BAB VI MOTIF KOGNITIF DAN GRATIFIKASI MEDIA PENDAHULUAN Pendekatan dan model Jarum Hipodermik dalam studi komunikasi melihat audiens sebagai sosok yang tak berdaya. Ketidkberdayaan ini terkait dengan ketidakmampuan mereka menghindar dan “terpaan” pesan media, baik dalam makna fisik dan kegiatan sehari-hari (nonton tv, baca koran dan majalah, dengar radio), maupun dalam proses pembentukan sikap dan perilaku. Manusia dianggap benda mati, tak berdaya dan ikut saja apa yang ditulis dan dikatakan oleh media massa. Namun dalam perkembangannya kemudian, pendekatan ini mendapat kritik kuat dan perspektif Kognitif dan Humanistik. Sudut pandang yang melihat manusia sebagai sosok yang cerdas dan ‘aktif ’ ini melihat kenyataan bahwa audiens memiliki posisi sentral dalam proses komunikasi massa. Seluruh interaksi manusia selaku audiens dengan media massa digerakkan oleh satu kekuatan (drive) dan motif tertentu yang sebenarnya terkadang sangat rasional. Pendekatan yang dinamakan ‘Uses and Gratification’ ini melihat bahwa setiap perilaku interaksi manusia dengan media massa digerakkan oleh tujuan dan motif tertentu. Kita tak perlu lagi mengulas detail pendekatan itu (karena pasti sudah diberikan dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi dan mata kuliah Komunikasi Massa). Jadi daripada membuang waktu percuma, marilah kita telusuri rangkaian motif yang mendorong manusia pada akhirnya melakukan interaksi dengan media massa. Okey.. ready ... let’s get it on.....! MOTIF KOGNITIF DALAM KOMUNIKASI MASSA Motif kognitif menekankan kebutuhan manusia akan informasi dan kebutuhan untuk mencapai tingkat ideasional tertentu. Motif afektif menekankan aspek perasaan dan kebutuhan mencapai tingkat emosional tertentu. Dengan mengacu pada tabel, Kita akan mulai dengan berbagai motif kognitif terlebih dahulu. MATRIKS PARDIGMA MOTIVASI MANUSIA Inisiatif Orientasi Modus Internal Stabilitas Kognitif Afektif Aktif Pasif Eksternal Internal Pemeliharaan 1. Konsistensi 2. Atribusi 3. Kategori Pertumbuhan 5. Otonomi 7. Teleologis Pemelilharaan 9. Reduksitas 10. Ekspresif 6. Stimulasi 13. Penonjolan 14. afiliasi Eksternal 8. Utilitarian 11. Egodefensif 12. Egodefinsif 15. identifikasi 16. peniruan Sumber McGuire (1974: 172). Pada kelompok motif kognitif yang berorientasi pada pemeliharaan kesimbangan, McGuire menyebut empat teori: konsistensi yang menekankan kebutuhan individu untuk memelihara orientasi eksternal pada lingkungan. Teori kategorisasi yang menjelaskan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan kategori internal dalam diri kita; dan teori obyektivikasi yang menerangkan upaya manusia untuk memberikan makna tentang dunia berdasarkan hal-hal eksternal. Teori Konsistensi - yang mendominasi penelitian psikologi soaial pada tahun 1960an - memandang manusia sebagai makluk yang dihadapkan pada berbagai koriflik. Konflik itu mungkin terjadi di antara beberapa kepercayaan yang dimilikinya (seperti antara merokok itu merusak kesehatan” dan merokok itu membantu proses berpikir”), atau di antara beberapa hubungan sosial Seperti “saya menyukai Diah”, “Diah membenci Amir”, sedangkan “Saya menyukai Amir”), atau diantara pengalaman masa lalu dan masa kini. Dalam suasana konflik, manusia resah dan berusaha mendamaikan konflik itu dengan sedapat mungkin mencari kompromi. Kompromi diperoleh dengan rasionalisasi (“Tetapi rokok yang saya isap sudah disaring filter”), atau melemahkan salah satu kekuatan penyebab konflik (“Saya tidak begitu senang pada Amir”). Dalam hubungan ini komunikasi massa mempunyai potensi untuk menyampaikan informasi yang menggoncangkan kestabilan psikologis individu. Tetapi, pada saat yang sama, karena individu mempunyai kebebasan untuk memilih isi media, media massa memberikan banyak peluang untuk memenuhi kebutuhan akan konsistensi. Sikap politik tertertu yang bertabrakan dengan kenyataan dapat diperkokoh oleh pemberitaan surat kabar yang sepihak. Media massa juga menyajikan berbagai rasionalisasi, justifikasi, atau pemecahan persoalan yang efektif. Komunikasi massa kadang-kadang lebih efektif daripada komunikasi interpersonal, karena melalui media massa orang menyelesaikan persoalan tanpa terhambat oleh gangguan seperti yang terjadi dalam situasi komunikasi interpersonal. Teori atribusi yang berkembang pada tahun 1960an dan 1970an memandang individu sebagai psikolog amatir yang mencoba memahami sebab-sebab yang terjadi pada berbagai peristiwa yang dihadapinya. Ia mencoba menemukan apa menyebabnya apa, atau apa yang mendorong siapa melakukan apa. Respons yang kita berikan pada suatu peristiwa bergantung pada interpretasi kita tentang peristiwa itu. Kita tidak begitu gembira dipuji oleh orang yang - menurut persepsi kita- menyampaikan pujian kepada kita karena ingin meminjam uang. Kita sering dipuji oleh orang asing yang - menurut persepsi kita memberikan pujian yang obyektif. Kita semua memiliki banyak teori tentang peristiwa-peristiwa. Kita senang bila teoriteori ini “terbukti” benar. Komunikasi massa memberikan validasi atau pembenaran pada teori kita dengan penyajian realitas yang disimplifikasikan, dan didasarkan stereotip. Media massa sering menyajikan kisah-kisah-fiktif atau aktual- yang menunjukkan bahwa yang jahat selalu kalah dan kebenaran selalu menang. Beberapa kelompok yang mempunyai keyakinan yang menyimpang dan norma yang luas dianut masyarakat akan memperoleh validasi dengan membaca majalah atau buku dan kelompoknya. Orang-orang lesbian atau homoseks yakin perilakunya bukanlah penyimpangan karena membaca buku dan majalah yang mendukungnya. Teori kategorisasi memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengelompokkan pengalamannya dalam kategorisasi yang sudah dipersiapkannya. Untuk setiap peristiwa sudah disediakan tempat dalam prakonsepsi yang dimilikinya. Dengan cara itu individu menyederhanakan pengalaman, tetapi juga membantu mengkoding pengalaman dengan cepat. Menurut teori ini orang memperoleh kepuasan apabila sanggup memasukkan pengalaman dalam kategori-kategori yang sudah dimilikinya, dan menjadi kecewa bila pengalaman itu tidak cocok dengan prakonsepsinya. Pandangan ini menunjukkan bahwa isi komunikasi massa, yang disusun berdasarkan alur-alur cerita yang tertentu, dengan mudah diasimilasikan pada kategori yang ada. Bermacam-macam upacara, pokok dan tokoh, dan kejadiankejadian biasanya ditampilkan sesuai dengan kategori yang sudah diterima. Ilmuwan yang berhasil karena kesungguhannya, pengusaha yang sukses karena bekerja keras, dan proyek-proyek pembangunan yang menyejahterakan rakyat adalah contoh-contoh peristiwa yang memperkokoh prakonsepsi bahwa kerja keras, kesungguhan, dan usaha melahirkan manfaat. Teori obyektifikasi memandang manusia sebagai makhluk yang pasif, yang tidak berfikir, yang selalu mengandalkan petunjuk-petunjuk eksternal untuk merumuskan konsep-konsep tertentu. Teori ini menyatakan bahwa kita mengambil kesimpulan tentang diri kita dan perilaku yang tampak. Kita menyimpulkan bahwa kita menyenangi satu acara radio karena kita selalu mendengarkannya. Penelitian Schacter, misalnya, membuktikan bahwa rangsangan emosional yang sama dapat ditafsirkan bermacammacam bergantung pada faktur situasi. Teori objektifikasi menunjukkan bahwa terpaan isi media dapat memberikan petunjuk kepada individu untuk menafsirkan atau mengidentifikasi kondisi perasaan yang tidak jelas, untuk mengatribusikan perasaanperasaan negartif pada faktor-faktor eksternal, atau memberikan kriteria pembanding yang ektrem untuk perilakunya yang kurang baik. Untuk contoh yang terakhir kita dapat menyebutkan seorang pegawai yang merasa tidak begitu bersalah ketika ia menyelewengkan uang kantor setelah mengetahui peristiwa korupsi besar-besaran yang dilakukan orang lain. Keempat teori di atas (konsistensi, atribusi, kategorisasi, dan objektifikasi) menekankan aspek kognitif dan kebutuhan manusia, yang bertitik tolak dan individu sebagai makhluk yang memelihara stabilitas psikologisnya. Empat teori kognitif brikutriya- otonomi, stimulasi, teori teleologis, dan utilitarian- melukiskan individu sebagai makhluk yang berusaha mengembangkan kondisi kognitif yang dimilikinya. Teori otonomi, yang dikembangkan oleh psikolog-psikolog mazhab humanistik, melihat manusia sebagai makhluk yang berusaha mengaktualisasikan dirinya sehingga mencapai identitas kepribadian yang otonom. Dalam kerangka teori ini, kepribadian manusia berkembang melewati beberapa tahap sampai ia memiliki makna hidup yang terpadu. Secara sepintas, komunikasi massa tampaknya sedikit sekali memuaskan kebutuhan humanistic ini. Acara televisi atau isi surat kabar tidak banyak membantu khalayak untuk menjadi orang yang mampu mengendalikan nasibnya. Tetapi, dengan mengikuti peristiwa-peristiwa yang aktual yang terjadi diseluruh dunia, orang mungkin merasa ikut serta dan terlibat dalam hal-hal yang lebih besar daripada dirinya. Pengetahuan tentang kejadian-kejadian memberikan ilusi kekuasaan. Hal-hal faktual yang disajikan media mengembangkan minat individu dan memberikan tema yang bersifat memadukan berbagai gejala dan kesempatan untuk beridentifikasi dengan gerakan yang mengatasi peristiwa-peristiwa personal. Pahlawan-pahlawan dalam cerita-cerita televisi atau novel memberikan acuan kepada kita untuk mengembangkan diri kita. Seorang wanita muda menjadi ibu yang baik dengan melihat tokoh ibu ideal dalam drama televisi; seorang penyandang cacat merasa optimis terhadap masa depannya, dengan membaca kisah penyandang cacat yang berhasil dalam hidupnya. Teori stimulasi memandang manusia sebagai makhluk yang “lapar stimuli”, yang senantiasa mencari pengalaman-pengalaman baru, yang selalu berusaha memperoleh hal-hal yang memperkaya pemikirannya hasrat ingin tahu, kebutuhan untuk mendapat rangsangan emosional, dan keinginan untuk menghindari kebosanan merupakan kebutuhan dasar manusia. Komunikasi massa menyajikan hal-hal yang baru, yang aneh, yang spektakuler, yang menjangkau pengalaman-pengalaman yang tidak terdapat pada pengalaman individu seharihan. Televisi, radio, film, dan surat kabar mengantarkan orang pada dunia yang tidak terhingga baik dengan kisah-kisah fantastis maupun peristiwa-peristiwa aktual. Dengan menggunakan istilah Daniel Lerner, media massa menyajikan pengalaman bautan (vicarious experience). Teori teleologis memandang manusia sebagai makhluk yang berusaha mencocokan persepsinya tentang situasi sekarang dengan representasi internal dan kondisi yang dikehendaki. Teori ini menggunakan komputer sebagai pemuasan kebutuhan yang subur. Isi media massa sering memperkokoh moralitas konvensional dan menunjukkan bahwa orang yang berpegang teguh kepadanya memperoleh ganjaran dalam hidupnya . Selain itu cerita-cerita yang mengisahkan tokoh-tokoh yang menyimpang, tetapi kemudian berhasil dalam hidupnya memberikan konfirmasi pada orang-orang yang sekarang berperilaku tidak konvensional. Teori utilitarian memandang individu sebagai orang yang memperlakukan setiap situasi sebagai peluang untuk memperoleh informasi yang berguna atau keterampilan baru yang diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam teori ini, hidup dipandang sebagai satu medan yang penuh tantangan, tetapi juga yang dapat diatasi dengan informasi yang relevan. Komunikasi massa dapat memberikan informasi, pengetahuan dan keterampilan seperti - walaupun tidak sama - apa yang dapat diberikan oleh lembaga-lembaga pendidikan. Berbagai penelitian membuktikan bahwa banyak orang yang memperoleh informasi dan media massa. Ibu-ibu rumah tangga mungkin memperoleh keterampilan memasak dan resep-resep yang terdapat dalam majalah wanita. Anak-anak SD belajar mënjawab pertanyaan TPB dan soal-soal yang terdapat pada majalah anak-anak. Petani mengetahui cara menggunakan pupuk dan insektisida dari siaran radio pedesaan. MOTIF AFEKTIF DAN GRATIFIKASI MEDIA Delapan teori di atas berkenaan dengan aspek-aspek kognitif, delapan teori yang berikutnya berkenaan dengan motif afektif yang ditandai oleh kondisi perasaan atau dinamika yang menggerakkan manusia mencapai tingkat perasaan tertentu. Seperti di atas, kita akan memulai dengan motif-motif yang ditujukan untuk memelihara stabilitas psikologi dan motif-motif yang mengambangkan kondisi psikologis. Pada kelompok pertama kita masukkan teori reduksi tegangan, teori ekspresif, teori egodefensif, dan teori peneguhan. Pada kelompok kedua kita masukkan teori penonjolan, teori afiliasi, teori identifikasi, dan teori peniruan. Teori reduksi tegangan memandang manusia sebagai sistem tegangan yang memperoleh kepuasan pada pengurangan ketegangan. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mencoba mencapai suasana “nirwana”, orang berusaha menghilangkan atau mengurangi tegangan dengan mengungkapkannya. Tegangan emosional karena marah berkurang setelah kita mengungkapkan kemarahan itu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ungkapan perasaan dipandang dapat berfungsi sebagai katarsis atau pelepas tegangan. Menurut kerangka teori ini komunikasi massa menyalurkan kecenderungan destruktif manusia dengan menyajikan peristriwaperistiwa atau adegan-adegan kekerasan. Film kekerasan dalam televisi dianggap bermanfaat karena membantu orang melepaskan kecenderungan agresifnya. Menuru teori ini, penjahat mungkin tidak jadi melepaskan dendamnya setelah puas menyaksikan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh seorang jagoan dalam film televisi. Teori ekspresif menyatakan bahwa orang memperoleh kepuasan dalam mengungkapkan eksistensi dirinya - menampakkan perasaan dan keyakinannya. Latihan yang berat untuk memperoleh keterampilan fisik, misalnya, terasa menyenangkan karena memberikan tantangan untuk menunjukkan kemampuan diri. Komunikasi massa mempermudah onang untuk benfantasi, melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh yang disajikan sehingga orang secara tidak langsung mengungkapkan perasaannya. Media massa bukan saja membantu orang untuk mengembangkan sikap tertentu, tetapi juga menyajikan berbagai macam permainan untuk ekspnesi diri: misalnya teka-teki silang, kontes, novel mistenius, acara kuiz televisi. Teori ego-defensif beranggapan bahwa dalam hidup ini kita mengembangkan citra din yang tertentu dan kita berusaha untuk mempertahankan citra diri ini serta berusaha hidup sesuai dengan diri dan dunia kita. Kita berpegang teguh pada konsep diri ini karena kita membentuknya dengan susah payah. Bila terjadi peristiwa yang tidak sesuai dengan konsep diri, kita menggunakan makanisme pertahanan ego yang diuraikan oleh kelompok psikolog dan mazhab psikoalisasis, misalnya rasionalisasi, personifikasi, pembentukan reaksi, dan sebagainya. Teori ini memberikan penjelasan mengapa terjadi perhatian selektif atau pemberian makna terhadap pesan komunikasi yang mengalami distorsi. Dan media massa kita memperoleh informasi untuk membangun konsep diri kita, pandangan dunia kita, dan pandangan kita tentang sifatsifat manusia dan hubungan sosial. Bila kita telah merumuskan konsep-konsep tersebut, komunikasi massa membantu memperkokok konsep itu. Pada saat citra diri keemasan kita. Dengan demikian komunikasi massa memberikan bantuan dalam melakukan teknik-teknik pertahanan ego. Teori peneguhan memandang bahwa orang dalam situasi tertentu akan bertingkah laku dengan suatu cara yang membawanya kepada ganjaran seperti yang telah dialaminya pada waktu lalu. Teori peneguhan memang berasal dan mazhab behaviorisme. Menurut kerangka teori ini, orang menggunakan media massa karena mendatangkan ganjaran berupa informasi, hiburan, hubungan dengan orang lain, dan sebagainya. Di samping isi media yang menarik, peristiwa menggunakan media sering diasosiasikan dengan suasana yang menyenangkan; misalnya menonton televisi sering dilakukan di tengah-tengah keluarga dan membaca buku dikerjakan di tempat yang sepi dan tenang, jauh dari gangguan. Menurut teori peneguhan, hal-hal netral yang dikaitakan dengan hal-hal yang menyenangkan menjadi stimuli yang menyenangkan juga. Teori Pononjolan (assertion) memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan seluruh potensinya untuk memperoleh penghargaan dan dirinya dan orang lain. Manusia ingin mencapai prestasi, sukses, dan kehormatan. Masyarakat dipandang sebagai suatu perjuangan di mana setiap orang ingin menonjolkan dan yang lain. Dalam bahasa Hobbes, manusia adalah srigala bagi manusia lain (homo hontini lupus). Dalam konsepsi Alfred, manusia bergerak karena didorong oleh keinginan benkuasa. Dalam tilikan David McClelland, ini disebutnya hasrat berprestasi (need for achievement). Teori penonjolan yang menekankan motif agresi dan berkuasa memang tidak terlalu berhasil dapat dipuaskan komunikasi massa. Tetapi komunikasi massa- seperti telah dijelaskan di atas — merupakan institusi pendidikan yang menyediakan informasi dan keterampilan yang membantu orang untuk menaklukan dunia Ini memenuhi kebutuhan individu akan keinginan berkuasa. Di samping itu, komunikasi massa memberikan kesempatan kepada khalayak untuk mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh yang berkuasa - baik fiktif maupun factual. Buat kelompok lemah di tengah-tengah masyarakat, fantasi tentang kekuasaan juga mendapat saluran dalam konsumsi media massa. Teori afiliasi (affiliation) memandang manusia sebagai mahluk yang mencari kasih sayang dan penerimaan orang lain. Ia ingin memelihara hubungan interpersonal dengan saling membantu dan saling mencintai. Dalam hubungannya dengan gratifikasi media, banyak sarjana ilmu komunikasi yang menekankan fungsi media massa dalam hubungkan individu dengan individu lain. Lasswell (1948) menyebutnya fungsi “correlation”. Asumsi pokok dan Kazt, Gurevitz, dan Hass adalah pandangan bahwa komunikasi massa digunakan individu untuk menghubungkan dirinya - melalui hubungan instrumental. Afektif, dan integratif - dengan orang-orang lain (diri, keluarga, kawan, bangsa dan sebagainya). Isi media menegaskan kembali fungsi khalayak sebagai peserta dalam drama kemanusiaan yang lebih luas. Tidak jarang isi media massa juga dipergunakan orang sebagai bahan percakapan dalam membina interaksi sosial. Disamping itu, media massa juga dapat menjadi sahabat akrab bagi khalayaknya yang setia. Teori identifikasi melihat manusia sebagai pemain peranan yang berusaha memuaskan egonya dengan menambahkan peranan yang memuaskan pada konsep dirinya. Kepuasan diperoleh bila orang memperoleh identitas peranan tambahan yang meningkatkan konsep dirinya. Media massa, terutama sekali pada penyajian fiktif dan sampai tingkat tertentu juga pada penyajian faktual, menyajikan orang-orang yang memajukan peranan yang diakui dan berdasarkan gaya tertentu, maka teori identifikasi mempunyai cukup relevansi dengan pemuasan yang diperoleh dan konsumsi media. Bahkan pada saat isi komunikasi massa tidak secara eksplisit dirancang untuk menampilkan tokoh yang memainkan peranan atraktif (misalnya kisah-kisah berita), media cenderung menggambarkan orang dalam berbagai situasi dramatis yang melibatkan respons-respons menarik dan memperkenalkan khalayak pada berbagai peranan dan gaya hidup, sehingga memberikan bahan alternatif identitas peranan untuk memperkaya konsep diri. Isi yang bersifat fiktif secara eksplisit menampilkan orang dalam peranan-peranan - yang secara tipikal dirancang untuk dikagumi dan seringkali diwarnai glamor - yang dengan fantasi memudahkan khalayak untuk mengambil peranan pendorong ego (ego enchancing roles) melalui identifikasi dengan tokoh-tokoh. Ketika orang-orang yang disajikan media memainkan peranan “rakyat biasa” (seperti adegan “ibu rumah tangga” dalam serial televisi), penyajian media massa tetap menegaskan dan meninggikan makna peranan-peranan tersebut, yang sebenarnya secara meluas diperankan oleh kebanyakan anggota khalayak.” Teori peniruan (modeling theories) hampir sama dengan teori identifikasi, memandang manusia sebagai makhluk yang selalu mengembangkan kemampuan afektifnya. Tetapi, berbeda dengan teori identifikasi, teori peniruan menekankan orientasi eksternal dalam pencarian gratifikasi. Disini, individu dipandang secara otomatis cenderung berempati dengan perasaan orang-orang yang diamatinya dan meniru perilakunya. Kita membandingkan perilaku kita dengan orang yang kita amati, yang berfungsi sebagai model. Komunikasi massa menampilkan berbagai model untuk ditiru oleh khalayaknya. Media cetak mungkin menyajikan pikiran dan gagasan yang lebih jelas dan lebih mudah dimengerti dan pada yang dikemukakan oleh orang-orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Media piktorial seperti televisi, film, dan komik secara dramatis mempertontonkan perilaku fisik yang mudah dicontoh. Melalui televisi, orang meniru perilaku idola mereka. Teori peniruanlah yang dapat menjelaskan mengapa media massa begitu berperan dalam menyebarkan mode - berpakaian, berbicara, atau berperilaku tertentu lainnya. Setelah melacak berbagai teori motivasi, kita dapat menyimpulkan bahwa orang menggunakan media massa karena didorong oleh beraneka ragam motif. Pada setiap orang motif yang mendorong komsumsi media itu tidak sama. Bapak Pasca mungkin menonton televisi untuk mencari informasi sehingga ia hanya menyaksikan acara “Dunia dalam berita” saja. Mpok Minah justru menghindari warta berita yang dipandangnya sebagai siaran pidato, dan memilih sandiwara radio untuk memuaskan kebutuhannya akan-hiburan. Bapak Pejabat hanya menonton televisi setelah diberitakan akan disiarkan dalam Laporan Pembangunan; ia ingin melihat permainan peranan yang dilakukannya. Saya sendiri hanya menonton film serial yang sering melukiskan adegan baku hantam dan tembak-menembak; saya tidak tahu apakah dengan cara itu saya menyalurkan temperamen agresif saya. Menurut aliran uses and gratification, perbedaan motif dalam konsumsi media massa menyebabkan kita bereaksi pada media massa secara berbeda pula. Lebih lanjut ini berarti bahwa efek media massa juga berlainan pada setiap anggota khalayaknya. Kepada pencari informasi, media massa diduga mempunyai efek kognitif yang menguntungkan. Kepada pencari identitas, media massa mungkin menimbulkan efek afektif yang mengerikan. Kepada pencari model, media massa mungkin mendorong perilaku yang meresahkan. PENGARUH KOMUNIKASI MASSA Pendekatan uses and gratification di atas mempersoalkan apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya. Umumnya kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita. Kita ingin tahu bukan untuk apa kita membaca surat kabar atau menonton televisi, tetapi bagaimana surat kabar dan televisi menambah pengetahuan, mengubah sikap, atau menggerakkan perilaku kita. Inilah yang disebut sebagai efek komunikasi massa. Kita pernah terkejut mendengar beberapa orang remaja yang memperkosa anak kecil setelah terlalu sering menonton “goyang ngebor Inul” di VCD bajakan di Indonesia; atau beherapa orang pemuda berandalan yang membakar seorang wanita di Boston setelah menyaksikan adegan yang sama pada film malam Minggu yang disiarkan televisi ABC. Semuanya didasarkan pada asumsi bahwa komunikasi massa menimbulkan efek pada diri khalayaknya. Waktu menjelaskan perkembangan penelitian efek komunikasi massa, kita telah melihat pasang surut efek media massa pada pandangan peneliti. Ada satu saat ketika media massa dipandang sangat berpengaruh, tetapi ada saat lain ketika media massa dianggap sedikit, bahkan hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali. Perbedaan pandangan ini tidak saja disebabkan karena perbedaan latar-belakang teoritis, atau latar belakang historis, tetapi juga karena perbedaan mengartikan efek. Misalkan, pesawat televisi masuk ke rumah Mang Dadang di sebuah desa kecil di Jawa Barat. Apa yang kita sebut efek televisi? Status sosial Mang Ucup yang lebih tinggi karena kehadiran pesawat televisi; kebiasaan tidur Mang Ucup dan keluarganya yang berubah; Bi Ucup yang mengganti abu merang padi dengan shampoo untuk mencuci rambutnya; si Ujang yang membuat pistol kayu dan menembak kucing dengan gaya Eric Estrada dalam film “Chip”, atau is Nyai yang lebih senang menyanyikan lagu yang dinyanyikan Euis Darliah di TVRI daripada nazhom Han Qiyamat yang diajarkan Bapak Kyai di Masjid. Seperti dinyatakan Donald K. Robert (Schramm dan Robert dalam Rakhmat, 2001), ada yang beranggapan bahwa efek hanyalah “perubahan perilaku manusia setelah diterpa pesan media massa”. Karena fokusnya pesan, maka efek haruslah berkaitan dengan pesan yang disampaikan media massa. Bila kampanye KB dalam TV menyebabkan pirsawan menjadi akseptor, bila anjuran memelihara lingkungan diikuti dengan penanaman pepohonan pada bukit tandus, atau bila ceramah tentang P4 menyebabkan pendengar menjadi Pancasilais (dengan asumsi pancasilais dapat diukur), barulah kita boleh berkata telah terjadi efek. Lalu, bagaimana dengan perubahan status sosial Pak Ucup atau perubahan status sosial Pak Ucup atau perubahan jadwal tidurnya karena kehadiran pesawat televisi? Itu bukan efek, karena itu terjadi bukan akibat terpaan pesan, tetapi akibat adanya pesawat televisi. Siaran TV di sini tidak dipersoalkan boleh jadi Laporan Pembangunan, Pidato pejabat, atau “Mimbar Agama” Yang jelas apapun yang disiarkan, status Pak Ucup tetap meningkat dan shalat shubuhnya tetap kesiangan. Tentu saja, membatasi efek hanya selama berkait dengan pesan media, akan mengesampingkan banyak sekali pengaruh media massa. Kita cenderung melihat efek hanya selama berkaitan dengan pesan maupun dengan media itu sendiri. Menurut Steven M. Chaffee (Dalam Wilhoit dan Harold de Bock, 1980; 78), ini adalah pendekatan pertama dalam melihat efek media massa. Pendekatan kedua ialah melihat jenis perubahan yang terjadi pada diri khalayak komuniukasi massa — penerimaan informasi, perubahan perasaan atau sikap, dan perubahan perilaku; atau dengan istilah lain, perubahan kognitif, afektif, dan behaviorral. Pendekatan ketiga meninjau satuan observasi yang dikenai efek komunikasi massa-individu, kelompok, organisasi, masyarakat, atau bangsa. Bila ketiga pendekatan itu digabungkan kita dapat melihat efek komunikasi massa pada matriks 2 x 3 x 3 atau 18 kamar; satu dikotomi (efek pesan dan efek media secara fisik), dan trikotomi (kognitif, afektifbehavioral dan individual- interpersonal - sistem). Kita melihatnya lebih jelas pada tabel di bawah ini. EFEK KOMUNIKASI MASSA Media fisik Sasaran Pesan Kognitif Afektif Behavioral Kognitif Afektif Behavioral Individual 1 2 3 4 5 6 Interpersonal 7 8 9 10 11 12 System 13 14 15 16 17 18 Dalam bagian ini kita tidak akan memperinci setiap kamar pada tabel di atas. Kita akan mulai dengan efek kehadiran media massa secara fisik, kemudian mengulas efek pesan media massa yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan behavioral. Efek kognitif terjadi bila ada perubahan pada apa yang diketahui, difahami, atau dipersepsi khalayak. Efek ini berkaitan dengan transmisi pengetahuan, keterampilam, kepercayaan, atau informasi. Efek efektif timbul bila ada perubahan pada apa yang dirasakan, disenangi, atau dibenci khalayak. Efek ini ada hubungannya dengan emosi, sikap, atau nilai,. Efek behavioral merujuk pada perilaku nyata yang dapat diamati; yang meliputi pola-pola tindakan, kegiatan, atau kebiasaan berperilaku. Setelah menyaksikan kehancuran kota Baghdad yang dibombardir pasukan Bush Jr di televisi, mungkin kita mengetahui telah terjadi perang antara Irak degan Amerika (efek kognitif), atau mungkin kita marah dan sakit hati karena mendengar tindakan semena-mena tentara Amerika dalam menembaki warga sipil (yang persepsi kita pasti Islam), dan memperkosa para wanita, (efek afektif), dan setelah itu mungkin kita akan segera mendaftarkan diri untuk ikut dalam pasukan Jihad yang dikirim ke Irak untuk berperang membela rakyat Irak, dan tentu. saja kejayaan Islam (efek behavioral). Sekarang tugas kita adalah mendiskusikan tingkatan efek yang telah dipetakan dengan matriks di atas. Selamat berdiskusi!