EKSISTENSI ETNIS CINA DI KECAMATAN CIHIDEUNG KOTA TASIKMALAYA TAHUN 1999-2012 Oleh: H. Kuswandi* Aceu Masruroh** Program Studi Pendidikan Sejarah-FKIP-UNIGAL ABSTRAK Etnis Cina adalah migrasi Cina dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi budaya Cina, mereka yang memandang Cina dirinya sendiri atau dianggap demikian oleh lingkungannya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan Cina perantauan lain atau dengan Tiongkok secara sosial atau lainnya, tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau kaitan erat dengan budaya Cina. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dengan tujuan untuk memahami eksistensi etnis Cina di Cihideung Tasikmalaya. Lokasi penelitian dilakukan di wilayah kecamatan Cihideung. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa latar belakang kedatangan etnis Cina di Indonesia sudah ada sebelum adanya bangsa Eropa. Mereka tinggal dan menetap di berbagai wilayah yang ada di Indonesia termasuk Tasikmalaya. Keberadaan etnis Cina di Cihideung mengalami perkembangan pasang surut, pada masa orde baru mereka diikat dengan batasanbatasan yang dapat di bilang mengekang mereka. Namun setelah adanya Reformasi mereka pun mengalami kebebasan dan dapat dikatakan keberadaan mereka mulai diakui secara negara karena mereka diberikan kebebasan sepenuhnya untuk melakukan aktivitas budaya di Tasikmalaya umumnya di Indonesia. Sedangkan dengan adanya Etnis Cina di Tasikmalaya memberikan dampak bagi masyarakat sekitar terutama masyarakat yang mengalami hubungan interaksi dengan mereka secara tidak langsung mereka mengenal beberapa budaya dari etnis Cina. Selain itu juga hubungan sosial diantara Etnis Cina dengan warga pribumi berkembang sangat baik dengan etnis Cina sering ikut serta dalam menciptakan lingkungan yang aman dan tentram. Dan dengan adanya Etnis Cina di Tasikmalaya memberikan bantuan pengembangan perekonomian masyarakat Cihideung dan sekitarnya. Kata Kunci: Etnis Cina, Sosial. PENDAHULUAN Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu manusia hidup dalam suatu kelompok yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi" (Koentjaraningrat, 2000: 144). Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki beraneka ragam suku, budaya dan etnis yang tersebar di seluruh bumi nusantara ini. Dalam hal ini multikultural merupakan salah satu kekhasan Indonesia dan dengan adanya multikultural di Indonesia dapat menyebabkan suatu konflik sosial atau bahkan berlatar belakang etnis. Etnis berasal dari istilah Yunani “etnichos” yang secara harfiah digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya, istilah etnik mengacu pada kelompok yang fanatik dengan ideologi. Para ahli ilmu sosial pada umumnya memahami kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat – sifat kebudayaan: missal bahasa, adat istiadat, perilaku budaya karakteristik budaya dan sejarah. Suku bangsa adalah golongan sosial yang dibedakan dari golongan – golongan sosial lainya oleh karena mempunyai ciri – ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaan. Suatu kebudayaan yang hidup dalam masyarakat dapat berwujud beranekaragam dan memiliki ciri khas masing – masing dari suatu kelompok atau daerah. Barth dan Zastrow memahami etnik sebagai himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal – usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada system nilai budayanya. Salah satu yang ada di Indonesia adalah Etnis Cina. Etnis Cina merupakan salah satu etnis yang tersebar di Halaman | 133 seluruh Indonesia bahkan persebaran etnis Cina menyebar hingga seluruh dunia. Penyebaran etnis Cina ke berbagai tempat di seluruh dunia terjadi secara besar-besaran di abad kesembilan belas, yang merupakan masa kemerosotan kekuasaan dinasti Qing. Pada masa itu Cina / Tiongkok diwarnai oleh ketimpangan administrasi, korupsi yang meluas, degenerasi militer, kemerosotan kekuasaan oleh karena pengaruh barat, peningkatan populasi, dan kemerosotan standar hidup. Selain itu di daerah Guangdong, terutama di Xinning, hampir setiap tahun terjadi bencana alam seperti kekeringan, banjir, hujan salju dan angin topan serta kegagalan panen karena hama. Hal-hal tersebut memicu migrasi besarbesaran ke Negara lain, antara lain ke Indonesia dan Amerika. Di kedua negara tersebut kelompok masyarakat Cina memiliki pengalaman yang dapat dikatakan sama meskipun latar belakang dan bentuknya berbeda oleh karena kondisi negara dan masyarakat di tempat perantauan yang berbeda. (Tong 2000:23). Penyebaran etnis Cina ke Indonesia menyebar hampir keseluruh daerah di Indonesia, salah satunya di daerah Jawa Barat khususnya di Kota Tasikmalaya, yaitu Kecamatan Cihideung. Cihideung adalah sebuah kecamatan di Kota Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Cihideung merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah etnis Cina yang cukup banyak sehingga di Cihideung banyak berdiri toko atau ruko milik orang Cina. Perkembangan etnis cina di Cihideung juga mempengaruhi akan bidang – bidang yang ada seperti bidang ekomoni, sosial, dan budaya. Selama ini hubungan antar keduanya antara etnis Cina dan penduduk lokal mengalami hubungan yang baik sehingga potensi konflik juga dapat di tekan dan dapat juga di hindarkan. Seperti halnya konflik yang terjadi di Tasikmalaya pada tahun 1996, konflik yang terjadi akibat merasa merusak harga diri ulama di Tasikmalaya, konflik yang dari pribadi berujung menjadi konflik massa. Dimana akhir dari konflik tersebut kerusuhan yang terjadi di kota Tasikmalaya dan korban yang paling nyata adalah etnia Cina,dengan adaya konflik tersebut orang Cina harus menerima getah dari ketidak bersalahan mereka. Terjadi perusakan dan pembakaran yang dilakukan oleh massa pada itu ada beberapa ruko orang orang Cina yang di rusak dan di bakar oleh massa. Selain konfik itu, keberadaan orang Cina memiliki dinamikanya sendiri, pada masa Orde baru etnis Cina bisa di anggap di-anaktiri-kan oleh pemerintah seperti contoh orang Cina harus memakai dua nama, nama Indonesia dan nama Cina, nama resmi itu adalah nama Indonesia dan nama tidak resmi adalah nama Cina mereka. KAJIAN TEORI Etnis Etnis berasal dari istilah Yunani “etnichos” yang secara harfiah digunakan untuk menerangkan keberadaan sekelompok penyembah berhala atau kafir. Dalam perkembangannya, istilah etnik mengacu pada kelompok yang fanatik dengan ideologinya. Para ahli ilmu sosial pada umumnya memahami kelompok etnik sebagai sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat–sifat kebudayaan: missal bahasa, adat istiadat, perilaku budaya karakteristik budaya dan sejarah. Suku bangsa adalah golongan social yang dibedakan dari golongan – golongan social lainya oleh karena mempunyai ciri – ciri yang paling mendasar dan umum berkaitan dengan asal usul dan tempat asal serta kebudayaan. Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benarbenar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggotaanggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi. Etnis adalah kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali dikuatkan oleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007). Wilbinson (Koentjaraningrat, 2007) mengatakan bahwa pengertian etnis mungkin Halaman | 134 Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012) H.KUSWANDI ACEU MASRUROH mencakup dari warna kulit sampai asal usul acuan kepercayaan, status kelompok minoritas, kelas stratafikasi, keanggotaan politik bahkan program belajar. Selanjutnya Koentjaraningrat (2007) juga menjelaskan bahwa etnis dapat ditentukan berdasarkan persamaan asal-usul yang merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan suatu ikatan. Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama (Wattimena, 2008), dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Etnis merupakan hasil dari adanya pengaruh yang berasal dari luar kelompok. Salah satu faktor luar yang sangat berpengaruh terhadap etnisitas adalah kolonialisme, yang demi kepentingan administratif pemerintah kolonial telah mengkotak-kotakkan warga jajahan ke dalam kelompok-kelompok etnik dan ras (Rex dalam Simatupang, 2003). Etnis berbeda dengan pengertian Ras. Seperti yang di ungkapkan oleh Coakley (2001: 243) “ it refers to the culture heritage of particular group of people”. Jadi etnis mengacu pada warisan budaya dari kelompok orang tertentu. Maguire, “et al use regarding people of varying origins”. Jadi istilah etnis menjadi kata yang tepat untuk memandang orang dari berbagai asal-usul. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa etnis mungkin dipertimbangakan dalam istilah kelompok apapun yang didefinisikan atau disusun oleh asal- usul budaya, agama, nasional kelompok tertentu. Kelompok etnis merupakan suatu kelompok manusia yang memiliki kehidupan dan memiliki sifat serta karakteristik yang menarik. Masyarakat yang memiliki etnis yang sama didaerah tempat perpindahan akan membentuk komunitas etnisnya sendiri. pada komunitas etnis ini identitas etnis cenderung tetap kuat, hal ini di karenakan praktik, kepercayaan, dan bahasa dari bahasa tradisional yang dipertahankan dan dipelihara (Samovar, 2010: 189). Identitas etnis merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting toomey mendeskripsikan identitas kultural sebagai perasaan dari seseorang untuk turut memiliki atau berafiliasi terhadap kultur tertentu (Rahardjo, 2005: 1-2). Etis Cina Istilah “Cina” dalam pers Indonesia tahun 1950- an telah di ganti menjadi “tionghoa” (sesuai dengan ucapan bahasa Hokkian) untuk merujukan pada orang Cina dan Tiongkok. Etnis Cina menurut purcell (dalam liem 2000) adalah seluruh imigrasi negara tiongkok dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan mereka. Menurut liem ( 2000 ) Etnis Tionghoa di Indonesia yaitu orang Indonesia yang berasal dari negara tiongkok dan sejak generasi pertama/kedua telah tinggal di negara Indonesia, dan berbaur dengan penduduk setempat, serta menguasai satu atau lebih bahasa yang ada di Indonesia. Tionghoa atau Tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Etnis Cina adalah migrasi Cina dan keturunannya yang tinggal dalam ruang lingkup budaya Indonesia dan tidak tergantung dari kewarganegaraan, bahasa yang melingkupi budaya Cina, mereka yang memandang Cina dirinya sendiri atau di anggap demikian oleh lingkunganya. Pada saat bersamaan mereka berhubungan dengan Cina perantauan lain atau dengan Tiongkok secara sosial atau lainnya, tanpa memandang kebangsaan, bahasa atau kaitan erat dengan budaya Cina (V, Purcell, “ The Chinese in Southeast Asia” london 1965 : 3). Cina- Indonesia digunakan disini untuk merujuk pada Etnis Cina di Indonesia yang memiliki nama keluarga/marga tanpa memandang kewarganegaraanya (Leo Suryadinata 1981). METODE PENELITIAN Metode adalah suatu cara yang lebih dipikirkan dan dapat memberikan arah serta petunjuk melakukan penelitian (Poerwadarminta, 1991:649). Sedangkan Halaman | 135 metode penelitian dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh peneliti dalam proses pemecahan masalah, sehingga dengan cara itulah tujuan yang dikehendaki peneliti akan tercapai. Oleh karena itu keberhasilan suatu penelitian sangat ditentukan oleh kemampuan memilih dan menggunakan metode. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis, atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dengan tujuan untuk memahami keberadaan Etnis Cina di Kecamatan Cihideung. Metode yang digunakan adalah metode sejarah. Lebih lanjut Kuntowijiyo (2005:91) mengemukakan langkah-langkah penelitian sejarah ini sebagai berikut: 1. Pemilihan topik. Topik sebaiknya dipilih berdasarkan: (1)kedekatan emosional, (2) kedekatan intelektual, dua syarat itu objektif dan subjektif sangat penting karena orang hanya bekerja dengan baik kalau ia senang. Setelah topik di temukan, langkah berikutnya (3) membuat rencana penelitian. 2. Pengumpulan sumber. Sumber yang dikumpulkan harus sesuai dengan jenis sejarah yang akan di tulis. Sumber sejarah menurut Kuntowijoyo yaitu: (1)Dokumen tertulis, (2) Artifact, (3) Sumber Lisan, dan (4) Sumber Kuantitatif. Selain itu, ia juga membagi sumber sejarah berdasarkan urutan penyampaiannya yang terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber sejarah disebut primer bila disampaikan oleh saksi mata. Misalnya, catatan rapat, daftar anggota organisasi, dan arsip-arsip laporan seorang asisten residen abad ke-19. Sedangkan sumber sekunder dalam ilmu sejarah ialah yang disampaikan yang bukan saksi mata. 3. Verifikasi. Setelah diketahui secara persis topik yang diajukan dan sumber sudah terkumpul, tahap berikutnya adalah verifikasi, kritik sejarah atau keabsahan sumber, atau kritik ektern, dan kredibilitas/ kebiasaan dipercaya atau kritik intern. 4. Interpretasi. Interpretasi atau penafsiran sering disebut sebagai biang subyektivitas. Subyektivitas penulis sejarah diakui keberadaannya. Interpretasi itu ada dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Analisis berarti menguraikan. Kadang-kadang sebuah sumber mengandung beberapa kemungkinan. Misalnya, kita temukan daftar pengurus suatu ormas di kota. Dari kelompok sosialnya, kita baca di situ ada petani bertanah, pedagang, pegawai negeri, petani tak bertanah, orang swasta, guru, tukang, mandor, kita dapat menyimpulkan bahwa ormas itu terbuka untuk semua orang. Jadi bukan khusus petani bertanah, tetapi juga untuk petani tak bertanah, pedagang, pegawai negeri, dan sebagainya. Setelah analisis itu kita temukan fakta bahwa pada tahun itu ormas tertentu bersifat terbuka berdasarkan data yang kita peroleh dan kita cantumkan.Sintesis berarti menyatukan. Setelah ada data tentang pertempuran, rapat-rapat, moilisasi massa, penggantian pejabat, pembunuhan, orang-orang mengungsi, penurunan dan pengibaran bendera, ditemukan fakta bahwa telah terjadi revolusi. Jadi, revolusi adalah hasil interpretasi setelah data-data dikelompokkan menjadi satu. 5. Penulisan. Dalam penulisan sejarah aspek kronologi sangat penting. Penyajian penelitian dalam bentuk tulisan mempunyai tiga bagian: (1) Pengantar, (2) hasil penelitian, dan (3) simpulan. PEMBAHASAN Latar belakang adanya Cina di Cihideung kota Tasikmalaya Etnis Cina telah memasuki wilayah Indonesia sejak jaman kerajaan-kerajaan Nusantara berdiri. Beberapa ahli menegelompokan kedatangan bangsa Cina ke wilayah Nusantara dalam beberapa katagori. Menurut Purcell ( The Chinese in South Asia:1997) migrasi bangsa Cina ke wilayah Nusantara terbagi dalam tiga tahap, pertama pada masa kerajaan, kedua pada masa kedatangan bangsa Eropa, dan ketiga pada masa menjajahan Belanda. Tahap pertama, pada masa ini Nusantara masih di perintah oleh raja raja. Jumlah orang Cina yang datang masih sedikit dan belum membentuk satuan komunitas yang mapan. Mereka datang sesuai dengan musim angin yang merupakan sasaran pelayaran utama. Mereka bermukim sekitar pelabuhan dan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun berlangsung selama berabad abad, tahap ini berlangsung lambat, dan tidak menunjukan eksistensi yang berarti. Tahap ini dikenal dengan Chinese follow the trade atau kedatangan bangsa Cina untuk berdagang. (Pucell, 1997: 33). Halaman | 136 Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012) H.KUSWANDI ACEU MASRUROH Tahap kedua terjadi setelah kedatangan bangsa Eropa datang di wilayah Asia Tenggara pada abad XVI. Kehadiran orang orang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda membuat wilayah Asia Tenggara semakin ramai. Mereka mulai menjadikan beberapa di kawasan itu sebagai pusat kegiatan ekonomi. Situasi tersebut mendorong migrasi bangsa Cina yang semakin meningkat menjadi peluang bagi orang Cina untuk berpartisifasi aktif dalam berdagang. Selain itu, memungkinkan mereka untuk tinggal di wilayah Nusantara dalam waktu yang lama. Tahap ketiga, ketika kekuasaan Nusantara berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda, telah banyak di temukan pemukiman Cina di beberapa daerah seperti Kalimantan Barat, Pantai Timur Sumatra dan sepanjang Pesisir Utara Jawa. Tahap itu menandakan bangsa Cina dalam jumlah yang besar, mereka tidak hanya didorong oleh kepentingan dagang tetapi juga kebutuhan ekonomi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja bagi proyek pertambangan dan perkebunan. (Purcell, 1997: 33) Orang Tionghoa bermigrasi ke Nan-Yang (Asia Tenggara termasuk Indonesia) sejak tahun 1400. Menurut Lili Sutji, tokoh Tionghoa Tasikmalaya, konon tahun itu juga hadir di Tatar Sukapura (Tasikmalaya). Kedatangan etnis Cina ini sebagian besar dikarenakan hubungan ekonomi yaitu perdagangan. Jalur perdagangan Nusantara telah menjadikan pertemuan antara etnis Cina dengan masyarakat Indonesia yang menghasilkan hubungan perdagangan bahkan sampai kepada hubungan sosial, politik dan budaya. Tetapi, perdagangan memainkan peranan terpenting dalam masuknya etnis Cina ke wilayah kepulauan Nusantara. Melalui perdagangan ini pula etnis Cina mulai menetap di kota-kota yang mereka singgahi dan terkadang kontak sosial yang dilakukan dengan penduduk lokal menjadi perkawinan sehingga etnis Cina menetap secara permanen di kota-kota tersebut Orang Tionghoa perantau banyak berasal dari Tiongkok bagian Selatan, Provinsi Fujian (Hokkian), dan Guangdong. Ada juga imigran dari Provinsi Hubei, Zhijiang, dan seterusnya, tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit. Pedagang dari Fujian berasal dari banyak kota dan desa, seperti Fu-Zhou, Xia-Men dan Fu- Ching. Dari Provinsi Guangdong kebanyakan dari Kota Guang-Zhou, Mei-Xian (orang Hakka atau Kheh), dan pulau Hainan. Provinsiprovinsi ini luasnya kira-kira sebesar Perancis, Jerman, Spanyol, Italia, dan Inggris. Kota-kota dalam satu provinsi, bahkan juga desa, punya dialek masing-masing. Orang Tionghoa di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura dan Indonesia, umumnya adalah orang Hokkian. Terbanyak kedua orang Hakka, karena besarnya satu provinsi. Mereka punya kultur, norma, dan kebiasaan hidup yang tidak sama, bahkan pandangan politiknya pun berlainan. Para pendatang baru, umumnya merupakan masyarakat yang punya hubungan erat, terutama berlaku bagi mereka yang datang dari provinsi yang sama, apalagi kalau satu kampung, mereka dianggap satu “keluarga besar”. Mereka saling membantu. Pendatang lama membantu pendatang baru, dalam memberikan pakerjaan awal dalam “keluarga besar” tersebut, sambil lihat kanan-kiri untuk menentukan penghidupan hari depannya. Dengan bimbingan “keluarga besar” pula mereka mengenal keadaan dan lingkungan baru di sekitar. Perbedaan norma, kebudayaan dan provinsialisme ini tercermin dalam masyarakat Tionghoa di Indonesia. Orang Hokkian asal Xia-Men umumnya berdagang palawija, orang Fu-Ching (Hok-Jia) berdagang tekstil, orang Fu-Zhou (Hok-Jiu) berdagang emas, orang Hing-Hua berdagang sepeda. Dari Guangdong yaitu orang Hakka berdagang ramuan obat tradisional, makanan kemasan, dan membuka pabrik sabun. Orang Guangzhou (Kong-Fu) ahli membuat mebel dan restoran, sama dengan orang Hainan. Orang Hu-Bei kebanyakan membuka toko buku atau jadi pengusaha binatu. Bahasa yang digunakan yaitu Xiamen, selama itu digunakan oleh marga Yap, Tan, Go, The, Liem, Oei, dan Tjoa. Dialek ini juga dipakai pada Kong Koan, yaitu sebuah institusi yang mengurusi pendatang Tionghoa. Kemungkinan bahasa tersebut digunakan mengingat orang Minan merupakan yang pertama kali datang ke Indonesia. Jumlah orang Minan opaling banyak, bahkan pihak Belanda ketika itu memanfaatkannya, mereka dijadikan Mayor, Kapten, Letnan dan Lotia (pengajar). Setelah mengetahui dan mengenal persoalan yang ada di etnis Tionghoa, tentunya bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai Halaman | 137 permasalahan yang ada, faktor utama adalah saling menghormati, toleransi, rendah hati, dan menerima adanya perbedaan. Sama halnya dengan etnis cina yang berada di kota Tasikmalaya. Etnis Cina di Tasikmalaya merupakan salah satu salah satu minoritas yang ada di Tasikmalaya. Sebenarnya etnis Cina hampir berada di sudut kota Tasikmalaya terutama di daerah Cihideung. Kedatangan mereka sebenarnya sudah ada jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Bangsa Cina merupakan patner dagang dari Belanda, Cina menjadi mitra dagang Belanda, khususnya di bidang distribusi, tidak di bidang perdagangan perantara. Itulah sebabnya orangorang Cina menguasai perdagangan perantara. Dari kegiatannya mendistribusikan barangbarang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa, orang Cina mendapat uang tembaga dari orang-orang di desa, yaitu uang kecil yang biasa untuk membeli barang-barang di desa. Kemudian mereka menjualnya ke VOC di kota. inilah yang mempererat hubungan orang-orang Cina dengan orang-orang Belanda. Begitu pula dengan etnis Cina yang ada di Tasikmalaya yang pada awalnya adalah patner dagang orang Belanda. Namun setelah Belanda tidak menjajah lagi Indonesia,Cina yang ada di Tasikmalaya pedagang-pedagang yang menetap di Tasikmalaya. Yang menjadi alasan mengapa mereka menetap di Tasikmalaya dapat di katakan karena daerah Tasikmalaya merupakan daerah yang cukup bagus dijadikan lahan untuk berbisnis. Karena hampir seruruh Etnis cina tersebar di daerah indonesia dan mereka. Namun hampir sebagian etnis Cina yang ada menetap di Tasikmalaya pada saat ini adalah bangsa keturunan Cina. Yang tinggal karena keturunan mereka tinggal di Tasikmlaya. Perkembangan Etnis Cina di Cihideung Migrasi besar-besaran terjadi sejak abad 19 sampai permulaan abad 20. Mereka tinggal di pelabuhan-pelabuhan Indonesia dengan tujuan umum berdagang, namun kulturnya bervariasi, ada pedagang, ahli agama, arsitek, ahli mebel, seniman, dan lain sebagainya. Tetapi ada banyak yang bermigrasi dengan tujuan agar bisa hidup lebik baik daripada hidup sengsara di tanah kelahirannya. Rata-rata mereka bertujuan menetap di bumi Nusantara, kecuali mereka yang meneruskan pelayaran untuk berdagang. Kedatangan orang Cina di Sunda, terutama di Cihideung dan beberapa tempat lain di wilayah ini melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan ini merupakan intisari dari adatistiadat Cina yang kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri. Masyarakat Cina di wilayah Tasikmalya terutama di Kecamatan Cihideung lebih membaur dibandingkan dengan masyarakat Eropa. Hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dari masyarakat lokal dengan masyarakat Cina sendiri. Masyarakat Sunda menganggap masyarakat Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang meniru cara berdagang masyarakat Cina. Para imigran Cina yang telah menetap selama lebih dari dua atau tiga generasi dan berbaur dengan penduduk setempat menjadi terbiasa dengan bahasa dan adat-istiadat dimana mereka berada. Para imigran Cina yang telah berbaur dengan penduduk setempat tersebut kemudian mempunyai perhatian yang cukup besar pada kebudayaan lokal dan perkembangan perekonomian daerah dimana mereka menetap. Gelombang migrasi orang-orang Cina yang ke Indonesia meningkat pesat sejak abad ke-19. Seiring perkembangan jaman, dikarenakan adanya pembagian stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ras, maka keberadaan etnis Cina di Indonesia membentuk suatu kelompok masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu kawasan yang disebut “tempat Cina “. Etnis Cina di kawasan pecinan Cihideung mempunyai keunikan, karena memiliki kebudayaan, kepercayaan, dan agama yang berbeda dengan masyarakat pribumi mereka membuat wilayah atau kawasan yang tidak terpisah dengan penduduk asli. Di Kecamatan Cihideung terdapat sebuah kawasan yang menjadi tempat tinggal dari masyarakat Tionghoa dan menjadi tempat berkembangnya budaya Cina. Perkembangan kebudayaan Cina di Cihideung yang berlangsung secara spiral sejak kedatangan bangsa Cina sampai masa berakhirnya Orde Baru berlangsung mengalami banyak perubahan. Pada awal Orde Baru berlangsung, Presiden mengeluarkan kebijakankebijakan yang membatasi ruang gerak etnis Cina. Hal ini dilakukan pemerintah Orde Baru untuk mengurangi kesenjangan penduduk asli dengan orang Cina. Pada masa Orde Baru inilah perkembangan etnis Cina di Indonesia Halaman | 138 Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012) H.KUSWANDI ACEU MASRUROH khususnya di Cihideung mengalami pasang surut. Pada zaman Orde Baru, semua sekolah Tionghoa di Indonesia, termasuk di Tasikmalaya, ditutup. Orang Tionghoa diharuskan mengganti nama dengan nama Indonesia. Mereka dilarang mempertunjukkan kebudayaan Tionghoa ke luar. Di luar rumah, mereka harus menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini membawa perubahan yang luar biasa. Generasi muda Tionghoa bersekolah di sekolah Indonesia yang didirikan golongan peranakan. Mereka mengenal sejarah dan kebudayaan Indonesia lebih baik dari ayah ibunya. “Tidak berlebihan jika saya katakan bahwa sesudah periode Gus Dur, proses integrasi semakin berjalan lancar. Bahkan boleh dikatakan dalam hal sosial budaya jauh lebih baik dari sebelumnya,” (ungkap tokoh Tionghoa Tasikmalaya, Lili Sutji di salah satu wawancara di kabar priangan Rabu 30 April 2013) Sejak era pemerintahan Gus Dur sampai sekarang, warga keturunan Tionghoa bisa bernafas lega. Pasalnya, segala sesuatu berbau Tionghoa yang pada saat era Orde baru dilarang di Indonesia, maka sejak era Gus Dur mulai dibolehkan. Hari Raya Imlek atau Tahun Baru Cina yang awalnya bukan hari libur, dinyatakan sebagai hari libur Nasional. Kemudian, kesenian Tionghoa seperti barongsay, yang semula tidak boleh ditampilkan menjadi boleh tampil bebas di Indonesia. Begitu juga bahasa Mandarin baik bahasa tulis maupun lisan yang semula tidak boleh diucapkan atau dipajangkan, menjadi dibolehkan. Hal ini tentu sangat disambut gembira oleh warga keturunan Tionghoa. Mereka berharap fenomena ini bisa terus berlangsung, tidak hanya terjadi atau diberlakukan pada beberapa periode pemerintahan saja. Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf Cina dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP. Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di pelbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dst. Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di bumi tempat berpijak’, artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya Di Cihideung, penduduk asli sangat menghormati adat-istiadat dan kebudayaan masyarakat Cina. Bahkan sebagian besar dari mereka memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, atau Budha sebagai kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pembaurannya masyarakat Cina di Cihideung sangat menghormati adat-istiadat penduduk asli, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk asli sehingga terjalinnya hubungan yang baik antara etnis Cina di Cihideung dan penduduk asli. Halaman | 139 Dampak dari keberadaan etnis Cina di Cihideung kota Tasikmalaya a. Pengaruh dalam bidang budaya dan sosial. Dengan adanya etnis Cina di Cihideung kota Tasikmalaya memberikan pengaruh dalam bidang budaya. Masyarakat di daerah Cihideung jadi tahu akan kebudayaan kebudayaan Cina yang dibawa oleh orang Cina ke Cihideung. Salah satu kebudayaan yaitu tahun baru Cina atau imlek. Keadaan budaya etnis Cina di Cihideung masih menerapkan sistem tradisional yaitu kepercayaan yang sudah ada sejak dahulu (adat istiadat dari leluhur). Tradisi yang berlaku didalam masyarakat yang masih dilestarikan memperkuat keseimbangan hubunganhubungan sosial, yang kesemuanya itu menimbulkan rasa aman dan tentram dengan kepastian terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam bidang agama, mayoritas penduduk Cihideung merupakan orang Islam taat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masjid, mushola, dan pondok pesantren yang dibangun. Demikian halnya dengan kawasan Etnis Cina, terdapat penduduk Cina yang menjadi umat Islam yang taat dan aktif dalam kegiatan-kegiatan Islam seperti halnya orangorang Cina yang menganut agama Kristen protestan maupun Katholik yang juga aktif dalam kegiatan gereja, meskipun di wilayah tersebut terdapat beberapa Klenteng. Kebudayaan Cina di Cihideung sangat banyak diantaranya perayaan-perayaan etnis Cina di Cihideung yang memiliki jenis dan ragam yang berbeda-beda baik suku maupun kepercayaan, misalnya perayaan-perayaan yang dilakukan oleh imlek. Meskipun terdapat perbedaan agama ataupun kebudayaan, masyarakat di kecamatan Cihideung tetap terjalin hubungan yang baik antara etnis satu dengan yang lainnya. Orangorang Cina di Cihideung tetap mempertahankan kebudayaan leluhurnya walaupun pada perkembangannya unsur-unsur budaya yang menghambat kelangsungan hidup akhirnya mereka lepaskan. Orang-orang Cina di Cihideung banyak memberikan kontribusi dalam pembangunan di kecamatan Cihideung, seperti pengadaan sarana penunjang pendidikan masyarakat, saran untuk kepentingan umum seperti saluran air bahkan ikut membantu pembangunan masjid. Hal yang sama dilakukan warga asli yang sebagian besar orang Islam dalam kegiatan-kegiatan Cina di Cihideung, sering ikut dan memeriahkan kegiatan-kegiatan etnis Cina dan juga keikutsertaan mereka dalam perenovasian Klenteng-klenteng dan rumah-rumah milik etnis Cina. Disamping sebagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah, pemeliharaan pelestarian peninggalan sejarah dapat terjaga sebagai bukti keberadaa etnis Cina yang membawa nuansa Cina di Cihideung. Hubungan sosial etnis Cina dengan masyarakat pribumi di Cihideung dipengaruhi oleh keragaman etnis dan lingkungannya. Masyarakat Tionghoa di Cihideung terbentuk sebagai hasil dari aktivitas individu yang tidak terorganisir (Koentjaraningrat, 1979: 347-348). Adanya interaksi dengan warga dan budaya baru etnis Cina yang baru datang banyak mengalami kesulitan dalam berinteraksi salah satunya adalah kesulitan berkomunikasi dengan asli karena bahasa yang berbeda. Setelah memahami bahasa pribumi, maka terjadilah interaksi sosial diantar warga Tionghoa dengan masyarakat pribumi. Karena masyarakat Cina di Cihideung bersifat terbuka dan mau menerima tradisi sosial masyarakat yang sudah ada yaitu masayarakat Sunda. Pedagang-pedagang Cina yang ulet dalam menjalankan usahanya kemudian banyak yang bermigrasi ke daerah lain dan berinteraksi dengan masyarakat yang baru. Walaupun mereka jauh dari kampung halaman namun mereka dapat berhasil dan berkembang baik (Wawancara dengan Bapak tatang Mulyana) Mereka tidak mau menonjol, cina yang berbaur dengan orang Sunda .mempertahankan karakter mereka.berusaha untuk menyatu dengan penduduk pribumi tapi tidak mau menonjol dan berusaha jangan sampai terjadi perselisihan. Mereka Justru berusaha untuk menyelamatkan komunitas mereka yang selalu berfokus pada bidang perdagangan. Lewat perdaganganlah mereka bisa berbaur dengan penduduk pribumi, karena itu memang karakter mereka. Hubungan pribumi dengan penduduk Tionghwa baik. Respon orang muslim dengan orang cina baik juga bahkan salah satu ulama di Cihideung mendukung adanya barongsai. Sekarang ini masyarakat Cina yang ada di Cihideung sudah hampir serupa dengan masyarakat asli. baik dari segi fisik maupun kebudayaannya sehingga sulit membedakan antara orang Cina dan sunda. Bahkan mualaf Cina (orang Cina yang memeluk agama Islam) Halaman | 140 Eksistensi Etnis Cina di Kecamatan Cihideung Kota Tasikmalaya (Suatu Tinjauan Sejarah Sosial dari tahun 1999-2012) H.KUSWANDI ACEU MASRUROH maupun yang beragama Islam menjalankan kepercayaan dan adat istiadat yang sama dengan penduduk asli sehingga pembauran dengan warga pribumi berlangsung dengan baik tanpa meninggalkan kebudayaan Tiongkok mereka. Di dalam beberapa kegiatan etnis Cina di Tasikmalaya sering mengadakan kegiatan kegiatan sosial, seperti Paguyuban Tionghoa Tasikmalaya menggelar bhakti sosial berupa pemberian 2000 bibit pohon, sumbangan 400 paket sembako kepada dhuafa juga donor darah. Kegiatan digelar di lapangan Makodim 0612 Tasikmalaya, Rabu 27 febuari 2013 sebagai rangkaian kegiatan Imlek 2564 Bhakti sosial sebagai upaya merealisasikan nilai-nilai persatuan dalam Pancasila. Sehingga kegiatan tidaklah memandang suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) juga sebagai aplikasi dari Permen No.34 tahun 2006 tentang Forum Pembauran Kebangsaan. “Bhakti sosial ini merupakan kegiatan kedua kali sebagai bentuk kepedulian kami terhadap sesama,” (wawancara dengan Ketua Paguyuban Tionghoa Tasikmalaya Candra Cahyadi) Selain itu juga etnis Cina ikut berpartisipasi dalam acara-acara pemkot kota Tasikmalaya seperti dalam acara hari jadi Pemkot Tasik ke-10 yang jatuh pada Senin, 17 Okrober 2011. Hal itu terlihat pada karnaval seni budaya yang digelar di sepanjang Jln. Yudanegara.Seni budaya dari mulai etnis Batak, Tionghoa, Madura, Minang, hingga etnis Papua yang dibawakan oleh warga Tasikmalaya dari etnis tersebut, mencitrakan guyubnya berbagai entitas warga di kota Tasik ini. Mereka tampil dengan pakaian adat serta kekayaan etnik yang menarik. Warga Tionghoa tak ketinggalan menyajikan seni Barongsay yang segera menjadi pusat perhatian warga yang menyesaki area karnaval.(wawancara dengan bapak Dadang sutarya sekertaris Lurah kelurahan Yudanegara) Selain itu juga pada tahun 2009 etnis Cina di Tasikmalaya mengadakan acara lomba mojang jajaka Tionghoa-Sunda. Acara tersebut diharap bisa dijadikan moment penting untuk mempererat tali silaturahmi antara warga keturunan tionghoa dan pribumi, dimana mereka sudah lama menetap bahkan lahir di Tasikmalaya dan berharap ajang ini dapat mempererat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa, dimana didalamnya akan ada ikatan batin rasa kecintaan terhadap adat budaya sunda yang akan memupuk semangat bhineka tunggal ika. Acara ini bertujuan sehingga warga keturunan tionghoa merasa pengakuannya sebagai warga pasundan khususnya dan Indonesia pada umumnya semakin percaya diri dan bersemangat untuk membangun daerahnya Tasikmalaya untuk kearah yang lebih positif. (wawancara dengan Eny Anggraeny 6 April 2013) Pada dasarnya faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi hubungan sosial orangorang Cina di pecinan Cihideung dengan masyarakat asli (Sunda) adalah sebagai berikut: 1. Menetapnya orang Cina sudah cukup lama. 2. Adanya toleransi antara umat beragama di Tasikmalaya 3. Sebagian orang-orang Cina sudah menikah dengan masyarakat asli (Sunda). 4. Masyarakat di Pecinan Cihideung sangat menghormati adanya budaya asli (Sunda) begitu juga penduduk asli (Wawancara dengan Bapak dadang, 31 Maret 2013). Pendidikan juga menjadi faktor utama dalam kehidupan sosial masyarakat Cina di kawasan pecinan Cihideung. Mereka memiliki keyakinan bahwa dengan adanya peningkatan pendidikan maka akan terjadi peningkatan ekonomi serta sosial masyarakat. Dengan begitu masyarakat Cina Cihideung mempunyai pemikiran untuk belajar bersama dengan penduduk pribumi. Kemudian dengan masuknya Islam, yang juga dibawa saudagarsaudagar Cina bahkan dengan adanya beberapa wali yang keturunan orang Cina mempererat hubungan sosial masyarakat sehingga hubungan masyarakat Sunda dan Cina menjadi semakin kompleks. PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam bab-bab terdahulu yaitu mengenai eksistensi etnis Cina di Cihideung kota Tasikmalaya dapat menarik kesimpulan: 1. Etnis Cina ada di Nusantara sejak masa zaman kerajaan -kerajaan karena melakukan hubungan dagang. Dan akhirnya bisa sampai ke tanah Sukapura. Latar belakang kedatangan etnis Cina di Tasikmalaya di Halaman | 141 dasarkan karena adanya hubungan perdagangan. Berdasarkan hubungan dagang itu pula etnis Cina bisa menetap dalam melakukan hubungan sosial budaya dengan masyrakat sekitar. 2. Perkembangan etnis Cina di Cihideung mengalami pekembangan yang cukup pesat. Dan mengalami masa transisi pada masa Orde Baru dimana etnis Cina diberikan kebijakan-kebijakan yang membatasi ruang gerak mereka, itu dilakukan untuk mengurangi kesenjangan yang ada. Dan pada masa Orde Baru inilah perkembangan etnis Cina mengalami di Cihideung mengalami pasang surut, namun setelah adanya Reformasi etnis Cina di Tasikmalaya bisa bernapas lega kerana segala sesuatu yang pada masa Orde baru di larang pada era reformasi diperbolehkan dilakukan, seperti adanya tahun baru Imlek. 3. Dampak dari adanya etnis Cina di Tasikmalaya warga Cihideung jadi mengenal beberapa kebudayaan yang etnis Cina anut seperti hari raya Imlek, Barongsay. Selian itu dengan adanya etnis Cina di Tasikmalaya bisa membantu membangun perekonomian daerah Tasikmalaya dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat Pribumi. Leo Suryadinata. (1988). Kebudayaan minoritas etnis tionghoa. Jakarta: gramedia pustaka utama. Kuntowijoyo. (1995). Pengantar Ilmu Sejarah.Yogyakarta: Bentang. http://www.google.com/ebookfreetoday.metode -penelitian-kualitatif.com http://www.blogspot.com/kecamatancihideung .com DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat. (2009). Pengantar ilmu antropologi. Jakarta : Rineka Cipta. Koentjaraningrat. (2010). Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: jambatan. Justin Suhandinata. (2008). WNI keturunan tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik. Jakarta: gramedia pustaka utama. Melly G. Tan. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: yayasan obor Indonesia. Halaman | 142