PENERAPAN QANUN ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAH Analisis Kajian Sosiologi Hukum Oleh: Muhammad Ridwansyah Mahasiswa Program Magister Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio Justisia. Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 Email: [email protected] Abstrack The rule contained in Article 125 (2) of Law No. 11 Year 2006 concerning Aceh Government declared that Islamic law as referred to in paragraph (1) shall include worship, ahwal al- syakhshiyah (family law), financial transactions (civil law), jinayah (criminal law), making up '(justice), tarbiyah (education), preaching, teachings, and the defense of Islam. Article 125 provides an opportunity for the Government of Aceh itself to apply its own rules. In this case the phrase is a reference to the birth of criminal Aceh Qanun No. 6 of 2014 on the Law Jinayah. The provisions of Article 23 paragraph (1) which provides for the Seclusion true seclusion jarimah regulates sanctions for those who do. This article threatens punishment for 10 times or at most 100 grams of pure gold or imprisonment of 10 months, but the norm article provides for a study of the sociology of law and social Acehnese in everyday applications. Keywords: Criminal and Sociology of Law Abstrak Norma yang terdapat pada Pasal 125 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh menyatakan bahwa Syari’at Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi ibadah, ahwal al- syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Pasal 1 125 ini memberikan peluang bagi Pemerintah Aceh untuk menerapkan peraturannya sendiri. Dalam hal ini frasa pidana menjadi acuan untuk melahirkan Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah. Ketentuan Pasal 23 ayat (1) yang mengatur tentang Khalwat sejatinya mengatur tentang sanksi jarimah khalwat bagi yang melakukannya. Pasal ini mengancam hukuman cambuk sebanyak 10 kali atau paling banyak 100 gram emas murni atau penjara paling lama 10 bulan namun pada norma pasal memberikankan kajian terhadap sosiologi hukum dengan sosial masyarakat Aceh sendiri dalam penerapannya sehari-hari. Kata Kunci: Jinayah, Sosiologi Hukum. A. PENDAHULUAN Dinamika Aceh sebagai daerah modal cukup beragam karena dari perspektif yuridis ketatanegaraan Aceh memiliki desain yang berbeda, mulai dari sebutan provinsi Aceh, Keistimewaan provinsi istimewa Aceh, otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan terakhir disebut sebagai Pemerintah Aceh. (Ni’matul Huda, 2014: 223). Jika dilihat dari aspek sejarah dalam konteks ke-Indonesiaan ternyata sangat dinamis, banyak diwarnai oleh kekerasaan, dan pastinya melelahkan baik secara moril maupun materiil. Sejak pemberontakan Daud Beureuh 1953 hingga Hasan Tiro 1976, di sisi rakyat Aceh, tidak sedikit korban nyawa terbilang, tidak kurang harta melayang. Di sisi lain Pemerintah Indonesia, tidak kurang upaya yang dijalankan untuk menyelesaikan konflik itu, mulai dari era Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, serangkaian kebijakan yang diberikan pusat kepada Pemerintah Aceh seperti memberikan status keistimewaan dalam bidang ekonomi, sosial budaya, dan pemberlakuan syariat Islam, namun tidak kunjung mampu untuk menyelesaikan persoalan di Aceh. Upaya pemerintah pusat berbagai macam mulai dari tindakan pendekatan militer di era Soeharto, era Habibie pendekatan kesejahteraan dengan mencabut 2 status Daerah Operasi Militer (selanjutnya disingkat DOM), memberikan amnesty kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka dan bantuan kesejahteraan bagi janda dan anak yatim. Di era Gus Dur pernah melakukan pendekatan dialog (www.eastwestcenter.org: 2015) mulai melakukan upaya dalam resolusi konflik kedua belah sepakat GAM dan RI untuk menghentikan kekerasan. Pada masa Megawati menjadi presiden, tindakan kekerasan masih terjadi, kepemerintahan ini mulai melakukan upaya mediasi (www.hdcentre.org: 2015) namun upaya itu gagal seiring berjalanya waktu karena kurang rasa kepercayaan antara sesama pihak. Baru pada pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, konflik Aceh dapat diselesaikan secara damai dengan ditanda tanganinya Memorandum of Understanding (MoU) di Helsninky, Finlandia, pada 15 Agustus 2005. Dengan kesepakatan MoU tersebut pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdekan (selanjutnya disingkat GAM) telah mengukir sejarah dan Aceh menjadi damai. (Darmansyah Djumala, 2013: 1). Setelah adanya perdamaian antara para pihak GAM dengan pemerintah Indonesia, DPR dan Presiden telah menyepakati dibentuknya undang-undang Pemerintah Aceh yang akan menggantikan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Kesitimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh tentang Nanggroe Aceh Darussalam, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang mengakomodir jalannya kepemerintahan. Dalam hal ini penulis ingin membahas Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, berdasarkan amanah Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, hukum Jinayat (hukum Pidana) merupakan bagian dari Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh. Qanun hukum Jinayah tersebut penulis ingin analisis dengan sosiologi hukum karena ada pasal yang ingin penulis kaji lewat struktur sosial sebagai basis sosial dari hukum itu sendiri. Contohnya Pasal 23 ayat (1) yang mengatur tentang khalwat (pacaran) sanksi yang digunakan cambuk sebanyak 10 (sepuluh) kali atau 3 denda paling banyak 100 gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan. Bahkan dalam qanun tersebut norma Pasal 24 yang menangani perkara tersebut adalah peradilan adat diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Aceh tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dan/atau peraturan perundang-perundangan lainnya mengenai adat istiadat. Namun sampai sekarang peradilan adat tersebut belum terlaksana jadi perkara khalwat banyak disalah gunakan atau dimanfaatkan oleh pihak masyarakat dan aparatur yang berwenang (www.serambinews.com: 2015). Jika dilihat dari teori dan metode dalam sosiologi hukum maka qanun aceh tersebut akan bisa dikatakan apakah yang dicita-cita masyarakat Aceh sehingga qanun yang telah dibuat akan bermanfaat bagi rakyat Aceh (Satjipto Rahardjo, 2010: 1). Karena teori disini adalah merupakan kerangka intelektual yang diciptakan untuk bisa menangkap dan menjelaskan objek yang dipelajari secara seksama. Terkait dengan ilmu sosiologi merupakan suatu peristiwa hubungan sosial manusia dapat dipahami dalam sebuah bingkai cerita interaksi manusia dengan berbagai motifnya. Perilaku tersebut ibarat kenyataan empiris yang tidak bisa dinafikan entah itu berkaitan dengan hal yang seharusnya dilakukan ataupun tidak seharusnya dilakukan. Sosiologi tidak memberi justifikasi apakah perilaku tersebut salah atau benar. Peristiwa-peristiwa empirik masyarakat tanpa adanya sebuah pendekatan ibarat bingkai cerita tanpa pola. Adanya teori adalah berfungsi untuk menjelaskan rangkaian cerita menjadi sebuah pola yang sistematis sehingga menangkap dan menjelaskan objek secara seksama. Bahkan sosiologi hukum mempelajari dan menyelidiki yang ada sangkut pautnya antara hukum dengan gejala-gejala masyarakat. Oleh karena itu sosiologi hukum berusaha menyelidiki secara timbal balik pengaruh hukum terhadap masyarakat dan pengaruh masyarakat terhadap hukum atau dengan kata lain, menyelidiki gejala-gejala masyarakat yang saling mempengaruhi secara timbal balik. (Said Sampara, 2009: 24). Jadi, dengan kontruksi pemikiran diatas dapat memandang sesuatu yang tampak tidak mempunyai hubungan satu sama lain menjadi suatu yang saling 4 berhubungan dan bermakna dan sosiologi hukum mampu melihat, menerima, dan memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat. Maka dari hal itu pemembahasan yang ingin dikaji tentang “Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah dianalisis melalui Kajian Sosiologi Hukum”. Untuk memfokuskan tulisan ini agar lebih kompleks maka yang akan dikaji tentang penerapan Pasal 23 dan Pasal 24 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah terhadap sanksi bagi pelaku khalwat terkait sosiologi hukum. B. PEMBAHASAN 1. Teori dan Metode Sosiologi Hukum Pembahasan tentang teori dan metodologi sosiologi hukum berkaitan antara hukum dengan struktur sosial dimana hukum itu berlaku bahwa dalam mempelajari hukum dan masyarakat penempatan hukum tidak sebagai seperangkat aturan yang logis dan konsisten saja melainkan kita menempatkan itu dalam konteks. Perspektif yang digunakan adalah konsep hukum yang normatif kekonsep hukum dalam perspektif sosiologis, in contex. (Sutekti, 2013: 1-2). Terkait dengan pengertian sosiologi menurut Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah hubungan timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya: antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya. (Pitirim Sorokin, 1992: 760-762). Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non sosial misalnya geografis, biologis dan sebagainya. Roucek dan Warren mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok-kelompok. (Roucek dan Waren, 1962: 3). Defenisi hukum banyak sekali literatur yang mengemukakan apa itu hukum, dalam hal pengertian hukum penulis akan memberikan pendapat para ahli antara lain. E. Utrech memberikan pengertian hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang 5 bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah. Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja mengataka hukum itu merupakan keseluruhan kaedah-kaedah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara ketertiban yang meliputi lembaga-lembaga dan proses proses guna mewujudkan berlakunya kaedah itu sebagai kenyataan dalam masyarakat. (Mohammad Najih dan Soihimin, 2012: 9). Beranjak ke Sosiologi hukum berbeda dengan ilmu hukum dogmatis, jika sosiologi hukum hanya melihat, menerima, memahami hukum sebagai bagian dari kehidupan manusia bermasyarakat maka dogmatis hanya melihat bangunan peraturan perundang-undangan yang ada, lembaga yang tersusun secara logissistematis. Sosiologi hukum untuk jelasnya adalah sosiologi dari atau tentang hukum. Oleh karena itu apabila berbicara tentang perilaku sosial, maka ini berhubungan dengan hukum yang berlaku. Dengan kata lain, sosiologi hukum memperhatikan verifikasi empiris dan validitas empiris dari hukum yang berlaku. Dengan demikian teori-teori dalam sosiologi hukum juga bergerak pada jalur tersebut. Agar dapat melihat seluruh masalah dengan baik, pembicaraan kita akan mengikuti bagian sesuai dengan tingkat kejadiannya yaitu pada tingkat makro, meso, dan mikro. (Satjipto Rahardjo, 2010: 2). Jika dilihat era sekarang hukum dalam era pembangunan seperti sekarang ini telah mendorong agar mampu menampakan sosoknya sebagai sarana pembaharuan masyarakat, dan juga sebagai proses perubahan dan pengembangan masyarakat. Untuk itu hukum atau qanun yang dibuat menentukan pola dan arah pembaharuan masyarakat dan mampu menuntun kegiatan dan penyelenggaraan agar tujuan membangun masyarakat sejahtera. (Esmi Warassih, 2014: 127). Awal mulanya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah, dasar yuridisnya peraturan tersebut merupakan amanah dari Undang-Undang Pemerintah Aceh Pasal 125, jadi Pemerintah Aceh hanya melaksanakannya. (www.hukumonline.com, 2015) Adanya kekhawatiran terhadap masyarakat Aceh yang sudah melenceng dari norma agama sehingga perlu dibuat sebuah peraturan 6 agar masyarakat aman dan tentram dalam menjalankan kehidupannya. Jika tertangkap petugas dan terbukti melanggar ‘batas’, muda-mudi yang bukan muhrim bisa terancam hukuman. Sudah menjadi hukum yang berlaku khusus di Aceh, larangan bagi pasangan yang bukan muhrim berdua-duaan di tempat gelap atas kerelaan kedua belah pihak. Perbuatan ini disebut khalwat. (www.hukumonline.com, 2016) Secara konsep hukum materiil khalwat merupakan perbuatan bersunyisunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. Tujuannya adalah untuk menegakkan syariat Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Aceh. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan. Mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; menutup peluang terjadinya kerusakan moral (Qanun Aceh Khalwa, 2003). Qanun seharusnya menajdi rekayasa sosial maka yang perlu untuk dijelaskan adalah fungsi hukum dalam perspektif social engenering atau penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah masyarakat. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa hukum sangat mungkin digunakan sebagai alat pelopor perubahan (agent of change). Pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang yang mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakat. Pelopor perubahan memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan dalam menjalankan hal itu langsung tersangkut dengan tekanan-tekanan untuk melakukan perubahan. Setiap perubahan sosial yang dikehendaki melalui qanun yang diterapkan selalu berada dibawah pengendalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Oleh karena cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem-sistem yang direncanakan dan diatur lebih dahulu dinamakan social engineenering atau social planning. (Soejono Soekanto, 1986: 107). 7 Kehadiran norma pasal diatas menjadikan qanun sebagai alat untuk merubah perilaku, sejatinya untuk mempengaruhi jiwa anak menjadi pribadi yang baik, yang santun, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang ada. Sehingga generasi yang baik akan menjadi pemimpin atau penerus yang hebat. 2. Analisis Sosiologi Hukum terkait Pasal 23 ayat (1) tentang Sanksi Khalwat Bahwa Alqur’an dan hadist adalah dasar utama agama Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam dan telah menjadi keyakinan serta pegangan hidup masyarakat Aceh. Dalam rangka pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding between The Government of Republic of Indonesia and the Free Aceh Movement, Helsinki 15 Agustus 2005), Pemerintah Republik Indonesia dan GAM menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua, dan para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga Pemerintahan Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Keistimewaan dan Otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk melaksanakan Syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan dan kepastian hukum berdasarkan amanah Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, hukum Jinayat (hukum Pidana) merupakan bagian dari Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh. Jika melihat Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah Pasal 23 ayat (1) “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.” 8 Pasal 23 ayat (2) “Setiap Orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, menyediakan fasilitas atau mempromosikan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 15 (lima belas) kali dan/atau denda paling banyak 150 (seratus lima puluh) gram emas murni dan/atau penjara paling lama 15 (lima belas) bulan.” Pasal 24 “Jarimah khalwat yang menjadi kewenangan peradilan adat diselesaikan menurut ketentuan dalam Qanun Aceh tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dan/atau peraturan perundang-perundangan lainnya mengenai adat istiadat.” Berbicara hukum cambuk penulis sebagai warga Aceh memang sepakat hukuman cambuk ini tetap dipertahankan, karena ada akarnya dalam tradisi Islam. Dalam Alqur’an dan sejarah Islam juga disebut tentang hukuman ini. Di samping, hukuman cambuk ini memiliki nilai tradisi, ia juga mengandung nilai religius. Kita juga melihat banyaknya kelemahan- kelemahan dari hukuman kurungan atau penjara selama ini. Sehingga dicarilah hukuman alternatif. Tidak hanya di negara Islam, di Barat pun sekarang sedang dicari bentuk hukuman alternatif bagi terpidana. Di Jepang orang ingin masuk penjara, dan cara yang paling mudah untuk masuk penjara adalah mencuri. Jadi orang lebih senang dan betah dalam penjara karena penjara tidak lagi efektif untuk menimbulkan rasa jera bagi pelaku. Sebaliknya malah menimbulkan rasa senang, karena dapat hidup dan makan tanpa usaha. Masuk penjara enak. Di negara Barat dicari alternatif penjara seperti kerja sosial atau hukuman percobaan bagi terpidana untuk pertama sekali. Bila ia mengulangi perbuatannya baru dipenjara tanpa percobaan. (Danial, 2012: 21). Jika dilihat pendapat ahli Hoebel empat fungsi sosiologi hukum, agar mampu mengurai atau menjawab probelamtikan pasal yang terdapat pada qanun diatas. (Edwin M. Schur, 1968: 79-82). 9 1) Menetapkan hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis tingkah laku-tingkah laku apa yang diperkenankan dan apa pula yang dilarang 2) Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang boleh melakukan serta siapakah yang harus mentaatinya dan sekaligus memilihkan sanksi sanksinya yang tepat dan efetktif 3) Menyelesaikan sengketa 4) Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi kehidupan yang berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan esensial antara anggota masyarakat. Teori Hobel penulis berpendapat melihat lahirnya Qanun Hukum Jinayah terutama pasal 23 sebenarnya untuk menjamin kemaslahatan anak sebagai generasi penerus bangsa, Pemerintah Aceh dalam hal ini menjaga agar pemuda tegak dan kaffah dalam menjalankan norma agama yang dipositifkan. Dalam hal ini memang sepakat sanksi yang digunakan sebagai efek jera terhadap pelaku. Namun Pasal 24 agar dibuat regulasi khusus karena sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengatur tentang peradilan adat. Jika dilihat dari aspek psikologis akan rentan malu bagi yang dicambuk ini menimbulkan si anak tidak berani pergi sekolah, mendapat cemoohan dari masyarakat setempat dan lain sebagainya. Karena kekerasan satu bentuk agresi, dimana korban (anak) adalah objek kekerasan/agresi itu. Perbuatan agresi adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. (http://www.psychologymania.net, 2015). Memang hal yang dilakukan tersebut adalah perbuatan mereka sendiri sehingga pantas dihukum dengan Pasal 23. Akan tetapi disini perlu peran masyarakat agar bisa menyelesaikan persoalan supaya si anak diberi bimbingan agama sehingga tidak mengulangi lagi. Bahkan secara adat Aceh melibat tokoh msyarakat Adat agar menyelesaiakan perkara khalwat. Semaksimal mungkin jangan dicambuk, apabila memang perbuatan yang sudah berulang-ulang maka sewajarnya menerapkan Pasal 23 dengan dicambuk sebanyak 10 kali. 10 Konsep tujuan sosiologi hukum penulis terapkan kedalam Pasal 23 ayat (1) sesuai dengan tujuan tersebut akan dilihat apakah sudah teraplikasi sosiologi hukumnya. Tujuan pertama, mengetahui fenomena-fenomena hukum dan fenoman-fenomena sosial yang mempengaruhi hukum. Kedua,mengetahui mana hukum yang hidup (living law) dan yang tidak hidup dalam masyarakat. Ketiga, mengetahui sejauh mana masyarakat melakukan pentaatan terhadap hukum. Keempat, mengetahui apakah produk badan legislatif sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan tumbuh dalam masyakat. Sebagai ilmu empirik sosiologi hukum mengamati hukum dengan segala karakteristiknya diterapkan dan digunakan dalam dan dipakai oleh masyarakat. Pada saat qanun dijalankan terjadilah interaksi antara hukum dan perilaku masyarakat yang menggunakannya. Sosiologi hukum berbicara makna sosial hukum (the sosial meaning of law). Makna sosial diberikan kepada hukum melalui kontak-kontak dengan lingkungan sosial dimana hukum itu diterapkan. (Satjipto Rahardjo, 2000: 326-327). Bahwa kehadiran frasa Pasal 23 ayat (1) yang mengatakan “setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah khalwat, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 10 (sepuluh) kali atau denda paling banyak100 (seratus) gram emas murni atau penjara paling lama 10 (sepuluh) bulan.” Mewajibkan masyarakat ikut serta dalam mendidik anak-anaknya supaya tidak dikenakan sanksi yang ada. Fenomena hukum dengan fenomena sosial terkadang sulit untuk disatukan, seyogyanya norma frasa ini menjadi hal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh sendiri. Gejala yang timbul dengan pasal ini tertutup peluang bagi pemuda-pemudi untuk berpacaran. Sehingga masyarakat akan ikut dalam ketentuan-ketentuan yang ada. C. PENUTUP Hukum itu selalu berinteraksi dengan semua unsur-unsur karena fungsi hukum sebagai kontrol sosial. Manusia hidup bermasyarakat dikendalikan oleh kaidah atau norma yang hakikatnya bertujuan suatu tata tertib dalam masyarakat. Dalam hal hukum sebagai kaidah yang merupakan tidak terlepas dari empat norma yaitu norma sosial, norma agama, norma hukum dan norma susila. 11 Pemerintah Aceh dalam hal ini mengatur norma agama menjadi hukum positif karena beranggapan bahwa agama akan mampu menjawab dan menghantarkan masyarakat ketitik kenyamanan. Namun penulis ingin melihat peraturan yang dibuat dengan sosiologi hukum karena sosiologi hukum berusaha untuk memberikan deskripsi terhadap praktek hukum dan dapat dibedakan dalam pembuat peraturan, penerapan dalam pengadilan, maka mempelajari pula bagaimana praktik yang terjadi pada masing-masing hukum tersebut. Pelanggar khalwat seharusnya diselesaikan dulu dengan masyarakat adat setempat, karena perkara khalwat sangat sensitif, ini perlu usaha bersama antara orang tua, masyarakat dan para tokoh, dan akademisi sehingga tidak perlu menerapkan Pasal 23. Yang harus diterapkan dan dibuat regulasi khusus terkait Pasal 24 adalah peradilan adat sehingga siapa saja yang melakukan khalwat akan ditangani oleh pengadilan tersebut. 12 DAFTAR PUSTAKA Danial, Qanun Jinayah Aceh dan Perlindungan HAM (Kajian Yuridis-Filosofis), Al-Manahij, Vol, VI, No. 1, Januari, 2012. Djumala, Darmansyah, Soft Power untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Desantralisasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013. Huda, Ni’matul, Desantralisasi Asimetris dalam NKRI Kajian terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus, Bandung, Nusa Media, 2014. M. Schur, Edwin, Law and Society: A Sociological View, New York: Random House, 1968. Najih, Mohammad dan Soihimin, Pengantar Hukum Indonesia, Sejarah, Konsep Tata Hukum dan Politik Hukum di Indonesia, Malang: Setara Press, 2012. Pitirim Sorokin, Contemporary Sociology Theories, New York: Harper and Row, 1992. Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayah Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya, 2000. Sosiologi Hukum, Semarang: Genta Publishing, 2010. Roucek dan Waren, Sociology, an Introduction, New Jersey, Litlefield, Adam and Co Peterson, 1962. Sampara. Said, Dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta: Total Meda, 2009. Soekanto, Soejono , Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Wali, 1986. Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, Yogyakarta: Thafa Media, 2013. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Undip Press, 2014. 13 Internet http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt540aed8febd56/qanun-jinayahberlaku-bagi-non-muslim, diakses Tangga; 28-05-2015. https://sarjanasujana.wordpress.com/2011/11/14/teori-dan-metode-dalamsosiologi-hukum/, diakses Tanggal 28-05-2015. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1/qanun-hukumjinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah, diakses Tanggal 28-05-2015 www.eastwestcenter.org, diakses Tanggal 28-05-2015 www.hdcentre.org, diakses Tanggal 28-05-2015 www.eastwestcenter.org, diakses Tanggal 28-05 -2015 www.serambinews.com, diakses Tanggal 28-05-2015 14