Aceu Masruroh**

advertisement
EKSISTENSI ETNIS CINA DI KECAMATAN CIHIDEUNG KOTA TASIKMALAYA
TAHUN 1999-2012
Oleh:
H. Kuswandi*
Aceu Masruroh**
Program Studi Pendidikan Sejarah-FKIP-UNIGAL
ABSTRAK
Etnis Cina adalah migrasi Cina dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya
Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi budaya Cina, mereka
yang memandang Cina dirinya sendiri atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat
bersamaan mereka berhubungan dengan Cina perantauan lain atau dengan Tiongkok secara sosial
atau lainnya, tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau kaitan erat dengan budaya Cina. Di dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dengan tujuan untuk memahami
eksistensi etnis Cina di Cihideung Tasikmalaya. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kecamatan
Cihideung. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa latar belakang kedatangan etnis Cina di
Indonesia sudah ada sebelum adanya bangsa Eropa. Mereka tinggal dan menetap di berbagai
wilayah yang ada di Indonesia termasuk Tasikmalaya. Keberadaan etnis Cina di Cihideung
mengalami perkembangan pasang surut, pada masa orde baru mereka diikat dengan batasanbatasan yang dapat di bilang mengekang mereka. Namun setelah adanya Reformasi mereka pun
mengalami kebebasan dan dapat dikatakan keberadaan mereka mulai diakui secara negara karena
mereka diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan aktivitas budaya di Tasikmalaya umumnya
di Indonesia. Sedangkan dengan adanya Etnis Cina di Tasikmalaya memberikan dampak bagi
masyarakat sekitar terutama masyarakat yang mengalami hubungan interaksi dengan mereka secara
tidak langsung mereka mengenal beberapa budaya dari etnis Cina. Selain itu juga hubungan sosial
diantara Etnis Cina dengan warga pribumi berkembang sangat baik dengan etnis Cina sering ikut
serta dalam menciptakan lingkungan yang aman dan tentram. Dan dengan adanya Etnis Cina di
Tasikmalaya memberikan bantuan pengembangan perekonomian masyarakat Cihideung dan
sekitarnya.
Kata Kunci: Etnis Cina, Sosial.
PENDAHULUAN
Manusia merupakan mahluk sosial yang
tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu
manusia hidup dalam suatu kelompok yang
disebut dengan masyarakat. Masyarakat adalah
sekumpulan manusia yang saling “bergaul”,
atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi"
(Koentjaraningrat, 2000: 144). Indonesia
merupakan negara multikultural yang memiliki
beraneka ragam suku, budaya dan etnis yang
tersebar di seluruh bumi nusantara ini. Dalam
hal ini multikultural merupakan salah satu
kekhasan Indonesia dan dengan adanya
multikultural di Indonesia dapat menyebabkan
suatu konflik sosial atau bahkan berlatar
belakang etnis. Etnis berasal dari istilah Yunani
“etnichos” yang secara harfiah digunakan untuk
menerangkan
keberadaan
sekelompok
penyembah berhala atau kafir. Dalam
perkembangannya, istilah etnik mengacu pada
kelompok yang fanatik dengan ideologi. Para
ahli ilmu sosial pada umumnya memahami
kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk
yang mempunyai kesamaan sifat – sifat
kebudayaan: missal bahasa, adat istiadat,
perilaku budaya karakteristik budaya dan
sejarah. Suku bangsa adalah golongan sosial
yang dibedakan dari golongan – golongan
sosial lainya oleh karena mempunyai ciri – ciri
yang paling mendasar dan umum berkaitan
dengan asal usul dan tempat asal serta
kebudayaan. Suatu kebudayaan yang hidup
dalam
masyarakat
dapat
berwujud
beranekaragam dan memiliki ciri khas masing –
masing dari suatu kelompok atau daerah. Barth
dan Zastrow memahami etnik sebagai
himpunan manusia karena kesamaan ras,
agama, asal – usul bangsa ataupun kombinasi
dari kategori tersebut yang terikat pada system
nilai budayanya. Salah satu yang ada di
Indonesia adalah Etnis Cina. Etnis Cina
merupakan salah satu etnis yang tersebar di
Halaman | 133
seluruh Indonesia bahkan persebaran etnis Cina
menyebar hingga seluruh dunia. Penyebaran
etnis Cina ke berbagai tempat di seluruh dunia
terjadi secara besar-besaran di abad kesembilan
belas, yang merupakan masa kemerosotan
kekuasaan dinasti Qing. Pada masa itu Cina /
Tiongkok
diwarnai
oleh
ketimpangan
administrasi, korupsi yang meluas, degenerasi
militer, kemerosotan kekuasaan oleh karena
pengaruh barat, peningkatan populasi, dan
kemerosotan standar hidup. Selain itu di daerah
Guangdong, terutama di Xinning, hampir setiap
tahun terjadi bencana alam seperti kekeringan,
banjir, hujan salju dan angin topan serta
kegagalan panen karena hama. Hal-hal tersebut
memicu migrasi besarbesaran ke Negara lain,
antara lain ke Indonesia dan Amerika. Di kedua
negara tersebut kelompok masyarakat Cina
memiliki pengalaman yang dapat dikatakan
sama meskipun latar belakang dan bentuknya
berbeda oleh karena kondisi negara dan
masyarakat di tempat perantauan yang berbeda.
(Tong 2000:23).
Penyebaran etnis Cina ke Indonesia
menyebar hampir keseluruh daerah di
Indonesia, salah satunya di daerah Jawa Barat
khususnya di Kota Tasikmalaya, yaitu
Kecamatan
Cihideung.
Cihideung adalah
sebuah kecamatan di Kota
Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat. Cihideung merupakan
salah satu daerah yang memiliki jumlah etnis
Cina yang cukup banyak sehingga di Cihideung
banyak berdiri toko atau ruko milik orang
Cina. Perkembangan etnis cina di Cihideung
juga mempengaruhi akan bidang – bidang yang
ada seperti bidang ekomoni, sosial, dan budaya.
Selama ini hubungan antar keduanya antara
etnis Cina dan penduduk lokal mengalami
hubungan yang baik sehingga potensi konflik
juga dapat di tekan dan dapat juga di hindarkan.
Seperti halnya konflik yang terjadi di
Tasikmalaya pada tahun 1996, konflik yang
terjadi akibat merasa merusak harga diri ulama
di Tasikmalaya, konflik yang dari pribadi
berujung menjadi konflik massa. Dimana akhir
dari konflik tersebut kerusuhan yang terjadi di
kota Tasikmalaya dan korban yang paling nyata
adalah etnia Cina,dengan adaya konflik tersebut
orang Cina harus menerima getah dari ketidak
bersalahan mereka. Terjadi perusakan dan
pembakaran yang dilakukan oleh massa pada
itu ada beberapa ruko orang orang Cina yang di
rusak dan di bakar oleh massa. Selain konfik
itu, keberadaan orang Cina memiliki
dinamikanya sendiri, pada masa Orde baru etnis
Cina bisa di anggap di-anaktiri-kan oleh
pemerintah seperti contoh orang Cina harus
memakai dua nama, nama Indonesia dan nama
Cina, nama resmi itu adalah nama Indonesia
dan nama tidak resmi adalah nama Cina
mereka.
KAJIAN TEORI
Etnis
Etnis berasal dari istilah Yunani
“etnichos” yang secara harfiah digunakan untuk
menerangkan
keberadaan
sekelompok
penyembah berhala atau kafir. Dalam
perkembangannya, istilah etnik mengacu pada
kelompok yang fanatik dengan ideologinya.
Para ahli ilmu sosial pada umumnya memahami
kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk
yang
mempunyai
kesamaan
sifat–sifat
kebudayaan: missal bahasa, adat istiadat,
perilaku budaya karakteristik budaya dan
sejarah. Suku bangsa adalah golongan social
yang dibedakan dari golongan – golongan
social lainya oleh karena mempunyai ciri – ciri
yang paling mendasar dan umum berkaitan
dengan asal usul dan tempat asal serta
kebudayaan.
Pada awalnya istilah etnik hanya
digunakan untuk suku-suku tertentu yang
dianggap bukan asli Indonesia, namun telah
lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat,
serta tetap mempertahankan identitas mereka
melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan,
dan atau karena secara fisik mereka benarbenar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab,
dan
etnik
Tamil-India.
Perkembangan
belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai
sinonim dari kata suku pada suku-suku yang
dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis,
etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani,
etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan
istilah etnik berarti kelompok sosial dalam
sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai
arti atau kedudukan tertentu karena keturunan,
adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggotaanggota suatu kelompok etnik memiliki
kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa
(baik yang digunakan ataupun tidak), sistem
nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Etnis adalah kelompok manusia yang
terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering
kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa
(Koentjaraningrat, 2007).
Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007)
mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin
Halaman | 134
Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya
(Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012)
H.KUSWANDI
ACEU MASRUROH
mencakup dari warna kulit sampai asal usul
acuan kepercayaan, status kelompok minoritas,
kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan
program belajar.
Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga
menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan
berdasarkan
persamaan
asal-usul
yang
merupakan salah satu faktor yang dapat
menimbulkan suatu ikatan.
Menurut Anthony Smith, komunitas etnis
adalah suatu konsep yang digunakan untuk
menggambarkan sekumpulan manusia yang
memiliki nenek moyang yang sama, ingatan
sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan
beberapa elemen kultural. Elemen-elemen
kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat
tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang
lebih sama.
Etnis merupakan hasil dari adanya
pengaruh yang berasal dari luar kelompok.
Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh
terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang
demi kepentingan administratif pemerintah
kolonial telah mengkotak-kotakkan warga
jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan
ras (Rex dalam Simatupang, 2003).
Etnis berbeda dengan pengertian Ras.
Seperti yang di ungkapkan oleh Coakley (2001:
243) “ it refers to the culture heritage of
particular group of people”. Jadi etnis mengacu
pada warisan budaya dari kelompok orang
tertentu. Maguire, “et al use regarding people of
varying origins”. Jadi istilah etnis menjadi kata
yang tepat untuk memandang orang dari
berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan
pula bahwa etnis mungkin dipertimbangakan
dalam istilah kelompok apapun yang
didefinisikan atau disusun oleh asal- usul
budaya, agama, nasional kelompok tertentu.
Kelompok etnis merupakan suatu kelompok
manusia yang memiliki kehidupan dan
memiliki sifat serta karakteristik yang menarik.
Masyarakat yang memiliki etnis yang
sama didaerah tempat perpindahan akan
membentuk komunitas etnisnya sendiri. pada
komunitas etnis ini identitas etnis cenderung
tetap kuat, hal ini di karenakan praktik,
kepercayaan, dan bahasa dari bahasa tradisional
yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar,
2010: 189).
Identitas etnis merupakan bentuk spesifik
dari
identitas
budaya.
Ting
toomey
mendeskripsikan identitas kultural sebagai
perasaan dari seseorang untuk turut memiliki
atau berafiliasi terhadap kultur tertentu
(Rahardjo, 2005: 1-2).
Etis Cina
Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun
1950- an telah di ganti menjadi “tionghoa”
(sesuai dengan ucapan bahasa Hokkian) untuk
merujukan pada orang Cina dan Tiongkok.
Etnis Cina menurut purcell (dalam liem 2000)
adalah seluruh imigrasi negara tiongkok dan
keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup
budaya Indonesia dan tidak tergantung dari
kewarganegaraan mereka.
Menurut liem ( 2000 ) Etnis Tionghoa di
Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal
dari negara tiongkok dan sejak generasi
pertama/kedua telah tinggal di negara
Indonesia, dan berbaur dengan penduduk
setempat, serta menguasai satu atau lebih
bahasa yang ada di Indonesia.
Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah
yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina
di
Indonesia,
yang
berasal
dari
kata zhonghua dalam Bahasa
Mandarin.
Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan
sebagai Tionghoa.
Etnis Cina adalah migrasi Cina dan
keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup
budaya Indonesia dan tidak tergantung dari
kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi
budaya Cina, mereka yang memandang Cina
dirinya sendiri atau di anggap demikian oleh
lingkunganya. Pada saat bersamaan mereka
berhubungan dengan Cina perantauan lain atau
dengan Tiongkok secara sosial atau lainnya,
tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau
kaitan erat dengan budaya Cina (V, Purcell, “
The Chinese in Southeast Asia” london 1965 :
3).
Cina- Indonesia digunakan disini untuk
merujuk pada Etnis Cina di Indonesia yang
memiliki
nama
keluarga/marga
tanpa
memandang
kewarganegaraanya
(Leo
Suryadinata 1981).
METODE PENELITIAN
Metode adalah suatu cara yang lebih
dipikirkan dan dapat memberikan arah serta
petunjuk
melakukan
penelitian
(Poerwadarminta,
1991:649).
Sedangkan
Halaman | 135
metode penelitian dapat diartikan sebagai cara
yang digunakan oleh peneliti dalam proses
pemecahan masalah, sehingga dengan cara
itulah tujuan yang dikehendaki peneliti akan
tercapai. Oleh karena itu keberhasilan suatu
penelitian sangat ditentukan oleh kemampuan
memilih dan menggunakan metode.
Di dalam penelitian ini, penulis
menggunakan jenis penelitian kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati. Dengan tujuan untuk memahami
keberadaan Etnis Cina di Kecamatan
Cihideung.
Metode yang digunakan adalah metode
sejarah. Lebih lanjut Kuntowijiyo (2005:91)
mengemukakan langkah-langkah penelitian
sejarah ini sebagai berikut:
1. Pemilihan topik.
Topik sebaiknya dipilih berdasarkan:
(1)kedekatan
emosional,
(2)
kedekatan
intelektual, dua syarat itu objektif dan subjektif
sangat penting karena orang hanya bekerja
dengan baik kalau ia senang. Setelah topik di
temukan, langkah berikutnya (3) membuat
rencana penelitian.
2. Pengumpulan sumber.
Sumber yang dikumpulkan harus sesuai
dengan jenis sejarah yang akan di tulis. Sumber
sejarah
menurut
Kuntowijoyo
yaitu:
(1)Dokumen tertulis, (2) Artifact, (3) Sumber
Lisan, dan (4) Sumber Kuantitatif. Selain itu, ia
juga membagi sumber sejarah berdasarkan
urutan penyampaiannya yang terdiri dari
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber
sejarah disebut primer bila disampaikan oleh
saksi mata. Misalnya, catatan rapat, daftar
anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan
seorang asisten residen abad ke-19. Sedangkan
sumber sekunder dalam ilmu sejarah ialah yang
disampaikan yang bukan saksi mata.
3. Verifikasi.
Setelah diketahui secara persis topik yang
diajukan dan sumber sudah terkumpul, tahap
berikutnya adalah verifikasi, kritik sejarah atau
keabsahan sumber, atau kritik ektern, dan
kredibilitas/ kebiasaan dipercaya atau kritik
intern.
4. Interpretasi.
Interpretasi atau penafsiran sering disebut
sebagai biang subyektivitas. Subyektivitas
penulis
sejarah
diakui
keberadaannya.
Interpretasi itu ada dua macam, yaitu analisis
dan sintesis. Analisis berarti menguraikan.
Kadang-kadang sebuah sumber mengandung
beberapa kemungkinan. Misalnya, kita temukan
daftar pengurus suatu ormas di kota. Dari
kelompok sosialnya, kita baca di situ ada petani
bertanah, pedagang, pegawai negeri, petani tak
bertanah, orang swasta, guru, tukang, mandor,
kita dapat menyimpulkan bahwa ormas itu
terbuka untuk semua orang. Jadi bukan khusus
petani bertanah, tetapi juga untuk petani tak
bertanah, pedagang, pegawai negeri, dan
sebagainya. Setelah analisis itu kita temukan
fakta bahwa pada tahun itu ormas tertentu
bersifat terbuka berdasarkan data yang kita
peroleh dan kita cantumkan.Sintesis berarti
menyatukan. Setelah ada data tentang
pertempuran, rapat-rapat, moilisasi massa,
penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang
mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera,
ditemukan fakta bahwa telah terjadi revolusi.
Jadi, revolusi adalah hasil interpretasi setelah
data-data dikelompokkan menjadi satu.
5. Penulisan.
Dalam penulisan sejarah aspek kronologi
sangat penting. Penyajian penelitian dalam
bentuk tulisan mempunyai tiga bagian: (1)
Pengantar, (2) hasil penelitian, dan (3)
simpulan.
PEMBAHASAN
Latar belakang adanya Cina di Cihideung
kota Tasikmalaya
Etnis Cina telah memasuki wilayah
Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan
Nusantara
berdiri.
Beberapa
ahli
menegelompokan kedatangan bangsa Cina ke
wilayah Nusantara dalam beberapa katagori.
Menurut Purcell ( The Chinese in South
Asia:1997) migrasi bangsa Cina ke wilayah
Nusantara terbagi dalam tiga tahap, pertama
pada masa
kerajaan, kedua pada masa
kedatangan bangsa Eropa, dan ketiga pada masa
menjajahan Belanda. Tahap pertama, pada masa
ini Nusantara masih di perintah oleh raja raja.
Jumlah orang Cina yang datang masih sedikit
dan belum membentuk satuan komunitas yang
mapan. Mereka datang sesuai dengan musim
angin yang merupakan sasaran pelayaran
utama. Mereka bermukim sekitar pelabuhan dan
dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Meskipun berlangsung selama berabad abad,
tahap ini berlangsung lambat, dan tidak
menunjukan eksistensi yang berarti. Tahap ini
dikenal dengan Chinese follow the trade atau
kedatangan bangsa Cina untuk berdagang.
(Pucell, 1997: 33).
Halaman | 136
Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya
(Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012)
H.KUSWANDI
ACEU MASRUROH
Tahap kedua terjadi setelah kedatangan
bangsa Eropa datang di wilayah Asia Tenggara
pada abad XVI. Kehadiran orang orang Eropa
seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda
membuat wilayah Asia Tenggara semakin
ramai. Mereka mulai menjadikan beberapa di
kawasan itu sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Situasi tersebut mendorong migrasi bangsa
Cina yang semakin meningkat menjadi peluang
bagi orang Cina untuk berpartisifasi aktif dalam
berdagang. Selain itu, memungkinkan mereka
untuk tinggal di wilayah Nusantara dalam
waktu yang lama.
Tahap
ketiga,
ketika
kekuasaan
Nusantara berada di bawah pemerintahan
Hindia Belanda, telah banyak di temukan
pemukiman Cina di beberapa daerah seperti
Kalimantan Barat, Pantai Timur Sumatra dan
sepanjang Pesisir Utara Jawa. Tahap itu
menandakan bangsa Cina dalam jumlah yang
besar, mereka tidak hanya didorong oleh
kepentingan dagang tetapi juga kebutuhan
ekonomi untuk mengatasi kekurangan tenaga
kerja bagi proyek pertambangan dan
perkebunan. (Purcell, 1997: 33)
Orang Tionghoa bermigrasi ke Nan-Yang
(Asia Tenggara termasuk Indonesia) sejak
tahun 1400. Menurut Lili Sutji, tokoh Tionghoa
Tasikmalaya, konon tahun itu juga hadir di
Tatar Sukapura (Tasikmalaya). Kedatangan
etnis Cina ini sebagian besar dikarenakan
hubungan ekonomi yaitu perdagangan. Jalur
perdagangan Nusantara telah menjadikan
pertemuan antara etnis Cina dengan masyarakat
Indonesia yang menghasilkan hubungan
perdagangan bahkan sampai kepada hubungan
sosial, politik dan budaya. Tetapi, perdagangan
memainkan
peranan
terpenting
dalam
masuknya etnis Cina ke wilayah kepulauan
Nusantara. Melalui perdagangan ini pula etnis
Cina mulai menetap di kota-kota yang mereka
singgahi dan terkadang kontak sosial yang
dilakukan dengan penduduk lokal menjadi
perkawinan sehingga etnis Cina menetap secara
permanen di kota-kota tersebut
Orang Tionghoa perantau banyak berasal
dari Tiongkok bagian Selatan, Provinsi Fujian
(Hokkian), dan Guangdong. Ada juga imigran
dari Provinsi Hubei, Zhijiang, dan seterusnya,
tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit.
Pedagang dari Fujian berasal dari banyak kota
dan desa, seperti Fu-Zhou, Xia-Men dan Fu-
Ching. Dari Provinsi Guangdong kebanyakan
dari Kota Guang-Zhou, Mei-Xian (orang Hakka
atau Kheh), dan pulau Hainan. Provinsiprovinsi ini luasnya kira-kira sebesar Perancis,
Jerman, Spanyol, Italia, dan Inggris. Kota-kota
dalam satu provinsi, bahkan juga desa, punya
dialek masing-masing. Orang Tionghoa di Asia
Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan
Indonesia, umumnya adalah orang Hokkian.
Terbanyak kedua orang Hakka, karena besarnya
satu provinsi. Mereka punya kultur, norma, dan
kebiasaan hidup yang tidak sama, bahkan
pandangan politiknya pun berlainan.
Para
pendatang
baru,
umumnya
merupakan masyarakat yang punya hubungan
erat, terutama berlaku bagi mereka yang datang
dari provinsi yang sama, apalagi kalau satu
kampung, mereka dianggap satu “keluarga
besar”. Mereka saling membantu. Pendatang
lama membantu pendatang baru, dalam
memberikan pakerjaan awal dalam “keluarga
besar” tersebut, sambil lihat kanan-kiri untuk
menentukan penghidupan hari depannya.
Dengan bimbingan “keluarga besar” pula
mereka mengenal keadaan dan lingkungan baru
di sekitar. Perbedaan norma, kebudayaan dan
provinsialisme ini tercermin dalam masyarakat
Tionghoa di Indonesia. Orang Hokkian asal
Xia-Men umumnya berdagang palawija, orang
Fu-Ching (Hok-Jia) berdagang tekstil, orang
Fu-Zhou (Hok-Jiu) berdagang emas, orang
Hing-Hua berdagang sepeda.
Dari Guangdong yaitu orang Hakka
berdagang ramuan obat tradisional, makanan
kemasan, dan membuka pabrik sabun. Orang
Guangzhou (Kong-Fu) ahli membuat mebel dan
restoran, sama dengan orang Hainan. Orang
Hu-Bei kebanyakan membuka toko buku atau
jadi pengusaha binatu. Bahasa yang digunakan
yaitu Xiamen, selama itu digunakan oleh marga
Yap, Tan, Go, The, Liem, Oei, dan Tjoa. Dialek
ini juga dipakai pada Kong Koan, yaitu sebuah
institusi yang mengurusi pendatang Tionghoa.
Kemungkinan bahasa tersebut digunakan
mengingat orang Minan merupakan yang
pertama kali datang ke Indonesia. Jumlah orang
Minan opaling banyak, bahkan pihak Belanda
ketika itu memanfaatkannya, mereka dijadikan
Mayor, Kapten, Letnan dan Lotia (pengajar).
Setelah mengetahui dan mengenal
persoalan yang ada di etnis Tionghoa, tentunya
bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai
Halaman | 137
permasalahan yang ada, faktor utama adalah
saling menghormati, toleransi, rendah hati, dan
menerima adanya perbedaan.
Sama halnya dengan etnis cina yang
berada di kota Tasikmalaya. Etnis Cina di
Tasikmalaya merupakan salah satu salah satu
minoritas yang ada di Tasikmalaya. Sebenarnya
etnis Cina hampir berada di sudut kota
Tasikmalaya terutama di daerah Cihideung.
Kedatangan mereka sebenarnya sudah ada jauh
sebelum kedatangan bangsa Eropa. Bangsa
Cina merupakan patner dagang dari Belanda,
Cina menjadi mitra dagang Belanda, khususnya
di bidang distribusi, tidak di bidang
perdagangan perantara. Itulah sebabnya orangorang Cina menguasai perdagangan perantara.
Dari kegiatannya mendistribusikan barangbarang dari kota ke penduduk-penduduk
pribumi di desa, orang Cina mendapat uang
tembaga dari orang-orang di desa, yaitu uang
kecil yang biasa untuk membeli barang-barang
di desa. Kemudian mereka menjualnya ke VOC
di kota. inilah yang mempererat hubungan
orang-orang Cina dengan orang-orang Belanda.
Begitu pula dengan etnis Cina yang ada
di Tasikmalaya yang pada awalnya adalah
patner dagang orang Belanda. Namun setelah
Belanda tidak menjajah lagi Indonesia,Cina
yang ada di Tasikmalaya pedagang-pedagang
yang menetap di Tasikmalaya.
Yang menjadi alasan mengapa mereka
menetap di Tasikmalaya dapat di katakan
karena daerah Tasikmalaya merupakan daerah
yang cukup bagus dijadikan lahan untuk
berbisnis. Karena hampir seruruh Etnis cina
tersebar di daerah indonesia dan mereka.
Namun hampir sebagian etnis Cina yang
ada menetap di Tasikmalaya pada saat ini
adalah bangsa keturunan Cina. Yang tinggal
karena keturunan mereka tinggal di Tasikmlaya.
Perkembangan Etnis Cina di Cihideung
Migrasi besar-besaran terjadi sejak abad
19 sampai permulaan abad 20. Mereka tinggal
di pelabuhan-pelabuhan Indonesia dengan
tujuan umum berdagang, namun kulturnya
bervariasi, ada pedagang, ahli agama, arsitek,
ahli mebel, seniman, dan lain sebagainya.
Tetapi ada banyak yang bermigrasi dengan
tujuan agar bisa hidup lebik baik daripada hidup
sengsara di tanah kelahirannya. Rata-rata
mereka bertujuan menetap di bumi Nusantara,
kecuali mereka yang meneruskan pelayaran
untuk berdagang.
Kedatangan orang Cina di Sunda,
terutama di Cihideung dan beberapa tempat lain
di wilayah ini melahirkan kebudayaan baru.
Kebudayaan ini merupakan intisari dari adatistiadat Cina yang kemudian diadopsi menjadi
adat daerah yang tidak luntur dari budaya
Tionghoa sendiri. Masyarakat Cina di wilayah
Tasikmalya terutama di Kecamatan Cihideung
lebih
membaur
dibandingkan
dengan
masyarakat Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh
komunikasi yang baik dari masyarakat lokal
dengan masyarakat Cina sendiri. Masyarakat
Sunda menganggap masyarakat Cina sebagai
pedagang yang ulet dan terampil sehingga
banyak pedagang lokal yang meniru cara
berdagang masyarakat Cina.
Para imigran Cina yang telah menetap
selama lebih dari dua atau tiga generasi dan
berbaur dengan penduduk setempat menjadi
terbiasa dengan bahasa dan adat-istiadat dimana
mereka berada. Para imigran Cina yang telah
berbaur dengan penduduk setempat tersebut
kemudian mempunyai perhatian yang cukup
besar
pada
kebudayaan
lokal
dan
perkembangan perekonomian daerah dimana
mereka menetap.
Gelombang migrasi orang-orang Cina
yang ke Indonesia meningkat pesat sejak abad
ke-19.
Seiring
perkembangan
jaman,
dikarenakan adanya pembagian stratifikasi
sosial berdasarkan kriteria ras, maka
keberadaan etnis Cina di Indonesia membentuk
suatu kelompok masyarakat yang bertempat
tinggal dalam suatu kawasan yang disebut
“tempat Cina “. Etnis Cina di kawasan pecinan
Cihideung mempunyai keunikan, karena
memiliki kebudayaan, kepercayaan, dan agama
yang berbeda dengan masyarakat pribumi
mereka membuat wilayah atau kawasan yang
tidak terpisah dengan penduduk asli. Di
Kecamatan Cihideung terdapat sebuah kawasan
yang menjadi tempat tinggal dari masyarakat
Tionghoa dan menjadi tempat berkembangnya
budaya Cina.
Perkembangan kebudayaan Cina di
Cihideung yang berlangsung secara spiral sejak
kedatangan bangsa Cina sampai masa
berakhirnya Orde Baru berlangsung mengalami
banyak perubahan. Pada awal Orde Baru
berlangsung, Presiden mengeluarkan kebijakankebijakan yang membatasi ruang gerak etnis
Cina. Hal ini dilakukan pemerintah Orde Baru
untuk mengurangi kesenjangan penduduk asli
dengan orang Cina. Pada masa Orde Baru inilah
perkembangan etnis Cina di Indonesia
Halaman | 138
Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya
(Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012)
H.KUSWANDI
ACEU MASRUROH
khususnya di Cihideung mengalami pasang
surut.
Pada zaman Orde Baru, semua sekolah
Tionghoa di Indonesia, termasuk di Tasikmalaya, ditutup. Orang Tionghoa diharuskan
mengganti nama dengan nama Indonesia.
Mereka dilarang mempertunjukkan kebudayaan
Tionghoa ke luar. Di luar rumah, mereka harus
menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini
membawa perubahan yang luar biasa. Generasi
muda Tionghoa bersekolah di sekolah
Indonesia yang didirikan golongan peranakan.
Mereka mengenal sejarah dan kebudayaan
Indonesia lebih baik dari ayah ibunya.
“Tidak berlebihan jika saya katakan
bahwa sesudah periode Gus Dur, proses
integrasi semakin berjalan lancar. Bahkan boleh
dikatakan dalam hal sosial budaya jauh lebih
baik dari sebelumnya,” (ungkap tokoh
Tionghoa Tasikmalaya, Lili Sutji di salah satu
wawancara di kabar priangan Rabu 30 April
2013)
Sejak era pemerintahan Gus Dur sampai
sekarang, warga keturunan Tionghoa bisa
bernafas lega. Pasalnya, segala sesuatu berbau
Tionghoa yang pada saat era Orde baru dilarang
di Indonesia, maka sejak era Gus Dur mulai
dibolehkan. Hari Raya Imlek atau Tahun Baru
Cina yang awalnya bukan hari libur, dinyatakan
sebagai hari libur Nasional. Kemudian,
kesenian Tionghoa seperti barongsay, yang
semula tidak boleh ditampilkan menjadi boleh
tampil bebas di Indonesia. Begitu juga bahasa
Mandarin baik bahasa tulis maupun lisan yang
semula tidak boleh diucapkan atau dipajangkan,
menjadi dibolehkan. Hal ini tentu sangat
disambut gembira oleh warga keturunan
Tionghoa. Mereka berharap fenomena ini bisa
terus berlangsung, tidak hanya terjadi atau
diberlakukan
pada
beberapa
periode
pemerintahan saja.
Para pemimpin di era reformasi
tampaknya
lebih
toleran
dibandingkan
pemimpin masa orde baru. Sejak masa
pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi
Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang
Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan
Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan
telah pula diperintahkan untuk tidak lagi
menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi
untuk membedakan penduduk keturunan
Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada
umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka
perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya
keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa,
Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya.
Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi
Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang
etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan
penggunaan huruf-huruf Cina dicabut. Selain
itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden
Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual
keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis
Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional
berkat
Keppres
Presiden
Megawati
Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo
Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu
diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai
kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai
politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib
lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum
birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang
masih berusaha memeras dengan meminta
SBKRI
saat
orang
Tionghoa
ingin
memperbaharui paspor dan KTP.
Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif
dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali
melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang
pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan
di pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di
samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai
berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis
semata.
Mereka
membuka
diri
dan
memperdulikan lingkungan di sekitarnya.
Merayakan ritual agama dst. Filsafat kalangan
etnis Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di
bumi tempat berpijak’, artinya: (lahir dan)
menetap di Indonesia selama-lamanya
Di Cihideung, penduduk asli sangat
menghormati adat-istiadat dan kebudayaan
masyarakat Cina. Bahkan sebagian besar dari
mereka memeluk agama Islam, Kristen,
Katolik, atau Budha sebagai kepercayaan Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam pembaurannya
masyarakat Cina di Cihideung sangat
menghormati adat-istiadat penduduk asli, begitu
juga hal yang sama dilakukan penduduk asli
sehingga terjalinnya hubungan yang baik antara
etnis Cina di Cihideung dan penduduk asli.
Halaman | 139
Dampak dari keberadaan etnis Cina di
Cihideung kota Tasikmalaya
a. Pengaruh dalam bidang budaya dan
sosial.
Dengan adanya etnis Cina di Cihideung
kota Tasikmalaya memberikan pengaruh dalam
bidang budaya. Masyarakat di daerah
Cihideung jadi tahu akan kebudayaan
kebudayaan Cina yang dibawa oleh orang Cina
ke Cihideung. Salah satu kebudayaan yaitu
tahun baru Cina atau imlek.
Keadaan budaya etnis Cina di Cihideung
masih menerapkan sistem tradisional yaitu
kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu (adat
istiadat dari leluhur). Tradisi yang berlaku
didalam masyarakat yang masih dilestarikan
memperkuat
keseimbangan
hubunganhubungan sosial, yang kesemuanya itu
menimbulkan rasa aman dan tentram dengan
kepastian
terhadap
permasalahan
yang
dihadapi.
Dalam
bidang
agama,
mayoritas
penduduk Cihideung merupakan orang Islam
taat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
masjid, mushola, dan pondok pesantren yang
dibangun. Demikian halnya dengan kawasan
Etnis Cina, terdapat penduduk Cina yang
menjadi umat Islam yang taat dan aktif dalam
kegiatan-kegiatan Islam seperti halnya orangorang Cina yang menganut agama Kristen
protestan maupun Katholik yang juga aktif
dalam kegiatan gereja, meskipun di wilayah
tersebut terdapat beberapa Klenteng.
Kebudayaan Cina di Cihideung sangat
banyak diantaranya perayaan-perayaan etnis
Cina di Cihideung yang memiliki jenis dan
ragam yang berbeda-beda baik suku maupun
kepercayaan, misalnya perayaan-perayaan yang
dilakukan oleh imlek.
Meskipun terdapat perbedaan agama
ataupun kebudayaan, masyarakat di kecamatan
Cihideung tetap terjalin hubungan yang baik
antara etnis satu dengan yang lainnya. Orangorang Cina di Cihideung tetap mempertahankan
kebudayaan leluhurnya
walaupun pada
perkembangannya unsur-unsur budaya yang
menghambat kelangsungan hidup akhirnya
mereka lepaskan.
Orang-orang Cina di Cihideung banyak
memberikan kontribusi dalam pembangunan di
kecamatan Cihideung, seperti pengadaan sarana
penunjang pendidikan masyarakat, saran untuk
kepentingan umum seperti saluran air bahkan
ikut membantu pembangunan masjid. Hal yang
sama dilakukan warga asli yang sebagian besar
orang Islam dalam kegiatan-kegiatan Cina di
Cihideung, sering ikut dan memeriahkan
kegiatan-kegiatan etnis Cina dan juga
keikutsertaan mereka dalam perenovasian
Klenteng-klenteng dan rumah-rumah milik
etnis Cina. Disamping sebagai kegiatan sosial
yang dilakukan oleh pemerintah daerah,
pemeliharaan pelestarian peninggalan sejarah
dapat terjaga sebagai bukti keberadaa etnis Cina
yang membawa nuansa Cina di Cihideung.
Hubungan sosial etnis Cina dengan
masyarakat pribumi di Cihideung dipengaruhi
oleh keragaman etnis dan lingkungannya.
Masyarakat Tionghoa di Cihideung terbentuk
sebagai hasil dari aktivitas individu yang tidak
terorganisir (Koentjaraningrat, 1979: 347-348).
Adanya interaksi dengan warga dan budaya
baru etnis Cina yang baru datang banyak
mengalami kesulitan dalam berinteraksi salah
satunya adalah kesulitan berkomunikasi dengan
asli karena bahasa yang berbeda. Setelah
memahami bahasa pribumi, maka terjadilah
interaksi sosial diantar warga Tionghoa dengan
masyarakat pribumi.
Karena masyarakat Cina di Cihideung
bersifat terbuka dan mau menerima tradisi
sosial masyarakat yang sudah ada yaitu
masayarakat Sunda. Pedagang-pedagang Cina
yang ulet dalam menjalankan usahanya
kemudian banyak yang bermigrasi ke daerah
lain dan berinteraksi dengan masyarakat yang
baru. Walaupun mereka jauh dari kampung
halaman namun mereka dapat berhasil dan
berkembang baik (Wawancara dengan Bapak
tatang Mulyana)
Mereka tidak mau menonjol, cina yang
berbaur dengan orang Sunda .mempertahankan
karakter mereka.berusaha untuk menyatu
dengan penduduk pribumi tapi tidak mau
menonjol dan berusaha jangan sampai terjadi
perselisihan. Mereka Justru berusaha untuk
menyelamatkan komunitas mereka yang selalu
berfokus pada bidang perdagangan. Lewat
perdaganganlah mereka bisa berbaur dengan
penduduk pribumi, karena itu memang karakter
mereka. Hubungan pribumi dengan penduduk
Tionghwa baik. Respon orang muslim dengan
orang cina baik juga bahkan salah satu ulama di
Cihideung mendukung adanya barongsai.
Sekarang ini masyarakat Cina yang ada
di Cihideung sudah hampir serupa dengan
masyarakat asli. baik dari segi fisik maupun
kebudayaannya sehingga sulit membedakan
antara orang Cina dan sunda. Bahkan mualaf
Cina (orang Cina yang memeluk agama Islam)
Halaman | 140
Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya
(Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012)
H.KUSWANDI
ACEU MASRUROH
maupun yang beragama Islam menjalankan
kepercayaan dan adat istiadat yang sama
dengan penduduk asli sehingga pembauran
dengan warga pribumi berlangsung dengan baik
tanpa meninggalkan kebudayaan Tiongkok
mereka.
Di dalam beberapa kegiatan etnis Cina di
Tasikmalaya sering mengadakan kegiatan
kegiatan sosial, seperti Paguyuban Tionghoa
Tasikmalaya menggelar bhakti sosial berupa
pemberian 2000 bibit pohon, sumbangan 400
paket sembako kepada dhuafa juga donor darah.
Kegiatan digelar di lapangan Makodim 0612
Tasikmalaya, Rabu 27 febuari 2013 sebagai
rangkaian kegiatan Imlek 2564
Bhakti
sosial
sebagai
upaya
merealisasikan nilai-nilai persatuan dalam
Pancasila.
Sehingga
kegiatan
tidaklah
memandang suku, ras, agama dan antar
golongan (SARA) juga sebagai aplikasi dari
Permen No.34 tahun 2006 tentang Forum
Pembauran Kebangsaan. “Bhakti sosial ini
merupakan kegiatan kedua kali sebagai bentuk
kepedulian kami terhadap sesama,” (wawancara
dengan
Ketua
Paguyuban
Tionghoa
Tasikmalaya Candra Cahyadi)
Selain itu juga etnis Cina ikut
berpartisipasi dalam acara-acara pemkot kota
Tasikmalaya seperti dalam acara hari jadi
Pemkot Tasik ke-10 yang jatuh pada Senin, 17
Okrober 2011. Hal itu terlihat pada karnaval
seni budaya yang digelar di sepanjang Jln.
Yudanegara.Seni budaya dari mulai etnis Batak,
Tionghoa, Madura, Minang, hingga etnis Papua
yang dibawakan oleh warga Tasikmalaya dari
etnis tersebut, mencitrakan guyubnya berbagai
entitas warga di kota Tasik ini. Mereka tampil
dengan pakaian adat serta kekayaan etnik yang
menarik. Warga Tionghoa tak ketinggalan
menyajikan seni Barongsay yang segera
menjadi pusat perhatian warga yang menyesaki
area karnaval.(wawancara dengan bapak
Dadang sutarya sekertaris Lurah kelurahan
Yudanegara)
Selain itu juga pada tahun 2009 etnis
Cina di Tasikmalaya mengadakan acara lomba
mojang jajaka Tionghoa-Sunda. Acara tersebut
diharap bisa dijadikan moment penting untuk
mempererat tali silaturahmi antara warga
keturunan tionghoa dan pribumi, dimana
mereka sudah lama menetap bahkan lahir di
Tasikmalaya dan berharap ajang ini dapat
mempererat dan memperkokoh rasa persatuan
dan kesatuan bangsa, dimana didalamnya akan
ada ikatan batin rasa kecintaan terhadap adat
budaya sunda yang akan memupuk semangat
bhineka tunggal ika. Acara ini bertujuan
sehingga warga keturunan tionghoa merasa
pengakuannya sebagai warga pasundan
khususnya dan Indonesia pada umumnya
semakin percaya diri dan bersemangat untuk
membangun daerahnya Tasikmalaya untuk
kearah yang lebih positif. (wawancara dengan
Eny Anggraeny 6 April 2013)
Pada dasarnya faktor-faktor pendukung
yang mempengaruhi hubungan sosial orangorang Cina di pecinan Cihideung dengan
masyarakat asli (Sunda) adalah sebagai berikut:
1. Menetapnya orang Cina sudah cukup lama.
2. Adanya toleransi antara umat beragama di
Tasikmalaya
3. Sebagian orang-orang Cina sudah menikah
dengan masyarakat asli (Sunda).
4. Masyarakat di Pecinan Cihideung sangat
menghormati adanya budaya asli (Sunda)
begitu juga penduduk asli (Wawancara
dengan Bapak dadang, 31 Maret 2013).
Pendidikan juga menjadi faktor utama
dalam kehidupan sosial masyarakat Cina di
kawasan pecinan Cihideung. Mereka memiliki
keyakinan bahwa dengan adanya peningkatan
pendidikan maka akan terjadi peningkatan
ekonomi serta sosial masyarakat. Dengan
begitu masyarakat Cina Cihideung mempunyai
pemikiran untuk belajar bersama dengan
penduduk
pribumi.
Kemudian
dengan
masuknya Islam, yang juga dibawa saudagarsaudagar Cina bahkan dengan adanya beberapa
wali yang keturunan orang Cina mempererat
hubungan sosial masyarakat sehingga hubungan
masyarakat Sunda dan Cina menjadi semakin
kompleks.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan
uraian
yang
telah
dikemukakan dalam bab-bab terdahulu yaitu
mengenai eksistensi etnis Cina di Cihideung
kota Tasikmalaya dapat menarik kesimpulan:
1. Etnis Cina ada di Nusantara sejak masa
zaman kerajaan -kerajaan karena melakukan
hubungan dagang. Dan akhirnya bisa sampai
ke tanah Sukapura. Latar belakang
kedatangan etnis Cina di Tasikmalaya di
Halaman | 141
dasarkan
karena
adanya
hubungan
perdagangan. Berdasarkan hubungan dagang
itu pula etnis Cina bisa menetap dalam
melakukan hubungan sosial budaya dengan
masyrakat sekitar.
2. Perkembangan etnis Cina di Cihideung
mengalami pekembangan yang cukup pesat.
Dan mengalami masa transisi pada masa
Orde Baru dimana etnis Cina diberikan
kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang
gerak mereka, itu dilakukan untuk
mengurangi kesenjangan yang ada. Dan
pada masa Orde Baru inilah perkembangan
etnis Cina mengalami di Cihideung
mengalami pasang surut, namun setelah
adanya Reformasi etnis Cina di Tasikmalaya
bisa bernapas lega kerana segala sesuatu
yang pada masa Orde baru di larang pada
era reformasi diperbolehkan dilakukan,
seperti adanya tahun baru Imlek.
3. Dampak dari adanya etnis Cina di
Tasikmalaya
warga
Cihideung
jadi
mengenal beberapa kebudayaan yang etnis
Cina anut seperti hari raya Imlek,
Barongsay. Selian itu dengan adanya etnis
Cina di Tasikmalaya bisa membantu
membangun
perekonomian
daerah
Tasikmalaya dengan menyediakan lapangan
kerja bagi masyarakat Pribumi.
Leo
Suryadinata.
(1988).
Kebudayaan
minoritas etnis tionghoa. Jakarta:
gramedia pustaka utama.
Kuntowijoyo.
(1995).
Pengantar
Ilmu
Sejarah.Yogyakarta: Bentang.
http://www.google.com/ebookfreetoday.metode
-penelitian-kualitatif.com
http://www.blogspot.com/kecamatancihideung
.com
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu
antropologi. Jakarta : Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. (2010). Manusia dan
kebudayaan
Indonesia.
Jakarta:
jambatan.
Justin Suhandinata. (2008). WNI keturunan
tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan
politik. Jakarta: gramedia pustaka utama.
Melly G. Tan. (2008). Etnis Tionghoa di
Indonesia. Jakarta: yayasan obor
Indonesia.
Halaman | 142
Download