KONSTRUKSI SOSIAL PENERIMA BIDIK MISI

advertisement
KONSTRUKSI SOSIAL PENERIMA BIDIK MISI TENTANG
KEMISKINAN
Studi pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga
Dhana Prasetia
070914109
Perhatian pemerintah di sektor pendidikan dengan menggelontorkan banyak
dana guna kepentingan bantuan pendidikan yang diharapkan nantinya akan
mampu menjadi solusi permasalahan kemiskinan yang masih menjadi masalah
besar di negara ini. Keputusan negara dalam memperioritaskan pendidikan
sehingga kemudian memunculkan program-program bantuan pendidikan, salah
satunya bidikmisi, menjadi sebuah pencapain yang signifikan dalam upayanya
memperioritaskan kepentingan pendidikan. Namun sayangnya, bantuan
pendidikan yang ada saat ini seringkali mengalami praktek-praktek
penyelewengan, tak terkecuali bantuan pendidikan berupa beasiswa bidikmisi.
Beasiswa bidikmisi yang harusnya diperuntukkan bagi calon mahasiswa yang
berprestasi dan berasal dari kalangan miskin ini, dalam realitasnya juga diterima
oleh mereka yang notabene memiliki kemampuan ekonomi kaya atau
berkecukupan. Dalam bingkai pemikiran konstruksi social milik Berger &
Luckmann, tulisan ini membedah latar belakang yang diambil oleh mehasiswa
kaya sehingga mereka memutuskan untuk mengikuti seleksi penerimaan
mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi, hingga mereka mengkonstruksi sikap
mereka setelah resmi menjadi mahasiswa bidikmisi terhadap lingkungan di
sekitar mereka.
Kata Kunci : Pendidikan, Kemiskinan, Bidikmisi, Konstruksi sosial, Mahasiswa
kaya
Dalam Pasal 31 (1) Undang-undang Dasar Negara 1945, disebutkan bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin
terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan
masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Mengacu Undang - Undang di atas, maka sudah seharusnya tidak ada satu warga
Negara pun yang tidak bersekolah dan juga putus sekolah. Banyak program yang sekarang di
lakukan oleh pemeritah melalui menteri pendidikan yang bertanggung jawab atas semua
penyelenggaraan pendidikan yang ada di Indonesia saat ini seperti program wajib belajar
Sembilan tahun, sekolah kejuruan (SMK) gratis.
Tidak hanya itu, saat ini pemerintah mengucurkan anggaran dana yang sangat besar dari
APBN agar anak Indonesia tidak boleh putus sekolah dan harus meneruskan sampai ke jenjang
lebih lanjut atau di sebut juga sebagai perguran tinggi. Terdapat beberapa program dari
pemeritah untuk menyelenggaran proses belajar di perguran tinggi salah satunya Bidik Misi.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian
Pendidikan Nasional pada tahun 2010 meluncurkan program bantuan biaya pendidikan Bidikmisi
yang berupa bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dan bantuan biaya hidup kepada 20.000
mahasiswa yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi di 104
perguruan tinggi negeri. Sedangkan pada tahun 2012, beasiswa bidikmisi dikembangkan menjadi
30.000 calon mahasiswa penerima Bidikmisi yang diselenggarakan di 87 perguruan tinggi negeri
dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saja. Walaupun demikian penerima bantuan
Bidikmisi di bawah Kemenag angkatan tahun 2010 dan 2011 tetap dibiayai dari DIPA
Kemdikbud tahun anggaran 2012.
Namun begitu, Tak berbeda dengan nasib bantuan pemerintah yang semula ditujukan
kepada masyarakat miskin, bantuan beasiswa bidikmisi tak luput dar praktek-praktek
penyelewengan yang bahkan diakui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh. Ia
mengakui, bahwa program bidikmisi yang masih berjalan selam 3 periode ini masih belum
memiliki sistem yang mapan di perguruan tinggi.
Lemahnya system penerimaan mahasiswa penerima bidikmisi ini terlihat dari
berjalannya program ini selama beberapa tahun, yang diantara penyelewengan tersebut antara
lain seperti, tidak terserapnya kuota penerima bidikmisi sehingga kuota tersebut dialihkan kepada
mereka yag tidak berhak (kasus Sumatera), hingga lemahnya verifikasi yang dilakukan oleh
pemeritah dalam menyelenggarakan beasiswa bidikmisi bagi mereka yang tidak mampu.
Fenomena penyelewengan bantuan bidikmisi ini di indikasi terjadi di hampir semua
perguruan tinggi yang mendapatkan jatah bantuan tersebut. Hal ini mengingat, SOP yang belum
tersistematisasi dengan jelas sebagaimana dikemukakn oleh M Nuh selaku Mentri Pendidikan
dan Kebudayaan.
Dalam tulisan ini, fenomena penyelewengan bidikmisi ini digunakan sebagai tema
pendukung dalam melihat bagaimanakah konstruksi berpikir mahasiswa yang seharusnya tidak
layak menerima beasiswa bidik misi. Tulisan ini berkisar pada bagaimana kemudian konstruksi
berpikir mahasiswa yang memiliki kemampuan ekonomi terbilang mampu akhirnya memutuskan
untuk mengikuti bidikmisi dan bagaimana kemudian mereka mengkonstruksi sikap mereka
terhadap lingkungannya di kampus.
Kostruksi Sosial Berger & Luckmann dalam Fenomena Bidikmisi
Setiap pilihan yang diambil oleh seseorang akan selalu mengalami sebuah proses
konstruksi berpikir sehingga akhirnya orang tersebut memutuskan untuk memilih pada sebuah
hal. Society pada kenyataanya selalu berkembang dan menghadirkan keanekaragaman dalam
sebuah kehidupan sosial, yang pada akhirnya melahirkan pula pilihan-pilihan hidup yang juga
semakin beragam. Pilihan seyogyanya meruapakan sebuah subjektfitas setiap individu dalam
melihat dan memaknai sebuah fenomena yang lahir dan berkembang di masyarakat. Inilah
menagapa, konstruksi berpikir yang mendasari sebuah pilihan menjadi sebuah hal yang paling
utama jika kita hendak menjelaskan sebuah fenomena yang berasal dari sudut pandang pribadi.
Mahasiswa penerima bidikmisi dalam tulisan ini memiliki pandangan subjektif akan
kepantasan mereka mendapatkan beasiswa tersebut. Pandangan subjektif inilah yang kemudian
membentuk konstruksi berpikir mahasiswa penerima bidikmisi sehingga mereka kemudian
memutuskan unutk mengikuti seleksi penerimaan beasiswa.
Bagi berger dan Luckmann sendiri mencoba untuk menghubungkan subjektif dan
objektif tersebut melalui konsep dialektika yang dimiliki oleh Hegel, dengan memunculkan
konsep eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
a) Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk
manusia. “Society is a human product”.
b) Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau
mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.
c) Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social
product”.
Konsep dialektika yang berjalan secara simultan tersebut berjalan secara terus menerus
dan pada akhirnya membentuk sebuah konstruksi berfikir yang mendalihkan kemampuan
akademik mereka sebagai sebuah faktor utama yang mengesahkan status mereka sebagai
mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi. Hal ini dilakukan oleh semua informan dalam
penelitian ini, meskipun seluruh informan menyadari bahwa mereka berasal dari kalangan yang
berkecukupan.
Seluruh informan dalam penelitian ini pada awalnya mengidentifikasi diri mereka dalam
sebuah lembaga sosial dimana mereka menjadi anggotanya. Pada proses ini, infoman semula
mengidentifikasi diri mereka terkait realitas yang mereka alami. Proses inilah yang kemudian
oleh Berger dan Luckmann sebut sebagai proses internalisasi. Dalam penelitian ini, peneliti
melihat bahwa proses internalisasi terjadi ketika seluruh informan dalam penlitian ini
menimbang-nimbang tentang pemahaman mereka terkait apa itu beasiswa bidikmisi dan
kepantasan mereka mengikuti seleksi beasiswa bidikmisi. Pemaknaan akan kemiskinan
Awalnya, peneliti mencoba melihat bagaimana kemudian informan memahami
pengertian kemisikinan, hal ini dilakukan karena pada dasarnya tujuan diberikannya program
beasiswa bidikmisi adalah untuk memberi kesempatan bagi kalangan miskin atau yang tidak
berkecukupan untuk dapat mengeyam pendidikan di perguruan tinggi. Dalam pemahaman
informan, kemiskinan dimaknai dalam dunia intersubjektif mereka namun memiliki beberapa
kesamaan yang cukup substansial, yakni sebuah kondisi dimana kebutuhan tidak mampu
dicukupi oleh seesorang atau keluarga.
Setelah informan mengemukakan persepsinya terkait kemiskinan, peneliti kemudian
juga menarik pemahaman informan dalam mengungkap bagaimana proses internalisasi atau
pengidentifikasian diri terjadi di diri mereka. Hal ini untuk menguhubungkan dengan identifikasi
diri mereka terkait kondisi ekonomi yang mereka miliki. Hal yang menarik dalam proses
internalisasi ini adalah ketika kemudian informan memposisikan diri mereka sebagai mahasiswa
yang berasal dari kalangan keluarga seprti apa. Secara umum, meskipun informan mengakui
bahwa kepemilikan barang-barang sebagaimana dikemukakan dalam temuan data merupakan
kebutuhan kuliah, namun informan tidak menampik jika mereka berasal dari kalangan keluarga
mampu.
Pada proses selanjutnya, dengan memahami kondisi ekonomi yang ada, pada dasarnya
informan yang ada dalm penelitian ini memahami bahwa kemudian beasiswa bidikmisi
seyogyanya diperuntukkan bagi mereka yang kurang mampu dan berprestasi. Namun,
pengidentifikasian yang terkahir yakni identifikasi terkait prestasi akademik yang mereka miliki
ketika mengeyam pendidkan di bangku SMA menjadi alasan utama yang mereka gunakan untuk
mengikuti rogram seleksi tersebut.
Proses internalisasi yang terjadi pada diri informan tidak berhenti pada 3 pemaknaan
diatas, namun juga berlanjut pada bagaimana pengidentifikasian diri mereka terhadap potensi
akademik yang mereka miliki. Seluruh informan dalam penelitian ini merupakan murid
berprestasi yang ada di sekolah-sekolah mereka. Bahkan, dalam temuan data penulis,
internalisasi terhadap prestasi akademik ini banyak melatar belakangi alasan informan untuk
kemudian memutuskan mengikuti proses seleksi sebagai mahasiswa bidikmisi. Proses inilah
yang nantinya disebut oleh Berger dan Luckman sebagai eksternalisasi.
Penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultur sebagaimana pandangan Berger &
Luckmann terlihat dalam konstruksi berfikir mahasiswa penerima bidikmisi dalam penelitian ini
ketika mereka kemudian memutuskan untuk mengikuti seleksi bidikmisi. Proses penyesuaian diri
terhadap realitas bahwa mereka memiliki kemampuan dan syarat akademik untuk mengikuti
seleski mahasiswa bidikmisi menjadi faktor utama bagi informan untuk memutuskan mengikuti
bidikmisi. Dalam proses eksternalisasi ini peneliti melihat terdapat dua hal yang dapat
menunjukkan berjalannya proses konstruksi ini membentuk, yakni terlihat dari upaya yang
mereka lakukan untuk mengikuti selsksi program bidikmisi serta alasan secara menyeluruh
informan kemudian memilih mengikuti seleksi tersebut.
Dalam upayanya mengikuti seleksi program bidikmisi, informan yang ada dalam
penelitian ini tentunya memiliki syarat yang tidak sesuai dengan diri mereka, yakni kondisi
ekonomi mereka yang berasal dari keluarga berkecukupan. Disini, seluruh informan kemudian
memutuskan untuk tetap mengikuti seleksi bidikmisi dengan menggunakan SKTM sebagai
pengganti slip gaji orang tua yang seluruhnya menyebutkan berada pada nominal diatas 3 juta.
Proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh informan dapat juga dilihat dari alasan
yang digunakan oleh informan untuk akhirnya mengikuti seleksi penerimaan tersebut. Secara
umum, prestasi yang dimiliki di SMA menjadi faktor utama yang membuat mereka memutuskan
untuk mengikuti seleksi bidikmisi tersebut. Namun selain itu, terdapat pula alasan-alasan yang
sifatnya lebih individualistik, hal ini terlihat pada semua informan.
Beberapa informan memliki beberapa alasan mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa
bidikmisi, alas an tersebut diantaranya

melihat teman seangkatannya dengan kondisi ekonomi yang relatif sama dan memiliki
prestasi di sekolahnya juga mengikuti proses seleksi bidikmisi,

mengikuti atas dasar saran dari orang tuanya,

karena adanya informasi dari teman, serta

keinginan pribadi karena mengetahui bidikmisi juga masih terbuka di seleksi
SNMPTN.

lemahnya seleksi administratif calon penerima beasiswa bidikmisi menjadi salah satu
faktor yang kemudian membuat beberapa orang mengikuti seleksi beasiswa tersebut.
Interaksi sosial dalam dunia intersubjektif sebagai proses objektivasi dalam penelitian
ini merupakan sebuah realita subjektif yang terbentuk proses-proses internalisasi dan
eksternalisasi yang sebelumnya dilakukan. Pada proses objektivasi, realitas objektif baru muncul
yakni predikat mereka sebagai mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi.
Keputusan untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa bidikmisi meskipun mereka
berasal dari keluarga yang berkecukupan membawa proses konstruksi sosial yang ada di pikiran
informan pada sebuah fase objektivasi. Disini, tuntutan sekaligus pembuktiaan sebagai sebuah
interaksi yang dipilih sebagai mahasiswa penerima bidikmisi meski berasal dari keluarga yang
berkecukupan adalah dengan meraih dan mempertahankan nilai IPK mereka pada nilai diatas
rata-rata. Beberapa informan dalam penelitain ini bahakn menjadikan prestasi akademik nya
ketika memasuki perkuliahan sebagai sebuah alasan yang membuat mereka pantas mendapatkan
bantuan pendidikan tersebut.
Dari kutipan wawancara diatas, menunjukkan bahwa interaksi yang dipiliha adalah
dengan menunjukkan pada sisi akademik mereka pantas untuk mendapatkan beasiswa tersebut.
Namun tentu, dengan status ekonomi yang mereka miliki tak jarang terdapat beberapa
pandangan negtif terhadap mereka. Interaksi yang diambil dalam menanggapi pandangan
semacam ini ditunjukkan secara beragam oleh informan yang ada dalam penelitain ini seperti
berikut:

Memilih untuk menjalin hubungan yang baik dengan teman-temannya.

memilih untuk tidak memberitahukan status mahasiswa nya sebagai mahasiswa
bidikmisi.

memilih untuk menutup diri terkait statusnya sebagai mahasiswa bidikmisi karena
merasa tidak nyaman dan takutdengan pandangan orang lain terhadap dirinya,

memilih unutk menutup status mahasiswanya namun tidak terlalu merespon pandangan
orang lain terhadap dirinya dengan sikap ketakutan.

memilih sikap cuek terhadap pandangan orang lain,

tidak menutup diri akan status ekonomi yang ada serta status mahasiswa nya sebagai
penerima beasiswa bidikmisi.
Ketiga konsep diatas merupakan proses yang terjadi ketika seseorang mengkonstruksi
sebuah realitas yang subyektif melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas
yang menjadi entry concept sebagaimana kembali dikemukakan oleh Berger & Luckmann, yakni
subjective reality, symbolic reality dan objective reality.
a) Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan
keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang
kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
b) Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai
“objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak
atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.
c) Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan
dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masingmasing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi,
atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui
proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi,
memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru.
Dalam penelitian ini sendiri, proses terkonstruksi nya realitas subjektf dengan
menggunakan entry concept diatas digambarkan oleh peneliti dengan menggunakan Matriks
berikut:
Matriks Proses Konstruksi Realitas Sosial
No
Entry Concept
1
Objektive
Reality
2
Symbolic
Reality
3
Subjective
reality
Pemaknaan
dan
Proses
Konstruksi Realitas.
- pemaknaan bahwa kemiskinan
besifat intersubjektif
- memahami kondisi ekonomi
berkecukupan
- menyadari prestasi kademik di
SMA
penerimaan
mahasiswa
bidikmisi
memiliki
celah
persyaratan
memutuskan
untuk
mendaftarkan diri dan mengikuti
proses
seleksi
penerimaan
mahasiswa
calon
penerima
beasiswa bidikmisi
- Definis realitas dimaknai secara
pribadi dan diputuskan, yang
akhirnya terkonstruksi melalui
proses internalisasi.
- informan memutuskan untuk
melibatkan diri dalam proses
eksternalisasi.
- informan melakukan proses
objektivikasi.
Keterangan
Definisi
tertangkap
Realitas
yang
- kemiskinan yang bersifat
intersubjektif
serta
celah
lemahnya persyaratan penerima
bidikmisi
membuat
mereka
memutuskan untuk mendaftarkan
diri dan mengikuti proses seleksi
penerimaan mahasiswa calon
penerima beasiswa bidikmisi.
Meskipun secara ekonomi mereka
merupakan
kalangan
berkecukupan, namun adanya
kesempatan
prestasi,
akses
informasi
serta
lemahnya
pengawasan
persyaratan
administrasi menjadi faktor-faktor
yang membuat mereka mengambil
keputusan tersbut.
Definisi realitas yang ada, yang
kemudian
dimaknai
dan
terkonstruksi
melalui
proses
internalisasi
yakni
proses
memaknai definisi kemiskinan,
memaknai kondisi ekonomi dan
prestasi akademik di SMA serta
memahami
persyaratan
penerimaan beasiswa bidikmisi.
Dari sini, informan memutuskan
untuk melibatkan diri dalam
proses
eksternalisasi,
yakni
mengikuti seleksi penerimaan
mahasiswa penerima beasiswa
bidikmisi. Setelah proses tersebut,
informan (berpotensi) melakukan
proses
objektivikasi
yakni
pemaknaan terhadap pandangan
orang lain terhadap setatus nya,
serta sikap nya terhadap orang
lain terkait status kemahasiswaan
yang dimilikinya.
Kesimpulan
Dalam penelitian ini tercatat, bahwa proses internalisasi, eksternalisasi dan objektifasi
bejalan secara simultan kedalam sebuah konstruksi berpikir dan bersikap terhadap sebuah
realitas sosial. Pemaknaan definisi realitas terhadap dirinya dengan memahami bahwa
kemiskinan bermakna subjektif, memahami bahwa mereka berasal dari kalangan mampu,
memahami syarat-syarat bidikmisi serta memahami akan potensi dan modal akademik yang
mereka miliki menuntun pada realitas simbolik yang kemudian ditunjukkan mahasiswa kaya
dengan tetap mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa bidikmisi. Selain itu, penelitian ini juga
mencatat, bahwa mahasiswa kaya dalam realitas yang terbangun menunjukkan self assesment
mereka sebagai mahasiswa bidikmisi dengan meraih dan mempertahankan nilai akademis yang
tinggi. Dalam memaknai pandangan orang lain sebagai statusnya yang merupakan mahasiswa
kaya penerima bidikmisi, mereka kemudian lebih memlih bersikap secara beragam diataranya
yakni bersikap biasa, cuek dan menutup diri.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku:
Basrowi, Sukidin. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan
Cendekian.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang
Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality
oleh Hasan Basari). Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan Kesadaran
Manusia (diterjemahkan dari buku asli The Homeless Mind: Modernization and
Consciousness). Yogyakarta: Kanisius.
Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1994. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial
(diterajemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono). Jakarta: Pustaka LP3ES.
Dimyati, Mohammad. 2000. Penelitian Kualitatif: Paradigma, Epistemologi.
Pendekatan, Metode, dan Terapan. Malang: IPTI & UNM
Margaret M. Poloma. 2007. Sosiologi Kontemporer.
Download