humaniora.Vol. 15 No. 01. Dapat diunduh dari : http://journal.ui.ac.id/humanities/article/view/890 Widiyanto w, Dharmawan AH, Nuraini W. 2010. Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau di Lereng Gunung Sumbing: Studi Kasus di Desa Wonotirto dan Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung. [Internet]. [Dikutip 12 Mei 2015]. Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol 04 No.1. Dapat diunduh dari: http://jesl.journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/5851/4516 Yudhistira, Hidayat WK, Hadiyarto A. 2011. Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir di Desa Keningar Daerah Kawasan Gunung Berapi. [Internet]. [Dikutip 03 April 2015]. Jurnal Ilmu Lingkungan Vol 09 No.02. Dapat diunduh dari: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ilmulingkungan/article/view/4072/pdf 34 LAMPIRAN Riwayat Hidup Deanisa Rahmani adalah anak pertama yang lahir dari pernikahan antara Bapak Bambang Wiratmo dengan Ibu Ratna Sari pada tanggal 16 Agustus 1995 di Rangkasbitung, Banten. Masa-masa mengemban pendidikan formal diawali pada tahun 2000 di Sekolah Dasar Negeri Komplek Multatuli MCB 06. Kemudian pada tahun 2006 meneruskan pendidikannya di SMP Terpadu Al-Qudwah. Pada tahun 2009, penulis tercatat sebagai siswa SMA di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Rangkasbitung. Pada tahun 2012, melalui jalur SNMPTN Undangan penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selain aktif di kegiatan belajar, penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi. Saat menjadi mahasiswa, penulis sempat aktif menjadi bagian dari Majalah Komunitas FEMA sejak 2013-2015 sebagai Kepala Reporter divisi Redaksi. Selain aktif di organisasi penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Dasar-Dasar Komunikasi selama dua semester. Penulis juga mendapatkan beasiswa dari PPA periode 2013-2014.