Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh

advertisement
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh
(Controversy of Criminal Qanun Enforcement in Aceh)
Oleh
Hamdani1
Abstract
Sharia Implementation in Aceh starts since 2002 , marked by the birth of the Law no.
44 of 1999 on the Implementation of the Special Province of Aceh Specialties , fortified
with the birth of Law No. 11 of 2006 concerning Governance of Aceh, then followed
by the birth of tthe official Islamic Shari'a, Wilayatul Hisbah, and Syar'iyyah Court.
Government of Aceh along with the legislative (DPRA Aceh) have legislated some
criminal law as the rules implementing the law on, inter alia Qanun No. 12 in 2002,
Qanun No. 13 of 2003, and Qanun No. 14 of 2003. The last is Qanun of Jinayah on 14
September 2009. There are some obstacles and resistance encounter by the
implementing agencies, both internally and externally, as well as the Qanun is not
signed by the Governor as the head of Aceh. If it is viewed in a juridical perspective,
the Qanun does not oppose to the 1945 Constitution, higher legislation and human
rights.
.
Key words: Controversy, Qanun of Jinayah, Aceh
A. PENDAHULUAN
Masyarakat Aceh dalam sepanjang sejarah dikenal sangat dekat dan bahkan
sangat fanatik terhadap Islam, masyarakat Aceh dalam kehidupannya selalu berbaur
dengan ajaran Islam, sehingga sulit untuk dipisahkan antara adat istiadat dengan
ajaran Islam dikalangan orang Aceh. Ini dibuktikan dari pernyataan dalam pepatah
Aceh, “hukum ngon adat lage zat ngon sifeut” ( hubungan syari‟at dengan adat adalah
ibarat hubungan suatu zat (benda) dengan sifatnya, yaitu melekat dan tidak dapat
dipisahkan), sebagai way of life (landasan filosofis) dalam bentuk “adat/adat istiadat”,
1
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
80
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
yang struktur implementasinya disimpulkan dalam ”Adat bak Poe teumeureuhom,
hukom bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana”.2
Dalam pemahaman masyarakat Aceh, Syari‟at Islam bukan hanya dalam
aspek hukum dan peradilan saja, akan tetapi mencakup semua aspek kehidupan
seperti pendidikan, ekonomi dan juga sosial kemasyarakatan. Pada awal
kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat Aceh telah mengajukan permohonan
dan bahkan menuntut kepada pemerintah pusat agar diberikan izin pemberlakuan
Syari‟at Islam. Tuntutan ini akhirnya mendapat persetujuan dari pemerintah pusat
dengan mengesahkan Undang-undang No. 44 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Kemudian pada tahun 2001
pemerintah pusat kembali mengesahkan Undang-undang No. 18 tahun 2001 Tentang
Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, yang diganti dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh. Kedua undang-undang ini mengamanatkan
pelaksanaan syariat Islam di bumi Aceh secara kaffah. Oleh karena itu keberadaan
kedua undang-undang ini juga merupakan momen penting dalam rangka menjadikan
hukum Islam sebagai hukum positif yang hidup dalam masyarakat Aceh secara
menyeluruh.3
Dalam hal ini, Aceh diberikan Peradilan Syari‟at Islam yang dijalankan oleh
Mahkamah Syar‟iyyah, yang kewenangannya telah diatur dengan Qanun, dan pada
pasal 15 UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
bahwa peradilan Syari‟at Islam di Aceh adalah peradilan khusus dalam lingkungan
peradilan Agama dan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. Aceh
sebagai salah satu daerah provinsi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) memiliki keistimewaan dan otonomi khusus untuk menerapkan dan
memberlakukan Syari‟at Islam diwilayah hukumnya.
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 44 Tahun 1999, pelaksanaan Syari‟at
Islam mulai ditabuh genderangnya di Bumi Serambi Mekkah. Ini ditandai dengan
Badruzzaman Ismail, Pengaruh Faktor Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian
dan Rekonstruksi, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam Perdamaian dan
Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh Research Institute, Darussalam, Tanggal
20 September 2006. hlm. 1
3 Syahrizal Abbas, Kontekstualitas Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,
Banda Aceh, Arraniry Press, 2003, hlm. X
2
81
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
adanya 4 (empat) keistimewaaan yang diberlakukan di Aceh yaitu bidang agama,
pendidikan, adat istiadat dan juga peran ulama. Penegakan Syari‟at Islam di Aceh
telah dimulai dengan diberlakukannya Qanun Nomor 12 Tahun 2002 Tentang Khamar
(minuman keras), Qanun 13 Tahun 2003 Tentang Maisir (perjudian), dan Qanun 14
Tahun 2003 Tentang Khalwat (mesum). Pelaksanaan penegakan ketiga qanun
tersebut ditandai dengan dibentuknya Wilayatul Hisbah sebagai satuan khusus
penegak Syari‟at Islam.
Semenjak ketiga qanun di atas diterapkan oleh pemerintah Aceh, dalam
perjalanannya ditemukan banyak kelemahan materi hukum yang terdapat dalam
ketiga qanun tersebut, salah satunya adalah pelaku jarimah (pelanggar Syariat Islam)
tidak bisa ditahan oleh pihak kepolisian sepanjang proses perkara berlangsung.
Berdasarkan kondisi tersebut, pada tahun 2009 pemerintah Aceh bersama
DPRA Aceh merumuskan kembali aturan hukum terhadap ketiga qanun jinayah
dengan tujuan mengakumulasikan dan menyempurnakan ketentuan Syariat Islam
dalam qanun tersebut dalam satu naskah qanun dan juga penerapan aturan formilnya.
Pekerjaan penyempurnaan ketiga qanun jinayah tersebut rampung dilaksanakan pada
September 2009. Tepatnya pada tanggal 14 September 2009 Qanun Jinayah dan
Acara Jinayah disahkan oleh DPRA Aceh yaitu menjelang berakhirnya masa jabatan
sebagai anggota DPRA Aceh. Namun qanun tersebut menjadi pincang karena
gubernur selaku kepala pemerintahan Aceh tidak mau menandatanganinya karena
merasa dikangkangi dengan alasan paradok dengan undang-undang yang lebih
tinggi.4
Setelah pengesahan qanun jinayah tersebut terjadilah kontraversi dikalangan
masyarakat Aceh dari berbagai elemen, diantaranya ada yang pro dan kontra, seperti
pernyataan ketua umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hasanuddin
Yusuf Adan, beliau mengkritik keras sikap gubernur yang tidak mau menandatangani
qanun tersebut dengan menyuruh gubernur turun dari tahta.5 Teungku Ibrahim Bardan
(Abu Panton), (meninggal 2013), berpendapat bahwa pemerintah harus memberikan
kesejahteraan terlebih dahulu sebelum qanun jinayah tersebut diterapkan.6 Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Aceh melakukan berbagai upaya
mendesak gubernur segera menandatangani qanun tersebut, sejumlah ulama dayah
Serambi Indonesia, 24 Oktober 2009
Serambi Indonesia, 18 September 2009
6 Serambi Indonesia, 17 September 2009
4
5
82
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
di Aceh Utara juga mendesak hal yang sama. Bahrum Rasyid anggota DPRA yang
juga andil dalam melahirkan qanun tersebut dengan tegas mengatakan secara
otomatis qanun jinayah sah berlaku setelah tiga puluh (30) hari, apakah dengan atau
tanpa tanda tangan gubernur.7
Disamping yang pro, juga tidak sedikit kalangan masyarakat yang kontra,
seperti yang dilontarkan oleh pegiat HAM dan gender yang mengecam lahirnya qanun
tersebut dengan alasan bertentangan dengan hak azasi manusia.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis mengkaji sebab musabab
terjadinya kotroversi terhadap qanun jinayah dengan melihat dari beberapa aspek
penemuan hukum, yuridis normatif dan sosiologis empiris.
B. PENGERTIAN QANUN JINAYAH
Qanun jinayah terdiri dari dua kata, yaitu qanun dan jinayah, kata qanun
berasal dari bahasa Arab yaitu qanna, yang bermakna membuat hukum dan
kemudian qanun dapat diartikan sebagai hukum, peraturan atau undang-undang.
Sedangkan menurut kamus bahasa Arab-Indonesia, kata (qanun) berasal dari kata
(qanna) yang berarti kaidah, undang-undang atau aturan. Adapun jinayah secara
etimologis berarti perbuatan terlarang. Menurut Ahmad Wardi jinayah secara bahasa
adalah:
‫“ اسن لوا يجنه الورء هن شر وها اكتسبه‬Nama bagi perbuatan seseorang yang
buruk dan apa yang diusahakan”.
Sedangkan pengertian jinayah menurut istilah fuqaha, sebagaimana
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah: ‫ سواء وقع‬،‫فالجناية اسن لفعل هحرم شرعا‬
‫“ الفعل على نفس أو هال أو غير ذالك‬Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang
dilarang oleh syara‟ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta dan lainnya”.
Menurut Sayid Sabiq “yang dimaksud jinayah dalam istilah syara‟ adalah setiap
perbuatan yang dilarang oleh syara‟ untuk melakukannya, karena adanya bahaya
terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda. Menurut Amir Syarifuddin
pengertian Jinayah merupakan satu bagian dari pembahasan fiqh. Kalau fiqh adalah
ketentuan-ketentuan hukum Allah, dan amaliyah mengatur kehidupan manusia
berhubungan dengan Allah dan sesama manusia, maka fiqh jinayah adalah secara
khusus mengatur tentang pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia
dan sanksi hukuman yang dikenakan itu adalah untuk mendatangkan kemaslahahtan
7
Tabloid Kontras Nomor 509 Tahun XI, 1-7, Oktober 2009
83
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
bagi manusia, baik mewujudkan keuntungan dan manfaat, maupun menghindari
kerusakan dan kemudharatan dari manusia.
Segala bentuk tindakan perusakan terhadap orang lain atau mahkluk lain
dilarang oleh agama dan tindakan tersebut dinamakan tindak kejahatan atau jinayah.
Semua bentuk tindakan yang dilarang oleh Allah dan diancam pelakunya dengan
hukuman tertentu secara khusus disebut jinayah. Menurut Sudarsono istilah fiqh
jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap hak Allah atau
larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang dimana orang yang melakukan
wajib mendapat hukuman yang sesuai baik di dunia maupun di akhirat. Dalam
rumusan lain disebutkan bahwa jinayah itu perbuatan dosa besar atau kejahatan
(kriminal/pidana) seperti membunuh, melukai seseorang, berzina dan menuduh orang
baik berzina.
C. PROSES PEMBENTUKAN QANUN
Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak berupa
peraturan yang tertulis, pada umumnya didasarkan pada dua hal.Pertama,
pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang.Kedua, pembentukannya
dianggap perlu karena kebutuhan hukum. Ketentuan mengenai prosedur
pembentukan undang-undang telah dituangkan dalam Undang-undang No. 10 tahun
2004 tentang pembentukan perundang-undangan (di Aceh qanun No. 3 tahun 2007
tentang tata cara pembentukan qanun). Undang-undang dan qanun ini dibentuk
dengan pertimbangan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional dan
daerah yang hanya dapat diwujudkan apabila didukung oleh cara dan metode yang
pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat
peraturan perundang-undangan.
Dalam pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa pembentukan Peraturan
Perundang undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang undangan yang
pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan,
pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Selanjutnya dalam
angka 10 disebutkan bahwa program legislasi daerah adalah instrumen perencanaan
program pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu,
dan sistematis.
84
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
Secara yuridis formal dapat diketahui bahwa dari ketentuan diatas
merupakan langkah atau proses pembentukan suatu aturan hukum yang berlaku yang
dirancang secara sistematis,kata “sistematis” bermakna bahwa dalam membuat suatu
aturan telah ada mekanisme dan langkah yang diatur dengan jelas.
Dalam UUD1945 hasil amandemen disebutkan tugas pembentukan undangundang adalah DPR, sebagaimana tertuang dalam pasal 20 (1) “DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang”. DPR adalah lembaga legislatif, sebagai
pembentuk undang-undang. Presiden sebagai eksekutifjuga dapat mengajukan
rancangan undang-undang sebagaimana yang tertuang dalam pasal 5 ayat (1) UUD
1945, presiden adalah lembaga eksekutif dengan arti mempunyai fungsi yang sama
dengan DPR. Namun keterlibatan presiden dalam pembentukan undang-undang
berfungsi untuk memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang, bukan
sebagai pembentuknya.
Pasal 20 (2) UUD 1945 yang menyatakan “rancangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama” presiden
dalam proses pembahasan undang-undang hanya untuk mendapat persetujuan
bersama antara DPR dengan presiden terhadap rancangan undang-undang, karena
kedua lembaga ini mempunyai fungsi masing-masing yang berbeda, fungsi presiden
dalam hal ini hanya memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang
yang diajukan kepadanya, akan tetapi tidak boleh juga ditafsirkan bahwa presiden
hanya memberikan persetujuan semata, melainkan mempunyai hak menyempurnakan
dan bahkan berhak tidak menyetujuinya.
Dalam proses pembentukan qanun di Aceh juga sama halnya dengan
pembentukan undang-undang. Pembentukan qanun di Aceh juga merupakan
wewenang DPRA sebagai lembaga legislatif dan gubernur sebagai lembaga eksekutif
untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam pembentukan qanun jinayah
keterlibatan masyarakat sudah dilakukan melalui public hearing, dengan memberikan
kesempatan mengeluarkan pendapat, ditambah lagi keterlibatan Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) di dalamnya.
Qanun-qanun yang ada dan akan ada di Aceh merupakan peraturanperaturan daerah yang dibuat untuk memenuhi ketentuan UU No. 44 Tahun 1999
Tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam undang-undang
tersebut Aceh ditetapkan istimewa dalam empat bidang, yaitu; istimewa dalam bidang
85
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
penyelenggaraan kehidupan beragama, adat istiadat, pendidikan dan peran ulama
dalam penetapan kebijkan daeran.8
Dalam menjalankan suatu undang-undang harus adapp/perda/qanun. Suatu
undang-undang tidak dapat dijalankan tanpa ada qanun(khusus Aceh) sebagai aturan
pelaksananya. Dalam undang-undang juga disebutkan bahwa untuk menjalankan
undang-undang harus dibuat qanun-qanun.9
Syahrizal Abbas mengungkapkan dalam membuat sebuah qanun syariat
Islam yang bersifat responsif maka dibutuhkan beberapa langkah nyata yaitu:
a) Materi qanun yang dirumuskan bukan hanya memiliki akses terhadap teks
eksplisit al-Quran dan as-Sunnah, namun perlu diselami secara lebih
mendalam hakikat keberadaan teks tersebut bagi manusia. Pemahaman
terhadap hakikat keberadaan teks akan menemukan ruh syari‟ah (nilai
filosofis);
b) Penemuan ruh syari‟ah bukan hanya membutuhkan kajian filsafat hukum Islam,
tetapi juga membutuhkan kajian sosiologis dimana pemahaman terhadap
kondisi masyarakat ketika teks lahir akan sangat berarti;
c) Pendekatan tematis bukan hanya bertumpu pada ayat atau hadis yang
berbicara tentang tema yang sama, tetapi perlu juga dilihat pemahaman tema
tersebut;
d) Semangat sosiologis yang dibangun al-Quran dalam hukumnya perlu
mendapat perenungan. Karena banyak praktek dan tradisi telah menjadi
hukum yang hidup (living law) dan dapat memberikan keadilan bagi
masyarakat;
e) Kerangka diatas akan bekerja bila tingkat pendidikan masyarakat dan
sosialisasi qanun dapat ditingkatkan kearah yang lebih baik sehingga
keberadaan qanun syariat Islam benar-benar dirasakan oleh semua kalangan
masyarakat.10
Lihat Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999, pasal 3 ayat 2.
Lihat Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 1999, pasal 11.
10 Syahrizal Abbas dalam buku Aceh Madani Dalam Wacana, Format Ideal
Imlementasi Syariat Islam Di Aceh, editor: Saifuddin Bantasyam dan Muhammad Siddiq,
diterbitkan oleh Aceh Justice Resource Centre, Banda Aceh, 2009, hlm 64.
8
9
86
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
D. PERSPEKTIF PENEMUAN HUKUM DALAM HUKUM POSITIF
Berbicara mengenai penemuan hukum tentu tidak lepas kepada subjek
hukum yang dapat melakukan penemuan hukum,yang disebut rechtsvinding.
Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengembangan hukum secara
ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap
situasi-situasi problematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum
berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum (rechtsvragen), konflik-konflik
hukum atau sengketa-sengketa hukum.11
Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaanpertanyaan tentang hukum dan hal pencarian penyelesaian-penyelesaian terhadap
sengketa-sengketa kongkrit. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaanpertanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan-aturan hukum, dan
pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum
harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan
penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah
hukum.12
Sebagai subjek yang dapat melakukan penemuan hukum, pada umumnya
adalah hakim dengan eksistensinya dapat menggali nilai-nilai hukum yang ada dalam
masyarakat dan mengenyampingkan hukum positif yang berlaku. Undang-undang
sebagai salah satu pedoman hakim dalam memeriksa, mengadili dan menjatuhkan
putusan, kadangkala belum ada, tidak lengkap atau tidak jelas, sehingga hakim
dituntut untuk menemukan, melengkapinya atau mencari kejelasan akan ketentuan
hukumnya, dengan mencari, menggali atau mengikuti nilai-nilai hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat, sehinga putusan hakim akan mereflesikan rasa
keadilan dan kebenaran serta membawa kemaslahatan bagi masyarakat luas, bangsa
dan negara.13
Namun, ada juga pihak lain yang dapat melakukan penemuan hukum , yaitu
pihak legislatif selaku lembaga yang berwenang dalam menetapkan hukum.
Penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh pihak legislatif yaitu dengan
11Sudikno
Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta,
2001, hlm. 13.
12Ibid
13Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, 2010, hlm. 20
87
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
memasukkan ketentuan yang merupakan aspirasi masyarakat dan menampungnya
dalam sebuah aturan hukum.
Dalam proses pengambilan keputusan hukum, seorang ahli hukum pada
dasarnya dituntut untuk melaksanakan dua tugas atau fungsi utama, yaitu :
a. Seorang ahli hukum senantiasa harus mampu menyesuaikan kaidah-kaidah
hukum yang konkrit (perundang-undangan) terhadap tuntutan nyata yang
ada di dalam masyarakat, dengan selalu memperhatikan kebiasaan,
pandangan-pandangan yang berlaku, cita-cita yang hidup didalam
masyarakat, serta perasaan keadilannya sendiri. Hal ini perlu dilakukan oleh
seorang ahli hukum karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya
tidak selalu dapat ditetapkan untuk mengatur semua kejadian yang ada
didalam masyarakat. Perundang-undangan hanya dibuat untuk mengatur
hal-hal tertentu secara umum saja.
b. Seorang ahli hukum senantiasa harus dapat memberikan penjelasan,
penambahan, atau melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada,
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Hal ini
perlu dijalankan sebab adakalanya pembuat undang-undang (wetgever)
tertinggal oleh perkembangan didalam masyarakat.14
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa setiap ahli hukum mempunyai
peran dan tugas dalam menemukan hukum, sehingga setiap perundang-undangan
yang ditetapkan setidaknya merupakan cerminan aspirasi masyarakat, seperti halnya
qanun jinayah Aceh, bukan merupakan parasit dalam masyarakat yang tidak dapat
dilaksanakan dan ditegakkan.
E. KONTROVERSI PELAKSANAAN QANUN JINAYAH
Kontroversi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat terhadap qanun
Jinayah dimulai pada saat pengesahan qanun tersebut menjadi hukum positif oleh
pihak DPRA pada tanggal 14 September 2009, sebahagian mengatakan bahwa
pengesahan tersebut dilakukan sepihak oleh legislatif Aceh. Kontroversi ini mencuat
dikarenakan di dalam qanun jinayah memuat hukuman rajam bagi pelaku zina
14 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta,
2001, hlm. 46
88
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
muhsan,15 dan dijilid 100 kali bagi penzina ghairul muhsan,16 yang tercantumpada
pasal 24 (1) qanun jinayah, yaitu:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan zina diancam dengan „uqubat
hudud 100 (seratus) kali cambuk bagi yang belum menikah dan „uqubat hudud
100 (seratus) kali cambuk serta „uqubat rajam/hukuman mati bagi yang sudah
menikah.
Hukum ini dianggap bertentangan dengan HAM, nilai-nilai kemanusiaan,dan
bertentangan dengan UUD 1945, demikian pernyataan dilontarkan oleh kalangan
yang menolak pemberlakuan qanun ini, ditambah lagi Gubernur selaku Kepala
Pemerintahan di Aceh tidak mau menandatangani qanun tersebut. Ada juga kalangan
yang mendukung pemberlakuan hukum rajam dalam Qanun Jinayah, denagn
argumen bahwa Qanun Jinayah tidak bertentangan dengan HAM dikarenakan materi
hukumnya sudah jelas sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 11
tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan bahwa Aceh
diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam (hukum Jinayah).
Selain itu hukum Jinayah bagi umat Islam merupakan keharusan yang harus
dijalankan karena tuntutan ajaran Islam tidak ada perdebatan pada umat Islam
tentang hal ini.
Menjalankan Syari‟at Islam merupakan Hak Fundamental dalam kebebasan
beragama (freedom of religion), Syariat Islam adalah hasil rekontruksi sosial
masyarakat Aceh, sebagaimana diakui dalam konvensi Internasional, sehingga hukum
tersebut dianggap tidak bertentangan dengan HAM.17 Secara hukum rancangan
15Terimalah
dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi jalan kepada
mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu
tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam. (Imam anNawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi,Beirut: Dar al-Fikr, t.t., XI: 180).
16 Penzina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan janganlah
merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu dalam menjalankan
hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah dalam
menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman”. (Q.S. An-Nuur Ayat 2).
17 Dalam deklarasi universal tentang HAM 1948, dalam pasal 2 ditegaskan bahwa
setiap orang memiliki semua hak dan kebebasan sebagaimana diatur dalam deklarasi ini,
tanpa ada perbedaan untuk alasan, seperti ras, warna kulit, bahasa, agama, pandangan politik
atau kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kekuasaan dan status lainnya.
89
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
qanun tersebut sudah sah dan wajib diundangkan dalam lembaran daerah, hal ini
telah dijelaskan dalam UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundangundangan pasal 38 (2), juga dalam Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun, pasal 37 (2) yang menyatakan bahwa “dalam hal rancangan
Qanun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak ditanda tangani oleh Gubernur/
Perlindungan yang tegas mengenai kebebasan beragama, dalam hukum HAM
internasional adalah terkait dengan konsep religios intolerant (sikap tidak ada toleransi) yaitu
kondisi minoritas tidak boleh menumbuhkan adanya perlakuan diskriminasi. Sejak tahun 1967
rancangan perjanjian internasional telah menegaskan tentang pembatasan terhadap segala
bentuk perlakuan yang tidak toleran terhadap agama, termasuk larangan yang bertentangan
dengan kebebasan terhadap pemeluk agama.
Secara umum dalam pasal 3 Draft Konvensi menyebutkan:
a.
Bahwa kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk, atau mengubah
agamanya merupakan hak asasi.
b.
Kebebasan untuk mengepresikan perilaku keagamaan atau kepercayaan
baik secara pribadi atau bersama-sama, baik secara privat atau umum, merupakan subyek
yang tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif.
Dalam pasal 3 bagian 3, ditegaskan negara-negara wajib untuk melindungi siapapun
di bawah yuridiksinya, meliputi;
a.
Kebebasan untuk beribadah atau mengumpulkan suatu seremonial
bersama
b.
Kebebasan untuk mengerjakan, untuk melakukan disiminasi, dan
mempelajari ajaran agama dengan menggunakan bahasa yang suci dengan tradisi menulis,
mencetak, mempublikasikan buku, dan sebagainya.
c.
Kebebasan untuk mengamalkan ajaran agama dan keperluannya dengan
membangun institusi pendidikan, amal dana bantuan yang diselenggarakan di tempat umum.
d.
Kebebasan untuk mematuhi peribadatan, makanan dan praktek
keagamaan dan untuk memproduksi, menjalankan impor-eksport barang-barang, makanan
dan fasilitas yang biasanya dipergunakan untuk pengamalan ajaran agama.
e.
Kebebasan melakukan kunjungan haji atau perjalanan terkait dengan
keyakinan keagamaan, baik di dalam maupun di luar negeri.
f.
Perlakuan dengan hukum yang setara terhadap tempat-tempat
peribadatan, aktivitas dan upacara keagamaan dan tempat-tempat untuk penguburan mayat,
sesuai dengan keyakinan agamanya.
g.
Kebebasan berorganisasi dan memelihara hubungan organisasi secara
lokal, nasional dan internasional terkait dengan kegiatan agama, dan melakukan komunikasi
dengan penganut agama lain.
h.
Kebebasan pemaksaan untuk melakukan sumpah menurut ketentuan
agamanya.
90
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
Bupati/ Wali Kota dalam waktu paling lama 30 hari sejak rancangan qanun disetujui
bersama, maka rancangan qanun tersebut sah menjadi qanun dan wajib
diundangkan.
Dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia
jelas mengatakan bahwa undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berbicara tentang Syari‟at
Islam dalam kontek UUD 1945 termuat dalam pasal 18 a dan 18 b,18 maka dari sejak
awal sudah terdapat permulaan yang baik, seperti terlihat dalam Piagam Jakarta yang
mendahului pembukaan UUD 1945. Sekalipun terdapat kontroversi dalam pencoretan
terhadap tujuh kata yang terdapat dalam Piagam Jakarta, akan tetapi oleh Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Piagam Jakarta diakui menjiwai UUD 1945 dan merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Konstitusi.
F. IMPLEMENTASI HUKUMAN RAJAM
Hukum Islam digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi,
bar-bar, sadis, dan sebagainya. Ini muncul karena hukum Islam hanya dilihat dari satu
aspek saja, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia “modern”, tanpa melihat
alasan, maksud, tujuan, dan keefektifan hukuman tersebut. Dalam Islam, untuk
melaksanakan suatu hukuman seperti rajam harus melalui suatu proses dan etika
hukum yang sangat ketat. Pada masa Nabi saja, hukuman rajam yang dijatuhkan
relatif sedikit akibat dari sulitnya pembuktian. Lalu bagaimana dengan Aceh
seandainya qanun jinayah tersebut mau ditandatangani Gubernur?.
Tidaklah mudah untuk memenuhi syarat dan proses pembuktian sehingga
sampai kepada hukuman rajam. Allah mensyaratkan adanya empat orang saksi yang
melihat langsung perbuatan tersebut: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
Pasal 18 a (2) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur
dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Pasal 18 b (1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang.
18
91
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya” (QS. An-Nisa: 15).Kemudian dalam
ayat yang lain Allah juga berfirman: “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang- orang yang
dusta” (QS. An-Nur: 13).
Para saksi tersebut juga tidak bisa main-main dengan kesaksiannya karena
mereka juga diancam dengan hukuman yang berat jika memberikan kesaksian palsu:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik” (QS. An-Nur: 4).
Kesaksian inilah sebagai standar dalam upaya Islam menyaring dan menyeleksi
pelaku-pelaku zina dan melindungi orang baik-baik dari tuduhan-tuduhan tersebut.
Secara logis, akan sangat sulit mencari empat orang yang benar-benar melihat
perbuatan zina kecuali jika yang berzina tersebut memang sengaja
“mempertontonkannya”.
G. PERAN POLITICAL WILL PEMERINTAH ACEH DALAM MEMBANGUN
SYARIAT ISLAM
Political will (keinginan politik) dari pemerintah Aceh sangat menentukan
dalam menegakkan syariat Islam. Dalam hukum, dikenal dengan jalur struktural-politik
yang terdiri dari 2 (dua) macam yaitu jalur top down (dari atas ke bawah) dan jalur
bottom up (dari bawah ke atas). Jalur top down cenderung memaksa suatu ketentuan
dari aturan hukum sendiri dan jalur bottom up yang biasanya disebut jalur budaya/
kultural yang muncul dari kesadaran masyarakat itu sendiri.
Pasal 238 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 menyebutkan “Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan
pembahasan rancangan qanun” dan ayat (2) “Setiap tahapan penyiapan dan
pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik”. Berdasarkan
ketentuan pasal tersebut dapat dilihat bahwa bentuk political will dapat terjadi melalui
jalur bottom up, dimana partisipasi masyarakat juga dapat menentukan baik-buruknya
sebuah kebijakan pemerintah.
Masyarakat juga dapat menilai sebuah aturan hukum yang sesuai maupun
yang bertentangan dengan nilai budaya yang telah hidup dalam masyarakat.
92
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
Demikian halnya dengan pengesahan sepihak dari legislatif Aceh terhadap qanun
jinayah tersebut, dimana masyarakat dapat memberikan masukan sebelum sebuah
aturan hukum disahkan.
Partisipasi masyarakat menjadi tema dalam penyelenggaraan pemerintahan
pada saat ini. Ketiadaan partisipasi masyarakat akan membuat aparatur negara tidak
mampu menghasilkan kebijakan yang tepat dalam program-program pembangunan.
Ketidaksiapan aparatur negara dalam mengantisipasi proses demokratisasi ini perlu
dicermati agar mampu menghasilkan kebijakan dan pelayanan yang dapat
mememenuhi aspek-aspek transparansi, akuntabilitas dan kualitas yang prima dari
kinerja kelembagaan-kelembagaan perangkat otonomi Daerah.
Political will pihak terkait sangat dibutuhkan dalam mendengungkan kembali
qanun Jinayah tersebut untuk dibahas ulang. Pembahasan dapat dilakukan dengan
menjaring aspirasi masyarakat, sehingga aturan hukum tersebut benar-benar
mencerminkan tatanan kehidupan masyarakat, bukan aturan yang dipaksakan.
Dengan menjunjung nilai-nilai yang berlaku, pihak legislatif dan Pemerintah
Aceh mempunyai peran penting dan bertanggungjawab secara penuh dalam
menyukseskan qanun tersebut,karena kewenangan keduanya dalam membuat
perundang-undangan tingkat daerah. Peran kedua lembaga tersebut dalam
menemukan dan juga menentukan aturan hukum sangatlah besar. Sebuah cita-cita
hukum akan tercapai dengan baik apabila tanpa adanya indikasi money politic.
Olehitu peran serta seluruh pihak untuk mengadvokasi kembali qanun tersebut agar
sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat. Sehingga cita-cita hukum,
terhadap pelaksanaan syari‟at Islam secara kaffah terealisasi dengan sebenarbenarnya.
H. KESIMPULAN
1. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah hasil rekontruksi sosial masyarakat
Aceh yang selanjutnya diatur oleh qanun sebagai aturan pelaksananya.
2. Qanun Jinayah adalah aturan perundang-undangan positif di Aceh yang
mengatur segala bentuk tindakan kejahatan (kriminal/pidana) terhadap orang
lain.
3. Qanun Jinayah yang telah disahkan oleh DPRA pada 14 September 2009 yang
lalu, sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena terjadinya kontroversi
93
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 3, Desember 2013
ISSN 2302-6219
terhadap salah satu ini pasal tentang hukuman rajam sebagai uqubat bagi
pelaku zina.
4. Argumen pihak yang menolak mengatakan qanun Jinayah bertentangan dengan
HAM dan undang-undang yang lebih tinggi.Pihak yang menerima mereka
berargumen bahwa Qanun Jinayah tidak bertentangan dengan HAM
dikarenakan materi hukumnya sudah jelas sebagaimana diamanatkan dalam UU
No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pasal 125 yang menyatakan
bahwa Aceh diberikan kewenangan untuk memberlakukan hukum pidana Islam
(hukum Jinayah),dan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundangundangan pasal 38 (2) dan Qanun No. 3 tahun 2007 Tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun.
5. Pengesahan Qanun Jinayah Aceh telah melalui proses tahapan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, juga telah dilakukan uji publik untuk menyerap aspirasi
rakyat melalui public hearing.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Sinar Grafika, 2010.
Badruzzaman Ismail, Pengaruh Faktor Budaya Aceh Dalam Menjaga Perdamaian dan
Rekonstruksi, Disampaikan pada Seminar Faktor Budaya Aceh Dalam
Perdamaian dan Rekonstruksi, yang dilaksanakan oleh Tunas Aceh
Research Institute, Darussalam, Tanggal 20 September 2006.
Syahrizal Abbas, Kontekstualitas Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Banda
Aceh, Ar-Raniry Press, 2003.
Imam an-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Serambi Indonesia, 24 Oktober 2009
Serambi Indonesia, 18 September 2009
Serambi Indonesia, 17 September 2009
94
Kontroversi Pemberlakuan Qanun Jinayah di Aceh (Hamdani)
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya, Jakarta,
2001.
--------------------------- Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, 2001.
Syahrizal Abbas dalam buku Aceh Madani Dalam Wacana, Format Ideal Imlementasi
Syariat Islam Di Aceh, editor: Saifuddin Bantasyam dan Muhammad Siddiq,
diterbitkan oleh Aceh Justice Resource Centre, Banda Aceh, 2009.
Tabloid Kontras Nomor 509 Tahun XI, 1-7, Oktober 2009
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945
Undang-undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 1999.
Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006
Undang-undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2004
Qanun Aceh No. 3 tahun 2007
95
Download