KONTEMPLASI PENERAPAN SYARI’AT ISLAM Oleh : Mansari Penerapan syariat Islam kembali terusik oleh karena ulah beberapa oknum yang anti syariat. Kali ini terjadi pada Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa beserta beberapa aparat penegak hukum (law enforcement) syariat termasuk petugas Wilayatul Hisbah (WH) yang menertibkan dan membubarkan pertunjukan keyboard di Gampong Karang Anyar, Kecamatan Langsa Baro, Langsa. Insiden ini telah mengoyak-ngoyak dan mencoreng moreng aparat penegak hukum, yang dalam hal ini WH, dan penerapan syariat Islam secara universal. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan, memilukan dan menyedihkan terjadi di daerah yang didengung-dengungkan menerapkan syariat Islam secara konprehensif (kaffah). Namun masih ada juga golongan tertentu yang sikap dan tingkah lakunya tidak berdasarkan syariat. Tindakan yang tidak sepatutnya terjadi, namun itu realita yang bisa kita baca lewat media cetak dan media massa lainnya. Jika peristiwa tersebut terjadi di daerah yang tidak menerapkan syariat bisa dimaklumi dan bisa dipahami. Pengeroyokan yang menimpa Kadis Syariat Islam menyadarkan dan mengingatkan kita bahwa pemahaman penerapan syariat islam masih belum memadai. Kurangnya pemahaman masyarakat mengenai pelaksanaan syariat, membuatnya tidak menaati dan melaksanakannya dengan sepenuh hati. Dasar ideologi dan sosiologi menegakkan hukum berdasarkan syariat Islam adalah perlunya proses pemahaman ajaran Islam yang komprehensif. Suatu model pemahaman sekaligus penerapan ajaran Islam Quran dan Sunnah yang dimulai dari sutu keyakinan bahwa Islam menawarkan berbagai solusi kondusif. Bentuk tawaran teologis dan filosofis tersebut antara lain bahwa risalah Quran mengandung penjelasan tentang petunjuk dan pembeda antara yang benar dan yang batil. Kontemplasi ulang Penerapan syariat Islam kaffah di bumi Aceh butuh kontemplasi (perenungan) dan perlu dipikirkan ulang (rethinking) bila masyarakat Aceh benar-benar membutuhkan dan menginginkan syariat Islam tetap berlaku. Untuk menjamin eksistensi dan konservasi (pelastarian) pelaksanaan syariat tentunya memerlukan visi dan misi yang sama dari berbagai komponen. Baik itu dari struktur pemerintahan maupun nonpemerintahan yang meliputi ormas-ormas Islam, tokoh masyarakat, tuha peut gampong, mukim dan lain sebagainya. Yang bertujuan untuk selalu tetap menjaga, memelihara keberlangsungan dan tegaknya syariat. Para legislator yang mempunyai otoritas membentuk qanun bernafaskan syariat dan hukum acaranya yang sebelumnya sibuk dengan politik kini sudah saatnya kembali memikirkan identitas asli Aceh berupa syariat. Tidak ada identitas lain bagi orang Aceh Islam beserta ajaran-ajaran. Sejarah telah mencatat betapa susahnya nenek moyang kita dalam memperjuangkan agar diberikan keistimewaan penerapan syariat di Aceh. Tgk Muhammad Daud Beureueh, misalnya, yang rela melakukan perlawanan terhadap pemerintah RI pada tahun 1953 demi agama Allah beserta eksisnya ajaranajaran yang terkandung dalamnya. Berkat perjuangan yang begitu panjang maka Aceh diberikan keistimewaan meliputi bidang agama, adat dan pendidikan. Yang kemudian dituangkan dalam UU No.44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh serta selanjut UU No.18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, dan yang terakhir disahkannya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Demikian semangat Islam terus berkobar dalam dada orang aceh sejak masa kesultanan, penjajahan belanda dan kemerdekaan. Apakah semangat ini telah padam dalam diri orang Aceh sehingga perlu dinyalakan kembali. Seandainya mereka dapat menyaksikan bangsa setelah diwariskan kepada kita tentu mereka akan menangis dan merasa sedih. Perjuangan yang telah mereka usahakan tidak sedikit pun kita syukuri dan kita jaga dengan baik, bahkan mengotorinya dengan berbagai lumuran kemaksiatan kepada Allah. Untuk itu semua masyarakat sudah seharusnya berkontemplasi (merenung) dan memaknai perjuangan nenek moyang. Jasa perjuangan mereka sungguh jauh sangat berharga daripada nilai emas dan permata. Hanya nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan yang tertanam dalam jiwa mereka supaya hidup dalam bingkai syariat Islam. Untuk menyalakan dan menghidupkan kembali semangat sebagaimana yang telah mereka lakukan, kini saatnya kita satukan langkah, rapatkan barisan dengan tujuan melawan berbagai bentuk kemaksiatan. Mewujudkan Aceh seperti dulu yang merupakan pintu gerbang masuk dan berkembangnya Islam ke seluruh Asia Tenggara. Menjadi daerah yang betul-betul menerapkan syariat dalam berbagai sendi kehidupan. Untuk merealisasikan hal tersebut tidak mudah sebagaimana yang dibayangkan di era modern. Pemikiran dan peradaban serta budaya asing yang mengutamakan kebebasan individu juga memiliki andil dalam merusak nilai-nilai karakter bangsa. Tindakan amoral terjadi dimana-mana, pakaian minimalis yang jauh dari nilai-nilai keislaman menjadi pilihan utama, sementara pakaian yang bernuansa islami semakin tertinggal. Pengaruh negatif tersebut dapat leluasa masuk melalui televisi, jaringan internet yang dapat diakses dimana-mana dan melaui majalah-majalah yang tidak mendidik. Pengaruh arus globalisasi yang masuk ke sendi-sendi kehidupan yang memberi dampak negatif bagi remaja harus ditanggulangi secepat mungkin. Pemahaman nilainilai religious perlu ditingkatkan dalam dadanya supaya makin kuat iman dan keyakinannya. Kesadaran hukum Hukum tidak dapat ditegakkan dengan sendirinya tanpa kesadaran hukum yang muncul dari masyarakat itu sendiri. Upaya untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat mutlak diperlukan bila menginginkan sebuah produk hokum berjalan sebagaimana yang diinginkan. Karena tidak semua lapisan masyarakat mengetahui hukum bahkan ada masyarakat yang yang berdomisili di wilayah terpencil tidak mengetahui hukum. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka perlu ditingkatkannya pembinaan dan penyuluhan-penyuluhan hokum secara inten. Masih rendahnya pengetahuan hukum masyarakat, maka semakin besar pula pelanggaran yang akan ia lakukan. Bukannya disebabkan faktor kesengajaan, tapi keterbatasan dan keterbelakangan pengetahuannya yang mempengaruhi dipatuhi atau tidaknya hukum. Berbagaimanapun bentuk hukum yang dihasilkan tidak akan mendapatkan hasil optimal bila tidak dibekali terlebih dahulu bagi masyarakat. Bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan barangkali tidak sulit untuk mendapatkan dan mengakses informasi di era serba digital, tapi bagi mereka yang tinggal di pelosok dan daerah terpencil. Jangankan untuk mengakses internet, televisi pun tidak ada. Bagaimana bisa didapatkan informasi bila keadaannya demikian? Selain kesadaran hukum, komitmen dan kerja sama berbagai elemen tidak bisa diabaikan begitu saja. Upaya untuk menegakkan pelaksanaan syariat bukan hanya tanggung jawab WH dan Dinas Syariat Islam secara institusional. Akan tetpi juga merupakan tugas dan tanggung jawab bersama yang wajib dilaksanakan dalam rangka menjaga eksistensi syariat Islam di Aceh. Semoga! Mansari, Mahasiswa Jurusan SAS, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: [email protected] Artikel ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia Perlukah Produk Hukum Demokratis ? Oleh : Mansari PRODUK hukum yang baik adalah produk hukum yang merupakan hasil dari masukan-masukan masyarakat dan adanya keterlibatan masyarakat dalam perumusannya. Dalam istilah politik hukum disebut dengan konfigurasi politik demokratis menghasilkan hukum yang positif/populis. Sebaliknya konfigurasi politik otoriter menghasilkan hukum yang ortodoks/konservatif. Artinya, setiap produk hukum yang baik adalah produk hukum yang dihasilkan dari adanya partisipasi masyarakat dengan cara memberikan peluang bagi setiap orang atau mewakili untuk menyuarakan apa yang harus dimasukkan dalam sebuah produk hukum. Sedangkan produk hukum yang bersifat otoriter akan menghasilkan hukum yang menuai pro dan kontra. SistemDesentralisasi Negara Indonesia yang menganut sistem desentralisasi mengakui pemerintahan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri pada tingkat provinsi, kota dan kabupaten. Tiap-tiap kepala pemerintahan baik itu pemerintahan pusat, pemerintahan provinsi, kabupaten/kota adanya lembaga legislatif. Di tingkat pusat adanya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berwenang untuk membentuk peraturan perundang-undangan; Di tingkat provinsi adanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau di Aceh disebut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), dan di kabupaten/kota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK). DPRA merupakan lembaga yang berwenang membentuk dan menyusun peraturan daerah atau di Aceh disebut qanun berdasarkan persetujuan gubernur. Pada 2013 ini, DPRA Aceh memprioritaskan 21 rancangan qanun (raqan) yang akan dibahas dan disah menjadi qanun. Jika menoleh ke belakang, betapa banyak kita menyaksikan produk hukum yang dihasilkan oleh legislatif maupun pemerintah daerah yang menuai reaksi dari masyarakat dan munculnya pro dan kotra. Qanun wali nanggroe misalnya, ketika qanun tersebut disahkan memang ada segelintir orang yang pro terhadap pembentukannya dan mendukung habis-babisan agar qanun disahkan dengan berbagai alasan tertentu yang ia kemukakan. Atau boleh jadi dukungannya disebabkan oleh karena adanya faktor kepentingan dan harapan yang diinginkan setelah qanun tersebut disahkan. Begitu juga halnya dengan pihak yang kontra terhadap qanun tersebut. Alasan demi alasan, argument demi argument ia kemukakan dengan satu tujuan agar qanun tersebut tidak disahkan. Boleh jadi pihak yang kontra ini disponsori oleh pihak-pihak tertentu atau tidak. Yang pasti adanya sikap penolakan terhadap qanun tersebut. Contoh lain bisa kita lihat, ketika kebijakan Wali Kota Lhokseumawe mengenai larangan duduk ngangkang bagi perempuan. Isu tersebut menjadi isu yang sangat seksi untuk dibahas di media, baik itu media cetak maupun media online, bahkan isu tersebut sampai ke tingkat nasional. Begitu juga dengan qanun mengenai lambang daerah yang sempat terjadinya pro dan kontra dan berbagai aturan hukum lainnya yang pernah dikeluarkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? tidak lain dan tidak bukan alasannya adalah kurangnya parsipasi publik dan sempitnya ruang bagi publik untuk menyuarakan aspirasinya dalam membentuk aturan. Sehingga wajar saja kejadiannya seperti itu dengan berdalih demokrasi, yang mana setiap orang diberikan kebebasan oleh Negara untuk mengeluarkan aspirasinya. Satu hal yang tidak bisa dihindari dari sebuah produk hukum tanpa terlibatnya masyarakat adalah munculnya profesi baru di tengah masyarakat. Profesi yang penulis maksud adalah munculnya profesi kritikor-kritikor sejati atau tukang kritik. Kritikan terhadap segala kebijakan pemerintah sebenarnya hal biasa saja dan memang diperlukan supaya kedepan tidak terjadi hal yang sama. Tapi jika kritik yang pada mulanya bertujuan untuk kebaikan, namun mengarah kepada sikap dan ego yang berlebihan dengan menghina, melecehkan dan mencaci maki pemerintah itu menjadi masalah besar. Dengan demikian jatuhlah pamor dan derajatnya. Sebelum qanun yang menjadi prioritas utama pada tahun ini dibahas lebih lanjut dan disahkan oleh DPRA, tentu kita semua tidak menginginkan hal yang sama seperti yang terjadi pada qanun-qanun yang lain. Dimana ada pihak yang menerima dan ada pula yang menolaknya. Keterlibatan masyarakat sangat diperlukan untuk membentuk sebuah produk hukum yang baik, baik itu LSM, aktivis perempuan maupun mahasiswa juga tidak bisa dikesampingkan. Terlebih lagi dari 21 raqan yang menjadi prioritas tahun ini termasuk Raqan Acara Jinayah yang menjadi prioritas utama. Aktivis perempuan dalam pembentukan qanun pada tahun ini harus memperjuangkan hak-hak perempuan yang selama ini dimarginalkan. Karena hampir tidak ditemukan dalam sebuah produk hukum yang tidak mendiskreditkan perempuan, contohnya kebijakan Wali Kota Lhokseumawe. Yang dianggap oleh sekelompok orang sebagai ketidakadilan gender, masak laki-laki saja yang dibolehkan duduk dengan cara ngangkang. Peran Strategis Ulama sebagai warasatul ambiya juga mempunyai peran strategis untuk menuangkan pemikirannya terkait pembentukan qanun di aceh, apalagi qanun acara jinayah yang merupakan hukum pidana Islam yang erat kaitannya dengan sumber utama hukum-hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits serta mempunyai nilai teologisnya yaitu Allah sebagai pencipta hukum (maker law). Oleh karena itu, keterlibatan ulama dan ormas Islam, baik dari ulama dayah, ulama modern, MPU, Muhammadiyah, dan Dewan Dakwah Islamiah mutlak diperlukan. Karena para ulama sangat mengerti mengenai hukum Islam dan segaligus ahlinya. Mereka mempunyai nilai keilmuan dan integritas keislamannya yang sangat mendukung dalam pembentukan sebuah regulasi. Hal ini bertujuan agar produk hukum yang dihasilkan sesuai dengan aliran yang terdapat dalam ilmu hukum, yaitu aliran etis, aliran utilities dan aliran yuridis normatif. Aliran etis mengungkapkan bahwa tujuan dari hukum adalah untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat. Sedangkan aliran utilities mengatakan bahwa tujuan dari pemberlakuan sebauh peraturan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Dan aliran yuridis normatif mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mecapai kepastian hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan. Guna terciptanya produk hukum yang menjiwai ketiga aliran di atas, maka setiap produk hukum harus melibatkan segenap elemen masyarakat. Artinya, sebelum menyusun dan mensahkan satu produk hukum, pihak legislatif haruslah mendengar masukan-masukan dari masyarakat. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin, produk hukum yang dihasilkan itu akan menuai masalah. Jadi, produk hukum pun harus demokratis. Mansari, Mahasiswa Jurusan SAS, Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Email: [email protected] Qanun Acara Jinayat, Mengapa Tidak ? Oleh : Mansari Rancangan Qanun (Raqan) Acara Jinayah yang sempat dibahas oleh DPRA periode 2004-2009 lalu, hingga kini tidak jelas bagaimana nasibnya. Sementara raqan lain, seperti Raqan Wali Nanggroe dan Raqan Bendera dan Lambang Daerah yang masuk belakangan --terlepas dari pro-kontra-- justru sudah dibahas dan sudah disahkan menjadi qanun oleh DPRA periode sekarang (2009-2014). Kebutuhan akan adanya sebuah Qanun Acara Jinayat di Aceh sejak dari dulu disuarakan oleh rakyat Aceh yang peduli syariat di bumi iskandar ini. namun sampai sekarang belum mencapai hasil seperti yang kita harapkan yaitu belum disahkannya qanun tersebut menjadi qanun. Sementara hukum materil sudah disahkan pada 2003 sebanyak 3 qanun yang khusus mengatur tentang delik pidana Islam, yaitu Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar (Minuman Keras), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi), dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Ketiga qanun tersebut hanya termuat dalam sebuah dokumen saja, dan belum bisa dijalankan dengan maksimal. Hal ini disebabkan karena belum adanya hukum formil (hukum acara) yang jelas yang mengatur agar hukum materil itu dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Hukum materiil dan hukum formil keduanya saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Keduanya bagaikan dua mata sisi uang logam yang saling membutuhkan. Hukum materil tanpa hukum formil sama saja tidak ada artinya tidak bisa dijalankan. Begitu juga hukum formil tanpa adanya hukum materil juga tidak bisa berjalan, karena tidak aturan apa yang harus dijalankan. Masih pakai KUHP Oleh karena belum adanya aturan hukum acara yang jelas yang khusus mengatur untuk melaksanakan qanun materil, maka untuk melaksanakan hukum materil tersebut masih berpedoman pada hukum peninggalan Belanda yaitu Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga kejaksaan yang menuntut pelanggaran syariat masih berpedoman pada aturan yang termuat dalam KUHP. Sebenarnya apa saja yang termuat dalam KUHP tersebut belum lengkap mengatur tentang qanun-qanun yang ada di Aceh sekarang. Tidak pernah ditemukan ada kata-kata khalwat dalam KUHP tersebut dan begitu juga tidak ada sanksi yang jelas yang mengatur untuk pelanggaran tersebut. Jadi sangat pantaslah jika orang berkata syariat Islam di Aceh hanya sebuah isu semata, belum dijalankan secara baik. Pelaksanaan syariat Islam secara kaffah hanya suatu kemegahan saja, namun belum direalisasikan dan dipraktekkan dalam kehidupan. Pelaksanannya juga masih berjalan ditempat karena belum ada pijakan yang kuat bagi aparat penegak hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Laurence M Friedman bahwa hukum akan dapat ditegakkan apabila sudah terpenuhi beberapa unsur, yaitu: Pertama, substantional of law yaitu aturan hukum yang lengkap, baik itu hukum materiil maupun hukum formil. Kedua, law enforceman yaitu aparat penegak hukum yang profesional yang berlatar belakang pendidikan hukum. Ketiga, culture of law artinya kesadaran hukum masyarakat harus ditingkatkan. Dari ketiga unsur di atas, hanya satu unsur yang sudah terpenuhi yaitu penegak hukum. Sehingga tidak mungkin pelaksanaan syariat dapat dilaksanakan secara kaffah, Karena belum ada dua unsur yang belum terpenuhi yaitu substansi hukum atau aturan hukumnya, belum ada hokum acara yang jelas. Begitu juga kesadaran hokum masyarakat masih kurang, sehingga aturan hanya sebatas aturan dan sama sekali tidak diindahkan dan tiapkali ada pelanggaran syariat. Penulis merasa kaget ketika mengunjungi sejumlah tempat rekreasi di Aceh, baik di ibu kota provinsi mampun di kabupaten/kota, perilaku pasangan pemuda/pemudi kita cenderung mengarah pada terjadinya pelanggaran-pelanggaran syariat. Oleh karena itu, harus disosialisasikan qanun-qanun syariat yang sudah terformulasi kepada mereka agar kembali kejalan yang benar. Kebutuhan masyarakat Jika kita suruh pilih mana pilihan terbanyak antara Qanun Wali Nanggroe dengan Qanun Acara Jinayah pada masyarakat, penulis yakin tentu masyarakat akan cenderung memilih Qanun Acara Jinayat. Hal ini disebabkan bahwa Qanun Acara Jinayat tidak hanya kepentingan satu oknum tertentu, akan tetapi merupakan suatu kebutuhan masyarakat yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Selain itu, masyarakat juga sadar akan hukum syariat, bahkan sejak mereka lahir sudah diberikan pendidikan agama lewat syair-syair yang bernafaskan islami. Karena itulah, Qanun Acara Jinayat yang hingga kini tidak jelas nasibnya, perlu terus didorong agar segera diprioritas kembali pembahasannya di tingkat legislatif. Apakah ia akan terus maju dan kita perjuangkan, ataukah ia hanya sebuah isu yang menyita perhatian publik, namun kita biarkan saja dan kita campakkan? Pertanyaan ini harus kita tanamkan dalam diri pribadi masing-masing. Terkait Qanun Wali Nanggroe boleh-boleh saja diberlakukan, namun alangkah lebih baiknya setelah aturan yang mengatur tentang hukum Islam kelar, baru dialihkan kepada pembentukan Wali Nanggroe. Seberapa besarkah kita masih mencintai syariat Islam, maka akan tercermin pada kegigihan kita bersama dalam memperjuangkan Qanun Acara Jinayat yang sempat terhambat pada waktu lalu. Mari bersama-sama kita membumikan hukum Allah di bumi Serambi Mekkah, mari kita rapatkan barisan, ayunkan langkah, satukan tujuan demi tegakkan syariat Islam secara kaffah di Aceh. Semoga! Mansari, Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan SAS IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Email: [email protected] Artikel ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia BEASISWA DAN MUTU PENDIDIKAN Oleh : Mansari KEBIJAKAN Pemerintah Aceh menghentikan pemberian beasiswa kepada para mahasiswa sebagaimana diberitakan oleh berbagai media beberapa waktu lalu, bagaikan isu artis ternama terkana kasus-kasus besar, bagaikan pejabat terkena kasus korupsi yang beritanya marak dan hangat dibicarakan di mana-mana. Mahasiswa Aceh yang sedang belajar di luar negeri pun berkomentar terhadap kebijakan ini. Begitu juga status-status yang menghiasi di jejaring sosial facebook dan twitter yang hampir tiap hari diwarnai dengan isu ini. Ada sebagian yang mendukungnya dan tak sedikit pula yang menolak dengan argumentasinya masing-masing. Fenomena tersebut lumrah terjadi di Negara yang menganut paham demokrasi, di mana setiap orang berhak berkomentar terhadap kebijakan dan tindakan dari pemerintah. Baik itu masalah ekonomi social, politik, ekonomi, budaya, hukum dan lain-lain. Pemerintah bukanlah super power yang kebal akan kritik dan masukan dari rakyatnya. Pemerintah mempunyai otortias untuk menyetop penyaluran beasiswa untuk sementara waktu. Begitu juga masyarakat juga mempunyai hak untuk mengeluarkan aspirasinya dengan masukan-masukan yang bersifat konstruktif (membangun), guna untuk memberikan solusi dari kesemrawutan agar kita tidak berpecah belah, serta yang paling penting adalah meningkatnya mutu pendidikan dan pembangunan Aceh ke depan. Pengelolaan beasiswa Kewenangan pengelolaan beasiswa Aceh sekarang berada pada Lembaga Peningkatan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh yang dulunya Komisi Beasiswa Aceh (KBA). Namun sayangnya, manajemen di lembaga ini dinilai masih amburadul yang mengakibatkan dihentikannya penyaluran beasiswa. Padahal beasiswa merupakan awal dari pembangunan suatu bangsa. Mengapa demikian? Bangsa yang maju, bangsa yang sejahtera, dan bangsa yang minimnya angka pengangguran adalah bangsa yang maju di bidang pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan tidak akan terwujud tanpa adanya partisipasi dan dorongan dari pemerintah untuk memberikan biaya pendidikan beasiswa kepada generasi bangsa. Mahalnya biaya pendidikan akan menghambat pemerataan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pendidikan hanya didapatkan oleh sebagian orang yang mapan secara ekonomi, sementara bagi kalangan bawah yang ekonominya rendah tidak bisa mendapatkannya. Kita tidak sanggup membayangkan bagaimana Aceh ke depan bila berada pada generasi-generasi yang kurangnya ilmu pengetahuan. Penghentian beasiswa ini sangat merugikan bagi semua kalangan mahasiswa, baik yang belajar di dalam maupun di luar negeri. Misalnya, bagi mahasiswa calon guru daerah terpencil yang sedang menjalani pendidikannya di Unsyiah yang pada beberapa waktu lalu sudah melakukan audiensi dengan DPRA yang mempertanyakan kelanjutan dana beasiswa dengan Biro Keistimewaan Aceh yang telah diputuskan (Atjehpost.com, 29/1/2013). Siapa yang akan menanggung biaya untuk mereka yang sudah siap untuk membangun dan memajukan pendidikan bagi daerah-daerah terpencil yang ada di Aceh setelah menyelesaikan studinya. Mereka adalah benih-benih penting yang akan mengembankan tugas yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, yang akan memajukan pendidikan bagi daerah-daerah yang masih jauh tertinggal. Jika penghentian ini terus dilakukan, tentu akan menghambat proses belajar mereka, yang pada akhirnya akan semakin memelorotkan mutu pendidikan di Aceh. Begitu juga dengan mahasiswa yang sedang menimba ilmu di luar negeri, di mana biaya pendidikan tinggi, kebutuhan hidup sehari-hari juga besar. Sementara mereka hanya berharap bantuan beasiswa dari pemerintah asalnya. Akankah mereka gulung tikar alias angkat koper dan kemudian pulang ke kampung halamannya akibat kebijakan ini? Sangat merugikan Penulis beranggapan bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pemberhentian penyaluran beasiswa di satu sisi ada manfaatnya. Namun, di sisi lain sangat merugikan bagi generasi Aceh. Manfaat yang didapatkan dari kebijakan ini berupa kemudahan untuk penyaluran beasiswa pada tahun-tahun mendatang setelah adanya pembenahan dan pemformatan ulang lembaga penyaluran beasiswa ini. Pembenahannya bukan hanya sekadar manajemennya saja, akan tetapi harus lebih dari itu, yaitu memilih orang-orang yang memiliki kompetensi dan integritas keilmuan dalam manajemen serta orang-orang yang mempunyai pengalaman dan skill yang memadai untuk itu. Sedangkan kerugian yang didapat oleh generasi Aceh adalah terhambatnya proses belajarnya bagi mahasiswa asal Aceh yang sedang menuntut ilmu di dalam maupun di luar negeri. Alangkah lebih baik jika pemformatan dan pembenahan terus diperbaiki, dan beasiswa langsung dikucurkan demi kepentingan kemajuan pendidikan yang ada di Aceh. Di samping itu, agar menjiwai jiwa UUD 1945 yang dalam pembukaannya mengatakan bahwa cita-cita bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian dipertegas lagi dengan pasal 31 yang menyatakan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak dalam mendapatkan pendidikan yang layak. Berdasarkan pasal tersebut, maka pemerintah pusat maupun pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselengaranya pendidikan yang bermutu dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang siap pakai, dan masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan daerah yang maju, yang dapat bersaing secara universal dengan generasi-generasi yang ada di daerah maupun Negara-negara lain. Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu diperlukan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya kurang mampu untuk membiayai biaya pendidikan dan bagi mereka yang berprestasi. Mansari, Mahasiswa Jurusan SAS Fakultas Syariah, IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh. Email: [email protected] Artikel ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia WI-FI Gratis Oleh : Mansari Kehadiran sarana internet tanpa kabel, Wi-fi, yang disediakan gratis oleh pemerintah maupun pihak-pihak swasta, merupakan satu penunjang bagi upaya mencerahkan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Berbagai informasi yang telah, sedang, dan akan terjadi di belahan dunia lain langsung dapat diakses dengan penggunaan layanan Wi-fi gratis, di area publik maupun di warung-warung kopi. Menguasai sarana teknologi dan informatika ini, tentu saja telah memungkinkan kita untuk bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kehadiran Wi-Fi sangat mempengaruhi system pendidikan yang ada dan akan memberi nilai plus pada pendidikan bagi anak-anak, pemuda-pemuda dan mahasiswa-mahasiwa yang terus menyelami dan menimba ilmu-ilmu lewat perantara teknologi ini. Dengan demikian akan mempengaruhi mutu pendidikan yang ada di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya. Dan diharapkan juga dengan adanya Wi-fi Ini, generasi penerus yang ada di Indonesia dapat bersaing dengan Negara-negara luar. Penggunaan jasa Wi-Fi sudah merambah ke berbagai daerah yang ada di Aceh bahkan pelayanannya sudah disediakan pemerintah, seperti di Taman Sari yang menyediakan Wi-fi sampai 24 jam dan juga tersedia di berbagai warung kopi dengan menikmati segelas “kopi pancung” sudah bisa terbang kedunia luar untuk mencari informasi-informasi yang Up To Date. Penggunaanya pun tidak hanya digunakan oleh mahasiswa, anak-anak, akan tetapi dosenpun membutuhkan tehnologi ini untuk penambahan informasi dan penambahan materi perkuliahan yang harus diberikan kepada mahasiswanya. Dampak penggunaan Wi-fi Wi-fi yang merupakan alat pendukung untuk mengakses berbagai informasi dan pengetahuan itu sangat bermanfaat bagi semua orang. Dengan adanya Wi-fi pemuda dapat mengetahui informasi yang baru terjadi di berbagai belahan dunia, selain itu mereka juga bisa belajar sendiri dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan. Mereka juga semakin semangat menerima kemajuan IT, karena informasi yang mereka peroleh seimbang dengan teknologi yang mencuat ke permukaan, sehingga mereka tidak bertanya lagi ini apa dan itu apa. Selain itu, kehadiran Wi-fi juga mempengaruhi pola tingkah laku dalam kehidupan dan akan mempengaruhi tatanan kehidupan. Misalnya cara berpakaian (fashion style), terutama kaum perempuan seakan tak mau ketinggalan untuk mengikuti trend-trend mode terbaru. Ini tidak saja bisa diperoleh melalui berbagai media, terutama televisi, tapi juga bisa diakses lewat internet melalui penggunaan jasa Wi-fi. Selain dari segi berpakaian pengaruh Wi-fi juga berimbas dalam dunia pendidikan kalau penggunaannya tidak benar. Anak-anak masih salah memanfaatkan Wi-fi yang disediakan oleh pemerintah dan yang tersedia di warung-warung, sehingga akan berakibat pada dirinya sendiri. Anak-anak sering pulang larut malam dan tidak sempat belajar dirumah karena asyik bermain Game Poker di warungwarung wi-fi, mereka juga tidur terlalu malam sehingga keesokan harinya mengakibatkan ngantuk dan tidak semangat dalam belajar sehingga pada akhirnya akan merugikannya sendiri. Dan mereka juga akan terjerumus kedalam hal-hal yang tidak bisa dilakukan siswa yaitu terjerumus kedalam dunia pornografi dan mereka juga akan menonton film tersebut yang tentu saja tidak baik bagi perkembangan. Begitu juga di kalangan mahasiswa masih salah dalam memanfaatkan Wi-fi, mahasiswa sekarang sering menggunakan Wi-fi hanya sekadar untuk main poker, facebook-an dan twitter-an. Bahkan, dalam membuat karya ilmiah, misalnya, terkadang ada mahasiswa yang sering ‘copas’ alias copy paste karya atau hasil penelitian orang lain, yang sesungguhnya sangat dilarang dalam dunia akademik. Sebab, cara-cara seperti ini akan menghilangkan jati dirinya sebagai mahasiswa yang kreatif dalam menghasilkan karya ilmiah dan solutif dalam memberi solusi kepada masyarakat. Ini semua tidak akan terwujud kalau mahasiswa cenderung menganut budaya plagiarisme. Mahasiswa tidak lagi pergi ke pustaka untuk mencari bahan kuliah, akan tetapi cukup dengan duduk santai dan nongkrong di Warung Kopi yang hanya menggunakan tombol Ctrl C dan Ctrl P lansung bahannya dijadikan makalah atau dijadikan skripsi. Padahal mereka mengetahui menjadi plagiator sangat dilarang dalam dunia akademik. Sebab, konten dan data-data yang ada di internet tidak sepenuhnya benar dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, baik secara moral maupun secara ilmiah. Memberi kemudahan Semua produk teknologi, termasuk Wi-fi sebagai satu produk teknologi dan informatika akan memberi kemudahan bagi kita, jika dimanfaatkan untuk tujuantujuan yang positif. Tapi, sebaliknya juga bisa menjerumuskan jika penggunaannya tidak benar. Karena itu, khusus untuk anak-anak atau remaja yang masih dalam usia pertumbuhan, setiap penggunaan teknologi canggih ini hendaknya harus selalu didampingi atau diawasi oleh guru atau orang tua. Kehadiran IT perlu, tapi jangan sampai meninggalkan apa yang tidak sepatutnya ditinggalkan. Silahkan belajar setinggi-tinggi mungkin tapi nilai keislaman jangan sampai goyah, kuatkan akidah. Selain orang tua mengawasi anaknya, dosen juga mempunyai peran penting dalam membentuk watak mahasiswa yang cerdas, memiliki pengetahuan yang luas dan menghindari dari budaya plagiarisme yang masih dipraktekkan mahasiswa selama ini. Pemerintah juga mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, silahkan perbanyak Wi-fi gratis di area-area publik. Tetapi jangan lupa pengawasan yang ketat dalam penggunaannya. Kerahkan personel dan aparat penegak atau pengawas pelaksanaan syariat ke lapangan untuk mengawasi layanan Wi-fi gratis. Dengan upaya-upaya tersebut kita harapkan generasi bangsa kita akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang dicita-citakan bersama, yakni generasi yang cerdas dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa dan agama. Semoga! Mansari, Mahasiswa Fakultas Syariah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyah (SAS) IAIN ArRaniry, Banda Aceh. Email: [email protected] Artikel ini pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia