bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kerangka Berpikir
Di dalam kerjasama para pihak di bidang jasa usaha putusan pengadilan, para
pihak umumnya sebelum mengikatkan diri dalam perjanjian akan ada Nota
Kesepahaman (MoU) antara para pihak. Sistem hukum perdata di Indonesia
walaupun secara tegas tidak mengatur kedudukan MoU namun hal ini dapat diterima
secara praktek di lapangan oleh para pihak.
Hukum Perjanjian
Syarat
Perjanjian
Perjanjian
Isi Perjanjian
Bernama
Tidak bernama
MoU
Putusan
Analisis Data
Hasil Penelitian
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
15
16
Setelah para pihak mengadakan Nota Kesepahaman maka kemudian disusul
oleh adanya perjanjian yang secara hukum ada syarat-syarat sah perjanjian tersebut.
Syarat sah perjanjian yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, obyek
tertentu dan sebab yang halal
2.2
Sistem Hukum di Indonesia
Sistem berasal dari bahasa latin (systema) dan bahasa yunani (sustema)
adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan antara
satu bagian dengan bagian lainnya secara bersama untuk memudahkan aliran
informasi, materi atau pemahaman terhadap sesuatu secara utuh.1Sistem adalah
seperangkat unsur-unsur yang mempunyai hubungan fungsional secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.2
Hukum dikatakan berkaitan erat dengan dan tidak terlepas dari manusia
sebagai objek pengaturannya. Hukum dan kehidupan bersama manusia adalah kait
mengait satu dengan yang lain. Oleh karenanya menurut Roeslan Saleh hukum
seharusnya dipelajari, dan selanjutnya diterapkan, dengan senantiasa dan terusmenerus memperhatikan kehidupan bersama dari manusia dengan situasinya yang
aktual.3
Dalam kaitannya dengan sistem hukum nasional Indonesia, maka Pancasila
merupakan norma dasar dari seluruh norma kehidupan bangsa Indonesia. Bahkan
apabila dilihat dari kedudukan Pancasila dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
pengertiannya sebagai norma dasar akan mencakup hal-hal yang lebih luas.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa hukum dan moral dalam susunan tertib kehidupan
Indonesia, hukum dan moral dapat dibedakan, tetapi tidak terpisah, melainkan suatu
tunggal dalam norma dasar (grundnorm)Pancasila itu. Pancasila adalah suatu norma
dasar bagi kehidupan bangsa, masyarakat dan negara hukum Indonesia. 4
Dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 tersebut juga terkandung cita hukum bangsa dan negara Indonesia yang
1
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, (Padang,: Academia Permata, 2013), hlm. 58.
Ibid.
3
Roeslan Saleh, Suatu Peringatan Bagi Cendekiawan Hukum Indonesia, (Jakarta: Lembaga
2
Pengkajian Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 1991), hlm, 9.
BPHN,
“Analisis
Dan
Evaluasi
Peraturan
PerundangUndangan”,<http://www.bphn.go.id/data/documents/full.pdf>, diakses tanggal 14 Oktober 2015
4
17
menjadi penentu arah kehidupan sebagai rakyat yang teratur, untuk membangun
negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Seperti dikatakanRoscoe Pound bahwa “law as a tool of social
engineering”,yaitu hukum sebagai alat rekayasa sosial, dan juga yang diisyaratkan
Cicero, ketika ada hukum maka ada masyarakat, kesemua itu menempatkan
kedudukan hukum seperti “hidup”di tengah-tengah masyarakat (manusia), seperti
layaknya “masyarakat adalah hukum dan hukum adalah masyarakat itu sendiri”.5
Sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa
Kontinental (civil law) khususnya Belanda.6Salah satu ciri terpenting dalam sistem
hukum Belanda adalah aliran legal positivism. Sistem ini dibentuk di benua Eropa
sejak abad ke-12 dan 13, yang mendasarkan pada tersusunnya peraturan perundangundangan, sehingga menurut sistem ini, UU menjadi sumber utama dan hakim tidak
boleh membuat keputusan yang berbeda dengan UU.
Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan
semua elemennya yang salaing menunjang satu dengan yang lain dalam rangka
mengantisipasi
/
mengatasi
permasalahan
yang
timbul
dalam
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila dan UUD
1945.7
Di Indonesia hakim tetap terikat pada undang-undang tetapi tidak seketat
seperti aliran legisme.Hakim bertugas untuk menemukan hukum, dan diberi
kebebasan untuk menyelaraskan undang-undang dengan perkembangan jaman.Pada
aliran ini yurisprudensi mempunyai kedudukan yang penting sebagai sumber hukum
formil setelah undang-undang.8
2.3
Sistem Hukum Perdata di Indonesia
Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku
setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang
timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Menurut seorang
pakar hukum Internasional yaitu H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata
5
Ibid.
Doni Kandiawan, “Sistem Hukum Indonesia Dan Perbandingan Sistem Peradilan Di Indonesia” ,
6
<http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=4>, diakses tanggal 17 Oktober 2015.
7
Ahmad Muliadi, Op.Cit., hlm. 53.
Ibid.
8
18
adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh
karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan- kepentingan perseorangan
dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan
yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas9
Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan
hukum perdata formal.Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan
perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara
seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Secara umum,
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah
Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri
Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code
Napoleon).Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus
Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M.
Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain
serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di
negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang
(WVK). Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi
ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing
sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia
baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya
diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang
berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang
sempit.Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia.10
Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847
melalui Staatsblad No.23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848.kiranya perlu
dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini
Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur
Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi
tersebut.
9
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta, Sinar Grafika, 2006), hlm. 5 .
Syaifudin Zuhri, “Sejarah Hukum Perdata Di Indonesia”,<http://www.kompasiana.com>, diakses
tanggal 17 Oktober 2015.
10
19
Ditinjau dari sudut kepentingan yang diatur dan susunan tradisional, hukum
dapat digolongkan ke dalam hukum privat dan hukum publik.Hukum privat ialah
hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan orang perseorangan dan juga
kepentingan-kepentingan Negara dalam kedudukannya bukan sebagai penguasa,
dimana meliputi hukum perdata, hukum dagang dan hukum privat internasional.
Hukum publik ialah hukum yang mengatur atau melindungi kepentingankepentingan Negara sebagai penguasa, dimana meliputi hukum tata Negara, hukum
Tata Usaha Negara, hukum antara Negara, hukum pidana, hukum internasional dan
hukum acara.
Sistem hukum perdata ialah salah satu bidang hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat dengan saluran
tertentu, mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan
hubungan antara subyek hukum, misalnya hukum orang, hukum benda, hukum
perikatan dan hukum pembuktian dan daluwarsa, serta hukum adat.
Perkembangan selanjutnya hukum perdata tersebut dipecah dari kodifikasi murni
kepada kodifikasi parsial yang melahirkan:
1. Hukum agraria
Meliputi penetapan lahan pertanian, hukum perkebunan termasuk budidaya
tanaman, varietas tanaman dan holtikultura serta hukum pertambangan
termasuk minyak dan gas bumi, mineral dan batubara dan panas bumi.
2. Hukum perkawinan
Meliputi hukum tentang perempuan dan hukum tentang anak
3. Hukum kontrak.
Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi
dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah
Indonesia merdeka. Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara
jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal
yang sama denganhukum perdata. Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum perdata
yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,
yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih berlaku
sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum
perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara
keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami
20
beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut
disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.11
2.4
Pengertian Perjanjian
Pengertian
perjanjian
pada
dasarnya
didasarkan
pada
Pasal
1313
KUHPerdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan degan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/ lebih.12 Perjanjian merupakan
suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang
saling berjanji untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.13Dari
peristiwa ini timbullah suatu hubungan antara dua orang/pihak tersebut yang
dinamakan perikatan.Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang
yang membuatnya.Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan
yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Istilah
perjanjian
berasal
dari
bahasa
Belanda
overeenkomst
dan
verbintenis.Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata digunakan istilah
perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst.
Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 ayat (1) KUHPerdata disebutkan
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari pasal1313 ayat (1) KUHPerdata,
dapat diketahui bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubungan antara dua
orang atau lebih yang dinamakan perikatan.
Dengan demikian perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan
perikatan. Selain dari perjanjian, perikatan dapat juga dilahirkan dari undang-undang
(Pasal 1233KUH Perdata) atau dengan perkataan lain ada perikatan yang lahir dari
perjanjian dan perikatan yang lahir dari undang-undang. Pada kenyataannya yang
paling banyak adalah perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.Dan tiapperikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).
11
Ibid.
KUHPerdata, pasal 1313.
13
Ibid.
12
21
Didalam KUHPerdata hal Perikatan untuk Memberikan Sesuatu dinyatakan
didalam pasal berikut yaitu:
Pasal
Isi
1235
Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang
kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya
kewajiban yang terakhir ini tergantung pada persetujuan tertentu; akibatnya akan
ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan.
Debitur wajib memberi ganti biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur bila ia
1236
menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak
merawatnya dengan sebaik-baiknya untuk menyeIamatkannya.
Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi
1237
tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan
barang yang bersangkutan, maka barang itu semenjak perikatan dilakukan,
menjadi tanggungannya
Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau
1238
berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,
yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan
Mengenai hal perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu
dinyatakan pasal-pasal KUHPerdata sebagai berikut yaitu:
1239
Tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, wajib
diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila
debitur tidak memenuhi kewajibannya.
1240
Walaupun demikian, kreditur berhak menuntut penghapusan segala sesuatu yang
dilakukan secara bertentangan dengan perikatan dan ia dapat minta kuasa dari
Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat itu atas
tanggungan debitur; hal ini tidak mengurangi hak untuk menuntut penggantian
22
2.5
Unsur-Unsur Perjanjian
Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur
esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut
karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu
perjanjian.14Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu:
a. Unsur essensialia dalam perjanjian
Unsur essensialia dalam perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa
prestasi-prestasi yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak yang
mencerminkan sifat dari perjanjian tersebut yang membedakannya secara prinsip
dari jenis perjanjian lainnya.Unsur essensialia ini pada umumnya dipergunakan
dalam memberikan rumusan, definisi, atau pengertian dari sebuah perjanjian.15
Unsur essensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, dan
tanpa keberadaan unsur tersebut maka perjanjian yang dimaksudkan untuk dibuat
dan diselenggarakan oleh para pihak dapat menjadi beda dan karenanya menjadi
tidak sejalan dan sesuai dengan kehendak para pihak. Oleh karena itu, unsur
essensialia ini pula yang seharusnya menjadi pembeda antara suatu perjanjian
dengan perjanjian lainnya, dan karenanya memiliki karakteristik tersendiri yang
14
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW),
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm.63.
15
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 84.
23
berbeda pula antara satu dengan yang lain. Misalnya harga jual beli merupakan
essensialia yang harus ada pada perjanjian jual beli. Artinya tanpa dijanjikan
adanya harga maka jual beli bukanlah perjanjian jual beli melainkan mungkin
perjanjian lain yang berbeda. Dengan kata lain, apabila oleh para pihak dikatakan
adanya jual beli tanpa menyebutkan harganya tetapi oleh para pihak saling
diserahkan suatu benda perbuatan hukum tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
jual beli melainkan tukar menukar.16
b. Unsur naturalia dalam perjanjian
Unsur naturalia adalah unsur yang pasti ada dalam suatu perjanjian tertentu,
setelah unsur essensialianya diketahui secara pasti. Misalnya dalam perjanjian
yang mengandung unsur essensialia jual-beli, pasti akan terdapat unsur naturalia
berupa kewajiban dari penjual untuk menanggung kebendaan yang dijual dari
cacat-cacat tersembunyi. Ketentuan ini tidak dapat disimpangi oleh para pihak,
karena sifat dari jual beli mengkhendaki hal yang demikian. Masyarakat tidak
akan mentolerir suatu bentuk jual-beli, di mana penjual tidak mau menanggung
cacat-cacat tersembunyi dari kebendaan yang dijual olehnya. Dalam hal ini maka
berlakulah ketentuan Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.17
c. Unsur aksidentalia dalam perjanjian
Unsur aksidentalia adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian, yang
merupakan ketentuan-ketentuan yang dapat diatur secara menyimpang oleh para
pihak sesuai dengan kehendak para pihak yang merupakan persyaratan khusus
yang ditentukan secara bersama-sama oleh para pihak.Dengan demikian pula
unsur ini pada hakekatnya bukan merupakan suatu bentuk prestasi yang harus
dilaksanakan atau dipenuhi oleh para pihak.Misalnya, dalam jual-beli yaitu
ketentuan mengenai tempat dan saat penyerahan kebendaan yang dijual atau
dibeli. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa
apabila pihak debitur lalai membayar hutangnya, dikenakan denda dua persen
perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan
berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditur tanpa
melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering
16
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm. 67.
17
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (II), Op.Cit., hlm. 88.
24
ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang essensialia
dalam kontrak tersebut.31
Unsur-unsur perjanjian diperlukan untuk mengetahui apakah yang dihadapi
adalah suatu perjanjian atau bukan, memiliki akibat hukum atau tidak. Unsur-unsur
yang terdapat dalam suatu perjanjian diuraikan oleh Abdulkadir Muhammad sebagai
berikut;18
a. Ada pihak-pihak.
Pihak yang dimaksud adalah subyek perjanjian yang paling sedikit terdiri dari
dua orang atau badan hukum dan mempunyai wewenang untuk melakukan
perbuatan hukum berdasarkan undang-undang.
b. Ada persetujuan.
Persetujuan dilakukan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu
perundingan.
c. Ada tujuan yang hendak dicapai.
Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak kehendaknya tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis.Hal ini
sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk
tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat.
f. Ada syarat-syarat tertentu
Syarat menurut undang-undang, agar suatu perjanjian atau kontrak menjadi sah.
Menurut Herlien Budiono, perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313
KUHPer adalah perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menciptakan, mengisi,
mengubah atau menghapuskan perikatan yang menimbulkan hubungan-hubungan
hukum di antara para pihak, yang membuat perjanjian di bidang harta kekayaan atas
dasar mana satu pihak diwajibkan melaksanakan suatu prestasi, sedangkan pihak
18
Abdulkadir Muhamad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bandung, hal. 78
25
lainnya berhak menuntut pelaksanaan prestasi tersebut, atau demi kepentingan dan
atas beban kedua belah pihak secara timbal balik.19
Herlien Budiono memberikan pengertian perjanjian dengan menekankan pada
perbuatan hukum yang diuraikan sebagai berikut:
“Perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau
menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, kontrak
atau perjanjian menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para
pihak. Jika suatu perbuatan hukum adalah kontrak atau perjanjian, orangorang yang melakukan tindakan hukum disebut pihak-pihak.”20
Berdasarkan pendapat tersebut maka unsur–unsur perjanjian menurut Herlien
Budiono terdiri atas;
a. Kata sepakat dari dua pihak;
b. Kata sepakat yang tercapai harus tergantung kepada para pihak;
c. Keinginan atau tujuan para pihak untuk timbulnya akibat hukum;
d. Akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas beban yang lain
atau timbal balik;
e. Dibuat dengan mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.21
Herlien Budiono memberikan pula tambahan mengenai bagian-bagian dari
perjanjian yang terdiri dari bagian essentialia, bagian naturalia dan bagian
accidentalia.22 Bagian essentialia adalah bagian dari perjanjian yang harus ada,
apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian itu tidak dapat disebut perjanjian
bernama yang dimaksudkan oleh para pihak, melainkan perjanjian lain. Bagian
naturalia adalah bagian perjanjian yang berdasarkan sifatnya dianggap ada tanpa
perlu diperjanjikan terlebih dahulu secara khusus oleh para pihak.Bagian aksidentalia
adalah bagian perjanjian yang berupa ketentuan yang diperjanjikan secara khusus
oleh para pihak.
19
74Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di
Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien
Budiono II), hal.3.
20
Ibid, hal.3.
21
Ibid, hal.5.
22
Ibid, hal.67-72.
26
2.6
Macam-Macam Perjanjian
Ada beberapa macam perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata ada
perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernamayaitu sebagai berikut:
a. Perjanjian Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang oleh undang-undang telah
diatur secara khusus, yakni dari BAB V sampai dengan BAB XVIII Buku
III KUH Perdata dan terdapat pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang. Adapun perjanjian bernama antara lain: perjanjian jual beli,
tukar menukar,
sewa menyewa dan sebagainya,
b. Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian
khusus
untuk
dalam
yang
tidak dianut
perundang-undangan, perjanjian
ini
sangat
secara
berguna
mengikuti perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bentuk
perkembangan dari perjanjian tidak bernama antara lain: perjanjian sewabeli. Jual-beli dengan cicilan, pola bagi hasil dan sebagainya.
Ada pun beberapa perjanjian lainnya yang dapat
dibedakan
menjadi
beberapa macam yaitu sebagai berikut:
-
Perjanjian sepihak atau timbal balik. Perjanjian
perjanjian
timbal
balik
adalah
yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah
pihak, misalnya perjanjian jual beli dan sewa menyewa, sedangkan
perjanjian
sepihak adalah perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban
pada satu pihak dan hak pada pihak lain, misalnya hibah dan pemberian
hadiah.
-
Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian Cuma-Cuma
adalah perjanjian dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari
pihak lainnya secara cuma-Cuma, misalnya pemberian hadiah dan hibah,
sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terdapat prestasi
dari pihak yang satu terhadap pihak lainnya misalnya perjanjian jual beli dan
sewa menyewa.
-
Perjanjian konsensuil, riil dan formil. Perjanjian
konsensuil
adalah
perjanjian yang terjadi dengan kata lain sepakat antara kedua belah
pihak, sedangkan perjanjian rii dan formil adalah perjanjian dimana
27
selain diperlukan kata sepakat,
dan
-
juga diperlukan
penyerahan
barang
harus dituangkan dalam bentuk tertentu secara formil.
Perjanjian
campuran
adalah
perjanjian
yang
didalamnya terkandung
unsur yang sulit dikualifikasikan sebagai perjanjian bernama
bernama.
Untuk
atau
tidak
mengidentifikasikan perjanjian campuran dikenal tiga
teori yaitu23:
a) Teori Absorptie
Menurut teori ini diterapkan perundang-undangan yang paling menonjol
dalam perjanjian tersebut.
b) Teori Combinatie
Menurut teori ini perjanjian dibagi-bagi dan kemudian atas masingmasing bagian diterapkan ketentuan undang-undang yang berlaku.
c) Teori Suy Generis
Menurut teori ini ketentuan yang terdapat dalam perjanjian campuran
diterapkan secara analogis.
2.7
Memorandum Of Understanding (MoU)
Selain istilah Memorandum of Understanding yang sering dipakai sebagai
singkatan dari MoU, juga banyak dipakai istilah-istilah lain misalnya Nota
Kesepahaman atau terkadang disebut sebagai Nota Kesepakatan.24
Istilah lain yang sering juga dipakai untuk Memorandum of Understanding ini,
terutama oleh negara-negara Eropa adalah apa yang disebut dengan Head
Agreement,Cooperation Agreement, dan Gentlement Agreement yang sebenarnya
mempunyai arti yang sama saja dengan arti yang dikandung oleh istilah
Memorandum
of
Understanding.25Berdasarkan
pengertian
tersebut,
dapat
dirumuskan pengertian MoU adalah dasar penyusunan kontrak pada masa datang
23
http://id.scribe.com/doc/48150344/sumber teori perjanjian.html. Diakses pada 22 Februari 2016,
pukul 19.35 WIB
24
K.A. Sirait,
“kedudukan hukum dari
m.o.u ditinjau dari hukum kontrak“,
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36913/1/09E02921.pdf>, diakses tanggal 17 Oktober
2015
25
Ibid.
28
yang didasarkan pada hasil permufakatan para pihak, baik secara tertulis maupun
lisan.Secara gramatikal MoU biasa diartikan sebagai Nota Kesepahaman.26
Istilah Memorandum of Understanding (MoU) berasal dari dua kata, yaitu
memorandum dan understanding. Dalam Black’s Law Dictionary diartikan
memorandum adalah “dasar untuk memulai penyusunan kontrak secara formal pada
masa datang” (is to serve as the basis of future formal contract). Sedangkan
understanding diartikan sebagai “pernyataan persetujuan secara tidak langsung
terhadap hubungannya dengan persetujuan lain, baik secara lisan maupun secara
tertulis” (an implied agreement resulting from the express term of another
agreement, whether written or oral).27
Erman Rajagukguk mengartikan MoU sebagai “dokumen yang memuat
saling pengertian di antara para pihak sebelum perjanjian dibuat. Isi dari MoU harus
dimasukkan ke dalam kontrak, sehingga ia mempunyai kekuatan mengikat”.28
Dalam berbagai peraturan perundang-undangan tidak ditemukan ketentuan
yang khusus mengatur tentang MoU, namun bila diperhatikan substansi dari MoU
sebagai perjanjian pendahuluan, maka dapat disimpulkan bahwa MoU tunduk pada
ketentuan perikatan pada umumnya dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian, karena terdapat
unsur kesepakatan dalam pembuatan MoU. Selain itu dapat pula dilihat dalam Pasal
1338 KUH Perdata yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.29
Memorandum of understanding sebagai suatu perjanjian pendahuluan, dalam arti
akan diikuti perjanjian lainnya.30 Unsur-unsur yang terkandung dalam ketiga definisi
ini, adalah:31
1. memorandum of understanding sebagai perjanjian pendahuluan;
2. Isi memorandum of understanding adalah mengenai hal-hal yang pokok; dan
Salim HS, “Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding /MoU”, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hlm. 46.
27
Leny Poernomo, “Kedudukan MoU ditinjau dari segi hukum”, <http://www.spocjournal.com>,
diakses tanggal 12 Oktober 2015.
28
Erman Rajagukguk,
Kontrak Dagang Internasional dalam Praktik di Indonesia.(Jakarta:
26
Universitas Inonesia, 1994). hlm. 4.
29
Salim HS, Hukum Kontrak. Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan ketiga. (Jakarta: Sinar
Grafika,2006). hlm. 48.
30
Leny Poernomo, “Kedudukan MoU Ditinjau Dari Segi hHukum”, <http://www.spocjournal.com>,
diakses tanggal 12 Oktober 2015.
31
Ibid.
29
3. Isi memorandum of understanding dimasukkan dalam kontrak.
Perjanjian pendahuluan merupakan perjanjian awal yang dilakukan oleh para
pihak.Isi memorandum of understanding mengenai hal-hal yang pokok saja,
maksudnya substansi memorandum of understanding itu hanya berkaitan dengan halhal yang sangat prinsip. Substansi memorandum of understanding ini nantinya akan
menjadi substansi kontrak yang dibuat secara lengkap dan detail oleh para pihak.
Ketiga definisi yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana dikemukakan di atas
hanya difokuskan pada sifat dari memorandum of understanding, yaitu sebagai
perjanjian pendahuluan.Dalam ketiga definisi tersebut juga tidak dirumuskan tentang
bagaimana hubungan para pihaknya dan yang menjadi substansi dari memorandum
of understanding tersebut.
MoU sebagaimana tersebut di atas merupakan hasil dari produk hukum yang
berasal dari tradisi Anglo Saxon.Di tinjau secara ilmu hukum, MoU merupakan janji
untuk mengadakan perjanjian, dengan demikian pada dasarnya belum mempunyai
kekuatan mengikat layaknya perjanjian itu sendiri.Penggunaan istilah MoU dalam
tradisi Eropa Kontinental dengan mengkaitkan dengan teori kebenaran lebih tepat,
serta masuk ke dalam teori kebenaran pragmatis karena didasarkan pada manfaat
secara praktis dan kehadirannya dirasakan mendatangkan manfaat.32
2.8
Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut asas konsensualisme suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya
kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal pokok dari
apa yang menjadi objek perjanjian.33
Menurut ajaran yang paling tua haruslah dipegang teguh tentang adanya suatu
persesuaian kehendak antara kedua belah pihak.
Kemudian ada lagi yang
menyatakan bahwa perjanjian terjadi pada saat apa yang dinyatakan oleh seseorang,
sebab pernyataan inilah yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk oranglain.
Sebagai kesimpulan dapat ditetapkan bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman
ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang
yang hendak mengikatkan dirinya.34
Cakra Arbas, “MoU Dan Perbandingan Sistem Hukum”,
<http://www.http://cakraarbas.blogspot.co.id>, diakses tanggal 17 Oktober 2015.
33
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 26.
34
Ibid., hlm. 27.
32
30
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat, yaitu:35
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian
yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus
cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
3. Mengenai hal tertentu artinya ialah perjanjian harus tentang hal tertentu, dan
juga harus jelas hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak serta barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian harus ditentukan jenisnya.36
4. Sebab yang halal yang dimaksudkan ialah isi dari perjanjian.37
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap
orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang oleh undang-undang
dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang
tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakniOrang yang belum dewasa, mereka
yang berada di bawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan
oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan
ini sudah tidak berlaku lagi), dan semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang
untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.38
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i) Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang
membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun
tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii) Menurut Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tertanggal 2 Januari
1974
Tentang
Undang-Undang
Perkawinan
(Undang-Undang
Perkawinan). Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19
tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16
tahun.Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena
35
Subekti, Op.Cit., hlm. 15.
Ibid., hlm. 19.
37
Ibid.
38
Jekson Lumbantoruan, “Dasar-Dasar Hukum Perjanjian”,<https://www.linkedin.com>, diakses
tanggal 17 Oktober 2015.
36
31
mengenai obyek dari suatu perjanjian.39Apabila syarat subyektif tidak
dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta
supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan
itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan
sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.Jadi, perjanjian yang telah
dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak
yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu
akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.40
Mengenai Kebatalan dan batalnya perjanjiandijelaskan oleh pasal-pasal
KUHperdata sebagai berikut yaitu:
Pasal
Isi
1446
Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orang-orang yang
berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang
diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas
dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.
Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang
belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi
hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka
1447
Ketentuan pasal yang lalu tidak berlaku untuk perikatan yang timbul dan suatu
kejahatan atau pelanggaran atau dan suatu perbuatan yang telah menimbulkan
kerugian bagi orang lain.
Begitu juga kebelumdewasaan tidak dapat diajukan sebagai alasan untuk melawan
perikatan yang dibuat oleh anak-anak yang belum dewasa dalam perjanjian
perkawinan dengan mengindahkan ketentuan Pasal 1601g, atau persetujuan
perburuhan yang tunduk pada ketentuan Pasal 1601h.
39
40
Subekti, Op.Cit., hlm. 20.
Ibid.
32
Jika tata cara yang ditentukan untuk sahnya perbuatan yang menguntungkan anak1448
anak yang behum dewasa dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan
telah terpenuhi, atau jika orang yang menjalankan kekuasaan orangtua, wali atau
pengampu telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak melampaui batas-batas
kekuasaannya, maka anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang berada
di bawah pengampuan itu dianggap telah melakukan sendiri perbuatan-perbuatan
itu setelah mereka menjadi dewasa atau tidak lagi berada di bawah pengampuan,
tanpa mengurangi hak mereka untuk menuntut orang yang melakukan kekuasaan
orangtua, wali atau pengampu itu bila ada alasan untuk itu.
Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan
1449
tuntutan untuk membatalkannya
Dengan alasan telah dirugikan, orang-orang dewasa, dan juga anak-anak yang
1450
belum dewasa bila mereka dapat dianggap sebagai orang dewasa, hanyalah dapat
menuntut pembatalan penikatan yang telah mereka buat dalam hal-hal khusus yang
ditetapkan undang-undang.
Pernyataan batalnya perikatan-perikatan berdasarkan ketidakcakapan orang-orang
1451
tersebut dalam Pasal 1330, mengakibatkan pulihnya barang-barang dan orangorang yang bersangkutan dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat, dengan
pengertian bahwa segala sesuatu yang telah diberikan atau dibayar kepada orang
tak berwenang, akibat perikatan itu, hanya dapat dituntut kembali bila barang yang
bersangkutan masih berada di tangan orang tak berwenang tadi, atau bila ternyata
bahwa orang ini telah mendapatkan keuntungan dan apa yang telah diberikan atau
dibayar itu atau bila yang dinikmati telah dipakai bagi kepentingannya.
Didalam KUHPerdata diatur hal-hal yang terkait syarat sahnya perjanjian yaitu
dalam pasal berikut:
1321
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan
33
1322
Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian, kecuali jika
kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi
mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan
perjanjian, kecuali jika perjanjian itu diberikan terutama karena diri orang yang
bersangkutan
1323
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu perjanjian
mengakibatkan batalnya perjanjian yang bersangkutan, juga bila paksaan itu
dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam perjanjian yang
dibuat itu.
1324
Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan
dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya,
orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat.
Dalam mempertimbangkan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin
dan kedudukan orang yang bersangkutan
1325
Paksaan menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap
salah satu pihak yang membuat perjanjian, melainkan juga bila dilakukan
terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah
1326
Rasa takut karena hormat terhadap ayah, ibu atau keluarga lain dalam garis ke
atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan perjanjian
1327
Pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila
setelah paksaan berhenti perjanjian itu dibenarkan, baik secara tegas maupun
secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh
undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya
1328
Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian, bila
penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga
nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya
tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus
dibuktikan
34
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap
tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu:Pertama, Paksaan
(dwang).41Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi
kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan.Di dalam hal ini,
setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut
merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu
ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain
memberikan hak.ewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa
kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara,
penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan
suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain
yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan
mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.
Menurut Sudargo Gautama, paksaan (duress) adalah setiap tindakan
intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman kejahatan fisik dan hal ini dapat
dibuat penuntutan terhadapnya. Jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan
suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut
tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali.
Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah
pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kalainan mental. Kedua, Penipuan
(bedrog).
Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat menurut Pasal 1328
KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan
pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang
memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu,
karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan
kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan
tindakan yang benar.42 Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja
ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan
tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan
(samenweefsel
41
van
verdichtselen),
serangkaian
cerita
yang
tidak
Fricilia Eka Putri, “Kedudukan Dan Kekuatan Hukum Kontrak Ditinjau Dari Hukum Perikatan
Dalam KUHPerdata”,<http://download.portalgaruda.org>, diakses tanggal 21 Oktober 2015.
42
benar,
Ibid.
35
dansetiaptindakan/sikap yang bersifat menipu.Dengan kata lain, penipuan adalah
tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian
itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan
membuat menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan
merupakan penipuan, tetapi hal ini disertai dengan tindakan yang menipu. Tindakan
penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak.
Seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat
untuk menipu.
Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam
kontrak. Seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud
atau niat untuk menipu.Tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai
maksud jahat, contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin.Kelalaian untuk
menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda bukan
merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya
merupakan kelalaian belaka. Selain itu, tindakan tersebut haruslahberjalan secara
alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena
adanya unsur penipuan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4
(empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk
kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2)
sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain
menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan
maksud jahat.Ketiga, Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling).
Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang
salah terhadap objek atau subjek yang terdapat dalam perjanjian.Ada 2 (dua) macam
kekeliruan. Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya,
sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian
tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama
yang sama. Kedua, error in substantiayaitu kekeliruan yang berkaitan dengan
karakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Basuki
Abdullah, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwalukisan yang di
belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Basuki Abdullah.43
43
Ibid.
36
Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, kurang
lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar
kekeliruan
dalam
hal
mengindentifikasi
subjek
atau
orangnya.Keempat,
Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden).
Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian
dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian
(judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil
putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu
pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau
memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence). Van Dunne menyatakan bahwa
penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun
karena kejiwaan.
Pada akhirnya sebagai perbandingan dalam sistem common law untuk sahnya
suatu perjanjian juga mensyaratkan dipenuhinya beberapa elemen. Secara garis
besarnya elemen penting pembentuk kontrak/perjanjian meliputi:44
a. Intention to create a legal relationship, para pihak yang berkontrak memang
bermaksud bahwa kontrak yang mereka buat dapat dilaksanakan berdasarkan
hukum;
b. Agreement (offer and acceptance) artinya harus ada kesepakatan (meeting of
mind) diantara para mereka;
c. Consideration, merupakan janji diantara para para pihak untuk saling
berprestasi.
M.L. Baron menambahkan elemen pembentuk kontrak/perjanjian selain
ketiga elemen diatas meliputi:
a. capacity of parties, kecakapan para pihak.
b.reality of consent, artinya harus benar-benar kesepakatan yang sesuai dengan
kehendaknya, bukan karena adanya cacat kehendak (mis-representation, duress
or undue influence).
c. legality of object, yaitu terkait dengan tujuan atau objek yang harus
diperbolehkan menurut hukum.
44
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas
(Jakarta: Kencana, 2014), hlm., 158.
Dalam Kontrak Komersial,
37
2.9
Subjek dan Objek Perjanjian
Yang dimaksudkan dengan personalia/subjek disini adalah tentang para pihak
yang tersangkut dalam suatu perjanjian.45Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyatakan:
“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau
diminta ditetapkannya suatu janji untuk dirinya sendiri”.
M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa menurut teori dan praktek kontrak,
subjek hukum kontrak terdiri dari: 46
1. Individu sebagai persoon yang bersangkutan, yaitu:
a. Natuurlijke person atau manusia tertentu;
b. Rech person atau badan hukum;
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan/hak orang lain
tertentu, misalnya seseorang bezitter atas kapal;
3. Persoon yang dapat diganti (Vervangbaar) yaitu berarti kreditur yang
menjadi subjek semula telah ditetapkan dalam kontrak, sewaktu-waktu dapat
diganti kedudukannya dengan kreditur/debitur baru, kontrak ini berbentuk
“aan order” atau kontrak atas order/atas perintah dan kontrak “aan toonder”
atau kontrak atas nama atau kepada pemegang/pembawa pada surat-surat
tagihan hutang.
Setiap subjek hukum yang mengadakan kontrak haruslah memenuhi
persyaratan tertentu, supaya kontrak tersebut mengikat, misalnya subjek hukum
“orang” harus sudah dewasa, sedangkan subjek hukum “badan hukum (recht
persoon) harus memenuhi persyaratan formal suatu badan hukum. Kedua jenis
subjek hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan
kontrak seperti dapat melakukan penuntutan dan dituntut, menghadap ke pengadilan,
dan sebagainya, hanya saja untuk subjek hukum “badan hukum” digerakkan oleh
organ badan hukum yang merupakan sekumpulan orang-orang yang memenuhi
persyaratan untuk menyelenggarakan badan hukum. Oleh karena itu, dalam hukum
kontrak yang dapat menjadi subjek hukum adalah individu dengan individu atau
pribadi dengan pribadi, badan hukum dengan badan hukum, seperti pemerintah
45
46
Subekti, Hukum Perjanjian,(Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 29.
Meria Utama Dan Arfiana Novera, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Dan Arbitrase, (Malang: Tunggal
Mandiri, 2014), hlm. 20.
38
dengan pemerintah, pemerintah dengan perusahaan swasta, perusahaan swasta
dengan perusahaan swasta, dan sebagainya. Dalam hal ini, Pemerintah berkedudukan
sebagai badan hukum privat.47
Objek hukum kontrak adalah suatu prestasi yang menurut ketentuan normatif
dalam Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi itu dapat berupa memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu. Kontrak yang prestasinya memberikan
sesuatu
barang/benda
ditegaskan
secara
normatif
dalam
Pasal
1237
KUHPerdata.Kemudian, kontrak yang prestasinya berbuat sesuatu ditegaskan secara
normatif dalam Pasal 1241 KUHPerdata.Adapun kontrak yang prestasinya tidak
berbuat sesuatu ditegaskan secara normatif dalam Pasal 1242 KUHPerdata.
Menurut M. Yahya Harahap, objek hukum kontrak berupa prestasi dalam
bentuk “memberikan sesuatu” (te geven) berupa penyerahan sesuatu barang atau
memberikan sesuatu kenikmatan atas suatu barang, misalnya dalam jual beli, penjual
berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban
memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Selanjutnya, prestasi dalam
bentuk “berbuat sesuatu” adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu yang bukan
berupa memberikan sesuatu, misalnya melukis, sedangkan tidak berbuat sesuatu
adalah jika debitur berjanji untuk tidak melakukan perbuatan tertentu, misalnya tidak
akan membangun sebuah pagar. Adapun prestasi dalam bentuk “melakukan sesuatu
dan tidak melakukan sesuatu” (te doen of niet te doen) dapat bermakna positif jika
kontrak ditentukan untuk melakukan berbuat sesuatu yang timbul misalnya dalam
kontrak kerja yang diatur dalam Pasal 1603 KUHPerdata yang memuat ketentuan
normatif, yaitu pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya,
sedangkan bermakna negatif jika kontrak ditentukan untuk tidak berbuat/melakukan
sesuatu, misalnya sewa menyewa yang diatur dalam Pasal 1550 KUHPerdata
merupakan suatu kontrak dengan prestasi yang bermakna negatif, yaitu pihak yang
menyewakan harus membiarkan si penyewa menikmati barang sewaan secara
tentram selama jangka waktu sewa masih berjalan.48
Objek hukum kontrak, menurut R. Setiawan, harus memenuhi beberapa
syarat tertentu agar sah, yaitu:49
47
Ibid., hlm. 21.
Ibid., hlm. 22
49
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung:Bina Cipta,1979), hlm. 3.
48
39
1. Objeknya harus tertentu atau dapat ditentukan (Pasal 1320 sub 3
KUHPerdata).
2. Objeknya diperkenankan oleh undang-undang (Pasal 1335 dan 1337
KUHPerdata).
3. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan.
2.10
Asas-Asas dalam Perjanjian
Di dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sun servanda), asas
iktikad baik, dan asas kepribadian.50
Asas kebebasan berkontrak51
Dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menegaskan “semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian
dengan siapapun, menentukan isi perjanjian/ pelaksanaan dan persyaratannya,
menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan.Asas kebebasan berkontrak
merupakan sifat atau ciri khas dari Buku III BW, yang hanya mengatur para pihak,
sehingga para pihak dapat saja mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasal-pasal
tertentu yang sifatnya memaksa. Berlakunya asas kebebasan berkontrak ini pada
kenyataannya
ternyata
tidaklah
berlaku
mutlak.
KUHPerdata
memberikan
pembatasan mengenai berlakunya asas kebebasan berkontrak, seperti yang
dimaksudkan dalam ketentuan:52
Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang menerangkan bahwa perjanjian tidak
sah apabila dibuat tanpa adanya kata sepakat dari para pihak yang membuatnya.
Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata yang bisa disimpulkan bahwa kebebasan
untuk membuat suatu perjanjian dibatasi oleh suatu kecakapan. Pasal 1320 ayat (4)
dan Pasal 1337 menerangkan bahwa para pihak tidak bebas membuat perjanjian yang
menyangkut kuasa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan
kesusilaan baik atau bertentangan dengan ketentuan umum.
Damang, “Asas-Asas Perjanjian”,<http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asasperjanjian.html>, diakses tanggal 27 Oktober 2015.
51
Meria Utama Dan Arfiana Novera, Op.Cit, hlm.14.
52
Ibid., hlm. 15.
50
40
Asas konsensualisme53
Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1
BW.Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua
belah pihak.Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan
kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat
obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak
tersebut.Asas Konsensualitas mempunyai arti yang penting, bahwa untuk melahirkan
suatu perjanjian cukup dengan tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok
mengenai perjanjian tersebut dan perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan
karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus atau
kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila hal- hal pokok sudah
disepakati dan tidak diperlukan sebagai suatu formalitas.
Asas pacta sunt servanda54
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga sebagai asas kepastian hukum,
berkaitan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa
hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang, mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt
servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 BW yang menegaskan “perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang.”
Asas iktikad baik (geode trouw)
Ketentuan tentang asas iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 BW yang
menegaskan “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”Asas iktikad baik
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak Kreditur dan Debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
atau kemauan baik dari para pihak.Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam,
yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek.Sedangkan iktikad
mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang
objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif.
53
Ibid.
Damang,“Asas-Asas Perjanjian”,<http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html>,
diakses tanggal 27 Oktober 2015.
54
41
Asas kepribadian55
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang
akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan. Hal ini dapat dilihat
pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 BW.Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri.”Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang
membuatnya.”Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam Pasal 1317 BW
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 BW
untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh
hak dari padanya.
Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang
diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman (17
s/d 19 Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas: asas kepercayaan,
asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas
kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.
2.11
Akibat Perjanjian
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak
(perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Dari Pasal ini dapat disimpulkan adanya asas kebebasan
berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya memaksa,
sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang sifatnya
memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua
belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu.Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.Suatu
perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.
Tentang akibat suatu perjanjian didalam KUHPerdata dinyatakan oleh pasalpasal berikut yaitu:
1338
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
55
Ibid.
undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik
42
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
1339
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang
Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan
1340
tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan
kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam pasal 1317
2.12
Penafsiran Perjanjian
Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu
kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat
menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya
sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak
diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru
akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.56
Paul
scholten
berpendapat
untuk
memahami
suatu
teks
undang-
undang/kontrak/dokumen-dokumen bisnis kiranya perlu interpretasi dengan baik.57
Isi kontrak terutama ditentukan oleh apa yang saling diperjanjikan oleh para
pihak. Menafsirkan suatu yang dinyatakan/pernyataan-pernyataan tertentu dalam hal
ini untuk menentukan maknanya akan jelas terhadap apa para pihak mengikatkan
diri.
Pasal Pasal tentang Penafsiran suatu Perjanjian dalam KUHPerdata terdapat
dalam pasal berikut yaitu:
Isi
Pasal
1342
56
Jika kata kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang
daripadanya
dengan
Munir
Fuady, Hukum
Kontrakjalan
(Daripenafsiran
Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti,,
2007), hlm.53.
57
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta: Kencana Prenadamedia, 2014), hlm. 230.
43
Jika kata kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus
1343
dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu,
daripada memegang teguh arti kata kata menurut huruf.
Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
1344
pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji itu dilaksanakan,
daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
Jika kata kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
1345
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
2.13
Teori-Teori Perjanjian
Teori-Teori yang digunakan untuk menentukan terjadinya kesepakatan
sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.Kesepakatan memegang peran penting
dalam prose’s terbentuknya suatu perjanjian.Kita dapat dengan mudah mengenali
terjadinya kesepakatan apabila terdapat kesesuaian antara penawaran dan
penerimaan. Namun akan timbul suatu masalah apabila tidak terdapat kesesuaian
antara penawaran dan penerimaan.
Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut, yaitu teori
kehendak, teori pernyataan dan teori kepercayaan.

TEORI KEHENDAK (Wilstheorie)
Menurut Teori kehendak, factor yang menentukan adanya perjanjian adalah
kehendak.Meskipun demikian, terdapat hubungan yang tidak terpisahkan
antara kehendak dan pernyataan.Oleh karena itu suatu kehendak harus
dinyatakan.Namun apabila terdapat ketidak sesuaian antara kehendak dan
pernyataan, maka tidak terbentuk suatu perjanjian.
Kelemahan dari teori ini adalah akan timbul kesulitan apabila terdapat
ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan. Karena dalam kehidupan
sehari-hari seseorang harus mempercayai apa yang dinyatakan oleh orang
lain.

TEORI PERNYATAAN (Verklaringstheorie)
Menurut teori pernyataan, pembentukan kehendak terjadi dalam ranah
kejiwaan seseorang. Sehingga pihak lawan tidak mungkin mengetahui apa
44
yang sebenarnya terdapat di dalam benak seseorang. Dengan demikian suatu
kehendak yang tidak dapat dikenali oleh pihak lain tidak mungkin menjadi
dasar dari terbentuknya suatu perjanjian. Agar suatu kehendak dapat menjadi
perjanjian, maka kehendak tersebut harus dinyatakan, sehingga yang menjadi
dasar dari terikatnya seseorang terhadap suatu perjanjian adalah apa yang
dinyatakan oleh orang tersebut. Lebih lanjut menurut teori ini, jika terdapat
ketidak sesuaian antara kehendak dan pernyataan, maka hal ini tidak akan
menghalangi terbentuknya perjanjian.
Teori pernyataan lahir sebagai jawaban terhadap kelemahan teori
kehendak.Namun teori penyataan hanya berfokus pada pernyataan dan tidak
memperhatikan kehendak seseorang.Sehingga terdapat potensi kerugian yang
terjadi apabila tidak terdapat kesesuaian antara kehendak dan pernyataan.

TEORI KEPERCAYAAN (Vertrouwenstheorie)
Teori kepercayaan berusaha untuk mengatasi kelemahan dari teori
pernyataan.Oleh karena itu teori ini juga dapat dikatakan sebagai teori
pernyataan yang diperlunak. Menurut teori ini, tidak semua pernyataan
melahirkan perjanjia, suatu pernyataan hanya akan melahirkan perjanjian
apabila pernyataan tersebut menurut kebiasaan yang berlaku di dalam
masyarakat menimbulkan kepercayaan bahwal hal yang dinyatakan memang
benar dikehendaki. Atau dengan kata lain, hanya pernyataan yang
disampaikan sesuai dengan keadaan tertenty (normal) yang menimbulkan
perjanjian. Lebih lanjut menurut teori ini terbentuknya perjanjian bergantung
pada kepercayaan atau pengharapan yang muncul dari pihak lawan sebagai
akibat dari pernyataan yang diungkapkan.
2.14
Kelalaian / Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan
perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa
empat macam, yaitu :
1. Tidak melaksanakan isi dari perjanjian itu sendiri.
2. Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
45
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.58
2.15
Hapusnya Suatu Perjanjian
Soal hapusnya perikatan dinyatakan oleh pasal-pasal KUHPerdata sebagai
berikut yaitu:
1381. Perikatan hapus ialah karena pembayaran yaitu setiap pemenuhan perjanjian
secara sukarela, karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan yaitu suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang menolak pembayaran dan yang lainya sesuai ketentuan pasal 1381
KUHPerdata.
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Pembayaran adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata
dimungkinkan
menggantikan
hak-hak
seorang
kreditur/berpiutang.
Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie.
Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH
Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan
karena Undang-Undang (Pasal 1402 KUH Perdata)
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang
atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri adalah suatu cara pembayaran
yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran
utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat
memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran
pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai
tanda pelunasan atau utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka
barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang
piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi adalah suatu pembuatan perjanjian baru
yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH
Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau
58
Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa,
46
novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari
perjanjian itu.
d. Perjumpaan
utang
penghapusan/pelunasan
atau
kompensasi
adalah
utang
dengan
memperjuangkan
jalan
suatu
cara
atau
memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan
debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga
debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu
dengan yang lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi
dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua
belah pihak itu telah terjadi, kecuali apabila penghapusan/pelunasan itu
dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum atau apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan
atau terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang
telah dinyatakan tak dapat disita.
e. Percampuran Utang adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang
(kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utangpiutang itu dihapuskan, misalnya : debitur menikah dengan krediturnya
atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f. Pembebasan Utang menurut pasal 1439 KUH Perdata, pembebasan utang
adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan
debitur dari segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang adalah jika barang tertentu yang menjadi
obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang hingga
sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah
perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si
berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah pembatalan atas
perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada hakim, bila salah satu
pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang
tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
47
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak
memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim.
2. Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di
depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan
kekurangan dari perjanjian itu.
i. Berlakunya suatu syarat batal menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal
adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan
membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak
pernah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu menurut pasal 1946 KUH Perdata, kadaluwarsa atau lewat
waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 1967
KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat
kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa
dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut,
maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.59
Cara-cara yang disebut oleh pasal 1381 KUHPerdata belum lengkap karena
masih ada cara-cara yang tidak disebutkan misalnya berakhirnya suatu ketetapan
waktu /termijn dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam
beberapa macam perjanjian seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu
perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi
hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang lain.60
59
60
Ibid
Subekti, Op.Cit., hlm. 64.
48
Download