BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerangka Berpikir Di dalam kerjasama para pihak di bidang jasa usaha putusan pengadilan, para pihak umumnya sebelum mengikatkan diri dalam perjanjian akan ada Nota Kesepahaman (MoU) antara para pihak. Sistem hukum perdata di Indonesia walaupun secara tegas tidak mengatur kedudukan MoU namun hal ini dapat diterima secara praktek di lapangan oleh para pihak. Hukum Perjanjian Syarat Perjanjian Perjanjian Isi Perjanjian Bernama Tidak bernama MoU Putusan Analisis Data Hasil Penelitian Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 15 16 Setelah para pihak mengadakan Nota Kesepahaman maka kemudian disusul oleh adanya perjanjian yang secara hukum ada syarat-syarat sah perjanjian tersebut. Syarat sah perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, obyek tertentu dan sebab yang halal 2.2 Sistem Hukum di Indonesia Sistem berasal dari bahasa latin (systema) dan bahasa yunani (sustema) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan antara satu bagian dengan bagian lainnya secara bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau pemahaman terhadap sesuatu secara utuh.1Sistem adalah seperangkat unsur-unsur yang mempunyai hubungan fungsional secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.2 Hukum dikatakan berkaitan erat dengan dan tidak terlepas dari manusia sebagai objek pengaturannya. Hukum dan kehidupan bersama manusia adalah kait mengait satu dengan yang lain. Oleh karenanya menurut Roeslan Saleh hukum seharusnya dipelajari, dan selanjutnya diterapkan, dengan senantiasa dan terusmenerus memperhatikan kehidupan bersama dari manusia dengan situasinya yang aktual.3 Dalam kaitannya dengan sistem hukum nasional Indonesia, maka Pancasila merupakan norma dasar dari seluruh norma kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan apabila dilihat dari kedudukan Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar pengertiannya sebagai norma dasar akan mencakup hal-hal yang lebih luas. Pemikiran ini menunjukkan bahwa hukum dan moral dalam susunan tertib kehidupan Indonesia, hukum dan moral dapat dibedakan, tetapi tidak terpisah, melainkan suatu tunggal dalam norma dasar (grundnorm)Pancasila itu. Pancasila adalah suatu norma dasar bagi kehidupan bangsa, masyarakat dan negara hukum Indonesia. 4 Dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut juga terkandung cita hukum bangsa dan negara Indonesia yang 1 Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang,: Academia Permata, 2013), hlm. 58. Ibid. 3 Roeslan Saleh, Suatu Peringatan Bagi Cendekiawan Hukum Indonesia, (Jakarta: Lembaga 2 Pengkajian Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1991), hlm, 9. BPHN, “Analisis Dan Evaluasi Peraturan PerundangUndangan”,<http://www.bphn.go.id/data/documents/full.pdf>, diakses tanggal 14 Oktober 2015 4 17 menjadi penentu arah kehidupan sebagai rakyat yang teratur, untuk membangun negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Seperti dikatakanRoscoe Pound bahwa “law as a tool of social engineering”,yaitu hukum sebagai alat rekayasa sosial, dan juga yang diisyaratkan Cicero, ketika ada hukum maka ada masyarakat, kesemua itu menempatkan kedudukan hukum seperti “hidup”di tengah-tengah masyarakat (manusia), seperti layaknya “masyarakat adalah hukum dan hukum adalah masyarakat itu sendiri”.5 Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) khususnya Belanda.6Salah satu ciri terpenting dalam sistem hukum Belanda adalah aliran legal positivism. Sistem ini dibentuk di benua Eropa sejak abad ke-12 dan 13, yang mendasarkan pada tersusunnya peraturan perundangundangan, sehingga menurut sistem ini, UU menjadi sumber utama dan hakim tidak boleh membuat keputusan yang berbeda dengan UU. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang salaing menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi / mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945.7 Di Indonesia hakim tetap terikat pada undang-undang tetapi tidak seketat seperti aliran legisme.Hakim bertugas untuk menemukan hukum, dan diberi kebebasan untuk menyelaraskan undang-undang dengan perkembangan jaman.Pada aliran ini yurisprudensi mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum formil setelah undang-undang.8 2.3 Sistem Hukum Perdata di Indonesia Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Menurut seorang pakar hukum Internasional yaitu H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata 5 Ibid. Doni Kandiawan, “Sistem Hukum Indonesia Dan Perbandingan Sistem Peradilan Di Indonesia” , 6 <http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=4>, diakses tanggal 17 Oktober 2015. 7 Ahmad Muliadi, Op.Cit., hlm. 53. Ibid. 8 18 adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan- kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas9 Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal.Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Secara umum, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon).Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK). Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit.Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia.10 Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Staatsblad No.23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848.kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut. 9 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hlm. 5 . Syaifudin Zuhri, “Sejarah Hukum Perdata Di Indonesia”,<http://www.kompasiana.com>, diakses tanggal 17 Oktober 2015. 10 19 Ditinjau dari sudut kepentingan yang diatur dan susunan tradisional, hukum dapat digolongkan ke dalam hukum privat dan hukum publik.Hukum privat ialah hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan orang perseorangan dan juga kepentingan-kepentingan Negara dalam kedudukannya bukan sebagai penguasa, dimana meliputi hukum perdata, hukum dagang dan hukum privat internasional. Hukum publik ialah hukum yang mengatur atau melindungi kepentingankepentingan Negara sebagai penguasa, dimana meliputi hukum tata Negara, hukum Tata Usaha Negara, hukum antara Negara, hukum pidana, hukum internasional dan hukum acara. Sistem hukum perdata ialah salah satu bidang hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran tertentu, mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum, misalnya hukum orang, hukum benda, hukum perikatan dan hukum pembuktian dan daluwarsa, serta hukum adat. Perkembangan selanjutnya hukum perdata tersebut dipecah dari kodifikasi murni kepada kodifikasi parsial yang melahirkan: 1. Hukum agraria Meliputi penetapan lahan pertanian, hukum perkebunan termasuk budidaya tanaman, varietas tanaman dan holtikultura serta hukum pertambangan termasuk minyak dan gas bumi, mineral dan batubara dan panas bumi. 2. Hukum perkawinan Meliputi hukum tentang perempuan dan hukum tentang anak 3. Hukum kontrak. Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia merdeka. Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama denganhukum perdata. Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami 20 beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.11 2.4 Pengertian Perjanjian Pengertian perjanjian pada dasarnya didasarkan pada Pasal 1313 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan degan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/ lebih.12 Perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.13Dari peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang/pihak tersebut yang dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda overeenkomst dan verbintenis.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata digunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 ayat (1) KUHPerdata disebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pasal1313 ayat (1) KUHPerdata, dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Selain dari perjanjian, perikatan dapat juga dilahirkan dari undang-undang (Pasal 1233KUH Perdata) atau dengan perkataan lain ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Pada kenyataannya yang paling banyak adalah perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.Dan tiapperikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata). 11 Ibid. KUHPerdata, pasal 1313. 13 Ibid. 12 21 Didalam KUHPerdata hal Perikatan untuk Memberikan Sesuatu dinyatakan didalam pasal berikut yaitu: Pasal Isi 1235 Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan. Debitur wajib memberi ganti biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur bila ia 1236 menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaik-baiknya untuk menyeIamatkannya. Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi 1237 tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau 1238 berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan Mengenai hal perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu dinyatakan pasal-pasal KUHPerdata sebagai berikut yaitu: 1239 Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya. 1240 Walaupun demikian, kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang dilakukan secara bertentangan dengan perikatan dan ia dapat minta kuasa dari Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat itu atas tanggungan debitur; hal ini tidak mengurangi hak untuk menuntut penggantian 22 2.5 Unsur-Unsur Perjanjian Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian.14Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu: a. Unsur essensialia dalam perjanjian Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip dari jenis perjanjian lainnya.Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari sebuah perjanjian.15 Unsur essensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karena itu, unsur essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian dengan perjanjian lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri yang 14 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.63. 15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 84. 23 berbeda pula antara satu dengan yang lain. Misalnya harga jual beli merupakan essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya tanpa dijanjikan adanya harga maka jual beli bukanlah perjanjian jual beli melainkan mungkin perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan adanya jual beli tanpa menyebutkan harganya tetapi oleh para pihak saling diserahkan suatu benda perbuatan hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli melainkan tukar menukar.16 b. Unsur naturalia dalam perjanjian Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu, setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak, karena sifat dari jual beli mengkhendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak akan mentolerir suatu bentuk jual-beli, di mana penjual tidak mau menanggung cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka berlakulah ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.17 c. Unsur aksidentalia dalam perjanjian Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.Dengan demikian pula unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.Misalnya, dalam jual-beli yaitu ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditur tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering 16 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 67. 17 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Op.Cit., hlm. 88. 24 ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang essensialia dalam kontrak tersebut.31 Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsur-unsur yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai berikut;18 a. Ada pihak-pihak. Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri dari dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan undang-undang. b. Ada persetujuan. Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan. c. Ada tujuan yang hendak dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis.Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. f. Ada syarat-syarat tertentu Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah. Menurut Herlien Budiono, perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 KUHPer adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi, mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubungan-hubungan hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian di bidang harta kekayaan atas dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan pihak 18 Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung, hal. 78 25 lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak secara timbal balik.19 Herlien Budiono memberikan pengertian perjanjian dengan menekankan pada perbuatan hukum yang diuraikan sebagai berikut: “Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, kontrak atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orangorang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.”20 Berdasarkan pendapat tersebut maka unsur–unsur perjanjian menurut Herlien Budiono terdiri atas; a. Kata sepakat dari dua pihak; b. Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak; c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum; d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain atau timbal balik; e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.21 Herlien Budiono memberikan pula tambahan mengenai bagian-bagian dari perjanjian yang terdiri dari bagian essentialia, bagian naturalia dan bagian accidentalia.22 Bagian essentialia adalah bagian dari perjanjian yang harus ada, apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian itu tidak dapat disebut perjanjian bernama yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Bagian naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan terlebih dahulu secara khusus oleh para pihak.Bagian aksidentalia adalah bagian perjanjian yang berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. 19 74Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono II), hal.3. 20 Ibid, hal.3. 21 Ibid, hal.5. 22 Ibid, hal.67-72. 26 2.6 Macam-Macam Perjanjian Ada beberapa macam perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata ada perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernamayaitu sebagai berikut: a. Perjanjian Bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang oleh undang-undang telah diatur secara khusus, yakni dari BAB V sampai dengan BAB XVIII Buku III KUH Perdata dan terdapat pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Adapun perjanjian bernama antara lain: perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan sebagainya, b. Perjanjian Tidak Bernama Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian khusus untuk dalam yang tidak dianut perundang-undangan, perjanjian ini sangat secara berguna mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk perkembangan dari perjanjian tidak bernama antara lain: perjanjian sewabeli. Jual-beli dengan cicilan, pola bagi hasil dan sebagainya. Ada pun beberapa perjanjian lainnya yang dapat dibedakan menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut: - Perjanjian sepihak atau timbal balik. Perjanjian perjanjian timbal balik adalah yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli dan sewa menyewa, sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada satu pihak dan hak pada pihak lain, misalnya hibah dan pemberian hadiah. - Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak lainnya secara cuma-Cuma, misalnya pemberian hadiah dan hibah, sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terdapat prestasi dari pihak yang satu terhadap pihak lainnya misalnya perjanjian jual beli dan sewa menyewa. - Perjanjian konsensuil, riil dan formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang terjadi dengan kata lain sepakat antara kedua belah pihak, sedangkan perjanjian rii dan formil adalah perjanjian dimana 27 selain diperlukan kata sepakat, dan - juga diperlukan penyerahan barang harus dituangkan dalam bentuk tertentu secara formil. Perjanjian campuran adalah perjanjian yang didalamnya terkandung unsur yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama bernama. Untuk atau tidak mengidentifikasikan perjanjian campuran dikenal tiga teori yaitu23: a) Teori Absorptie Menurut teori ini diterapkan perundang-undangan yang paling menonjol dalam perjanjian tersebut. b) Teori Combinatie Menurut teori ini perjanjian dibagi-bagi dan kemudian atas masingmasing bagian diterapkan ketentuan undang-undang yang berlaku. c) Teori Suy Generis Menurut teori ini ketentuan yang terdapat dalam perjanjian campuran diterapkan secara analogis. 2.7 Memorandum Of Understanding (MoU) Selain istilah Memorandum of Understanding yang sering dipakai sebagai singkatan dari MoU, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya Nota Kesepahaman atau terkadang disebut sebagai Nota Kesepakatan.24 Istilah lain yang sering juga dipakai untuk Memorandum of Understanding ini, terutama oleh negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head Agreement,Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah Memorandum of Understanding.25Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa datang 23 http://id.scribe.com/doc/48150344/sumber teori perjanjian.html. Diakses pada 22 Februari 2016, pukul 19.35 WIB 24 K.A. Sirait, “kedudukan hukum dari m.o.u ditinjau dari hukum kontrak“, <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36913/1/09E02921.pdf>, diakses tanggal 17 Oktober 2015 25 Ibid. 28 yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun lisan.Secara gramatikal MoU biasa diartikan sebagai Nota Kesepahaman.26 Istilah Memorandum of Understanding (MoU) berasal dari dua kata, yaitu memorandum dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary diartikan memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada masa datang” (is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan understanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara tertulis” (an implied agreement resulting from the express term of another agreement, whether written or oral).27 Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “dokumen yang memuat saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.28 Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena terdapat unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.29 Memorandum of understanding sebagai suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti akan diikuti perjanjian lainnya.30 Unsur-unsur yang terkandung dalam ketiga definisi ini, adalah:31 1. memorandum of understanding sebagai perjanjian pendahuluan; 2. Isi memorandum of understanding adalah mengenai hal-hal yang pokok; dan Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 46. 27 Leny Poernomo, “Kedudukan MoU ditinjau dari segi hukum”, <http://www.spocjournal.com>, diakses tanggal 12 Oktober 2015. 28 Erman Rajagukguk, Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia.(Jakarta: 26 Universitas Inonesia, 1994). hlm. 4. 29 Salim HS, Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. (Jakarta: Sinar Grafika,2006). hlm. 48. 30 Leny Poernomo, “Kedudukan MoU Ditinjau Dari Segi hHukum”, <http://www.spocjournal.com>, diakses tanggal 12 Oktober 2015. 31 Ibid. 29 3. Isi memorandum of understanding dimasukkan dalam kontrak. Perjanjian pendahuluan merupakan perjanjian awal yang dilakukan oleh para pihak.Isi memorandum of understanding mengenai hal-hal yang pokok saja, maksudnya substansi memorandum of understanding itu hanya berkaitan dengan halhal yang sangat prinsip. Substansi memorandum of understanding ini nantinya akan menjadi substansi kontrak yang dibuat secara lengkap dan detail oleh para pihak. Ketiga definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dikemukakan di atas hanya difokuskan pada sifat dari memorandum of understanding, yaitu sebagai perjanjian pendahuluan.Dalam ketiga definisi tersebut juga tidak dirumuskan tentang bagaimana hubungan para pihaknya dan yang menjadi substansi dari memorandum of understanding tersebut. MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan hasil dari produk hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon.Di tinjau secara ilmu hukum, MoU merupakan janji untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri.Penggunaan istilah MoU dalam tradisi Eropa Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran lebih tepat, serta masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.32 2.8 Syarat Sahnya Perjanjian Menurut asas konsensualisme suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi objek perjanjian.33 Menurut ajaran yang paling tua haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Kemudian ada lagi yang menyatakan bahwa perjanjian terjadi pada saat apa yang dinyatakan oleh seseorang, sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk oranglain. Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya.34 Cakra Arbas, “MoU Dan Perbandingan Sistem Hukum”, <http://www.http://cakraarbas.blogspot.co.id>, diakses tanggal 17 Oktober 2015. 33 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 26. 34 Ibid., hlm. 27. 32 30 Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:35 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan. 2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. 3. Mengenai hal tertentu artinya ialah perjanjian harus tentang hal tertentu, dan juga harus jelas hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak serta barang yang dimaksudkan dalam perjanjian harus ditentukan jenisnya.36 4. Sebab yang halal yang dimaksudkan ialah isi dari perjanjian.37 Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakniOrang yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi), dan semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.38 Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut: (i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya. (ii) Menurut Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tertanggal 2 Januari 1974 Tentang Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Perkawinan). Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena 35 Subekti, Op.Cit., hlm. 15. Ibid., hlm. 19. 37 Ibid. 38 Jekson Lumbantoruan, “Dasar-Dasar Hukum Perjanjian”,<https://www.linkedin.com>, diakses tanggal 17 Oktober 2015. 36 31 mengenai obyek dari suatu perjanjian.39Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut. Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.40 Mengenai Kebatalan dan batalnya perjanjiandijelaskan oleh pasal-pasal KUHperdata sebagai berikut yaitu: Pasal Isi 1446 Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka 1447 Ketentuan pasal yang lalu tidak berlaku untuk perikatan yang timbul dan suatu kejahatan atau pelanggaran atau dan suatu perbuatan yang telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Begitu juga kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian perkawinan dengan mengindahkan ketentuan Pasal 1601g, atau persetujuan perburuhan yang tunduk pada ketentuan Pasal 1601h. 39 40 Subekti, Op.Cit., hlm. 20. Ibid. 32 Jika tata cara yang ditentukan untuk sahnya perbuatan yang menguntungkan anak1448 anak yang behum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan telah terpenuhi, atau jika orang yang menjalankan kekuasaan orangtua, wali atau pengampu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak melampaui batas-batas kekuasaannya, maka anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan itu dianggap telah melakukan sendiri perbuatan-perbuatan itu setelah mereka menjadi dewasa atau tidak lagi berada di bawah pengampuan, tanpa mengurangi hak mereka untuk menuntut orang yang melakukan kekuasaan orangtua, wali atau pengampu itu bila ada alasan untuk itu. Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan 1449 tuntutan untuk membatalkannya Dengan alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang 1450 belum dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat menuntut pembatalan penikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus yang ditetapkan undang-undang. Pernyataan batalnya perikatan-perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang 1451 tersebut dalam Pasal 1330, mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orangorang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang tak berwenang, akibat perikatan itu, hanya dapat dituntut kembali bila barang yang bersangkutan masih berada di tangan orang tak berwenang tadi, atau bila ternyata bahwa orang ini telah mendapatkan keuntungan dan apa yang telah diberikan atau dibayar itu atau bila yang dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya. Didalam KUHPerdata diatur hal-hal yang terkait syarat sahnya perjanjian yaitu dalam pasal berikut: 1321 Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan 33 1322 Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan perjanjian, kecuali jika perjanjian itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan 1323 Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam perjanjian yang dibuat itu. 1324 Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan 1325 Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah 1326 Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan perjanjian 1327 Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti perjanjian itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya 1328 Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan 34 Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:Pertama, Paksaan (dwang).41Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan.Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain memberikan hak.ewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain. Menurut Sudargo Gautama, paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan terhadapnya. Jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kalainan mental. Kedua, Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat menurut Pasal 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar.42 Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan (samenweefsel 41 van verdichtselen), serangkaian cerita yang tidak Fricilia Eka Putri, “Kedudukan Dan Kekuatan Hukum Kontrak Ditinjau Dari Hukum Perikatan Dalam KUHPerdata”,<http://download.portalgaruda.org>, diakses tanggal 21 Oktober 2015. 42 benar, Ibid. 35 dansetiaptindakan/sikap yang bersifat menipu.Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini disertai dengan tindakan yang menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak. Seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu. Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak. Seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu.Tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai maksud jahat, contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin.Kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda bukan merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka. Selain itu, tindakan tersebut haruslahberjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.Ketiga, Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling). Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian.Ada 2 (dua) macam kekeliruan. Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in substantiayaitu kekeliruan yang berkaitan dengan karakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwalukisan yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah.43 43 Ibid. 36 Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengindentifikasi subjek atau orangnya.Keempat, Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden). Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence). Van Dunne menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan. Pada akhirnya sebagai perbandingan dalam sistem common law untuk sahnya suatu perjanjian juga mensyaratkan dipenuhinya beberapa elemen. Secara garis besarnya elemen penting pembentuk kontrak/perjanjian meliputi:44 a. Intention to create a legal relationship, para pihak yang berkontrak memang bermaksud bahwa kontrak yang mereka buat dapat dilaksanakan berdasarkan hukum; b. Agreement (offer and acceptance) artinya harus ada kesepakatan (meeting of mind) diantara para mereka; c. Consideration, merupakan janji diantara para para pihak untuk saling berprestasi. M.L. Baron menambahkan elemen pembentuk kontrak/perjanjian selain ketiga elemen diatas meliputi: a. capacity of parties, kecakapan para pihak. b.reality of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehendak (mis-representation, duress or undue influence). c. legality of object, yaitu terkait dengan tujuan atau objek yang harus diperbolehkan menurut hukum. 44 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas (Jakarta: Kencana, 2014), hlm., 158. Dalam Kontrak Komersial, 37 2.9 Subjek dan Objek Perjanjian Yang dimaksudkan dengan personalia/subjek disini adalah tentang para pihak yang tersangkut dalam suatu perjanjian.45Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan: “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau diminta ditetapkannya suatu janji untuk dirinya sendiri”. M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa menurut teori dan praktek kontrak, subjek hukum kontrak terdiri dari: 46 1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan, yaitu: a. Natuurlijke person atau manusia tertentu; b. Rech person atau badan hukum; 2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain tertentu, misalnya seseorang bezitter atas kapal; 3. Persoon yang dapat diganti (Vervangbaar) yaitu berarti kreditur yang menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam kontrak, sewaktu-waktu dapat diganti kedudukannya dengan kreditur/debitur baru, kontrak ini berbentuk “aan order” atau kontrak atas order/atas perintah dan kontrak “aan toonder” atau kontrak atas nama atau kepada pemegang/pembawa pada surat-surat tagihan hutang. Setiap subjek hukum yang mengadakan kontrak haruslah memenuhi persyaratan tertentu, supaya kontrak tersebut mengikat, misalnya subjek hukum “orang” harus sudah dewasa, sedangkan subjek hukum “badan hukum (recht persoon) harus memenuhi persyaratan formal suatu badan hukum. Kedua jenis subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan kontrak seperti dapat melakukan penuntutan dan dituntut, menghadap ke pengadilan, dan sebagainya, hanya saja untuk subjek hukum “badan hukum” digerakkan oleh organ badan hukum yang merupakan sekumpulan orang-orang yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan badan hukum. Oleh karena itu, dalam hukum kontrak yang dapat menjadi subjek hukum adalah individu dengan individu atau pribadi dengan pribadi, badan hukum dengan badan hukum, seperti pemerintah 45 46 Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 29. Meria Utama Dan Arfiana Novera, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Dan Arbitrase, (Malang: Tunggal Mandiri, 2014), hlm. 20. 38 dengan pemerintah, pemerintah dengan perusahaan swasta, perusahaan swasta dengan perusahaan swasta, dan sebagainya. Dalam hal ini, Pemerintah berkedudukan sebagai badan hukum privat.47 Objek hukum kontrak adalah suatu prestasi yang menurut ketentuan normatif dalam Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi itu dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Kontrak yang prestasinya memberikan sesuatu barang/benda ditegaskan secara normatif dalam Pasal 1237 KUHPerdata.Kemudian, kontrak yang prestasinya berbuat sesuatu ditegaskan secara normatif dalam Pasal 1241 KUHPerdata.Adapun kontrak yang prestasinya tidak berbuat sesuatu ditegaskan secara normatif dalam Pasal 1242 KUHPerdata. Menurut M. Yahya Harahap, objek hukum kontrak berupa prestasi dalam bentuk “memberikan sesuatu” (te geven) berupa penyerahan sesuatu barang atau memberikan sesuatu kenikmatan atas suatu barang, misalnya dalam jual beli, penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Selanjutnya, prestasi dalam bentuk “berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan berupa memberikan sesuatu, misalnya melukis, sedangkan tidak berbuat sesuatu adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu, misalnya tidak akan membangun sebuah pagar. Adapun prestasi dalam bentuk “melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu” (te doen of niet te doen) dapat bermakna positif jika kontrak ditentukan untuk melakukan berbuat sesuatu yang timbul misalnya dalam kontrak kerja yang diatur dalam Pasal 1603 KUHPerdata yang memuat ketentuan normatif, yaitu pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya, sedangkan bermakna negatif jika kontrak ditentukan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu, misalnya sewa menyewa yang diatur dalam Pasal 1550 KUHPerdata merupakan suatu kontrak dengan prestasi yang bermakna negatif, yaitu pihak yang menyewakan harus membiarkan si penyewa menikmati barang sewaan secara tentram selama jangka waktu sewa masih berjalan.48 Objek hukum kontrak, menurut R. Setiawan, harus memenuhi beberapa syarat tertentu agar sah, yaitu:49 47 Ibid., hlm. 21. Ibid., hlm. 22 49 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung:Bina Cipta,1979), hlm. 3. 48 39 1. Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3 KUHPerdata). 2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata). 3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan. 2.10 Asas-Asas dalam Perjanjian Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sun servanda), asas iktikad baik, dan asas kepribadian.50 Asas kebebasan berkontrak51 Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menegaskan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya, menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.Asas kebebasan berkontrak merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur para pihak, sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini pada kenyataannya ternyata tidaklah berlaku mutlak. KUHPerdata memberikan pembatasan mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak, seperti yang dimaksudkan dalam ketentuan:52 Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menerangkan bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata yang bisa disimpulkan bahwa kebebasan untuk membuat suatu perjanjian dibatasi oleh suatu kecakapan. Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal 1337 menerangkan bahwa para pihak tidak bebas membuat perjanjian yang menyangkut kuasa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketentuan umum. Damang, “Asas-Asas Perjanjian”,<http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asasperjanjian.html>, diakses tanggal 27 Oktober 2015. 51 Meria Utama Dan Arfiana Novera, Op.Cit, hlm.14. 52 Ibid., hlm. 15. 50 40 Asas konsensualisme53 Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1 BW.Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak.Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.Asas Konsensualitas mempunyai arti yang penting, bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok mengenai perjanjian tersebut dan perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus atau kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila hal- hal pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan sebagai suatu formalitas. Asas pacta sunt servanda54 Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum, berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.” Asas iktikad baik (geode trouw) Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 BW yang menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”Asas iktikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.Sedangkan iktikad mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. 53 Ibid. Damang,“Asas-Asas Perjanjian”,<http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html>, diakses tanggal 27 Oktober 2015. 54 41 Asas kepribadian55 Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW.Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.”Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.”Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 BW mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 BW untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman (17 s/d 19 Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas: asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan. 2.11 Akibat Perjanjian Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.Suatu perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga. Tentang akibat suatu perjanjian didalam KUHPerdata dinyatakan oleh pasalpasal berikut yaitu: 1338 Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- 55 Ibid. undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik 42 Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas 1339 dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan 1340 tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal 1317 2.12 Penafsiran Perjanjian Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.56 Paul scholten berpendapat untuk memahami suatu teks undang- undang/kontrak/dokumen-dokumen bisnis kiranya perlu interpretasi dengan baik.57 Isi kontrak terutama ditentukan oleh apa yang saling diperjanjikan oleh para pihak. Menafsirkan suatu yang dinyatakan/pernyataan-pernyataan tertentu dalam hal ini untuk menentukan maknanya akan jelas terhadap apa para pihak mengikatkan diri. Pasal Pasal tentang Penafsiran suatu Perjanjian dalam KUHPerdata terdapat dalam pasal berikut yaitu: Isi Pasal 1342 56 Jika kata kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan Munir Fuady, Hukum Kontrakjalan (Daripenafsiran Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti,, 2007), hlm.53. 57 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2014), hlm. 230. 43 Jika kata kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus 1343 dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata kata menurut huruf. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih 1344 pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan. Jika kata kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih 1345 pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian. 2.13 Teori-Teori Perjanjian Teori-Teori yang digunakan untuk menentukan terjadinya kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.Kesepakatan memegang peran penting dalam prose’s terbentuknya suatu perjanjian.Kita dapat dengan mudah mengenali terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian antara penawaran dan penerimaan. Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu teori kehendak, teori pernyataan dan teori kepercayaan. TEORI KEHENDAK (Wilstheorie) Menurut Teori kehendak, factor yang menentukan adanya perjanjian adalah kehendak.Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara kehendak dan pernyataan.Oleh karena itu suatu kehendak harus dinyatakan.Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian. Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang lain. TEORI PERNYATAAN (Verklaringstheorie) Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa 44 yang sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang. Dengan demikian suatu kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan, sehingga yang menjadi dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori ini, jika terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan menghalangi terbentuknya perjanjian. Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori kehendak.Namun teori penyataan hanya berfokus pada pernyataan dan tidak memperhatikan kehendak seseorang.Sehingga terdapat potensi kerugian yang terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan pernyataan. TEORI KEPERCAYAAN (Vertrouwenstheorie) Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori pernyataan.Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan melahirkan perjanjia, suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwal hal yang dinyatakan memang benar dikehendaki. Atau dengan kata lain, hanya pernyataan yang disampaikan sesuai dengan keadaan tertenty (normal) yang menimbulkan perjanjian. Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian bergantung pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai akibat dari pernyataan yang diungkapkan. 2.14 Kelalaian / Wanprestasi Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu : 1. Tidak melaksanakan isi dari perjanjian itu sendiri. 2. Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. 3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian. 45 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.58 2.15 Hapusnya Suatu Perjanjian Soal hapusnya perikatan dinyatakan oleh pasal-pasal KUHPerdata sebagai berikut yaitu: 1381. Perikatan hapus ialah karena pembayaran yaitu setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela, karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan yaitu suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang menolak pembayaran dan yang lainya sesuai ketentuan pasal 1381 KUHPerdata. Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut : a. Pembayaran adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-Undang (Pasal 1402 KUH Perdata) b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atau utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu. c. Pembaharuan utang atau novasi adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau 58 Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa, 46 novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu. d. Perjumpaan utang penghapusan/pelunasan atau kompensasi adalah utang dengan memperjuangkan jalan suatu cara atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan yang lainnya. Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum atau apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan atau terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita. e. Percampuran Utang adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utangpiutang itu dihapuskan, misalnya : debitur menikah dengan krediturnya atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya. f. Pembebasan Utang menurut pasal 1439 KUH Perdata, pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya. g. Musnahnya barang yang terutang adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. h. Batal/Pembatalan menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian. 47 Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim. 2. Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu. i. Berlakunya suatu syarat batal menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. j. Lewat waktu menurut pasal 1946 KUH Perdata, kadaluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.59 Cara-cara yang disebut oleh pasal 1381 KUHPerdata belum lengkap karena masih ada cara-cara yang tidak disebutkan misalnya berakhirnya suatu ketetapan waktu /termijn dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.60 59 60 Ibid Subekti, Op.Cit., hlm. 64. 48