Konstruksi Perilaku Menyimpang terhadap Perempuan pada Qanun

advertisement
1 Konstruksi Perilaku Menyimpang terhadap Perempuan pada Qanun di
Provinsi Aceh
Mulki Makmun dan Muhammad Mustofa
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Ditegakkannya Hukum Syariah di Provinsi Aceh memunculkan serangkaian peraturan bernuansa Islam.
Hadirnya peraturan-peraturan yang mengatur perilaku menyimpang kemudian memunculkan diskriminasi
terhadap perempuan dalam pelaksanaannya. Penelitian ini kemudian mencoba melihat konstruksi perilaku
menyimpang terhadap perempuan yang terkandung di dalam peraturan tersebut. Penelitian ini menggunakan
pendekatan Sosiologi Hukum, Feminist Jurisprudence, dan Kriminologi Kritis melalui Teori Realitas Sosial
Kejahatan. Menggunakan pendekatan kualitatif dengan memakai studi dokumen dan wawancara, serta ditambah
dengan studi literatur, penelitian ini menemukan bahwa dalam dua Qanun tidak terdapat kalimat bias gender
yang diskriminatif terhadap perempuan. Diskriminasi terjadi karena konstruksi budaya dalam masyarakat yang
dipengaruhi oleh patriarki dalam menginterpretasikan Qanun.
Kata kunci:Perilaku Menyimpang, Feminist Jurisprudence, Hukum Syariah, Konstruksi, Sosiologi Hukum
Constructions of Deviance towards Women in Qanun of Aceh Province
Abstract
The implementation of Shariah Law in Aceh Province triggered creation of series of Islam related rules. Several
rules that regulate deviance, in time, impose discrimination towards women in the practice. This research tries to
oversee the constructed deviance of women that were defined within the rules. This research based on Sociology
of Law approach, Feminist Jurisprudence, and Critical Criminology within Social Reality of Crime Theory.
Using qualitative approach supported with documents study and interview completed with literature study, this
research found that in two Qanun there is no gender-biased lines and discrimination towards women.
Discrimination in this case happened because of cultural construction within the local people that influenced by
patrialchal views in interpreting Qanun.
Keyword: Deviance, Constructions, Feminist Jurisprudence, Sociology of Law, Sharia Law.
Pendahuluan
Semenjak Indonesia memasuki masa reformasi, kebijakan desentralisasi memicu
pembentukan beragam peraturan daerah berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya
(Santoso, 2011; Siregar, 2008). Beberapa daerah kemudian memasukkan nilai Islam dalam
bentuk Peraturan Daerah (Perda) tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, Rencana Strategis
(Renstra), Surat Keputusan, Intruksi atau Surat Edaran Bupati/Walikota dimana paling tidak
terdapat 22 kabupaten/kota, termasuk Provinsi Aceh (Kamil, 2013).
Penerapan Syariat Islam di Aceh tersebut tercantum dalam UU No.11 tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh dimana Provinsi Aceh memiliki kewenangan lebih dari provinsi
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
2 otonomi lain terutama dalam hal bidang politik, kerjasama luar negeri, perekonomian, dan
termasuk kewenangan penerapan hukum alternatif berupa penerapan syariat Islam (Siregar,
2008). Peraturan tersebut merupakan hasil dari Memorandum of Understanding (MoU) yang
ditandatangani oleh kelompok separatis GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan Pemerintah
Indonesia untuk menghentikan konflik (Salim, 2008; Santoso, 2011; Sujatmiko, 2012).
Saat ini Aceh telah mengatur tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang kepercayaan,
ibadah, dan penyebaran (syiar) Islam pada Qanun No.11/2002, mabuk-mabukan (khamar)
pada Qanun No.12/2003, perjudian (maisir) pada Qanun No.13/2003, dan berdua-duaan atau
melakukan perbuatan mesum yang mengarah ke zina (khalwat) pada Qanun No.14/2003.
Semua pidana khusus tersebut menggunakan hukum cambuk sebagai penindakannya
(Santoso, 2011).
Ternyata penerapan syariat Islam di Aceh memunculkan kontroversi seperti
munculnya kebijakan seperti menyalakan kembang api saat merayakan tahun baru Masehi
(liputan6.com, 2013), melarang seseorang bekerja sebagai pemain organ tunggal (Tribun
News, 2013), serta menangkap para pria muslim yang tidak melaksanakan ibadah shalat
Jumat (rakyataceh.com, 2013). Selain itu, muncul peraturan lain yang secara khusus ditujukan
kepada perempuan seperti kebijakan munculnya seruan bersama yang ditandatangani bupati
dan pemuka adat setempat yang melarang seorang perempuan duduk mengangkang ketika
sedang menaiki motor bersama dengan lelaki, termasuk suaminya (Kompas.com, 2013),
seruan melarang perempuan dewasa menari di depan umum (Tempo.co, 2013), serta
pelaksanaan Qanun No.11/2002 dianggap bermasalah karena penerapan yang tidak konsisten
dan lebih mengkriminalisasi perempuan (Komnas Perempuan, 2010; Human Rights Watch,
2010).
Media kemudian merekam beberapa perlakuan diskriminatif seperti adanya laporan
dari LBH Apik Aceh bahwa kasus pelanggaran terhadap cara berpakaian dan Qanun larangan
khalwat lebih represif terhadap perempuan (BBC.co.uk, 2013). Kemudian terdapat pernyataan
diskriminatif dari Bupati Aceh Barat “ketika perempuan tidak berpakaian sesuai hukum
(Syariah), mereka minta untuk diperkosa,” (The Jakarta Globe, 2010). Serta terdapat spanduk
bertuliskan “Perempuan yang Tidak Berjilbab Adalah Syaitan” (Detik.com, 2006) dan hal
yang sama dimuat pada media internasional.
“To All women, do not invite men to commit sins with your uncovered body,” read a
banner that was hanging in the office of the Central Statistics Agency (BPS) in Banda
Aceh, before the Dec. 26 tsunami flattened the City” (Inter Press Service, 2005)
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
3 (Terjemahan Bebas: “Kepada setiap perempuan, jangan mengundang laki-laki berbuat
dosa dengan tubuhmu yang tidak tertutup,” terlihat pada spanduk yang tergantung di
depan kantor BPS Banda Aceh sebelum tsunami pada 26 Desember.)
Fenomena ini menjadi sebuah paradoks karena Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against
Women) pada tahun 1984 yang merupakan instrumen HAM internasional yang menentang
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Komnas Perempuan, 2013). Paradoks lain
muncul dari keadaan yang menimpa perempuan Aceh saat ini dengan mereka yang hidup
pada masa sebelum kemerdekaan. Perempuan pernah menjadi pemimpin tertinggi di Aceh
yaitu sebagai Sultanah kerajaan-kerajaan di Aceh. Panjangnya masa pemerintahan mencapai
59 tahun dimana saat itu terjadi empat kali periode pergantian kekuasaan yang dipimpin
perempuan secara berturut-turut (BPPPA Provinsi Aceh, 2013).
Pada masa penjajahan juga banyak bermunculan pahlawan perempuan terkenal di
Aceh seperti Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati. Mereka dikisahkan sebagai
perempuan hebat yang berjuang melawan para penjajah. Mereka kemudian diilustrasikan
hanya memakai selendang dan celana panjang, tidak memakai jilbab dan rok, dan menjadi
panutan para perempuan pada masanya (Wahyuningroem, 2005).
Penelitian sebelumnya seperti yang dilakukan Milallos (2007) menemukan bahwa
kewajiban menggunakan jilbab bagi perempuan di Aceh merupakan bentuk politik sebagai
simbol perlawanan kolektif melawan Pemerintah Indonesia. Kemudian, Santoso (2011)
menjelaskan terdapat resiko perlakuan kekerasan terhadap kelompok minoritas atas nama
syariah karena adanya regulasi lokal yang bias dan multitafsir serta terdapat pendapat bahwa
implementasi dapat melanggar hak asasi manusia karena kerasnya penghukuman yang
diterapkan (Santoso, 2011). Jauhola (2010) dalam laporannya mengutip pernyataan Johnson
pada buku yang berjudul ‘Voices from Aceh: Perspectives on Syariat Law’ bahwa perempuan
menjadi simbol nilai moral di masyarakat yang menjadikan mereka target dari kontrol yang
bersifat normatif seperti pengaturan perilaku berbusana atau perilaku seksual lain (Jauhola,
2010).
Penelitian Human Rights Watch (2010) di Aceh menemukan fakta bahwa perempuan
Aceh menerima perlakuan yang tidak sebanding dengan laki-laki dalam hal peraturan
berbusana dan khalwat. Dari razia yang dilaksanakan pada 4 Mei 2010, Polisi Syariah atau
Wilayatul Hisbah (WH) menangkap 194 pelanggar peraturan busana Islami dimana 191
merupakan perempuan (Human Rights Watch, 2010). Penelitian Komnas Perempuan (2010)
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
4 juga menemukan bahwa peraturan berbusana pada pelaksanaannya lebih tertuju pada
perempuan, yang dijadikan simbol identitas ke-Islaman Aceh (Komnas Perempuan, 2010).
Peneliti tertarik untuk mengetahui mengapa peraturan di Aceh, yaitu Qanun yang
berasal dari nilai Islam mampu menghasilkan penerapan yang bias gender dan diskriminatif.
Peneliti kemudian mencoba mengetahui bagaimana proses yang mendasari pembuatan
peraturan tersebut menggunakan pemahaman sosiologi hukum dan penjelasan teoritis
Quinney mengenai realitas sosial kejahatan. Pada akhirnya peneliti bertujuan memberikan
analisis kritis terhadap kemunculan perlakuan diskriminatif dengan dibantu oleh pandangan
feminist jurisprudence. Selain karena belum ditemukannya penelitian yang secara spesifik
membahas tentang konstruksi perilaku menyimpang terhadap perempuan di Aceh dalam
Qanun, peneliti mencoba untuk memberikan perspektif kriminologi dalam memahami
permasalahan tersebut.
Tinjauan Teoritis
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah Hukum Syariah, Qanun, perilaku
menyimpang, konstruksi, reaksi sosial formal, feminist jurisprudence, hijab, dan perspektif
Sosiologi Hukum. Sedangkan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
proposisi realitas sosial kejahatan oleh Richard Quinney.
Secara etimologis, syariah berarti jalan menuju ke sumber air atau jalan ke arah
sumber pokok bagi kehidupan (Kamil, 2013). Syariah secara terminologis diartikan sebagai
sejumlah ketentuan hukum dan aturan Allah yang menjadi kewajiban bagi pemeluk agamanya
dalam menaatinya (Chalil, 2011). Syariah dalam literatur Islam identik dengan fikih, yaitu
dalam arti sempit hukum Islam walaupun karakter keduanya berbeda (Sabil et al, 2009).
Syariah saat ini dipahami sebagai hukum Islam yang meskipun diformulasikan melalui
penafsiran wahyu, tetapi harus diakui terpengaruh oleh kompleksitas teks sumber, terutama
hadis, juga oleh geografis dan historis pemahaman ulama oleh karena itu walaupun memiliki
sakralitas yang sebagiannya tidak berubah, tetapi juga memiliki banyak sisi relativitas dan
partikularitas (Kamil, 2013).
Dalam memahami Syariah, terdapat dua pandangan, yaitu literal (skriptural) dan
rasional (liberal/kontekstual). Syariah yang literal adalah produk pemikiran hukum Islam yang
bersumber dari pemahaman terhadap ayat-ayat atau hadis hukum sesuai bunyi dengan apa
adanya. Aliran ini merupakan aliran mainstream yang dianut dalam syariah tradisional (klasik
dan pertengahan). Di Indonesia, literalisme dalam memahami syariah dianut oleh kalangan
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
5 garis keras seperti FPI (Front Pembela Islam) dan HTI (Hizbut Tahir Indonesia). Syariah yang
rasional atau liberal adalah produk pemikiran syariah yang tidak terikat oleh bunyi teks ayat
tetapi pada makna hakiki di balik ayat sehingga dapat disebut pemahaman kontekstual.
Pemahaman ini dianggap dapat mengakibatkan penyimpangan, akan tetapi dengan
pendekatan yang tepat dengan mengamati konteks historis dan sosiologis masyarakat Islam,
pendekatan ini lebih mampu menangkap semangat dan jiwa ayat dan hadis. Ini dimungkinkan
dengan cara mentrasformasi/mereformasi materi syariah dengan memahami secara benar
tujuan syariahnya (Kamil & Bamulian, 2007).
Syariat Islam dalam undang undang diatur dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang
Pemerintahan Aceh Pasal 125 yang berisi:
(1)
Syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak.
(2)
Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (Hk.Keluarga), mualamah (Hk.-Perdata), jinayah (Hk. Pidana), qadha’
(peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.
(3)
Pelaksanaan Syariat Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Qanun Aceh
Qanun merupakan produk hukum sebagai pelaksana Hukum Syariah di Aceh dan
digunakan sebagai istilah untuk Peraturan Daerah. Qanun dibentuk oleh DPRD Provinsi Aceh
dan disahkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama. Qanun
kemudian dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu mengatur tentang institusi dan
prosedur untuk mengaplikasikan Hukum Syariah, dan yang mengatur tentang peraturan yang
diimplementasikan di daerah (Salim, 2008).
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan atau gejala sosial seperti perilaku menyimpang
sangat bermacam-macam baik sifat maupun bentuknya. Mustofa (2010) menjelaskan bahwa
reaksi masyarakat dapat bersifat formal, informal, maupun non-formal dengan tujuan agar
pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan masyarakat lain tidak meniru perbuatan tersebut.
Konsep ini menempatkan Qanun sebagai sebuah bentuk dari reaksi sosial formal di
masyarakat Aceh dalam menghadapi gejala sosial yang terjadi di wilayahnya (Abubakar,
2009). Selain itu, pada penelitian ini juga akan membahas reaksi non-formal masyarakat
terhadap perilaku menyimpang tersebut.
Dalam Kriminologi terdapat urutan derajat keseriusan ketika gejala sosial yang tidak
disukai oleh masyarakat dilihat melalui aspek moralitas. Pada tingkatan teringan adalah
penyimpangan tingkah laku, dengan diikuti oleh pelanggaran hukum pidana, dan tingkat
terberat adalah kejahatan (Mustofa, 2010).
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
6 Penyimpangan tingkah laku dapat berbentuk seperti perjudian, prostitusi, pemabukan,
masyarakat akan bereaksi dengan memberikan kecaman sebagai tindakan yang tidak
bermoral. Bila suatu bentuk penyimpangan tingkah laku dipandang sangat serius, maka
masyarakat akan mengambil tindakan yang lebih keras daripada sekedar mengecam saja,
misalnya mengusir pelaku penyimpangan (Mustofa, 2010). Konstruksi perilaku menyimpang
juga tidak bisa lepas dari anggapan kerusakan moral. Istilah "moral" apabila mengalami
gangguan akan dianggap sebagai ancaman bagi tatanan sosial.
Howard
Becker
(1991)
menyebutkan
peran
moral
entrepreneurs
dalam
mendefinisikan perilaku dan individu yang disebut menyimpang. Becker (1991) beranggapan
bahwa masyarakat seringkali disetir oleh media melalui usaha dari para moral entrepreneurs
yang berusaha mengarahkan opini publik dalam membuat gerakan sosial untuk memberikan
tekanan pada pemerintah dalam membuat regulasi moral. Moral entrepreneur dalam hal ini
terbagi menjadi dua, yaitu rule creator yang merupakan pihak penguasa yang menciptakan
hukum, dan rule enforcers yang merupakan pihak penegak hukum (Adler, 2000).
Feminist jurisprudence atau Feminist Legal Theory melihat hubungan antara
perempuan dan hukum dimana terjadi ketidaksetaraan dan ketidakadilan di dalamnya
(Barnett, 1998). Perspektif ini tidak bisa dilepaskan dari konsep gender dan patriarki karena
berkaitan dalam menjelaskan pembuatan hukum yang disorot oleh perspektif tersebut.
Beasley (2005) menyebutkan gender adalah proses sosial dimana terjadi pembagian
kelompok dan perilaku di masyarakat berdasarkan identitas seksual. Kemudian menurut
Herdt (1994) dalam Beasley (2005), masyarakat pada umumnya melakukan pembagian
tersebut secara binary, yaitu membagi menjadi dua walaupun terkadang lebih pada lain
tempat, waktu, dan kebudayaan.
Proses gendering ini pada umumnya diikuti oleh pengukuhan hierarki dimana satu
atau lebih kelompok yang terbagi dalam identitas seksual tersebut diistimewakan atau
dirugikan (Beasley, 2005). Konsep patriarki dalam hal ini memberikan pengaruh dalam
pemberian privilege terhadap salah satu kelompok. Patriarki menurut Beasley (2005)
merupakan suatu dominasi secara sistemik dan trans-historical oleh laki-laki terhadap
perempuan dan ini memberikan superioritas pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Oleh karena terdapatnya hierarki dan kerugian dalam konstruksi gender akibat
patriarki, maka feminist jurisprudence mencoba melihat bagaimana proses penciptaan hukum
yang didominasi patriarki memberikan suatu ketidakadilan, yang pada umumnya diderita oleh
perempuan. Proses ini kemudian berujung pada advokasi dan perjuangan untuk
menghilangkan ketidakadilan tersebut (Barnett, 1998) .
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
7 Hijab pada Islam merupakan bagian dari fenomena penerapan syariah. Penelitian yang
menunjukkan adanya singgungan permasalahan antara perempuan dengan syariah Islam yang
berhubungan dengan jilbab sebagai hijab kemudian dibahas oleh Kamil (2007) dengan
menganggap bahwa sebenarnya hukum berjilbab masuk dalam ranah khilafiah (kontroversi).
Terdapat dua interpretasi tentang wajib atau tidaknya berjilbab. Dalam syariah tradisional
jilbab merupakan kewajiban seorang Muslimah, tetapi dalam pemikiran hukum Islam
kontemporer, jilbab bukanlah suatu yang diwajibkan (Kamil & Bamulian, 2007) .
Kemudian, pada kaum perempuan beragama Islam di Indonesia, penggunaan hijab
mengalami proses perkembangan. Dulu perempuan Indonesia hanya memakai kerudung, baru
setelah masa 1980an perempuan Indonesia menggunakan jilbab. Kerudung sendiri merupakan
kain yang menutupi rambut secara tidak ketat sedangkan jilbab menutupi seluruh rambut dan
leher hingga menutupi seluruh permukaan kulitnya (Candraningrum, 2013).
Kamil dan Bamulian (2007) beranggapan bahwa Al Quran maupun hadis tidak
memberikan rincian dan bentuk konkret tentang model pakaian sebagai penutup aurat karena
bentuk pakaian menjadi bagian dari kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim
negerinya yang dipengaruhi ruang dan waktu. Dalam Islam tidak ada ketentuan harus
memakai kebaya atau baju kurung, tidak ada pula larangan memakai gaun atau rok karena
yang ditentukan Islam adalah pakaian sopan.
Pemahaman Hijab pada penelitian ini dipandang sebagai cara untuk mengurangi
kemerosotan moral akibat pergaulan bebas antara kedua jenis kelamin pada masyarakat Aceh.
Pemahaman tersebut didasarkan pada pandangan bahwa hijab dipandang sebagai tradisi yang
universal di dunia timur untuk mengurangi akar-akar kemerosotan moral dengan alasan untuk
menghindari fitnah (Kamil & Bamulian, 2007). Pada akhirnya, hijab pada penelitian ini
dipahami sebagai konstruksi masyarakat untuk memberikan batas pergaulan bebas laki-laki
dan perempuan yang tidak hanya terbatas pada urusan busana Islami, tetapi juga pada
larangan khalwat dan himbauan tentang larangan duduk mengangkang.
Dalam Ilmu Sosial, konsep konstruksi muncul dalam menjelaskan bagaimana sesuatu
tersebut bersifat “nyata” di mata individu dan masyarakat. Contoh konstruksi akan sesuatu
adalah nasionalitas, buku, dan lembaran uang yang sebenarnya tidak memiliki arti apapun jika
masyarakat tidak memberikan arti pentingnya wujud tersebut. Manusia memberikan
interpretasi atas dunia dan membuat gambaran-gambaran tertentu dalam pikiran mereka, yang
mereka percayai sebagai sesuatu yang merefleksikan pada realita. Sebuah realita sosial dapat
berubah tergantung kepada sejauh mana peradaban manusia dapat membebaskan diri mereka
dari konstruksi sosial yang telah mereka ciptakan sendiri (Miller, 2009) .
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
8 Selain hijab, contoh lain konstruksi sosial yang berhubungan dengan penelitian ini
adalah mengenai gender. Pada awalnya gender hanya membedakan antara jenis kelamin yang
kemudian berkembang menjadi aturan main yang mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan. Aturan tersebut disosialisasikan melalui pendidikan, pengasuhan, agama, media
massa, bahasa, dan bahkan oleh negara. Akibatnya terjadi konstruksi baku terhadap aturan
main dalam berperilaku antara laki-laki dan perempuan yang terkadang memiliki unsur
diskriminasi dan subordinasi di dalam konstruksi tersebut (Murniati, 2004).
Quinney (1970) kemudian menganggap bahwa kejahatan juga merupakan konstruksi.
Quinney kemudian menjelaskan proses konstruksi tersebut terjadi ketika definisi kejahatan
menjadi jelas di kalangan pihak penguasa masyarakat, yang diikuti dengan proses pembuatan
peraturan untuk mencegah, mengatur, dan menindak mereka yang melakukan kejahatan, yang
akhirnya ditegakkan dan disosialisasikan secara luas sehingga menjadi suatu kenyataan bahwa
tindakan tersebut merupakan kejahatan di masyarakat. Proses tersebut Quinney rumuskan
menjadi enam proposisi (Quinney, 1970).
Proposisi pertama menjelaskan kejahatan adalah suatu definisi tingkah laku manusia
dalam hukum yang diciptakan oleh penguasa dalam suatu masyarakat yang terorganisasi
secara politik. Proposisi kedua hingga kelima menjelaskan proses pengkonstruksian definisi
kejahatan di masyarakat, dimulai dari perumusan definisi oleh kelompok masyarakat yang
memiliki kuasa dalam membuat kebijakan, penerapan definisi melalui sistem peradilan
pidana, berkembangnya pola tingkah laku, hingga akhirnya konsep kejahatan dikonstruksikan
dan digabungkan ke dalam tatanan masyarakat. Pada proposisi terakhir dijelaskan bahwa
terbentuk realitas sosial kejahatan melalui perumusan dan penerapan definisi kejahatan,
perkembangan pola tingkah laku yang berhubungan dengan definisi kejahatan, dan
pembentukan konsep kejahatan (Quinney, 1970). Penelitian ini menggunakan proposisi di
atas untuk menjelaskan konstruksi perilaku menyimpang di masyarakat.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Subyek
penelitian ini adalah Qanun dan peraturan pendukung yang memunculkan perbedaan
perlakuan antara laki-laki dan perempuan di Provinsi Aceh. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan studi dokumen, wawancara, dan penelusuran data sekunder.
Studi dokumen dilakukan dengan mempelajari Qanun No. 11/2002, Qanun No. 12/
2003, serta Seruan Bersama Walikota Lhokseumawe 002/2013 yang berisi larangan duduk
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
9 mengangkang bagi perempuan. Kemudian penelitian dilanjutkan dengan klarifikasi dalam
bentuk wawancara terstruktur kepada narasumber yang memiliki hubungan dengan peraturan
tersebut. Narasumber tersebut berasal dari Dinas Syari’ah Islam Provinsi Aceh, Majelis Adat
Aceh (MAA), Bidang Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Diterskrimum Polda Aceh, dan
Biro Pemberdayaan Perempuan Provinsi Aceh.
Pengumpulan data sekunder dilaksanakan dengan studi kepustakaan untuk
mendapatkan data pendukung. Penelitian kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan
suatu kajian atas bahan-bahan tertulis atau literatur yang memuat masalah yang akan diteliti,
diantaranya data dari hasil pencarian di internet, kajian jurnal ilmiah nasional dan
internasional, laporan, buku, dan juga skripsi, tesis dan disertasi yang memuat masalah serupa
dengan yang akan dibahas peneliti.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada masyarakat Aceh, nilai yang dominan dipengaruhi oleh ajaran agama Islam.
Hubungan yang dapat dilihat dari sisi historis ini menjadikan sumber dan dasar dari para
pemegang kekuasaan untuk membuat kebijakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Quinney
(1970) yang menganggap pihak dominan yang kemudian meletakkan interest atau
kepentingannya dalam memformulasi hukum. Dalam hal ini masyarakat Aceh yang mayoritas
beragama Islam meletakkan kepentingan dan nilai Islamnya pada hukum masyarakat sehingga
muncul Hukum Syariah di Aceh.
Alasan para pembuat kebijakan dalam menerapkan Hukum Syariah semakin kuat
ketika munculnya anggapan bahwa akibat konflik berkepanjangan dan dampak perubahan
struktur gampong serta mukim di Aceh (Ismail, 2013) mengakibatkan perubahan tatanan
sosial di masyarakat dimana terdapat anggapan kuat menurunnya nilai Aceh pada pemudanya.
Anggapan ini muncul karena pada masa konflik dan pemegangan kekuasan oleh Orde Baru,
tidak terjadi proses pembelajaran nilai-nilai Aceh pada pemudanya. Nilai-nilai yang hilang
tersebut salah satunya adalah keluasan berpikir dalam memahami ajaran Islam yang juga
termasuk di dalamnya pemahaman gender dalam Islam (Ismail, 2013). Selain itu juga terdapat
anggapan degradasi moral pemuda Aceh karena masuknya nilai asing dan teknologi yang
semakin canggih. Hukum Syariah kemudian semakin dianggap sebagai solusi terbaik untuk
mencegah semakin merosotnya moral pemuda dan masyarakat Aceh (Ismail, 2013).
Dapat dilihat berdasarkan pemahaman narasumber, perubahan tatanan sosial dianggap
mengganggu tatanan moral dan kebudayaan masyarakat Aceh. Perubahan ini memberikan
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
10 dampak buruk karena merusak nilai-nilai yang dianggap baik di masyarakat Aceh. Alasan ini
sesuai dengan peran moral entrepreneur yang dijelaskan oleh Becker (1991) untuk
mengkonstruksikan nilai yang harus ada di masyarakat sehingga penerapan Hukum Syariah di
Aceh semakin tak terhindarkan dan bersifat mendesak.
Argumen di atas juga didukung oleh Kamil (2007) bahwa faktor yang mendorong
gagasan penerapan syariah Islam adalah perlawanan masyarakat terhadap dampak negatif dari
arus globalisasi dan modernisasi. Masyarakat menganggap terjadi perubahan sosial yang
mengagungkan gaya hidup konsumerisme, hedonisme, dan permisifme terhadap beragam
budaya dan pola hidup yang tidak asli Islam.
Apabila dikaji melalui Sosiologi Hukum dalam kaitannya untuk mencari tahu apa
yang menjadi sebab Hukum Syariah diterapkan, maka peneliti secara umum mencoba
mengkategorikan Hukum Syariah di Aceh berdasarkan kategori Weber (1978) berdasarkan
tingkatan formalitas dan rasionalitas hukum dan Friedman (1972) berdasarkan tujuan
penghukuman menggunakan pendekatanutilitarian dan fundamental.
Menurut peneliti, Hukum Syariah yang berada di Aceh masuk ke dalam kategori
irasional formal walaupun di dalam masyarakat Aceh sendiri bentuk irasional tersebut
menjadi suatu bentuk yang rasional karena konstruksi apa yang dianggap nyata dan benar
dipengaruhi oleh ajaran dan kebenaran agama Islam.
Peneliti mengkategorikan hukum ini sebagai bentuk irasional adalah karena hukum
tersebut didasarkan pada muatan Islam yang dasarnya bersifat transendental karena
merupakan sebuah kepercayaan terhadap kekuasaan Tuhan, yakni Allah yang bersifat gaib
dan metafisika. Akan tetapi pemahaman mengenai ajaran Islam yang transendental tersebut
menjadi suatu yang rasional dimana dalam ajaran Islam mengandung sifat rasionalisasi seperti
ijtihad / pertimbangan para Ulama sebagai tokoh agama dan dalam penghukuman yang
memiliki prosedur dan tata cara yang sistematis dalam menerapkan hukum. Sehingga Hukum
Syariah di Aceh tidak serta merta menjadi hukum yang tidak bisa diprediksi penindakannya
karena memiliki prosedur dan tata cara yang diatur dalam kelembagaan.
Peneliti kemudian mengkategorikan Hukum Syariah kepada hukum formal karena
penindakan diaplikasikan berdasarkan hukum yang dirumuskan dalam suatu kekuasaan
kelembagaan dimana. Lembaga dalam Hukum Syariah di Aceh adalah Polisi Syariah, Polda
Aceh, Kejaksaan Provinsi Aceh, dan Mahkamah Syar’iyah memiliki prosedur yang
dituangkan kedalam undang-undang sehingga memiliki sistematika penindakan yang sama
dan identik terhadap perlakuan yang sama.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
11 Ketika merujuk pada pendapat Friedmann (1972), Hukum Syariah di Aceh termasuk
pada hukum yang tercipta berdasarkan pendekatan fundamentalis dimana fungsi hukum
merupakan penjaga dan pelindung nilai moral di masyarakat. Hukum Syariah di Aceh juga
menggunakan hukum cambuk yang sifatnya merupakan penghukuman retributif berupa
penebusan dosa yang terjadi akibat bertentangan dengan nilai masyarakat.
Untuk mengetahui latar belakang yang mendasari perlakuan diskriminatif, penelitian
ini melihat dari aspek historis perempuan Aceh. Perempuan Aceh pada masa kesultanan
pernah menjabat sebagai posisi tertinggi, yaitu sebagai pemimpin kesultanan. Sri Ratu
Safiatuddin memimpin selama 34 tahun dimana pada masa tersebut penuh dengan tekanan
politik asing dari Belanda, Portugis, Inggris, serta masa VOC berkuasa, ditambah lagi dengan
pengkhianatan dari tokoh-tokoh yang ingin merebut kursi kekuasaan. Pemerintahannya yang
sulit tak akan mungkin dilalui dengan selamat apabila Sultanah bukan seorang yang arif dan
bijaksana dengan kepribadian yang tangguh luar biasa. Setelah Sultanah Sri Ratu Safiatuddin
mangkat pada 1675, beliau digantikan berturut-turut dengan 3 (tiga) Sultanah lagi sampai
dengan tahun 1699 dimana keseluruhan pemerintahan perempuan terjadi lebih kurang selama
59 tahun. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013)
Pada masa pemerintahan Sultanah Sri Ratu Safiatuddin, hidup ulama besar Aceh,
Syech Abdur-Rauf atau yang sering disebut Syiah Kuala. Pada masa Ulama tersebut aktif
mendidik rakyat di Aceh, tidak ada keresahan masyarakat untuk mengakhiri rezim perempuan
di Aceh, baru setelah 6 (enam) tahun ia meninggal (1690), muncul keinginan golongan
tertentu untuk mengakhiri pemerintahan perempuan di Aceh. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013)
Selain itu, sejak masa Iskandar Muda sampai dengan masa pemerintahan Sultanah,
kerajaan Aceh yang dasar negaranya Quran dan Hadist dengan Qanun Meukuta Alam,
membolehkan kaum perempuan menduduki segala jabatan dalam Lembaga Negara, termasuk
majelis Mahkamah Rakyat (parlemen), yang anggotanya berjumlah 73 orang dengan 18
diantaranya perempuan. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013)
Selain Sultanah-sultanah, pada zaman pemerintahan Sultan Alaidin Ri’ayat Syah IV,
nenekanda Sultan Iskandar Muda, telah dibentuk Armada yang para prajutnya merupakan
janda pahlawan yang telah tewas yang dinamakan “Armada Inong Balee.” Armada tersebut
dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, dengan 2000 prajurit perempuan yang gagah
berani berhasil menggagalkan percobaan pengacauan oleh Angkatan Laut Belanda. Kemudian
juga terdapat tokoh perempuan terkenal seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pocut Baren,
Pocut Biehue, Cut Po Fatimah dan lain-lain, yang diakui keperkasaannya sama dengan laki-
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
12 laki di medan perang. Keberanian para perempuan Aceh tersebut diakui oleh Belanda antara
lain ditulis oleh H.C. Zentgrafft dalam bukunya “Aceh.” (BPPPA Provinsi Aceh, 2013)
Pada masa sekarang, perempuan Aceh mengalami perubahan peran dan posisi di
masyarakat. Dari jumlah total PNS pada Pemerintahan Aceh tahun 2012 sebanyak 8.921
orang dengan jumlah laki-laki 5.510 dan jumlah perempuan 3.411, walaupun dianggap bukan
masalah serius, akan tetapi pada golongan dan pangkat yang lebih tinggi jumlah perempuan
menjadi semakin sedikit. Demikian juga perempuan yang menduduki posisi strategis di
pemerintahan (BPPPA Provinsi Aceh, 2013).
Lemahnya kesadaran terhadap pentingnya kesetaraan gender pada pimpinan dan para
pengambil
kebijakan
menyebabkan
adanya
praktik
dimana
perempuan
kurang
dipertimbangkan dalam promosi jabatan. Selain itu, lemahnya kesadaran juga menyebabkan
adanya kebiasaan dimana pendelegasian tugas untuk menghadiri pelatihan yang berkaitan
dengan isu gender diberikan kepada perempuan. (BPPPA Provinsi Aceh, 2013)
Kemudian dalam partisipasi politik, jumlah perempuan yang terpilih pada Pemilu
Legislatif 2009 berjumlah 50 orang atau 7% dari 714 orang anggota legislatif se-Aceh.
Adanya keterwakilan perempuan minimal 30% ternyata belum menjadi perhatian pemerintah
Aceh. Selain itu, dalam jajaran kepengurusan partai politik pada bagian inti, yaitu ketua,
sekretaris, dan bendahara, dari 15 partai politik peserta pemilu 2014 ditemukan data bahwa
hanya satu partai yang menempatkan perempuan dalam posisi kepengurusan inti, yaitu
sebagai bendahara. Partai lainnya menempatkan pengurus laki-laki dalam tiga posisi utama
tersebut. Narasumber menggambarkan perubahan posisi perempuan Aceh sebagai berikut:
“Kalau kita lihat dari zaman kerajaan, tidak hanya Sultanah, dalam parlemen,
perempuan lebih banyak dari posisi sekarang. Tapi kalau hal ini dibandingkan
dengan sekarang, memang, untuk kondisi Aceh, sangat-sangat mundur dibandingkan
dengan kondisi dulu. Sekarang, dari sekian puluhan, 50-an pejabat eselon II, hanya 2
perempuan. Saya dari tahun 2000-2008 sebagai Kepala Biro Pemberdayaan
Perempuan. Sekarang kondisinya lebih mundur, saya tidak tahu apa perempuan
dianggap tidak berkualitas atau memang perjuangan berat untuk perempuan, kalau
ada laki-laki dan perempuan punya nilai yang sama, dia harus punya nilai lebih yang
bisa memenangkan dia dengan laki-laki. Saya waktu Kabbag masih hirarki jabatan,
ga turun SK karena tidak punya jabatan eselon. Teman-teman saya (yang laki-laki)
sudah jadi Sekda, saya masih disitu-situ saja. Kalau tidak ada biro perempuan ini,
saya tidak bisa naik jadi kepala. Pangkat saya tertahan bertahun-tahun, ada yang 8
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
13 tahun, ada yang 7 tahun, begitulah sangat berat perjuangan perempuan, apalagi
legislatif begitu.
Secara umum di Aceh ini juga yang pegang uang itu bapak-bapak, walaupun
perempuan mencari uang, uang tetap dipegang oleh laki-laki, dianggap sebagai
kepala rumah tangga, dan selalu harus minta izin kepada suami, walaupun itu uang
bersama, tapi kalau laki-laki dia bisa mengambil keputusan tanpa perlu tanya-tanya.
Biasanya, tapi tidak semua.”(Wawancara dengan Lailisma, 28 April 2014)
Perempuan mengalami pergeseran posisi dan peran karena beberapa hal, yaitu:
•
Konflik Aceh yang berkepanjangan.
•
Sistem politik dan kenegaraan mengalami perubahan
•
Putusnya sistem pembinaan kepemimpinan dan keteladanan
•
Pendidikan tak dapat berkembang secara berkesinambungan
•
Ekonomi dan pembangunan tidak stabil
•
Tatanan budaya adat tidak berkembang
•
Rakyat hidup dalam tekanan tanpa kebebasan
•
Media komunikasi tidak berjalan
•
Informasi berceceran, dan seterusnya (Ismail, 2013)
Kemudian narasumber penelitian yang berasal dari MAA menambahkan sebagai berikut:
“Konflik Aceh ini berkepanjangan, konflik dengan Belanda, dengan Jepang,
kemudian konflik dengan Indonesia, dan dengan GAM, nah ini kalau kita lihat dari
sisi itu tidak hanya perempuan yang tertinggal, laki-laki juga tertinggal. Jadi (karena
konflik) tidak ada peluang mengakibatkan dia tidak bisa mengambil peran. Ya lakilaki satu dua yang lepas, ada yang sekolah ke Jawa, ada sekolah ke tempat lain, itu
aja yang bisa lepas, karena ndak berani kirim perempuan, masalahnya tidak ada
jaminan.”(Wawancara dengan Badruzzaman pada 06 Mei 2014)
Konflik juga menyebabkan hilangnya nilai-nilai Aceh yang dulunya menjunjung
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki baik di rumah, maupun di lembaga pemerintahan
atau ruang publik lain. Pengaruh paham Orde Baru juga memberikan andil dalam menguatnya
paham patriarki di masyarakat. Masyarakat Aceh yang dibesarkan pada masa konflik melihat
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
14 realitas bahwa perempuan hanya berada di ranah domestik karena dianggap tidak aman jika
bepergian keluar sendirian tanpa pendamping serta munculnya paham patriarki dalam masa
Orde Baru seperti pembentukan Panca Dharma Wanita dan sejenisnya (Murniati, 2004).
Dapat disimpulkan, masyarakat Aceh menghadapi realitas di kehidupannya dimana
ketika konflik selesai, budaya patriarki masih tertanam kuat tetapi prinsip kesetaran dalam
pemahaman masyarakat Aceh dulunya dalam melihat kedudukan perempuan menghilang.
Bukti dari mundurnya prinsip kesetaraan dilihat dari keterlibatan perempuan Aceh dalam
parlemen/ lembaga legislatif jauh menurun berdasarkan proporsi dan jumlah pada masa
kesultanan dibandingkan pada masa sekarang. Sulitnya mendapatkan peran juga terlihat di
lembaga pemerintahan Provinsi Aceh dalam menduduki kursi Kepala Bagian di suatu Biro
atau instansi lain. Bukti lain kuatnya budaya patriarki adalah kebiasaan masyarakat Aceh
dimana dalam pengelolaan uang bersama dalam rumah tangga, dikendalikan oleh laki-laki
sebagai suami. Perempuan harus meminta izin suami ketika ingin memakai, sedangkan lakilaki tidak perlu meminta izin istrinya untuk memakai uang rumah tangga.
Kemudian untuk memahami peraturan yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi
perempuan, peneliti melakukan studi dokumen pada Qanun yang membahas perilaku
menyimpang secara umum tetapi memunculkan perbedaan perlakuan pada penerapannya
antara laki-laki dan perempuan, yaitu Qanun No. 11/2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam
Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam dan Qanun No. 14/2003 Tentang Khalwat/Mesum.
Kedua Qanun tersebut apabila dikaitkan dengan Realitas Sosial Kejahatan oleh
Quinney (1970) termasuk pada proposisi II yang merupakan formulasi definisi. Disini terjadi
formulasi pendefinisian perilaku menyimpang dimana dalam peraturan akan menindak
seseorang apabila tidak berbusana Islami dan melakukan khalwat atau perbuatan bersunyisunyian yang mengarah ke perbuatan seksual/zina. Qanun merupakan produk esensial
diperlukan dalam pelaksanaan Hukum Syariah bagi kelompok dominan karena ia merupakan
bentuk terjelas dari pengaplikasian kontrol sosial di masyarakat.
Formulasi ini kemudian tidak menuliskan secara eksplisit perilaku yang dilarang
dilakukan perempuan dalam pasalnya. Peneliti juga tidak menemukan kalimat membedakan
atau mendiskriminasi perempuan di dalam Qanun. Dapat disimpulkan pada setiap penulisan
di dalam hukum bersifat gender netral dan umum.
Akan tetapi, terdapat ketidakjelasan definisi yang memunculkan potensi ketidakadilan
dalam penerapannya. Ketidakjelasan tersebut terdapat pada kedua Qanun di atas. Pada Qanun
No.11 Tahun 2002, definisi busana Islami, tertulis “menutup aurat yang tidak tembus
pandang, dan tidak memperlihatkan bentuk lekuk tubuh.” Bentuk lekuk tubuh disini dapat
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
15 diartikan bahwa seorang perempuan dilarang memakai celana panjang karena memperlihatkan
bentuk kakinya yang merupakan aurat perempuan menurut ajaran Islam. Argumen ini juga
ditulis dalam laporan Komnas Perempuan (2010) yang menyatakan aturan berbusana
menimbulkan perdebatan tentang boleh tidaknya menggunakan celana panjang. Tidak
terdapatnya kriteria dan standar yang jelas dalam busana yang dapat ditoleransi menyebabkan
munculnya perbedaan pelaksanaan dalam penerapannya. Politik simbolisasi penerapan syariat
Islam ini yang didominasi oleh patriarki kemudian memunculkan penerapan seperti razia yang
dilakukan oleh Polisi Syariah menjadi lebih menyasar perempuan yang tidak memakai jilbab
dibandingkan laki-laki yang memakai celana pendek di atas lutut.
Pada Qanun No. 14 Tahun 2003, khalwat dapat diinterpretasikan sesuai dengan
persepsi pihak yang melihat karena tidak terdapat indikator yang jelas pada pemahaman
“yang mengarah kepada perbuatan zina” pada pendefinisian tersebut. Apabila seseorang
melihat laki-laki dan perempuan berdua di satu tempat, sore hari atas kepentingan kerja atau
berelasi lain, mereka dapat dituduh melakukan khalwat karena dianggap melakukan
pertemuan dengan lawan jenisnya di tempat sepi. Penafsiran tersebut dapat menjadi salah satu
faktor terbesar yang menyebabkan kriminalisasi seseorang saat berelasi sosial dalam situasi
apapun dengan lawan jenisnya.
Kemudian peneliti menemukan pemahaman salah satu narasumber akan terjadinya
pelanggaran baik itu berupa khalwat hingga ke perbuatan zina, lebih besar andil perempuan di
dalam tanggung jawab terhadap pelanggarannya. Disini juga terlihat adanya pemahaman yang
lebih memberatkan dan menyalahkan perempuan karena seharusnya sebagai perempuan,
layaknya tidak menggoda laki-laki sehingga terhindar dari perbuatan zina.
Penulis mengutip pernyataan Campbell (2005) yang menyatakan bahwa regulasi
keeping the lady safe dengan membatasi gerak dan tubuh perempuan seperti mengharuskan
memakai jilbab menimbulkan dampak dilematis. Pertama, realitas sosial yang muncul dalam
masyarakat yang mewajibkan perempuan berjilbab demi menghindari perkosaan akan
memberi penambahan dampak buruk bagi mereka yang tidak memakai karena muncul
anggapan bahwa perempuan yang tidak memakai jilbab layak dan sudah sewajarnya menjadi
korban perkosaan. Ini meningkatkan pandangan blaming the victim pada perempuan. Kedua,
perempuan yang memakai jilbab juga tidak serta merta lepas dari ancaman perkosaan.
Secara tidak sadar pemahaman akan budaya patriarki mempengaruhinya dalam
melihat persoalan penerapan larangan khalwat. Narasumber beranggapan bahwa perempuan
merupakan godaan bagi laki-laki dimana perempuan juga disamakan kedudukannya dengan
perhiasan. Sesuai dengan pemahaman Beauvoir (1949) dalam bukunya The Second Sex,
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
16 perempuan sebagai subjek tereduksi menjadi sebuah benda yang hanya dilihat sebagai unsur
pemicu hasrat seksual bagi laki-laki dan ini memicu pelaksanaan hukum yang lebih menyorot
kaum perempuan (Barnett, 1998). Terlihat adanya pemahaman perempuan hanya sebagai
objek penggoda dan ini merupakan ajaran Islam yang sudah tercampur dengan interpretasi
paham patriarki. (Rizal, 2011)
Pada pelaksanaan peraturan lain, yaitu Seruan Bersama Walikota Lhokseumawe No.
002/2013 yang berisi larangan duduk mengangkang bagi perempuan ketika dibonceng di
sepeda motor, terdapat pemahaman Walikota bahwa peraturan tersebut adalah untuk
mendukung penerapan syariat Islam secara kaffah atau holistik dan menjaga nilai budaya dan
adat Aceh. Dapat dikategorikan bahwa regulasi bermuatan moral ini memiliki bias gender
dalam penulisannya. Disini perempuan mengalami diskriminasi dimana terjadi pembatasan
perilaku hanya pada perempuan.
Peneliti menganalisa bahwa pemikiran yang menjadi dasar keluarnya Seruan Bersama
ini adalah paham bahwa perempuan yang duduk mengangkang di ruang publik dianggap akan
menggoda laki-laki dan mengundang laki-laki untuk melakukan tindakan yang mengarah ke
zina. Disini terjadi pengaruh budaya patriarki dalam penulisan dimana terdapat relasi
subordinasi dan superodinasi. Superordinasi dimiliki laki-laki dalam peraturan ini karena
kuatnya anggapan bahwa perempuan patut disalahkan jika mengundang syahwat laki-laki,
padahal kesalahan juga terdapat pada laki-laki yang lemah hatinya dan tidak berusaha
menundukkan pandangan. (Romli, 2010)
Dapat terlihat bahwa sebenarnya seruan ini merupakan ekses akibat perbedaan
pemahaman antara rule creator dengan rule enforcer di bidang provinsi dengan di bidang
Kota/Kabupaten sehingga menyebabkan munculnya seruan seperti ini. Pelaksanaan ini sesuai
dengan anggapan Becker (1991) dimana pada umumnya bahkan para rule enforcer akan
menambah beberapa peraturan administratif yang lebih ketat demi anggapan meningkatkan
efektivitas penjagaan moral.
Terlihat segregasi seksual pada masyarakat Aceh berkembang menjadi lebih dari
sekedar busana Islami dan ini dianggap dibenarkan melalui paham adat. Pada akhirnya
peraturan ini menyulitkan dan merugikan perempuan dari segi keselamatan dan dari segi
konstruksi
realitas
masyarakat
terhadap
perilaku
perempuan
dimana
seakan-akan
mempersalahkan perempuan yang duduk mengangkang karena asumsi memperlihatkan
bagian tubuh ketika mengangkang akan menggoda laki-laki yang berpotensi mengundang ke
perbuatan zina.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
17 Peneliti kemudian menganggap bahwa telah terjadi realitas sosial perilaku
menyimpang pada masyarakat Aceh terhadap perempuan sesuai dengan proposisi VI Quinney
akibat pengaruh konstruksi budaya dalam memahami peraturan Qanun tersebut. Pemahaman
adat masyarakat Aceh dan pemahaman ajaran Islam yang sudah terdegradasi dan terpengaruh
patriarki kemudian membuat peraturan diinterpretasikan secara bias. Ini yang kemudian
memunculkan serangkaian konstruksi perilaku yang dianggap layak dan tidak layak dilakukan
oleh perempuan di ruang publik di Aceh.
Kemudian apabila melihat dari perspektif feminist jurisprudence, menurut Hilaire
Barnett (1998), walaupun penulisan di dalam peraturan tidak memperlihatkan secara eksplisit
perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan, tidak berarti hal tersebut telah
menjunjung nilai keadilan. Ini sesuai dengan gerakan feminis gelombang kedua yang melihat
bahwa sebenarnya permasalahan terletak pada konstruksi budaya masyarakat yang kental
dengan patriarki. Dalam konteks pelaksanaan Qanun ini, walaupun tulisan di dalam peraturan
bersifat umum, tetapi karena pelaksanaan di masyarakat masih dipengaruhi oleh patriarki,
maka muncul pemahaman yang mengsubordinasi dan menyalahkan perempuan karena
memunculkan godaan dan hasrat pada laki-laki sehingga patut disalahkan.
Konstruksi budaya tersebut dipengaruhi oleh konflik dimana pelestarian nilai
kesetaraan tidak tersampaikan oleh para tokoh budaya Aceh, tetapi terjadinya penguatan
budaya patriarki melalui pengaruh Orde Baru. Hal ini yang menyebabkan berbedanya hasil
dan tujuan pelaksanaan Qanun.
Peneliti menangkap bahwa perbedaan pemahaman terlihat dari adanya cara
menginterpretasikan Qanun yang diformulasikan untuk mengikat laki-laki dan perempuan.
Perbedaan pemahaman juga dipicu adanya perbedaan latar belakang bahwa rule creator
merupakan generasi masyarakat yang lahir dan merasakan keadaan pada masa sebelum
konflik dimana saat itu pemahaman akan kesetaraan gender lebih baik daripada sekarang.
Sedangkan para penegak hukum atau rule enforcer yang mayoritas lahir dan besar pada masa
konflik tidak memiliki pemahaman akan kesetaraan gender kemudian menegakkan hukum
sesuai dengan interpretasi ajaran agama yang bernuansa patriarki.
Pandangan yang bernuansa patriarkis sendiri mendapat pertentangan di beberapa
tokoh Islam. Hal ini dapat dilihat dalam konteks pemahaman Islam moderat menurut Qasim
Ali dalam Romli (2010) yang menganggap bahwa sebenarnya Islam juga menyuruh laki-laki
untuk mengontrol perilakunya seperti menundukkan pandangan apabila takut tergoda oleh
perempuan. Menurut Qasim, laki-laki yang tergoda adalah permasalahan pada mereka sendiri
karena memiliki hati/iman yang lemah (kontrol diri), bukan permasalahan pada perempuan.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
18 Sehingga berdasarkan pandangan Qasim sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa perempuan
yang menjadi dasar alasan perbuatan khalwat terjadi hingga memunculkan pembenaran untuk
diberikan kontrol lebih ketat dibandingkan laki-laki..
Peneliti menganggap bahwa feminist jurisprudence pada intinya menolak penerapan
peraturan yang walaupun dituliskan dengan kalimat yang tidak secara eksplisit
mendiskriminasi perempuan tetapi tetap memunculkan perlakuan diskriminasi. Peraturan akan
tetap mendapatkan bias dari interpretasi budaya patriarki yang menyalahkan perempuan
sehingga akan tetap rentan mendiskriminasi kaum perempuan di masyarakat.
Kesimpulan
Adat ngon Hukom lagei Zat ngon sifeut (Adat dengan Hukum seperti zat dan sifat)
merupakan filsafah pada kebudayaan masyarakat Aceh yang memperlihatkan kedekatan
hubungan yang tidak bisa dipisahkan antara adat masyarakat dengan Hukum Syariah. Hukum
Syariah sendiri mengalami proses panjang hingga dapat menjadi sebuah reaksi sosial formal
di masyarakat yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Sejarah Aceh yang penuh dengan cerita
kejayaan kerajaan dan kesultanan Islam, kemudian diwarnai dengan konflik berkepanjangan
antara pemerintah Indonesia dengan pemberontakan DI/TII serta GAM, hingga pemberian
keistimewaan untuk mendirikan Pemerintahan Aceh sebagai bentuk perjanjian damai turut
mendasari latar belakang ditegakkannya Hukum Syariah di Aceh.
Hukum Syariah yang telah disahkan untuk menjadi dasar hukum masyarakat Aceh
memiliki beragam interest dalam perkembangannya. Terdapat keinginan kelompok dominan
di masyarakat Aceh untuk tetap mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan,
keinginan tokoh adat dan ulama untuk melestarikan nilai dan budaya Aceh, hingga muncul
anggapan politisasi agama Islam untuk mendapatkan simpati masyarakat dengan maksud
untuk menegakkan moralitas di masyarakat.
Para pembuat kebijakan merasa memiliki tanggung jawab untuk mencegah semakin
merosotnya moral pemuda Aceh. Ini didasarkan anggapan bahwa akibat krisis konflik
berkepanjangan serta faktor luar yang masuk melalui teknologi dan masyarakat asing pasca
tsunami telah meruntuhkan nilai Islam yang dijunjung tinggi oleh setiap orang yang berada di
wilayah yang dijuluki Serambi Mekkah ini.
Muncul Qanun yang mengatur tentang tata cara berperilaku. Dua merupakan fokus
dari penelitian ini, yaitu Qanun No 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang
Aqidah, Ibadah dan Sy’iar Islam yang di dalamnya mencantumkan peraturan berbusana
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
19 Islami dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum yang melarang terjadinya
perilaku yang mengarah pada tindak zina. Kedua peraturan ini dalam Kriminologi masuk
kepada kelompok perilaku menyimpang.
Pada pelaksanaannya ternyata kedua Qanun memunculkan berbagai ketidakadilan
dalam penerapan akibat ketidakjelasan penafsiran. Tidak jelas standar busana Islami yang
ditoleransi dan tidak jelas apa yang merupakan perilaku yang mengarah ke perbuatan zina
atau khalwat. Ketidakadilan tersebut ternyata lebih berdampak pada perempuan karena
mereka mendapatkan perlakuan lebih keras dan diskriminatif.
Jika dikaji menurut isi dan kandungan kedua Qanun tersebut, tidak terdapat penulisan
yang bias gender dan mendiskriminasi perempuan. Tetapi, perbedaan perlakuan antara
perempuan dan laki-laki di dalam penerapan kedua Qanun tersebut bersumber dari muatan
yang mendasari pembuatan kedua peraturan tersebut, yaitu Hukum Syariah Islam yang
didominasi budaya patriarki dalam pelaksanaannya. Terjadi konstruksi perilaku menyimpang
pada tataran aplikasi kebijakan. Akibat adanya konstruksi budaya yang mempengaruhi
interpretasi Qanun, maka terjadi serangkaian bentuk diskriminasi yang dilakukan pihak-pihak
yang memiliki kuasa. Mereka bebas menginterpretasikan kandungan Qanun menurut
pemahaman Islamnya. Interpretasi tersebut mulai dari pihak pejabat di tingkat Walikota yang
membuat seruan bersama larangan duduk mengangkang dengan dalih adat dan upaya
penegakan syariat, interpretasi dari para penegak hukum yang kurang sensitif terhadap
perempuan ketika melakukan razia dimana bahkan terdapat oknum penegak hukum yang
memiliki pandangan berbeda tentang boleh tidaknya memakai celana panjang walaupun tidak
ketat untuk kaum perempuan, hingga masyarakat yang main hakim ketika menemukan pihakpihak yang dianggap akan melakukan khalwat.
Disini kemudian terbentuk realitas sosial perilaku menyimpang bahwa perempuan dan
laki-laki tidak boleh bersama di ruangan sepi karena merupakan sebuah penyimpangan.
Pemberian label penyimpangan adalah hasil dari realitas yang terbentuk bahwa berdua-duaan
di tempat sepi merupakan penodaan terhadap moralitas masyarakat. Perempuan kemudian
dikonstruksikan sebagai pihak yang lebih mempunyai andil dalam mengundang perilaku
penyimpangan oleh karena itu harus menggunakan pakaian yang tidak menggoda laki-laki,
yaitu yang menutup aurat. Perempuan yang tidak menaati peraturan tersebut akan dicap
sebagai perempuan penggoda yang mengundang laki-laki untuk berbuat dosa. Pada akhirnya
perempuan muslim yang masih belum memiliki kesadaran diri dan keikhlasan dalam
menggunakan busana Islami akan terpaksa untuk mengenakan busana tersebut karena apabila
tidak digunakan, maka ia tidak akan bisa masuk ke ruang publik di wilayah Provinsi Aceh.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
20 Saran
Penelitian ini menuntut adanya perbandingan pemahaman dan pemilihan pendapat
yang proporsional dari pandangan pihak akademisi Islam, baik dari pihak yang mendukung
maupun yang menolak pelaksanaan peraturan, serta dari pandangan pihak aktivis perempuan
dan akademis berperspektif feminis.
Peneliti kemudian lebih menyetujui peraturan busana Islami tidak diberikan sanksi dan
tidak menjadi subjek penegakan hukum seperti razia seperti saat ini. Sedangkan untuk
peraturan khalwat, dibutuhkan evaluasi menyangkut efektivitas dan pendefinisian sehingga
tidak menyasar yang tidak bersalah, tidak berat sebelah pada kelompok sosial ekonomi
tertentu, dan tidak menyebabkan efek stigmatisasi yang merugikan pasca penangkapan.
Peneliti berpendapat bahwa lebih baik penggunaan busana Islami muncul dari rasa
kesadaran dan keikhlasan mereka yang ingin menggunakannya dibandingkan dengan cara
represif. Dalam hal ini justru pemaksaan akan memunculkan suatu pengamalan Islam yang
semu dan hanya bersifat simbolis dan politis. Jika tujuan yang ingin dicapai adalah
pengembalian tatanan masyarakat Islami dan bermoral, lebih baik menggunakan sosialisasi
berupa penyuluhan dan pembelajaran sehingga ajaran Islam menjadi sebuah nilai yang
terinternalisasi di masyarakat Aceh daripada hanya menjadi sebuah nilai yang dipaksakan.
Akan tetapi, jika pelaksanaan peraturan ini akan tetap dilanjutkan, lebih baik segera
dilakukan program yang meningkatkan sensitivitas gender para penegak hukum sehingga
tidak lagi muncul oknum yang hanya cenderung menyalahkan perempuan dan diskriminatif,
terutama pada kasus pelanggaran larangan Khalwat. Serta juga membuat program untuk
masyarakat demi menangkal pemberian label buruk pasca penangkapan yang dapat
merugikan pelaku secara sosial dan berkepanjangan. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi dan
pencegahan terhadap kemungkinan munculnya peraturan-peraturan lain atau himbauan lain
seperti larangan duduk mengangkang atas dasar interpretasi Qanun yang mungkin akan dapat
mendiskriminasi perempuan lebih jauh akibat pengaruh budaya patriarki di anggota
masyarakat yang memiliki kuasa.
Daftar Referensi
Abubakar, A. Y.(2009). Wilayatul Hisbah: Polisi Pamong Praja dengan Kewenangan Khusus
di Aceh. Banda Aceh: Dinas Syari'at Islam Aceh.
Adler, P. A., & Adler, P. (2000). Constructions of Deviance: Social Power, Context, and
Interaction. Belmont: Wadsworth.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
21 Arfiansyah. (2009). The Politicization of Shari'ah: Behind the Implementation of Shari'ah in
Aceh - Indonesia. Montreal, Canada: Institute of Islamic Studies, McGill University.
BBC.co.uk. (2013, June 6). Perda syariat 'sumbang' kekerasan terhadap perempuan Aceh.
Retrieved February 22, 2013, from BBC Indonesia:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130605_acehwomen.shtml
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Aceh. (2013). Profil
Gendeer Aceh 2013.Banda Aceh: BPPPA Provinsi Aceh.
Barnett, H. (1998). Introduction to Feminist Jurisprudence. London: Cavendish Publishing
Limited.
Beasley, C. (2005). Gender & Sexuality: Critical Theories, Critical Thinkers. London,
Thousand Oaks, and New Delhi: SAGE Publications.
Becker, H. S. (1991). Outsiders: Studies dalam the Sociology of Deviance. Dalam P. A.
Adler, & P. Adler, Constructions of Deviance (pp. 139-146). Belmont: Wadsworth.
Campbell, A. (2005). Keeping the 'Lady' Safe: The Regulation of Femininity Through Crime
Prevention Literature. Critical Criminology , 119-140.
Candraningrum, D. (2013). Negotiating Women's Veiling: Politics & Sexuality in
Contemporary Indonesia. Bangkok: IRASEC.
Chalil, Z. F. (2011). Melihat Syariat Islam dari Berbagai Dimensi. Banda Aceh: Dinas
Syariat Islam Aceh.
Detik.com. (2006, March 3). Perempuan dan Syariat Islam. Retrieved March 3, 2014, from
detiknews : news.detik.com/read/2006/03/20/145526/562037/10/perempuan-dan-syariatislam?nd771108bcj.
Friedmann, W. (1972). Law in a Changing Society. Baltimore: Stevens & Sons.
Human Rights Watch. (2010). Menegakkan Moralitas: Pelanggaran dalam Penerapan
Syariah di Aceh, Indonesia. New York: Human Rights Watch
Inter Press Service. (2005, January 20). Population-Indonesia: Regional Autonomy Restricts
Women’s Rights. Retrieved March 3, 2014, from Inter Press Service News Agency:
http://www.ipsnews.net/2005/01/population-indonesia-regional-autonomy-restrictswomens-rights/
Jauhola, M. (2010). Building Back Better? - Negotiating Normative Boundaries of Gender
Mainstreaming and Post-Tsunami Reconstruction in Nanggroe Aceh Darussalam,
Indonesia. Review of International Studies , 29-50.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
22 Kamil, S. (2013). Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan
Politik, HMI, Antikorupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syari'ah. Jakarta: PSIA UIN
Jakarta.
Kamil, S., & Bamulian, C. S. (2007). Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah
terhadap Kebebasan Sipil. Hak-hak Perempuan, dan Non-Muslim. Hajarta: Center for the
Study of Religion and Culture (CSRC).
Kingsbury, D. (2007). The Free Aceh Movement: Islam and Democratisation. Contemporary
Asia , 166-189.
Komnas Perempuan. (2010). Atas Nama Otonomi Daerah.
Komnas Perempuan. (2013, July 24). Pernyataan Media Tentang Peringatan 29 Tahun
Ratifikasi Cedaw. Retrieved March 13, 2014, from Komnas Perempuan:
http://www.komnasperempuan.or.id/2013/07/pernyataan-media-tentang-peringatan-29tahun-ratifikasi-cedaw/
Kompas.com. (2013, 01 04). Perempuan dilarang duduk mengangkang saat dibonceng.
Retrieved 05 28, 2013, from Kompas.com:
http://regional.kompas.com/read/2013/01/04/10070286/Perempuan.Dilarang.Duduk.Men
gangkang.Saat.Dibonceng
Liputan6.com. (2013, December 31). Aceh Larang Perayaan Tahun Baru, Polisi Syariah
Disebar. Retrieved February 10, 2014, from news.liputan6.com:
http://news.liputan6.com/read/788664/aceh-larang-perayaan-tahun-baru-polisi-syariahdisebar
Milallos, M. T. (2007). Muslim veil as Politics: Political autonomy, women, and Syariah
Islam in Aceh. Cont Islam , 289-301.
Miller, J. M. (Ed.). (2009). 21st Century Criminology: A Reference Handbook. California:
SAGE.
Murniati, A. N. (2004). Getar gender; Buku Kedua. Magelang: IndonesiaTera.
Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku
Menyimpang, dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama.
Quinney, R. (1970). The Social Reality of Crime. Boston: Little, Brown and Company.
Rakyataceh.com. (2013, February 1). Tidak Sholat Jumat, Laki-laki Dipenjara. Retrieved
February 10, 2014, from Rakyataceh.com:
http://rakyataceh.com/index.php?open=view&newsid=30739&tit=Berita+Lalu++Tidak+Sholat+Jumat,+Laki-laki+Dipenjara
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
23 Ritzer, G. &. (2004). Teori Sosiologi. (I. R. Muzir, Ed., & Nurhadi, Trans.) New York: Kreasi
Wacana.
Rizal, S. (2011). Dinamika dan Problematika Penerapan Syariat Islam. Banda Aceh: Dinas
Syari'at Islam Aceh.
Romli, M. G. (2010). Muslim Feminis: Polemik Kemunduran dan Kebangkitan Islam. Jakarta:
Freedom Institute.
Sabil, J., & dkk. (2009). Syari'at Islam di Aceh: Problematika Implementasi Syari'ah. Banda
Aceh: Dinas Syari'at Islam Aceh.
Salim, A. (2008). Challenging the Secular State : The Islamization of Law in Modern
Indonesia. Honolulu: The University of Hawai'i Press.
Santoso, T. (2011). Implementation of Islamic Criminal Law in Indonesia: Ta'zir Punishment
As a Solution? Hum Law Journal , 123-148.
Siregar, H. B. (2008). Lessons Learned from the Implementation of Islamic Shari'ah Criminal
Law in Aceh, Indonesia. Journal of Law and Religion , 143-176.
Sujatmiko, I. G. (2012). Conflict Transformation and Social Reconciliation: The Case of
Aceh, Indonesia. Asian Social Science , 104-111.
Tempo.co. (2013, Mei 25). Perempuan dewasa dilarang menari di depan tamu. Retrieved
Mei 28, 2013, from Tempo.co:
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/25/058483175/Perempuan-Dewasa-DilarangMenari-di-Depan-Tamu
The Jakarta Globe. (2010, August 18). West Aceh District Chief Says Shariah Law Needed or
There Will Be Hell to Pay. Retrieved March 13, 2014, from The Jakarta Globe:
http://www.thejakartaglobe.com/archive/west-aceh-district-chief-says-shariah-lawneeded-or-there-will-be-hell-to-pay/391699/
Tribun News. (2013, September 2). Aceh Tamiang Haramkan Organ Tunggal Digelar
Sampai Malam. Retrieved February 10, 2014, from Tribunnews.com:
http://www.tribunnews.com/regional/2013/09/02/aceh-tamiang-haramkan-organ-tunggaldigelar-sampai-malam
Wahyuningroem, S. L. (2005). Peran Perempuan di Era Baru Nangroe Aceh Darussalam.
Antropologi Indonesia , 93-101.
Weber, M. (1978). Economic and Society. (G. a. Roth, Ed.) California: California Press.
Konstruksi perilaku…, Mulki Makmun, FISIP UI , 2014
Download